• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia. Di Sumatra sekitar 7,2 juta ha atau sekitar 14,9% luas pulaunya, Kalimantan sekitar 5.769.200 ha dan Papua 7.795.455 ha (Wahyunto et al. 2005). Dalam survey yang dilakukan olehnya diketahui bahwa penyebaran utama dan terbesar di Sumatra adalah Provinsi Riau seluas 4.043.601 ha, dan Kabupaten Bengkalis 856.386 ha kedua terbesar setelah Kabupaten Indragiri Hilir. Secara umum jika dibandingkan dengan tipe ekosistem hutan lainnya di Indonesia, hutan rawa gambut menempati urutan kedua dalam hal luas areal setelah hutan hujan tropika tanah kering.

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai (backswamp), maka lahan ini senantiasa tergenang dan tanah yang terbentuk pada umumnya merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan, seperti tanah-tanah aluvial (Entisols) dan tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organik (Histosols) (Mulyanto, 2002).

Istomo (2002) menyebutkan semakin tinggi deposit lumpur yang terjadi semakin berkurang salinitasnya, sehingga vegetasi bakau digantikan oleh vegetasi daratan. Karena kandungan sulfida yang tinggi dan tergenang air, maka proses dekomposisi terhambat, sehingga terjadi penumpukan serasah sampai membentuk kubah gambut (dome). Hamparan gambut yang terbentuk tidak lagi terpengaruh oleh pasang-surut air laut dan tidak lagi mendapat pasokan dari air sungai, air yang menggenangi gambut tersebut hanya dari air hujan.

Gambut di Indonesia sebagian besar merupakan gambut rawa lebak dan tanahnya mengandung lebih dari 65% bahan organik dengan jeluk (depth) bervariasi, mulai dari ketebalan 50 cm sampai dengan 20 meter dengan di dasari oleh tanah mineral (Budianta, 2003). Hasil penelitian (Suhardjo et al. 1976; Pangudiatno, 1974 dalam Budianta, 2003) menyebutkan gambut Riau mempunyai

pH berkisar antara 3,5-4,7 dan Kalimantan mempunyai pH 3,3. Sedangkan kandungan N dan C-total masing-masing berkisar antara 1,13-1,98% dan 49,8- 54,11% (Riau), 1,44-1,80% dan 74,83-83,84% (Kalimantan) serta kandungan P, K, Ca dan Mg sangat rendah.

Ciri-ciri dan struktur tanah rawa gambut berkorelasi dengan ketebalan gambut. Kesuburan tanah semakin menurun dengan meningkatnya ketebalan gambut. Pengikatan air tanah berkurang sesuai dengan perubahan struktur dan ketebalan gambut. Komposisi dan struktur vegetasi relatif lebih sederhana dengan semakin mendekati kubah gambut/dome (Kongse, 1995).

Kementerian Kehutanan mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahun, data ini menurun dari data kerusakan hutan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 2 juta hektar pertahun. Kegiatan yang ditengarai menjadi penyebab kerusakan hutan rawa gambut adalah kesalahan dalam pengelolaan hutan, pembangunan skala besar, drainase, perambahan dan penebangan liar serta jutan hektar lainnya telah terbakar hebat. Syaufina et al.

(2004) menyebutkan di antara jenis kebakaran hutan, kebakaran gambut adalah jenis kebakaran yang paling berbahaya.

Menurut Elias (2009), sistem silvikultur adalah suatu proses memproduksi hutan yang merupakan suatu siklus yang terdiri dari mata rantai-mata rantai komponen kegiatan yang berurutan satu sama lainnya (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, pemanenan) untuk mencapai tujuan tertentu dalam pengelolaan hutan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009, menyebutkan sistem silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu proses klimatis dan edafis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari atau sistem teknik bercocok tanaman dan memanen.

Sistim pengelolaan hutan Indonesia berpedoman pada sistim silvikultur Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia (TPTII) yang di tetapkan berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. SK. 226/VI-BPHA/2005. Pengelolaan hutan rawa gambut diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. P. 30/Menhut-II/2005 tentang Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa. Selanjutnya untuk daur dan siklus

3   

   

tebangan pada hutan rawa dengan limit diameter ≥ 30 cm dan siklus tebang 40 tahun diatur melalui Sistem silvikultur THPB, THPA, TPTI, Tebang Rumpang (TR), TPTJ.

dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistim Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Penerapan silvikultur intensif di areal yang sensitif terhadap kerusakan lingkungan harus sedapat mungkin dihindarkan, karena pada umumnya penerapan silvikultur intensif di hutan alam tropika akan menyebabkan keterbukaan tanah cukup besar dan kerusakan tegakan tinggal yang cukup berat (Elias, 2009).

Optimalisasi pemanfaatan hutan diwujudkan pemerintah melalui UU No. 41 tahun 1999 pada pasal 18, yaitu menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan secara proporsional dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, yaitu minimal 30 % (tiga puluh persen). Kawasan hutan dimaksud kemudian dideliniasi sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai hutan konservasi, lindung atau produksi. Dalam rangka menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, maka telah diberlakukannya moratorium terhadap semua lahan gambut melalui Intruksi Presiden nomor 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Berdasarkan kenyataan di atas maka diperlukan kajian terhadap berbagai tipe penggunaan lahan gambut terhadap biodiversitas khususnya keanekaragaman jenis guna pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi hutan rawa gambut berasaskan kelestarian. Beberapa pertanyaan yang ingin diajukan adalah seberapa besar tingkat keanekaragaman vegetasi pada tipe-tipe penggunaan lahan gambut? dan bagaimana perbedaan kandungan biomassa pada tipe-tipe penggunaan lahan gambut dimaksud? dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dan masukan bagi Pemerintah, silvikulturis maupun pihak terkait dalam pengambilan kebijakan pengelolaan, pemanfaatan dan reforestasi hutan rawa gambut secara bijak dan lestari.

Tujuan Tujun penelitian ini untuk mengkaji :

1. Keanekaragaman vegetasi pada beberapa tipe penggunaan lahan gambut. 2. Kandungan biomassa pada penggunaan lahan gambut berupa hutan alam,

kebun rakyat dan areal HTI Sagu.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang preferensi ekologi sehingga menjadi masukan bagi Pemerintah, silvikulturis maupun pihak terkait dalam pengambilan kebijakan pengelolaan, pemanfaatan dan reforestasi hutan rawa gambut secara bijak dan lestari.

Kerangka Pemikiran

Model kajian Keanekaragaman vegetasi dan Biomassa pada beberapa tipe penggunaan lahan gambut Di Kabupaten Meranti Provinsi Riau didasarkan pada kerangka pemikiran seperti pada Gambar 1.

5   

   

Hutan Rawa Gambut  Air Gambut Vegetasi 

Tegakan HRG 

Hutan Alam 

Pengelolaan yang tepat 

Areal HTI Sagu  Kebun Rakyat  Biomassa  Perlindungan  Keanekaragaman  Vegetasi Reforestasi 

Jenis Dominan dan Biomassa tertinggi  Pemilihan Jenis Ekonomis 

Fungsi Ekologi Global

Kebijakan 

Definisi Gambut

Gambut adalah material organik (mati) yang terbentuk dari bahan-bahan organik, seperti dedaunan, batang dan cabang serta akar tumbuhan, yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, sangat sedikit oksigen dan keasaman tinggi serta terbentuk disuatu lokasi dalam jangka waktu geologis yang lama (Konsorsium Central Kalimantan Peatlands Project, 2008). Buckman and Brady (1982) menyatakan gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15% - 20% dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20% - 25% bahkan kadang mencapai 90%.

Penggunaan kata gambut sendiri diambil dari nama sebuah desa yang sekarang telah menjadi Kecamatan Gambut Kalimantan Selatan, dimana untuk pertama kalinya padi berhasil dibudidayakan di persawahan tanah gambut. Para pakar dan peneliti tanah dari beberapa negara banyak menggunakan istilah gambut yang berbeda-beda seperti Moorpeat (Australia), organic soil (Kanada), Soil hydromorphes organiques (Perancis), Moorboden (Jerman), Histosol (USA), Bog Soil (USSR), tanah gelam (Malaysia), Veen atau Venuge Grond (Belanda), Peat atau peaty soils (Inggris), tanah organik, tanah rawang, tanah daun, tanah gambut (Indonesia) (Budianta, 1988). sistem Klasifikasi Tanah /Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1999) tanah gambut yang biasanya disebut organic soils, bog soils, tanah merawang (half-bog soils), mucks, atau peats dikelompokkan menjadi satu ordo tanah tersendiri yang disebut Histosols.

Menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2003), mengklasifikasi suatu jenis tanah sebagai Histosol, diperlukan 3 kriteria, yakni : (1) tersusun dari bahan tanah organik, (2) tingkat perombakan/pematangan atau dekomposisi bahan organik, dan (3) ketebalan dan bobot isi dari bahan tanah organik. Tanah dapat

7

organik, tergantung fraksi mineralnya. Bila fraksi mineral liatnya 0%, paling sedikit C organik 12%, sedangkan bila fraksi liatnya >60%, maka C organiknya harus lebih 18%. Ketebalannya sendiri, minimal harus 40 cm jika BD (Bobot Isi) ³ 0,1 g/cm3, atau 60 cm bila BD-nya <0,1 g/cm3.

Jenis dan Sifat Tanah Gambut

Kemampuan gambut menyerap dan mengikat air sangat besar namun bila mengalami pengeringan yang berlebihan, akan menyebabkan koloid gambut menjadi rusak dan tejadi gejala kering tidak balik (irreversible drying), kemampuan tersebut sangat berhubungan dengan ukuran pori, jumlah ruang pori dan permeabilitas yang berkaitan dengan bobot isi (bulk density) dan kandungan serat yang juga sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi bahan organik. Bobot isi (bulk density) gambut umumnya berkisar antara 0,05 sampai 0,40 gram/cm3 (Wahyunto et al, 2006).

Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1998; 1999), tanah gambut atau histosol diklasifikasikan kedalam 4 (empat) sub ordo berdasarkan tingkat dekomposisinya yaitu; 1) Folis: bahan organik belum terdekomposisi di atas batu-batuan, 2) Fibrik: bahan organik fibrik dengan BD < 0,1 gram/cm3. Folis dan fibrik masih mempunyai banyak serabut atau daun yang belum terlapuk, rata-rata volume seratnya >75% dari volume keseluruhan. 3) Hemik adalah tanah gambut yang agak matang, sebagian bahan organiknya sudah benar-benar lapuk, dan sebagian lagi masih berupa serat, kandungan seratnya sekitar 17-75% dari volume dan BD 0,1-0,2 gram/cm3. 4) Saprik adalah tanah gambut yang sudah matang, seratnya tinggal sedikit, yaitu <17% dari volume dengan BD >0,2 gram/cm3.

Buckman dan Brady (1982) mengklasifikasikan gambut menurut bahan induknya menjadi tiga yaitu :

1. Gambut endapan,gambut endapan biasanya tertimbun didalam air yang relatif dalam, karena itu umumya terdapat jelas di profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan type gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta berwama hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat keras dan

bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman.

2. Gambut berserat, gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin terdapat di permukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi, sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat diatas endapan.

3. Gambut Kayuan, tipe ini biasanya terdapat di permukaan timbunan organik, berwama coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian.

Darmawijaya (1990), menggolongkan gambut berdasarkan faktor pembentukannya menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Gambut ombrogen yang terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat, curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat asam dengan pH 3,0 – 4,5 meliputi Sumatera, Kalimantan, sepanjang pantai Malaysia dan Selatan lrian Jaya (Papua).

2. Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman rumput paku dan semak belukar yang mempunyai pH yang relatif tinggi. 3. Gambut pegunungan terbentuk karena ketinggian tempat gambut, pegunungan

didaerah khatulistiwa hanya terbentuk didaerah yang tinggi dan iklimnya menyerupai iklim didaerah sedang dengan vegetasi sphagnum.

Sifat dan karakteristik fisik tanah gambut ditentukan oleh dekomposisi bahan gambut itu sendiri dan tingkat perubahan dekomposisi akan mempengaruhi struktur lapisan gambut dan bobot isi (bulk density), nilai kerapatan bobot isi sangat ditentukan oleh tingkat pelapukan/dekomposisi bahan organik dan kandungan mineralnya. Bobot isi tanah gambut merupakan sifat fisik paling mendasar dan sangat penting untuk dijadikan suatu parameter (Driessen & Rochimah. 1976; Andriesse. 1988).

Bobot isi merupakan petunjuk kepadatan tanah, makin padat suatu tanah 3

9

dan untuk tanah gambut bahkan dapat kurang dari 0,10 g/cm3 (Hardjowigeno, 2003). Gambut dengan bobot isi yang rendah (0,05–0,40 g/cm3), mempunyai daya dukung beban atau daya tumpu (bearing capacity) yang rendah. Akibat dari sifat ini jika tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena drainase, gambut akan ’kempes’’ atau mengalami subsidence (Wahyunto et al, 2006). Lebih lanjut dikatakan lagi bahwa bila terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) maka gambut dapat berubah seperti arang dan tak mampu lagi untuk menyerap hara dan menahan air, dan kondisi demikian akan merugikan pertumbuhan tanaman dan vegetasi. Daya menahan air dari gambut bervariasi, karena adanya interaksi yang komplek dari berbagai sifat tanah gambut tersebut. Jumlah air tersedia bagi tanaman pada jenis hemik lebih tinggi dari pada fibrik. Pada jenis saprik, meskipun air pada kapasitas lapang tinggi, tetapi kadar air pada titik layu permanen juga tinggi, karena itu banyak tanah gambut saprik yang mempunyai kadar air tersedia lebih rendah dari pada gambut hemik (Driessen, 1978). Berikut Sifat fisik tanah gambut dari Sumatera dan kalimantan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fisik tanah gambut dari Sumatera dan Kalimantan.

Fisik Gambut BD

(g/cm3)

RPT (% Vol)

Retensi air (% Volume) Air

tersedia (% Vol)

pF 1 pF 2 pF 2,5 pF 4,2

Hemik/ Saprik 0,1 – 0,3 86 - 91 74 - 86 64 - 78 54 - 70 38 - 64 14 -30 Fibrik/ Hemik 0,06 – 0,15 88 – 92 83 – 90 54 - 75 40 – 56 30 – 37 10 - 17 Sumber : Suhardjo dan Driessen, 1975; Koesmawadi, 1996.

Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar tergolong kedalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur lain dari luar yaitu yang dibawa oleh air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).

Pembentukan komposisi hutan rawa gambut merupakan hasil suksesi yang memakan waktu yang sangat lama. Suksesi hutan rawa gambut diperkirakan berasal dari tumbuhan payau yang berangsur-angsur berubah menjadi tumbuhan hutan rawa gambut (Poerwowidodo, 1991). Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur hara dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Gambut di Kalimantan Tengah termasuk gambut

ombrogen oligotropik yaitu gambut miskin dengan sumber penggenangan air dari air hujan (Istomo, 1994). Pada gambut ombrogen semakin kearah tengah lahan gambut terjadi penurunan tingkat kandungan hara. Kecenderungan semakin menurunnya kesuburan tanah dicirikan dengan menurunnya tinggi tajuk vegetasi hutan, menurunnya bahan kering per satuan luas, menebalnya daun serta menurunnya rata-rata diameter pohon. Ketidakmampuan pohon-pohon tumbuh optimal dibagian tengah gambut karena keadaannya yang sangat ekstrim, khususnya pH dan ketersediaan hara bagi tanaman (Anwar et al., 1984).

Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh: ketebalan lapisan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral dibawah lapisan gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses pembentukan dan pematangannya (Widjaja dan Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, forfor dan kalium rendah, kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe, Mn yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986). Salah satu petunjuk yang tepat untuk mengetahui keadaan tingkat kesuburan alami gambut adalah kadar abu, semakin tinggi kadar abu semakin tinggi kandungan mineralnya, yang memberi indikasi semakin tinggi tingkat kesuburannya. Tabel 2. menjelaskan kandungan abu bersama dengan kandungan P2O5, CaO dan K2O (dalam persen berat kering gambut) digunakan untuk menentukan tipe gambut, apakah eutrofik, mesotrofik atau oligotrofik (Wahyunto et al. 2006). Fleischer dalam Supraptohardjo (1974) selanjutnya menggolongkong kesuburan tanah gambut menjadi tiga yaitu : (a) Gambut eutrofik yang subur, (b) Gambut mesotrofik dengan kesuburan sedang dan (c) Gambut oligotrofik sebagai gambut miskin.

Tabel 2. Kandungan hara pada tiga tipologi tanah gambut.

Tipe tanah gambut Kandungan (% berat kering gambut)

Abu P2O5 CaO K2O

Eutrofik >10 >0,25 >4,0 >0,10

Mesotrofik 5-10 0,20-0,25 1,0-4,0 0,10

Oligotrofik 2-5 0,05-0,20 0,25-1,0 0,03-0,1

11

Hutan Rawa Gambut

Istilah hutan rawa gambut (peat-swamp forest) muncul karena antara hutan rawa dan hutan gambut yang umumnya berdekatan, seringkali tidak memiliki batas yang tegas. Ciri umum tanah gambut, tidak mengalami perkembangan profil ke arah terbentuhya horizon-horizon yang berbeda, berwama coklat kelam sampai hitam, berkadar air tinggi dan berwama seperti teh serta bereaksi masam dengan pH 3,0 - 5,0 (Istomo, 1992).

Menurut Jacobs (1988), hutan rawa gambut adalah salah satu tahap suksesi dari hutan rawa dimana memiliki pH rendah, miskin mineral dan tingkat dekomposisi alami yang rendah. Pada beberapa wilayah terdapat hutan rawa gambut yang dipengaruhi oleh air sungai sehingga terdapat dekomposisi bahan organik yang tinggi.

Hutan rawa gambut merupakan suatu ekositem yang unik dengan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; 1) selalu tergenang air, 2) komposisi jenis pohon beraneka macam, mulai dari tegakan sejenis (Calophyllum sp.) sampai tegakan campuran, 3) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, 4) mempunyai perakaran yang khas dan 5) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam (Asian Wetland Bureau dan Ditjen PHPA, 1993). Berdasarkan pengamatannya di Serawak dan Brunai yang meliputi struktur, fisiogami dan flora, maka Anderson (1964) membagi hutan rawa gambut kedalam 6 tipe hutan, yaitu :

1. Tipe I. Hutan rawa campuran (mixed peatswamp forest) yaitu hutan dengan tajuk terputus, hampir sama dengan hutan hujan dataran rendah tetapi jumlah jenis dan bantang per hektar lebih sedikit. Tipe ini merupakan asosiasi dari Gonystylus-Dactylocladus-Neoscortechinia.

2. Tipe II. Hutan alan (Alan forest), hutan ini memiliki penampilan yang hampir sama dengan pertama, tetapi dengan tinggi tajuk yang lebih rendah dan jumlah batang per hektar yang lebih kecil. Hutan Alan memiliki asosiasi Shorea albida-Gonystylus-Stemonurus.

3. Tipe III. Hutan Alan Bunga (Alan bunga Forest), yaitu hutan rawa gambut yang tajuknya bersambung atau merata yang didominasi oleh Shorea albida (konsosiasi Shorea albida).

4. Tipe IV. Hutan Padang Alan (padang alan forest), memiliki kerapatan pohon yang tinggi dan tajuk yang merata, karakter xeromorfiks yang bervariasi serta sedikit pohon yang memiliki keliling batang lebih dari 1,8 m. asosiasi pada tipe ini adalah Shorea albida-Litsea-Parastemon.

5. Tipe V. Hutan ini dicirikan dengan kerapatan pohon tinggi dan tajuk yang rendah serta hanya sedikit pohon dengan keliling lingkaran kebih dari 0,9 m. 6. Tipe VI. Hutan padang keruntum, yaitu open savanna woodland, dicirikan

dengan banyaknya pohon kerdil dan derajat xeromorfiks tinggi, dimana hanya terdapat dua jenis dengan keliling bantang lebih dari 0,3 m. tipe hutan ini merupakan asosiasi Combretocarpus-Dactylocladus.

Pada hutan rawa gambut umumnya terdapat tiga lapisan tajuk (Wiraatmojo, 1975) Lapisan tajuk teratas dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu (Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii). Pisang- pisang (Mezzetia parviflora), nyatoh (Palaquium spp.), durian hutan (Durio sp.), kempas (Koompassia malaccensis) dan jenis-jenis yang umumya kurang dikenal. Lapisan tajuk tengah pada umumnya dibentuk oleh jenis-jenis jambu (Eugenia spp.), pelawan (Trisfania spp.), medang (Litsea spp.), kemuning (Xantophyllum spp.), mendarah (Myristica spp.) dan kayu malam (Diospyroy spp.). Sedangkan lapisan tajuk terbawah terdiri dari jenis suku Annonaceae, anak-anakan pohon dan semak dari jenis Crunis spp., Pandanus spp., Zalaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan merambat diantaranya Uncaria spp. Wibowo (1995) dalam studi stuktur tegakan, mengemukakan bahwa di hutan primer rawa gambut Riau juga terdapat 3 (tiga) lapisan tajuk yaitu stratum A yang tingginya 30 meter ke atas diisi oleh jenis-jenis Cratoxylon arborescens, K. malaccensis, Durio carinatus, S. uliginosa, S. parvifolia, G. bancanus dan Calophyllum inophylloidea. Stratum B yang tingginya antara 20 - 30 meter diisi oleh jenis-jenis Murraya paniculata, Horsfieldia glabra, Xylopia spp., Polyalthia spp., Palaquium walsurifolium, S. parvifolia, Cratoxylon arborescens, Anisoprera marginata, Tetramerista glabra, Vitex pubescens, Eugenia spp., Diospyros malaccensis, Mangifera spp., Durio carinatus, Palaquium burckii, Actinodaphne glabra, K. malaccensis, S. uliginosa, C. inophylloidea. Stratum C yang tingginya 4 - 20 m

13

Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan

Soerianegara dan Indrawan (2005), menyatakan bahwa masyarakat hutan adalah kelompok tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang menempati suatu tempat tumbuh atau habitat, dimana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuh-tumbuhan itu satu sama lain dan dengan lingkungannya, dan satuan masyarakat hutan ini disebut tegakan. Selanjutnya dalam tegakan hutan akan terjadi persaingan antara individu-individu dari suatu jenis atau dari berbagai jenis, jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama, misalnya dalam hara mineral, air, cahaya dan ruang. Persaingan ini menyebabkan terbentuknya susunan masyarakat tumbuk-tumbuhan yang tertentu bentuknya (life form-nya), macam dan banyaknya jenis dan jumlah individu-individunya, sesuai dengan keadaan tempat tumbuhnya.

Komposisi vegetasi digunakan untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis pohon dalam hutan, sedangkan struktur vegetasi hutan sebagai sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk (Richard, 1964). Soerianegara dan Indrawan (1983), menyatakan bahwa komposisi dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis). Sehingga dapat dijelaskan bahwa komposisi vegetasi adalah keberadaan jenis-jenis pohon pembentuk tegakan pada hutan sejenis maupun hutan campuran.

Struktur tegakan mengandung dua macam pengertian yaitu struktur tegakan horisontal dam struktur tegakan vertikal. Struktur tegakan horisontal adalah sebaran banyaknya pohon per satuan luas pada kelas diameternya, sedangkan struktur tegakan vertikal adalah sebaran individu pohon pada berbagai lapisan tajuk (Richard, 1964; Suhendang, 1995). Perubahan dan perkembangan struktur menggambarkan keadaan atau kondisi tegakan hutan yang bersangkutan. Stratifikasi merupakan salah satu metode deskripsi dan analisis yang digunakan untuk ekosistem hutan di daerah tropis. Dalam profil arsitektur komunitas tumbuhan akan terlihat adanya keragaman arsitektur yang tinggi. Keragaman

Dokumen terkait