LARUTAN KUMUR KOMERSIAL TERHADAP
Candida albicans SECARA IN VITRO
HADI PUTRA RIHANSYAH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi Aktivitas Anticendawan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica) dan Larutan Kumur Komersial terhadap Candida albicans secara in vitro adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruam tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Januari 2011
RIHANSYAH. In vitro Antifungal Activity of Siwak (Salvadora persica) Ethanol Extract and Commercial Mouthwash to Candida albicans. Under direction of EKO S. PRIBADI and HUDA S. DARUSMAN.
The aim of this study were to investigate the antifungal activity and the effect of siwak ethanol extract in comparison with commercial mouthwash on inhibition of C. albicans growth during in vitro condition. Mouthwash #1 is containing alcohol, Mouthwash #2 is containing fluoride, and Mouthwash #3 is containing povidone iodine. Siwak extracts showed the different results to control significantly, but the effects were not depending on their concentration. The concentration of siwak extract showed no effect on C. albicans growth. The antifungal effect of siwak extract was less than other commercial mouthwash for all extract concentrations.
RIHANSYAH. Aktivitas Anticendawan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica) dan Larutan Kumur Komersial terhadap Candida albicans secara in vitro. Dibimbing oleh EKO S. PRIBADI dan HUDA S. DARUSMAN.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas anticendawan dan pengaruh ekstrak etanol kayu siwak dibandingkan dengan obat kumur komersial terhadap penghambatan pertumbuhan C. albicans dalam kondisi in vitro. Larutan kumur #1 mengandung alkohol, larutan kumur #2 mengandung fluorida, dan larutan kumur #3 mengandung povidon iodium. Ekstrak etanol kayu siwak menunjukkan hasil yang berbeda nyata, tetapi perbedaan kadar tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Kadar ekstrak etanol kayu siwak yang diuji tidak menunjukkan pengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan C. albicans. Efek anticendawan dari ekstrak etanol kayu siwak lebih rendah dari larutan kumur komersial lainnya untuk semua kadar.
© Hak Cipta milik IPB, tahun2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
LARUTAN KUMUR KOMERSIAL TERHADAP
Candida albicans SECARA IN VITRO
HADI PUTRA RIHANSYAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan, sehingga penyusunan dan penulisan skripsi dengan judul Aktivitas Anticendawan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica) dan Larutan Kumur komersial terhadap Candida albicans Secara In Vitro dapat diselesaikan.
Skripsi ini disusun dengan melakukan penelitian yang didasari rasa keingintahuan dan ingin membuktikan kemampuan kayu siwak sebagai anticendawan.
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis tidak dapat melupakan jasa-jasa dari seluruh pihak yang telah membantu. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
- Kedua Orang tua tercinta Andri Karsa dan Cut Nadira Hanum atas segala dukungan, nasihat dan kasih sayang.
- Dr. drh. Eko S. Pribadi, MS. dan drh. Huda S. Darusman, M.Si sebagai dosen pembimbing yang memberikan bantuan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.
- Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini M.Sc selaku pembimbing akademik.
- Staf laboran (pak Agus, pak Ismet, pak Atin, pak Aria, mba Selin, mas Ivan) - Orang-orang terdekat (Igit, Iral, Adi, Achie, Cipo, Abhe, Mamato, Galuh,
Ipin Iir, Bowo, Uut, Pakde, Mbambit, Soni, Bahtiar, Aguy) terima kasih atas bantuan, motivasi dan semangatnya.
- Teman-teman “Aesculapius” 43, terima kasih atas pelajaran dan kehangatan persaudaraannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima dengan senang hati kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Januari 2011
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 8 Juli 1988 dari ayah Andri Karsa dan ibunda Cut Nadira Hanum. Penulis merupakan anak tunggal.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan TK Amaliah pada tahun 1994 dan SD Amaliah pada tahun 1997 kemudian pindah ke SDI Al Azhar 13 Rawamangun Jakarta dari tahun 1998 sampai 2000. Setelah itu penulis menyelesaikan pendidikan pada SLTPI 12 Rawamangun Jakarta pada tahun 2003. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan pada SMU Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan IPB melalui seleksi mahasiswa Mayor-Minor.
Halaman
Senyawa Anticendawan yang Berasal dari Tumbuhan ... 10
METODE PENELITIAN ... 14
Pengujian Aktivitas Anticendawan ... 21
KESIMPULAN DAN SARAN ... 25
DAFTAR PUSTAKA ... 26
Halaman 1 Penyakit yang disebabkan oleh C. albicans pada berbagai spesies ... 10 2 Logaritma jumlah C. albicans terhadap perlakuan beberapa
Halaman
1 Kawanan unta yang sedang memakan daun S. persica ... 5
2 Bentuk batang, daun, bunga dan buah S. persica ... 6
3 Morfogenesis C. albicans ... 9
4 Khlamidospora C. albicans ... 10
5 Kayu S. persica sebelum diekstraksi ... 14
6 Grafik pertumbuhan linier normal C. albicans ... 17
7 (a) Cendawan C. albicans yang membentuk tabung kecambah (b) Tabung sebelah kiri adalah kontrol dan tabung sebelah kanan adalah sukrosa, kekeruhan menunjukkan adanya pertumbuhan koloni cendawan ... 20
Latar Belakang
Status kesehatan mulut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan masyarakat dan genetik. Bagi negara berkembang faktor yang paling berpengaruh adalah perilaku (Effendi 1990). Faktor lain yang mempengaruhi kesehatan mulut menurut Finlayson et al. (2010) adalah faktor psikososial berupa tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah serta status sebagai ras minoritas dalam suatu negara. Tetapi tidak ditemukan bahwa ras sebagai faktor pemicu status kesehatan mulut yang buruk.
Selain bakteri, cendawan sebagai salah satu mikroorganisme yang sering dijumpai pada rongga mulut sangat memiliki peran penting dalam kesehatan mulut. Cendawan telah diketahui bisa menyebabkan infeksi membran mukosa rongga mulut. Lebih parah lagi, apabila cendawan melakukan penetrasi terhadap inang yang mengalami luluh imun, akan menyebabkan infeksi cendawan invasif (Cannon et al. 2009). Oleh karena itu, peran anticendawan sangat penting dalam menanggulangi infeksi cendawan ini.
Fenomena ketahanan cendawan terhadap obat anticendawan semakin meningkat akibat penggunaan obat anticendawan buatan. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya kelompok obat anticendawan yang membuat pilihan dokter dalam mengobati pasien sangat terbatas. Tidak seperti obat antibakteri yang memiliki lebih banyak pilihan karena beragamnya kelompok antibakteri yang ada. Sebagai contoh, penggunaan kelompok azola untuk mengobati infeksi cendawan. Obat ini sering digunakan karena penggunaannya yang mudah dan memiliki sedikit efek samping. Namun, hal ini telah memicu terjadinya ketahanan cendawan terhadap kelompok azola, yang terutama disebabkan oleh mekanisme modifikasi dari pompa efluks pada membran plasma (Cannon et al. 2009).
flavonoid dan senyawa lainnya yang telah dilaporkan mempunyai aktivitas anticendawan (Arif et al. 2009). Salah satu tumbuhan yang memiliki kemampuan sebagaimana dijelaskan di atas adalah siwak (Salvadora persica).
Pemakaian kayu siwak dalam menjaga kebersihan mulut telah dikenal manusia sejak berabad-abad lalu, terutama oleh bangsa Arab yang hingga kini masih menggunakannya sebagai alat kebersihan mulut selain sikat gigi dan pasta gigi. Faktor sosial dan agama diduga menjadi pendorong utama penggunaan kayu siwak, terutama bagi masyarakat muslim. Suatu studi yang membandingkan pengobatan periodontal (jaringan ikat penyanggan akar gigi) yang dilakukan terhadap pengguna siwak dengan bukan pengguna siwak menunjukkan bahwa masyarakat pengguna siwak memiliki tingkat pengobatan periodontal yang lebih rendah dibandingkan masyarakat bukan pengguna siwak (Al-Lafi dan Ababneh 1995), artinya kesehatan mulut dan gigi pengguna siwak lebih baik dibanding dengan yang bukan pengguna siwak. Siwak juga terbukti secara ilmiah dapat mencegah pembusukan gigi walaupun tanpa disertai tindakan pembersihan gigi lain (Al-Bayati dan Sulaiman 2008)
Menurut survei yang dilakukan Ndungu et al. (1990) tentang kemanjuran kayu siwak dibandingkan sikat gigi modern, memperlihatkan bahwa keefektifan kayu siwak setara dengan sikat gigi dalam menghambat plak gigi pada pasien dengan plak gigi yang moderat. Gazi et al. (1990) melaporkan bahwa apabila kayu siwak digunakan sebanyak lima kali dalam satu hari dapat menjadi alternatif dalam mengurangi plak.
Candida albicans adalah khamir yang komensal (normal) terdapat pada mukosa mulut, saluran pencernaan dan vagina. Namun, khamir ini bisa menjadi masalah bila fase pertumbuhannya berubah dari fase khamir ke fase kapang ketika berada di membran mukosa inang. Kejadian ini biasa disebut kandidiasis. Banyak faktor yang bisa menyebabkan C. albicans menjadi mikroba patogen, yaitu suhu yang optimal (37 oC), adanya serum, pH lingkungan yang tinggi dan sumber karbon yang memadai (Berman dan Sudbery 2002). C. albicans bisa menyebabkan infeksi serius terhadap mukosa mulut dan bisa menyebar dengan mudah apabila pasien dalam kondisi yang tidak sehat. Kandidiasis orofaring yang parah banyak dijumpai pada hampir seluruh pasien AIDS, transplantasi organ dan terapi antiradang golongan steroid (Klein et al. 1984) dan juga menyebabkan gastrointestinal kandidiasis yang parah pada pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi atau terapi immunosupresan dosis tinggi (Pappas et al. 2004).
Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan:
(1) Apakah ekstrak etanol kayu siwak memiliki sifat anticendawan terhadap C. albicans yang diperoleh dari mulut?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat anticendawan ekstrak etanol kayu siwak terhadap C. albicans yang diperoleh dari mulut dan efektifitas ekstrak etanol kayu siwak dengan larutan kumur komersial yang beredar di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan muncul suatu keyakinan bahwa ekstrak etanol kayu siwak bisa digunakan sebagai anticendawan terhadap C. albicans yang terdapat di dalam mulut dan sebagai alternatif larutan kumur yang sudah ada di Indonesia.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Pertama,
H0 : Ekstrak etanol kayu siwak memiliki sifat anticendawan terhadap
pertumbuhan C. albicans.
H1 : Ekstrak etanol kayu siwak tidak memiliki sifat anticendawan terhadap pertumbuhan C. albicans.
Kedua,
H0 : Efektifitas anticendawan ekstrak etanol kayu siwak setara dengan larutan
kumur komersial terhadap pertumbuhan C. albicans.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Tanaman Siwak
Klasifikasi tanaman Salvadora persica di dalam Tjitrosoepomo (1998) adalah
Divisio : Embryophyta Sub Divisio : Spermatophyta Class : Dicotyledons Sub Class : Eudicotiledons Ordo : Brassicales Family : Salvadoraceae Genus : Salvadora Spesies : S. persica Linn
Karakteristik S. persica dan Habitatnya
Menurut Sher et al. (2010), S. persica adalah tumbuhan halofit yang selalu berdaun hijau yang bisa hidup dilingkungan yang ekstrim, mulai dari lingkungan yang sangat kering sampai dengan lingkungan yang berkadar garam tanah yang sangat tinggi. Tumbuhan ini berupa semak belukar seperti ditunjukkan Gambar 1 dengan tinggi maksimum tujuh meter.
Gambar 1 Kawanan unta yang sedang memakan daun S. persica.
Dalam Sher et al. (2010) dijelaskan bahwa batang utama S. persica diselimuti oleh cabang-cabang yang sangat lebat. Pertumbuhan tanaman ini menuju ke segala arah, sampai cabang-cabangnya menyentuh tanah. Daunnya berbentuk oblongelliptik (seperti telur) sampai bulat dengan ukuran 3x7 cm, berwarna hijau gelap, agak tebal, bagian apeksnya meruncing sampai membulat, mengecil tajam, bagian basis umumnya menyempit, terdapat batas daun yang jelas, petiol (tulang daun) memiliki panjang sampai 10 mm, dan tersusun berlawanan berpasangan. Bunga berwarna kehijauan sampai kekuningan, sangat kecil, mudah lepas dari batang dan terdapat mulai dari bagian aksial sampai ujung panikel (batang dengan cabang bunga yang banyak) sepanjang 10 cm. Buah berbentuk bola, berdaging, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna merah muda sampai ungu dan semi transparan ketika sudah matang. Gambar 2 menunjukkan bentuk batang, daun, bunga dan buah bisa S. persica.
Gambar 2 Bentuk batang, daun, bunga dan buah S. persica.
Sumber: Wikipedia (2010).
Kandungan Bahan Bioaktif S. persica
S. persica mengandung glikosida, sterol, terpenoid, flavonoid, tanin, alkaloid, natrium klorida, kalium klorida, sulfat, nitrat, tiosianat, salvadorin, saponin, tanin, vitamin C, silika, resin, sianogenik atau lignan glikosida, oleat, linoleat, asam stearat, benzil-isotiosianat, trimetilamina, -sitosterol, asam m-anisik, kandungan mineral yang tinggi 27,6%, sulfur, fluorida yang berlimpah, garam yang mengandung klorin (Al-Sadhan dan Almas 1999; Darout et al. 2000; Ahmed et al. 2008; Al-Bayati dan Sulaiman 2008).
Aktivitas Farmakologik S. persica
S. persica memiliki kemampuan sebagai antibakteri, anticendawan, antiplasmodium, antiplak, antiperiopati, antikaries, antiradang, diuretika, antimag, antihelmin, pembersih gigi, antirematik, mengobati batuk dan asma, laksatifa, memperbaiki mukosa lambung yang rusak, meningkatkan kadar kolesterol yang rendah dalam plasma (Alali dan Al-Lafi 2002; Al-Sabawi et al. 2007; Al-Bayati dan Sulaiman 2008).
Shibl et al. (1985) telah melakukan penelitian tentang efek antimikroba ekstrak kayu siwak secara in vitro dengan menggunakan beberapa pelarut ekstraksi, yaitu eter petroleum, kloroform dan metanol terhadap bakteri Gram negatif dan positif serta cendawan. Hasil yang diperoleh menunjukkan semua jenis ekstraksi tidak berpengaruh. Namun, minyak volatil dari batang dan daun menunjukkan hasil yang meyakinkan sebagai antimikroba terhadap semua mikroba yang diuji.
yang lebih rendah. Sedangkan, kadar 50 mg/ml sama sekali tidak memiliki efek anticendawan terhadap C. albicans (Abo Al-Samh dan Al-Bagieh 1996).
Klasifikasi Khamir C. albicans
Klasifikasi C. albicans di dalam Yarrow dan Meyer (1987) adalah Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota Subphylum : Saccharomycotina Class : Saccharomycetes Order : Saccharomycetales Family : Saccharomycetaceae (Calderone 2002). Habitat alami C. albicans adalah di daerah mukokutaneus dan alat kelamin baik pada manusia maupun hewan (Quinn 1994). Morfologinya dicirikan dengan bentuk dimorfik (memiliki dua bentuk yang berbeda pada satu individu) yang merupakan salah satu parameter dalam mendiagnosa infeksi yang diakibatkan oleh khamir ini. Bentuk khamir C. albicans bersifat komensal pada inang, sedangkan bentuk kapangnya ditemukan pada saat terjadi infeksi.
memanjang (Calderone 2002). Bentuk psudohifa dan hifa menjadi penciri untuk mengidentifikasi Candida sp. dan juga berguna untuk diagnosis kandidiasis (Heitman 2006).
Gambar 3 Morfogenesis C. albicans.
Sumber: Berman dan Sudbery (2002).
Perubahan bentuk C. albicans dari khamir ke kapang bisa terjadi karena pengaruh berbagai macam faktor lingkungan, antara lain perubahan dari komposisi media, penambahan serum, tumbuh pada kondisi kadar CO2 yang
tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu. Suhu dan pH yang optimal bagi blatospora C. albicans berubah menjadi hifa adalah 35oC dan 6,5-7,0. Jika suhu lingkungan lebih rendah dari 35oC dan pH cenderung asam, maka C. albicans hanya akan membentuk blastospora baru (Calderone 2002). Menurut penelitian Berman dan Sudbery (2002) C. albicans yang cacat dalam kemampuannya berkecambah lebih tidak virulen, sedangkan bentuk hifa yang besar sulit dibunuh oleh sel fagosit dibandingkan blastospora.
Heitman (2006) juga menyatakan bahwa C. albicans bisa membentuk khlamidospora. Khlamidospora adalah bentuk pertahanan yang dibentuk pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, contoh khlamidospora seperti ditunjukkan Gambar 4. Khlamidospora memiliki diameter 8-12 µ m (Calderone 2002).
Blastospora
Pseudohifa
Gambar 4 Khlamidospora C. albicans.
Sumber: Quinn (1994).
Penyakit yang Disebabkan oleh C. albicans
Menurut Quinn (1994), C. albicans bisa menyebabkan beberapa penyakit pada manusia dan hewan seperti terpapar pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Penyakit yang disebabkan oleh C. albicans pada berbagai spesies.
Inang Penyakit
Ayam, kalkun, merpati, dan burung lainnya
Murai di mulut, oesofagus, dan tembolok, bisa sangat mematikan pada burung
Anak kuda Ulserasi pada abdomen
Kuda jantan dan betina dewasa Infeksi alat kelamin
Anak sapi Kandidiasis pneumonia, enterika dan
sistemik
Sapi betina Mastitis dari derajat ringan sampai
sedang
Anak kucing dan anak anjing Mikotik stomatitis
Anak kucing Enteritis
Anjing betina Infeksi saluran kelamin
Anjing jantan Infeksi sistemik pada otot, tulang, kulit
Kucing Piotoraks
Primata dan mamalia air Kandidiasis mukokutaneus
Manusia Stomatitis mikotik pada bayi
Infeksi kuku
Infeksi saluran kelamin, kulit, paru-paru dan oragan lainnya
Senyawa Anticendawan yang Berasal dari Tumbuhan
Tumbuhan telah menjadi sumber senyawa bioaktif yang sangat beragam, baik dalam bentuk bahan mentah maupun senyawa yang sudah dimurnikan untuk mengobati berbagai penyakit. Beberapa senyawa bioaktif yang telah dikenali terpapar di bawah ini
Blastospora Khlamidospora
Fenol
Lokasi dan beberapa gugus hidroksil pada fenol berhubungan dengan kemampuan tumbuhan menghasilkan zat toksik terhadap mikroorganisme, termasuk penghambatan enzim oleh senyawa teroksidasi yang berasal dari gugus sulfhidril atau interaksi nonspesifik dengan protein. Senyawa yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah tanin dan asam salisilat (Schultes 1978).
Flavonoid
Flavon adalah struktur fenolik yang mengandung satu gugus karbon dan tambahan gugus 3-hidroksil yang membentuk flavonol. Diantara senyawa flavonoida yang telah dilaporkan memiliki efek anticendawan adalah amentoflavon (Lewis dan Elvin-Lewis 1995); eumatenoid-3, eupomatenoid-5 (Schultes 1978); conocarpan (Ferreira et al. 2006); orientin (Dharmaratne et al. 2005); 2-hydroxy maackiain (Jung et al. 2006). Turunan flavonoida seperti scandenone, tiliroside, quercetin-3,7-O-α-L-dirhamnoside dan kaempferol-3,7-O -α-L-dirhamnoside juga dilaporkan memiliki aktivitas anticendawan terhadap C. albicans dan pada kadar 1,0 µg/ml sama potensialnya dengan ketokonazol (Ozçelik et al. 2006).
Saponin
tropicalis (Belhouchet et al. 2008). Delapan saponin dari Tribulus terrestris dilaporkan terdapat dua senyawa yang menunjukkan aktivitas yang bagus melawan galur Candida yang tahan terhadap flukonazola (Zhang et al. 2005). Tiga spirostanol saponin tersusun dari sansevierin A, sansevistatin 1, sansevistatin 2 dan tiga steroidal saponin yang diisolasi dari Sansevieria ehrenbergii sangat khusus memperlihatkan aktivitas melawan C. albicans dan Cryptococcus neoformans (Du et al. 2003).
Alkaloid
Dalam Arif et al. (2009) Alkaloida adalah senyawa heterosiklik nitrogen. Contoh senyawa alkaloida yang pertama kali digunakan dalam dunia medis adalah morfin yang diisolasi dari Papaver somniferum. Baru-baru ini Alkaloida yang diisolasi dari Datura metel yaitu 2-(3,4-dimetil-2,5-dihidro-1H-pirrol-2-yl)-1-metiletilpentanoat menunjukkan secara in vitro efektif terhadap genus Aspergillus dan Candida (Dabur et al. 2005). 6,8-didec-(1Z)-enyl-5,7-dimethyl-2,3-dihydro-1H-indolizinum dari Aniba panurensis menunjukkan aktivitas terhadap galur C. albicans yang tahan terhadap anticendawan (Klausmeyer et al. 2004). Bromo-8-n -heksilberberin, turunan dari berberin, dilaporkan menjadi 32 kali lebih aktif melawan C. albicans dibanding dengan berberin (Iwasa et al. 1998). Senyawa Alkaloida lain yang juga menunjukkan aktivitas terhadap C. albicans adalah Cinnamodial dan cinnamosmolide dari Pleodendron costaricense (Treyvaud et al. 2006), 3-Metoksisampangin dari Cleistopholis patens (Liu et al. 1990).
Terpenoid dan minyak asiri
Dalam Arif et al. (2009) minyak asiri adalah metabolit sekunder yang diperkaya pada senyawa yang berdasarkan pada struktur isoprena. Terpena secara umum memiliki formula kimia C10H16, kemudian menjadi diterpena, triterpena,
tetraerpena (C20,C30,C40). Begitu juga dengan hemiterpena (C5). Mekanisme
terpena secara drastis. Beberapa senyawa terpena dan terpenoida telah dilaporkan mempunyai aktivitas anticendawan (Kumbhar dan Dewang 2001).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November–Juli 2010. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Kayu Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium Biokimia Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB
Bahan Penelitian
Media dan reagen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kaldu/agar Sabauraud Dextrose (SD B/A), albumin telur bebek, air suling sucihama, etanol 96%, kayu siwak dan larutan kumur komersial.
Rancangan Penelitian
Ekstrak etanol kayu siwak
Pembuatan ekstrak etanol kayu siwak mengikuti metode Abdelrahman et al. (2002) yang dimodifikasi. Kayu siwak diperoleh dari Saudi Arabia. Kayu siwak yang diperoleh dipotong-potong menjadi bagian yang kecil dan dihancurkan untuk mendapatkan bubuk kayu siwak. Ekstraksi kayu siwak menggunakan pelarut etanol 96%. Gambar 5 menunjukkan bentuk kayu siwak sebeluk dipotong-potong.
Gambar 5 Kayu S. persica sebelum diekstraksi.
Proses ekstraksi dilakukan dengan cara mencampurkan 50 g bubuk kayu siwak dengan 250 ml larutan pengekstrak dalam botol kering berpenutup yang sudah suci hama. Botol disimpan selama sembilan hari pada suhu kamar (25-27
o
C). Selama penyimpanan botol digoyang-goyang menggunakan penggoyang (shaker) dengan kecepatan 400 rotasi per menit. Larutan akan diganti setiap 24 jam dan supernatan yang ada disimpan dalam botol terpisah pada suhu 40-60 oC. Volume masing-masing ekstraksi dikurangi dengan cara dilakukan penguapan menggunakan evaporator pada suhu 35-38 oC dan pelarut yang tertinggal dibiarkan menguap oleh pengeringan selama 2-4 hari pada suhu kamar (25-27 oC). Hasil ekstrak kasar yang diperoleh adalah kurang lebih 5 ml. Larutan terakhir ini disimpan di tempat kering pada suhu 4 oC hingga digunakan saat pengujian.
Ketika akan digunakan untuk pengujian, ekstrak kasar ditambah 0,5% Tween 80 untuk dijadikan larutan siap pakai dengan kandungan 300 mg/ml. Larutan ini disentrifugasi 15800 g selama 20 menit pada suhu 10 oC. Supernatan disucihamakan menggunakan kertas penyaring yang berukuran pori 0,2 µm.
Larutan kumur komersial
Tiga larutan kumur komersial yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari toko swalayan. Setelah dicatat secara rinci informasi yang tertera pada label kemasan, label dilepaskan dan larutan kumur tersebut diberi identitas baru yaitu, Larutan kumur komersial I, II dan III. Larutan kumur komersial yang akan diperiksa diencerkan secara serial dari pengenceran 1:10, 1:20 sampai 1:2560 (v/v) menggunakan media kaldu SD. Kontrol negatif yang digunakan adalah media kaldu SD yang sudah ditambahkan C. albicans tanpa disertai penambahan bahan uji.
Isolat C. albicans
plastik tersebut disimpan di dalam coolbox. Air kumur dibawa ke Laboratorium Mikologi FKH IPB untuk dibiakkan pada lima cawan petri berisi media SDA padat dengan cara menggores dua öse dari masing-masing sampel. Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC di dalam inkubator selama tiga hari. Setiap koloni yang tumbuh dari masing-masing cawan petri diberi label kemudian diinkubasi pada suhu 37oC di dalam inkubator selama tiga hari dan kembali ditumbuhkan sebanyak dua kali. Koloni yang diduga C. albicans diidentifikasi menurut Al-Doory (1980). Koloni yang teridentifikasi sebagai koloni C. albicans kembali dibiakkan pada media SDA padat sebagai isolat murni. Pada penelitian ini C. albicans yang digunakan pada pengujian disetarakan dengan Mc Farland 1.
Pertumbuhan linier C. albicans
Pertumbuhan linier normal C. albicans adalah gambaran pertumbuhan C. albicans yang diukur berdasarkan jumlah koloni C. albicans sebenarnya pada media SDA terhadap nilai absorbansi pada tingkat pengenceran berbeda. Semakin tinggi nilai absorbansi maka jumlah koloni pada media tumbuh juga semakin banyak. Sebanyak 1 ml C. albicans yang sudah disetarakan dengan Mc Farland 1 ditambahkan pada tabung reaksi berisi sembilan mililiter media kaldu SD.
Gambar 6 Grafik pertumbuhan linier normal C. albicans.
Pada Gambar 6 terlihat persamaan regresi linier y=0,204x+1,2016. Persamaan tersebut menjadi persamaan baku untuk menghitung jumlah koloni C. albicans pada larutan yang akan diuji sesuai dengan nilai absorbansinya. Sebelum melakukan penghitungan jumlah koloni, kadar bahan aktif dari semua bahan uji harus diketahui terlebih dahulu. Kemudian dilakukan penghitungan persamaan regresi linier antara kadar bahan aktif dengan nilai absorbansi larutan tersebut. Nilai x pada persamaan regresi linier yang telah diketahui diganti dengan nilai kadar bahan aktif. Dengan demikian nilai y akan didapat. Barulah nilai y tersebut dimasukkan kedalam persamaan baku.
Pengujian aktivitas anticendawan
Metode pengujian aktivitas anticendawan dari ekstrak kayu Siwak mengikuti Sutter et al. (1979), AbdelRahman et al. (2002), Koselac et al. (2005), Pires et al. (2007) dan Al-Bayati dan Sulaiman (2008) yang dimodifikasi.
Sebanyak 10 µ l larutan inokulum C. albicans, dipindahkan masing-masing ke dalam tabung reaksi seperti yang sudah disiapkan di atas. Seluruh media yang telah diinokulasi C. albicans diinkubasi pada suhu 37 oC selama 72 jam. Setelah masa inkubasi dicapai, pertumbuhan koloni diukur dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 650 nm dengan tiga kali ulangan.
Analisis Statistika
Data yang dari penelitian ini akan diolah menggunakan analisis sidik ragam (analisis of varian, ANOVA) Multifaktorial. Dengan metode ini dapat diuraikan keragaman total menjadi komponen-komponen yang mengukur berbagai sumber keragaman. Diasumsikan bahwa contoh acak yang dipilih berasal dari populasi yang normal dengan ragam yang sama, kecuali bila contoh yang dipilih cukup besar, asumsi tentang distribusi normal tidak diperlukan lagi (Wibisono, 2005). Dengan menggunakan metode ini akan mudah mengetahui apakah terdapat perbedaan yang berbeda nyata atau tidak dari beberapa nilai rata-rata contoh yang diselidiki, sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan menerima hipotesis nol atau menerima hipotesis alternatifnya.
Untuk mengetahui suatu hipotesis nol itu valid atau tidak, perlu kita uji ada tidaknya perbedaan nilai rata-rata dari seluruh contoh.
H0 : μ1 = μ2 = … = μr menyatakan bahwa beberapa nilai rata-rata contoh memiliki nilai parameter populasi yang sama. Jika pernyataan ini terpenuhi, maka rata-rata populasi untuk berbagai macam contoh berasal dari satu macam populasi atau dari populasi yang sama pula.
H1 : μ1 ≠ μ2 ≠ … ≠ μr menyatakan bahwa setidaknya ada nilai rata-rata contoh yang diperoleh dari populasi tertentu memiliki rata-rata yang berbeda untuk suatu i≠j. Menurut ini, perbedaan antara beberapa contoh sangat signifikan.
Selanjutnya adalah mencari nilai ragam populasi σ2
F = ragam antar kelompok/ragam dalam contoh = (n s2/x) / s 2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi C. albicans
Koloni yang diduga C. albicans hanya tumbuh pada sampel dengan kode ARS 3. Untuk memastikan bahwa koloni tersebut benar-benar C. albicans, harus dilakuakn uji tabung kecambah dan uji asimilasi sukrosa. Uji tabung kecambah dilakukan pada isolat ini dengan cara membiakkannya pada media albumin telur bebek dan diinkubasi selama tiga jam pada suhu 37 oC.
Di akhir masa inkubasi, cendawan membentuk tabung kecambah seperti yang terlihat pada Gambar 7(a). Untuk memastikan koloni tersebut memang koloni C. albicans atau bukan, maka dilakukan uji biokimiawi berupa uji asimilasi sukrosa. Seperti ditunjukkan Gambar 7(b) hasil positif diperoleh dari uji tersebut karena terlihat adanya pertumbuhan koloni cendawan. Berarti bisa dipastikan bahwa koloni yang diuji adalah koloni C. albicans.
(a) (b)
Pengujian Aktivitas Anticendawan
Hasil pengujian aktivitas anticendawan ekstrak etanol kayu siwak dan beberapa larutan kumur komersial dalam menghambat pertumbuhan C. albicans seperti ditunjukkan Tabel 2 dan Gambar 8 di bawah ini. Penghambatan pertumbuhan C. albicans terbesar dihasilkan oleh larutan kumur komersial I pada pengenceran 1:10. Demikian juga penghambatan terendah dihasilkan oleh larutan kumur komersial I pada pengenceran 1:2560. Seperti terlihat pada Tabel 2, penghambatan jumlah C. albicans oleh ekstrak etanol kayu siwak bila dibandingkan dengan ketiga larutan kumur komersial sangat rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh pencemaran pada saat penggilingan kayu siwak, pemilihan pelarut dan pencemaran kayu siwak pada saat ekstraksi dan pemilihan metode pengujian anticendawan yang tidak tepat. Pemilihan metode pengujian yang tidak tepat bisa disebabkan oleh tidak adanya baku mutu dan panduan fraksinasi bahan bioaktif pada proses ekstraksi kayu siwak (Al-Bayati dan Sulaiman 2008)
Tabel 2 Logaritma jumlah C. albicans terhadap perlakuan beberapa kandungan larutan siwak dan kumur komersial.
Pengenceran bahan uji
Populasi khamir yang dipengaruhi bahan uji (CFU/ml)
Siwak I II III
Kontrol negatif 2,062a 2,062a 2,062a 2,062a
1:10 0,690b+0,675 -5,504h+0,466 -2,660g+0,790 -4,678h+0,392
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
kayu siwak tidak berpengaruh terhadap penghambatan jumlah C. albicans. Ekstrak etanol kayu siwak juga menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan tiga larutan kumur komersial yang telah diuji. Dapat disimpulkan bahan uji yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan C. albicans pada penelitian ini adalah larutan kumur komersial III seperti ditunjukkan Gambar 8.
Gambar 8 Interaksi antara pengaruh kadar bahan uji dan bahan uji terhadap logaritma pertumbuhan jumlah C. albicans.
Pada penelitian ini pelarut yang digunakan dalam ekstraksi adalah etanol. Menurut Cowan (1999) ekstraksi yang menggunakan pelarut etanol akan menarik bahan aktif tanin, polifenol, poliasetilen, flavonol, terpenoida, sterol, alkaloida, dan propolis. Dari bahan aktif tersebut, kayu siwak mengandung tanin, flavonol, terpenoid, sterol dan alkaloid (Ahmed et al. 2008; Al-Bayati dan Sulaiman 2008; Al-Sadhan dan Almas 1999)
Tanin termasuk kedalam kelompok fenol polimerik. Tanin terbentuk dari proses kondensasi turunan flavan yang disalurkan ke jaringan kayu tumbuhan. Tanin yang dikandung kayu siwak mampu menghambat C. albicans dengan cara membentuk kompleks irreversible dengan prolin kaya protein untuk menghambat penempelan C. albicans (Abo Al-Samh dan Al-Bagieh 1996). Tanin juga bisa merangsang sel fagosit dan menginaktivasi adhesins dan enzim (Cowan 1999). Hal ini sangat berguna untuk melawan C. albicans karena mekanisme penetrasi C. albicans pada jaringan inang adalah mengekresikan beragam enzim proteolitik dan lipolitik, diantaranya lipase, fosfolipase B dan proteinase aspartil tersekresi (secreted aspartyl proteinase, SAP) (Yordanov et al. 2008).
Flavonol merupakan struktur fenol yang mengandung satu gugus karbonil ditambah dengan gugus 3-hidroksil. Flavonol akan dihasilkan oleh tumbuhan ketika adanya infeksi mikroba. Oleh karena itu, pada penelitian-penelitian in vitro flavonol menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik. Menurut Cowan (1999), mekanisme kerja flvonol adalah menganggu membran dinding sel cendawan, membentuk kompleks dengan reseptor yang ada di ekstrasel dan membentuk kompleks dengan protein terlarut.
Alkaloida adalah senyawa nitrogen heterosiklik. Kayu siwak telah diketahui mengandung senyawa alkaloida berupa salvadorin (Al Bayati dan Sulaiman 2008). Akan tetapi belum diketahui secara pasti mekanisme kerja salvadorin untuk melawan infeksi cendawan. Secara umum kelompok alkaloida memiliki kemampuan interkalasi dengan DNA cendawan (Cowan 1999). Interkalasi adalah proses pemasukan reversible satu molekul atau lebih ke dalam dua molekul atau lebih lainnya.
glukosa ke dalam sel (Satari 1990). Hal ini terjadi dikarenakan fluorida mendenaturasi protein dan menginaktifkan enzim pada membran sel sehingga metabolisme cendawan terganggu. Penelitian terkini mengenai fluorida menyatakan bahwa fluorida memiliki aktivitas anticendawan pada kandungan 10-20 mg/ml (Ates et al. 2005).
Larutan Kumur komersial II mengandung alkohol. Mekanisme kerja alkohol adalah mengontrol produksi biofilm oleh mikroba mulut. Biofilm akan menghasilkan asam, endotoksin dan antigen, yang ketiga zat ini sangat berpotensial untuk merusak gigi dan jaringan penunjangnya (Segundo et al. 2007). Alkohol bisa digunakan sebagai terapi pelengkap setelah dilakukan pemindahan biofilm secara mekanis oleh dokter gigi atau digunakan setelah menyikat gigi. Struktur konfigurasi bipolar alkohol berperan dalam melarutkan komponen hidrofobik dan hidrofilik pada sel cendawan (Haq 2009). Penggunaan larutan kumur komersial yang mengandung kadar alkohol tinggi harus dihindari karena telah terbukti alkohol dapat menyebabkan lesio hiperkeratostosik baik pada manusia maupun pada hewan laboratorium (Carretero et al. 2004).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa ekstrak etanol kayu siwak memiliki aktivitas anticendawan terhadap C. albicans, akan tetapi aktivitas anticendawan yang dihasilkan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan larutan kumur komersial.
Saran
Dengan sejumlah kendala yang dihadapi dalam penelitian, maka beberapa saran diajukan untuk memperbaiki penelitian-penelitian sejenis di masa
mendatang, diantaranya
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang membandingkan ekstrak kayu siwak dengan berbagai pelarut dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas anticendawan yang paling efektif.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pemurnian bahan bioaktif yang terdapat dalam kayu Siwak dengan tujuan untuk mendapatkan komponen bioaktif yang paling efektif sebagai anticendawan alternatif. 3. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh pensucihamaan kayu
DAFTAR PUSTAKA
Abdelrahman HF, Skaug N, Francis GW. 2002. In vitro antimicrobial effects of crude miswak extracts on oral pathogens. Saudi Dental J 14(1):26-32.
Abo Al-Samh D, Al-Bagieh N. 1996. A study of antibacterial activity of the miswak extract in vitro. Biomed Lett 53: 225-238.
Ahmed SS, El-Gengaihi SEE, El-Sayed Ibrahim M, Schnug E. 2008. Preliminary phytochemical and propagation trial with Salvadora persica L. Agric Forestry Res 58:135-138.
Al-Bagieh NH, Idowu A, Salako O. 1994. Effect of aqueous extract of miswak on the in vitro growth of C. albicans.Microbios 80:107-113.
Al-Bayati FA, Sulaiman KD. 2008. In vitro antimicrobial activity of Salvadora persica L. extracts against some isolated oral pathogens in Iraq. Turk J Bio 32:57-62.
Al-Doory Y. 1980. Laboratory Medical Mycology. Philadelphia: Lea & Febiger. 410 p.
Al-Sabawi NAK, Abdal AK, Taha MY. 2007. The antimicrobial activity of Salvadora persica solution (miswak-siwak) as root canal irrigant (a comparative study). J Pure Appl Sci 4(3):69-91.
Ahariz M, Cortois P. 2010. C. albicans susceptibility to lactoperoxidase-generated hypoiodite. Clin, Cosmetic and Invest Dent 2:69–78.
Al-Lafi T, Ababneh H. 1995. The effect of the extract of the miswak (chewing sticks) used in Jordan and the Middle East on oral bacteria. Int Dent J 45(3):218-22.
Alali F, Al-Lafi T. 2002. GC-MS analysis and bioactivity testing of the volatile oil from the leaves of the toothbrush tree Salvadora persica L. Nat Prod Res 17(3):189-194.
Almas K, Al-Bagieh N, Akpata ES. 1997. In vitro antibacterial effect of freshly cut and 1-month-old miswak extracts. Biomed Lett 56:145- 149.
Almas K, Al-Bagieh N. 1999. Antimicrobial effects of bark and pulp extracts of miswak (Salvadora persica). Biomed Lett 60:71-75.
Ates M, Akdeniz BG, Sen BH. 2005. The effect of calcium chelatingor binding agents on C. albicans. Oral Surg 100:626-630.
Al-Sadhan, Almas K. 1999. Miswak (chewing stick): a cultural and scientific heritage. Saudi Dent J 11(2):80-87.
Belhouchet Z, Sautour M, Miyamoto T, Lacaille-Dubois MA. 2008. Steroidal saponins from the roots of Smilax aspera subsp. mauritanica. Chem Pharm Bull (Tokyo) 56(9):1324-1327.
Berman J, Sudbery PE. 2002. C. albicans: a molecular revolution built on lesson from budding yeast. Nat Rev Genet 3:918-930.
Calderone RA. 2002. Taxonomy and Biology of Candida. Di dalam: Calderone RA, editor. Candida and Candidiasis. Washington: ASM Pr. 464p.
Cannon RD et al. 2009. Efflux-mediated antifungal drug resistance. Clin Microbiol Rev 22(2):291–321.
Carretero PMA, Espara GGC, Figuero RE, Carrero LR. 2004. Alcohol-containing mouthwashes and oral cancer. Critical analysis of literature. Med Oral 9:116–123.
Chaurasia SC and Vyas KK. 1977. In vitro effect of some volatile oil against Phytophthora parasitica var. piperina. J Res Indian Med Yoga Homeopath 24-26.
Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clin Micrbiol Rev 12(4):564-582.
Dabur R et al. 2005. An vitro antifungal activity of 2-(3,4-dimethyl-2,5-dihydro-1H-pyrrol-2-yl)-1-methylethyl pentanoate, a dihydropyrrole derivative. J Med Microbiol 54:549-552.
Darout IA, Christy AA, Skaug N, Egeberg PK. 2000. Identification and quantification of some potentially antimicrobial anionic components in miswak extract. Indian J Pharmacol 32:11-14.
.
Dharmaratne HR, Piyasena KG, Tennakoon SB. 2005. A geranylated biphenyl derivative from Garcinia malvgostana. Nat Prod Res 19(3):239-243.
Effendi I. 1990. The strategic development of dental health program for the elderly. Di dalam: Scientific paperbook of Symposium of Geriatric Dentistry, Faculty of Dentistry, Mahasaraswati University; Denpasar 30-31 Jul 1990. Denpasar: Faculty of Dentistry, Mahasaraswati University.
Ferreira MJU, Duarte N, Kołaczkowski M, Michalak K. 2006. Antifungal and multidrug resistance modulatory effects of diterpenic and phenolic compounds Planta Med 23:72-77.
Finlayson TL, Williams DR, Siefert K, Jackson JS, Nowjack-Raymer R. 2010. Oral health disparities and psychosocial correlates of self-related oral health in the national survey of american life. Am J Publ Health 100:S246-S255.
Gazi M, Saini T, Ashri N, Lambourne A. 1990. Miswak chewing stick versus conventional toothbrush as an oral hygiene aid. Clin Prev Dent 12(4): 19-23.
Haq MW, Batool M, Ahsan SH, Qureshi RN. 2009. Alcohol use in mouthwash and possible oral health concerns. J Pak Med Assoc 59(3):186-190.
Haraguchi H et al. 1996. Aluirria galanga and the competition for incorporation of unsaturated fatty acids in cell growth. Planta Med 62:308-313.
Heitman J. 2006. Molecular Principles of Fungal Pathogenesis. Washington DC : ASM Pr. 684p.
Iwasa K, Lee DU, Kang SI, Wiegrebe W. 1998. Antimicrobial activity of 8-alkyl- and 8-phenyl-substituted berberines and their 12-bromo derivatives. J Nat Prod 61:1150-1153.
Jung HJ et al. Antifungal effect of amentoflavone derived from Selaginella tamariscina. Arch Pharm Res 29(9):746-751.
Kavanagh K. 2005. Fungi Biology and Application. England : Wiley. 267p.
Khalessi AM, Pack ARC, Thomson WM, Tompkins GR. 2004. An in vivo study of the plaque control efficacy of PersicaTM: a commercially available herbal mouthwash containing extracts of Salvadora persica. Int Dent J 54:279–283.
Klausmeyer P, Chmurny GN, McCloud TG, Tucker KD, Shoemaker RH. 2004. A novel antimicrobial indolizinium alkaloid from Aniba panurensis. J Nat Prod 67(10):1732-5.
Koselac I, Pepeljnjak S, Kustrak D. 2005. Anticendawan activity of fluid extract
Lewis WH, Elvin-Lewis MPF. 1977. The use of chewing sticks in preventive oral hygiene oral hygiene. Clin Prev Dent 5:11-14.
Lewis WH, Elvin-Lewis MPF 1995. Medicinal plants as sources of new therapeutics. AnnMoBotGard. 82:16-24.
Liu SC, Oguntimein B, Hufford CD, Clark AM. 1990. 3-Methoxysampangine, a novel antifungal copyrine alkaloid from Cleistopholis patens. Antimicrob Agents Chemother 34(4):529-533.
Meng C, Hu YF, Chen JH, Tan RX. 2001. Antifungal highly oxygenated guaianolides and other constituents from Ajania fruticulosa. Phytochemistry 58(7):1141-1145.
Ndungu FL, Kaimenyi JT, Arneberg P, and Muthami LN. 1990. A comparative-study of the efficacy of plaque control by a chewing stick and a tooth brush. East African Medic J 67(12):907-911.
Ozçelik B, Orhan I, Toker G. Antiviral and antimicrobial assessment of some selected flavonoids. ZNaturforsch C 61(9-10):632-638.
Pappas PG et al. 2004. Guidelines for treatment of candidiasis. Clin Infect Dis 38:161-189.
Pires JR, Junior CR, Pizzolitto AC. 2007. In vitro antimicrobial efficiency of a mouthwash containing triclosan/gantrez and sodium bicarbonate. Braz Oral Res 21(4): 342-347.
Quinn PJ. 1994. Clinical Veterinary Microbiology. Missouri: Mosby. 684p
Saadabi AMA. 2006. Anticendawan activity of some Saudi plants used in traditional medicine. Asian J Plant Sci 5(5):907-909.
Satari HM. 1990. Pengaruh larutan Natrium Florida terhadap Streptococcus mutans dalam upaya pencegahan karies [Tesis]. Bandung: Fakultas Kedokteran Gigi,Universitas Padjadjaran.
Schultes RE. 1978. The kingdom of plants, in Medicines from the Earth. Thomson WAR, editor. New York: McGraw-Hill Book Co. 208p.
Segundo AS, Hennemman C, Fontanella VR, Rösing CK. 2007. The role 3. of psychoneuroimmune interactions in the pathogenesis of ligature-induced periodontal disease in Wistar rats. J Int Acad Periodontol 9:26-31.
Sher H, Al Yemeni MN, Masrahi YS, Shah AH. 2010. Ethnomedicinal and ethnoecological evaluation of Salvadora persica L.: a threatened medicinal plant in Arabian peninsula. J Med Plant Res 4(12):1209-1215.
Shibl Y, Hammouda A, Molokhia A, Al-Shora H. 1985. Antibacterial and antimicrobial activities of various extracts of Salvadora persica [abstrak]. Di dalam: Third Saudi Dental Meeting.
Sutter VL, Barry AL, Wilkins TD, Zabransky RJ. 1979. Collaborative evaluation of a proposed reference dilution method of susceptibility testing of anaerobic bacteria. Antimicrob Agents Chem 16(4): 495-502.
Tjitrosoepomo G. 1998. Taksonomi Tumbuhan 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 265hal.
Treyvaud AV et al. 2006. Phytochemistry and antifungal properties of the newly discovered tree Pleodendron costaricense. J Nat Prod 69(7):1005-1009.
Wibisono Y. 2005. Metode Statistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 728hal.
Wikipedia. 2010. Salvadora persica. [terhubung berkala]. http://en.wikipedia.org/wiki/File:Salvadora_persica.jpg. [24 Okt 2010].
[WHO] World Health Organization. 1987. Prevention of oral diseases. Geneva: WHO.
Yarrow D, Meyer SA. 1978. Proposal for amendment of the diagnosis of the genus Candida Berkhout nom. cons. Int J Syst Bacteriol 28:611-615.
Yordanov M, Dimitrova P, Patkar S, Saso L, Ivanovska N. 2008. Inhibition of Candida albicans extracellular enzyme activity by selected natural substances and their application in Candida infection. Can J Microbiol 54:435-440.
Lampiran 1 Gambar koloni cendawan pada SDA dari semua sampel
ARS MJD
CAT ADT
W
CAT1, CAT2, W1 W2, ADT1, MJD4
ARS1, ARS2, ARS3, ARS4, MJD1, MJD 2
W1, CAT1, CAT2
W2, MJD4, ADT1 CAT1, CAT2, W1, MJD2
Lampiran 2 Hasil analisis statistika menggunakan perangkat lunak SAS
The SAS System
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
interaksi 36 beta1 beta2 beta3 beta4 beta5 beta6 beta7 beta8 beta9 list1 list2 list3 list4 list5 list6 list7 list8 list9 siwak1 siwak2 siwak3 siwak4 siwak5 siwak6 siwak7 siwak8 siwak9 total1 total2 total3 total4 total5 total6 total7 total8 total9
Number of Observations Read 108
The SAS System
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Source DF Sum of
Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model 35 33.12476735 0.94642192 99.60 <.0001
Error 72 0.68417898 0.00950249
Corrected Total
107 33.80894633
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.979763 4.164171 0.097481 2.340939
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
interaksi 35 33.12476735 0.94642192 99.60 <.0001
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
The SAS System
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 72
Error Mean Square 0.009502
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N interaksi
A 1.3894 3 total9
A
A 1.3623 3 total8
A
A 1.3083 3 total7
A
A 1.2001 3 total6
A
A 0.9839 3 total5
A
A 0.9347 3 siwak1
A
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N interaksi
A
A 0.7507 3 siwak3
A
A 0.7200 3 siwak4
A
A 0.7047 3 siwak5
A
A 0.6970 3 siwak6
A
A 0.6932 3 siwak7
A
A 0.6912 3 siwak8
A
A 0.6903 3 siwak9
A
B A 0.5513 3 total4
B
B C -0.2653 3 list9
B C
B C -0.2747 3 list8
B C
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N interaksi
C
C -0.3138 3 total3
C
C -0.3310 3 list6
C
C -0.4062 3 list5
C
C -0.5565 3 list4
C
D C -0.8571 3 list3
D
D E -1.4584 3 list2
E
F E -2.0440 3 total2
F
F -2.6609 3 list1
G -4.6113 3 beta1
G
G -4.6450 3 beta2
G
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N interaksi
G
G -4.6703 3 beta4
G
G -4.6745 3 beta5
G
G -4.6766 3 beta6
G
G -4.6776 3 beta7
G
G -4.6782 3 beta8
G
G -4.6784 3 beta9
G
RIHANSYAH. In vitro Antifungal Activity of Siwak (Salvadora persica) Ethanol Extract and Commercial Mouthwash to Candida albicans. Under direction of EKO S. PRIBADI and HUDA S. DARUSMAN.
The aim of this study were to investigate the antifungal activity and the effect of siwak ethanol extract in comparison with commercial mouthwash on inhibition of C. albicans growth during in vitro condition. Mouthwash #1 is containing alcohol, Mouthwash #2 is containing fluoride, and Mouthwash #3 is containing povidone iodine. Siwak extracts showed the different results to control significantly, but the effects were not depending on their concentration. The concentration of siwak extract showed no effect on C. albicans growth. The antifungal effect of siwak extract was less than other commercial mouthwash for all extract concentrations.
RIHANSYAH. Aktivitas Anticendawan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica) dan Larutan Kumur Komersial terhadap Candida albicans secara in vitro. Dibimbing oleh EKO S. PRIBADI dan HUDA S. DARUSMAN.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas anticendawan dan pengaruh ekstrak etanol kayu siwak dibandingkan dengan obat kumur komersial terhadap penghambatan pertumbuhan C. albicans dalam kondisi in vitro. Larutan kumur #1 mengandung alkohol, larutan kumur #2 mengandung fluorida, dan larutan kumur #3 mengandung povidon iodium. Ekstrak etanol kayu siwak menunjukkan hasil yang berbeda nyata, tetapi perbedaan kadar tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Kadar ekstrak etanol kayu siwak yang diuji tidak menunjukkan pengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan C. albicans. Efek anticendawan dari ekstrak etanol kayu siwak lebih rendah dari larutan kumur komersial lainnya untuk semua kadar.
Latar Belakang
Status kesehatan mulut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan masyarakat dan genetik. Bagi negara berkembang faktor yang paling berpengaruh adalah perilaku (Effendi 1990). Faktor lain yang mempengaruhi kesehatan mulut menurut Finlayson et al. (2010) adalah faktor psikososial berupa tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah serta status sebagai ras minoritas dalam suatu negara. Tetapi tidak ditemukan bahwa ras sebagai faktor pemicu status kesehatan mulut yang buruk.
Selain bakteri, cendawan sebagai salah satu mikroorganisme yang sering dijumpai pada rongga mulut sangat memiliki peran penting dalam kesehatan mulut. Cendawan telah diketahui bisa menyebabkan infeksi membran mukosa rongga mulut. Lebih parah lagi, apabila cendawan melakukan penetrasi terhadap inang yang mengalami luluh imun, akan menyebabkan infeksi cendawan invasif (Cannon et al. 2009). Oleh karena itu, peran anticendawan sangat penting dalam menanggulangi infeksi cendawan ini.
Fenomena ketahanan cendawan terhadap obat anticendawan semakin meningkat akibat penggunaan obat anticendawan buatan. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya kelompok obat anticendawan yang membuat pilihan dokter dalam mengobati pasien sangat terbatas. Tidak seperti obat antibakteri yang memiliki lebih banyak pilihan karena beragamnya kelompok antibakteri yang ada. Sebagai contoh, penggunaan kelompok azola untuk mengobati infeksi cendawan. Obat ini sering digunakan karena penggunaannya yang mudah dan memiliki sedikit efek samping. Namun, hal ini telah memicu terjadinya ketahanan cendawan terhadap kelompok azola, yang terutama disebabkan oleh mekanisme modifikasi dari pompa efluks pada membran plasma (Cannon et al. 2009).
flavonoid dan senyawa lainnya yang telah dilaporkan mempunyai aktivitas anticendawan (Arif et al. 2009). Salah satu tumbuhan yang memiliki kemampuan sebagaimana dijelaskan di atas adalah siwak (Salvadora persica).
Pemakaian kayu siwak dalam menjaga kebersihan mulut telah dikenal manusia sejak berabad-abad lalu, terutama oleh bangsa Arab yang hingga kini masih menggunakannya sebagai alat kebersihan mulut selain sikat gigi dan pasta gigi. Faktor sosial dan agama diduga menjadi pendorong utama penggunaan kayu siwak, terutama bagi masyarakat muslim. Suatu studi yang membandingkan pengobatan periodontal (jaringan ikat penyanggan akar gigi) yang dilakukan terhadap pengguna siwak dengan bukan pengguna siwak menunjukkan bahwa masyarakat pengguna siwak memiliki tingkat pengobatan periodontal yang lebih rendah dibandingkan masyarakat bukan pengguna siwak (Al-Lafi dan Ababneh 1995), artinya kesehatan mulut dan gigi pengguna siwak lebih baik dibanding dengan yang bukan pengguna siwak. Siwak juga terbukti secara ilmiah dapat mencegah pembusukan gigi walaupun tanpa disertai tindakan pembersihan gigi lain (Al-Bayati dan Sulaiman 2008)
Menurut survei yang dilakukan Ndungu et al. (1990) tentang kemanjuran kayu siwak dibandingkan sikat gigi modern, memperlihatkan bahwa keefektifan kayu siwak setara dengan sikat gigi dalam menghambat plak gigi pada pasien dengan plak gigi yang moderat. Gazi et al. (1990) melaporkan bahwa apabila kayu siwak digunakan sebanyak lima kali dalam satu hari dapat menjadi alternatif dalam mengurangi plak.
Candida albicans adalah khamir yang komensal (normal) terdapat pada mukosa mulut, saluran pencernaan dan vagina. Namun, khamir ini bisa menjadi masalah bila fase pertumbuhannya berubah dari fase khamir ke fase kapang ketika berada di membran mukosa inang. Kejadian ini biasa disebut kandidiasis. Banyak faktor yang bisa menyebabkan C. albicans menjadi mikroba patogen, yaitu suhu yang optimal (37 oC), adanya serum, pH lingkungan yang tinggi dan sumber karbon yang memadai (Berman dan Sudbery 2002). C. albicans bisa menyebabkan infeksi serius terhadap mukosa mulut dan bisa menyebar dengan mudah apabila pasien dalam kondisi yang tidak sehat. Kandidiasis orofaring yang parah banyak dijumpai pada hampir seluruh pasien AIDS, transplantasi organ dan terapi antiradang golongan steroid (Klein et al. 1984) dan juga menyebabkan gastrointestinal kandidiasis yang parah pada pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi atau terapi immunosupresan dosis tinggi (Pappas et al. 2004).
Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan:
(1) Apakah ekstrak etanol kayu siwak memiliki sifat anticendawan terhadap C. albicans yang diperoleh dari mulut?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat anticendawan ekstrak etanol kayu siwak terhadap C. albicans yang diperoleh dari mulut dan efektifitas ekstrak etanol kayu siwak dengan larutan kumur komersial yang beredar di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan muncul suatu keyakinan bahwa ekstrak etanol kayu siwak bisa digunakan sebagai anticendawan terhadap C. albicans yang terdapat di dalam mulut dan sebagai alternatif larutan kumur yang sudah ada di Indonesia.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Pertama,
H0 : Ekstrak etanol kayu siwak memiliki sifat anticendawan terhadap
pertumbuhan C. albicans.
H1 : Ekstrak etanol kayu siwak tidak memiliki sifat anticendawan terhadap pertumbuhan C. albicans.
Kedua,
H0 : Efektifitas anticendawan ekstrak etanol kayu siwak setara dengan larutan
kumur komersial terhadap pertumbuhan C. albicans.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Tanaman Siwak
Klasifikasi tanaman Salvadora persica di dalam Tjitrosoepomo (1998) adalah
Divisio : Embryophyta Sub Divisio : Spermatophyta Class : Dicotyledons Sub Class : Eudicotiledons Ordo : Brassicales Family : Salvadoraceae Genus : Salvadora Spesies : S. persica Linn
Karakteristik S. persica dan Habitatnya
Menurut Sher et al. (2010), S. persica adalah tumbuhan halofit yang selalu berdaun hijau yang bisa hidup dilingkungan yang ekstrim, mulai dari lingkungan yang sangat kering sampai dengan lingkungan yang berkadar garam tanah yang sangat tinggi. Tumbuhan ini berupa semak belukar seperti ditunjukkan Gambar 1 dengan tinggi maksimum tujuh meter.
Gambar 1 Kawanan unta yang sedang memakan daun S. persica.
Dalam Sher et al. (2010) dijelaskan bahwa batang utama S. persica diselimuti oleh cabang-cabang yang sangat lebat. Pertumbuhan tanaman ini menuju ke segala arah, sampai cabang-cabangnya menyentuh tanah. Daunnya berbentuk oblongelliptik (seperti telur) sampai bulat dengan ukuran 3x7 cm, berwarna hijau gelap, agak tebal, bagian apeksnya meruncing sampai membulat, mengecil tajam, bagian basis umumnya menyempit, terdapat batas daun yang jelas, petiol (tulang daun) memiliki panjang sampai 10 mm, dan tersusun berlawanan berpasangan. Bunga berwarna kehijauan sampai kekuningan, sangat kecil, mudah lepas dari batang dan terdapat mulai dari bagian aksial sampai ujung panikel (batang dengan cabang bunga yang banyak) sepanjang 10 cm. Buah berbentuk bola, berdaging, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna merah muda sampai ungu dan semi transparan ketika sudah matang. Gambar 2 menunjukkan bentuk batang, daun, bunga dan buah bisa S. persica.
Gambar 2 Bentuk batang, daun, bunga dan buah S. persica.
Sumber: Wikipedia (2010).
Kandungan Bahan Bioaktif S. persica
S. persica mengandung glikosida, sterol, terpenoid, flavonoid, tanin, alkaloid, natrium klorida, kalium klorida, sulfat, nitrat, tiosianat, salvadorin, saponin, tanin, vitamin C, silika, resin, sianogenik atau lignan glikosida, oleat, linoleat, asam stearat, benzil-isotiosianat, trimetilamina, -sitosterol, asam m-anisik, kandungan mineral yang tinggi 27,6%, sulfur, fluorida yang berlimpah, garam yang mengandung klorin (Al-Sadhan dan Almas 1999; Darout et al. 2000; Ahmed et al. 2008; Al-Bayati dan Sulaiman 2008).
Aktivitas Farmakologik S. persica
S. persica memiliki kemampuan sebagai antibakteri, anticendawan, antiplasmodium, antiplak, antiperiopati, antikaries, antiradang, diuretika, antimag, antihelmin, pembersih gigi, antirematik, mengobati batuk dan asma, laksatifa, memperbaiki mukosa lambung yang rusak, meningkatkan kadar kolesterol yang rendah dalam plasma (Alali dan Al-Lafi 2002; Al-Sabawi et al. 2007; Al-Bayati dan Sulaiman 2008).
Shibl et al. (1985) telah melakukan penelitian tentang efek antimikroba ekstrak kayu siwak secara in vitro dengan menggunakan beberapa pelarut ekstraksi, yaitu eter petroleum, kloroform dan metanol terhadap bakteri Gram negatif dan positif serta cendawan. Hasil yang diperoleh menunjukkan semua jenis ekstraksi tidak berpengaruh. Namun, minyak volatil dari batang dan daun menunjukkan hasil yang meyakinkan sebagai antimikroba terhadap semua mikroba yang diuji.
yang lebih rendah. Sedangkan, kadar 50 mg/ml sama sekali tidak memiliki efek anticendawan terhadap C. albicans (Abo Al-Samh dan Al-Bagieh 1996).
Klasifikasi Khamir C. albicans
Klasifikasi C. albicans di dalam Yarrow dan Meyer (1987) adalah Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota Subphylum : Saccharomycotina Class : Saccharomycetes Order : Saccharomycetales Family : Saccharomycetaceae (Calderone 2002). Habitat alami C. albicans adalah di daerah mukokutaneus dan alat kelamin baik pada manusia maupun hewan (Quinn 1994). Morfologinya dicirikan dengan bentuk dimorfik (memiliki dua bentuk yang berbeda pada satu individu) yang merupakan salah satu parameter dalam mendiagnosa infeksi yang diakibatkan oleh khamir ini. Bentuk khamir C. albicans bersifat komensal pada inang, sedangkan bentuk kapangnya ditemukan pada saat terjadi infeksi.
memanjang (Calderone 2002). Bentuk psudohifa dan hifa menjadi penciri untuk mengidentifikasi Candida sp. dan juga berguna untuk diagnosis kandidiasis (Heitman 2006).
Gambar 3 Morfogenesis C. albicans.
Sumber: Berman dan Sudbery (2002).
Perubahan bentuk C. albicans dari khamir ke kapang bisa terjadi karena pengaruh berbagai macam faktor lingkungan, antara lain perubahan dari komposisi media, penambahan serum, tumbuh pada kondisi kadar CO2 yang
tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu. Suhu dan pH yang optimal bagi blatospora C. albicans berubah menjadi hifa adalah 35oC dan 6,5-7,0. Jika suhu lingkungan lebih rendah dari 35oC dan pH cenderung asam, maka C. albicans hanya akan membentuk blastospora baru (Calderone 2002). Menurut penelitian Berman dan Sudbery (2002) C. albicans yang cacat dalam kemampuannya berkecambah lebih tidak virulen, sedangkan bentuk hifa yang besar sulit dibunuh oleh sel fagosit dibandingkan blastospora.
Heitman (2006) juga menyatakan bahwa C. albicans bisa membentuk khlamidospora. Khlamidospora adalah bentuk pertahanan yang dibentuk pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, contoh khlamidospora seperti ditunjukkan Gambar 4. Khlamidospora memiliki diameter 8-12 µ m (Calderone 2002).
Blastospora
Pseudohifa
Gambar 4 Khlamidospora C. albicans.
Sumber: Quinn (1994).
Penyakit yang Disebabkan oleh C. albicans
Menurut Quinn (1994), C. albicans bisa menyebabkan beberapa penyakit pada manusia dan hewan seperti terpapar pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Penyakit yang disebabkan oleh C. albicans pada berbagai spesies.
Inang Penyakit
Ayam, kalkun, merpati, dan burung lainnya
Murai di mulut, oesofagus, dan tembolok, bisa sangat mematikan pada burung
Anak kuda Ulserasi pada abdomen
Kuda jantan dan betina dewasa Infeksi alat kelamin
Anak sapi Kandidiasis pneumonia, enterika dan
sistemik
Sapi betina Mastitis dari derajat ringan sampai
sedang
Anak kucing dan anak anjing Mikotik stomatitis
Anak kucing Enteritis
Anjing betina Infeksi saluran kelamin
Anjing jantan Infeksi sistemik pada otot, tulang, kulit
Kucing Piotoraks
Primata dan mamalia air Kandidiasis mukokutaneus
Manusia Stomatitis mikotik pada bayi
Infeksi kuku
Infeksi saluran kelamin, kulit, paru-paru dan oragan lainnya
Senyawa Anticendawan yang Berasal dari Tumbuhan
Tumbuhan telah menjadi sumber senyawa bioaktif yang sangat beragam, baik dalam bentuk bahan mentah maupun senyawa yang sudah dimurnikan untuk mengobati berbagai penyakit. Beberapa senyawa bioaktif yang telah dikenali terpapar di bawah ini
Blastospora Khlamidospora
Fenol
Lokasi dan beberapa gugus hidroksil pada fenol berhubungan dengan kemampuan tumbuhan menghasilkan zat toksik terhadap mikroorganisme, termasuk penghambatan enzim oleh senyawa teroksidasi yang berasal dari gugus sulfhidril atau interaksi nonspesifik dengan protein. Senyawa yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah tanin dan asam salisilat (Schultes 1978).
Flavonoid
Flavon adalah struktur fenolik yang mengandung satu gugus karbon dan tambahan gugus 3-hidroksil yang membentuk flavonol. Diantara senyawa flavonoida yang telah dilaporkan memiliki efek anticendawan adalah amentoflavon (Lewis dan Elvin-Lewis 1995); eumatenoid-3, eupomatenoid-5 (Schultes 1978); conocarpan (Ferreira et al. 2006); orientin (Dharmaratne et al. 2005); 2-hydroxy maackiain (Jung et al. 2006). Turunan flavonoida seperti scandenone, tiliroside, quercetin-3,7-O-α-L-dirhamnoside dan kaempferol-3,7-O -α-L-dirhamnoside juga dilaporkan memiliki aktivitas anticendawan terhadap C. albicans dan pada kadar 1,0 µg/ml sama potensialnya dengan ketokonazol (Ozçelik et al. 2006).
Saponin