• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pernikahan dini di Kecamatan Limo Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pernikahan dini di Kecamatan Limo Depok"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi Salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SARI EKA LESTARI PUTRI 107044102579

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SAYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi Salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh

SARI EKA LESTARI PUTRI 107044102579

Dibawah Bimbingan

Drs. H. A. Basiq Djalil. SH., MA NIP. 195003061976031001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SAYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)

diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 22 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH., MA (...) NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA (...) NIP. 196906102003122001

3. Pembimbing : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH., MA (...) NIP. 195003061976031001

4. Penguji I : Dr. Syahrul A'dam M.Ag (...) NIP. 197305042000312002

(4)

i

Segala puji, dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah dan rahmatnya dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan Nabi SAW, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang Islam yang selalu mengikuti hingga akhir zaman.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terimakasih kepada bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., MA., selaku ketua Jurusan Prodi SAS sekaligus Dosen Pembimbing skripsi, dan Hj. Rosdiana, MA, selaku sekretaris Jurusan SAS yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(5)

ii

atas bantuan kalian terutama dari segi keuangan, dan dukungan kalian yang tidak terlupakan. Terima kasih juga atas doa dan pengorbanan kalian yang tidak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu sehingga penulis menyelesaikan belajar disini dengan selamat dan sempurna. Semoga Allah SWT menempatkan kalian ditempat orang-orang yang sholeh dan mulia. Tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan sebuah kejayaan.

5. Keluarga tercinta yang senantiasa memberi motivasi dan dukungan kepada penulis Nenek Tercinta dan Teh Linda, yang tulus telah mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan ini, Seluruh sepupu ku yang telah menghibur dengan senyuman manis dan canda tawanya.

6. Sahabat-sahabat penulis, Yossi Febrina, Nurul Hikmah, Andini Hafidzotun Nida, Ade Uswatul Jamiliyah, segenap teman-teman penulis yang selalu membantu dan memberikan motivasi.

7. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2007 khususnya kelas A

(6)

iii

Kepada Allah SWT penulis memohon dan mendoakan semoga jasa baik yang telah kalian sumbangkan menjadi ladang amal sholeh dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin

Ciputat, 25 Mei 2011

(7)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

D. Metode Penelitian... 13

BAB II PERNIKAHAN DALAM ISLAM... 17

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan, Rukun&Syarat Pernikahan, Hukum dan Tujuan Mahar, dan Larangan Pernikahan... 17

B. Pengertian Pernikahan Dini... 35

C. Hokum menikahkan Gadis di Bawah umur ... 35

D. Batas Usia Menurut Fiqh... 37

E. Batas Usia Pernikahan dalam Peraturan Perundang-undangan.... 41

BAB III GAMBARAN LAPANGAN PENELITIAN ... 50

A. Letak Geografi... 46

B. Demografi... 47

C. Kondisi Sosial Keagamaan... 48

BAB IV LATAR BELAKANG DAN DAMPAK PERNIKAHAN DINI... 50

(8)

v

A. Kesimpulan ... 56

B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 60

1. Wawancara.

2. Surat dari Kelurahan

(9)

1

A. Latar Belakang

Allah SWT menciptakan Laki-laki dan Perempuan untuk saling mengenal dan berpasang-pasangan agar mereka cenderung satu sama lain saling menyayangi dan mencintai. Bagi umat Islam terdapat aturan untuk hidup bersama yang seperti dijelaskan dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.1

Keinginan terbesar bagi kalangan pemuda-pemudi setelah mereka merasa sudah menginjak dewasa adalah menikah. Dengan adanya perkawinan itu mereka merasa memperoleh kebebasan dan mendapatkan pasangan yang didambakan dan dapat dipercaya.

Al-Qur’an menggunakan kata “nikah” yang mempunyai makna “perkawinan, disamping secara majazi (metaphoric) diartikan dengan ‘hubungan seks”. Selain itu juga menggunakan kata yang bersala dari kata “pasangan” untuk memaknai. Hal ini di karenakan pernikahan menjadikan seseorang memiliki Pasangan.2 Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan para ahli Fiqh, namun

1 Undang-undang No.1 Tahun 1974, Departemen Agama Republik Indonesia, 2004 2 M. Quraish Shihab,

(10)

pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti kecuali pada redaksinya saja. Dalam pengertian lain, secara etimologi pengertian nikah adalah:3

1. Menurut ulama Hanafiyah nikah adalah: Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan.

2. Menurut ulama Syafi‘iyah, nikah adalah: Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan (wathi’) disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna.

3. Menurut ulama Malikiyah, nikah adalah: Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia.

4. Menurut ulama Hanabilah, nikah adalah: Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang.

Dari beberapa pengertian di atas, yang tampak adalah kebolehan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan pergaulan yang semula dilarang (yakni bersenggama). Dewasa ini, sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat pemikiran manusia, pengertiannikah (perkawinan) telah memasukkan unsur lain yang berhubungan dengan nikah maupun yang timbul akibat dari adanya perkawinan tersebut.4

Perkawinan juga merupakan jalan untuk menyaluran naluri manusia untuk memenuhi nafsu syahwatnya yang telah mendesak agar terjaga kemaluan dan

3 ‘Abd ar-Rahman Al-Jaziri,

Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-’Arba‘ah, (Beirut: Dar al Fikr, 2002), Cet. I. h. 3.

4

(11)

kehormatannya, jadi perkawinan adalah kebutuhan fitrah manusia yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Begitu pentingnya perkawinan dalam Islam, Rasulullah pun sangat menekankan perkawinan terhadap umatnya untuk melaksanakan perkawinan.

Yang ditekankan disini adalah seseorang berbuka agar mampu melaksanakan puasa, seseorang tidur agar dapat bangun malam untuk melaksanakan shalat malam, dan menikah untuk menjaga pandangan dan kemaluannya. Sehingga orang yang tidak mengikuti sunnah Nabi, bukan termasuk golongan agama Nabi karena keyakinan yang berlebihan (melebihi Nabi) dapat menimbulkan kekafiran.5

Perkawinan menurut Islam adalah aqad antara calon suami dan Istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri.6 pendapat lain tentang pengertian pernikahan, adalah proses saling menerima pengaruh, saling campur bercampur, mengikat jasmani dan rohani, dan mengumpulkan dua individu (pria dan wanita) agar menjadi pasangan.7

Islam adalah agama yang menjungjung tinggi kemuliaan. Allah telah memposisikan manusia sebagai makhluknya yang istimewa. Untuk menjaga kemulian itu, Allah dan Rosul-Nya telah mensyariatkan pernikahan sebagai cara

5 Muhammad ibn Isma’il as-San’any,

Subul as-Salam syarh-Bulug al-Maram, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), cet - III: h. 213-214.

6 Mahmud yunus,

Hukum Perkawinan dalam Islam (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1983), cet.ke-10, hal 1

7

(12)

yang mulia dan terhormat untuk menjaga kemuliaan umat manusia. Dengan Pernikahan, garis nasab (keturunan) mereka akan jelas sehingga status kemuliaannya sebagai manusia tetap terpelihara.8

Untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia diperlukan tujuan yang sama antara suami dan istri agar tercapai tujuan pernikahan yang membawa kebahagian yang sesuai dengan ajaran agama. Tujuan yang memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk membina dan melindungi keluarga serta keturunannya dari api neraka.9

Suatu hal yang nyata bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang memiliki banyak ragam adat istiadat dan budaya yang berbeda-beda pula, sebab Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Negara Indonesia adalah Negara yang banyak memiliki ragam budaya dan masing-masing memiliki karakter sendiri sendiri, sebagai suatu kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Yang salah satunya dapat kita lihat dalam tradisi pernikahan dini di desa limo kecamatan Limo kota Depok yang sampai saat ini menjadi kebiasaan bagi masyarakat tersebut.

Nikah di usia muda akan menjadi solusi praktis jarang yang bersangkutan telah terjerumus kedalam pergaulan bebas yang akhirnya masuk ke dunia sex bebas, maka tidak ada jalan lain selain nikah dini, kenapa demikian, karena kalau

8

Munawar Zaman, manajemen Cinta Pranikah menuju Nikah Penuh Berkah”Jangan Takut Married (Bandung : 2007, hal.196)

9 Syaikh Abdul Azis dan Khalid,

(13)

tidak, akan mencoreng nama baik keluarga mereka masing-masing terkhusus keluarga si wanita, yang kelihatan jelas perubahan yang terjadi pada anaknya.

Namun jika kiranya biasa menjauhi pergaulan bebas dan bisa menahan pandangan dan syahwatnya maka nikah dini bukan satu-satunya solusi untuk dilakukan karena nikah bukan memerlukan persiapan yang benar-benar matang, baik materi maupun kedewasaan dan anak yang masih belia jarang sekali yang mempunyai persiapan itu, alangkah baiknya kalau nikah dipersiapkan sedemikian rupa, dan sekiranya belum siap untuk nikah jangan terburu-buru.

Pernikahan dini merupakan hal yang positif dan bagus kalau kita sudah siap mental dan kepribadian, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang (seperti tertera sederet nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini).

Untuk membentuk keturunan yang shaleh dan shalehah, bersyukur kepada Allah, dan berkualitas adalah merupakan tanggung jawab kedua Orang tua. Oleh karena itu, dalam undang-undang perkawinan Indonesia dijelaskan bahwa apabila seseorang akan melaksanakan pernikahan harus lebih masak jiwa raganya. Kemasakan jiwa raganya ditentukan oleh umur seseorang, dimana keadaan fisik/jasmani sudah mencapai taraf kematangan.10

10 M. Daud Ali dan Habibah Daud, lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta : Grafika

(14)

Ada 6 Asas yang terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu :11

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu mencapai kesejahteraan spritual dan material.

2. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan “harus dicatat” menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari satu.

4. Undang-undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan secara baik tanpa berfikir kepada perceraian dan mendapat keturuan yang baik dan sehat.

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera maka undang-undang ini mengandung prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.

11 Ahmad Rofiq,

(15)

6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehungga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan dapat diputuskan bersama oleh suami istri.

Perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan yaitu akad yang sangat kuat. Perkawinan menurut syariat adalah akad yang menghalalkan seorang lelaki dengan seorang wanita untuk membina kehidupan berumah tangga. Tetapi jika tidak ada akad, maka akan menjadi haram.12

Perkawinan antara pria dan wanita yang masih belum baligh, atau antara pria yang sudah dewasa dengan wanita yang masih anak-anak atau sebaliknya masih berlaku pada lingkungan masyarakat adat. Karena itu banyak di beberapa daerah perkawinan anak-anak merupakan perbuatan yang tidak dilarang.13

Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan–kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia yang mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan.maka kalau di tinjau dari kacamata psikologi, Pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari sebuah musibah yang sedang mengancam kaum

12 Muhammad Zaid al-Abiyani,

Al-Ahkam as-Syakhsiyyati. (Beirut: Baghdad), Jilid. I. h. 4.

13 Hilman Hadikusuma,

(16)

remaja, tapi ia adalah motivator untuk melejitkan potensi diri dalam segala aspek positif. Namun kalau belum siap untuk nikah hendaknya diadakan persiapan yang matang terlebih dahulu dari pada malah menambah masalah setelah menikah.

Sebenarnya pernikahan dini dalam persepsi kita itu berawal dari kekhawatiran dan kecemasan yang melanda remaja Indonesia khususnya dan remaja muslim pada umumnya dengan adanya pergaulan bebas yang diakhiri dengan sex bebas dan ini semua dinahkodai oleh peradaban barat yang begitu bebas masuk ke indonesia sehingga para remaja kita terkontaminasi oleh gaya hidup mereka, disamping itu juga pelajaran agama di sekolah sangat kurang padahal setidaknya itu harapan satu-satunya yang bisa dijadikan sebagai filter bagi para remaja.

Maka nikah dini merupakan salah satu solusi yang dapat diandalkan untuk mengatasi masalah yang ada seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW: Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mencapai baah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual) (HR. Imam yang Lima).14

Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT : Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah)

14

(17)

seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. (QS An Nisaa` : 3) Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan tuntutan untukmelakukan nikah. Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti/keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib.

Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (iffah) dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syariat.15

Menurut penyelidikan para ahli sosiologi menyatakan bahwa kawin di bawah umur mendatangkan malapetaka. Anak gadis yang masih di bawah bimbingan orang tua, kini harus mengabdikan diri kepada seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Ia harus bergaul dengan suaminya, sanak keluarganya yang selama ini belum dikenalnya. Akibatnya timbulah kelainan jiwa pada anak gadis itu, membingungkan dan berat. Badan yang masih tumbuh dan membutuhkan perkembangan berikutnya, tidak diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri, kini tiba-tiba harus mendapat beban yang berat pada jiwanya.

15

(18)

Hamil dan melahirkan mungkin merupakan buah perkawinan itu. Maka calon ibu itu harus yang sudah kuat jasmani dan rohani. Bahkan bukan saja hanya mengandung, akan tetapi harus mengurus dan mendidik anak itu. Kawin di bawah umur mudah dihinggapi bahaya. Anaknya mungkin akan gugur dalam kandungan. Atau meninggal setelah beberapa menit bayi lahir ke dunia. Tidak dapat disangkal pula bahwa ibu muda itulah yang menjadi korban. Gadis yang masih muda dan penuh dengan cita-cita itu, bukan saja segala anggota tubuh yang masih muda, akan tetapi kandungan yang cukup matang, ia harus memelihara manusia baru dalam badannya.

Keterlibatan secara emosional dan kepercayaan terhadap pengalaman pribadi sering meyakinkan kita bahwa pengetahuan mengenal sosiologi keluarga adalah sesuatu yang sudah jelas karena mengenal sesuatu yang telah kita ketahui. Tetapi, banyak hal yang jelas mengenal keluarga, ternyata secara faktual tidak berdasar.

(19)

Hal itu mungkin dapat ditemukan pada ketergantungan khas sifat biologis pada hubungan peran yang ditekankan oleh kebudayaaan. Hasil penting proses sosialisassi ialah bahwa orang secara pribadi ingin melaksanakn kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan jika masyarakat dan anggota-anggotanya ingin tetap hidup. Mereka dimotivasikan untuk memperoleh berbagai macam kepuasan pribadi dengan menjalankan kewajiban.

Atas dasar permasalahan di atas permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti terhadap masyarakat yang melakukan pernikahan dini di desa limo, kel limo, kota Depok. Dan bagaimana pengaruhnya pada keharmonisan berumah Tangga.

B. Pembatasan dan Perumusan

1. Pembatasan masalah

Jika di lihat dari latar belakang masalah, ternyata permasalahan yang ada begitu luas. Agar dalam penelitian tidak terlalu melebar dan dapat terarah serta tersusun secara sistematis, maka penulis membatasi permasalahan Pernikahan Dini Di Kecamatan Limo, Kelurahan Limo, Kota Depok”.

2. Perumusan Masalah

(20)

dan melanggar Undang-undang yang berlaku di Indonesia." Hasil perumusan masalah diatas yang penulis telusuri adalah skripsi pernikahan dini di kecamatan Limo.

Rumusan tersebut penulis rinci dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut :

a. Bagaimana Latar Belakang yang mempengaruhi pernikahan dini di Desa Limo, Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, kota Depok

b. Bagaimana dampak Pernikahan Dini di Desa Limo, Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, Kota Depok

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang ada di Desa Limo, Kecamatan limo, Kota Depok, khususnya dalam masalah Pernikahan Dini. Penelitian ini diharapkan dapat menemukan jawaban untuk hal-hal berikut : 1. Untuk mengetahui Latar Belakang yang mempengaruhi Tradisi Pernikahan

Dini di Desa desa limo, kelurahan limo, kecamatan limo, kota Depok

2. Untuk mengetahui Dampak Pernikahan Dini di Desa Limo, Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, Kota Depok

(21)

D. Metode Penelitian

Dalam Penelitian Skripsi ini Penulis melakukan dua Jenis Penelitian, yaitu Penelitian Lapangan (Field Research) Dan penelitian Pustaka (Library Research).

1. Jenis Penelitian

Dalam Penelitian yang diterapkan adalah penelitian Kualitatif, yaitu memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, dan mengkaji data-data & literatur yang berkaitan dengan judul.

Strategi pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah Strategi Deskriptif analisis, yakni bertujuan untuk menggambarkan keadaan sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber Wawancara dan dari data atau dokumen tertulis. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui Sikap, Perilaku, dan Persepsi Dari Pelaku Pernikahan Dini.

2. Sumber Penelitian

(22)

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam Penelitian ini, teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa wawancara dengan menggunakan Instrumen pengumpul data, yaitu wawanvara. Wawancara disini dimaksudkan untuk memperoleh data primer dari pelaku Pernikahan Dini.

4. Analisa Data

Teknis analisa adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca & Di interpretasikan atau mudah dipahami dan di Informasikan kepada Orang lain.

5. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian pada Skripsi Ini adalah Desa Limo, Kecamatan limo. Kota Depok.

6. Review Studi Terdahulu

a. Judul Skripsi : “Pernikahan Usia Dini Terhadap pembentukan keluarga Sakinah” (Studi kasus kecamatan Rajeg, Kab Tenggerang)

Oleh : Ahmad Hidayat, SJAS 2008

Skripsi ini membahas tentang apakah pembentukan keluarga sakinah berpengaruh dengan adanya pernikahan di bawah umur.melalui study kasus di daerah kecamatan Rajeg, kab Tanggerang.

(23)

Oleh : Moh. Isnaeni, SJAS 2010

Skripsi ini membahas tentang persepsi tokoh masyarakat yang di kecamatan Cibereum kota suka bumi terhadap pernikahan di bawah umur. c. Judul skripsi :Perspektif Hukum Islam tentang Pernikahan Dini

sebagai Alternatif menghindari seks bebas (Studi Pada Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu)

Oleh : Yunihar

Skripsi ini membahas tentang Perspetif hukum Islam tentang pernikahan dini sebagai Alternatif menghindari seks bebas. Yang Penulis melakukan langsung study di kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu.

Dari ketiga skripsi di atas pada dasarnya adalah membahas tentang pernikahan yang di lakukan pada usia dini, tetapi terbedaan nya adalah kita melakukan spenelitian di tempat yang berbeda.Sedangkan Isi dari skripsi saya membahas tentang latar belakang dan dampak yang terjadi dari pernikahan Usia Dibawah Umur di kecamatan limo kota Depok.

7. Sistematika Penulisan

(24)

Pertama Merupakan pendahuluan yang berisikan latarbelakang

masalah, serta tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan atau isi dari ringkasan bab dalam penulisan skripsi ini.

Kedua Membahas tentang masalah pengertian perkawinan dalam

hukum Islam, yaitu mulai dari pengertian, dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, mahar, dan larangan-larangan perkawinan, Pernikahan Dini Menurut Fiqh dan Undang-undang.

Ketiga Membahas tentang Gambaran Lapangan Tempat Penelitian.

Keempat Latar belakang dan Dampak pernikahan Dini di kecamatan

Limo, kecamatan Limo Kota Depok,

Kelima Merupakan Penutup yang berisi Tentang kesimpulan dan

(25)

17

BAB II

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan, Rukun & Syarat Pernikahan,

Hukum dan Tujuan Mahar, Larangan-larangan Pernikahan

Nikah berasal dari kata nakaha, yankihu, nikahan yang berarti Mengumpulkan. Menurut bahasa, nikah berarti suatu ikatan (akad) perkawinan dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.1 Nikah juga berarti penggabungan dan percampuran. dan bisa juga berarti kebersamaan, berkumpul, dan menjalin ikatan antara suami istri.2 Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubunganya menjadi halal.3

Definisi nikah menurut syara’ yang dikemukakan oleh Mohammad Asmawi adalah, melakukan aqad (perjanjian) antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “Pergaulan” sebagaimana suami istri mengikuti Norma, nilai-nilai sosial dan etika agama. Aqad dalam sebuah pernikahan merupakan pengucapan ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak calon suami bisa diwakilkan.

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hal. 179 2 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musna Khalid bin Ali Al-Anbari.Penerjemah:

Musifin As’ad dan H.Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya. (Jakarta : Pustaka Al-kautsar), hal.17

3 Syaikh Hasan Ayyub, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar

(26)

Dalam kehidupan ini, semua makhluk hidup baik manusia, binatang atapun tumbuh tumbuhan tidak bisa lepas dari pernikahan atau perkawinan. Ini merupakan sunnatullah (hukum alam) untuk kelangsungan hidup umat manusia, berkembang biaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam semesta.4 Hal ini terdapat dalam Firman Allah SWT:

Ï

Βuρ

Èe

à

2

>

ó

x

«

$

ø

)n=y

z

È

÷

y

`

÷

ρy

÷

/

ä

3

ª

=y

è

s9

tβρ

ã



©

.x

s

?

)

ﺍﱠﺬﻟﺍ

ِﺕﺎﻳِﺭ

:

٤٩

(

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami jadikan berjodoh-jodohan agar kamu sekalian mau berfikir.” (QS.Adzaariyaat (51) : 49

Juga terdapat dalam firman-Nya yang lain:

≈y

s

ö

6

ß

Ï

%

©

!

$

#

t,n=y

{

y

l

≡uρ

ø

F{$

#

$

¯

=

à

2

$

£

ϑ

Ï

Β

à

M

Î

7

è

?

Þ

Ú

ö

F{$

#

ô

Ï

Βuρ

ó

Ο

Î

γ

Å

¡

à

Ρr

&

$

£

ϑ

Ï

Βuρ

Ÿω

t βθ

ß

ϑn=

ô

è

)

ﺲﻳ

:

٣٦

(

Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan segala, sesuatu berjodoh-jodohan, baik tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui.” (QS.Yaasiin (36): 36)

Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang di tetapkan syariat agama.

Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dala tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang yang mendalam.

4 Mohammad Asmawi,

(27)

Disamping itu, untuk menjalin tali persaudaraan diantara dua keluarga dari pihak suami dan pihak istri yang berlandaskan pada etika dan estetika yang bernuansa ukhuwah basyariyah dan islamiyah.5

Jadi tujuan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu dihiasi mawaddah dan rahmah. Tujuan pernikahan termaktub secara jelas dalam firman Allah SWT:

ô

Ï

Βuρ

ÿ

Ï

µ

Ï

G

≈tƒ

#

u

÷

βr

&

t,n=y

{

/

ä

3s9

ô

Ïi

Β

ö

Ν

ä

3

Å

¡

à

Ρr

&

%

[

`

≡uρ

ø

r

&

(

#

þ

θ

ã

Ζ

ä

3

ó

¡

t

F

Ïj

9

$

ø

Šs9

Î

)

Ÿ≅y

è

y

_

Ν

à

6uΖ

÷

t

/

Z

ο

¨

Š

¨

Β

º

πyϑ

ô

m

u

4

¨

β

Î

)

Î

û

y7

Ï

9≡s

Œ

;

M

≈tƒUψ

5

Θ

ö

θs)

Ïj

9

tβρ

ã



©

3x

t

G

)

ﺮﻟ

:

٢١

(

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri dari jenismu sendiri, supaya kamu bisa hidup tenang bersamanyadan Dia jadikan rasa cinta dan kasih sayang sesame kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-ruum (30) : 21)

Dasar Hukum Pernikahan

Dalam perspektif Fikih, nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. Ayat yang menunjukan nikah disyariatkan adalah firman Allah dalam QS.an-Nisa(3) :

÷

β

Î

)

÷

Λ

ä

ø

Å

z

āωr

&

(

#

θ

ä

Ü

Å

¡

ø

)

è

?

Î

û

4‘uΚ≈t

G

u‹

ø

9$

#

(

#

θ

ß

s

Å

3Ρ$

$

s

ù

$

z

>$

s

Û

Ν

ä

3s9

z

Ïi

Β

Ï

!

$

|

¡

Ïi

Ψ9$

#

4o_

÷

W

y

]

≈n=

è

O

y

ì

≈t

/

â

(

÷

) ﺍ ﺂﺴﻨﻟ ُﻋ : ٣ (

Artinya: “…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, empat.”

5

(28)

Selanjutnya disebutkan dalam surah an-Nur (24) : 32

(

#

θ

ß

s

Å

3Ρr

&

4‘yϑ≈tƒF{$

#

ó

Ο

ä

Ï

Β

t

Å

s

Î

=≈

¢

Á

9$

#

ô

Ï

Β

ö

/

ä

.

Ï

Š$

t

6

Ï

ã

ö

Ν

à

6

Í

←!

$

Î

)

4

β

Î

)

(

#

θ

ç

Ρθ

ä

3tƒ

u!

#

t



s)

è

ù

ã

Ν

Î

γ

Ï

Ψ

ø

ó

ã

ƒ

ª

!

$

#

Ï

Β

Ï

&

Î

#

ô

Ò

s

ù

3

ª

!

$

#

ì

ì

Å

≡uρ

Ò

ΟŠ

Î

=t

æ

)ﺍ

ﻮﻨﻟ

ﺭ : ٣٢ (

Artinya:“ Dan kawinlah orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba sahayamu yang laki dan hamba sahayamu yang perempuan. (QS. An-Nur (24) : 32)

Adapun dari hadits Nabi SAW yang menerangkan masalah ini adalah hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud ra:

ِﺝﺮﹶﻔﹾﻠِﻟ ﻦِﺼﺣﹶﺍﻭ ِﺮﺼﺒﹾﻠِﻟ ﻮﻀﹶﻏﹶﺃ ﻪﻧِﺈﹶﻓ ﺝﻭﺰﺘﻴﹾﻠَﹶﻓ ﹸﺓَﺀﺎﺒﹾﻟﺍ ﻢﹸﻜﻨِﻣ ﻉﺎﹶﻄﺘﺳﺍ ِﻦﻣ ِﺏ ﹶﺎﺒﺸﱠﻟﺍ ﺮﺸﻌﻣ ﺎﻳ

٦

)

ﺒﹾﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

ﻢِﻠﺴﻣ ﻭ ﻯِﺭﺎﺨ

(

Artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kemaluan (dari perbuatan Zina) dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu adalah sebuah penawar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari segi ijma’, para ulama sepakat mengatakan nikah itu disyariatkan. Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah menjadi Sunnah, wajib, makruh dan haram. Perinciannya sebagaimana dibawah ini.

1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk menikah dan kuatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram.

6

(29)

2. Haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa mudarat kepada istrinya karena ketidakmampuan dalam member nafkah lahir dan batin.

3. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama bagi yang apabila tidak menikah, sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram dan, apabila ia menikah ia yakin tidak akan mendzalimi dan membawa mudarat kepada isterinya.

4. Makruh hukumnya bagi orang yang kuatir kan berbuat nista dan membawa mudarat kepada isterinya dan tidak merasa yakin dapat menghindari hal itu jika ia menikah, misalnya merasa tidak yakin dapat menghindari hal itu jika ia menikah, memberi perlakuan tidak baik kepada isteri serta merasa tidak terlalu berminat terhadap perempuan.7

Rukun & Syarat Perkawinan

Di dalam melaksanakan proses pernikahan terdapat syarat rukun yang harus di penuhi. Keduannya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali, saksi dan sebagainya. Tanpa ada hakikat dari pernikahan semisal laki-laki atau perempuantidak bisa dilaksanakan. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk

7 Asrorun Ni’am Sholeh,

(30)

pada salah satu bagian dari hakikat pernikahan, misalnya syarat saksi harus laki-laki, dewasa (baligh), berakal, dan sebagainya.8

1. Calon Pengantin Laki-laki dan Perempuan

Salah satu unsur penting dalam keabsahan nikah adalah pasangan calon suami istri. Namun untuk mengetahui layak atau tidak mereka melangsungkan pernikahan, dapat diketahui melalui kriteria berikut ini:

a. Calon suami diharuskan memiliki kriteria berikut ini:

1) Keahlian bertindak. Artinya calon suami tersebut harus mampu melakukan sendiri akad itu, baik terhadap dirinya maupun terhadap lain. Dan disyaratkan sudah mumayyiz.

2) Dapat mendengar perkataan. Maksudnya setiap dari keduanya dapat mendengar perkataan satu sama lain atau yang serupa dengan itu, seperti menulis perihal akad jika si wanita tidak ditempat.9

b. Adapun calon istri disyaratkan memenuhi criteria sebagai berikut:

1) Benar-benar seorang wanita artinya di ketahui dengan jelas jenis kelaminnya.

2) Statusnya diketahui dengan pasti bahwa ia bukan wanita yang haram dinikahi. 10

8

Asmawi, Nikah, dalam perbincangan dan perbedaan, hal.50

9 Sholeh,

Fatwa-fatwa Masalah Pernilahan dan keluarga, hal 28

10

(31)

2. Wali

Wali memegang peranan penting terhadap kelangsungan suatu pernikahan. Menurut Maliki dan Syafi’i, bahwa keberadaan wali adalah termasuk salah satu rukun nikah. Sedangkan pendapat Hanafi dan Hanbali bahwa wali merupakan salah satu syarat-syarat nikah. Suatu pernikahan tanpa di hadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal. Adapun perbedaan dua pendapat di atas hanya tentang nama saja, beda dalam menyebutkan termasuk syarat atau rukun. Sedangkan akibatnya adalah sama, bahwa suatu pernikahan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan adalah batal atau tidak sah.11

Tidak sembarang orang bisa menjadi wali karena bertanggung jawab terhadap sahnya akad nikah yang dilangsungkan. Para ulama mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali sepakat bahwa syarat-syarat yang menjadi wali adalah Islam, baligh, berakal sehat. Syarat lainnya, menurut Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, orang yang berhak menjadi Wali adalah harus laki-laki. Disamping itu seorang yang menjadi wali harus tertanam dalam jiwanya sikap adil, bukan orang yang termasuk katagori fasik.

3. Saksi

Sahnya suatu pernikahan (akad nikah) harus dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Ini pendapat mayoritas ulama, namun masih ada perbedaan

11

(32)

tentang keberadaan saksi-saksi yang berkaitan dengan identitasnya.12 Keberadaan dua orang saksi dalam pernikahan berlandaskan kepada hadits Nabi Muhammad SAW : “ Pernikahan tidak sah kecuali ada wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ahmad)

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang dua orang saksi yang harus menghadiri upacara pernikahan sehingga akad nikah yang di ucapkan itu benar-benar sah. Kesepakatan para ulama ini terutama kalangan ulama salaf, berdasarkan kepada keshahihan hadist di atas. Identitas dua orang saksi, menurut Maliki dan Syafi’i, adalah harus berkelamin laki-laki, muslim, adil, baligh, berakal, melihat, mendengar, dan mengerti tujuan akad nikah. Sedangkan pendapat Hanafi dan Hanbali bahwa dalam akad nikah di hadiri satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan. Dua saksi dari jenis perempuan adalah sama kualitas kesaksiannya dengan seorang laki-laki.13 4. Shigat

Salah satu rukun nikah adalah Shigat (adanya akad Nikah). Pengucapan akad Nikah (ijab), menurut syafi’i, harus terlebih dahulu oleh wali pihak perempuan atau wakilnya, kemudian dijawab (kabul) oleh pihak laki-laki (calon suami) atau wakilnya. Syarat ijab-kabul, menurut Syafi’i dan Hanbali,

12

Asmawi, Nikah , dalam perbincangan dan perbedaan, hal.61

13Asmawi,

(33)

harus menggunakan lafal yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, yaitu lafal inkah dan tazwij atau menggunakan terjemahannya nikah dan kawin. 14

Sedangkan pendapat Hanafi, bahwa lafal ijab-kabul tidak harus menggunakan lafal yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits. Bahkan dia membolehkan lafal hibah, sedekah, tamlik (member kepemilikan), dan sebagainya.

Pendapat ini juga berpedoman pada salah satu riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menggunakan lafal (Aku Milikkan dia kepadamu). Hanafi memberikan argumentasi bahwa lafal inkah (nikah) atau tazwij (kawin) adalah kata kiasan.15

Salah satu ke-sah-an Ijab Kabul dalam suatu pernikahan, menurut Syafi’i, Maliki dan Hanbali, harus berlangsung dalam satu majlis dan rentang waktu antara ijab dan Kabul harus tidak berselang lama, serta lafal yang diucapkan itu harus didengar oleh dua belah pihak, demikian juga harus didengar oleh minimal dua orang saksi. Sedangkan pendapat Hanafi, rentang waktu ucapan antara ijab dan Kabul boleh lama asalkan masih berada dalam satu majlis.16

Hukum dan Tujuan Mahar

Mahar (maskawin) adalah bentuk pembayaran yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya ketika akad nikah dilangsungkan sebagai bukti adanya

14 Asmawi,

Nikah, dalam Perbincangan dan Perbedaan, hal.52

15 Asmawi,

Nikah, Perbincangan dan Perbedaan, hal.53

16

(34)

ikatan seorang perempuan terhadap seorang laki-laki yang berfungsi sebagai suaminya. Bentuk pembayaran yang dinamakan maskawin itu bisa berupa uang atau barang (harta benda). 17

Kewajiban maskawin ini kepada pihak suami berlandaskan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an. (QS. An-nisa (4) : 4)

(

#

θ

è

?#

uuρ

u!

$

|

¡

Ïi

Ψ9$

#

£

Í

κ

É

J

≈s%

ß

|

¹

\

'

s

#

ø

t

Ï

Υ

4

β

Î

*

s

ù

t

÷

Ï

Û

ö

Ν

ä

3s9

t

ã

&

ó

x

«

ç

µ

÷

Ζ

Ïi

Β

$

T

¡

ø

ç

νθ

è

=

ä

3s

ù

$

\

ÿ

Ï

Ζyδ

$

\

ÿ

ƒ

Í

÷

£

) ﺍ ﺎﺴﻨﻟ ﻋ

:

٤

(

Artinya: “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib.” (QS. An-nisa(4) : 4)

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib di berikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Hal ini menunjukan bahwa Islam sangat menghargai dan memperhatikan fungsi dan kedudukan perempuan, dengan memberikan hak dalam menentukan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya.

Maskawin itu merupakan hak mutlak perempuan yang akan dinikahi. Demikian juga dalam, menentukan besar atau kecilnya jumlah yang diinginkan. Dalam kitab shahih Bukhari diriwayatkan, dari Sahal bin Sa’ad, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam pernah berkata kepada seseorang.18

17 Asmawi,

Nikah, dalam Perbincangan dan Perbedaan, hal.160

18

(35)

Karena mahar merupakan syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikan mahar adalah wajib.

Syarat-syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon Istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Harta/Bendanya berharga.

2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. 3. Barangnya bukan Ghasab.

4. Bukan baran yang tidak jelas keadaannya. 19

Dasar Hukum mahar

Para ahli fiqih ada yang berpendapat bahwa mahar merupakan rukun akad nikah dan yang berpendapat bahwa mahar merupakan syarat sahnya pernikahan, karena itu tidak boleh ada persetujuan untuk meniadakannya.20 Sesuai dengan firman Allah : (QS. An-nisa :4 ) dan Firman Allah (QS. An-nisa ayat 25).

Artinya: “…Karena itu kawinilah mereka dengan seizin keluarga dan berilah maskawinnya menurut yang patut…” (QS: An-nisa'(4) : 25)

19

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana Media Group, 2008) cet ke 3, hal .87

20 Kamal Mukhtar,

(36)

Larangan-larangan Pernikahan

Secara garis besar, larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut Syara’ di bagi menjadi dua, yaitu halangan abadi dan halangan sementara. Di antara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan.21 Yang telah disepakati ada tiga, yaitu:

1. Nasab (keturunan)

2. Pembesanan (karena pertalian kerabat semenda). 3. Sesusuan

Sedangkan yang di perselisihkan ada dua, yaitu: 1. Zina

2. Li’an

Halangan-halangan sementara ada Sembilan, yaitu: 1. Halangan bilangan.

2. Halangan mengumpulkan. 3. Halangan kehambaan. 4. Halangan kafir. 5. Halangan ihram. 6. Halangan sakit

7. Halangan ‘iddah (meski masih di perselisihkan segi kesemantaraannya). 8. Halangan perceraian tiga kali bagi suamiyang menceraikan.

21Ghazali,

(37)

9. Halangan peristrian.22

Larangan kawin karena pertalian Nasab

Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23 :

ô

M

Ìh



ã

m

ö

Ν

à

6

ø

‹n=t

ã

ö

Ν

ä

3

ç

G

≈yγ

¨

Β

é

&

ö

Ν

ä

3

è

?$

oΨt

/

ö

Ν

à

6

è

?

≡uθy

z

r

&

ö

Ν

ä

3

ç

G

£

ϑt

ã

ö

Ν

ä

3

ç

G

≈n=≈y

z

ß

N$

oΨt

/

Ë

ˆ

F{$

#

ß

N$

oΨt

/

Ï

M

÷

z

W{$

#

ã

Ν

à

6

ç

F

≈yγ

¨

Β

é

&

û

É

L

©

9$

#

ö

Ν

ä

3oΨ

÷

è

|

Ê

ö

r

&

Ν

à

6

è

?

≡uθy

z

r

&

... ) ﺍ ﺎﺴﻨﻟ ﻋ

:

٢٣

(

Artinya: “ Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang

perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki dan anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…”( QS. An-Nisa’(4): 23 )

Berdasarkan ayat diatas, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selama-lamanya (halangan abadi) kerena pertalian nasab adalah :

1. Ibu.

2. Anak perempuan

3. Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atay seibu saja.

4. Bibi: yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau seibu dan seterusnya keatas.

22

(38)

Terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasala 39 Ayat 1 yaitu: Karena Pertalian Nasab:

1. Dengan seorang wanita melahirkan atau menurunkannya atau keturunannya. 2. Dengan seorang wanita keturunan ayah

3. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

Larangan Kawin karena Hubungan Sesusuan.

Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An- Nisa’ ayat 23 di atas:

Artinya :“(Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang menyusukan kamu, dan saudara-saudara perempuan sepersusuan…” (QS. An-Nisa(4): 23)

Terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 39 ayat 3 yaitu : Karena Pertalian Sesusuan

1. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.

2. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah. 3. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, kemenakan sesusuan kebawah. 4. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. 5. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

Wanita yang Haram Dinikahi karena Hubungan Mushaharah (Pertalian

(39)

Keharaman ini disebutkan dalam lanjutan ayat 23 Surat An-Nisa :

ß

N$

oΨt

/

à

M

≈yγ

¨

Β

é

&

ö

Ν

ä

3

Í

←!

$

|

¡

Î

Σ

ã

Ν

à

6

ç

6

Í

ׯ≈t

/

u

É

L

©

9$

#

Î

û

Ν

à

2

Í

θ

à

f

ã

m

Ïi

Β

ã

Ν

ä

3

Í

←!

$

|

¡

Îp

Σ

É

L

©

9$

#

Ο

ç

F

ù

=y

z

y

Š

£

Î

γ

Î

/

β

Î

*

s

ù

ö

Ν

©

9

(

#

θ

ç

Ρθ

ä

3s

?

Ο

ç

F

ù

=y

z

y

Š

 

Î

γ

Î

/

Ÿξs

ù

y

y$

ã

_

ö

Ν

à

6

ø

‹n=t

æ

ã

Í

ׯ≈n=y

m

ã

Ν

à

6

Í

←!

$

ö

/

r

&

t

É

©

9$

#

ô

Ï

Β

ö

Ν

à

6

Î

7

≈n=

ô

¹

r

&

)

ﺍ ﺎﺴﻨﻟ ﻋ

:

٢٣

(

Artinya: “Dan (diharamkan) ibu-ibu istrimu, anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istrimu yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan istri-istri anak kandungmu…."( QS. An-Nisa'(4) :23)

Jika di perinci adalah sebagai berikut:

Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya keatas, baik garis ibu atau ayah.

1. Anak Tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin antara suami dengan ibu anak tersebut.

2. Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya kebawah.

3. Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk ini tidak di syaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dan ayah.23

Yang menjadi persoalan dalam hubungan mushaharah ini adalah, apakah keharaman itu disebabkan karena semata-mata akad (perkawinan) yang sah, atau dapat juga karena perzinaan. Imam syafi’i berpendapat bahwa larangan perkawinan karena mushaharah hanya disebabkan karena semata-mata akad saja,

23 Ghazali,

(40)

tidak bisa karena perzinaan yang dicela itu disamakan dengan hubungan mushaharah. Sebaliknya Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa larangan perkawinan karena mushaharah, disamping disebabkan akad yang sah, bisa juga disebabkan karena perzinaan. Perselisihan pendapat ini karena berbeda dalam menafsirkan firman Allah surat An-Nisa ayat 22 yang berbunyi:

Ÿωuρ

(

#

θ

ß

s

Å

3Ζs

?

$

y

x

s3tΡ

Ν

à

2

ä

τ!

$

t

/#

u

...

)

ﺍ ﺎﺴﻨﻟ ﻋ

:

٢٢

(

Artinya: “Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oeh ayah-ayahmu..”(QS. An-Nisa'(4) : 22)

Terdapat dalam kompilasi hukum Islam pasal 39 ayat 2, Karena Pertalian kerabat semenda:

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya. b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.

c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya kecuali putusnya hubungan perkawinan itu qabla al-dukhul.

d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.

Wanita yang Dinikahi karena Sumpah Li’an

(41)

diteruskan bersedia mendapat laknat bila tuduhan suami itu benar. Sumpah demikian disebut sumpah li’an. Apabila terjadi li’an antara suami istri maka putuslah hubungan perkawinan keduanya untuk selama-lamanya24. Keharaman ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat an-Nur ayat 6-9:

t

Ï

%

©

!

$

#

tβθ

ã

Β

ö



ö

Ν

ß

γy

_

≡uρ

ø

r

&

ó

Οs9uρ

ä

3tƒ

ö

Ν

ç

λ

°

;

â

!

#

y

à

Î

)

ö

Ν

ß

γ

Ý

¡

à

Ρr

&

ä

οy

≈yγt

±

s

ù

ó

Ο

Ï

δ

Ï

t

n

r

&

ß

ì

t

/

ö

r

&

¤

N

≡y

≈uηx

©

«

!

$

$

Î

/

 

ç

µ

¯

Ρ

Î

)

z

Ï

ϑs9



Ï

%

Ï

¢

Á

9$

#

·

.

è

π|

¡

Ï

ϑ≈s

ƒ

ø

:$

#

¨

βr

&

|

M

÷

è

s9

«

!

$

#

Ï

µ

ø

‹n=t

ã

β

Î

)

%

x.

z

Ï

Β

t

Î

/

É

≈s3

ø

9$

#

)ﺍ

ﻮﻨﻟ

ﺭ : ٩ -٦ (

Artinya: “ Dan orang-orang yang menuduh istrinya, (berzina) padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika ia termasuk orang-orang yang dusta. Istrinya dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan sumpah yang kelima laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nur: 6-9)

Terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 43: 1. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang Pria:

a. Dengan seorang wanita bekas Istri yang di Thalaq 3 b. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang di Li’an

2. Larangan tersebut pada ayat 1 huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan habis masa ‘iddahnya.

24

(42)

Wanita Yang Haram Dinikahi Sementara

Wanita-wanita yang haram dinikahi tidak untuk selamanya (bersifat sementara) adalah sebagai berikut:25

1. Dua Perempuan bersaudara haram dikawini oleh seorang laki-laki dalam waktu yang bersamaan, maksudnya mereka haram dimadu dalam waktu bersamaan. Keharaman megumpulkan dua wanita dalam satu perkawinan, ini juga diberlakukan terhadap dua orang yang mempunyai hubungan keluarga bibi dan kemenakan.

2. Wanita yang terikat perkawinan dengan Laki-laki lain, haram dinikah oleh seorang laki-laki.

3. Wanita yang sedang dalam ‘iddah, baik ‘iddah cerai maupun ‘iddah ditinggal mati berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228 dan 232.

4. Wanita yang dithalaq tiga, haram bagi dengan bekas suami. Kecuali kalau sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta di cerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa ‘iddahnya berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229-230.

5. Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun ihram haji, todak boleh dikawini.

6. Wanita Musyrik, haram dinikahi. Yang dimaksud wanita musyrik ialah yang menyembah selain Allah. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah dalamsurat

25

(43)

Al-Baqarah ayat 24. Adapun wanita ahli kitab, yakni wanita Batas Usia

Menurut Fiqh

7. Nasrani dan wanita Yahudi boleh dinikah, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5.26

B. Pengertian Pernikahan Dini

Pernikahan Dini atau sering disebut dengan Pernikahan Di Bawah Umur adalah Pernikahan yang dilakukan antara Pria dan Wanita yang masih Belum mencukupi Umur yang sudah di tetapkan Oleh Undang-undang. Pada dasarnya Istilah di Bawah Umur Lahir karena Adanya pembatasan Usia Minimal seseorang diizinkan untuk melakukan Pernikahan.27

C. Hukum menikahkan Gadis di bawah Umur

Hukum menikah dengan gadis di bawah umur menurut para ulama mazhab, adalah boleh meskipun tanpa minta izin kepada anak yang bersangkutan. Namun, orang yang boleh menikahkan adalah orang yang berkedudukan sebagai wali mujbir, sedangkan wali-wali yang lain tidak di perkenankan.28

Berbeda pendapat dengan Ibnu Hazm dari kalangan ulama ahli Zhahir dan Ibnu Syubrumah yang menyatakan bahwa seorang ayah tidak boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan berusia muda. Tetapi kalau

26 Ghazali

, Fiqh Munakahat, hal 112

27

Asmawi, Nikah, dalam Perbincangan dan Perbedaan, hal. 87

28 Asmawi,

(44)

anak perempuannya itu sudah baligh maka seorang ayah di bolehkan menikahkannya dengan syarat harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan.29

Kelompok ini mengajukan argumentasi bahwa hadist yang menjelaskan pernikahan Siti Aisyah ra dengan Rasulullah Saw itu terjadi ketika beliau dan Siti Aisyah ra masih di mekkah, belum hijrah ke Madinah dan Negara Islam belum berdiri. Di samping itu, belum ada kebijakan atau perintah dari Nabi sendiri yang berkaitan dengan permintaan izin terlebih dahulu kepada anak perempuan yang bersangkutan jika ingin di nikahkan oleh walinya. Atau hal ini (pernikahan Nabi Muhammad Saw dengan Aisyah ra) termasuk katagori khususiyah (tertentu) bagi Rasulullah Saw sendiri dan tidak bisa dijadikan dalil untuk umum, sebagaimana Nabi Saw di bolehkan beristri lebih dari empat perempuan. Karena itu umatnya tidak boleh mengikuti Nabi Saw yang berkaitan dengan khususiyah itu,30 dan hal ini juga berlandaskan pada kaidah usul fiqh

“Menghimpun (beberapa dalil) jika ada kemungkinan.”

Kalau kita amati dan mengadakan suatu pertimbangan dan kajian bahwa pendapat dari Ibnu Hazm dan Ibnu syubramah lebih adaptasi dan sesuai dengan para dokter yang melarang pernikahan usia muda, karena kehamilan Ibu muda sangat membahayakan kondisi dirinya dan jabang bayinya.31

29 Asmawi,

Nikah, dalam Perbincangan dan Perbedaan, hal. 87

30 Asmawi,

Nikah, dalam Perbincangan dan Perbedaan, hal. 88

31

(45)

Di tinjau dari perspektif ilmu psikologi pernikahan di usia muda sangat tidak menguntungkan dari segi kematangan mental dalam memasuki kehidupan dunia yang luas untuk berintegrasi sosial dengan masyarakat sekitarnya.

D. Batas Usia Menurut Fiqh

Pernikahan di Bawah Umur atau Pernikahan Dini dalam perspektif fikih adalah Pernikahan laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Apabila batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka perkawinan di bawah umur adalah perkawinan dibawah usia 15 Tahun menurut mayoritas ahli Fiqh, dan di bawah usia 17 Tahun atau 18 tahun menurut Abu Hanifah.32

Adapun Hukum melakukan Pernikahan dibawah umur, menurut mayoritas besar ulama fiqh-Ibnu Mundzir menyatakan sebagai Ijma’ (konsensus) ulama Fiqh dan Mengesahkan perkawinan dibawah Umur. Menurut mereka, untuk masalah perkawinan, criteria baligh dan Berakal bukan merupakan persyaratanbagi keabsahannya, beberapa argumen yag dikemukakan antara lain adalah sebagai Berikut:33

1. Al-Qur’an, Surah at-Thalaq (65) ayat 4 :

32

Imam Alaudin Al-kasani Abu Bakar Bin Mas’ud, Badai’al shanai’, (kairo: Dar al hadits, 1426/2005 M, juz III)

33 Muhammad Husein,

(46)

Ï

↔¯≈

©

9$

#

z

ó

¡

Í

≥tƒ

z

Ï

Β

Ç

Ù

Š

Å

s

yϑ9$

#

Ï

Β

ö

/

ä

3

Í

←!

$

|

¡

Îp

Σ

È

β

Î

)

ó

Ο

ç

F

ö

;

s

?

ö

$

#

£

å

κ

è

E

£

Ï

è

s

ù

è

πs

W

≈n=r

O

9



ß

γ

ô

©

r

&

Ï

↔¯≈

©

9$

#

ó

Οs9

z

ô

Ò

Ï

t

s†

4

)

ا

ق

:

٤

(

Artinya: ”Bagi mereka perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menaupose) diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa Iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid.”

(QS. At-Thalaq (65) : 4)

Ayat ini berbicara mengenai masa Iddah (masa Menunggu) bagi perempuan-perempuan yang sudah menopause dan bagi wanita yang belu haid. Masa Iddah bagi kedua kelompok perempuan ini adalah tiga bulan. Secara tidak lansung ayat ini juga mengandung pengertian bahwa perkawinan bisa dilaksanakan pada perempuan pada usia belia atau remaja, karena Iddah hanya bisa dikenakan kepada orang-orang yang sudah menikah dan bercerai.34

Ayat lain adalah dalam surat an-Nur (24) : 32 berikut:

(

#

θ

ß

s

Å

3Ρr

&

4‘yϑ≈tƒF{$

#

...

)

ﻮﻨﻟ

ﺭ : ٣٢ (

Artinya: “dan nikahkanlah mereka yang belum punya suami.(QS. An-Nur (24): 32)

Kata “al-ayama” didalamnya meliputi pengertian perempuan dewasa dan perempuan muda atau belia. Ayat ini secara eksplisit memperkenankan atau bahkan menganjurkan kepada wali untuk mengawinkan mereka.

34 Muhammad Husein,

(47)

2. Perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan ‘Aisyah yang masih belia. Dalam hadits disebutkan: ”Sesungguhnya Nabi Mengawini (‘Aisyah) pada saat usianya 6 tahun dan menggaulinya pada saat usianya 9 tahun dan hidup

bersama selama 9 tahun.” Riwayat Al-Khamsah. Imam Muslim menambahkan “pada saat nabi meninggal usia Aisyah saat itu adalah 18 tahun.35

3. Diantara para sahabat Nabi SAW, ada yang mengawinkan putera-puterinya atau keponakannya yang dianggap belia. Seperti Abu Bakar mengawinkan anak perempuanya yang bernama Ummi Kultsum dengan Umar Bin Khattab. Ummi Kultsum ketika itu juga masih belia.36 Urwah bin Zubair juga mengawinkan anak perempuan saudaranya dengan anak Laki-laki saudaranya yang lain, kedua keponakan itu sama-sama masih dibawah umur.37

Adapun syarat dan rukun perkawinan di bawah umur tidak berbeda dengan perkawinan pada umumnya, yaitu seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Namun demikian, menurut penulis perlu di kemukakan bahwa dalam mazhab syafi’i, Maliki, dan Hanbali di kenal istilah hak ijbar bagi wali Mujbir.

35 Mansur ‘Ali Nasif,

Al-Taj Al-Jami’Al Ushul Fi Ahadits Al-Rasul, (Beirut: Dar-Kutub al-‘Arabiyah), jilid II, hal.259

36 Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad,

Al-Mughni, (Beirut: Dar-al Fikr, 1405H), Juz VI, hal.487

37 Az-Zuhaili,

(48)

Adapun wali mujbir adalah orang tua perempuan yang dalam mazhab Syafi’i adalah ayah, atau kalau tidak ada ayah ada ayah-kakek. Hak ijbar adalah hak ayah atau kakek untuk mengawinkan anak perempuannya baik yang sudah dewasa maupun masih berupa belia, tanpa harus mendapat persetujuan atau izin dari anak perempuan tersebut, asal dia bukan berstatus janda.38

Berbeda dengan pendapat ini adalah pandangan Mazhab Hanafi, menurut pandangan ini, jak ijbar ini hanya diberlkukan terhadap anak perempuan dibawah umur dan tidak terhadap perempuan yang sudah dewasa (balighah). Tegasnya berdasarkan ketentuan ini, para wali memiliki hak untuk mengawinkan anak0anaknya yang masih dibawah umur baligh, meski tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Kaitannya dengan peran wali dan persetujuan wanita (calon Isteri) Abu Hanifah berpendapat, adalah bahwa persetujuan wanita gadis (balighah) atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya jika mereka menolak, maka akad nikah tidak boleh dilaksanakan, meskipun oleh bapak.39

Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau kakek tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan dengan sekehendaknya saja. Mazhab As-Syafi’iyyah mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur di

38 Husein Muhammad,

Fiqh Perempuan…, hal.70

39 Khoiruddin Nasution,

(49)

isyaratkan adanya kemaslahatan. Sedangkan untuk perempuan di perlukan beberapa syarat, antara lain:

1. Tidak adanya permusuhan yang nyata antra dia (perempuan) dengan walinya, yaitu ayah atau kakek.

2. Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dengan calon suaminya.

3. Calon suami harus Sekufu’ (sesuai/setara)

4. Calon suami mampu memberikan maskawin yang pantas.40

5. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang menjadikannya menderita dalam pergaulannya, seperi dengan laki-laki tuna netra, tua renta, dan sebagainya.

E. Batas Usia Perkawinan dalam Peraturan Perundang-undangan

Batas Usia yang telah ditetapkan oleh Pemerintah melalui Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam. Adapun menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dalam pasal 7 menyebutkan bahwa:

1. Perkawinan hanya di izinkan jika para pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak Wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun. Kemudian di pertegas lagi dalam pasal 15 ayat (1) KHI (Kompilasi Hukum Islam) dengan rumusan Sebagai Berikut :

40

(50)

a. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah Tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang diteta

Gambar

GAMBARAN LAPANGAN PENELITIAN

Referensi

Dokumen terkait

Perawat dalam melaksanakan tugasnya bukan hanya dihadapkan pada berbagai peran dan tugas pokoknya, namun terdapat beberapa penyebab primer yang dapat memicu terjadinya stres

(2015) menyatakan bahwa unsur cuaca yang secara langsung menyebabkan peningkatan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di Sulawesi Tenggara adalah curah hujan

Media yang dikembangkan bernilai valid dan layak untuk digunakan pada kegiatan pembelajaran dimana penilaian Media Pembelajaran Matematika oleh validator diperoleh

Besarnya nilai koefisien determinasi pada model regresi logistik ditunjukkan oleh nilai Nagelkerke R Square dalam model regresi tersebut adalah 0,238 yang berarti besar

dilantik; Kedua , pasca pelantikan kepala daerah tersebut dapat diberhentikan sementara berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004; Ketiga , wakil

Dilihat dari mechanical property serat pelepah pisang semakin banyak jumlah helai serat pada komposit maka nilai kekuatn tarik semaikn tinggi hal ini menyebabkan

Tetapi jika dokter dan perawat diperhadapkan dengan pasien ga- wat darurat yang dalam kondisi tidak sadar dan tidak ada keluarga yang mendampingi maka kita dapat melakukan

Dalam pelaksanaan pembiayaan murabahah pada BMT Insan Samawa dilakukan dengan persyaratan yang telah ditentukan dan kesepakatan antara kedua belah pihak,