• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed an-na'Im

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed an-na'Im"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas karunia dan izin-Nya skripsi ini dapat selesai penulisannya sesuai dengan ketentuan.

Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan umat serta pembawa panji-panji kebenaran dan pembaharuan bagi kehidupan umat manusia.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mengakui banyak menemui kesulitan dan hambatan terutama pengumpulan literatur bahan dan pengolahan data. Namun, berkat bimbingan, dorongan, masukan serta support yang diberikan, alhamdulillah, karya ilmiah ini dapat selesai.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan bekerjasama dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini pula perkenankan penulis menyampaikan secara khusus ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua tercinta, H. Kaswir dan Hj. Asnidar yang telah memberikan dorongan moril maupun materil serta do’a yang tulus sampai selesainya penyusunan skripsi ini serta studi penulis.

2. Kakakku Hildayuni, Abangku Zamis, Adik-adikku Elis Marni dan Desmiati dan seluruh keluarga besar yang selalu memberikan dorongan, do’a, perhatian, serta bantuannya pada penulis.

3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala kemudahan dan kesulitan urusan administrasi di Jurusan.

5. Bapak Dr. H. Sirojudin Aly, M.A, Pembimbing Skripsi penulis. Terima kasih atas bimbingan, pengarahan dan pencerahan yang diberikan

(2)

ii

7. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Usuluddin dan Filsafat UIN Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam pencarian literatur yang diperlukan.

8. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Pemikiran Politik Islam khususnya angkatan 2004 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama studi.

9. Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti HMI, LPI, Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) UIN Jakarta, serta rekan-rekan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Perjuangan akan terus berlanjut.

10. Kawan-kawan seperjuangan MASAR yang banyak memberikan semangat bagi penulis dan mendesak segera diselesaikanya penulisan skripsi ini. Tebarkan selalu semangat dan persahabatan diantara kita.

11. Tak terlupakan kawan satu angkatan penulis Alumni Ponpes Darel Hikmah Syukron Darsyah, S.Pdi, Jokef, S.Hi, M.Arizan,S.Ei Wahyu Ridas, S.Hi, Diana Intan Dewi, S.Ei dan Dania Dewi, S.Ei. Terutama kepada Arizan yang mendesak penulis sesegera mungkin menyelesaikan penulisan skripsi ini. 12. Thank you kepada Siti Suraidah, Amar, Salmi, dan Nurul yang banyak

membantu penulis baik dalam memberikan semangat dan bantuan moril sejak penulisan skripsi ini hingga ujian skripsi.

13. Seluruh teman-temanku dari Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Darel Hikmah Pekanbaru (IKAPDH) Jakarta. Bayu Mustafa Arif dan Duta yang selalu menghibur saat-saat penulis suntuk dan merasa jenuh dalam penulisan skripsi.

Penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, baik isi, bahasa, tekhnik penulisan, ketelitian, kerapian dan metodologi. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

Terakhir, hanya kepada Allahlah semua dikembalikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat adanya. Amin.

(3)

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN LEMBAR PERNYATAAN

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAAN

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjaun Pustaka... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. PROFIL ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM A. Riwayat Hidup ... 10

B. Karya-karya Abdullahi Ahmed An-Na’im... 12

C. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatan... 14

BAB III. KONTEKSTUALISASI HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA A. Paradigma Islam Simbolik Formalistik ... 25

B. Paradigma Islam Substantif ... 31

(4)

iv

BAB IV. PEMIKIRAN POLITIK ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM

A. Islam, Politik dan Negara ... 48

B. Islam dan HAM ... 57

C. Konstitusionalisme ... 67

D. Kewarganegaraan... 73

E. Hukum Pidana... 77

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 85

(5)

v

Lembar Pernyataan

Dengan ini penulis menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta

2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini, penulis cantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta

Jakarta, 10 Juni 2008

(6)

viii

PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Hafiz

NIM:104033201090

Pembimbing

Dr. Sirojudin Aly, M.A

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

(7)

ix

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1429 H./2008 M.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “PEMIKIRAN POLITIK ISLAM ABDULLAHI

AHMED AN-NAIM” telah diujikan dalam siding munaqasyah Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 25-6- 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 25 Juli 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Hamid Nasuhi, M.A Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag

NIP: 150326915 NIP: 150270808

Anggota,

Nawiruddin, M.A A. Bakir Ihsan, M.Si

(8)

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdebatan tentang hubungan Islam, politik dan negara belum menemukan titik temu kesepakatan antara para ilmuan atau kalangan intelektual. Perdebatan antara Islam dan negara merupakan subyek penting dan tetap belum terpecahkan secara tuntas1. Pertautan antara Islam, politik, dan negara akan terus menjadi perdebatan, baik pada tataran akademik maupun praktisi.

Di Indonesia misalnya perdebatan tersebut terlihat adanya pertarungan yang dimulai dengan pertarungan ideologis antara golongan nasionalis Islam dan nasionalis sekuler (1920-1930) kemudian diikuti oleh perdebatan antara Soekarno dan Natsir antara agama dan negara (1940). Hal ini juga berlanjut tatkala menentukan dasar ideologi negara pada saat kemerdekaan hingga berlangsung saat ini meskipun berada pada konteks perdebatan yang berbeda.

Kontroversi hubungan Islam, politik, dan negara baik dalam tataran teori maupun di sekitar implementasi nilai-nilainya telah berlangsung cukup lama. Di satu pihak, ada sebagian kecil aspirasi rakyat yang menghendaki implementasi syariat Islam dalam kehidupan politik, sedang dipihak lain, sebagian kecil masyarakat juga cenderung menjalankan politik sekuler dan mendapat dukungan yang secara politik sangat kuat.

Perdebatan tersebut diisyaratkan dengan persoalan problematik antara politik (siyasah) dengan syariat yang juga melibatkan ketegangan antara ranah

1

(9)

xi

duniawi dan profane. Banyak kita dapati para pemikir Islam klasik seperti al-Mawardi, al-Gazali sampai ke Ibnu Taimiyah yang mempunyai keahlian di bidang fikih siyasah pada umumnya. Karena itu, bisa dipahami kalau ketika mereka membangun dan merumuskan konsepsi dan teori politik mereka, dalam banyak hal dimulai dengan syariat.2 Dengan kata lain bahwa dalam menjalankan politik (siyasah) haruslah berpedoman pada syariat yang dilaksanakan dengan baik dan sempurna, karena itu politik tidak boleh mempunyai norma-norma atau ketentuan-ketentuan sendiri yang seolah-olah terpisah atau bahkan melengkapi syariat itu.

Seorang pemikir seperti Ibn Khaldun, meskipun menempatkan siyasah pada posisi yang tinggi namun tetap beranggapan bahwa perlunya penegakan syariat baik bagi penguasa maupun warga masyarakat. Ini membuktikan bahwa pentingnya penerapan syariat sebagai pijakan politik. Karena memang syariat tidak pernah mengekang atau bahkan membatasi hak dan kebebasan masyarakat selama tindakan dan prilaku masyrakat tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Indonesia, misalnya, dalam peta pemikiran dunia Islam, adalah negara yang sangat menarik diteliti dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Oleh karena itu Islam telah, sedang dan terus memainkan perannya sesuai dengan proses-proses sosial politik, meskipun peran itu ditunjukkan dalam dimensi-dimensi yang berbeda.

Tuntutan dan aspirasi memberlakukan syariat Islam, menjadi persoalan serius setelah sekian lama rezim pemerintahan membungkam aspirasi tersebut. Keinginan ini lahir berdasarkan fakta, dimana hukum-hukum formal selama ini, baik di bidang pidana, perdata, pendidikan, dan sebagainya, dikatakan oleh

2

(10)

xii

kelompok yang menginginkan formalisasi syariat Islam adalah gagal dalam mengemban misi hukum, keamanan dan keadilan serta menjunjung aspirasi politik umat. Pengabaian nilai-nilai yang dianut dalam masyrakat, khususnya aspek religiositas telah melahirkan konflik dan reaksi keras komponen masyarakat.3

Islam bukan hanya sebagai agama yang hanya mengurus ukhrawi semata, lebih dari pada itu, Islam juga sebagai sebuah ajaran yang mempunyai konsep tentang tatanan kehidupan termasuk kepentingan politik. Hal ini dapat kita lihat bahwa Nabi Muhammad saw selain sebagai pemimpin agama juga sebagai pemimpin sebuah komunitas yang dikenal dengan negara Madinah. Madinah sebagai sebuah negara memang menimbulkan perdebatan, namun dalam memahami Madinah sebagai negara saat itu, tidaklah sama dengan memahami negara dalam konteks zaman modern sekarang ini. Hal yang penting dicacat dalam memahami Madinah sebagai sebuah negara adalah bahwa ketika itu Madinah memiliki sebuah konstitusi yang dikenal dengan Piagam Madinah yang mengatur perjanjian antara umat Islam dan non-Muslim, mempunyai sebuah wilayah dan penduduk yang dapat dikategorikan sebagai sebuah negara pada konteks sekarang ini.

Namun banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individu, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi bersama. 4

3

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 4

4

(11)

xiii

Indonesia, misalnya, merupakan negara yang unik karena meskipun merupakan negara yang mempunyai penduduk yang mayoritas Islam, namun Islam tidaklah menjadi agama negara. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaannya harus tetap mengedepankan prinsip-prinsip etika moral Islam. Memang pelaksanaan syariat Islam dalam bentuk hukum Islam cukup problematik dan dilematis dalam sebuah negara yang plural (majemuk). Dalam hal ini kita perlu sedapat mungkin melakukan reinterpretasi hukum Islam tertentu yang tidak sejalan dengan kondisi sekarang dan kecenderungan universal untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan (hak asasi manusia).

Tentu saja hal itu harus dilakukan dengan penggunaan metodologi yang diakui para ulama, bukan yang ditawarkan oleh sebagian pemikir yang tak memiliki latar belakang hukum Islam tetapi melakukan metodologi dan pemahaman yang tak diakui oleh ulama.5 Hal tersebut menggambarkan bahwa pentingnya memegang ajaran Islam, tidak selalu menjadikannya sebagai hal yang harus diletakkan hanya dalam ruang privat saja. Jadi tidak serta merta menolak hukum Islam tersebut atau hanya beranggapan bahwa syariat Islam hanya berlaku pada masa lalu dan tidak sesuai dengan zaman sekarang.

Berdasarkan perdebatan tersebut, pada dasarnya, belum ada kesepakatan yang mutlak dalam perdebatan tentang hubungan Islam dan negara, dalam hal ini An-Na’im hadir sebagai seorang tokoh intelektual Muslim yang mencoba menawarkan sebuah konsep ketidakterkaitan antara agama dan negara. Perlunya

5

(12)

xiv

pemisahan antara agama dan negara. Ia hadir sebagai penjembatan antara pandangan fundamentalis dan sekuler.

Syariat Islam dinilai memiliki masa depan yang cerah untuk kedamaian publik. Namun, bukan dengan cara memformalkan syariat karena upaya memformalkan syariat sebagai hukum formal justru dapat menyebabkan ia kehilangan otoritas dan kesuciannya. Hal itu diungkapkan Abdullah Ahmed An-Na'im, pemikir Islam dari Sudan yang juga merupakan guru besar hukum Emory University, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, di sela-sela peluncuran bukunya dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Kamis (2/8/2007) di kantor Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.

Ia mengisyaratkan bahwa syariat Islam bisa mempengaruhi kehidupan publik dan setiap kebijakan dalam perundang-undangan seperti undang-undang perkawinan, peradilan agama Islam, dan lain-lain. Namun An-Naim juga mengatakan bahwa Islam tidak dapat diselenggarakan oleh negara, juga tak dapat dipisahkan dari kehidupan publik masyarakat-masyrakat Islam.6

An-Naim menjelaskan bahwa masa depan syariat itu cerah dalam pengertian syariat bisa memberikan kekuatan kepada umat Islam untuk melakukan hal-hal yang positif untuk keadilan sosial.

Ada kemungkinan pendekatan moral justru sangat popular dan sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pemerintahan yang bersih. Ini menunjukkan bahwa perlunya moral dalam urusan politik.7 Pendekatan syariat dan akhlak sangat fundamental dalam Islam karena agama harus dipahami sebagai spiritual

6

Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), h. 78

7

(13)

xv

kemudian harus direalisasikan dalam bentuk tindakan yang bersifat moralitas serta mencakup aturan prosedural (syariah), hal itu sesuai dengan misi Nabi Muhammad dalam rangka penyempurnaan akhlak umat manusia.

Dari maksud An-Na’im di atas, menunjukkan bahwa umat Islam bergerak karena kesadaran, tidak karena keuntungan-keuntungan material, seperti kekuasaan politik, kepentingan kelas, atau kepentingan golongan sehingga kebijakan yang ditetapkan harus mencerminkan kepentingan umat Islam khususnya tanpa menghapus hak non-Muslim serta bukan sebagai wujud kepentingan politik penguasa atau kelompok-kelompok elite tersebut.

Syariat harus dilandasi dengan Iman dan amal saleh sebagai kriteria perubahan. Begitu juga penerapan syariat Islam baik di Indonesia maupun di negara lain, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun dalam sebuah kebijakan harus melandasinya dengan sebuah keimanan yang kuat sehingga menimbulkan kesadaran yang merupakan perubahan yang esensial bukan berdasarkan pada kondisi materialnya.

Islam bukan agama aqidah semata, yang hanya mngutamakan hubungan manusia dengan Tuhannya, Islam adalah akidah dan syariat.8 Oleh karena itu akidah harus dijadikan sebagai pendorong lahirnya syariat dan setiap amalan syariat harus didasari atas akidah.

Oleh karena itu dari uraian di atas, berdasarkan pandangan dan pemikiran An-Na’im, penulis mencoba untuk melihat dan menggali lebih jauh tentang hubungan Islam dan negara perspektif An-Naim. Hal tersebut akan dirangkum

8

(14)

xvi

dalam sebuah tulisan berbentuk Skripsi dengan Judul : Pemikiran Politik

Abdullahi Ahmed An-Na’im”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, serta agar pembahasan tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka masalah-masalah yang diangkat dalam pemikiran ini dibatasi pada pemikiran An-Na’im yang berkaitan dengan Islam, politik dan negara, bagaimana hubungan Islam dan HAM, Konstitusionalisme, Kewarganegaraan, dan Hukum Pidana. Berpijak pada batasan-batasan serta latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu merumuskan persoalan tersebut dalam pertanyaan: Bagaimana pandangan dan pemikiran politik An-Na’im tentang hubungan Islam dan Negara

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan lebih spesifik bagaimana pemikiran An-Na’im tentang Islam dan negara. Sedangkan tujuan penulisan adalah untuk melengkapi tugas akhir dari perkuliahan untuk meraih gelar sarjana (SI) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta serta pengembangan dan sumbangan terhadap khazanah ilmu pemikiran politik Islam khususnya di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

(15)

xvii

literatur sebagai upaya penulisan ini tidak sia-sia dan tidak dianggap hasil plagiat skripsi karya orang lain. Menurut tinjauan penulis selama ini dan sejauh yang penulis ketahui bahwa skripsi yang digarap oleh penulis ini belum ada yang menulis dengan judul yang sama atau yang membahas tentang hubungan Islam dan negara perspektif An-Na’im. Oleh karena itu sangat perlu menurut penulis untuk mengkaji lebih dalam tentang pemikiran politik Abdullahi Ahmed An-Naim terutama tentang hubungan Islam dan negara.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah berupa pengumpulan data dari berbagai literatur baik data primer maupun data skunder, penulis menggunakan jenis penelitian Library research (study kepustakaan) yaitu dengan mengumpulkan karya-karya Primer yang ditulis secara langsung oleh Abdullahi Ahmed An-Na’im sedangkan sumber sekunder yaitu karya lain yang menguraikan yang berkaitan dengan tema kajian yang penulis ajukan baik berupa buku-buku, artikel, maupun media masa yang kemudian dibahas dan dianalisis lalu ditulis dalam bentuk karya ilmiah.

Analisa data dalam penulisan skripsi ini, penulis mengunakan dua metode yaitu: metode deskriptis dan analistis yaitu dengan mendiskripsikan data-data yang ada, kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan tampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan.

(16)

xviii

CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan petunjuk dari Dosen Pembimbing baik formal maupun informal

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, terarah dan menjadi standar penulisan skripsi SI, maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab, yaitu :

Bab Pertama merupakan bab pendahuluan yang berfungsi sebagai acuan

pembahasan bab-bab selanjutnya, sekaligus mencerminkan isi skripsi ini secara global. Bab ini mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab Kedua akan membahas tentang profil Abdullahi Ahmed an-Na’im

yang menjelaskan riwayat hidup An-Na’im, karya-karyanya serta latar belakang pendidikan, karier dan kegiatannya.

Bab Ketiga membahas tentang wacana dan kontekstualisasi hubungan

Islam dan negara yang menjelaskan tiga paradigma yaitu paradigma simbolik formalistik, paradigma substantif dan paradigma sekuler.

Bab Keempat sebagai inti akan dibahas ide sentral yaitu pemikiran

politik Abdullahi Ahmed An-Na’im yaitu pandangannya tentang Islam, politik dan negara, Islam dan HAM, konstitusionalisme, kewarganegaraan, dan hukum pidana.

Bab Kelima adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan penulis

(17)

xix

BAB II

PROFIL ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM

A. Riwayat Hidup

Abdullahi Ahmed An-Na’im dilahirkan di Sudan. Ia merupakan seorang guru besar di bidang hukum yang mengkaji lebih dalam tentang agama dan hak asasi manusia (HAM) di The Emory Law School, Atlanta. An-Na’im adalah pemikir Muslim terkemuka dan ia dikenal sebagai pakar Islam dan hak asasi manusia dengan perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu- isu ketatanegaraan di negara-negara mayoritas muslim dan Afrika disamping isu-isu tentang Islam dan politik. Dia juga telah menerbitkan lebih dari 30 artikel tentang hak asasi manusia, konstitusionalisme, hukum Islam dan politik.

Sebagai salah seorang mahasiswa hukum di University of Khartoum di Sudan, An-Na’im aktif di sebuah gerakan reformasi Islam (Islamic reform movement) yang dipimpin oleh Mahmoud Mohamed Taha dalam sebuah organisasi Persaudaraan Republik (Republican Brotherhood) sampai gerakan ini dibubarkan oleh pemerintah Sudan pada tahun 1984. Kemudian ia juga yang mempopulerkan pemikiran gurunya yang disampaikan dalam sebuah buku “The Second Message of Islam”.

(18)

xx

mengembangkan dasar-dasar pemahamanya melalui penafsiran ulang Islam dalam sebuah karya nya yang bejudul The Second Massage of Islam yang diterjemahkan oleh An-Na’im dan diterbitkan pada tahun 1987 serta melalui buku inilah yang banyak memengaruhi pemikiran An-Na’im. Namun pada tahun 1985, ketika sebuah gerakan Islam fundamentalis mendapatkan tempat di Sudan dan setelah dieksekusinya Mahmoud Mohamed Taha oleh rejim Sudan Ja’far Numeiry, An-Na’im lalu meninggalkan daerahnya. Sejak pengasingannya dari Sudan, ia memfokuskan pekerjaannya mambantu kaum muslimin menentukan cara hidup secara islami serta mencakup hak asasi setiap manusia. Projek penelitian internasionalnya mencakup kajian perempuan, hukum keluarga Islam, Islam dan hak asasi manusia yang selalu disponsori oleh Ford Foundation.

An-Na’im juga menjadi juru bicara yang fasih tentang ide-ide Mahmoud Mohamed Taha, menulis artikel dan berbicara dengan berbagai kalangan dalam rangka melanjutkan pemikiran gurunya. An-Na’im sendiri bergabung dengan Persaudaraan Republik ketika masih mahasiwa fakultas hukum Universitas Khartoum. Ia menghadiri sejumlah kuliah yang langsung disampaikan oleh Thaha dan selalu hadir dalam diskusi-diskusi informal di rumah gurunya. Sehingga buku The Second Massage of Islam lah yang sangat mempengaruhi pemikiran An-Na’im selanjutnya.

(19)

xxi

usaha reformasi Islam menurut tradisi Thaha. An-Naim sendiri menekankan bahwa pesan ini mewakili suatu pendekatan bukan aksi politik.9

B. Karya-karya Abdullahi Ahmed An-Na’im.

Prof. Abdullahi Ahmed An-Na’im selain memiliki hasil karya sendiri, ia juga merupakan salah seorang editor buku sekaligus penerjemah bebarapa buku. Beberapa karya An-Na’im ini penulis peroleh dari media internet.10

Beberapa karya pribadi yang langsung ditulis Abdullahi Ahmed An-Nai’im adalah:

1. Islam and The Secular State: Negotiating The Future of Shari’a, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, Islam dan Negara Sekular: Menogosiasikan Masa Depan Islam Syariah, yang diterjemahkan oleh Sri Murniati dan diterbitkan oleh penerbit Mizan. 2007. Buku ini menegaskan kembali apa yang pernah diungkapkannya dalam karyanya Towards an Islamic Reformation (1990) yang intinya menolak intervensi negara dalam penerapan syariat Islam karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat dan tujuan syariat itu sendiri yang hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Menurut An Na’im, syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya bila diterapkan melalui negara. Ia menekankan perlunya menjaga

9

Pengantar LKiS dalam Abdullahi Ahmed An-Nai’m, Dekonstruksi syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasioanal dalam Islam (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. xiii

10

(20)

xxii

netralitas negara terhadap agama dan pemisahan secara kelembagaan antara Islam dan negara, agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam

2. African Constitutionalism and the Contingent Role of Islam. Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press (2006).

3. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and

International Law. Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1990 (soft-cover edition by American University in Cairo, 1992). Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia (1994) oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani dan diterbitkan oleh LKis Yogyakarta dengan judul Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional

dalam Islam. Arab (1994), Rusia (1999), dan Persia 2003.

4. Sudanese Criminal Law: General Principles of Criminal Responsibility

(Arabic). Omdurman, Sudan: Huriya Press, 1985. Bebarapa karya An-Na’im sebagai editor adalah:

1. Human Rights Under African Constitutions: Realizing the Promise for

Ourselves. Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, 2003.

2. Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book. London: Zed Books, 2002.

3. Cultural Transformation and Human Rights in Africa. London: Zed Books, 2002.

(21)

xxiii

5. Universal Rights, Local Remedies: Legal Protection of Human Rights under

the Constitutions of African Countries. London: Interights, 1999.

6. The Cultural Dimensions of Human Rights in the Arab World (Arabic). Cairo: Ibn Khaldoun Center, 1993.

7. Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus. Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, 1992.

Karya An-Na’im sebagai Co. Editor

1. With Ifi Amadiume: The Politics of Memory: Truth, Healing and Social Justice. London: Zed Books, 2000.

2. With J. D. Gort, H. Jansen, & H. M. Vroom: Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship? Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company, 1995.

3. With Francis Deng: Human Rights in Africa: Cross-Cultural Perspectives. Washington, DC: The Brookings Institution, 1990.

Beberapa karya yang pernah diterjemahkan oleh An-Na’im:

1. Terjemahan dalam bahasa Arab: Francis Deng: Cry of the Owl (a political novel). Cairo: Midlight, 1991.

2. Terjemahan dalam bahasa Inggris: an Introduction: Ustadh Mahmoud Mohamed Taha: The Second Message of Islam. Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1987.

C. Latar Belakang Pendidikan, Karir dan Kegiatan

(22)

xxiv

memperoleh gelar LL.B dan Diploma. Kemudian pindah ke Edinburgh University, Scotlandia dan memperoleh gelar Doktor pada tahun 1976. Kemudian dia kembali ke Sudan untuk mengajar di University of Khartoum, hingga tahun 1985. Menjelang tahun 1979, ia menjadi kepala Departemen Hukum Publik di Fakultas Hukum Universitas Khartoun.

An-Na’im menjadi guru besar agung dibidang hukum dari Universitas California, Los Angles pada tahun 1985-1987, dan pada tahun 1988-1991, An-Na’im juga guru besar agung di bidang HAM dari sebuah Universitas Saskatchewan, Canada. Pada tahun 1995 An-Na’im memperoleh gelar Profesor

dari Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat dan sejak 15 tahun terakhir ini beliau menetap dan mengajar di Amerika Serikat.

An-Na’im adalah murid dari Muhamed Thaha, seorang pemikir besar Sudan, yang memiliki pemikiran yang dianggap oleh pemerintah Sudan sebagai pemikiran yang aneh dan karena itu beliau dibawa ke pengadilan dan kemudian digantung. Para pengikutnya juga dikejar-kejar oleh rezim pemerintah waktu itu pada masa rezim Sudan Ja’far Numeyri. Dalam rangka menyampaikan pesan sang guru, An-Naim memberikan ceramah dan tulisan-tulisan terutama untuk diluar Sudan. Dia merasa bahwa merupakan tanggungjawabnya untuk mengambil dasar ajaran Thaha dan mengembangkannya. Dia telah menulis untuk spesialisasi bidangnya yaitu hukum publik yang merupakan interpretasi hukum Islam dari perspektif ajaran gurunya.

(23)

xxv

bekerja sebagai Profesor Hukum di The Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat.

Pemikirannya sangat kontroversial. Ia berkali-kali menegaskan tidak pernah ada dan tidak perlu ada negara Islam. "Kita butuh negara sekuler untuk menjadi muslim yang baik," kata Naim kepada VHRmedia.com di Hotel Kristal, Jakarta Selatan kepada Fathiyah Wardah Alatas, Rabu (1/8/2007). Ia mempromosikan hasil riset empiriknya tentang penerapan syariat Islam di berbagai negara: Turki, India, Mesir, Sudan, Uzbekistan, dan Indonesia. Dimuat dalam buku Islam dan Negara: Menegoisasikan Masa Depan Syariah. Dalam riset yang disponsori Ford Foundation ini, Na’im hanya ingin mengulangi sikapnya bahwa syariah Islam tidak mungkin dapat dijadikan peraturan dan hukum publik melalui institusi negara. Karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat dan tujuan syariah itu sendiri, yaitu dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Ia menekankan perlunya menjaga netralitas negara dan memisahkannya secara kelembagaan dari agama.

Pengalaman Professional dan Pengalaman Mengajar11

Sejak dibubarkannya organisasi Persaudaraan Republik (Republican Brotherhood) yang didirikan oleh gurunya, perjuangan An-Na’im dalam mensosialisasikan ajaran gurunya tidaklah melalui sebuah partai politik yang dilakukan oleh gurunya, tetapi melalui diskusi-diskusi publik, seminar-seminar, terutama melalui mengajar di sebuah perguruan tinggi maupun universitas yang memang menjadi profesi keahlian sehari-hari An-Na’im. Di bawah ini beberapa pengalaman professional mengajar An-Na’im:

11

(24)

xxvi

• Juni 1995 sampai sekarang, Professor of Law, Emory University, Atlanta, GA, U.S.A.

• Global Legal Scholar, School of Law, The University of Warwick,UK, September 2007 sampai Agustus 2010.

• Scholars-in-Residence, the Ford Foundation, New York, NY, USA, May sampai December, 2007.

• G.J. Wiarda Chair, Utrecht University Institute for Legal Studies, the Netherlands, September 2005 to August 2006.

• Jeremiah Smith, Jr. Visiting Professor of Law, Harvard Law School, Cambridge, MA, USA, Januari sampai Juni 2003.

• Juli 1993-April 1995 Executive Director, Human Rights Watch/Africa, Washington, DC. U.S.A.

• Juli 1992 - Juni 1993 Scholar-in-Residence, The Ford Foundation, Office for the Middle East and North Africa, Cairo, EGYPT

• Agustus 1991-Juni 1992 Olaf Palme Visiting Professor, Faculty of Law, Uppsala University, Swedia

• Agustus 1988-January 1991 Ariel F. Sallows Professor of Human Rights, College of Law, University of Saskatchewan, Saskatchewan, Kanada.

• Agustus 1985-July 1987 Visiting Professor of Law, School of Law, University of California at Los Angeles (UCLA), Los Angeles, U.S.A.

• November 1976-Juni 85 Dosen and Guru Besar Hukum Luar Biasa; (Kepala Departemen Hukum Publik 1979-85) University of Khartoum, Sudan.

Kuliah Umum dan Presentasi Internasional12

12

(25)

xxvii

Dibawah ini beberapa kuliah umum, seminar, dan presentasi internasional yang dilakukan oleh An-Na’im dalam rangka membumikan pemikirannya serta memberikan pemahaman kajiannya tentang Islam, politik, dan negara, konstitusionalisme, dan HAM (hak asasi manusia ).

• Kuliah Umum dan Launching Buku “African Constitutionalism and the Role of Islam,” Centre for the Book, Cape Town, Africa Selatan, 9 Oktober , 2007. • Kuliah , “Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari`a”, 30th

Convention of German Orientalist Society, Albert-Ludwigs-Universsitat, Freiburg, Germany, 26 September , 2007.

• Kuliah Umum “Human Rights, Global Citizenship and Refugees,” Forced Migration and Refugee Studies, American University in Cairo, 6 December, 2006.

• Kuliah Umum , “Interdependence of Islamic Philanthropy and Secularism,” The John D. Gerhart Center for Philanthropy and Civic Engagement, American University, Cairo, 5 Desember , 2006.

• Presentasi, “The Future of Shari`a is with a Secular State,” and “Shari`a and Human Rights,” Conference on Shari`a in a Modern Context, The Association of Democratic Muslims of Demark and Institute for Cross-cultural and Regional Studies, University of Copenhagen, Denmark, 25-26 November , 2006.

(26)

xxviii

• Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam in Politics, Economics and Society”, Centre for Democratic Research and Training, Bayero University, Mambayya House, Kano, Nigeria, 31 Agustus, 2006. • Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam,” Islamic

Legal Studies and Faculty of Law, Ahmado Bello University, Zaria, Nigeria, 30 Agustus, 2006.

• Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam in Politics and Society”, University of Abuja, Nigeira, 29 Agustus , 2006

• Keynote presentation, “Citizenship and Legal Pluralism: An Islamic Perspective,” Conference on the Possibility of Intercultural Law, Annual Meeting of Association of Legal Philosophy, Conference Center Kaap Doorn, Diebergen/Zeist, The Netherlands, 9-10 Juni, 2006.

• Keynote lecture, “Protection of Human Rights of Vulnerable Groups in the era of Terrorism,” 4th National Roundtable on Anti-terrorism and Protection of Minorities, Utrecht, the Netherlands, 7 Juni, 2006.

• Public lecture, “Cross-Cultural Dialogue Re-visited: Islam and Human Rights,” Society for International Development – Netherlands Chapter, Free University, Amsterdam, 15 May, 2006.

(27)

xxix

• Kuliah Umum, “State Secularism: Reality and Experience”, Khartoum Center for Human Rights and Development, Sharijah Hall, Institute of Afro-Asian Studies, University of Khartoum, Sudan, 26 Desember, 2005.

• Seminar, “The Future of Shari`ah in Islamic Societies,” Center for Women Studies, State Institute for Islamic Studies, Yogyakarta, Indonesia, 9 Februari , 2005.

• Seminar, “The Future of Shari`ah in Islamic Societies,” Center for Languages and Cultures, State Islamic University, Jakarta, Indonesia, 27 Januaryi, 2005. • Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,”

Conference Hall, India Tea Center, Mumbai, India, 8 January, 2005.

• Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,” General Education Centre, Aligarh Muslim University, Aligarh, India, 3 Januari, 2005.

(28)

xxx

BAB III

KONTEKSTUALISASI HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

Perdebatan ilmiah mengenai Islam dan politik muncul sejak tumbangnya kekhalifahan Islam Ottoman 1924. Sebelumnya literatur mengenai pendekatan Islam terhadap masalah kenegaraan baik dalam soal pemilihan imam, kualifikasi pemimpin amir dan tata administrasi kekhalifahan tidak meragukan integrasi Islam dalam politik. Setelah itulah muncul berbagai literatur yang banyak dibaca kalangan umat Islam sehingga mengaburkan jati diri Islam dalam kehidupan masyarakat dan lembaga-lembaga yang dibangun untuk mengendalikannya.

Wacana tentang relasi agama dan negara selalu mewarnai perdebatan fiqh siyasah (fiqh politik) dalam Islam13. Fenomena yang mengedepan ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup masyarakat diwilayah tertentu. Suatu negara diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial secara bersama-bersama dan untuk mencapai cita-cita suatu masyarakat. Disini otoritas politik memiliki urgensi dan harus ada yang terwakilkan dalam bentuk institusi yang disebut negara. Sehingga dirasa perlu oleh kaum muslimin untuk merumuskan konsep negara.

Diskursus negara agama sebenarnya bukan diskursus baru dalam wacana Islam Politik. Implementasi syariat Islam dalam negara modern jadi polemik publik yang pasang surut. Panorama seperti ini hampir menjadi karakter utama

13

(29)

xxxi

negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini bisa dilihat dari maraknya organisasi keagamaan yang lantang menyuarakan isu negara agama di pelbagai dunia Islam, seperti Ikhwan Muslimin (Mesir), Jamaat Islamiyah (India, Pakistan dan Bangladesh) dan FIS (Aljazair). Historisitas negara agama tersebut dapat disebut sebagai pilihan termungkin yang bisa dilakukan kalangan Islam Politik untuk menjadikan syariat sebagai sistem kenegaraan.

Kebanyakan diskusi tentang Islam dan politik mengasumsikan bahwa Islam tidak membedakan antara agama dan politik. Dunia keilmuan Barat pada tingkat lebih luas juga dunia keilmuan Muslim menegaskan ketidak terpisahan antara keduanya melalui perbandingan antara pemikiran politik Muslim dan Kristen. Meskipun metaphor semacam ini mengalami perubahan dalam tulisan-tulisan Kristen masa awal dan masa abad pertengahan, tetapi ide pemisahan kekuasaan tetap berjalan, urusan Tuhan dan urusan Kaisar. Sebaliknya, di dalam pemikiran Islam kerangka rujukannya adalah kesatuan keduanya: din wa-daulah, “agama dan negara”.

(30)

xxxii

dengan penafsiran yang lain. Multitafsir merupakan ciri dari Islam yang tak terhindarkan.

Kelompok pertama menawarkan sebuah konsep negara yang berdasarkan pada agama yaitu menyatunya antara agama dan negara (integralistik) dimana Islam diakui bukan hanya sekedar agama yang mengurus urusan ukhrawi lebih dari itu Islam juga mengurus persoalan-persoalan duniawi termasuk persoalan politik. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik dan negara. Sehingga kelompok ini menolak bahkan sangat mengecam sekali adanya pemisahan agama dan negara.

Namun sampai sekarang negara mana yang dapat dijadikan sebagai representasi negara Islam, apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain juga belum dapat dipastikan atau dianggap sample sebagai negara Islam. Hal ini disebabkan perbedaan pendapat para pemikir politik Islam dalam mendefinisikan tentang hubungan agama dan negara.

Azyumardi menjelaskan bahwa beragam perbedaaan pemikirian tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Barat. Pada masa modern ekspansi dan dan imprealisme dan kolonialisme Eropa ke wilayah Islam tidak hanya menciptakan desintegrasi politik Islam tapi lebih jauh menggoncangkan jati diri umat Islam.14

Salah satu dampak terbesar dari penetrasi Barat ke dunia Islam adalah menyangkut konsep dan sistem politik kenegaraan. Konsep dan sistem politik Barat tentu saja asing dan karena itu bersifat ahistoris bagi masyarakat muslim pada umumnya. Sebab itulah terjadi perdebatan dikalangan pemikir dan penguasa muslim tentang konsep Barat seperti nation state, nasionalisme, dan lain-lain.

14

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 2.

(31)

xxxiii

Kelompok kedua mempunyai pandangan bahwa Islam lebih dimaknai pada penerapan nilai-nilai substansinya, agama tidak mesti dilembagakan dalam sebuah institusi negara, namun tetap mengedepankan nilai-nilai Islam yang bersifat universal sehingga bisa diterima oleh pihak manapun diluar Islam.

Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahawa antara agama dan negara harus dipisahkan satu sama lain (sekuler) karena memahami agama hanya pada aspek pengurusan persoalan-persolan akhirat sementara masalah dunia (politik) diserahkan pada manusia sesuai zaman masing-masing tanpa mengikutsertakan agama dalam persoalan politik.

Namun meskipun ketiga-tiganya mempunyai pandangan yang berbeda dalam memahami hubungan agama dan negara, tetapi ketiga pandangan tersebut sama-sama mengakui peran penting negara. Dalam proses pencarian konsep negara, umat Islam ada yang meniru Barat dan ada juga yang menolak Barat. Maksudnya jika mereka menganggap bahwa Barat adalah segalanya, maka corak pemikiran mereka akan meniru Barat. Namun sebaliknya, ada juga yang menolak cara pandang Barat dan berasumsi bahwa Islam telah memiliki konsep negara yang jelas.

(32)

xxxiv

Kamaruzzaman dalam tulisannya15 membagi pandangan relasi agama dan negara menjadi dua gerakan. Pertama gerakan Fundamentalisme yaitu kalangan yang menginginkan adanya integrasi agama dan negara, sedangkan kelompok kedua disebut gerakan modernisme yang terbagi dalam dua kelompok yaitu modernisme Islam dan modernisme sekuler. Modernisme Islam berpandangan bahwa antara agama dan negara dapat diintegrasikan namun tidak mempersoalkan jika umat Islam mencontoh Barat. Adapun kelompok modernisme sekuler, memisahkan antara agama dan negara dan pada waktu bersamaan mencontoh gaya Barat dalam sistem kenegaraan.

Disini penulis mencoba menggambarkan beberapa pandangan yang ada dalam memahami relasi antara agama dan negara, yang akan diklasifikasi berdasarkan tiga paradigma yaitu pertama, Paradigma Islam Simbolik Formalistik, kedua, Paradigma Islam Substantif, dan yang ketiga Paradigma Sekuler.

A. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik

Pengaruh agama pada politik bukanlah sebuah fenomena yang hanya terjadi di dunia Islam. Tetapi adalah tidak mungkin bagi seorang ahli teori politik akan mengabaikan peran Islam dalam kehidupan publik umat muslim. Pengaruh yang paling besar dalam politik bangsa-bangsa Muslim dapat dilacak dengan jelas pada kecenderungan partisipasi politik yang amat luas dikalangan penduduknya.

Jelas bahwa setiap hukum membutuhkan sebuah pemerintahan yang mengadopsinya dan seperangkat aparat negara yang akan mengimplementasikan dan menegakkan sangsinya. Oleh karena itu Islam (syariat) juga membutuhkan

15

(33)

xxxv

sebuah negara untuk menegakkan sangsinya16. Ini memberikan pemahaman bahwa syariat membutuhkan kekuasaan politik dan otoritas agar bisa diimplementasikan. Di pihak lain, hubungan yang maksimal antara agama dan politik memerlukan komitmen total dan keterlibatan negara terhadap isi sebuah agama yang spesifik.

Pemikiran ini yang mengatakan bahwa antara Islam dan politik tidak bisa dipisahkan muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu, termasuk persoalan negara dan politik. Din wa-daulah marupakan salah satu jargon terpenting dari mazhab pemikiran seperti ini. Dalam pandangan aliran ini, Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya memiliki sistem dan teori tentang politik, ekonomi, negara, dan sebagainya.

Dengan ini maka mereka mempunyai keyakinan bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk kekhalifahan sebagimana yang pernah dipraktekkan oleh Nabi di Madinah dan juga para khulafaurrasyidin pada kurun setelahnya.. Karena kepercayaan yang teguh bahwa antara Islam dan politik harus disatukan, banyak orang memberi penilaian terhadap kelompok ini sebagai penganut mazhab teokratis.17

Zuhairi Misrawi menyebutkan bahwa pandangan kelompok yang menginginkan menyatunya agama dan negara dilatarbelakangi oleh dua hal18. Pertama, sebagai tawaran alternatif bagi kegagalan sistem sekuler. Ini menjadi

16

Ahmed Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syabab (Jakarta: Citra, 2006), h. 8.

17

Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), h. 8.

18

Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler?,” diakses pada tanggal 5 April 2008 dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=148. html

(34)

xxxvi

alasan yang sering disebut-sebut guna membangun masyarakat yang islami. Kedua, penyatuan agama dan negara sebagai suatu resistensi terhadap modernitas

Dalam tulisannya itu, Zuhairi Misrawi memasukkan Yusuf al-Qardlawi sebagai pemikir muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan negara sebagai alternatif dari ketimpangan sistem sekuler yang telah memporak-porandakkan nilai dan moralitas. Menurut Qardlawi tegasnya, Islam mempunyai seperangkat nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Al-Quran dan Sunnah rujukan utamanya.19

Dalam menyikapi sekularisasi dan westernisasi atas nama modernisasi, kaum Muslim dapat dipilah dalam dua kelompok besar, yaitu yang menerima dan yang menolak. Masing-masing dapat dibagi lagi: ada yang cenderung bersikap ekstrim, dan ada pula yang bersikap moderat. Yang ekstrim dari kelompok penerima biasanya disebut secularist seperti Ataturk, sedangkan yang bersikap moderat disebut reformist atau modernist seperti Muhammad Abduh, Ahmad Khan, Fazlur Rahman. Adapun yang ekstrim dari pihak yang menolak biasanya dicap revivalist atau fundamentalist seperti Al-Maududi dan Sayyid Qutb, sementara yang moderat dijuluki conservative atau tradisionalist seperti Muhammad bin Abd al-Wahhab.

Pendukung sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekulerisasi adalah hasil yang tak terelakan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjauh dari agama dan takhyul. Penentangan yang paling kentara muncul dari Islam Fundamentalis.

19

(35)

xxxvii

Penentang sekularisme melihat pandangan di atas sebagai arogan, mereka membantah bahwa pemerintahan sekuler menciptakan lebih banyak masalah dari pada menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah lebih baik.

Sebuah pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang menerima dan mengakui otoritas absolut dari Islam. Ia berupaya untuk membentuk sebuah tertib sosial yang Islami sesuai ajaran yang dikandung Islam, pelaksanaan syariat, dan berupaya untuk mengarahkan keputusan-keputusan politik dan fungsi-fungsi publik sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam.

Paradigma ini memahami Islam sebagai agama yang sempurna pada prinsipnya tidak mengenal pemisahan agama dan negara. Merefleksikan adanya kecenderungna untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan syariah secara langsung sebagai konstitusi negara. Ada semacam kesadaran teologis yang sangat kental, bahwa syariat dengan kesempurnaannya dapat menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi umat Islam.

Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa penganut aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa Islam merupakan:

• Sebuah agama yang serba lengkap dimana terdapat sistem kenegaraan dan poltik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam

• Sistem kenegaraan atau politik yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Khulafa al-Rasyidin.20

(36)

xxxviii

Kelompok ini sering dikategorikan sebagai kelompok revivalisme atau fundamentalisme yang mengusung reaksi ekstrim terhadap meluasnya ide-ide pemikiran Barat kedalam dunia Islam. Aliran agama yang lebih fundamentalis menentang sekulerisme. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang dari minoritas keagamaan yang memandang sekularisme politik dan pemerintah sebagai hal yang penting untuk menjaga persamaan hak.

Kelompok ini juga sering dikategorikan sebagai kelompok muslim skriptualis yang berusaha memperjuangkan formalisasi agama. Artinya, dalam pandangan mereka, Islam harus mewarnai kehidupan, dan tidak boleh menjadi sekedar agama privat. Islam harus asertif menjadi dasar negara, dan syariatnya mesti diberlakukan dalam tiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan mengambil inspirasi dari karya-karya Sayyid Qutb (W.1966) dan Abul A’la Al-Maududi (W. 1979), mereka yang dalam istilah John L. Esposito (1990), menegaskan jargon bahwa doktrin Islam itu self-sufficiency, sehingga mendirikan negara Islam menjadi doktrin agama.

Para pendukung arus ini secara mutlak menolak liberalisme dan ideologi-ideologi Barat lainnya. Mereka mendukung adopsi yang komprehensif dari sumber-sumber yang bersifat ilahiyah yang sakral sebagai suatu cara untuk mengakhiri hegemoni Barat, dan sekaligus berupaya mengatasi berbagai masalah sulit yang dihadapi masyarakat Muslim.

Tujuan utama dari sebuah pemerintahan Islam adalah untuk membentuk sebuah masyarakat Islam, dimana Islam sejatinya tidak memandang masyarakat Islam sekumpulan orang, tetapi masyarakat juga dilihat dari sisi hubungan sosial

(37)

xxxix

dan tertib sosial masyarakat dimana mereka tinggal. Oleh karena itu, sebuah masyarakat Islam secara definitif adalah sebuah masyarakat yang ideal dimana tertib sosial telah dibentuk dan diatur sesuai dengan nilai-nilai Islam, ajaran-ajaran, dan aturan-aturannya.21

Pemikiran akan penyatuan agama dan negara setidaknya terlihat pada tokoh seperti Abu A’la Al-Maududi yang sangat tidak tertarik dengan yang terjadi di Turki yaitu adanya pemisahan agama dan negara yang pada gilirannya posisi Islam terletak pada titik subordinat, jika tidak boleh dikatakan dikikis sama sekali.

Al-Maududi menulis teori-teori politiknya dilatari penolakan terhadap teori-teori politik Barat dan memberi label Islam kepada sistem yang dirumuskannya. Persoalan inilah yang membuat Al-Maududi sangat berlawanan dengan kalangan sekuler, karena dia sangat anti terhadap sekularisme, oleh karena itulah Al-Maududi mendukung berdirinya negara Islam.

Kelompok yang menginginkan formalisasi Islam dalam bentuk formal dimana menyatunya agama dan negara beranggapan bahwa integrasinya agama dan negara juga dibangun atas contoh dari Nabi, yang pada saat bersamaan bertindak sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemimpin komunitas politik. Dipertahankannya institusi kekhalifahan juga didasarkan atas keyakinan bahwa kekuasaan agama dan politik harus digabungkan dalam satu atap, sehingga memungkinkan syariat bisa diterapkan dan kominitas muslim terlindungi.

Adnin Armas menyatakan bahwa sekularisasi akan menggiring kepada sekularisme, sebuah ideologi yang mengeyampingkan peran Tuhan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana yang dikutif Adnin Armas dari Syed

21

(38)

xl

Muhammmad Naquib al-Attas bahwa sekularisasi tidaklah sesuai dengan agama Islam yang final dan otentik. Menurutnya sumber asli Islam adalah wahyu dan bukan Budaya. Substansi Islam seperti iman dan amal, ibadah serta aqidah diberi oleh wahyu dan diterjemahkan serta ditunjukkan oleh Rasulallah dalam perkataan dan perbuatannya bukan tradisi dan budaya22.

Sementara Syamsudin Arif mengatakan bahwa sekularisme sebagai ideologi, pada dasarnya memang tidak dapat bersenyawa dengan ajaran Islam yang hakiki, yang menganggap kekuasaan politik sebagai sarana penegakan agama. Dalam arti politik untuk kepentingan agama, bukan agama untuk kepentingan politik sehingga kebenaran agama dan kekuasaan politik terkait erat dan tak terpisahkan.23

B. Paradigma Islam Substantif

Kelompok ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem kenegaraan, tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat system kenegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.24

Jenis pemikiran ini sebagaimana dikatakan Bachtiar Efendi, adalah sebagai pikiran yang tengah-tengah25 yang mampu sebagai penengah antara pemikiran

22

Adnin Armas dalam “ Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi Harvey Cox”, dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, h. 32.

23

Syamsudi Arif, Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama. Dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, h. 42.

24

Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2

25

(39)

xli

sekuler dan pemikiran teokrasi. Perhatian utama dari kelompok ini adalah bahwa meskipun Islam meliputi nilai-nilai dan ide-ide tertentu, namun hal itu tidak serta merta menggabungkan spritualitas dan politik. Sehingga mereka tidak menentukan secara spesifik suatu bentuk pemerintahan. Mereka percaya bahwa politik dan agama merupakan persoalan yang berbeda. Tetapi, antara keduanya tidak mesti harus dihubungkan atau dipisahkan. Secara legal-formal dan simbolik barangkali antara Islam dan politik tidak selamanya bisa diterima.

Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak mewajibkan pengikutnya dengan cara apapun untuk mewujudkan ide-idenya dalam ranah politik. Mereka berusaha menunjukkan bahwa Islam tidak mempunyai hubungan dengan politik dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah doktrin spritualitas dan bukanlah sebagai sebuah doktrin politik. Meskipun demikian, secara substansial keduanya sulit untuk dipisahkan. Menjadi sekuler, dalam pengertian yang sebenarnya bukan perkara gampang-kalau tidak bisa sama sekali. Selalu saja terdapat nilai-nilai yang akan mempengaruhi kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan politik. Termasuk dalam hal ini nilai-nilai agama.26

Aliran dan model pemikiran yang kedua ini lebih menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal dan formal. Karena wataknya yang substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musayawarah, dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan itu mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, di mana negara bangsa merupakan salah satu unsur utamanya.

26

(40)

xlii

Refleksi kaum substansialis dalam bidang politik, pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.27 Pandangan mereka tersebut tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan kelembagaan politik mereka. Kalangan subtantif cenderung menginginkan Islam sebagai dasar etik dalam mengatur kehidupan masyarakat, tanpa harus terlibat jauh dalam formalisasi. Bagi mereka, bentuk negara dan institusi politik dalam pandangan Islam bukanlah bagian dari dogma agama, sehingga bersifat sakral.

Tentang negara Islam pandangan kelompok ini mengakui bahwa Nabi memang telah membentuk tertib politik sesudah migrasi nya ke Madinah. Akan tetapi, mereka tetap bersikeras bahwa ini bukan merupakan hubungan intrinsik antara Islam dan politik. Timbulnya otoritas Nabi di Madinah dianggap sedikit banyak sebagai event historis, suatu situasi khusus dimana keadaan sosial politik mendorong kearah itu, dan bukan merupakan suatu tugas agama yang termasuk dalam wahyu Ilahi.

Kemudian bentuk perjuangan terhadap berlakunya syari’at Islam, paradigma Substantif-Inklusifistik lebih cenderung pada sistem kulturalisasi, biarkan berjalan mengikuti keinginan masyarakat, bukannya pemaksaan melalui pensisteman sebagaimana yang diperjuangkan oleh kaum simbolik formalistik. Lebih jelasnya lagi kalau paradigma Substantif Inklusif menggunakan cara Battom Up, berangkat dari perspektif masyarakat, sedangkan paradigma simbolik

27

(41)

xliii

formalistik bersifat Top Down, pemaksaan dari atas ke bawah melalui sistem negara.

Nurcholis Madjid sebagaimana yang dijelskan oleh Fachri Ali bahwa Islam yang dimaksudkan itu adalah sebuah ajaran teologis dimana artikulasinya tidaklah harus selalau dibatasi oleh sekat-sekat kelembagaan dan peraturan formal yang mengedepankan label Islam. Sehingga Islam menyatu dalam nilai-nilai masyarakat umum. Dalam hal ini Nurcholis Madjid tidak melepaskan nilai-nilai Islam dalam dirinya, melainkan lebih mengarahkan pengejawantahannya kepada sesuatu yang lebih substansial dan kualitatif: pengembangan etika publik berdasarkan nilai-nilai Islam. Nilai Islam yang dapat berlaku pada dataran nasioanal itu hanyalah nilai Islam yang bisa dan orang Islam sanggup merumuskannya secara universal dan dan inklusif. Karena itu orang tidak berbicara tentang negara Islam lagi. Negara Islam itu ekslusif tidak inklusif dan merupakan penemuan manusia.28

Ia mencontohkan bahwa dulu waktu zaman Umayyah dan Abbasiyah tidak ada ekspresi seperti itu. Negara Umayyah disebut daulah Umayyah, zaman Abbasiyah disebut Daulah Abbasiyah. Tidak mungkin mengatakan daulah Umayyah dan Abbasiyah itu lepas dari Islam. Sampai sekarang pun ahli sejarah mengatakan bahwa Daulah Umayyah dan Abbasiyah itu dijiwai oleh Islam atau dikatakan negara Islam tapi dalam makna negara yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Kemudian Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa orang Islam sekarang berbicara tentang keadilan, persamaan antar manusia, hak pribadi, yang semuanya ada dalam ajaran Islam namun inklusif dan inilah substansi dari ajaran Islam.

28

(42)

xliv

Sebagaimana orientasi yang digunakan oleh paradigma Substantif-inklusif, bahwa urusan agama biarlah berjalan secara kultural, maka yang bertugas menjaga keberlangsungan syari’at Islam adalah umat Islam itu sendiri, terutama para ulamanya. Hal ini kenapa ? karena agama adalah penghayatan jiwa, dan Antara orang satu dengan lainnya berbeda pengalaman dalam merasakannya. Maka orang yang lebih mengerti keadaan sebagimana tadi adalah orang itu sendiri dan ulamanya, bukan orang lain, apalagi negara, selain ia tidak bertatap muka secara langsung dengan masyarakat juga didalamnya sarat dengan kepentingan individu dan golongan. Kemudian tugas pemerintah disini adalah hanya sebagai penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan dan kenyamanan rakyatnya. Dengan kata lain negara hanya mengurus Sesuatu yang berkaitan dengan kemashlahatan publik saja, bukan ikut campur dalam masalah prifat.

Dukungan negara bukan saja terasa anakronis, tapi juga salah arah. Negara tidak berhak menelusup masuk ke dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Dengan kata lain, negara tak berhak mengintervensi kehidupan keagamaan seseorang. Yang mendesak dilakukan sekarang adalah menciptakan suatu format kehidupan demokratis yang berkeadaban (civility) dan format kewargaan yang inklusif (inclusive citizenship) tanpa menelikung ajaran-ajaran normatif suatu agama. Dan itu sulit terwujud jika pemeluk agama hanya puas menerapkan hal-hal simbolik dan menafikan hal-hal substansial yang menjadi inti (core) agama.

(43)

xlv

Pancasila sudah melambangkan dan mengedapankan nilai-nilai Islam. Sementara musyawarah bukanlah hanya ajaran Islam bahkan orang selain Islam juga mengakui musyawarah sehingga tanpa pun musywarah diberi label Islam, hal itu sudah mencerminkan etika Islam. Inilah yang dimaksud Nurcholis Madjid Islam yang hadir dan diterima Publik.

Nurcholis Madjid menyesali kecenderungan mereduksi Islam hanya pada tata cara ibadah. Tetapi hal yang jauh lebih penting adalah bagaimana Islam dalam konteks substansialisasi artikulasi ajaran-ajarannya. Memberikan makna yang lebih luas dan dinikmati secara maknai bukan hanya oleh kalangan Islam sendiri. Sehingga Islam benar-benar mempunyai fungsi dan peran dalam sebuah konsep Rahmat-an lil alamin dan inilah yang menjadi kunci dari pemikirannya.29

Caknur ingin membebaskan pengertian Islam dari penjara-penjara partikularisme. Karena akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang yang berawal dari pemaksaan generalisasi. Maka dalam konteks pemikirannya, satu-satunya jalan membebaskan Islam dari sifatnya yang partikularistik itu adalah dengan mengembalikan fungsi dan peran Islam kepada konteks universal dan abadi: Rahmata-an lil alamin.

Semangat universalisme memfokuskan perhatian pada masalah-masalah yang menjadi agenda manusia secara universal tanpa tapal batas agama dan budaya.30 Bagi Caknur bahwa corak-corak pemikiran yang bersifat partikularistik itu adalah bersifat nisbi dan tak harus dimutlakkkan. Pemutlakan pemikiran-pemikran dan lembaga-lembaga itu bukan saja bersifat kontraproduktif dalam

29

Pengantar Fachri Ali dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Paramadina: Jakarta, 1998), h. xxxix.

30

(44)

xlvi

kehidupan riil tapi juga sangat sulit menyesuaikan diri dalam kehidupan yang sesunguhnya yang sangat dinamis.

Nurcholis Madjid melihat bahwa pemutlakan pemikiran dan lembaga tersebut sangat bahaya karena akan menimbulkan ideologisasai agama yang menghambat inklusivitas Islam sehingga akan menghambat percepatan perkembangan dan penerimaan publik terhadap Islam. Gagasan politik dan negara berlabel Islam merupakan representasi paling nyata dari sifat partikularistik Islam. Sebagaimana dijelaskan Fachry Ali bahwa pendirian negara Islam lebih merupakan respons sosiologis dalam struktur kejadian sosial politik.

Apakah lantas apa yang disampaikan dan dijabarkan Caknur keluar dari nilai-nilai Islam dan beranjak dari pemikiran sekuler? Fachri Ali menjelaskan bahwa partisipasi Caknur dalam menyumbangkan pikiran dan kritik-kritiknya terhadap dunia politik Indonesia, tidaklah beranjak dari kesadaran sekular, melainkan merupakan perwujudan dan konsekuensi logis dari persepsi keislamannya sendiri.31

Republik Mesir, Kerajaan Arab Saudi, Kerajaan Konstitusional Malaysia, dan Demokrasi Indonesia adalah varian-varian negara Islam modern. Kebebasan beragama, toleransi, anti-diskriminasi, penegakan hukum, keadilan dan HAM adalah partikular dari maqhasidus syariah inilah sesungguhnya secara substansial dengan nilai-nilai Islam.

Azyumardi dalam buku "Islam Substantif Agar Umat Tidak Menjadi Buih" menuliskan, politik Islam di Indonesia dalam arti formalisme sudah tidak laku karena pada umumnya, masyarakat lebih memilih Islam substantif. Jadi, katanya,

31

(45)

xlvii

apabila Islam mau berperan dalam politik, perannya adalah pesan substantif, yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dan tema-tema sentral seperti keadilan dan egalitarianisme, bukan menonjolkan simbol.32

Kesimpulannya, hal yang diinginkan oleh golongan Substantif-Inklusif dalam hubungan agama dengan negara adalah bagaimana antara ulama dan pemerintah (agama dan negara) bisa saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurus bagaimana moral umat/rakyat baik, kemudian pemerintah mengurus dan mengupayakan tentang bagaimana kesejahteraan, ketentraman dan perdamaian rakyat bisa tercapai.

Dalam Islam, etika menjadi acuan bagi politik dan segala bentuk aturan tingkah laku politik yang diambil dari norma-norma etika Islam. Dengan demikian, perhatian utama politik, yakni usaha mengkontrol struktur Negara, meraih kekuasaan untuk kebaikan, menyapu bersih keburukan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik, semuanya relevan dan dianjurkan oleh Islam.33 Islam memberikan perhatian penting terhadap aktivitas-aktivitas ini, yang membedakannya dengan yang lain adalah bahwa kehidupan politik harus ditempatkan dalam kerangka kehidupan keagamaan dan spiritual yang lebih luas.

C. Paradigma Sekuler

Kata sekularisme telah banyak digunakan dalam berbagai cara dalam sejumlah perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme diartikan sebagai kebijakan memisahkan gereja dari negara. Di negara-negara

32

Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih (Bandung: Mizan, 2000), h. 145.

33

(46)

xlviii

Katolik, menekankan pembedaan antara orang awam dari kaum pendeta. Istilah tersebut menunjuk pada dua aspek yang sama dan digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan antara gereja dan negara.

Masalah yang cukup menyita perhatian kaum Muslimin saat ini adalah masalah hubungan agama dan negara. Masalah ini menjadi mendesak disebabkan oleh munculnya negara-negara bangsa (Nation State) dan berhembusnya semangat sekularisme yang dibawa oleh Barat modern. Modernisasi dunia Islam dimulai pada abad ke -19. Berbagai perlawanan yang dilakukan untuk menandingi Barat dimulai pertama kali oleh kekhalifahan Usmani dibawah pimpinan sultan Mahmud II (1808- 1839).

Sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekulerisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu34.

Pemikiran tentang sekulerisasi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Harvey Cox dalam bukunya yang berjudul The secular City. Sehingga gagasan sekuler nya tampak lebih popular dan terformulasi dengan lebih sistematis. Harvey Cox berpendapat sekularisasi adalah pembebasan manusia dari proteksi agama dan metafisika, pengalihan dari alam lain kepada dunia ini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his

34

(47)

xlix

attention away from other worlds and toward this one)35. Harvey Cox menegaskan bahwa sekularisasi membebaskan masyarakat dari kontrol agama dan pandangan alam metafisik.

Di dunia Islam sekularisasi bukan hanya sebuah proses, tapi juga telah menjadi paradigma, ideologi dan dogma yang diyakini kebenarannya dan digarap secara sistematis dan terencana. Sekularissai dianggap sebagai prasyarat transformasi masyarakat tradisional menjadi modern. Pendukung arus sekular menyuguhkan analisis yang penuh optimis atas nilai-nilai Barat, dan mengukuhkannya sebagai konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan peluang kepada warisan politik Islam untuk berkembang atau berevolusi.36

Dalam istilah politik, sekulerisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.37

Sekulerisme, seringkali di kaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan memainkanm peranan utama dalam Peradaban Barat. Prinsip utama Pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Perancis, didasarkan dari sekulerisme. Kelompok sekuler percaya bahwa Islam dan politik harus dipisahkan. Dan tidak mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam adalah sistem keagamaan, tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik

35

Dikutip dari Adnin Armas dalam tulisannya Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi Harvey Cox, dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, hal. 28.

36

Vaezi, Agama Politik, hal. 3.

37

(48)

l

atau pemerinthan. Pola pemisahan agama dan negara ini, menolak eksistensi “negara agama”, juga kaitan hukum keagamaan.

Pandangan An-Naim tentang sekuler, memang harus ada pemisahan antara negara dan agama supaya dapat dijalankan oleh pemeluknya dengan suka rela tanpa ada paksaan dari negara. Namun dalam pengertian sekulernya An-Naim mendefinisikannya sebagai netralitas negara terhadap semua agama, sebagai kerangka untuk mengatur peran politik agama, dan bukan sebagai alat untuk meminggirkan agama dari domain publik.38

Islam tidak mempunyai sistem politik, dan apa yang dilakukan Nabi saw pada masanya tidak bisa disebut sebagai pengalaman pemerintahan Islam klasik. Bagi mereka kegagalan dunia Islam di dalam membangun sistem politik modern, termasuk yang bertumpu pada demokrasi, diakibatkan oleh ketidak mampuan melihat dan memperlakukan agama dan politik sebagai dua entitas yang berbeda dan terpisah. Dalam sejarah Islam, pandangan seperti ini sering diasosiakan dengan praktik politik Ataturkisme atau Kemalisme di Turki. Atau sering juga dirujukkan kepada pemikiran-pemikiran Ali ibn Abd Raziq, pemikir Mesir pada dasawarsa 1920-an.

Ali Abd Al-Raziq ( 1888-1966), seorang syaikh di Universitas al-Azhar Kairo Mesir, telah memicu kontroversi yang meledak pada tahun 1952 ketika bukunya, Al-Islam wa-Ushul Al-Hukm ( Islam dan Akar Pemerintahan), menyatakan bahwa kekuasaan Agama dan administratif Nabi adalah terpisah. Pemerintahan Muhammad atas komunitas Muslim Madinah bukanlah bagian dari

38

(49)

li

misi kenabiannya, dan para penerusnya, para khalifah hanyalah meneruskan kekuasaan temporalnya.

Ia mengklaim bahwa khalifah tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, Hadits maupun ijma’ ulama. Islam tidak memberikan aturan yang pasti tentang sistem pengaturan dan pengelolaan negara. Baginya Muhammad hanyalah seorang Nabi, bukan penguasa. Ia Cuma ditugaskan untuk mengajarkan akhlak dan agama, bukan politik dan tata negara. Oleh karena itu, agama tidak mesti dibawa-bawa dalam urusan kenegaraan. Urusan politik, pola pemerintahan, administrasi negara dan lain-lain tidak ada sangkut pautnya dan karena itu tidak perlu dikaitkan dengan agama.

Ali Abd Al-Raziq berargumen bahwa Nabi adalah pembawa misi agama, ia tidak mempunyai sebuah pemerintahan dan juga tidak berusaha mendirikan sebuah kerajaan dalam arti politik atau semacamnya. Sehingga ia berpendapat bahwa upaya pendirian sebuah pemerintahan tidak dipandang sebagai bagian dari ajaran Islam.

Penulis Pakistan Qamaruddin Khan, telah berpendapat bahwa teori politik Islam tidak muncul dari Al-Qur’an tetapi dari keadaan dan bahwa negara bukanlah merupakan hal yang dipaksakan secara ilahiyah ataupun yang sangat dibutuhkan sebagai sebuah institusi sosial. Konstitusi muslim bersifat fleksibel dan tidak semestinya menjadi institusi yang kaku dan tidak dapat dipertahankan secara intelektual sebagaimana yang sudah terjadi. Ia telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo politik di dalam masyarakat muslim.

(50)

lii

Muslimin itu sendiri. Kemudian Al-Jabiri menjelaskan bahwa jika kita mau jujur menalaah Al-Qur’an dan sejarah Islam, maka kita akan menemukan dengan jelas fakta-fakta yang menunjukkan dengan jelas bahwa Islam sama sekali tidak menentukan jenis dan bentuk negara. Masalah negara adalah merupakan sebuah ijtihad. Singkatnya masalah negara menurut Al-Jabiri adalah masalah yang tergolong pada apa yang dikatakan Nabi bahwa kamu lebih tahu tentang urusan dunia mu.

Lebih jauh Al-Jabiri mengatakan: Sesungguhnya bentuk negara dalam Islam bukanlah termasuk hal-hal yang diatur dalam Islam. Ia termasuk masalah yang diserahkan kepada kaum muslimin agar mereka berijtihad sesuai dengan pertimbangan manfaat dan kemaslahatan serta berbagai standar yang ada pada setiap zaman. Karena itu mengatakan bahwa Islam agama sekuler menurut saya sama salahnya dengan mengatakan bahwa Islam bukan agama sekuler karena sekularisme dalam arti memisahkan agama dari negara tidak dikenal dalam Islam karena tidak ada gereja dalam Islam. Adapun yang dimaksud dengan pemisahan adalah terpisahnya ulama dari umara, tentara dari rakyat, yakni apa yang kita sebut sekarang sebagai pemisahan agama dari politik dan tiadanya izin bagi tentara untuk terlibat dalam partai-partai politik, maka inilah yang secara aktual telah terjadi sejak muawiyah, dan inilah yang membentuk bagian terbesar dari pengalaman historis umat Islam.39

Dalam pengertian Amien Rais bahwa sekularisme merupakan suatu ideologi ataupun paham hidup yang mengajarkan bahwa agama merupakan masalah pribadi dan masalah subyektif setiap individu yang hanya bermanfaat

39

(51)

liii

untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kejiwaan.40 Para pendukung sekularisme berpendirian

Referensi

Dokumen terkait

stock ) yaitu persediaan barang-barang atau bahan-bahan yang diperlukan dalam proses produksi untuk membantu berhasilnya produksi atau yang digunakan dalam bekerjanya

Remuk Diterjang Badai Noda Hitam di Jalan Hidup Artis Ganasnya Dampak Video “Ariel” Luna Kembali Diperiksa, Cut Tari Tumbang Tidak Nyuci Baju tapi Makan Sushi Pro-Kontra Penahanan

Produk pemikiran, baik aqidah, fiqih, maupun tasawuf dalam faktannya menjadi objek yang dipelajari, dihafal dan dilestarikan dan bukan dikaji hingga melahirkan

Selanjutnya pendapatan dar i Dana Penyesuaian pada tahun 2012 mengalami penur unan apabila dibandingkan dengan tahun 2011, dikar enakan pendapatan Biaya Oper asional Sekolah

Karena itu, makna gadai ( rahn ) dalam hukum sosial adalah “menjadi sesuatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang,

Parameter alpha dan beta memang tidak terdapat pada perintah ini, karena ellipse akan diisi pola isian warna maka ellipse harus digambar tertutup dengan kata lain nilai alpha selalu