• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perekat Likuida dari Limbah Sabut Pinang (Areca catechu LINN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perekat Likuida dari Limbah Sabut Pinang (Areca catechu LINN)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PEREKAT LIKUIDA DARI LIMBAH SABUT PINANG

(Areca catechu LINN)

SKRIPSI

OLEH :

LAURA BETHNOVA SILALAHI 071203034

TEKNOLOGI HASIL HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Laura Bethnova Silalahi. Perekat Likuida dari Limbah Sabut Pinang (Areca catechu LINN). Dibimbing oleh Tito Sucipto dan Luthfi Hakim

ABSTRAK

Pinang merupakan salah satu sumber daya alam yang berlignoselulosa. Mengingat bahwa saat ini pemanfaatan sabut pinang secara langsung sangat sedikit, sehingga perlu ada inovasi untuk memanfaatkan sabut pinang seperti pembuatan perekat likuida. Sabut pinang (Areca catechu L.) dimanfaatkan sebagai bahan baku perekat likuida melalui proses likuifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeterminasi kualitas perekat yaitu sifat kenampakan, derajat keasaman (pH), viskositas, berat jenis, kadar padatan, waktu gelatinasi, kadar abu dan formaldehida bebas serta membandingkan kualitas perekat likuida sabut pinang dengan standar SNI 06-4567-1998. Pencampuran serbuk sabut pinang dengan H2SO4, phenol kristal teknis, NaOH, dan formalin dilakukan secara langsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perekat likuida sabut pinang merupakan golongan perekat phenolik dengan karakteristik bentuk cair, berwarna merah kehitaman, bebas kotoran, pH 11, kekentalan 152 cps, berat jenis 1,136, kadar padatan 33,3%, waktu gelatinasi 436 menit, kadar abu 33,22%, dan formaldehida bebas 1,95%. Hasil yang didapat sebagian memenuhi standar SNI 06-4567-1998 yaitu karakteristik kenampakan, keasaman, dan waktu gelatinasi. Untuk karakteristik formaldehida bebas juga memenuhi standar SNI 06-4565-1998 yaitu ≤2%.

(3)

Laura Bethnova Silalahi. Wood Liquid of Areca Nut Husk (Areca catechu LINN).

Supervised by Tito Sucipto and Luthfi Hakim

ABSTRACT

Areca nut is one of lignocellulose natural resources. Due less direct using of areca nut, so the innovation to exploit areca nut husk was needed such as liquid adhesive. In this research, areca nut husk (Areca catechu L.) was used as basic commodity of liquid adhesive through liquifaction proccess. This research’s purpose was to get technology of areca nut husk liquid adhesive, to determine adhesive quality such as visible, degree of acidity (pH), viscocity, density, solid matter content, gelatin time, ash content, and free formaldehyde with compared the areca nut husk liquid adhesive with SNI 06-4567-1998. Mixed areca nut husk, H2SO4, technical crystal phenol, NaOH, and formalin were done directly. Result of research showed that areca nut husk liquid adhesive is phenolic adhesive group with liquid characteristic, red colored, waste free, degree of acidity was (pH) 11, viscocity was 6.817 cps, density was 1.136, degree of solid matter was 33.3%, gelatin time was 436 minutes, ash content was 33.22%, and free formaldehyde was 1.95%. The results were gotten fulfilled SNI 06-4565-1998 enough such as appearance, degree of acidity, and gelatin time. Free formaldehyde characteristic also fulfill of SNI 06-4565-1998 was ≤ 2%.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala

berkah dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang

berjudul “Perekat Likuida dari Limbah Sabut Pinang (Areca catechu LINN)”.

Hasil penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menjadi Sarjana

Kehutanan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada orang tua yang selalu memberi

dukungan, doa, dan kasih sayang serta memberi motivasi untuk tetap semangat

dalam mewujudkan penelitian ini. Terimakasih juga untuk abang, kakak dan adik

yang selalu membantu, menemani, mendoakan dan memberi dorongan dalam

mengerjakan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada

komisi pembimbing skripsi yaitu Bapak Tito Sucipto, S.Hut, M.Si sebagai ketua

dan Bapak Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si sebagai anggota yang telah membimbing

dan memberi masukan serta saran dalam penelitian selama ini.

Penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat menjadi panduan belajar

dan bacaan yang bermanfaat bagi mahasiswa/i kehutanan secara khusus dan

masyarakat secara umum. Akhir kata penulis menyampaikan terima kasih.

Medan, Januari 2012

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

Kegunaan Pinang ... 5

Kandungan Kimia Pinang ... 5

Perekat ... 6

Perekat Likuida ... 8

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 16

Alat dan Bahan ... 16

Prosedur Penelitian a. Pembuatan Partikel Sabut Pinang ... 18

b. Pembuatan Perekat Likuida ... 18

c. Determinasi Kelarutan Zat Ekstraktif Partikel Sabut Pinang ... 19

Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Air Dingin ... 19

Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Air Panas ... 20

d. Determinasi Kualitas Perekat Likuida Sabut Pinang ... 20

Kenampakan ... 20 Determinasi Kelarutan Partikel Sabut Pinang ... 25

Kelarutan Air Dingin ... 25

Kelarutan Air Panas... 26

(6)

Keasaman ... 28

Kekentalan ... 30

Berat Jenis ... 31

Sisa Penguapan (Kadar Padatan) ... 32

Waktu Gelatinasi. ... 33

Kadar Abu. ... 34

Formaldehida Bebas. ... 35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan. ... 36

Saran. ... 36

(7)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Bagan alir pembuatan perekat likuida... 17

2. Penyaringan likuida sabut pinang ... 25

3. Kenampakan perekat likuida sabut pinang... 28

4. Warna kertas pH perekat likuida dari sabut pinang ... 29

5. Pengujian viskositas perekat likuida dari sabut pinang ... 31

6. Pengukuran berat jenis perekat likuida dari sabut pinang ... 32

7. Perekat likuida setelah diovenkan ... 33

(8)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

(9)

Laura Bethnova Silalahi. Perekat Likuida dari Limbah Sabut Pinang (Areca catechu LINN). Dibimbing oleh Tito Sucipto dan Luthfi Hakim

ABSTRAK

Pinang merupakan salah satu sumber daya alam yang berlignoselulosa. Mengingat bahwa saat ini pemanfaatan sabut pinang secara langsung sangat sedikit, sehingga perlu ada inovasi untuk memanfaatkan sabut pinang seperti pembuatan perekat likuida. Sabut pinang (Areca catechu L.) dimanfaatkan sebagai bahan baku perekat likuida melalui proses likuifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeterminasi kualitas perekat yaitu sifat kenampakan, derajat keasaman (pH), viskositas, berat jenis, kadar padatan, waktu gelatinasi, kadar abu dan formaldehida bebas serta membandingkan kualitas perekat likuida sabut pinang dengan standar SNI 06-4567-1998. Pencampuran serbuk sabut pinang dengan H2SO4, phenol kristal teknis, NaOH, dan formalin dilakukan secara langsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perekat likuida sabut pinang merupakan golongan perekat phenolik dengan karakteristik bentuk cair, berwarna merah kehitaman, bebas kotoran, pH 11, kekentalan 152 cps, berat jenis 1,136, kadar padatan 33,3%, waktu gelatinasi 436 menit, kadar abu 33,22%, dan formaldehida bebas 1,95%. Hasil yang didapat sebagian memenuhi standar SNI 06-4567-1998 yaitu karakteristik kenampakan, keasaman, dan waktu gelatinasi. Untuk karakteristik formaldehida bebas juga memenuhi standar SNI 06-4565-1998 yaitu ≤2%.

(10)

Laura Bethnova Silalahi. Wood Liquid of Areca Nut Husk (Areca catechu LINN).

Supervised by Tito Sucipto and Luthfi Hakim

ABSTRACT

Areca nut is one of lignocellulose natural resources. Due less direct using of areca nut, so the innovation to exploit areca nut husk was needed such as liquid adhesive. In this research, areca nut husk (Areca catechu L.) was used as basic commodity of liquid adhesive through liquifaction proccess. This research’s purpose was to get technology of areca nut husk liquid adhesive, to determine adhesive quality such as visible, degree of acidity (pH), viscocity, density, solid matter content, gelatin time, ash content, and free formaldehyde with compared the areca nut husk liquid adhesive with SNI 06-4567-1998. Mixed areca nut husk, H2SO4, technical crystal phenol, NaOH, and formalin were done directly. Result of research showed that areca nut husk liquid adhesive is phenolic adhesive group with liquid characteristic, red colored, waste free, degree of acidity was (pH) 11, viscocity was 6.817 cps, density was 1.136, degree of solid matter was 33.3%, gelatin time was 436 minutes, ash content was 33.22%, and free formaldehyde was 1.95%. The results were gotten fulfilled SNI 06-4565-1998 enough such as appearance, degree of acidity, and gelatin time. Free formaldehyde characteristic also fulfill of SNI 06-4565-1998 was ≤ 2%.

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Selama ini di Indonesia telah berdiri lebih dari ratusan industri pengolahan

kayu (komposit) yang sebagian besar menggunakan perekat sintetik. Sebagian

besar perekat yang diproduksi di Indonesia adalah perekat sintetik seperti UF, PF

dan MF, yang diperuntukkan memenuhi kebutuhan industri kayu lapis, papan

pertikel dan vinir lamina.

Kelemahan perekat sintetis tersebut adalah ketersediaan sumber bahan

baku perekat yang semakin berkurang dan timbulnya emisi formaldehida dari

produk material hasil perekatan terhadap lingkungan. Emisi formaldehida dapat

menyebabkan gejala pusing, sakit kepala dan insomnia (Umemura, 2006).

Menurut Maloney (1993), perekat berbahan formaldehida itu sendiri diperoleh

sebagai hasil olahan minyak bumi yang tidak dapat pulih. Sementara itu minyak

bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan

persediaannya sewaktu-waktu akan habis. Maka perlu adanya bahan pengganti

dalam pembuatan perekat.

Untuk menghasilkan produk-produk komposit, maka mutlak diperlukan

adanya perekat (adhesive), yaitu suatu substansi yang dapat menyatukan dua buah

benda atau lebih melalui ikatan permukaan. Sehingga untuk ke depannya

kebutuhan akan perekat akan semakin meningkat. Namun industri perekatan di

Indonesia saat ini juga belum mampu sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan

pasar. Dengan demikian perlu dilakukan upaya-upaya untuk dapat menghasilkan

(12)

Salah satu sumber yang memiliki potensi yang dapat menggantikan

perekat sintesis adalah perekat dari serat-serat alami, yang memiliki kandungan

lignin (Pizzi, 1983). Lignin dapat diperoleh dari kayu atau semua sumberdaya

alam berlignoselulosa (selulosa, hemiselulosa dan lignin). Salah satu alternatifnya

penggunaan sabut pinang (Areca catechu L.)

Pinang merupakan salah satu sumber daya alam yang berlignoselulosa.

Tanaman pinang, termasuk salah satu jenis palma yang sampai saat ini belum

memperoleh perhatian serius, dibanding tanaman palma lainnya. Di Indonesia,

tanaman ini banyak terdapat di Pulau Sumatera (Aceh, Sumatera Utara dan

Sumatera Barat), Kalimantan (Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat),

Sulawesi (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara) dan Nusa Tenggara (Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

Banyak pinang yang pemanfaatannya masih terbatas. Hal ini dapat dilihat

pada penggunaan bijinya hanya dimakan bersama sirih dan mayangnya untuk

acara adat ataupun buah pinang sebagai ramuan yang dimakan bersama sirih, telah

menjadi kebiasaan secara turun-temurun pada beberapa daerah tertentu di

Indonesia. Dengan kata lain, bagian pinang yang masih sering dimanfaatkan

selama ini adalah bagian daun, batang dan biji. Sementara itu bagian sabut pinang

tersebut terbuang dengan percuma tanpa digunakan atau dimanfaatkan lebih

lanjut.

Mengingat bahwa saat ini pemanfaatan sabut pinang secara langsung

sangat sedikit, maka perlu ada inovasi untuk memanfaatkan sabut pinang seperti

pembuatan perekat likuida. Pada penelitian ini sabut pinang sebagai bahan alami

(13)

likuifikasi. Sabut pinang sebagai bahan baku dasar perekat likuida sebagai

subsitusi alternatif perekat sintesis. Untuk itu dari uraian di atas peneliti perlu

melakukan penelitian apakah sabut pinang dapat dijadikan perekat likuida, dengan

metode Pu et al., (1991) sebagai alternatif perekat sintesis.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeterminasi kualitas perekat yaitu sifat kenampakan, derajat keasaman

(pH), kekentalan (viskositas), berat jenis, kadar padatan, waktu gelatinasi, dan

formaldehida bebas.

2. Membandingkan kualitas perekat likuida sabut pinang dengan standar

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Pinang Morfologi Pinang

Pinang (Areca catechu LINN) merupakan tanaman yang satu keluarga

dengan kelapa. Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong

palem-paleman. Menurut Sihombing (2000), sistematika tata nama pinang diuraikan

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monokotil

Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae

Genus : Areca

Spesies : Areca catechu

Menurut Sihombing (2000), ciri-ciri pinang adalah sebagai berikut:

1. Pohon tumbuh satu-satu, tidak berumpun seperti jenis palem umumnya

2. Batang lurus agak licin dengan tinggi dapat mencapai 25 m

3. Diameter batang atau jarak antar-ruas batang sekitar 15 cm

4. Garis lingkaran batang tampak jelas

5. Bentuk buah bulat telur, mirip telur ayam, dengan ukuran sekitar 3,5-7 cm serta

berwarna hijau waktu muda dan berubah merah jingga atau merah kekuningan

(15)

Kegunaan Pinang

Daun pinang mengandung minyak atsiri yang dapat mengobati gangguan

radang tenggorokan, pangkal tenggorokan, dan pembuluh broncial. Pucuk daun

muda yang rasanya pahit pun dapat dijadikan obat nyeri otot. Selain obat, daun

pinang dapat dijadikan sebagai pupuk hijau. Pelepah pinang dapat dipakai sebagai

bahan baku pembungkus makanan, kantong tempat ikan, serta alat permainan

anak-anak.

Menurut Sihombing (2000), batang pinang berguna sebagai bahan

bangunan, jembatan dan saluran air. Tanamannya sendiri dapat dipakai untuk

mencegah terjadinya erosi atau tanah longsor pada tanah-tanah longsor. Buah

pinang mengandung sabut yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan

kuas gambar atau kuas alis mata. Sementara bijinya berguna untuk bahan

makanan, bahan baku industri sperti pewarna kain, dan obat.

Kandungan Kimia Pinang

Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8H13NO2),

arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine, tanin terkondensasi,

tanin terhidrolisis, flavan, senyawa fenolik, asam galat, getah, lignin, minyak

menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang et al., 1996). Nonaka (1989)

menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu

tannin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid.

Menurut Panjaitan (2008), biji pinang rasanya pahit, pedas dan hangat

serta mengandung 0,3 - 0,6%, alkaloid, seperti arekolin (C8H13NO2), arekolidine,

(16)

tannin 15%, lemak 14% (palmitic, oleic, stearic, caproic, caprylic, lauric, myristic

acid), kanji dan resin. Biji segar mengandung kira-kira 50% lebih banyak alkaloid

dibandingkan biji yang telah mengalami perlakuan. Arekolin selain berfungsi

sebagai obat cacing juga sebagai penenang, sehingga bersifat memabokkan bagi

penggunanya. Mengingat kandungan kimia tanaman pinang (alkaloid arekolin)

mengandung racun dan penenang sehingga tidak dianjurkan untuk pemakaian

dalam jumlah besar. Uji analisis laboratorium menunjukkan bahwa sabut pinang

mengandung kadar selulosa 70,2%, air 10,92%, abu 6,02%.

Proantosianidin mempunyai efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik,

anti-inflamasi, anti-alergi, dan vasodilatasi (Fine, 2000). Fraksi flavonoid

(flavonol, antosianin, flavan-3-ol, dan proantosianidin) dari ekstrak cranberry

mampu menghambat pertumbuhan sel melalui G1 dan G2/M arrest serta mampu

menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara MDA-MB-435

(Ferguson et al., 2004). Sedangkan proantosianidin pada biji anggur memiliki

aktivitas penghambatan pertumbuhan sel kanker melalui downregulasi ekspresi

Bcl-XL (death inhibitor) sehingga dapat menginduksi apoptosis (Leigh, 2003).

Hal ini memungkinkan aktivitas sitotoksik proantosianidin pada pinang juga

melalui mekanisme yang sama.

Perekat

Perekat (adhesive) adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan

untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan (Forest Product Society,

(17)

Menurut Blomquist, et al., (1983) dalam Ruhendi et al., (2007),

berdasarkan unsur kimia utama (major chemical component) perekat dibagi

menjadi dua kategori yaitu:

1. Adhesive of Natural Origin

a. Berasal dari tumbuhan, misalnya starches (pati), dextrins (turunan pati),

vegetable gums (getah-getahan dan tumbuh-tumbuhan).

b. Blood (albumin dan darah utuh/keseluruhan), casein (susu) serta soybean

meal (termasuk kacang tanah dan protein nabati seperti biji-bijian pohon

dan biji durian).

c. Berasal dari material lain, seperti aspal, lak, karet, sodium silikat,

magnesium oksiklorida dan bahan organik lainnya.

2. Adhesive of Synthetic Origin

a. Thermoplastic resin adalah resin yang akan kembali menjadi lunak ketika

dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan seperti polyvinyl

alcohol (PVA), polyvinyl acetate (PVAc), kopolimers, ester selulosa dan

eter, poliamida, polistiren, polivinil butiral serta polivinil formal

b. Thermosetting resin adalah resin yang mengalami atau telah mengalami

reaksi kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultraviolet dan sebagainya serta

tidak kembali ke bentuk semula, seperti urea, melamin, phenol, resorsinol,

furfuril alkohol, epoksi, poliuretan, poliester tidak jenuh. Untuk perekat

urea, melamin, phenol, dan resorsinol menjadi perekat setelah direaksikan

dengan formaldehida (CH2O).

Menurut Tano (1997), keadaan suatu perekat ditentukan oleh metode

(18)

mekanis penyebarannya pada permukaan benda yang halus dan rata akan tercapai,

sedangkan untuk permukaan yang tak rata sebaiknya memakai sapuan (kuas) atau

semprot (spray).

Perekat Likuida

Salah satu teknologi pembuatan perekat dengan memanfaatkan

sumberdaya alam adalah teknologi yang telah dikembangkan oleh Pu et al.,

(1991), yaitu dengan mengkonversi serbuk kayu dengan proses kimia sederhana

yang disebut dengan proses liquifikasi kayu. Perekat alternatif ini dapat mengatasi

kebutuhan perekat yang akan semakin meningkat saat ini, selain juga dapat

mengurangi biaya produksi, karena perekat sintetis yang ada saat ini relatif mahal.

Menurut Yoshioka et al., (1992), maksud dari istilah liquefaction of

lignocellulosic adalah suatu prosedur untuk memproduksi minyak dari biomassa

dalam kondisi konversi tertentu. Likuifikasi lignoselulosa dapat dilakukan pada

suhu 240-270oC dengan katalis asam, bahkan pada suhu ruang (untuk kayu

termodifikasi kimia). Likuifikasi kayu termodifikasi kimia dapat dilakukan

dengan tiga metode, yaitu likuifikasi dari kayu teresterifikasi, penggunaan pelarut

polihidrat alkohol (solvolisis) dan post-chlorination dari kayu termodifikasi

kimia.

Menurut Yamada dan Ono (2003), penggunaan sumberdaya biomassa

yang efektif akhir-akhir ini telah mendapatkan perhatian yang lebih dan

merupakan poin yang penting dalam kegiatan perlindungan lingkungan. Namun

demikian sejumlah besar limbah berlignoselulosa seperti serbuk gergaji, limbah

kertas dan kulit masih banyak dijumpai tak termanfaatkan atau bermasalah

(19)

adalah dengan melakukan proses likuifikasi (liquefaction), yaitu teknik untuk

mengkonversi bahan-bahan berlignoselulosa menjadi bahan-bahan cair (likuida)

yang bermanfaat.

Yamada dan Ono (2003) menyatakan bahwa likuifikasi untuk

menghasilkan minyak bakar ini ternyata membutuhkan sejumlah energi yang

besar namun produk likuida yang dihasilkannya tidak begitu banyak. Sedangkan

yang menjadi masalah pada perekat likuida kayu adalah warna hitam yang

dihasilkannya, karena warna perekat termasuk faktor yang dapat mempengaruhi

penampilan kayu yang direkat. Warna perekat yang hitam menyebabkan

timbulnya noda pada permukaan produk yang dihasilkan seperti noda pada

permukaan kayu lapis sehingga akan terlihat sebagai cacat.

Perekat likuida dari sabut pinang diuji dengan metoda SNI 06-4567-1998

dalam hal: kenampakan, pH, kekentalan, berat jenis dan waktu gelatinasi. Adapun

karakteristik perekat likuida antara lain:

1. Kenampakan

Warna perekat dari beberapa limbah non kayu adalah merah-coklat

kehitaman yang disebabkan oleh suhu dan waktu pada proses pembuatannya.

Menurut Pu et al., (1991), perlakuan panas dan kimia pada lignin kayu dan bahan

kimia lain yang merupakan hasil konversi komponen selulosa pada kayu dapat

menyebabkan perekat likuida berwarna hitam.

2. Derajat keasaman

Keasaman perekat likuida berkisar antara 8,04-8,40, yang berarti likuida

non kayu bersifat basa. Sifat ini disebabkan adanya penambahan NaOH 40% ke

(20)

diperlukan untuk memperpanjang waktu simpan perekat likuida, karena pH tinggi

akan memperlambat proses curing. Selain itu kesesuaian antara perekat likuida

dengan kayu akan lebih baik, karena pada kondisi asam, kayu akan lebih cepat

menjadi rusak (Ruhendi et al., 2007). Menurut SNI 06-4567-1998, pH perekat

berkisar antara 10-13.

3. Kekentalan (viskositas)

Sifat kekentalan perekat merupakan sifat yang penting dalam perekatan.

Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada permukaan

yang direkat. Semakin tinggi kekentalan, maka kemampuan untuk membasahi dan

berpenetrasi ke dalam permukaan kayu akan semakin sulit. Namun jika

kekentalan perekat terlalu rendah, maka akan terjadi penetrasi perekat ke dalam

permukaan kayu yang berlebihan dan menyebabkan miskinnya garis rekat yang

terbentuk. Menurut SNI 06-4567-1998, viskositas perekat berkisar antara

130-300 cps.

4. Berat jenis

Berat jenis perekat berkaitan dengan komponen yang terkandung di

dalam perekat. Berat jenis semua perekat likuida dari limbah non kayu lebih

rendah dari berat jenis perekat phenol formaldehid menurut SNI 06-4567-1998,

yaitu sebesar 1,165-1,200. Berat jenis perekat likuida sabut kelapa mengalami

penurunan setelah diencerkan dengan air destilata.

5. Kadar padatan

Kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan

berikatan dengan molekul sirekat. Semakin tinggi kadar padatan pada batas

(21)

semakin banyak molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu pada saat

perekatan (Vick, 1999 dalam Ruhendi et al., 2007).

6. Waktu gelatinasi

Waktu gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat untuk

mengental atau menjadi gel, sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan

lain dan siap untuk direkatkan. Menurut Ruhendi (2008), waktu gelatinasi perekat

likuida kenaf dan bambu adalah >60 menit, sedangkan waktu gelatinasi perekat

likuida sabut kelapa adalah >30 menit. Waktu gelatinasi dari ketiga perekat

tersebut sesuai dengan SNI 06-4567-1998 yaitu 30 menit, dengan semakin

lamanya waktu gelatinasi, perekat tidak mudah untuk menggumpal sehingga umur

simpan perekat akan semakin lama.

Hasil penelitian Widiana (1998) melaporkan bahwa perekat likuida kayu

sengon dibuat dengan metode Pu et al., (1991) memiliki ciri-ciri: pH (0,12); berat

jenis (1,166); kadar padatan (52%); kekentalan (1,8 poise); warna hitam dan

waktu gelatinasi (3,5 menit) mendekati sifat perekat phenol formaldehida.

Penelitian Widiyanto (2002) menunjukkan bahwa likuida kayu karet dan bambu

tali memiliki ciri-ciri: pH (< 1), kekentalan (2 poise), kadar padatan (91%), berat

jenis (1,153) dan waktu gelatinasi pada 90oC (9 menit).

Khusus mengenai likuida tandan kosong kelapa sawit (TKKS) secara

berturut-turut telah dicoba dibuat oleh Setiawan (2004) dan Masri (2005) dalam

Ruhendi et al., (2007), dan telah diuji coba penggunaanya untuk papan partikel

TKKS oleh Setiawan (2004), Jatmiko (2005) dan Mulyani (2006) dalam Ruhendi

(22)

persyaratan SNI, tetapi dari tingkat emisi formaldehida sangat baik, karena jauh di

bawah ambang batas yang diperkenankan.

Pu et al., (1991) menyatakan bahwa tingginya kekentalan perekat dapat

disebabkan oleh residu serat kayu setelah likuifikasi dan tingginya berat molekul

komponen perekat. Kekentalan perekat yang terlalu tinggi ini dapat dikurangi

dengan penambahan nisbah formalin dan fenol yang digunakan.

Kadar padatan perekat likuida kenaf, bambu dan sabut kelapa lebih

rendah dari SNI 06-4567-1998 yaitu 40-45%. Ketiga bahan tersebut memiliki

kerapatan yang rendah, sehingga akan menghasilkan likuida dengan kadar padatan

yang rendah juga. Sedangkan perekat likuida lainnya kayu damar, meranti dan

pinus dengan filler tepung sekam telah dicobakan untuk membuat kayu lapis

meranti, tetapi lain halnya dengan perekat likuida kayu damar dan pinus dengan

penambahan filler tepung sekam sampai 10% memadai untuk membuat kayu lapis

meranti eksterior II (Sahriawati, 2000).

Menurut Ruhendi et al., (2007), likuifikasi, kayu termodifikasi kimia,

dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu:

a. Likuifikasi dari kayu teresterifikasi

Berikut adalah dua penelitian mengenai likuifikasi kayu teresterifikasi:

1. Kayu yang diesterifikasi dengan serangkaian asam alifatik, dapat

dilikuifikasi dalam benzil eter, stiren oksida, phenol resorsinol,

benzaldehida, larutan phenol, campuran kloroform-dioksan dan campuran

benzene-aseton setelah perlakuan pada suhu 200-270oC selama 20-150

(23)

2. Carboxymethylated wood, allylated wood dan hydroxyethylated wood

dapat dilikuifikasi dalam phenol (atau larutannya), resorsinol (atau

larutannya) dan formalin, setelah perendaman atau pengadukan pada suhu

170oC selama 30-60 menit (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al.,

2007).

b. Penggunaan pelarut polihidrat alkohol (solvolisis)

Allylated wood, methylated wood, ethylated wood, hydroxyethylated wood

dan acetylated wood dapat dilarutkan dalam polihidrat alkohol seperti 1,6

hexanediol, 1,4-butanediol, 1,2-ethanediol, 1,2,3-propantriol (glycerol), dengan

adanya katalis yang sesuai pada suhu 80oC selama 30-150 menit. Tiap reaksi

tersebut menyebabkan lepasnya fraksi alkohol (alkoholisis) dari makromolekul

lignin (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007)

c. Post-chlorination dari kayu termodifikasi kimia

Kayu termodifikasi kimia yang diklorinasi akan meningkat kelarutannya

dalam pelarut. Pada suhu ruang, hanya 9,25% cyanoethylated wood dapat

dilarutkan dalam o-cresol. Namun setelah reaksi klorinasi, hampir seluruh

cyanoethylated wood tersebut dapat larut dalam o-cresol, pada suhu ruang

(Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007)

Likuifikasi kayu tanpa perlakuan pendahuluan dapat terjadi dengan cara:

a. Perlakuan pada suhu di atas 250oC selama 15-180 menit, dalam pelarut

phenol, bisphenol, alkohol, polihidric alcohol, oxyethers, diethylene glycol,

triethylene glycol, polyethylene glycol, 1,4-dioxane, cyclohexanone, diethyl

ketone, ethyl n-propyl ketone (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al.,

(24)

b. Perlakuan pada suhu 150oC, tekanan atmosfir, dengan katalis phenolsulfonic

acid dan sulfuric acid (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).

Likuifikasi kayu termodifikasi kimia menggunakan pelarut phenol,

bisphenol dan polihidrik alkohol, serta dikombinasikan dengan penggunaan

croos-linking agent atau hardeners, menghasilkan resin (phenol formaldehid

resin, poliuretan resin, epoksi resin dan lain-lain) dengan daya rekat yang baik

(Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).

Likuifikasi kayu tanpa perlakuan akan menghasilkan resol-type phenol

resin. Penelitian yang telah dilakukan adalah:

a. Kayu dilarutkan dalam phenol pada suhu 150oC dengan katalis phenolsulfonic

acid (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).

b. Lima bagian chips kayu dilarutkan dalam dua bagian phenol pada suhu 250oC

tanpa katalis (Yoshioka et al., 1992 dalam Ruhendi et al., 2007).

Resol-tipe phenol resin yang dihasilkan dapat memberikan hasil perekatan

tahan air yang memuaskan bila dilakukan pengempaan panas pada suhu 120oC

dan kecepatan 0,5 menit per 1mm kayu lapis (Yoshioka et al., 1992 dalam

Ruhendi et al., 2007).

Metode pembuatan perekat dari biomassa mengandung lignin (Russel dan

Riemath, 1985 US Patent dalam Ruhendi et al., 2007).

a. Mempersiapkan liquefaction oil dari material tanaman yang mengandung

lignin, dengan memanaskannya pada suhu 290-350oC, selama 15-60 menit

pada tekanan antara 1.500 psi, dengan keberadaan air sebanyak 60-80% berat

(25)

b. Mereaksikan liquefaction oil dengan dietil eter, sehingga diperoleh fraksi

terlarut dan tidak terlarut pertama.

c. Fraksi terlarut pertama kemudian direaksikan dengan basa lemah (larutan

NaHCO3) sehingga diperoleh fraksi terlarut dan tidak terlarut kedua.

d. Fraksi tidak terlarut kedua direaksikan dengan basa kuat (larutan NaOH)

sehingga menghasilkan fraksi terlarut dan tidak terlarut ketiga.

e. Fraksi terlarut ketiga direaksikan dengan asam (HCl) sehingga menghasilkan

fraksi terlarut dan tidak terlarut keempat.

f. Fraksi tidak terlarut keempat direaksikan dengan dietil eter sehingga

menghasilkan fraksi terlarut dan tidak terlarut kelima.

g. Fraksi terlarut kelima ditambahkan air sehingga menghasilkan fraksi terlarut

yang disebut dengan fraksi fenolik dari liquefaction oil.

h. Campurkan (dengan perbandingan berat), 100 bagian fraksi fenolik, 1.330

bagian formaldehida 37%, 660 bagian air dan 460 bagian NaOH.

i. Panaskan campuran tersebut pada suhu 70-80oC selama 6 jam sehingga

diperoleh resin phenol formaldehida.

j. Campurkan (dengan perbandingan berat), 100 bagian resin phenol

formaldehida, 3 bagian tepung kulit kayu, 6 bagian NaOH 50% dan 3 bagian

aqueous Na2CO3. Panaskan campuran tersebut pada suhu 60oC selama 0,5 jam

(26)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei hingga September 2011.

Persiapan bahan baku dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan

Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian, pembuatan perekat serta

pengujiannya dilaksanakan di Laboratorium Kimia Polimer Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan adalah blender, parang/golok, saringan serbuk, oven,

desikator, timbangan, penangas air, pengaduk, kaca datar, cawan abu, gelas ukur,

gelas piala, erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, kertas pH, viscotester oswald,

piknometer, kertas saring, alumunium foil, tisu, gergaji, alat tulis, alat hitung dan

tally sheet. Bahan yang digunakan adalah sabut pinang, phenol kristal, larutan

H2SO4 98%, formalin, NaOH 50%, NH4OH10%, NaOH 1 N, NaOH 0,1 N, HCl 1

N, HCl 0,1 N, indikator metil merah dan metilen biru, arang aktif, dan aquades.

Prosedur Penelitian

Adapun bagan alir prosedur pembuatan perekat likuida yang dilakukan

(27)

Gambar 1. Bagan alir pembuatan perekat likuida Perendaman dalam air panas

suhu 80-90oC, 3 jam Dicacah, digiling, disaring

20-40 mesh dan dikeringkan

Determinasi kelarutan zat ekstraktif

Determinasi kualitas perekat: kenampakan, pH, viskositas, BJ, kadar padatan, waktu

gelatinasi, kadar abu, formaldehida bebas Likuifikasi dengan phenol dan

H2SO4 pada 90oC, 2 jam

Sabut pinang

Partikel serbuk sabut pinang

Partikel serbuk sabut pinang dengan kadar

ekstraktif rendah

Bahan perekat likuida

Perekat likuida sabut pinang

(28)

a. Pembuatan Partikel Sabut Pinang

1. Sabut pinang dicacah menjadi serpihan kecil menggunakan golok/parang.

2. Serpihan sabut pinang dikeringkan dengan cara dijemur sampai kadar air

sekitar 15%.

3. Serpihan sabut pinang digiling dengan menggunakan blender dan disaring

dengan menggunakan saringan.

4. Partikel berupa serbuk sabut pinang disimpan di tempat yang sejuk dan kering.

5. Partikel sabut pinang diberi perlakuan perendaman dalam air panas di atas

penangas air pada suhu 80~90oC selama 3 jam untuk menurunkan kadar

ekstraktifnya. Perbandingan serbuk sabut pinang : air adalah 1 : 15.

6. Setelah perlakuan perendaman, serbuk tersebut dikeringkan dalam oven sampai

kadar air sekitar 5% dan disimpan dalam kantong plastik yang tertutup rapat.

b. Pembuatan Perekat Likuida

Pembuatan perekat likuida sabut pinang mengacu kepada Masri (2005) atau

modifikasi Pu et al. (1991) yaitu:

1. Serbuk sabut pinang sebanyak 100 g berukuran 20~60 mesh dan kadar air

sekitar 5% dimasukkan ke dalam gelas piala.

2. Tambahkan larutan H2SO4 98% sebanyak 25 ml (5% dari berat phenol) dan

diaduk sampai rata sekitar 30 menit. Gelas piala ditutup rapat dan diamkan

selama 24 jam.

3. Phenol kristal teknis dipanaskan dalam penangas air pada suhu 60oC agar

berubah menjadi larutan. Larutan phenol sebanyak 500 ml (lima kali berat

(29)

serbuk sabut pinang dan larutan H2SO4 98%. Ketiga bahan tersebut diaduk

dalam gelas piala sampai larutan menjadi homogen.

4. Selanjutnya tambahkan NaOH 50% sambil diaduk sampai mencapai pH 11.

5. Larutan formaldehida 37% (formalin) ditambahkan dengan perbandingan

molar phenol : formalin adalah 1 : 1,2. Larutan diaduk sampai homogen.

6. Larutan disaring menggunakan kertas saring.

7. Panaskan larutan yang sudah disaring dalam penangas air pada suhu 90oC

selama 2 jam sambil diaduk sampai larutan menjadi homogen.

c. Determinasi Kelarutan Zat Ekstraktif Partikel Sabut Pinang

Determinasi kelarutan mengacu kepada TAPPI 1 m-59 mengenai kelarutan

dalam air dingin dan air panas.

Kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin

Cara determinasi kelarutan ekstraktif dalam air dingin adalah serbuk sabut

pinang sebanyak 2 g (BA) dimasukkan ke dalam gelas piala ukuran 400 ml.

Masukkan air sebanyak 300 ml ke dalam gelas piala. Diamkan selama 48 jam

pada suhu kamar, dengan beberapa kali pengadukan. Saring menggunakan kertas

saring yang telah diketahui beratnya. Serbuk sabut pinang dicuci dengan

menggunakan air sampai filtrat tak berwarna. Serbuk sabut pinang dikeringkan

dalam oven pada suhu 103±2oC selama 4 jam. Dinginkan dalam desikator

kemudian timbang beratnya. Pengeringan dan penimbangan serbuk sabut pinang

dilakukan sampai diperoleh berat tetap (BB). Kelarutan dalam air dingin

ditentukan dengan rumus:

(30)

Kelarutan zat ekstraktif dalam air panas

Cara determinasi kelarutan ekstraktif dalam air panas adalah serbuk sabut

pinang sebanyak 2 g (BA) dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 300 ml.

Masukkan air sebanyak 100 ml ke dalam erlenmeyer dan panaskan di atas

penangas air pada suhu 100oC selama 3 jam. Saring menggunakan kertas saring

yang telah diketahui beratnya. Serbuk sabut pinang dicuci dengan air panas

sampai filtrat tak berwarna. Serbuk sabut pinang dikeringkan dalam oven pada

suhu 103±2oC selama 4 jam. Dinginkan dalam desikator kemudian timbang

beratnya. Pengeringan dan penimbangan serbuk sabut pinang dilakukan sampai

diperoleh berat tetap (BB). Kelarutan dalam air panas ditentukan dengan rumus:

Kelarutan zat ekstraktif dalam air panas (%) = {(BA – BB) / BKO} x 100

d. Determinasi Kualitas Perekat Likuida Sabut Pinang

Determinasi kualitas perekat dilakukan dengan duplo (dua kali ulangan)

kemudian diambil rata-ratanya. Determinasi kualitas perekat mengacu pada SNI

06–4567–1998 mengenai phenol formaldehida cair untuk perekat kayu lapis, yang

terdiri atas:

Kenampakan

Prinsip uji kenampakan adalah pengamatan secara visual mengenai warna

dan adanya benda asing dalam perekat. Cara determinasi kenampakan perekat

adalah: contoh perekat dituangkan di atas permukaan gelas datar, lalu dialirkan

sampai membentuk lapisan film tipis. Dilakukan pengamatan visual tentang

(31)

Keasaman (pH)

Pengukuran pH adalah pengukuran banyaknya konsentrasi ion H+ pada

suatu larutan. Cara determinasi pH perekat adalah: contoh perekat dituangkan

secukupnya ke dalam gelas piala 200 ml dan diukur keasamannya pada suhu 25oC

menggunakan kertas pH.

Kekentalan (Viskositas)

Prinsip pengukuran kekentalan adalah pengukuran gesekan internal yang

disebabkan oleh kohesi molekul dalam suatu aliran. Cara determinasi kekentalan

perekat adalah contoh perekat dituangkan secukupnya ke dalam viscotester

oswald melalui ujung tabung yang diameternya besar. Sebelumnya viscotester

oswald diletakkan pada statif dan bagian bawah tabung direndam dalam air

hingga suhu nya stabil (25oC). Selanjutnya perekat dihisap dengan ball-pipet

melalui ujung tabung yang diameternya kecil sampai melewati batas tera atas.

Diukur waktu yang dibutuhkan oleh perekat untuk mengalir turun dari batas tera

atas ke batas tera bawah. Kekentalan perekat ditentukan dengan rumus:

ηp = {(dp x tp) / (da x ta)} ηa Keterangan:

ηp = viscositas perekat

ηa = viscositas air (0,890 cps) dp = densitas/kerapatan perekat

da = densitas/kerapatan air = 1

tp = waktu turunnya perekat dari batas tera atas ke batas tera bawah (detik)

Berat Jenis

Berat jenis adalah perbandingan berat contoh terhadap berat air pada

volume dan suhu yang sama. Cara determinasi berat jenis perekat adalah:

(32)

piknometer diisi air dengan suhu 25 oC sampai penuh dan ditutup tanpa ada

gelembung udara. Bagian luar piknometer dibersihkan dan dikeringkan dengan

tisu, lalu ditimbang (W2). Air dalam piknometer dibuang sampai bersih dan

keringkan. Selanjutnya piknometer diisi dengan contoh perekat sampai penuh dan

ditutup tanpa ada gelembung udara. Bagian luar piknometer dibersihkan dan

dikeringkan dengan tisu, lalu ditimbang (W3). Berat jenis perekat dihitung

dengan rumus:

Berat jenis = (W3 – W1) / (W2 – W1)

Sisa Penguapan (Kadar Padatan)

Sisa penguapan (kadar padatan) adalah perbandingan antara berat contoh

sebelum dipanaskan dengan berat contoh sesudah dipanaskan pada suhu tertentu

sampai berat tetap. Cara determinasi kadar padatan perekat adalah: contoh

perekat sebanyak 1,5 gram dimasukkan ke cawan (W1). Selanjutnya perekat

dalam cawan dikeringkan dalam oven pada suhu 150±2oC selama satu jam.

Dinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar, kemudian ditimbang.

Pengeringan dan penimbangan dilakukan sampai diperoleh berat tetap (W2).

Kadar padatan ditentukan dengan rumus:

Kadar padatan (%) = (W2 / W1) x 100

Waktu Gelatinasi

Waktu gelatinasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh contoh perekat untuk

membentuk gelatin pada suhu tertentu. Cara determinasi waktu gelatinasi perekat

adalah: contoh perekat sebanyak ±10 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

(33)

permukaan perekat berada 2 cm di bawah permukaan air. Amati waktu yang

dibutuhkan perekat tersebut untuk berubah wujud menjadi gel (gelatinasi) dengan

cara memiringkan tabung reaksi. Perekat yang sudah tergelatinasi ditandai

dengan tidak mengalirnya perekat ketika tabung reaksi dimiringkan.

Kadar Abu

Pengujian kadar abu perekat menggunakan standar ASTM D 1102–84.

Cara determinasi kadar abu perekat adalah: cawan porselen kosong dipanaskan

dalam tanur pada suhu 600oC selama satu jam, kemudian cawan tersebut

dinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar dan ditimbang.

Sebanyak ±2 g contoh perekat masukkan ke dalam cawan tersebut dan ditimbang,

kemudian dipanaskan dalam oven dengan suhu 103±2oC selama satu jam.

Dinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar, kemudian ditimbang.

Pengeringan dan penimbangan dilakukan sampai diperoleh berat tetap (W1).

Selanjutnya contoh perekat dalam cawan dikeringkan dalam tanur dengan suhu

600oC selama satu jam. Dinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu

kamar, kemudian ditimbang. Pengeringan dan penimbangan dilakukan sampai

diperoleh berat tetap (W2). Kadar abu ditentukan dengan rumus:

Kadar abu (%) = (W2 / W1) x 100

Formaldehida Bebas

Pengujian formaldehida bebas mengacu pada SNI 06–4565–1998 tentang

urea formaldehda cair untuk perekat papan partikel atau SNI 06–0163–1998

tentang melamin formaldehida cair untuk perekat kayu lapis. Pada pengujian ini

(34)

Cara determinasi formaldehida bebas perekat adalah: contoh perekat

sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 200 ml, tambahkan air sebanyak

50 ml dan aduk sampai merata. Indikator metil merah dan metilen biru diteteskan

sebanyak 2~3 tetes, lalu campuran dinetralkan dengan HCl 0,1 N atau NaOH 1 N.

Setelah netral, campuran ditambahkan dengan NH4OH 10% sebanyak 10 ml dan

NaOH 1 N sebanyak 10 ml. Erlenmeyer tersebut ditutup, dikocok dan diletakkan

di atas penangas air pada suhu 30oC selama 30 menit.

Selanjutnya campuran dititrasi dengan HCl 1 N sehingga terjadi perubahan

warna dari hijau menjadi biru kelabu dan kemudian merah ungu. Dengan

menggunakan prosedur yang sama dengan larutan contoh, dibuat juga larutan

blanko tanpa penambahan perekat. Formaldehida bebas perekat dapat ditentukan

dengan rumus:

(V1 – V2) x N x 30,03

FB (%) = x 100 W x 1000

Keterangan:

FB = formaldehida bebas (%)

V1 = volume HCl yang digunakan untuk titrasi blanko (ml)

V2 = volume HCl yang digunakan untuk titrasi contoh (ml)

N = normalitas HCl

30,03 = bobot molekul formaldehida

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi pembuatan perekat dengan memanfaatkan sumberdaya alam

dengan mengkonversi serbuk sabut pinang melalui proses kimia sederhana yang

disebut dengan proses liquifikasi kayu. Parameter perekat likuida yang diuji

adalah kelarutan dalam air dingin dan air panas, kenampakan, keasaman,

kekentalan, berat jenis, kadar padatan, waktu gelatinasi, kadar abu dan

formaldehida bebas. Perekat likuida dari sabut pinang yang dihasilkan mengacu

pada SNI 06-4567-1998 (kenampakan, keasaman, kekentalan, berat jenis, kadar

padatan, waktu gelatinasi), SNI 06-4565-1998 (formaldehida bebas), dan ASTM

D 1102-84 (kadar abu). Perekat likuida yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar

2.

Gambar 2. Penyaringan perekat likuida (a) dan perekat likuida sabut pinang (b)

Determinasi Kelarutan Zat Ekstraktif Partikel Pinang

Zat ekstraktif meliputi sejumlah besar senyawa yang dapat diekstraksi dari

(36)

senyawa-senyawa karbohidrat dan anorganik yang larut dalam air termasuk dalam

senyawa yang dapat diekstraksi.

Kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin

Zat ekstraktif adalah zat yang mudah larut dalam pelarut seperti: eter,

alkohol, bensin dan air. Termasuk di dalamnya minyak-minyakan, resin, lilin,

lemak, tanin, gula, pati dan zat warna. Zat ekstraktif tidak merupakan bagian

struktur dinding sel, tetapi terdapat dalam rongga sel.

Kelarutan zat ekstraktif partikel sabut pinang dalam air dingin adalah

17,64%. Zat yang terlarut dalam air dingin adalah zat warna, gula, dan pati.

Menurut Soenardi (1976), jumlah dan jenis dan zat ekstraktif terdapat tergantung

tanaman pada letaknya dan jenis dan tanaman. Zat ekstraktif dipengaruhi oleh

kondisi pertumbuhan.

Kelarutan dalam air panas

Kelarutan partikel sabut pinang dalam air panas adalah 11,11%. Kelarutan

zat ektraktif dalam air panas lebih rendah dibandingkan kelarutan zat ekstraktif

dalam air dingin. Pengaruh suhu tidak meningkatkan hasil ekstraksi. Hal ini

karena senyawa yang terlarut dalam air dingin berbeda dengan senyawa yang

terlarut dalam air panas. Menurut Batubara (2009), zat ekstraktif yang larut dalam

air panas adalah lemak, zat warna, tanin, damar, dan plobatanin.

Determinasi Kualitas Perekat

Determinasi kualitas perekat untuk karakteristik kenampakan, keasaman,

kekentalan, berat jenis, kadar padatan dan waktu gelatinasi mengacu pada SNI

(37)

Sementara untuk karakteristik pengujian formaldehida bebas mengacu pada SNI

06-4565-1998 dan untuk karakteristik pengujian kadar abu mengacu pada ASTM

D 1102-84. Adapun perekat likuida yang dihasilkan dari sabut pinang dengan

campuran H2SO4, formalin, NaOH dan phenol kristal memiliki karakteristik

seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik perekat likuida dari sabut pinang

No. Parameter Satuan Kualitas Perekat Likuida Sabut Pinang

*mengacu pada ASTM D 1102-84 **mengacu pada SNI 06-4565-1998

Pengujian kenampakan, keasaman (pH), kekentalan, berat jenis, kadar

padatan, waktu gelatinasi mengacu pada SNI 06-4567-1998 yaitu tentang fenol

formaldehida cair untuk perekat kayu lapis karena standar yang sesuai untuk

perekat likuida dengan kandungan phenolik dan formalin adalah SNI

06-4567-1998, dan tidak ada standar yang secara khusus membahas tentang perekat

likuida. Sementara untuk pengujian formaldehida bebas mengacu pada SNI

06-4565-1998 karena SNI 06-4567-1998 tidak mempunyai persyaratan mengenai

pengujian formaldehida bebas perekat, dan pengujian kadar abu mengacu pada

ASTM D 1102-84 karena SNI 06-4567-1998 dan SNI 06-4565-1998 juga tidak

(38)

Warna perekat likuida dari sabut pinang yang dihasilkan adalah merah

kehitaman dan berbentuk cair. Benda asing yang tedapat pada perekat likuida

berupa debu dan butiran-butiran kecil dalam jumlah yang sangat sedikit, dengan

sangat sedikitnya jumlah benda asing yang terkandung dalam perekat likuida

sehingga pengaruh benda dalam menurunkan kualitas perekatan sangat sedikit dan

dapat diabaikan. Warna tersebut memenuhi persyaratan SNI 06-4567-1998, yaitu

berwarna merah kehitaman dan bebas dari kotoran. Kenampakan perekat likuida

sabut pinang dapat dilihat dari gambar yang tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3. Kenampakan perekat likuida sabut pinang

Menurut Pu et al (1991), perekat yang berwarna merah kehitaman

disebabkan oleh suhu dan waktu pada proses pembuatannya. Perlakuan panas dan

kimia pada lignin kayu dan bahan kimia lain yang merupakan hasil konversi

komponen selulosa pada kayu dapat menyebabkan perekat likuida berwarna

hitam. Berbeda dengan penelitian Prasetyo (2006) tentang perekat likuida bambu.

Warna perekat likuida dari bambu adalah cokelat kehitaman dengan penambahan

melamin formaldehida dan terkesan kasar karena adanya butiran yang disebabkan

oleh proses konversi serat bambu yang banyak mengandung silika berlangsung

(39)

Keasaman (pH)

Keasaman likuida sabut pinang adalah 11 yang berarti likuida sabut

pinang bersifat basa dan memenuhi SNI 06-4567-1998, yaitu pH perekat berkisar

antara 10-13. Berbeda dengan perekat likuida dari bambu, menurut Prasetyo

(2006) memiliki pH 8,04, yang juga bersifat basa namun tidak memenuhi SNI

06-4567-1998. Warna kertas pH perekat likuida sabut pinang dapat dilihat pada

Gambar 4.

Gambar 4. Warna kertas pH perekat likuida dari sabut pinang

Sifat basa pada perekat likuida sabut pinang tersebut disebabkan oleh

penambahan NaOH 50% ke dalam perekat setelah pemasakan dan pendinginan

sesaat. Menurut Ruhendi et al (2007), sifat yang demikian diperlukan untuk

memperpanjang waktu simpan perekat likuida, karena pH tinggi akan

memperlambat proses curing. Selain itu kesesuaian antara perekat likuida dengan

kayu akan lebih baik, karena pada kondisi asam, kayu akan lebih cepat menjadi

rusak.

Menurut Kollman et al (1975) dalam Ruhendi (2000), pH perekat yang

sangat rendah dapat menyebabkan kerusakan pada kayu. Selain itu derajat

(40)

permukaan kayu yang akan direkat dengan cara melarutkan kontaminan yang ada

dan untuk mengembangkan zat kayu serta membuka struktur dinding sel sehingga

akan memperbaiki penetrasi dari perekat.

Kekentalan (viskositas)

Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada

permukaan yang direkatkan. Kekentalan perekat likuida sabut pinang yang

dihasilkan adalah 6,817 cps, tidak memenuhi SNI 06-4567-1998. Kekentalan yang

disyaratkan menurut SNI 06-4567-1998 adalah 130-300 cps.

Kekentalan sangat penting dalam perekatan karena dapat mempengaruhi

kemampuan penetrasi perekat dan pembasahan oleh perekat. Penetrasi dan

pembasahan berlangsung bersama-sama antara kayu dengan perekat yang dipakai.

Menurut Ruhendi (2008), semakin kecil viskositas perekat, maka semakin besar

kemampuan perekat untuk mengalir, berpindah, dan mengadakan penetrasi dan

pembasahan. Dengan demikian maka kualitas perekatan akan meningkat sampai

pada batas keenceran tertentu, karena perekat yang terlalu encer justru akan

menurunkan nilai keteguhan rekat. Sebaliknya, semakin tinggi kekentalan, maka

kemampuan untuk membasahi dan berpenetrasi ke dalam permukaan yang direkat

akan semakin sulit. Namun jika kekentalan perekat terlalu rendah, maka akan

terjadi penetrasi perekat ke dalam permukaan sirekat yang berlebihan dan

menyebabkan tipisnya garis rekat.

Menurut Pu et al., (1991), viskositas yang tinggi juga disebabkan oleh

residu serat setelah likuifikasi dan tingginya berat molekul komponen perekat.

(41)

komponen perekat. Artinya, perekat likuida sabut pinang memiliki berat molekul

komponen perekat yang rendah sehingga memiliki kekentalan perekat yang

rendah pula.

Menurut Maloney (1993), perekat yang nilai viskositasnya sesuai akan

membuat perekat mampu rnenembus pori kayu dengan baik dan mernbentuk

ikatan yang optimum, sehingga rnenghasilkan daya rekat yang baik. Perekat yang

nilai viskositasnya tinggi akan rnengakibatkan perekat semakin dalarn rnasuk ke

dalarn kayu, hal ini disebabkan kadar padatan yang tinggi sehingga perekat yang

digunakan sernakin banyak. Narnun demikian, kelebihan perekat dapat

mernpengaruhi kadar air kayu lamina yang dihasilkan. Selain itu kelebihan

perekat akan menyebabkan perekat menggumpal dan membentuk bola-bola serat

yang akan menimbulkan noda noda perekat yang tidak diinginkan pada

permukaan kayu. Pengukuran viskositas dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengujian viskositas perekat likuida dari sabut pinang

Berat jenis

(42)

disyaratkan adalah 1,165-1,200. Sama halnya dengan berat jenis perekat likuida

bambu, penelitian Prasetyo (2006) yang juga tidak memenuhi persyaratan yaitu

1,109. Rendahnya nilai berat jenis perekat disebabkan karena serbuk bahan

pernbuat likuida adalah serbuk dari tanaman pinang yang rnerniliki berat jenis

yang rendah.

Menurut Setiawan (2004), berat jenis perekat rnenunjukkan berat jenis

masing-masing kornponen yang rnenyusun perekat tersebut, sernakin banyak

kornponen perekat yang berat jenisnya tinggi rnaka berat jenis perekat tersebut

juga semakin tinggi. Pengukuran berat jenis perekat likuida sabut pinang dapat

dilihat pada gambar 6 yang tersaji berikut ini.

Gambar 6. Pengukuran berat jenis perekat likuida dari sabut pinang

Sisa penguapan (kadar padatan)

Kadar padatan merupakan jumlah molekul perekat yang akan berikatan

dengan molekul sirekat. Kadar padatan menunjukkan kandungan resin padat yang

tidak rnenguap selarna proses pernanasan, jumlah resin padat tersebut

(43)

perekat likuida ini adalah 33,3%. Hasil ini tidak memenuhi SNI 06-4567-1998

yaitu kadar padatan yang disyaratkan adalah 40% - 45%.

Menurut Vick (1999) dalam Ruhendi et al (2007), semakin tinggi kadar

padatan pada batas tertentu, maka keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin

meningkat karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang bereaksi

dengan kayu saat perekatan. Peningkatan kadar padatan berarti peningkatan

molekul-molekul perekat yang akan bereaksi dengan kayu pada proses perekatan,

sehingga sampai batas tertentu kadar padatan yang tinggi dapat menciptakan

keteguhan rekat yang lebih baik. Maka dengan hasil kadar padatan yang didapat

akan dapat menciptakan keteguhan rekat yang baik karena sesuai dengan standar

yang disyaratkan.

Ikatan rekat maksimum dapat terjadi jika perekat dapat membasahi semua

permukaan kayu sehingga terjadi kontak antara molekul perekat dan molekul kayu

yang pada akhirnya akan mempunyai daya tarik intermolekul lebih baik. Dengan

demikian peningkatan kadar padatan akan meningkatkan kualitas perekat yang

dihasilkan. Berikut merupakan gambar perekat likuida sabut pinang setelah

(44)

Gambar 7. Perekat likuida setelah dikeringkan dalam oven

Waktu gelatinasi

Masa gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat untuk

mengental atau menjadi gel sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan

lain dan siap untuk direkatkan. Waktu gelatinasi perekat likuida yang didapat

adalah 436 menit. Waktu yang dihasilkan tersebut memenuhi SNI 06-4567-1998

yaitu ≥30 menit.

Sesuai dengan pernyataan Ruhendi et al., (2007), semakin lama waktu

gelatinasi yang dihasilkan maka umur simpan perekat juga lama karena perekat

tidak mudah mengental. Maka dengan waktu gelatinasi perekat likuida sabut

pinang yang lama, umur simpannya juga akan semakin lama. Berikut merupakan

gambar pada saat perekat likuida sabut pinang dipanaskan di penangas air hingga

(45)

Gambar 8. Perekat dipanaskan di penangas air

Kadar abu

Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan

mineral yang terdapat dalam perekat likuida sabut pinang. Menurut Sudarmadji et.

al. (2003), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

Proses untuk menentukan jumlah mineral sisa pembakaran disebut pengabuan.

Proses pengabuan dilakukan dengan menggunakan tanur yang memijarkan sampel

pada suhu mencapai 600oC. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan

kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan

suatu bahan yang dihasilkan. Kadar abu perekat likuida yang didapat pada perekat

likuida sabut ini adalah 33,22%, artinya perekat likuida sabut pinang memiliki

kandungan mineral yang cukup tinggi.

Menurut Misdarti (2004), semakin tinggi kadar abu maka semakin rendah

proses pelunakan dari perekat, dengan kata lain nilai keteguhan rekatnya akan

semakin rendah. Hasil yang didapat tidak memenuhi standar pada ASTM D

1102-84 yang mensyaratkan kisaran kadar abu adalah 0,16% menjadi 0,1102-84% untuk

(46)

Formaldehida bebas

Emisi formaldehida merupakan pengeluaran sebagian formaldehida bebas

dari perekat yang mengandung formaldehida. Pengertian formaldehida bebas

adalah kelebihan formaldehida yang tidak bereaksi dalam pembentukan polimer

perekat. Emisi formaldehida pada produk panel kayu disebabkan oleh penggunaan

perekat yang mengandung formaldehida, seperti urea formaldehida, fenol

formaldehida, dan melamin urea formaldehida. Pada produk panel kayu yang

dipakai di dalarn ruangan, emisi formaldehida dapat mencemari lingkungan dan

menimbulkan gangguan kesehatan pada selaput lendir mata, saluran pernafasan,

dan rnenurunkan daya penciuman. Formaldehida bebas yang didapat memenuhi

SNI 06-4567-1998 yaitu 1,95%. Menurut SNI 06-4567-1998, formaldehida bebas

yang diharuskan adalah ≤ 2%.

Menurut Roffael (1993), besarnya emisi formaldehida bergantung pada

faktor eksternal seperti kelembaban, temperatur dan pertukaran udara dalam ruang

serta faktor internal seperti jenis kayu, komposisi perekat yang digunakan dan

kondisi pembuatan. Faktor tipe perekat yang berpengaruh terhadap emisi

formaldehida diduga berasal dari adanya kelebihan forlmaldehida yang tidak

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perekat likuida sabut pinang merupakan golongan perekat phenolik

dengan karakteristik bentuk cair, berwarna merah kehitaman, bebas

kotoran, pH 11, kekentalan 6,817 cps, berat jenis 1,136, kadar padatan

33,3%, waktu gelatinasi 436 menit, kadar abu 33,22%, dan formaldehida

bebas 1,95%.

2. Sebagian karakteristik perekat likuida memenuhi karakteristik perekat

phenol formaldehida (PF) untuk kayu lapis (SNI 06-4567-1998) yaitu

karakteristik kenampakan, keasaman (pH), waktu gelatinasi.

Kar```hh8j85akteristik formaldehida bebas juga memenuhi persyaratan

SNI 06-4565-1998.

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengaplikasikan perekat likuida sabut

pinang ini pada pembuatan papan komposit, sehingga dapat diketahui kualitas

(48)

DAFTAR PUSTAKA

American Society for Testing and Materials (ASTM). (1989d) Standard Test Method for Ash in Wood, ASTM. D 1102-84, Philadelphia, Pa.Standards, Philadelphia.

Batubara, 2009. Nilai pH dan Analisis Kandungan Kimia Zat Ekstraktif Beberapa Kulit Kayu yang Tumbuh di Kampus USU, Medan. Karya Tulis.

Blomquist, R.F. 1983. Fundamentals of Adhesion. In : Blomquist, R.F., Christiansen, A.W., Gillespie, R.H. and Myers, G.E. (Eds.) ; Adhesive Bonding of Wood and Other Structural Materials. Forest Product Technology USDA Forest Service and The University of Wisconsin. Chap. 1.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 06–4565–1998 tentang Urea

Formaldehida Cair untuk Perekat Papan PArtikel. Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 06–4567–1998 tentang Fenol

Formaldehida Cair untuk Perekat Kayu Lapis. Jakarta: BSN

Ferguson, P.J., Kurowska, E., Freeman, D.J., dan Koropatnick, D.J., 2004, A Flavonoid Fraction from Cranberry Extract Inhibits Proliferation of Human Tumor Cell Lines, J. Nutr. 134:1529-1535.

Fine, A.M., 2000, Oligomeric Proanthocyanidin Complexes: History, Structure, and Phytopharmaceutical Applications, Altern Med Rev, 5(2):144-151.

Jatmiko A. 2006. Kualitas Papan Partikel Pada Berbagai Kadar Perekat Likuida Tandan Kosong Kelapa Sawit [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Lee, K.K., and Choi, J.D. 1999. The Effects of Areca Catechu L Extract on Anti Inflammation and Anti-Melanogenesis, International Journal of Cosmetic Science 21(4):275-284.

Leigh, M.J. 2003. Health Benefits of Grape Seed Proanthocyanidin Extract (GSPE), Nutrition Noteworthy, 6(1): article 5.

Maloney, T.M. 1993. Modern Particle Board an dry Proces Fiberboard Manufacturing. San Fransisco: Miller Freeman Inc.

Masri AY. 2005. Kualitas perekat likuida tandan kosong kelapa sawit (Elaeis

guineensis Jacq.) pada berbagai ukuran serbuk, keasaman, dan rasio

(49)

Meiyanto, E., Susidarti R. A., Handayani S., dan Rahmi F., 2008. Ekstrak Etanolik Biji Buah Pinang (Areca catechu L.) mampu menghambat proliferasi dan memacu apoptosis sel MCF-7.

Misdarti. 2004. Peningkatan Kualitas Bambu dengan Teknik Laminasi. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi dan Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Nonaka, G., 1989, Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl. Chem, 61 (3): 357-360.

Panjaitan, RR. 2008. Pengembangan Pemanfaatan Sabut Pinang untuk Pembuatan Asam Oksalat. Berita Litbang Industri Media Publikasi dan Komunikasi Peneliti Industri Vol.39 No.1. Juli 2008.

Pizzi, A. 1983. Wood Adhesives, Chemistry and Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.

Prasetyo, A. 2006. Perekat Likuida Bambu untuk Papan Partikel Bambu. [Skripsi] Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Pu S, Yoshioka M, Tanihara Y, Shiraishi N. 1991. Liquefaction of Wood in

Phenol and Its Application to Adhesives. Kyoto: Kyoto University.

Roffael E, 1993. Formaldehyde Release From Particleboard and Other Wood Based Panels. Forest Research Institute Malaysia. Kuala Lumpur.

Ruhendi S, F. Febrianto dan N. Sahriawati. 2000. Likuida Kayu Untuk Perekat Kayu Lapis Eksterior. Bogor : Jurnal Pertanian Indonesia.

Ruhendi S, Koroh DN, Syamani FA, Yanti H, Nurhaida, Saad S, Sucipto T. 2007.

Analisis Perekatan Kayu. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian

Bogor.

Ruhendi, S. 2008. Kualitas Papan Partikel Kenaf Menggunakan Perekat Likuida dengan Fortifikasi Melamin Formaldehid. Jurnal Ilmu dan Teknologi hasil Hutan 1(1): 34-44

Sahriawati N. 2000. Liquifikasi Serbuk Tiga Jenis Kayu dan Pemanfaatannya dengan Filler Tepung Sekam untuk Perekat Kayu Lapis Meranti Merah (Shorea sp). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Setiawan CBN. 2004. Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis

guineensis Jacq.) Sebagai Bahan Baku Perekat Likuida Kayu dan Papan

(50)

Shiraishi N, Hse CY. 2000. Liquefaction of the used creosate-treated wood in the presence of phenol and its application to phenolic resin. Wood Adhesives 2000, 259-266.

Sihombing, T. 2000. Pinang Budi Daya dan Prospek Bisnis. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudarmadji, Slamet, H.Bambang, Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Tano, E. 1997. Pedoman Membuat Perekat Sintetis. PT Rineka Cipta. Jakarta.

Umemura, K. 2006. Wood-based materials and wood adhesives: Recent trend in

Japan. Cibinong: Makalah Wood Science School di UPT Biomaterial

LIPI.

Wang, C.K., and Lee, W.H., 1996. Separation, Characteristics, and Biological Activities of Phenolics in Areca Fruit, J. Agric. Food Chem., 44(8):2014 2019.

Widiana, Y. R. 1998. Penggunaan Perekat Wood Liquids dalam Pembuatan Kayu Lapis Meranti Merah (Shorea sp.). Skripsi S1 Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Widiyanto, A. 2002. Kualitas Papan Partikel Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.) dan Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurtz) dengan Perekat Likuida Kayu. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.

Yamada, T and H. Ono. 2003. Rapid Liquefaction of Lignosellulosic Waste in the Presence of Cyclic Carbonates for Preparing Levulinic Acid and Polyurethane Resins.

Yoshioka M, Aranishi Y, Shiraishi N. 1992. Liquefaction of Wood and Its

Gambar

Gambar 1. Bagan alir pembuatan perekat likuida
Gambar 2. Penyaringan perekat likuida (a) dan perekat likuida sabut pinang (b)
Tabel 1. Karakteristik perekat likuida dari sabut pinang No. Parameter Satuan Kualitas Perekat
Gambar 3. Kenampakan perekat likuida sabut pinang
+6

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga komponen label seperti main label, size label, dan flag label memiliki tingkat yang lebih rendah bahkan hampir tidak pernah mengalami kesalahan dalam pemesanan

ACUAN PENETAPAN REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH. SPESIFIK LOKASI

Salah satu Cipher yang digunakan untuk enkripsi adalah Data Encryption Standard (DES) yang menggunakan panjang kunci sebesar 56 bit dalam pengoperasiaannya, yang algoritmanya

Masih pakai alat tulis seperti ini??... Cobalah yang

Pemerintah Turki berdasarkan nota dari Konsulat Jenderalnya di Jeddah No.2010/Cidde BK/1123 tanggal 6 Februari 2010 memberitahukan bahwa Kementerian Pendidikan Turki

Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa: Peranan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Dalam Melaksanakan Pembinaan di

Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Hal itu berdasarkan

Walaupun ketika berpuasa kesihatan kita masih dapat dikekalkan dengan pengambilan diet yang seimbang dan mencukupi semasa sahur dan berbuka mengikut keperluan walau pun