• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformation and Mixing of Water Masses in Alor Strait in July 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Transformation and Mixing of Water Masses in Alor Strait in July 2011"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN

MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR

PADA BULAN JULI 2011

ADI PURWANDANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 2011” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 2 Nopember 2012

(4)
(5)

v

ABSTRACT

ADI PURWANDANA. Transformation and Mixing of Water Masses in Alor

Strait in July 2011. Under direction of MULIA PURBA and AGUS SALEH

ATMADIPOERA.

Alor Strait is the deepest channel in Alor islands after Ombai Strait. Contribution of the strait as one of the secondary exit passages of Indonesian Throughflow (ITF) has not been studied yet. The strait separates Flores Sea and Sawu Sea, and is featured by the existence of high sill within the strait, suggested that turbulence due to interaction between strait flow and bottom topography could drive mixing and then modify the water mass properties. The purpose of this study is to investigate transformation of ITF water mass and turbulent mixing process with Thorpe scale and Richardson number (Ri) profiles. A hydrographic survey has been carried out in July 2011, in which 15 CTD casts were lowered in the strait, together with hull-mounted 75 kHz ADCP and 12 kHz EA500 single beam echosounder. The results show that Alor sill depth is about 300 meters in the main gate. Snapshot estimate of along strait transport volume is 1,07 Sv (1 Sv = 106 m3s-1), feeding Sawu Sea with North Pacific water origin e.g. NPSW in which maximum salinity of NPSW is significantly reduced due to strong mixing, perhaps driven by bottom topography and strait flow which creates turbulence. Percentage of NPSW’s maximum salinity traced in the central part of the strait is 32.1 % but it varies from 2,9 to 21,0% in southern part of Alor Strait (i.e. Sawu Sea). NISW (Northern Indian Subtropical Water) with maximum salinity layer at

σθ = 23,5-24,5 is dominant in the southern part of Alor Strait (i.e. Sawu Sea). The

existence of NIIW (North Indian Intermediate Water) is also found in the deeper layer of Sawu Sea. The average value of vertical eddy diffussivity (Kρ) estimate in

the thermocline layer and deep layer in northern part and central part of strait channel is within the order of 10-3 m2 s-1. Lower order of Kρ in the thermocline

layer and deep layer were found in southern part of the Strait (Sawu Sea), ranging from 10-6 to 10-4 m2 s-1. These indicates that the existence of sills in the northern part and central part of Alor Strait could drive mixing significantly.

(6)
(7)

vii

RINGKASAN

ADI PURWANDANA. Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 2011. Dibimbing oleh MULIA PURBA dan AGUS SALEH ATMADIPOERA.

Selat Alor merupakan kanal terdalam kedua di kepulauan Alor setelah Selat Ombai. Kontribusi selat ini sebagai salah satu jalur keluar sekunder arus lintas Indonesia (ARLINDO) belum banyak mendapatkan perhatian. Keberadaan ambang (sill) dalam selat ini dan interaksinya dengan aliran diduga dapat memicu percampuran massa air, yang kemudian dapat memodifikasi massa air yang melalui selat ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji transformasi dan percampuran massa air di selat berdasarkan estimasi kuantitatif parameter percampuran.

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 22-28 Juli 2011 sebagai bagian dari Program Riset Bersama antara Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Lokasi pengambilan data dilakukan di Selat Alor menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Data kedalaman perairan diukur dengan Echosounder EA500 berfrekuensi 12 kHz; data temperatur, salinitas, dan tekanan diperoleh dengan menggunakan CTD (Conductivity-Temperature-Depth) Sea-Bird Electronics (SBE) 911 Plus; data arus diukur dengan Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP) 75 kHz. Pengolahan data CTD dilakukan dengan prosedur standar menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing. Dari data CTD dilakukan analisis skala Thorpe (LT), skala Ozmidov (LO), frekuensi Brunt Vaisälä (N), disipasi energi kinetik turbulen (ε), diikuti dengan estimasi nilai difusivitas eddy vertikal ().

Analisis transformasi massa air dilakukan dengan metode lapisan inti (core layer method). Pengolahan data SADCP dilakukan dengan menghilangkan komponen arus pasut dari arus total secara spasial dan temporal menggunakan perangkat lunak CODAS (Common Oceanographic Data Access System). Data arus non-pasut di setiap stasiun selanjutnya digunakan untuk menghitung shear (S2), dan dipadukan dengan data N2 yang dihitung dari data CTD untuk mendapatkan profil bilangan Richardson (Ri) hingga kedalaman sekitar 200 meter.

(8)

viii

Profil vertikal arus menunjukkan bahwa aliran arus dominan masuk ke dalam selat, dengan nilai transpor sesaat di atas kedalaman 200 meter sebesar 1,07 Sv (1 Sv = 106 m3s-1) menuju Laut Sawu, dengan intensifikasi aliran pada lapisan atas. Analisis terhadap profil gradien arus secara vertikal (shear) menunjukkan peningkatan nilai seiring memasuki bagian dalam selat. Perairan Selat Alor memiliki shear dengan orde 10-4 s-2.

Diagram TS (Temperature-Salinity) menunjukkan bahwa massa air di perairan Selat Alor bagian utara adalah massa air perairan lokal pada bagian permukaan dan Massa Air Subtropis Pasifik Utara (North Pacific Subtropical Water, NPSW) pada kedalaman 23-138 dbar. Tidak terlihatnya massa air salinitas minimum Massa Air Pertengahan Pasifik Utara (North Pacific Intermediate Water, NPIW) pada lapisan bawah termoklin dalam penelitian ini diduga karena pengaruh percampuran dengan massa air salinitas tinggi yang berasal dari Pasifik Selatan pada σθ= 26-27 di Laut Flores bagian timur. Pada perairan sebelah selatan

Selat Alor, teridentifikasi Massa Air Subtropis Hindia Utara (North Indian Subtropical Water, NISW) di kedalaman 103-181 dbar dengan salinitas maksimum (Smax) berada pada isopiknal sekitar σθ = 24,5-25,8; dan massa air

NIIW (North Indian Intermediate Water) dengan inti Smax 34,704 psu; σθ= 26,990

kg m-3 di kedalaman 532 dbar.

Modifikasi massa air NPSW dari Laut Flores menuju Laut Sawu diperoleh kontribusi massa air lapisan atas lebih tinggi dibandingkan dengan massa air lapisan bawah dalam mengubah karakteristik massa air NPSW. Kondisi ini berkaitan dengan relatif besar dan kontinyunya pasokan massa air yang keluar selat pada lapisan atas. Jejak Smax NPSW di bagian dalam selat tereduksi hingga tersisa 31,2 %; menurun di bagian selatan selat, dan terkonsentrasi hanya pada alur selat. Kuantitas Smax NPSW menunjukkan adanya fluktuasi serta bersesuaian dengan kondisi turbulensi dalam kolom air yang direpresentasikan oleh profil Ri.

Nilai disipasi energi kinetik turbulen yang mengindikasikan dilepaskannya sejumlah energi kinetik turbulen untuk memodifikasi struktur massa air yang terjadi dalam proses percampuran menunjukkan bahwa di bagian utara dan tengah Selat Alor pada lapisan termoklin memiliki orde 10-6 W kg-1, sedangkan pada lapisan dalam bervariasi antara 10-8 hingga 10-6 W kg-1. Nilai-nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan di bagian selatan selat, di mana pada lapisan termoklin bervariasi antara 10-9 hingga 10-7 W kg-1, sedangkan pada lapisan dalam bervariasi antara 10-10 hingga 10-7 W kg-1. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengaruh topografi dasar perairan diduga berperan dalam meningkatkan nilai percampuran, di mana lebih tingginya nilai ε pada alur kanal Selat Alor ini berkaitan dengan interaksi aliran dengan mendangkalnya topografi dasar. Lebih tingginya nilai ε

dalam alur selat dibandingkan di luar alur juga menyiratkan bahwa shear

memainkan peranan penting dalam mengendalikan turbulensi.

Nilai difusivitas eddy vertikal () di bagian utara dan tengah Selat Alor

(9)

ix

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

(a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

(b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

xi

TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN

MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR

PADA BULAN JULI 2011

ADI PURWANDANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

xii

(13)

xiii

LEMBAR PENGESAHAN

Disetujui Komisi Pembimbing:

Diketahui

Tanggal Ujian: 2 Nopember 2012 Tanggal Lulus:

Judul : Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 2011

Nama Mahasiswa : Adi Purwandana

NRP : C551100041

Program Studi : Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS. Anggota

Dekan Sekolah Pascasarjana Sekretaris Program Magister

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Ketua Program Studi Ilmu

Kelautan

(14)
(15)

xv

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis haturkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya dapat terselesaikan penelitian yang dilanjutkan dengan penyusunan dan penulisan tesis dengan judul “Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 2011”. Tulisan ini disusun dalam rangka penyelesaian tugas akhir pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini fokus mengkaji aliran massa air di Selat Alor beserta estimasi percampuran turbulen sebagai parameter untuk mengkaji besarnya transformasi massa air Arlindo. Penulis berharap, dengan keterbatasan kajian dalam penelitian ini dapat mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut, mengingat perairan Selat Alor merupakan bagian dari Taman Konservasi Laut Sawu.

Bogor, 2 Nopember 2012

(16)
(17)

xvii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah mendukung terselesaikannya tesis ini:

1. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing sekaligus guru yang membimbing penulis, serta mengajarkan pola pikir dan filosofi ilmiah dalam memahami oseanografi fisika.

2. Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS. selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberikan ide dan pengarahan dalam upaya penyelesaian penulisan tesis ini.

3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang banyak memberikan motivasi dan masukan dalam penulisan tesis ini.

4. Dr. Ir. Yuli Naulita, M.Si. selaku penguji luar komisi pada ujian akhir yang telah mengarahkan dan memberi masukan pada hasil penelitian.

5. Dr. Zainal Arifin, M.Sc. selaku Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI yang senantiasa mendorong penulis untuk belajar dan melanjutkan studi. 6. Kedua Orang Tua (Ibunda Siti Suwardani dan Ayahanda Purnomo), keluarga

tercinta (Umm Titik Setyorini, Ananda Fayz dan Fayza), Adik Wawan dan keluarga yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan, do’a, dan motivasi kepada penulis.

7. Rekan-rekan Laboratorium Oseanografi Fisika P2O LIPI (Pak Edi Kusmanto, Pak Muhadjirin, Pak Djatmiko, Ibu Nur, Teh Dewi, dan Kang Furqon) atas dukungannya dalam penyelesaian penulisan tesis ini

8. Teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan angkatan 2010 IPB (Abdul, Eva, Rezi, Yasser, dan Princy) atas kerjasamanya selama menempuh belajar bersama.

(18)
(19)

xix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 30 April 1982 di Surabaya sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Purnomo dan Siti Suwardani. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan penulis di SDN Kedawung I Kabupaten Sragen lulus tahun 1994, selanjutnya melanjutkan sekolah ke SMPN Mondokan Kabupaten Sragen, lulus tahun 1997. Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan tahun 2000 di SMAN 1 Sragen. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi melalui jalur PMDK pada tahun 2000 di Program Studi Fisika Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang (UNNES). Penulis memutuskan berpindah studi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya melalui jalur UMPTN pada tahun 2001 pada Jurusan Fisika Fakultas MIPA, dan menyelesaikan studi tahun 2005 dengan lama studi 8 semester. Penulis diterima sebagai staf pengajar SMP Muhammadiyah 12 Gresik pada tahun 2005, dan pada tahun 2006 diterima sebagai staf peneliti pada Kelompok Penelitian Oseanografi Fisika, pada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penulis melanjutkan studi Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Kelautan pada tahun 2010 setelah lulus seleksi pada Program Karyasiswa Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT). Dalam penyelesaian studi Magister Sains, penulis menyusun tesis yang berjudul “Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 2011”.

(20)
(21)

xxi

2.4 Peran Konfigurasi Topografi Dasar pada Percampuran Massa Air 13 2.5 Peran Gelombang Internal dan Pasut Internal pada Percampuran

3.2.3CTD (Conductivity-Temperature-Depth) ….……….... 20

3.3 Metode Analisis Data …..……….……… 22

3.3.1Topografi Dasar Perairan …..……….……….……. 22

3.3.2Estimasi Transpor Massa Air ………….….…….……...…… 25

3.3.3Penentuan Lapisan Massa Air ………….………...……. 28

3.3.4Karakteristik Massa Air ………...…… 28

3.3.5Percampuran Massa Air ………..…… 30

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………..………... 35

4.1 Topografi Dasar Perairan ....……….……….…… 35

4.2 Arus ...……….………... 36

4.3 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas ………...…… 42

4.4 Karakteristik Massa Air ....…...… 45

(22)

xxii

4.5 Stabilitas Kolom Air ………...……... 53 4.5.1Frekuensi Brunt Väisälä (N)……..…..……… 53 4.5.2Gradien Richardson (Ri) ………..……… 63 4.6 Estimasi Skala Thorpe ………...……...……... 72 4.7 Disipasi Energi Kinetik Turbulen ... 81 4.8 Estimasi Difusivitas Vertikal Eddy ………...….………... 86

5. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 93

5.1 Kesimpulan ....………...…….…… 93 5.2 Saran ....………...………..……….. 93

(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman

3.1 Posisi geografis, waktu, kedalaman penurunan CTD, dan kedalaman perairan ………...…. 19 4.1 Tipe dan karakter massa air perairan Selat Alor dan sekitarnya ... 47 4.2 Karakter massa air salinitas maksimum NPSW dan persentase

relatifnya terhadap stasiun 1 ... 52 4.3 Nilai rata-rata disipasi energi kinetik turbulen eddy pada lapisan

tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam di masing-masing stasiun ... 81 4.4 Nilai rata-rata difusivitas eddy vertikal pada lapisan tercampur,

(24)
(25)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.1 Kerangka pemikiran ... 5 3.1 Lokasi Pelayaran Riset Bersama LIPI-DIKTI dengan titik-titik

lokasi penurunan CTD (lingkaran merah) dan lintasan pengukuran ADCP serta EA500 (garis biru) pada bulan Juli 2011. Stasiun-stasiun CTD bernomor 1-15 adalah data-data CTD yang dianalisis dalam penelitian ini ... 18 3.2 Diagram alir analisis data ... 23 3.3 Titik-titik node grid dan hasil kontur level kedalaman dengan

interval 200 meter. Keberadaan pulau tidak ditampilkan ... 24 3.4 (a) Transek perhitungan transpor sesaat, dan (b) Grid sel yang

dihitung untuk mengestimasi transpor (arsiran gelap) berdasarkan jangkauan pengukuran arus oleh SADCP. Segitiga merah adalah data arus yang tersedia dalam transek ... 27 3.5 Contoh sketsa penggunaan metode lapisan inti untuk menghitung

persentase massa air Smax NPSW (II) di stasiun 1 (merah) menjadi n di Stasiun 4 (biru), serta kontribusi massa air I dan III dalam membentuk massa air n. Notasi a dan b, c dan d, serta e dan f adalah jarak proporsional massa air I, II, dan III terhadap massa air satu dengan lainnya ... 28 4.1 Topografi dasar perairan Selat Alor yang menghubungkan Laut

Flores pada sisi utara dengan Laut Sawu pada sisi selatan. Panah dua arah (A dan B) berturut-turut menunjukkan mulut selatan selat dengan garis kedalaman penghubung 300 meter dan 200 meter ………..……….………. 35 4.2 Penampang melintang topografi Selat Alor. Tanda panah

menunjukkan keberadaan ambang, A dan B pada mulut utara selat; B dan C pada mulut selatan selat ….……….……….. 36 4.3 Pola arus pada lapisan: (a) <50 meter, (b) 50-100 meter, (c) 100-150

meter, dan (d) >150 meter ... 38 4.4 Profil menegak transpor per 5 meter kedalaman, dan (b) Transek

pengukuran arus yang digunakan dalam perhitungan transpor (garis merah) ... 40 4.5 (a)Profil menegak shear arus di Selat Alor. Garis kontur hitam tebal

adalah nilai S2= 5 x 10-4 dan (b) Rata-rata nilai S2 per stasiun. Stasiun-stasiun dinyatakan dengan gradasi warna ... 41 4.6 Profil menegak temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (σθ) (c) di

perairan Selat Alor dan sekitarnya ……….. 43 4.7 Identifikasi tipe massa air di perairan Selat Alor dan sekitarnya dari

(26)

xxvi

diidentifikasi jejak salinitas maksimum NPSW beserta kedalamannya ... 48 4.9 Sketsa transformasi massa air salinitas maksimum NPSW (II) dari

stasiun 1 (merah) yang digunakan untuk menghitung porsi massa air

I, II, dan III di titik pertemuan ketiga garis. Nilai a dan b, c dan d, serta e dan f berturut-turut adalah jarak proporsional massa air I, II, dan III terhadap massa air satu dengan lainnya ... 50 4.10 Persentase massa air lapisan atas (I), NPSW (II), dan lapisan bawah

(III) pada masing-masing stasiun yang dihitung dengan metode lapisan inti (core layer) (Mamayev, 1975). Stasiun 1 merupakan stasiun referensi atau asal massa air, di mana inti salinitas maksimum massa air II (NPSW) ditetapkan 100% ... 53 4.11 Profil menegak frekuensi Brunt Väisälä (N2, s-2) yang

ditumpangtindihkan dengan profil temperatur (biru) dan densitas (σθ,

hijau) dari keseluruhan stasiun penelitian …... 55 4.12 Profil menegak frekuensi apung, hanya menampilkan N2<0: (a)

Stasiun 1, 2, 3, dan 4; (b) Stasiun 5, 9, dan 14; (c) Stasiun 6, 8, 10, dan 13; (d) Stasiun 7, 11, dan 12 ... 59 4.13 Profil menegak gradien Richardson (Ri) (merah) yang

ditumpangtindihkan pada profil menegak salinitas (biru) yang hanya ditampilkan hingga kedalaman dalam jangkauan profil Ri. Tanda panah biru menunjukkan kedalaman di mana jejak NPSW yang dideduksi dari profil TS Gambar 4.7 masih teridentifikasi ... 64 4.14 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien

Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di stasiun 14 (merah muda) dan 13 (merah hati) pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a, b, dan c

adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil

Ri (kanan) ………..……….. 67 4.15 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien

Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air dari stasiun 13 (merah hati) menuju stasiun 11 (hijau kebiruan), serta dari stasiun 12 (abu-abu kebiruan) menuju stasiun 11 pada lapisan permukaan hingga kedalaman 120 meter pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a, b, dan c

adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil

Ri (kanan)... 68 4.16 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien

Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di stasiun 11 (hijau kebiruan) dan 7 (hitam) pada diagram TS.

Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a dan b

adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil

Ri (kanan)... 69 4.17 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien

(27)

xxvii

rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri

(kanan)... 70 4.18 Profil TS di stasiun-stasiun yang berada pada alur keluaran Selat

Alor, memperlihatkan adanya transformasi massa air pada σθ=

24-26. Pada profil stasiun 9 (cokelat) di mana masih teridentifikasi keberadaan NISW, tampak kesesuaiannya dengan struktur Ri >0,25 (a). Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri

(kanan) …………... 71 4.19 Perbandingan densitas hasil pengukuran (measured, biru) dengan

setelah disusun ulang (reordered, merah) di Stasiun 1 (atas) dan Stasiun 3 (bawah) yang memperlihatkan adanya ketidakstabilan secara gravitasi. Gambar pada sisi kanan adalah perbesaran gambar pada sisi kiri pada area kotak. Tanda panah mengindikasikan arah pergeseran atau relokasi parsel massa air yang berada dalam kondisi tidak stabil menuju posisi stabil ... 73 4.20 Profil perpindahan Thorpe, d: (a) Stasiun 1, 2, 3, dan 4; (b) Stasiun

(28)
(29)

xxix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Profil vertikal temperatur di setiap stasiun ... 105 2 Profil vertikal salinitas di setiap stasiun ... 109 3 Profil vertikal densitas (σθ) di setiap stasiun ... 113

4 Nilai jarak proporsional antarkoordinat (a, b, c, d, e, dan f) pada jejak salinitas maksimum NPSW terhadap Stasiun 1 di stasiun-stasiun yang masih teridentifikasi adanya salinitas maksimum

NPSW ……….. 117

5 Kisaran nilai frekuensi Brunt Vaisälä untuk keseluruhan stasiun ... 118 6 Perbandingan antara profil perpindahan, d sebelum dan sesudah

(30)

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim panas di wilayah Australia (Wyrtki, 1961). Kondisi sistem angin demikian telah dikenal mempengaruhi kuantitas transpor massa air bagian atas dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia atau yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (Arlindo), yang mencapai puncaknya selama Musim Timur, yakni ketika berhembus Angin Muson Tenggara; dan terendah pada Musim Barat Laut ketika berhembus Angin Muson Barat Laut.

Arlindo memiliki peran penting dalam sirkulasi massa air dunia karena merupakan bagian ‘sabuk’ penghubung utama aliran massa air (great conveyor belt) dari Samudera Pasifik kembali ke tempat asalnya di Samudera Atlantik Utara. Godfrey (1996) dan Hautala et al. (1996) menyatakan bahwa Arlindo mempengaruhi banyak fenomena penting, seperti pemanasan aliran keluar Agulhas, kekuatan sistem angin Leeuwin, Arus Australia Timur, serta air hangat di area upwelling Indonesia.

(31)

2

Gordon, 2005; Gordon et al., 2008). Sebagian kecil massa air dari jalur barat selanjutnya keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok sekitar 2,6 Sv (Sprintall et al., 2009a); sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan Celah Timor. Adapun pada jalur timur, hasil pengukuran yang dilakukan Van Aken et al. (2009) di Lifamatola menyebutkan bahwa jalur ini membawa sekitar 2,5 Sv massa air yang berasal dari Samudera Pasifik selatan dari lapisan yang lebih dalam (South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water,

SPSLTW) melalui Laut Maluku menuju Laut Banda. Meskipun demikian, belum dapat diestimasi dengan baik jumlah massa air yang dibawa melalui jalur timur ini karena adanya masukan massa air lain pada jalur timur, yakni melalui Laut Halmahera (Ilahude dan Gordon, 1996; Gordon, 2005). Estimasi langsung dari transpor Arlindo yang melalui Laut Halmahera sedang dilakukan melalui Program INDOMIX (Atmadipoera, pers. comm., 2012). Massa air dari jalur barat dan jalur timur selanjutnya bergabung di Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai sebanyak 4,9 Sv dan Celah Timor sebanyak 7,5 Sv (Sprintall

et al., 2009a).

Massa air yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui Arlindo mengalami perubahan karakter di sepanjang perjalanannya di perairan dalam (interior seas) Indonesia. Hasil pengukuran salinitas massa air Arlindo menunjukkan perubahan pada aliran masuk dan keluar, yakni salinitas massa air NPSW dari 34,90 PSU menjadi 34,54 PSU; dan massa air NPIW dari 34,35 PSU menjadi 34,47 PSU. Perubahan salinitas ini mengindikasikan adanya proses percampuran vertikal yang sangat kuat di perairan Indonesia (Ffield Gordon, 1996; Hautala et al., 1996; Hatayama, 2004; Robertson dan Ffield, 2005; Koch-Larrouy et al., 2007; Atmadipoera et al., 2009). Proses percampuran vertikal dapat disebabkan oleh topografi yang kasar seperti sill (ambang), selat, dan aktivitas gelombang internal.

(32)

3

oleh Lebedev dan Yaremchuk (2000), di mana Selat Alor atau yang juga dikenal dengan Selat Lomblen memberikan kontribusi transpor massa air dari Laut Banda sebesar 2,0±0,4 Sv pada Musim Timur. Merujuk pada kajian Potemra et al. (2003) di mana tinggi permukaan Laut Sawu berdasarkan data Topex Poseidon mencapai minimum pada bulan Agustus (Musim Timur), maka perhitungan estimasi transpor tersebut diduga merupakan transpor maksimum di Selat Alor. Belum terdapat data observasi yang mengkonfirmasi atas estimasi model ini.

Menghubungkan dua lautan, yakni Laut Flores yang membawa massa air dari Samudera Pasifik yang telah melalui Selat Makassar, dan Laut Sawu yang membawa massa air dari Samudera Hindia; Selat Alor dimungkinkan menjadi area transisi atau transformasi dari kedua massa air tersebut. Dengan konfigurasi topografi lokal dan ambang pada bagian tengah selat, fenomena turbulensi aliran diduga dapat memicu terjadinya percampuran massa air yang mengakibatkan transformasi massa air. Hingga saat ini, masih belum terdapat data dan kajian observasi yang mengkonfirmasi terjadinya transformasi dan kuantifikasi percampuran massa air di perairan Selat Alor.

Kajian percampuran massa air merupakan topik penting dalam berbagai isu, mulai dari iklim regional yang berkaitan dengan transfer bahang dan massa air tawar ke lapisan termoklin, yang pada gilirannya mempengaruhi kesetimbangan radiatif-konvektif di atmosfer (Ffield dan Gordon, 1992). Kajian percampuran massa air juga penting untuk mendapatkan nilai fluks nutrien serta hubungan tidak langsung antara fluks nutrien dengan pertumbuhan fitoplankton (Cullen et al., 1983).

1.2 Kerangka Pemikiran

(33)

4

Beberapa hasil kajian menyebutkan orde percampuran vertikal di perairan Indonesia memiliki O(10-4) (Ffield dan Gordon, 1992 dan Koch-Larrouy et al., 2007); O(10-3) (Hatayama, 2004 dan Berger et al., 1988); dan O(10-2) (Suteja, 2011).

Sebagai salah satu selat keluaran (outflow straits) sekunder, Selat Alor diduga dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari lintasan Arlindo. Belum terdapat perhitungan intensitas percampuran turbulen yang diduga mampu memodifikasi karakter massa air NPSW yang masuk melalui selat ini. Secara kuantitatif, dalam penelitian ini digunakan pendekatan analisis skala Thorpe untuk mengestimasi nilai percampuran turbulen berdasarkan profil vertikal massa air yang diperoleh dari data CTD (Conductivity-Temperature-Depth). Konfirmasi kesesuaian modifikasi karakteristik massa air dengan potensi turbulensi yang dapat memicu percampuran dikaji secara kualitatif berdasarkan profil bilangan Richardson, dengan memanfaatkan data ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler)..

Pengambilan data CTD dan ADCP di Selat Alor dilakukan dalam Program Riset Bersama antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2011. Data penunjang berupa kedalaman perairan juga diambil menggunakan single-beam echosounder EA500 guna memetakan bathimetri dasar perairan. Secara sistematik, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Berdasarkan hal di atas, maka yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana pola aliran di Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur)

b. Bagaimana karakteristik massa air di Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur)

(34)

5

d. Berapa nilai percampuran turbulen (vertical eddy diffusivity) di Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur).

Gambar 1.1 Kerangka pemikiran.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengidentifikasi karakteristik massa air di perairan perairan Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur)

b. Mengkuantifikasi transformasi massa air di perairan Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur)

(35)
(36)

7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air

Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dengan komposisi properti fisik tertentu, seperti temperatur, salinitas, densitas, dan tekanan. Adanya fenomena pelapisan massa air ini akan mempengaruhi kestabilan massa air tersebut (Pond dan Pickard, 1983). Secara umum, densitas massa air akan meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Dalam kondisi tidak adanya gangguan, massa air yang memiliki densitas rendah akan selalu berada di atas massa air yang berdensitas tinggi. Adanya gangguan akan berpotensi mendistorsi profil tersebut yang mengakibatkan ketidakstabilan struktur secara vertikal, di mana massa air dengan densitas tinggi berada di atas massa air berdensitas rendah. Parsel massa air dengan ketidakstabilan ini selanjutnya akan berosilasi atau bergerak secara vertikal (naik/turun) untuk mencari posisi stabil (Pickard dan Emery, 1990). Fluida dikatakan tidak stabil apabila terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan posisi massa air secara vertikal dari kedudukan awalnya tanpa kembali lagi ke posisi awalnya. Jika fluida tidak memberikan hambatan secara berarti terhadap gerakan secara vertikal maka fluida dikatakan tetap netral. Fluida akan dikatakan stabil jika fluida tersebut memberikan perlawanan gerak secara vertikal (Pond dan Pickard, 1983). Kestabilan massa air ini dapat ditentukan dengan persamaan stabilitas (E)

di mana ρ adalah densitas (kg m-3) dan z adalah kedalaman (m). Fluida dikatakan stabil jika E>0, netral jika E= 0 dan tidak stabil jika E<0. Jika perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman semakin besar, maka lapisan perairan akan semakin stabil.

(37)

8

pada kondisi stratifikasi yang kuat, sehingga dibutuhkan energi turbulen yang lebih besar untuk melawan besarnya gradien vertikal dari densitas (Fer et al., 2004). Dalam sudut pandang mendasar, transisi menuju turbulen dalam suatu aliran yang terstratifikasi merupakan kajian yang penting untuk memahami percampuran dan proses dinamik. Dinamika percampuran pada lapisan terstratifikasi stabil dikendalikan oleh kompetisi antara shear arus vertikal sebagai basis dari aliran dengan gaya apung, kaitannya dengan stratifikasi densitas (Martinez et al., 2006). Efek apung berperan mereduksi laju pertumbuhan perturbasi/gangguan dan menunda transisi ke arah turbulen, sedangkan shear

berperan memasok energi kinetik. Lapisan percampuran pada aliran terstratifikasi terbentuk pada bidang batas (interface) dua aliran horizontal fluida yang sejajar namun dengan kecepatan dan densitas berbeda. Seiring meningkatnya stratifikasi, medan kecepatan akan cenderung mengarah lebih horizontal. Meskipun demikian, adanya disipasi gesekan dengan lapisan-lapisan horizontal di sebelahnya, proses ini akan menguras energi komponen turbulensi terstratifikasi (Riley dan Lelong, 2000). Karakteristik stratifikasi massa air dan kemungkinan terjadinya turbulensi, secara kuantitatif dapat diestimasi dari bilangan gradien Richardson (Ri). Gradien

Ri diungkapkan sebagai (Kitade et al., 2003; Yoshida dan Oakey, 1996):

2

shear berturut-turut ditentukan melalui hubungan:

z

(38)

9

Gradien Richardson (Ri) mengekspresikan besaran relatif gaya-gaya yang menstabilkan stratifikasi densitas terhadap pengaruh-pengaruh yang mengganggu kestabilan shear arus (Delpeche et al., 2010). Representasi nilai gradien Richardson merupakan indikator turbulensi dalam perairan, di mana nilai Ri yang tinggi menunjukkan terjaganya turbulensi, sebaliknya nilai Ri yang rendah menunjukkan ketertekanan atau kecilnya turbulensi (Pond dan Pickard, 1983), di samping juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara kuantitatif percampuran antarmuka (interfacial mixing) (Delpeche et al., 2010). Jika nilai Ri

lebih besar dari 0,25 maka kolom air dikategorikan stabil (Pickard dan Emery, 1990).

Richardson (1920) menyatakan bahwa nilai kritis di mana percampuran dapat terjadi pada kondisi terstratifikasi adalah 0<Ric<1. Namun, dalam kajian teoritis selanjutnya menempatkan nilai kritis ini dalam rentang 0<Ric<0,25 untuk pertumbuhan ketidakstabilan tercepat (Miles, 1961; Miles dan Howard, 1964). Delpeche et al. (2010) menggunakan batasan pertama agar mencakup semua kondisi percampuran. Bruno et al. (2006) menggunakan batasan kedua, di mana jika nilai Ri mendekati 0,25 (nilai kritis) maka mengindikasikan percampuran dimungkinkan terjadi secara reguler dalam suatu porsi kolom air. Pada kasus

internal waves (gelombang internal) dengan periode pendek, dapat

memungkinkan dihasilkannya nilai Ri di bawah nilai kritis, sehingga peran

internal tides (pasut internal) menjadi kurang signifikan atau dapat diabaikan. Nilai Ri hanya mengindikasikan bahwa percampuran antarmuka dapat terjadi dan tidak merefleksikan mekanisme khusus yang melatarbelakanginya (Delpeche et al., 2010).

2.2 Turbulensi

(39)

10

dekat dasar laut mempengaruhi deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik, serta pergerakan sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan jarang sekali dalam aliran laminar.

Secara sederhana, turbulen eddy dalam kondisi massa air yang terstratifikasi harus memiliki kondisi di mana fluida yang berdensitas tinggi berada di atas fluida yang berdensitas rendah, sehingga menghasilkan overturn. Proses ini membutuhkan peningkatan energi potensial, di mana usaha yang dilakukan melawan gaya apung untuk dapat mengangkat atau menurunkan fluida, sehingga energi harus dipasok dan hilang dari eddy.

Teori seputar pengadukan turbulen seringkali bergantung pada asumsi-asumsi tentang skala panjang/jarak eddy turbulen. Pada mulanya, teori ’panjang percampuran’ secara eksplisit menggunakan ’ukuran’ eddy turbulen sebagai variabel mendasar (Dillon, 1982).

2.2.1 Skala Thorpe, LT

Thorpe (1977) mengukur profil temperatur di perairan danau dan memperoleh ketidakstabilan dinamik, yang olehnya diasosiasikan sebagai inversi atau pembalikan (overturn), yang merupakan indikasi adanya percampuran vertikal. Metode yang dirintisnya dimulai dengan melakukan penyusunan ulang (reorder)pada profil densitas yang mengandung inversi menjadi profil baru tanpa inversi, atau profil yang monoton. Fluktuasi perpindahan ini merupakan representasi dari eddy, di mana tajam pada batas atas dan bawah, dengan percampuran yang intensif di dalamnya. Dillon (1982) mengkonfirmasikan bahwa di perairan laut, ketidakstabilan ini berkaitan dengan disipasi turbulen, yang kemudian digunakan untuk memperkirakan koefisien difusivitas (KZ atau ).

Dengan demikian, perpindahan Thorpe sangat berguna untuk menggambarkan jangkauan vertikal peristiwa percampuran.

(40)

11

selanjutnya digunakan untuk menghitung skala Thorpe, LT melalui hubungan (Dillon, 1982; Finnigan et al., 2002; Cisewski et al., 2005; Park et al., 2008):

buah sampel pada kedalaman atau lapisan yang diinginkan.

Secara umum, data CTD jarang digunakan untuk mendapatkan skala Thorpe karena adanya efek getaran kawat, goyangan kapal, dan percampuran oleh rangka CTD. Meskipun demikian, nilai-nilai yang diperoleh dapat dinyatakan valid karena beberapa alasan. Tingkat noise di perairan laut lebih kecil dibandingkan dalam skala laboratorium. Kontaminasi dari rangka dan goyangan kapal dapat direduksi dengan menghilangkan bagian-bagian cast yang terdistorsi oleh gerakan balik ke atas (umumnya ketika CTD diturunkan perlahan ke dasar perairan). Jika penurunan CTD dilakukan terlalu cepat, efek yang timbul adalah overturn akan tampak tidak berubah terhadap waktu. Dengan demikian, variasi

kecepatan penurunan CTD dan diskontinuitas data hanya akan memiliki sedikit pengaruh pada hasil yang didapat (Sherwin dan Turrell, 2005).

2.2.2 Skala Ozmidov, LO

Skala Thorpe memiliki karakteristik yang hampir sama dengan skala Ozmidov. Pada fluida terstratifikasi, suatu parsel fluida yang bergerak dalam jarak vertikal guna mengubah semua energi kinetiknya menjadi energi potensial, dapat dinyatakan dengan skala Ozmidov (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008):

2

(41)

12

dengan koefisien regresi 0,98 untuk n = 0,95. Selanjutnya, dengan melihat bahwa nilai n yang tidak jauh berbeda dengan 1, diperoleh rasio rata-rata konstanta Adapun kajian terakhir yang dilakukan oleh Stansfield et al. (2001) menemukan

LO ≈ 1,06 LT di Selat Juan de Fuca.

2.3 Percampuran Massa Air

Percampuran massa air dapat terjadi baik secara isopiknal ataupun secara diapiknal. Percampuran yang mentransfer properti fluida antarpermukaan isopiknal yang berdensitas konstan disebut dengan percampuran diapiknal, sedangkan percampuran yang mentransfer properti fluida (temperatur dan salinitas) sejajar permukaan isopiknal (tanpa perubahan densitas) disebut dengan percampuran isopiknal. Kendati demikian, percampuran secara diapiknal pada tahap selanjutnya akan menimbulkan ketidakseimbangan medan tekanan, yang pada akhirnya juga menghasilkan collapse dan penyebaran properti fluida secara isopiknal (Thorpe, 2007).

(42)

13

dapat diperoleh dari persamaan semi empirik, laju disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa (ε) (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008): turbulen digunakan secara aktual untuk mencampur massa air. Sebagian besar energi kinetik turbulen ini akan terdisipasi oleh gesekan kekentalan. Hanya sejumlah fraksi γ yang digunakan untuk mencampur secara vertikal densitas fluida, dan menaikkan pusat massa. Dengan demikian, koefisien difusivitas vertikal dihitung sebagai (Park et al., 2008):

2

N

Kρ = γε ………...….……. (2.10)

di mana frekuensi buoyancy lokal atau frekensi Brunt Väisälä (N) diturunkan dari profil densitas hasil reorder. Efisiensi percampuran (γ) mengindikasikan efisiensi konversi dari energi kinetik turbulen ke energi potensial sistem, sehingga dapat bervariasi tergantung pada dinamika turbulensi. Fer et al. (2004) menetapkan γ = 0,15 dalam perhitungannya; sedangkan Osborn (1980) menetapkan γ = 0,2.

2.4 Peran Konfigurasi Topografi Perairan dalam Percampuran Massa Air

Pemahaman yang baik terhadap dinamika aliran di atas sistem celah kanal merupakan topik penting bagi kajian iklim dan sirkulasi samudera, di mana percampuran di dekat selat dan ambang memungkinkan adanya transformasi massa air. Sayangnya, kajian observasi di area-area kritis ini belum banyak dilakukan dan masih menggunakan model sirkulasi global dengan resolusi yang kasar, serta banyak penyederhanaan.

(43)

14

2.5 Peran Gelombang InternaldanPasut Internal dalam Percampuran Massa Air Pergerakan-pergerakan dengan skala mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa kilometer dalam arah vertikal di lautan biasanya dikaitkan dengan gelombang internal dan turbulensi dalam tiga dimensi (Riley dan Lelong, 2000). Gelombang internal memiliki peran yang sangat penting baik dari sisi oseanografi fisik maupun ekosistem laut, melalui mekanisme seperti percampuran massa air dan transfer bahang dan nutrien kepada lapisan-lapisan yang aktif secara biologis. Fenomena ini dapat mengantarkan pada percampuran massa air, khususnya di mana terdapat interaksi antara gelombang ini dengan topografi, sehingga menghasilkan pantulan dan pecahan gelombang, yang berpotensi bagi redistribusi bahang, garam mineral, maupun nutrien-nutrien (Wallace et al., 2008).

Interaksi antara gelombang internal dengan dasar perairan dapat memicu terpecahnya gelombang, terbentuknya area dengan shear tinggi yang bersifat lokal dan memicu turbulensi; yang mengarah pada terdisipasinya energi gelombang internal tersebut (Polzin et al., 1997). Sehingga, gelombang internal memainkan peranan penting dalam termodinamika lautan. Gelombang internal akan menjalar secara spasial dan mempertukarkan energi dengan gelombang-gelombang lain melalui interaksi-interaksi gelombang non linier. Proses ini menghasilkan transfer energi dari skala besar ke skala kecil (Winters dan D’Asaro, 1997). Proses-proses serupa juga banyak dijumpai pada perairan landas benua (New, 1988; Rippeth dan Inall, 2002).

2.6 Percampuran Massa Air Arus Lintas Indonesia

(44)

15

vertikal ini dan menemukan bahwa lautan Indonesia secara spesifik didominasi oleh massa air Pasifik Barat bagian utara, meskipun pada beberapa lokasi seperti di perairan Halmahera bagian timur, Seram, dan Banda dijumpai pula massa air Pasifik Selatan. Jalur utama Arlindo adalah melalui perairan sebelah barat, yakni Laut Sulawesi, Laut Makassar, dan Laut Flores.

Reduksi massa air salinitas maksimum Pasifik Barat berkaitan dengan efektivitas fluks salinitas cross-isopycnal. Berger et al. (1988) mengestimasi

(45)
(46)

17

3. METODOLOGI

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan di perairan Selat Alor, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22-28 Juli 2011, dan merupakan bagian dari program Pelayaran Riset Bersama LIPI-DIKTI 2011. Program ini merupakan kolaborasi riset antara Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, menggunakan wahana Kapal Riset Baruna Jaya VIII dan diikuti 13 peneliti dari LIPI dan 10 peneliti berbagai perguruan tinggi dari DIKTI.

Penelitian bersama ini merupakan penelitian multidisiplin keilmuan. Tujuan umum dari Ekspedisi Lamalera adalah untuk mengetahui kondisi oseanografi perairan ini, pola sebaran dan diversitas biota perairan, serta kultur masyarakat Adonara dan Lamalera. Tujuan spesifik dari ekspedisi ini adalah: a. Mengetahui keberadaan upwelling dengan melakukan pengambilan data

stratifikasi massa air.

b. Melakukan pemetaan morfologi dasar laut yang merupakan jalur migrasi mamalia laut (cetacean) (Monk et al., 1997).

c. Mengetahui kondisi kesuburan perairan berdasarkan data kimia hara, kelimpahan plankton dan keberadaan mikro organisme sebagai indikator kesuburan perairan.

d. Mengetahui jenis-jenis cetacean yang bermigrasi. e. Mengetahui kultur masyarakat Lamalera dan Adonara.

f. Mengetahui pergerakan massa air di di jalur migrasi cetacean sebagai base line study.

g. Melakukan pemetaan struktur/stratifikasi sediment dasar laut di jalur migrasi

(47)

18

h. Mengetahui keanekaragaman dan sebaran biota di daerah jalur migrasi

cetacean .

i. Mengetahui keanekaragaman fauna bentik di dasar perairan jalur migrasi

cetacean.

Pelayaran dilakukan dari tangal 22-28 Juli 2011 di kepulauan Alor dan Laut Sawu. Pengukuran parameter oseanografi fisika dilakukan dengan menggunakan Conductivity Temperature Depth (CTD) dan Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP). Pada pelayaran ini juga dilakukan pengukuran kedalaman menggunakan singlebeam echosounder EA500 serta pengambilan nutrien (nitrat, fosfat, silikat) dan klorofil-a. Lokasi penelitian beserta titik-titik pengukuran parameter terobservasi di Selat Alor diperlihatkan pada Gambar 3.1 Pengukuran parameter-parameter yang dikaji dilakukan menggunakan peralatan yang terdapat pada Kapal Riset Baruna Jaya VIII, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Posisi, waktu, kedalaman penurunan, dan kedalaman perairan pada setiap stasiun CTD disajikan dalam Tabel 3.1.

(48)

19

Tabel 3.1 Posisi geografis, waktu, kedalaman penurunan CTD, dan kedalaman perairan.

Kedalaman perairan Selat Alor diukur menggunakan echosounderSimrad EA500 12 kHz. Pengukuran kedalaman perairan dilakukan selama berada di lokasi penelitian, dengan metode transek zig zag sebagaimana pada Gambar 3.1. Data keluaran hasil pengukuran memiliki format ASCII (American Standard Code for Information Interchange) XYZ. Koreksi kedalaman terhadap elevasi pasut dilakukan dengan sinkronisasi waktu rekam data dengan tabel elevasi pasut yang dikeluarkan oleh DISHIDROS TNI AL.

3.2.2 Arus

Profil vertikal arus diukur bersamaan dengan lintasan kapal dan pada setiap pengoperasian CTD di setiap stasiun (Gambar 3.1). Akuisisi data arus menggunakan peralatan akustik SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler) berfrekuensi 75 kHz. Alat ini memiliki spesifikasi jarak kedalaman zona

(49)

20

SADCP hanya mampu mencapai kedalaman sekitar 200 meter dikarenakan adanya kendala teknis. Ekstraksi data arus dilakukan menggunakan perangkat lunak WINADCP untuk mendapatkan data komponen arus zonal (u) dan meridional (v) dalam format ASCII.

3.2.3 CTD (Conductivity-Temperature-Depth)

Penurunan CTD di perairan Selat Alor dilakukan di 15 titik (Gambar 3.1). Kuatnya arus pada bagian tengah selat, yakni tepat di mulut selatan selat antara Pulau Rusa dan Pulau Lembata, mengakibatkan gagalnya penurunan CTD di lokasi ini. Penurunan CTD pada stasiun ini kemudian digeser di stasiun 4. Akuisisi data properti massa air dilakukan menggunakan CTD ( Conductivity-Temperature-Depth) SBE (Sea Bird Electronics) 911 Plus. Akurasi dan resolusi sensor temperatur berturut-turut adalah 0,001oC dan ±0,0002 oC. Akurasi dan resolusi sensor konduktivitas berturut-turut adalah ±0,0003 S m-1 dan ±0,00004 S m-1. Penurunan CTD dilakukan dengan laju akuisisi data 24 Hz, artinya dalam 1 detik dipancarkan 24 pulsa pengambilan data.

Data yang didapatkan dari hasil pengukuran CTD harus dilakukan pengolahan data terlebih dahulu sebelum dianalisis. Data yang diolah hanya berasal dari data downcast yaitu pengukuran profil sewaktu CTD diturunkan ke kedalaman (tekanan tertentu). Pengolahan data CTD dilakukan dengan mengunakan perangkat lunak SBE Data Processing 5.37e. Berikut adalah tahap pengolahan data CTD.

a. Conversion

(50)

21

b. Align CTD

Align CTD berfungsi mensinkronkan semua parameter yang diukur agar berada dalam waktu, tekanan, dan massa air yang sama. Proses Align hanya dilakukan pada data oksigen sebesar 5 detik terhadap tekanan (McTaggart et al.,

2010). Nilai align data oxygen secara umum berkisar 1-5 detik, tergantung dari tekanan CTD.

c. Wild edit

Wild edit berfungsi memperbaiki data yang memiliki nilai ekstrim setiap 100 scan bin. Proses perbaikan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama dengan cara memperbaiki data yang nilainya lebih besar dari dua kali standar deviasi rata-rata. Tahap kedua dengan cara memperbaiki data hasil fase pertama yang lebih besar dari 20 kali standar deviasi rata-rata.

d. Cell thermal mass

Cell thermal mass berfungsi sebagai penapis recursive untuk mengoreksi temperatur pada sel konduktivitas saat pengukuran berlangsung. Nilai yang digunakan adalah 0,03 untuk nilai alfa (anomali amplitudo temperatur) dan 7,00 untuk nilai beta (anomali konstanta waktu temperatur) (McTaggart et al., 2010). Penapisan ini dilakukan hanya pada data hasil pengukuran temperatur pada sensor temperatur.

e. Filter (Penapisan)

Penapisan yang digunakan adalah low pass filter yang berfungsi untuk menghilangkan bias (noise) berupa frekuensi tinggi pada data tekanan. Cut-off

frekuensi yang digunakan adalah 0,03 detik pada low pass filter A dan 0,15 detik pada low pass filter B. Hal ini berarti perekaman data yang lebih cepat dari cut-off

frekuensi akan dihilangkan. Menurut McTaggart et al. (2010) proses penapisan hanya dilakukan pada data tekanan dengan menerapkan low pass filter B.

f. Loopedit

(51)

22

terjadi akibat CTD bergerak naik turun karena pengaruh guncangan pada kapal. Kecepatan minimum yang dipakai adalah 0,25 m s-1 (McTaggart et al., 2010). g. Derive

Derive digunakan untuk menurunkan parameter selain yang sudah dikeluarkan pada saat konversi data. Parameter yang turunkan yaitu densitas (σθ) (kg m-3), salinitas (PSU), kecepatan suara (m s-1), dan temperatur potensial ITS-90 (oC).

h. Bin average

Bin average digunakan untuk merata-ratakan data pada tekanan yang diinginkan. Ukuran bin yang dipakai adalah 0,5; tanpa mengikutkan bin permukaan, sehingga selang tekanan pada data adalah 0,5 dbar.

i. Koreksi Manual

Koreksi manual dilakukan dengan menginvestigasi langsung data yang sudah melalui proses pengolahan data. Hal ini dilakukan karena proses pengolahan data tidak sepenuhnya menjamin data siap untuk diolah. Interpolasi dilakukan pada data yang mengalami error.

3.3 Metode Analisis Data

Diagram alir analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 3.2.

3.3.1 Topografi Dasar Perairan

(52)

23

Gambar 3.2 Diagram alir analisis data.

Dalam perangkat lunak Surfer terdapat dua tipe kriging, yakni Kriging Titik (Point Kriging) dan Kriging Blok (Block Kriging). Kriging Titik mengestimasi nilai-nilai titik pada node grid. Kriging Blok mengestimasi nilai rata-rata blok-blok grid pada pusat node grid. Blok-blok ini merupakan ukuran dan bentuk dari suatu sel grid. Kriging Blok mengestimasi rata-rata dari suatu blok, sehingga akan menghasilkan kontur yang lebih halus. Namun karena Kriging Blok tidak mengestimasi nilai pada satu titik, maka Kriging Blok bukan merupakan interpolator yang baik (Isaaks dan Srivastava, 1989). Pada Kriging Titik, titik data terdekat dengan pusat node grid akan menerima pembobotan tertinggi dalam menentukan nilai node grid. Dalam penelitian ini, digunakan metode grid kriging dengan tipe titik.

(53)

24

cepat dalam arah tertentu dibandingkan arah lainnya. Kondisi inilah yang dapat disesuaikan dalam fungsi-fungsi variogram. Perancangan model variogram yang sesuai untuk suatu set data tertentu membutuhkan pengetahuan dan aplikasi konsep-konsep dan sarana statistik tingkat lanjut, serta pemahaman pendekatan inheren dalam fitting antara model teoritik dan data riil. Perangkat lunak Surfer merekomendasikan variogram linier default (bawaan) dengan algoritma kriging jika pengguna tidak mengetahui model variogram tertentu yang harus digunakan. Meskipun demikian, variogram linier dalam Surfer sudah memberikan grid yang sesuai dalam berbagai bidang kebutuhan. Dalam hampir semua kondisi data, perangkat lunak Surfer merekomendasikan untuk memakai default variogram linier karena sudah mampu menghasilkan visualisasi data yang baik pada set data XYZ. Dalam penelitian ini, digunakan metode grid kriging dengan variogram linier.

Secara spesifik, rentang spasial grid yang digunakan untuk menggambarkan topografi dasar perairan adalah 0,03o x 0,02o. Titik-titik node

grid beserta kontur level kedalaman dengan interval 200 meter disajikan pada Gambar 3.3.

(54)

25

3.3.2 Estimasi Transpor Massa Air

Mengingat pengukuran arus dilakukan dengan metode lintasan, di mana arus terukur akan dinamis baik secara temporal maupun spasial, maka akan digunakan metode analisis temporal-spasial menggunakan perangkat lunak CODAS (Common Oceanographic Data Access System). Secara teknis, perangkat ini ditujukan untuk ekstrasi data dan analisis; meliputi fungsi pemrosesan, kalibrasi, dan navigasi. Berikut adalah fungsi-fungsi yang terdapat dalam perangkat CODAS.

a. llgrid

llgrid berfungsi untuk melakukan translasi grid longitude-latitude, yang dispesifikasi sebagai posisi awal dan increment untuk setiap dimensi, ke dalam rentang waktu yang bersesuaian.

b. timegrid

timegrid berfungsi untuk memecah rentang waktu masukan menjadi interval rentang waktu yang lebih kecil, misalnya per jam.

c. arrdep

arrdep berfungsi untuk menemukan rentang waktu spesifik yang akan digunakan untuk menganalisis data, di mana pengukuran arus dapat terjadi pada dua kondisi, yakni pada saat kapal berada di stasiun dan pada saat berjalan. d. adcpsect

adcpsect merupakan piranti ekstraksi utama di mana berbagai analisis dan tahap-tahap plotting dilakukan oleh program ini. Sebagaimana dengan program-program dalam CODAS lainnya, operator dapat menentukan pilihan-pilihan

output.

(55)

26

dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2003 dan Surfer 9.

Estimasi transpor sesaat (Q) dihitung dari transek pada bagian tengah Selat Alor (Gambar 3.4) dengan menggunakan persamaan:

di mana Vi adalah kecepatan arus sejajar selat (along strait velocity) pada sel ke-i dan Ai adalah luas penampang pada sel ke-i. Nilai Vi dihitung menggunakan 40° dari arah utara; ui dan vi adalah kecepatan arus zonal dan meridional sel ke-i. Nilai negatif (positif) dari resultante arus ini mengarah ke Laut Sawu (Laut Flores).

Luas penampang sel ke-i (Ai) dihitung sebagai perkalian antara jarak vertikal bin (5 meter) dengan jarak antarsel (~antartitik pengukuran arus), di mana pada titik 1 hingga 11 adalah ~1000 meter, sehingga:

2 i 5000m

A = ………...….……. (3.3)

sedangkan titik 12 hingga 14, mengingat lintasan transek tidak melintang selat, dilakukan reorientasi dengan memproyeksikan jarak antartitik sejajar ke bidang transek. Dengan nilai sudut ~70° dari bidang proyeksi, maka jarak horizontal sel adalah:

2 o i 5000cos(70 )m

(56)

27

(57)

28

3.3.3 Penentuan Lapisan Massa Air

Pada penelitian ini identifikasi lapisan kolom air dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam. Penentuan lapisan ini didasarkan pada gradien temperatur dan densitas kolom perairan atau metode gradien ambang (threshold gradient). Karakterisasi lapisan massa air menjadi lapisan permukaan tercampur (surface mixed layer) dilakukan dengan melihat gradien temperatur ( T)<0,1 oC. Adapun lapisan termoklin memiliki gradien temperatur ≥0,1 oC dan gradien densitas ≥0,02 kg m-3 dengan titik acuan densitas permukan (Thomson dan Fine, 2003; Kara et al., 2000; dan Cisewski et al., 2005). Menurut Lorbacher et al. (2005) pembagian lapisan berdasarkan gradien densitas lebih realistis dibandingkan dengan menggunakan temperatur, karena profil temperatur tidak selalu memberikan stratifikasi vertikal secara tepat. Batas antara lapisan termoklin dan lapisan dalam yang homogen dilihat secara visual dari data densitas yang dicek silang dengan data temperatur, batasnya adalah rentang kedalaman di mana nilai densitas tidak menurun tajam terhadap kedalaman.

3.3.4 Karakteristik Massa Air

Analisis karakteristik fisik massa air dilakukan dengan membuat diagram potensial suhu-salinitas menggunakan bantuan perangkat lunak Ocean Data View 4. Diagram TS menggambarkan hubungan antara suhu dan salinitas yang terobservasi secara bersamaan, pada berbagai kedalaman kolom air laut secara vertikal. Analisis ini sangat bermanfaat dan mampu memberikan penjelasan terbaik untuk mengenal tipe-tipe air, yakni massa air dengan nilai suhu dan salinitas tertentu; dan massa air (Neumann dan Pierson, 1966). Secara spesifik, analisis ini ditujukan untuk mengidentifikasi asal massa air mengacu sebagaimana klasifikasi oleh Wyrtki (1961).

(58)

29

penggunaan metode lapisan inti diperlihatkan pada Gambar 3.5. Jika temperatur dan salinitas massa air di n diketahui, secara grafis dapat ditentukan persentase salinitas maksimum NPSW terhadap Stasiun 1 di stasiun-stasiun yang masih teridentifikasi adanya salinitas maksimum NPSW disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 3.5 Contoh sketsa penggunaan metode lapisan inti untuk menghitung persentase massa air Smax NPSW (II) di stasiun 1 (merah) menjadi n

(59)

30

3.3.5 Percampuran Massa Air Stratifikasi Massa Air

Karakteristik stratifikasi massa air perairan diidentifikasi dari nilai gradien Richardson (Ri) dan frekuensi Brunt Väisälä (N). Nilai Ri dihitung dari profil densitas dan profil arus sesar menggunakan persamaan:

2 2

S N

Ri= ………..……… (3.7)

Nilai N yang menyatakan ukuran stabilitas statik massa air dihitung menggunakan persamaan: kondisi stabilitas statis, sehingga nilai yang didapat akan selalu bernilai positif. Shear dihitung menggunakan persamaan:

Dalam penelitian ini digunakan penapisan nilai S2, di mana S2<10-5 dikategorikan sebagai kemungkinan gangguan (noise) dari instrumen ADCP (Yoshida dan Oakey, 1996).

Mengingat resolusi vertikal pengukuran SADCP adalah 5 meter untuk maka nilai N (dari data CTD) dirata-ratakan ke dalam interval 5 meter untuk mendapatkan nilai Ri. Shear di masing-masing stasiun CTD dihitung dari batas tepi atas dan bawah titik-titik pengukuran arus dalam profil vertikal. Misalkan, shear untuk komponen arus zonal (u) pada kedalaman i dihitung sebagai berikut:

(60)

31

dengan resolusi bin SADCP 5 meter, maka nilai z = 5. Langkah yang sama dilakukan juga untuk komponen arus meridional (v).

Difusivitas Vertikal

Estimasi nilai difusivitas vertikal eddy, Kρ dilakukan dengan analisis skala Thorpe, LT. Skala Thorpe menyatakan skala panjang overturn vertikal turbulen dalam suatu aliran terstratifikasi (Thorpe, 1977). Dalam aliran terstratifikasi,

overturn akan terlihat dari ‘inversi’ nilai densitas, yakni kondisi yang secara gravitasi memiliki gradien densitas tidak stabil (Galbraith dan Kelley, 1996).

Secara teknis, inversi densitas yang tidak stabil tersebut selanjutnya diurutkan-kembali (reorder) untuk mendapatkan profil densitas potensial (σθ)

yang stabil. Pada penelitian ini belum dilakukan reorder secara berulang untuk mengatasi kemungkinan adanya overlap dari densitas yang sudah diurutkan. Fluktuasi Thorpe dari data densitas, didefinisikan sebagai selisih antara nilai densitas terukur dengan nilai densitas yang telah di-reorder atau disusun ulang yang stabil secara gravitasi. Perpindahan Thorpe kemudian dihitung sebagai d’n =

zm-zn, yakni jarak yang harus ditempuh sampel pada kedalaman zn menuju kedalaman zm untuk mencapai nilai densitas yang stabil (Dillon, 1982), yakni kedalaman di mana memiliki nilai fluktuasi densitas Skala Thorpe sama dengan 0 (nol). Nilai positif (negatif) menunjukkan bahwa massa air akan bergerak ke atas (bawah) untuk mencari kestabilan statis, kondisi ini terjadi bila massa air berdensitas rendah (tinggi) berada di bawah massa air berdensitas tinggi (rendah). Mengingat nilai d’n ini tidak merepresentasikan nilai pasti dari jarak aktual yang harus ditempuh (eddy tidak terjadi dalam satu dimensi), maka skala Thorpe lebih merepresentasikan ukuran eddy, selama gradien horizontal densitas jauh lebih kecil dibandingkan gradien vertikalnya.

Seringkali sulit menentukan apakah inversi densitas merupakan overturn

dari densitas parsel air yang tidak stabil. Terdapat dua tantangan, pertama noise

(61)

32

serupa dengan sensitivitas sensor. Kedua, spike salinitas dapat memunculkan inversi spurious (tidak terkendali) pada nilai densitas (Alford dan Pinkel, 2000).

Spike dapat dideteksi dengan menguji karakteristik massa air pada area inversi kaitannya dengan ke-eratan (tightness) hubungan TS (Galbraith dan Kelley, 1996); atau dengan mensyaratkan perpindahan Thorpe yang nonzero pada data temperatur dan densitas (Peters et al., 1995). GK menyatakan bahwa percampuran turbulen pada area yang memiliki gradien TS linier tidak akan mengubah karakteristik TS. Sehingga parsel massa air pada suatu area yang mengalami

overturn meskipun berubah posisi dalam arah vertikal baik mengalami percampuran maupun tidak akan terletak di sepanjang hubungan lokal TS. Fenomena loop yang keluar dari hubungan linier TS merupakan indikasi ketidaktepatan pengukuran sensor temperatur-konduktivitas yang menghasilkan

error pada data salinitas. Dalam penelitian ini, digunakan kriteria nonzero pada data temperatur dan densitas untuk menentukan inversi densitas yang dikategorikan sebagai overturn. Metode ini lebih umum digunakan, di samping karena masih berkembangnya isu relativitas visual, serta kesulitan memantau percampuran berdasarkan ke-eratan TS pada pola hubungan yang tidak linier (Gargett dan Garner, 2008).

Setelah perhitungan nilai d melalui metode nonzero pada data temperatur dan densitas, dilakukan penapisan kembali berdasarkan estimasi ketebalan minimal perpindahan dari resolusi vertikal CTD. Hal ini bertujuan agar nilai d

merupakan nilai perpindahan yang bukan berasal dari noise CTD. Prinsip estimasi ini dilakukan berdasarkan pada kenyataan bahwa CTD memiliki keterbatasan kemampuan untuk mendeteksi pembalikan massa air. Hal ini mengacu pada teori sampling Nyquist, di mana bila pembalikan yang terjadi adalah dua kali lebih rendah dibandingkan resolusi vertikal, maka pembalikan tersebut tidak dapat diukur. Penentuan pembalikan yang lebih kuat dapat dilakukan jika terdapat jumlah sampel yang lebih banyak, berdasarkan pada peraturan jumlah sampel minimum yaitu lima sampel (Koch et al., 1983) atau 7-8 sampel (Levitus, 1982 in

(62)

33

adalah dengan memungkinkan resolusi vertikal untuk mendeteksi pembalikan yang tidak lebih rendah dari (Galbraith dan Kelley, 1996):

Z 5

LZ = ∂ ……...……… (3.11)

di mana ∂Zadalah resolusi vertikal data CTD (dbar~meter). Untuk penelitian ini digunakan resolusi vertikal sebesar 0,5 meter sehingga nilai LZsebesar 2,5 meter. Hal ini berarti nilai yang kurang dari 2,5 meter akan diabaikan dan tidak akan diikutkan untuk perhitungan selanjutnya.

Di samping batasan di atas, diperlukan juga batasan lain untuk mengukur pembalikan berdasarkan perbedaan densitas (). Resolusi densitas dari CTD

dapat mengukur pembalikan jika memiliki nilai tidak lebih rendah dari (Galbraith dan Kelley, 1996): dan kemampuan CTD untuk mendeteksi perbedaan densitas, δρ~ 10-3, didapatkan nilai = 2,12 m. Hal ini berarti ketebalan displacement yang kurang dari nilai

tersebut akan diabaikan dan tidak diikutsertakan dalam perhitungan selanjutnya. Nilai skala Thorpe, LT kemudian dihitung menggunakan persamaan:

2

(63)

34

2

N

Kρ = γε ………...…..……. (3.14)

dengan nilai efisiensi percampuran, γ = 0,2 (Osborn, 1980). Laju disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa (ε)dihitung menggunakan persamaan:

3 2 O N

L

=

ε ………...….……. (3.15)

dengan skala panjang Ozmidov (LO):

T O 0,8L

Gambar

Gambar 1.1  Kerangka pemikiran.
Gambar 4.3  Pola arus pada beberapa lapisan kedalaman: (a) <50 meter, (b) 50-
Gambar 4.3  (lanjutan): (c) 100-150 meter, dan (d) 150-200 meter.
Gambar 4.5  (a) Profil menegak shear arus di Selat Alor. Garis kontur hitam tebal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data penelitian ini adalah alih kode dan campur kode antara bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia yang ditemukan dalan iklan kompas pada minggu pertama bulan Juli

Pada pengujian pH terhadap air sungai lematang di campur dengan air limbah WWTP Wast Water Treatment Plant yakni 50% : 50% mendapatkan hasil yang tidak begitu rendah yakni pH 6,91 nilai