DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN LARVA IKAN DI
PERAIRAN LAGUNA PULAU PARI DAN SEKITARNYA
MUHAMMAD TAUFIK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Distribusi dan Kelimpahan Larva
Ikan di Perairan Laguna Pulau Pari dan sekitarnya adalah karya saya sendiri
dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Juli 2012
ABSTRACT
MUHAMMAD TAUFIK. The Distribution and Abundance of Fish Larvae in Pulau Pari’s Lagoon and It Surrounding. Under direction of DEDI SOEDHARMA and MOHAMAD MUKHLIS KAMAL.
Research on Fish larvae abundance and distribution has been conducted in Pulau Pari’s lagoon waters started from June to November 2011. The 5 sampling stations are Pulau Tikus (1), Pulau Burung (2), Pulau Kongsi (3), Tubir (4) dan LIPI (5). The result found there are 22844 fish larvaes consists of 67 families and 107 genera. The top 5 families with highest composition are Aulostomidae with 13.14%, followed by Blenniidae (9.98%), Pomacentridae (9.28%), Engraulidae (6.46%) and Pinguipedidae (5.02%). While the top 5 genera are Aulostomus chinensis of Aulostomidae (13.14%), followed by Stanulus of Blenniidae (5.95%), Stolephorus of Engraulidae (5.68%), Parapercis of Pinguipedidae (5.02%) and Pomacentrus of Pomacentridae (4.58%)
The abundance range from 8 – 2764 ind/m3. Spatially, the highest abundance of fish larvae are in station 2 followed by station 4 while the lowest is in station 5. Temporally, the highest abundance of fish larvae are in July at station 1,3 and 4 while at station 2 and 5 the highest was in June. The highest abundance genus is
Aulostomus chinensis. Most of families caught are reef associated fishes. Most of the genera also caught in preflexion stadia especially in July and October. Analyzes on community indices showed that the highest diversity index’s values is on station 4 with 3.03 and the lowest is station 5 with 2.8. correlation analyzes between environmental factors showed that negative correlation between abundance and temperature; also between abundance and nitrat while positive correlation showed by abundance and pH, abundance and salinity; and between abundance and silicate.
iv
RINGKASAN
MUHAMMAD TAUFIK. Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Perairan Laguna Pulau Pari dan sekitarnya. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA sebagai ketua komisi pembimbing dan MOHAMAD MUKHLIS KAMAL sebagai anggota komisi pembimbing.
Kondisi perikanan tangkap di beberapa wilayah perairan di Indonesia saat ini telah menunjukkan adanya indikasi kondisi tangkap lebih dan menjadi penyebab utama menurunnya stok ikan di daerah-daerah perikanan artisanal hingga di bawah ambang batas tangkapan lestarinya. Hal lain yang menjadi penyebab menurunnya stok ikan adalah degradasi lingkungan dan tekanan penangkapan yang berupa aktifitas perikanan yang merusak seperti penggunaan racun, bahan peledak, jumlah alat tangkap dan armada yang tidak dibatasi dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga menyebabkan degradasi lingkungan di tempat ikan memijah.
Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan pengetahuan yang baik tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi maupun kehidupannya. Pada perkembangan ikan dari stadia larva menjadi juvenil memiliki konsekwensi ekologis sehingga terjadi hubungan yang kritis terhadap kelulushidupan (survival) dan pertumbuhan (growth). Pentingnya aspek ini karena mempunyai keterkaitan dengan fluktuasi ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies itu sendiri. Seperti diketahui pada tahap awal daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi karena kepekaan terhadap predator, ketersediaan makanan, dan juga perubahan lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Keberhasilan larva dan awal stadia juvenil ikan mencapai nursery area akan sangat menentukan dalam tahapan proses rekrutmen stok ikan di alam.
Penelitian tentang distribusi dan kelimpahan larva ikan telah dilakukan di Perairan Pulau Pari selama bulan Juni-November 2010 dengan tujuan untuk mengetahui sebaran spasial dan temporal larva ikan yang ada di lokasi tersebut serta untuk mengetahui waktu dan lokasi pemijahan berdasarkan fluktuasi kelimpahan dan stadia larva ikan. Penelitian dilakukan pada lima stasiun yaitu Pulau Tikus, Pulau Burung, Pulau Kongsi, Tubir dan LIPI selama enam bulan dimana sampling terhadap larva ikan dilakukan dengan menggunakan larva net sebanyak dua kali setiap bulan. Selain larva ikan juga dilakukan pengambilan sampel terhadap parameter lingkungan seperti suhu, salinitas, pH dan nutrient. Sampel larva ikan diidentifikasi hingga tingkat takson terendah.
Hasil penelitian menemukan sebanyak 22844 individu larva ikan yang tersusun atas 67 famili dan 107 genus. Lima famili dengan komposisi tertinggi adalah Aulostomidae (13.14%), Blenniidae (9.98%), Pomacentridae (9.28%), Engraulidae (6.46%) dan Pinguipedidae (5.02%). Sedangkan lima genus dengan komposisi tertinggi adalah Aulostomus chinensis (Aulostomidae), Stanulus
(Blenniidae), Stolephorus (Engraulidae), Parapercis (Pinguipedidae) dan
bulan Juni. Genus dengan kelimpahan tertinggi adalah Aulostomus yang ditemukan hampir disemua stasiun. Sebagian besar jenis larva ikan yang tertangkap adalah larva ikan-ikan karang. Sebagian besar larva tertangkap pada stadia preflexion. Secara temporal stadia ini banyak terdapat pada bulan Juli dan Oktober.
Secara spasial kisaran nilai indeks keanekaragaman adalah 2.8 – 3.03 dengan nilai tertinggi ada di stasiun 4 dan terendah ada di stasiun 5. Kisaran nilai indeks keseragaman adalah 0,81 - 0,87 dan indeks dominasi kisarannya dalah 0,06 – 0,11. Berdasarkan matriks korelasi hasil analisa komponen utama menunjukkan korelasi negatif antara kelimpahan larva ikan dengan nitrat dan salinitas sedangkan korelasi positif didapat dari hubungan kelimpahan dengan suhu dan pH sedangkan terhadap silikat dan fosfat hubungan tidak ada.
Kata kunci : larva ikan, distribusi, kelimpahan
vi
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN LARVA IKAN DI
PERAIRAN LAGUNA PULAU PARI DAN SEKITARNYA
MUHAMMAD TAUFIK
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
viii
Judul Tesis : Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Perairan Laguna Pulau Pari dan Sekitarnya
Nama : Muhammad Taufik
NRP : C551080151
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA
Ketua
Dr. Ir.M. Mukhlis Kamal , M.Sc
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Perairan Laguna Pulau Pari dan Sekitarnya”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Bapak Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc masing-masing sebagai Ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. Juga kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc sebagai Ketua Mayor Ilmu Kelautan FPIK IPB dan Ibu Dr. Reny Puspasari, M.Si sebagai penguji luar komisi. Selain itu penulis juga mengucapkan rasa terimakasihnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ali Suman, Kepala Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) -Balitbang KP.
2. Bapak Ir. Duto Nugroho, M.Si (Kepala BPPL 2008-2011). Sekarang Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI)-Balitbang KP.
3. Bapak Drs. Suwarso, M.Si (BPPL), Awwaluddin, M.Sc (Tokyo University of Marine Science) dan Ibu Dra.Sri Turni Hartati, MS (P4KSI) atas bantuannya selama penelitian.
4. Rekan-rekan IKL 2008 : bang Syamsul, Ajay Patty, Ayu, Achis Siregar, Mas Tri Nurcahyo, Agung, Afdal, Sayyid Afdhal.
5. Rekan-rekan di BPPL:, Pak Koderi, Pak Nurwiyanto, Wahyuningsih, Adrian Damora, Pratiwi Lestari, Yoke Hany, Mas Elvi, Septa Prihantara, Mas Roni dan Mas Murtado (Pulau Kongsi), bang Antoni Sisco dan Nurulludin.
6. Semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penulisan tesis ini yang tidak dapat ditulis satu persatu.
Penulis berharap apa yang tertulis dalam tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu kelautan di Tanah Air Tercinta, Indonesia.
Bogor, Juli 2012
RIWAYAT HIDUP
MUHAMMAD TAUFIK dilahirkan pada Tanggal 22 September 1977 di
Jakarta, anak pertama dari empat bersaudara pasangan Ridwan Thalib dan (alm)
Syukriah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Negeri Tugu VI
Cimanggis pada tahun 1990 dilanjutkan ke SMP Negeri 20 (1990-1993) dan SMA
Negeri 14 (1993-1996) keduanya berada di Jakarta Timur. Pada Tahun 1996
penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang. Lulus tahun
2002 dengan gelar sarjana teknik (ST).
Pada tahun 2003 penulis diangkat sebagai calon peneliti di Balai Riset
Perikanan Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan
pendidikan di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana IPB, dan
lulus dengan gelar Magister Sains pada Tahun 2012. Saat ini penulis menjadi
anggota pada kegiatan kelompok penelitian perikanan demersal di Balai Penelitian
xii
2.3 Distribusi Larva Ikan... 11
III METODE PENELITIAN ... 14
3.3.2 Indeks Keanekaragaman ... 16
3.3.3 Indeks Keseragaman ... 17
3.3.4 Indeks Dominasi ... 18
3.3.5 Analisa Komponen Utama (Principal Component Analysis) ... .. 18
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
4.1 Kondisi Umum Lingkungan Perairan ... 20
4.1.1 Suhu ... 20
4.1.2 Salinitas ... 21
4.1.3 pH ... 22
4.1.4 Nutrient ... 22
4.2 Komposisi Hasil Tangkapan Larva Ikan ... 24
4.3.1 Distribusi Spasial Larva Ikan ... 27
4.3.2 Distribusi Temporal Larva Ikan ... 32
4.3.3 Distribusi Spasial dan Temporal berdasarkan Stadia ... 36
4.4 Indeks Komunitas ... 37
4.5 Hubungan antara Kondisi Lingkungan dengan Kelimpahan Larva Ikan ... 41
V SIMPULAN DAN SARAN ... 50
5.1 Simpulan ... 50
5.2 Saran ... 50
DAFTAR PUSTAKA ... 51
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Kelimpahan Famili dan genus larva ikan yang ditemukan di
semua stasiun selama penelitian (ind/m3) ... 50 2. Hasil pengukuran kualitas lingkungan selama penelitian ... 55 3. Hasil perhitungan indeks komunitas (keanekaragaman,
keseragaman dan dominasi) ... 57 4. Tabel hubungan Antara Kondisi Lingkungan dengan
DAFTAR GAMBAR
No. halaman
1. Fase Perkembangan ikan Trachurus symmetricus ... 9
2. Larva Ikan pada stadia preflexion ... 10
3. Larva Ikan pada stadia postflexion ... 10
4. Peta Lokasi Penelitian ... 14
5. Larva Net ... 15
6. Fluktuasi rata-rata suhu permukaan air di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 21
7. Fluktuasi rata-rata salinitas di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 21
8. Fluktuasi nilai rata-rata pH di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 22
9. Fluktuasi rata-rata nilai Nitrat (NO3) di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 22
10. Fluktuasi rata-rata nilai Fosfat (PO4) di semua stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 23
11. Fluktuasi rata-rata nilai Silikat (Si (OH)) di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November ... 23
12. Komposisi Famili larva ikan yang ditemukan di semua stasiun selama penelitian ... 24
13. Komposisi genera larva ikan yang tertangkap di semua stasiun penelitian ... 25
14. Komposisi larva ikan berdasarkan habitat hidupnya . ... 25
15. Sebaran kelimpahan larva ikan yang tertangkap di semua stasiun selama penelitian ... 27
16. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 2 (P. Burung) selama penelitian ... 27
17. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 4 (Tubir) selama penelitian ... 28
18. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 5 (LIPI) selama penelitian ... 29
xvi
20. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 3 (P.
Kongsi) selama penelitian ... 30
21. Sebaran kelimpahan larva ikan secara temporal di semua stasiun
penelitian ... 31
22. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 1 setiap bulan
selama Juni-November 2010 ... 32
23. Sebaran kelimpahan larva ikan di stasiun 2 selama bulan
Juni-November 2010 ... 33
24. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 3 setiap bulan
selama Juni-November 2010 ... 33
25. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 4 setiap bulan
selama Juni-November 2010 ... 34
26. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 5 setiap bulan
selama Juni-November 2010 ... 35
27. Distribusi larva ikan berdasarkan perkembangan stadianya,
preflexion (A) dan postflexion (B) selama Juni-November 2010 ... 35
28. Komposisi stadia famili larva ikan karang yang diteukan di semua
lokasi penelitian ... 36
29. Sebaran spasial kelimpahan famili larva ikan karang pada stadia
preflexion yang ditemukan di semua stasiun penelitian ... 36
30. Sebaran temporal kelimpahan famili larva ikan karang pada stadia
preflexion yang ditemukan di semua stasiun penelitian ... 37
31. Sebaran nilai indeks komunitas (H’= keaneakaragaman, E =
keseragaman dan D = dominasi) di semua stasiun penelitian ... 38
32. Sebaran nilai Indeks keaneakaragaman (H’) di semua stasiun
penelitian selama bulan Juni-November 2010 ... 39
33. Sebaran nilai Indeks keseragaman (E) di semua stasiun penelitian
selama bulan Juni-November 2010 ... 39
34. Sebaran nilai Indeks dominasi (D) di semua stasiun penelitian
selama bulan Juni-November 2010 ... 40
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi perikanan tangkap di beberapa wilayah perairan di Indonesia saat
ini telah menunjukkan adanya indikasi kondisi tangkap lebih (overfishing) dan
terjadi adanya degradasi lingkungan. Hal ini ditengarai menjadi penyebab utama
menurunnya stok ikan di daerah-daerah perikanan artisanal hingga di bawah
ambang batas tangkapan lestarinya (ICLARM, 1997; Tomascik et al. 1997).
Aktifitas perikanan yang merusak (Destructive and poisonous Fishing) banyak
terjadi di kawasan ini (Pauly et al. 1989; White et al. 2000).
Stok sumberdaya ikan pelagis di perairan Laut Jawa telah mengalami
degradasi yang cukup drastis, di mana kondisi biomass SDI pelagis pada tahun
2004 tersisa hanya sekitar 25% dari biomass pada tahun 1976 (Atmadja, 2006).
Pada tahun 2008, perikanan pelagis kecil hasil tangkapan pukat cincin mencapai
titik yang terendah, dimana total hasil tangkapan pukat cincin hanya sekitar 47%
dari total hasil tangkapan tahun sebelumnya. Laju tangkap (Kg/trip) pada tahun
2008 hanya sekitar 96% dari laju tangkap tahun 2007 (Suwarso et al., 2008). Hal
ini banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ditimbulkan akibat aktivitas
manusia, seperti tekanan penangkapan, aktivitas pencemaran yang menyebabkan
kerusakan kerusakan lingkungan tempat habitat ikan memijah, banyaknya jumlah
alat tangkap dan armada yang beroperasi.
Struktur manajemen dan penyelenggaraan yang lemah tentang pembatasan
penangkapan, dan praktek perikanan yang merusak juga menjadi penyebab lain
dari penurunan stok ikan. Kerusakan ekosistem laut juga menjadi kegelisahan dari
sebagian nelayan, khususnya yang ada di Teluk Jakarta. Nelayan yang sehari-hari
menggantungkan kehidupannya di laut, mengeluhkan berkurangnya tangkapan.
Perairan pantai yang terdiri dari daerah pasang surut, estuari, mangrove, padang
lamun, terumbu karang, maupun pantai berpasir merupakan daerah asuhan bagi
berbagai jenis ikan. Selain itu pantai utara Jawa juga sudah tercemar sehingga
satwa-satwa laut seperti kerang, kepiting dan sebagainya juga terancam
kepunahan dan perkembang biakannya pun tidak baik seperti dahulu. Pengelolaan
2
asuhan serta musim pemijahan ikan dapat memberikan perlindungan yang
dibutuhkan agar rekruitmen tetap berlangsung dengan baik.
Ikan dalam mengawali daur hidupnya melalui tiga tahap yaitu telur, larva
dan juwana. Tahap transisi terjadi antara telur dan larva (yolk sac) serta antara
larva dan juwana (transformasi larva). Pada tahap larva juga dibagi menjadi tiga
sub divisi yaitu: preflexion larva, flexion larva dan postflexion larva (Hoar dan
Randall, 1987). Selanjutnya Amarullah (2008) mengemukakan bahwa
perkembangan ikan dari stadia larva menjadi juvenil memiliki konsekwensi
ekologis sehingga terjadi hubungan yang kritis terhadap kelulushidupan (survival)
dan pertumbuhan (growth). Konsekwensi ekologis terpenting yang berpengaruh
diantaranya adalah yang berkaitan dengan makanan dan pemangsaan (food and
feeding), deteksi predator dan kemampuan menghindar (predator detection and
escape) serta peralihan habitat (habitat shift) yang pada gilirannya sangat
berpengaruh terhadap rekrutmen stok ikan di suatu perairan. Keberhasilan larva
dan awal stadia juvenil ikan mencapai nursery area akan sangat menentukan
dalam tahapan proses rekrutmen stok ikan di alam. Faktor hidrografi di perairan
pantai atau habitat nursery yang berpengaruh sebagai stimuli tingkah laku imigrasi
larva diantaranya adalah aliran pasang surut (tidal flux) termasuk di dalamnya
kecepatan arus, salinitas (terutama perairan estuari), kekeruhan, komposisi
substrat dan juga pengaruh siklus bulan.
Pulau Pari merupakan pulau terbesar di gugusan laguna dengan luas 41.32
ha dan dihuni secara permanen oleh penduduk. Aktifitas masyarakat di pulau ini
dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kondisi perairan laguna. Perairan
sekitar Pulau Pari digunakan sebagai lahan budi daya rumput laut, lahan
konservasi mangrove, Daerah Perlindungan Laut (DPL) serta penangkapan ikan
(fishing ground). Limbah rumah tangga dan aktivitas pengolah rumput laut
berpengaruh terhadap kualitas perairan terutama kandungan bahan organik dan
konsentrasi nutrien perairan. Selain pengaruh dari dalam laguna, perairan laguna
juga mendapat pengaruh dari perairan sekitarnya. Laguna Pulau Pari terletak
paling selatan dari gugusan pulau seribu dan berjarak hanya 40 km dari kota
Jakarta, sehingga perairan laguna juga mendapatkan pengaruh dari perairan Teluk
3
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
Saat ini penelitian tentang sumberdaya ikan selalu ditekankan pada catch
and effort management dimana informasi mengenai potensi dan produksi hasil
perikanan serta jumlah armada yang memanfaatkannya menjadi topik utama
sedangkan informasi biologi seperti distribusi frekuensi panjang, tingkat
kematangan gonad, preferensi makanan dan pola rekruitmen masih sedikit
diamati. Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan
pengetahuan yang baik tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi
maupun kehidupannya. Pentingnya aspek ini karena mempunyai keterkaitan
dengan fluktuasi ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies itu sendiri. Seperti
diketahui pada tahap awal daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi
karena kepekaan terhadap predator, ketersediaan makanan, dan juga perubahan
lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Gugus Pulau Pari sebagai bagian
dari Taman Nasional Kepulauan Seribu yang di dalamnya juga terdapat DPL
(Daerah Perlindungan Laut) diharapkan dapat bereperan penting sebagai sumber
penyedia stok ikan.
1.3 Tujuan Penelitian
- Mengetahui jenis-jenis, kelimpahan dan distribusi spasial-temporal larva
ikan (iktioplankton) yang ada di perairan laguna Pulau Pari.
- Mengkaji pengaruh parameter lingkungan baik fisika dan kimia terhadap
populasi larva ikan di perairan laguna Pulau Pari.
- Memberikan informasi mengenai waktu dan lokasi pemijahan berdasarkan
fluktuasi kelimpahan larva ikan.
1.4 Manfaat Penelitian
- Mengiventarisasi jenis-jenis larva ikan yang ada di Perairan Laguna Pulau
Pari
- Mengetahui pola distribusi larva ikan secara spasial dan temporal di
Perairan Laguna Pulau Pari
- Sebagai dasar pengelolaan sumberdaya ikan berdasarkan keberhasilan
proses rekrutmen dari suatu daerah asuhan tempat perkembangan larva ikan
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Pulau Pari
Ekosistem Teluk Jakarta yang disebut juga Greater Jakarta Bay
Ecosystem terletak pada posisi antara garis 106o 20' - 107o 03' bujur timur dan pada garis 5o 10' - 6o
Laguna Pulau Pari yang terdapat di gugusan Kepulauan Seribu berfungsi
sebagai daerah asuhan bagi banyak larva ikan. Hal ini dibuktikan oleh hasil
penelitian yang dilakukan Kaswadji (1997), yang menemukan larva-larva ikan
dari enam famili, yaitu Ambassidae, Apogonidae, Teraponidae, Hemirhamphidae,
Gobiidae dan Serranidae. Pulau Pari sendiri saat ini termasuk salah satu dari 7
lokasi DPL-BM (Daerah perlindungan Laut Berbasis Masyarakat) yang berlokasi
di Kepulauan Seribu sedangkan 6 lokasi lainnya adalah Pulau Tidung, Pulau
Harapan, Pulau Panggang (Gosong Pramuka) dan Pulau Kelapa, Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara. Kawasan Gosong Pramuka dan Kel. Pulau Panggang.
DPL Pulau Pari mempunyai luas 12 ha dari total 122,1 ha wilayah DPL yang ada
di Kepulauan Seribu (Amri dan Agus, 2011).
10' lintang selatan. Teluk Jakarta terikat oleh bagian Barat
Tanjung Pasir dan bagian timur Tanjung Karawang adalah sebagian besar
dipengaruhi oleh aktivitas berbasis lahan. Williams et. al (2000) dalam Arifin (2004) menyatakan bahwa ekosistem Teluk Jakarta terdiri dari dua ekosistem
pantai (coastal ecosystems), yaitu Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu.
Sebagai ekosistem semi tertutup laguna pulau pari mendapatkan pengaruh
dari pulau-pulau yang ada di dalam laguna (Pulau Pari, Pulau Kongsi, Pulau
Burung, Pulau Tikus dan Pulau Tengah) dan juga dari perairan di sekitarnya.
Terumbu karang mengelilingi semua gugus pulau-pulau tersebut dengan
membentuk bagian-bagian terumbu yang cukup komplit, seperti rataan terumbu
(reef flat), goba (lagoon) dan terumbu yang mengelilingi goba (atol) sehingga
menyerupai pulau atol yang dikenal juga dengan atol semu atau (pseudo atol) (Abrar, 2011).
Perairan Laguna Pulau Pari dihubungkan dengan laut lepas melalui 6
masyarakat yang tinggal di Pulau Pari dan sekitarnya dapat memberikan pengaruh
langsung terhadap kondisi perairan laguna. Limbah rumah tangga dan aktivitas
pengolah rumput laut berpengaruh terhadap kualitas perairan terutama kandungan
bahan organik dan konsentrasi nutrien perairan. Selain pengaruh dari dalam
laguna, perairan laguna juga mendapat pengaruh dari perairan sekitarnya. Laguna
Pulau Pari terletak paling selatan dari gugusan pulau seribu dan berjarak hanya 40
km dari kota Jakarta, sehingga perairan laguna juga mendapatkan pengaruh dari
perairan Teluk Jakarta yang tingkat pencemarannya sudah tinggi. Pengaruh
pencemaran dari Teluk Jakarta telah dirasakan oleh para petani rumput laut, yang
menyatakan adanya penurunan hasil budidaya rumput laut yang dikarenakan oleh
seringnya terkena serangan penyakit sebagai akibat semakin menurunnya kualitas
air dalam laguna.
Contoh adanya pengaruh lingkungan adalah terjadinya fluktuasi kondisi
nutrien dan konsentrasi klorofil yang tidak beraturan, seperti yang dilaporkan oleh
Kaswadji (1997). Lebih lanjut lagi Kaswadji (1997) juga melaporkan bahwa nilai
nitrat berfluktuasi antara 0,001 – 0,326 (mg N/l), nilai fosfat berfluktuasi antara
0,00009 – 0,15 (mg P/l) dan nilai silikat berfluktuasi antara 0,006 – 2,052 (mg
Si/l). Konsentrasi klorofil a berfluktuasi sangat tajam selama setahun, nilai
terendah yang teramati adalah 0,066 (µg/l) sampai 13,388 (µg/l). Dari hasil
pengukuran terhadap luas penampang kaloran (jalan masuk air) dan
mengalikannya dengan kecepatan arus, Kaswadji (1997) menemukan bahwa
jumlah massa air yang masuk melalui kaloran adalah 63637,2 m3
Kedua pengaruh yang diterima perairan Laguna Pulau Pari, baik dari
dalam maupun dari luar laguna dapat menyebabkan terjadinya dinamika kondisi
perairan baik pada kondisi kimia, fisik maupun biologi perairan. Proses fisik
seperti pengadukan masa air dapat mempengaruhi distribusi vertikal dari
fitoplankton dan zooplankton. Secara fisik, masa air yang ada di dalam laguna
bergerak keluar masuk melalui kaloran, yang dipengaruhi oleh arus dan pasang
surut. Pergerakan masa air dan tekanan angin dapat menyebabkan teradinya
pengadukan pada kolom air dalam goba.
/jam. Masuknya
massa air dari perairan sekitar, dapat menyebabkan terjadi fluktusi kondisi
Di dalam laguna Pulau Pari terdapat tujuh goba dengan kedalam yang
berbeda yaitu Goba Soa Besar (15 m), Goba Labangan pasir (5 m), Goba Kuanji
(5 m), Goba Besar satu (5 m), Goba besar dua (1 m), Goba Ciaris (1 m) dan Goba
buntu (0,5 m) (Kaswadji, 1997). Dengan kedalaman yang berbeda pada
masing-masing goba yang ada, menyebabkan adanya variasi dalam proses pengadukan
masa air pada setiap goba. Di dalam laguna Pulau Pari ditemukan tiga tipe
ekosistem, yaitu terumbu karang, lamun dan mangrove. Ketiga tipe ekosistem
pantai ini juga dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi hidrodinamika
perairan dalam laguna.
Perubahan yang terjadi secara fisik (arus, pasang surut, angin, turbulensi)
dan kimiawi (konsentrasi nutrien) dapat mempengaruhi kondisi biologis perairan.
Hal ini ditegaskan oleh Tondato et al (2010) yang menyatakan bahwa
faktor-faktor biotik (ketersediaan makanan, keberadaan predator dan kompetisi) dan
abiotik (fisika dan kimia), atau interaksi antar keduanya dapat menentukan musim
dan kecocokan dari suatu habitat dalam keberhasilan reproduksi. Perubahan yang
terjadi pada produsen primer akan mempengaruhi pembentukan biomassa
produsen sekunder (protozoa dan zooplankton) dan organisme pada tingkatan
trofik yang lebih tinggi lagi (larva ikan). Akibat terjadinya dinamika pada
komponen produsen primer dan sekunder, maka ketersediaan makanan bagi larva
ikan, tidak selalu terpenuhi setiap saat.
2.2 Biologi Larva Ikan
Iktioplankton merupakan salah satu cabang dari Ichthyologi yang
membahas tentang daur hidup ikan, dimulai dari fase telur hingga larva yang
hidup secara planktonik dan sifatnya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya
terutama pergerakan dan migrasinya. Penelitian tentang ikthioplankton pertama
kali dilakukan di dunia oleh G.O. Sars ditahun 1865 saat ia menemukan telur-telur
ikan Cod (Gadus morrhua) di perairan Norwegia (Westhaus-Ekau, 2004).
Selanjutnya di tahun 1878 dua orang Jerman C. Kupfer dan H.A. Meyer, berhasil
melakukan pembuahan terhadap telur ikan herring dan menetaskan larvanya dan
di tahun 1885, hatchery ikan laut komersial pertama di dunia pun berdiri. Di
Westhaus-Ekau (2004) menyebutkan berdasarkan sejarahnya maka ada
dua macam penelitian iktioplankton yaitu 1) non quantitative sampling in the sea
(identifikasi, distribusi) dan 2) quantitative surveys for estiamtion of abundance
(recruitment ecology). Lebih jauh lagi Westhaus-Ekau (2004) menambahkan, ada
empat tujuan utama dalam penelitian stadia awal, yaitu :
1. Pengetahuan umum tentang early life stages per se, morfogenesis,
fisiologi, tingkah laku, taksonomi, sistematika dan zoogeografi.
2. Peranan telur dan larva ikan dalam ekosistem akuatik, rantai makanan
dan jaring-jaring makanan.
3. Menetaskan telur dan larva untuk uji-uji toksikologi, fisiologi dan
genetik serta untuk mengidentifikasi spesies yang belum diketahui.
4. Pengetahuan mengenai populasi ikan dan eksploitasi optimumnya.
Awal daur hidup ikan, menurut Effendie (1978) dan Metarase et.all.
(1989), meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juvenil
(ikan muda). Ikan-ikan pada stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai
plankton yaitu sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau
meroplankton (Odum, 1993). Pemijahan sebagai salah satu bagian dari reproduksi
merupakan mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies.
Penambahan populasi ikan bergantung kepada berhasilnya pemijahan dan
bergantung kepada kondisi dimana telur dan larva ikan kelak berkembang
(Effendie, 1997). Keberadaan ikthioplankton sendiri sangat penting karena
mortalitas yang dialaminya sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses
rekruitmen ikan dewasa sekaligus sumberdaya perikanan. Lebih lanjut lagi
kemampuan gerak yang sangat terbatas dari ikthioplankton mengakibatkan
mudahnya kedua komponen (telur dan larva) ini dimangsa oleh predator-predator
yang ada di lingkungan perairan (Syahailatua, 2006).
Penelitian di bidang fish early life history, terutama tentang iktioplankton
atau larva ikan di Indonesia masih sangat jarang sehingga belum memberikan
sumbangan yang signifikan dalam manajemen perikanan yang saat ini berbasis
pengelolaan yang berkelanjutan (sustainable fisheries). Dengan melakukan survei
ikthioplankton dalam jangka waktu yang panjang maka kita akan dapat
intensitasnya (Westhaus-Ekau, 2004). Pengetahuan tentang lokasi pemijahan larva
ikan di laut mempunyai kaitan erat dengan berbagai segi aplikasi yaitu dapat
menduga atau meramalkan musim benih (spatfall), mengefisienkan pengumpulan
benih tersebut, mendukung kemajuan di bidang budidaya, mengetahui dimana
kumpulan larva ikan yang bernilai ekonomis ini berasal dan mencari makan, serta
konservasi lingkungan pantai (Romimohtarto dan Juwana 1998).
2.2.1 Morfologi Larva Ikan
Russel (1976) menyebutkan bahwa larva ikan merupakan bentuk atau
tingkatan ikan setelah menetasnya telur dan isitilah larva digunakan dengan
merujuk pada larva yang masih memiliki kantong telur atau yolk sac sedangkan
isitlah “post larva” adalah untuk ikan muda antara stadia larva dan juwana.
Mantiri (1995) mendeskripsikan ikthioplankton sebagai organisme ikan yang
masih berada pada stadia telur dan larva sedangkan Effendie (1978) menyebutkan
bahwa perkembangan larva secara garis besar dibagi menjadi dua tahap, yaitu
prolarva dan postlarva. Prolarva adalah stadia dimana larva masih mempunyai
kantung kuning telur (yolk sac) yang terletak di bagian depan bawah, tubuh masih
transparan dengan beberapa pigmen yang belum diketahui fungsinya. Sedangkan
postlarva adalah stadia dimana kantong kuning telur menghilang dan terbentuknya
organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ yang ada sehingga
secara morfologis sudah mempunyai bentuk yang sama dengan induknya. Sirip
dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian juga sirip ekor sudah ada garis
bentuknya. Berenangnya sudah lebih aktif dan kadang-kadang memperlihatkan
sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie 1997).
Selanjutnya apabila masa postlarva berakhir, ikan akan memasuki masa juvenile.
Untuk beberapa ikan dalam memasuki masa ini ada yang mengalami beberapa
perubahan bentuk tubuhnya atau bermetamorphose. Westhaus-Ekau Ekau (2004)
menyebutkan bahwa fase untuk perkembangan ikan adalah :
o Yolk-sac stage (fase pada saat larva baru menetas dimana kantong kuning telurnya masih ada).
o Larvastage (fase preflexion, flexion dan postflexion)
o Juvenil Stages (fase juvenil)
Gambar fase perkembangan hidup ikan dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1. Fase perkembangan ikan Trachurua symmetricus (Ahlstorm dan Ball, 1954 dalam SEAFDEC, 2007).
Pada perkembangan selanjutnya sirip ekor mulai berkembang yang
kemudian diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Dengan
mengerasnya vertebrae dan osteogenesis serta adanya perubahan pigmentasi pada
tubuh larva ikan maka fase post larva akan memasuki fase selanjutnya yaitu
juwana (juvenil). Pada fase ini seluruh organ dan pigmentasi yang ada akan
dikenali/diidentifikasi. Gambar 2 dan 3 dibawah adalah contoh larva ikan dalam
stadia preflexion dan postflexion. Stadia larva sangat penting untuk diketahui
karena dapat menentukan waktu dan lokasi pemijahan. Bila di suatu tempat
ditemukan larva ikan dengan stadia preflexion dalam jumlah banyak maka dapat
dipastikan maka lokasi pemijahannya tidak jauh.
Gambar 2. Larva ikan pada stadia preflexion (Leis and Carson-Ewart, 2000).
Gambar 3. Larva ikan pada stadia postflexion (Leis and Carson-Ewart, 2000).
2.2.2. Identifikasi Larva Ikan
Menurut Leis and Carson-Ewart (2000) ada empat metode untuk
mengidentifikasi larva ikan :
1. Menggunakan literatur dari para ahli yang telah melakukan pekerjaan
2. Series method, yaitu mengumpulkan sejumlah larva dari jenis tertentu dan
melakukan identifikasi dari stadia tertinggi berdasarkan kesamaan
morfologi dari ikan dewasa. Metode ini membutuhkan bahan dalam
jumlah yang banyak, terutama dari berbagai metode pengumpulan untuk
mendapatkan kisaran ukuran yang luas.
3. Biokimia, yaitu dengan menggunakan bahan-bahan kimia untuk
melakukan identifikasi molekuler dengan menggunakan DNA. Metode ini
tidak praktis untuk pekerjaan identifikasi secara rutin tetapi akurat
walaupun mahal.
4. Rearing, yaitu menetaskan telur di laboratorium dari ikan dewasa yang
telah teridentifikasi dimana sejumlah diantaranya diambil untuk diamati
pertumbuhan dan ciri-ciri morfologinya. Sayangnya larva yang ditetaskan
di laboratorium kadang tidak mirip dengan larva yang ditangkap dari alam
karena pengaruh kondisi laboratorium yang berbeda dengan alam.
Romimohtarto dan Juwana (1998) menambahkan, pada larva ikan ada
beberapa kelompok sifat taksonomik yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi jenis larva yaitu :
1. Berbagai struktur dan bentuk tubuh seperti mata, kepala, bentuk badan,
lambung dan sirip khususnya sirip dada.
2. Urutan munculnya sirip-sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur
tulang.
3. Pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanophora).
4. Tandan-tanda yang sangat khusus seperti lipatan sirip yang membengkak,
sirip yang memanjang dan berubah, jenggot (sungut) pada dagu, duri
(spine) pada preoperculum dan lain-lain.
Karakter dari melanophora merupakan ciri pembeda utama dalam
mengidentifikasi jenis dari larva. Kesamaan antar spesies dapat dilihat dari ada
atau tidaknya melanophora serta posisi dimana melanophora tersebut berada.
Menurut Russel (1976) posisi melanophora bisa terletak di bagian eksternal dari
epidermis atau dermis, bagian internal peritoneum, di atas atau di bawah kolom
2.3 Distribusi Larva Ikan
Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran
organisme didalamnya, tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan keperluan
yang berbeda-beda terhadap lingkungan tempatnya hidup. Menurut Nikolsky
(1963) ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu: 1.
Sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2. Ketersediaan sumber makanan yang cukup, 3.
Cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan.
Larva ikan biasanya memanfaatkan daerah yang terlindung sebagai habitat
pengasuhan. Secara umum distribusi ikthioplankton ditentukan oleh faktor-faktor
dari tingkah laku seperti faktor-faktor fisik seperti sirkulasi pasang surut (Laprise
and Dodson, 1989), suhu, salinitas dan turbiditas (Able, 1978), keberadaan
predator (Brodeur and Rugen, 1993) dan ketersediaan makanan. Selain itu juga
ada pergerakan berdasarkan waktu dan cahaya (Mantiri, 1995)
Ekosistem laguna merupakan tipe ekosistem yang dimanfaatkan oleh
banyak biota laut sebagai habitat pengasuhan bagi larva dan juvenile (Williams,
1983; Dufour and Galzin, 1997; Kaswadji, 1997; Renjaan, 2003). Ekosistem
laguna biasanya dibatasi oleh terumbu karang yang menyebabkan masa air yang
ada di dalam laguna tidak tercampur secara langsung dengan masa air di
sekitarnya, dan tidak terkspos secara langsung oleh faktor fisik perairan sekitarnya
seperti arus dan ombak (Choat and Bellwood, 1991). Kondisi seperti ini dapat
memberikan perlindungan bagi larva dan juvenile ikan yang masih lemah dan
memiliki pergerakan terbatas.
Beberapa Ikan karang dari family Pomacentridae (Williams, 1983; Wilson,
2003), Labriidae, Scaridae, dan Gobiidae (Dufour and Galzin, 1997) dan beberapa
larva moluska (Renjaan, 2003) ditemukan berlindung di perairan laguna.
Larva-larva ikan biasanya bergerombol memasuki laguna pada saat sore hingga malam
hari terutama pada waktu bulan gelap (Dufour and Galzin, 1997). Selain larva
yang berasal dari luar laguna, di dalam laguna juga dihasilkan larva-larva ikan,
yang berasal dari ikan karang yang memijah di dalam laguna.
Sulistiono et al., (2000) menyatakan bahwa sebagian besar ikan di
ekosistem terumbu karang adalah ikan-ikan yang bersifat diurnal (aktif pada siang
plankton yang lewat di atasnya. Ikan-ikan diurnal ini seperti Famili
Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Acanthuridae, Labridae,
Lutjanidae, Balistidae, Serranidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Blennidae, dan
Gobiidae. Sebagian kecil lainnya adalah ikan-ikan bersifat nocturnal (aktif pada
malam hari). Ikan ini pada siang hari menetap di gua-gua dan celah-celah karang.
Yang termasuk dalam kelompok ikan ini adalah Holocentridae, Apogonidae,
Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae dan termasuk juga Famili Serranidae dan
Labridae. Ada pula sebagian kecil jenis-jenis ikan yang sering melintasi ekosistem
terumbu karang seperti Famili Scombridae, Sphyraenidae dan Caesionidae.
Ikan-ikan karang mempunyai hubungan keterkaitan yang sangat kuat
dengan terumbu karang dan mempunyai pola pergerakan yang sangat terbatas,
contohnya adalah ikan dari famili Scaridae, Acanthuridae, Siganidae,
Chaetodontidae, Pomachantidae dan beberapa spesies dari family Labriidae dan
Pomacentridae (Choat and Bellwood, 1991). Dengan banyaknya jenis ikan yang
memanfaatkan laguna sebagai daerah asuhan, maka laguna harus memiliki
kemampuan untuk mendukung keberhasilan hidup larva-larva ikan tersebut
III. MATERI DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Nopember 2010. Sampling
dilakukan setiap bulan dengan ulangan dua kali setiap bulan. Lokasi sampling
meliputi daerah laguna dan tubir disekitar Pulau Pari dan pulau-pulau di
sekelilingnya (Pulau Burung, Pulau Tikus dan Pulau Kongsi). Ada 5 stasiun
pengambilan sampel (Gambar 4). Stasiun pengambilan sampel ditentukan
berdasarkan karakter fisik yaitu kedalaman dan input massa air. Setiap goba
mempunyai kedalaman dan luas yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut,
maka ditetapkan lima stasiun pengamatan, yaitu: Stasiun 1 di goba Soa besar/P.
Tikus (kedalaman maks 15 m), Stasiun 2 di goba Labangan pasir (kedalaman
maks 5 m)/P. Burung, Stasiun 3 di goba Ciaris/P. Kongsi (kedalaman maks 1 m)
stasiun 4 di goba Buntu/LIPI (kedalaman maks 0,5 m) dan Tubir .
16
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva net dengan ukuran
diameter 60 cm, panjang 3 m dan ukuran mata jaring 500 µm (Gambar 5).
Thermometer dengan skala Hg untuk pembacaan suhu, refraktometer untuk
pengukuran salinitas, Global Positioning System (GPS) untuk menetukan
lokasi/stasiun sampling, pH meter untuk mengukur tingkat keasaman air dan
stereo mikroskop Zeiss DV-40 dengan perbesaran maksimal 10x untuk
pengamatan larva ikan. Bahan penelitian yang dipakai adalah alkohol 70% untuk
pengawetan sampel larva ikan setelah disortir dan formalin 4% sebagai pengawet
pada saat sampling di lapangan.
Gambar 5. Larva net
3.2.1 Prosedur Kerja
Sampling larva ikan dilakukan dengan cara menarik larva net secara
horisontal dengan menggunakan perahu motor pada kedalaman lebih kurang 1
meter, selama 10 menit dengan kecepatan 2 knot. Sampel larva ikan yang
17
laboratorium untuk analisa lebih lanjut. Selain sampling larva ikan juga dilakukan
sampling kualitas air seperti suhu, salinitas, ph dan nutrien. Untuk analisa nutrien
(NO3, PO4
Di laboratorium sample dipisahkan dari zooplankton disimpan dalam
larutan alkohol 70%. Larva ikan diidentifikasi hingga tingkatan takson yang
terendah dengan mengacu pada buku Leis and Carson-Ewart (2000), Delshman
(1926; 1932), Petunjuk Identifikasi FAO (Smith and Richardson, 1977) dan
Sirisaksophon and Patterson (2006). Identifikasi dilakukan di Laboratorium
Biologi milik Balai Penelitian Perikanan Laut-KKP Jakarta dan Laboratorium
Plankton milik Balai Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan
Jatiluhur-KKP.
dan Si) dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan (Proling)
FPIK IPB.
3.3 Analisa Data
3.3.1 Kelimpahan Larva Ikan
Kelimpahan larva ikan yang didefinisikan sebagai banyaknya larva ikan
persatuan volume air dihitung dengan menggunakan rumus :
N = n/V
Dimana :
tsr
N = kelimpahan larva ikan (ind/m3
n = jumlah larva tercacah (ind) )
Vtsr = volume air tersaring (Vtsr = l x t x v)
l = luas bukaan mulut larva net
t = lama waktu penarikan (towing time) (menit)
18
3.3.2 Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman larva diperlukan untuk menggambarkan kehadiran
jumlah individu antar genus dalam suatu komunitas. Nilai ini dihitung dengan
menggunakan indeks Shannon-Wiener (Bengen, 2000). Formulasi Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener berdasarkan persamaan sebagai berikut :
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
N = jumlah total individu dalam komunitas (ni)
ni = jumlah individu spesies atau jenis ke-i
pi = proporsi individu spesies ke-i (ni/N)
i =1,2,3,...,s
s = jumlah genus/spesies
3.3.3 Indeks Keseragaman
Keseragaman adalah suatu gambaran tentang sebaran individu dari setiap
spesies dalam suatu komintas. Nilai indeks keseragaman (E) dihitung berdasarkan
persamaan berikut :
atau E
Keterangan :
E = indeks keseragaman
H’ = indeks keanekaragaman
s = jumlah genus/spesies
Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan
penyebaran jumlah individu dari setiap genus/spesies pada tingkat komunitas.
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Nilai E mendekati 1 apabila sebaran
individu antar jenis merata (seragam) sedangkan Nilai E mendekati 0 apabila
19
3.3.4 Indeks Dominasi
Indeks dominasi diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Odum, 1994) :
=
Keterangan :
D = indeks dominasi
ni = jumlah individu genus ke-i
N = jumlah total individu
pi = proporsi individu spesies ke-i
I = 1,2,3,...,s
s = jumlah genus
3.3.5 Analisis Komponen Utama/PCA (Principal Component Analysis)
Analisis ini digunakan untuk mendeterminasi sebaran parameter
bio-fisikakimia perairan (Bengen 2000). Analisis Komponen Utama adalah suatu
teknik ordinasi yang memproyeksikan dispersi matriks dari data multidimensi
dalam suatu ruang datar. Dengan cara mereduksi ruang maka diperoleh
sumbu-sumbu baru yang merepresentasikan secara optimal dari sebagian besar
variabilitas data matriks multidimensi sehingga dapat ditemukan hubungan antar
ciri dan hubungannya antar obyek. Analisis ini membagi matriks korelasi
parameter menjadi beberapa komponen, kemudian menyusun keragaman
komponen bersangkutan dari yang terbesar pada sumbu komponen utama hingga
didapatkan ditribusi spasial parameter biologi, fisika dan kimia pada suatu daerah
tertentu. Korelasi linear antar dua parameter yang dianalisis dari indeks sintetik
merupakan peragam dari kedua parameter yang telah dinormalisasikan.
Analisis Komponen Utama mencari indeks yang menunjukkan ragam
stasiun maksimum. Indeks ini disebut Komponen Utama Pertama yang
merupakan sumbu utama 1 (F1). Suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun
direpresentasikan oleh F1. Selanjutnya dicari Komponen Utama Kedua (F2) yang
20
terbesar sebagai pelengkap F2. Proses ini berlanjut terus hingga memperoleh
komponen utama ke-p, dimana begian informasi dapat dijelaskan semakin kecil.
Analisis Komponen Utama menggunakan indeks jarak Euclidean pada data. Jarak
Euclidean (Bengen 2000) hubungan didasarkan pada rumus:
(i,i’) = ∑ (Xij-Xi’j)
Keterangan : i.i’ = dua stasiun (pada baris) 2
j = parameter lingkungan
Semakin kecil jarak Euclidean antar 2 stasiun, maka karakteristik
bio-fisikakimia antar 2 stasiun tersebut semakin mirip, demikian pula sebaliknya.
Perhitungan PCA dilakukan dengan bantuan paket program statistik
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Lingkungan Perairan
Penelitian dilakukan di Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Gugusan ini tersusun atas pulau-pulau sangat kecil yang termasuk kategori pulau
karang timbul dan pulau dataran rendah (low islands) yang terletak pada posisi
5°50’– 5°52’ LS dan 106°34’ - 106°36’ BT. Pulau-pulau yang ada disana adalah Pulau Pari, Pulau Tengah, Pulau Kongsi, Pulau Burung dan Pulau Tikus. Semua
gugus pulau-pulau tersebut dikelilingi oleh terumbu karang yang membentuk
bagian-bagiab terumbu yang cukup lengkap, seperti rataan terumbu (reef flat),
goba (lagoon) dan terumbu yang mengelilingi goba (atol) sehingga menyerupai
pulau atol yang dikenal juga dengan atol semu atau pseudo atol ( Abrar, 2011).
Wilayah Pulau Pari sendiri termasuk salah satu dari 7 DPL (Daerah Perlindungan
Laut) yang dibentuk pada tahun 2005 dengan luas 12 ha (Amri dan Agus, 2011).
4.1.1 Suhu
Secara umum, kisaran suhu di semua stasiun penelitian berkisar antara
28,8 – 32,75 °C dengan rata-rata 30,21 °C. Suhu rata-rata tertinggi tercatat ada
bulan Agustus yaitu 30,65 °C sedangkan terendah ada di bulan Oktober (Gambar
6). Penelitian Kaswadji (1997) menunjukkan kisaran 29,8 – 32 °C pada periode
bulan Juni-November dimana suhu tertinggi ada di bulan September yaitu 32 °C.
Tingginya suhu di bulan Agustus dikarenakan bulan tersebut sudah memasuki
musim kemarau walaupun hujan masih sering turun. Selain itu suhu yang tinggi
juga disebabkan oleh sifat perairan laguna yang semi tertutup sehingga pergantian
massa air sangat jarang terjadi. Lalli & Parsons (1997) menyatakan bahwa suhu
air untuk laguna tropis dangkal bisa mencapai hingga 40 °C.
4.1.2 Salinitas
Salinitas sangat berpengaruh terhadap proses osmoregulasi biota laut
terutama ikan. Kisaran nilai salinitas di semua stasiun penelitian adalah 30 – 33 ‰
dengan nilai tertinggi ada pada bulan Juli dan terendah ada pada bulan Juni
(Gambar 7). Hal ini sedikit lebih rendah dengan hasil penelitian Kaswadji (1997)
22
Rendahnya salinitas pada bulan Oktober dikarenakan musim hujan sedang
berlangsung saat sampling dilakukan.
Gambar 6. Fluktuasi rata-rata suhu permukaan air di setiap stasiun penelitian
selama bulan Juni-November.
Gambar 7. Fluktuasi rata-rata salinitas di setiap stasiun penelitian selama bulan
Juni-November.
4.1.3 pH
Secara umum kisaran pH di semua stasiun penelitian berkisar 6,49 – 7,56
dengan nilai tertinggi ada di stasiun 1 pada bulan Juli sedangkan terendah ada di
stasiun 3 di bulan Agustus (Gambar 8). Hasil ini sedikit berbeda dengan Abrar
(2011) yang mendapatkan kisaran pH 7 – 8 serta Hartati dan Syam (2011) yang
mendapatkan 7,58 – 7,7. Rendahnya rata-rata nilai pH pada bulan
Agustus-September dikarenakan pada bulan-bulan tersebut banyak ditemukan sampahyang
28 29 30 31
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
°C
Bulan
28,5 29,5 30,5 31,5
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
‰
23
terbawa arus dari teluk Jakarta sehingga pada saat tersebut terjadi proses
dekomposisi sehingga menyebabkan turunnya nilai pH. Nilai pH di perairan
Indonesia sendiri bervariasi antar lokasi dengan nilai kisaran 6,0 – 8,5 dan
perubahannya dapat memberikan pengaruh yang buruk terhadap biota laut, baik
secara langsung maupun tidak langsung (Romimohtarto, 1991).
Gambar 8. Fluktuasi nilai rata-rata pH di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November.
4.1.4 Nutrien
Kisaran nilai nutrien yang terukur di semua stasiun cukup variatif. Nitrat
(NO3) mempunyai kisaran nilai 0,056 – 1,689 mg/m3 dimana nilai tertinggi ada di stasiun 5 di bulan September sedangkan terendah ada di stasiun 4 di bulan
Oktober (Gambar 9). Kisaran nilai Fosfat adalah 0,001 – 0,068 mg/m3 dengan nilai tertinggi ada di stasiun 2 di bulan September sedangkan terendah ada di
stasiun 3 di bulan Oktober-November (Gambar 10). Sedangkan kisaran nilai
Silikat adalah 0,034 – 1,986 mg/m3 dengan nilai terendah ada di stasiun 2 di bulan September sedangkan tertinggi juga di stasiun 2 pada bulan Juni-Juli (Gambar
11).
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
24
Gambar 9. Fluktuasi rata-rata nilai Nitrat (NO3) di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November.
Secara umum nilai kisaran nutrien terukur di perairan laguna Pulau Pari
tidak mempunyai pola tertentu karena selalu naik turun tidak beraturan. Hal ini
dapat terjadi karena di perairan tropis tidak ada mekanisme yang mengatur adanya
fluktuasi nutrient yang teratur tiap tahun (Kaswadji, 1997). Berbeda dengan di
perairan empat musim, dimana pada saat musim dingin nutrien akan terakumulasi
di perairan karena tidak dimanfaatkan oleh organisme (terutama fitoplankton)
dikarenakan organisme tersebut dalam keadaan kurang aktif disebabkan oleh
adanya musim dingin.
Gambar 10. Fluktuasi rata-rata nilai Fosfat (PO4) di semua stasiun penelitian selama bulan Juni-November.
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
m
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
m
g/
m
3
25
Gambar 11. Fluktuasi rata-rata nilai Silikat (Si (OH)) di setiap stasiun penelitian selama bulan Juni-November.
4.2 Komposisi Hasil Tangkapan Larva Ikan
Secara umum ditemukan sebanyak 22844 larva ikan yang terdiri atas 68
famili dan 106 genus (Lampiran 1). Kelimpahan famili terbanyak adalah
Aulostomidae (13.14%), diikuti oleh Blenniidae (9.98%), Pomacentridae (9.28%),
Engraulidae (6.46%) dan Pinguipedidae (5.02%) (Gambar 12). 63 famili lainnya
yang juga tertangkap tetapi dimunculkan dalam grafik dengan kategori lainnya.
Untuk genus Aulostomus (Aulostomidae) menjadi genus dominan, diikuti oleh
Stanulus (Blenniidae), Stolephorus (Engraulidae), Parapercis (Pinguipedidae),
Pomacentrus (Pomacentridae), Leptobramma (Leptobramidae) dan Chromis
(Pomacentridae) dengan nilai berturut-turut 13.14%, 5.95%, 5.68%, 5.02%,
4.58%, 4.01% dan 3.88% (Gambar 13).
0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
m
g/
m
3
26
Gambar 12. Komposisi Famili larva ikan yang ditemukan di semua stasiun selama
penelitian.
27
Gambar 14. Komposisi larva ikan berdasarkan habitat hidupnya.
Berdasarkan habitat hidupnya 57% dari famili larva ikan yang tertangkap
adalah termasuk kelompok ikan karang, sedangkan sisanya adalah pelagis (17%)
dan demersal (26%) (Gambar 14). Famili ikan ikan karang yang dominan
tertangkap adalah Aulostomidae dan Pomacentridae. Famili Aulostomidae hanya
dihuni oleh genus Aulostomus. Aulostomus atau dikenal juga dengan ikan
terompet (trumpet fish) merupakan ikan karnivor yang memangsa ikan-ikan kecil
dan udang. Ikan ini banyak ditemukan perairan terumbu yang dangkal dan jernih
dalam keadaan soliter (Leis and Carson-Ewart, 2000) dengan 80 cm adalah
ukuran terbesar yang pernah tertangkap
merupakan famili yang mempunyai sebaran ekologis yang luas. Ikan ini
ditemukan baik di ekosistem air tawar hingga laut, baik di tropis maupun
subtropis (Leis and Carson-Ewart, 2000). Stanulus merupakan genus anggota
Blenniidae yang menghuni bagian luar dari rataan terumbu (reef flats) yang
terekspos oleh gelombang
distribusi yang cukup luas dan mempunyai kelimpahan dan keanekaragaman yang
tinggi sehingga mempunyai nilai yang penting secara ekologis, terutama pada
ekosistem terumbu karang (Leis and Carson-Ewart, 2000). Larva ikan karang
lainnya yang tertangkap antara lain Labridae, Scaridae, Balistidae, Ephippidae,
Pelagis 17%
Demersal 26% Karang
28
Haemulidae, Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Monacanthidae dan
Pomacanthidae.
Famili ikan yang termasuk pelagis antara lain adalah Engraulidae,
Clupeidae, Chanide, Leptobramidae dan Scathopagidae sedangkan famili ikan
yang termasuk demersal adalah antara lain Acropomatidae, Ambassidae,
Bothidae, Cynoglossidae, Leiognathidae dan Opistognathidae. Engraulidae dan
Clupeidae merupakan famili larva ikan pelagis yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi. Beberapa jenis dari anggota kedua famili ini dimanfaatkan secara
komersial seperti Stolephorus (Engraulidae) serta Hilsa, Amblygaster dan
Sardinella (Clupeidae). Jenis-jenis demersal didominasi oleh ikan sebelah seperti
Cynoglossidae, Bothidae dan Opistognathidae. Selain itu juga ada Leiognathidae
yang merupakan jenis ekonomis penting yang menjadi salah satu hasil tangkapan
utama kapal cantrang.
4.3 Distribusi Spasial dan Temporal Larva
4.3.1 Distribusi Spasial Larva Ikan
Secara spasial kelimpahan larva tertinggi ada di stasiun 2 dengan nilai 7734
ind/m3, diikuti stasiun 4 dengan nilai 7159 ind/m3 sedangkan terendah ada di stasiun 5 dengan nilai kelimpahan 2583 ind/m3 (Gambar 15). Genus yang mendominasi di stasiun adalah Stanulus (1359 ind/m3) dari famili Blenniidae, diikuti oleh Parapercis (841 ind/m3) dari Pinguipedidae, Stolephorus (586 ind/m3) dari Engraulidae dan Aulostomus (492 ind/m3) dari Aulostomidae. Stasiun 2 merupakan stasiun dengan kondisi perairan yang tenang dan merupakan pulau
yang tidak berpenghuni sehingga kondisinya sangat mendukung untuk kehidupan
ikan. Hal ini dibuktikan oleh Hartati et al (2010) yang menemukan stasiun pulau
Burung merupakan stasiun dengan kelimpahan juvenil tertinggi dibandingkan
29
Gambar 15. Sebaran kelimpahan larva ikan yang tertangkap di semua stasiun selama penelitian.
Gambar 16. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 2 (P. Burung) selama penelitian.
Total kelimpahan larva ikan di stasiun 4 adalah 7159 ind/m3 dengan kelimpahan tertinggi adalah Aulostomus (1452 ind/m3), diikuti oleh Pomacentrus
(560 ind/m3) dari Pomacentridae, Leptobramma (484 ind/m3) dari Leptobramidae dan Chromis (331 ind/m3) juga dari Pomacentridae (Gambar 17). Stasiun 4 merupakan stasiun yang didominasi oleh keberadaan terumbu karang dan
terekspos oleh gelombang laut karena lokasinya yang merupakan pintu masuk
(kaloran) bagi air laut ke dalam laguna pulau Pari sehingga didominasi oleh
0
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5
30
keberadaan larva ikan pelagis seperti Leptobramma, Bregmaceros dan
Parapercis. Selain itu juga ditemukan larva ikan karang seperti Chromis,
Pomacentrus dan Lethrinidae.
Gambar 17. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 4 (Tubir) selama penelitian.
Pada stasiun 5 ditemukan larva ikan dengan kelimpahan 2583 ind/m3. Dari jumlah ini A. chinensis adalah jenis yang paling banyak dengan kelimpahan 629
ind/m3, diikuti oleh Chromis (242 ind/m3), Upeneus (227 ind/m3) dari Mullidae dan Gerres (135 ind/m3) dari Gerreidae. Selain itu juga ditemukan Terapon
(Terapontidae) dan Decapterus (Carangidae) dengan nilai kelimpahan 127 ind/m3
dan 122 ind/m3 (Gambar 18). Stasiun 5 merupakan stasiun yang banyak didominasi oleh substrat pasir bercampur lumpur dan banyak ditemukan rubble
dari dead coral dari terumbu karang yang mati dikarenakan terekspos pada saat
31
Gambar 18. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 5 (LIPI) selama penelitian.
Gambar 19. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 1 (P. Tikus) selama penelitian.
Kelimpahan larva ikan di stasiun 1 didominasi oleh larva ikan pelagis
seperti Stolephorus (405 ind/m3), Caranx (217 ind/m3), Leptobramma (178 ind/m3) dan Tenualosa (178 ind/m3) (Gambar 19). Selain itu juga ditemukan larva ikan demersal seperti Exallias (168 ind/m3) dan ikan karang seperti Pomacentrus
(155 ind/m3), Gerres (110 ind/m3), Scarus (102 ind/m3) dan Aulostomus (92 ind/m3). Stasiun 1 yang terletak di Pulau Tikus merupakan stasiun tempat dimana Goba Soa Besar berada. Goba ini mempunyai kedalaman 15 m (Kaswadji, 1997)
32
dan dekat dengan ekosistem terumbu karang (Abrar, 2011). Stasiun ini
mempunyai persentase tutupan lamun sedang dengan nilai 47% dan didominasi
oleh lamun dari jenis Thalassia hemprichi, Enhalus acoroides dan Cymodocea
rotundata (Hartati et al, 2010). Lebih jauh lagi Hartati et al (2010) menemukan bahwa Pulau Tikus merupakan stasiun dengan nilai indeks keanekaragaman
tertinggi untuk juvenil ikan sehingga menjadi tempat asuhan (nursery ground)
bagi juvenil ikan. Dominasi larva ikan pelagis dikarenakan hanya menjadikan
lokasi ini sebagai tempat pemijahan saja sedangkan untuk tempat asuhan
didominasi oleh famili ikan-ikan demersal dan karang seperti Apogonidae,
Gobiidae, Scaridae, Labridae, Soleidae dan Moncanthidae (Hartati et al, 2010).
Gambar 20. Kelimpahan genus larva ikan yang tertangkap di stasiun 3 (P. Kongsi) selama penelitian.
Stasiun 3 di Pulau Kongsi didominasi oleh larva ikan karang Aulostomus
(336 ind/m3), dan pelagis seperti Fistularia (255 ind/m3), Solenostomus (204 ind/m3), Anadontosoma (102 ind/m3), Leptobramma (127 ind/m3), Bregmaceros
(102 ind/m3) dan Stolephorus (102 ind/m3) (Gambar 20). Stasiun 3 sendiri merupakan stasiun yang terletak ditengah-tengah laguna Pulau Pari, tepatnya di
goba Ciaris yang kedalamannya berkisar 1 m (Kaswadji, 1997). Stasiun ini
didominasi substrat pasir berlumpur dan mempunyai tutupan lamun yang cukup
33
4.3.2 Distribusi Temporal Larva Ikan
Kelimpahan larva ikan bervariasi di setiap stasiun penelitian disetiap
bulannya. Di stasiun 1, nilai kelimpahan berkisar antara 153 – 955 ind/m3 dengan rata-rata 78 ind/m3 (Gambar 21). Kelimpahan tertinggi ada di bulan Juli sedangkan terendah ada di bulan Agustus dan September. Di stasiun 2 kelimpahan
berkisar 191 – 2369 ind/m3 dengan tertinggi ada di bulan Juni terendah ada di
bulan Agustus sedangkan di stasiun 3 kelimpahan tertinggi ada dibulan Juli dan
terendah ada di bulan November dengan kisaran 51 – 1325 ind/m3. Di stasiun 4 nilai kelimpahan berkisar 408 – 3210 ind/m3 dengan kelimpahan tertinggi ada pada Juli dan terendah di bulan Agustus. Kisaran kelimpahan di stasiun 5 adalah
102 – 662 ind/m3 dengan kelimpahan tertinggi ada di bulan Juni dan terendah ada di bulan November. Dari keseluruhan stasiun terlihat pada stasiun 1,3 dan 4
kelimpahan tertinggi larva ikan ada pada bulan Juli sedangkan pada stasiun 2 dan
5 kelimpahan tertinggi ada pada bulan Juni. Bulan Juni-Juli yang merupakan
musim timur merupakan musim dimana ikan melakukan pemijahan.
Gambar 21. Sebaran kelimpahan larva ikan secara temporal di semua stasiun penelitian.
Pada bulan Juni kelimpahan larva ikan di stasiun 1 didominasi oleh
Leptobramma (153 ind/m3), pada bulan Juli Tenualosa (153 ind/m3), Stolephorus
pada bulan Oktober dan November sedangkan pada bulan Agustus dan September
hanya ada sedikit (153 ind/m3) (gambar 22). Leptobramma ditemukan di setiap
34
stasiun dan selalu muncul pada bulan Juli (stasiun 1,2,4 dan 5) serta di stasiun 1
pada bulan Oktober.
Gambar 22. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 1 setiap bulan selama Juni-November 2010.
Komposisi kelimpahan larva ikan di stasiun 2 bervariasi setiap bulannya.
Kelimpahan bulan Juni didominasi oleh Parapercis dan Stolephorus sedangkan
pada bulan Agustus Stanulus adalah yang paling dominan. Stanulus dari famili
Blenniidae ternyata hanya ditemukan di stasiun 2 saja dalam kelimpahan yang
cukup besar sehingga mendominasi kelimpahan secara keseluruhan (1359 ind/m3) (gambar 23). Stolephorus selalu ada di bulan Juni-Juli pada stasiun 1 dan 3,
Juli-November di stasiun 4 serta Oktober-Juli-November di stasiun 3 (Gambar 24). Jenis
ini tidak tertangkap pada bulan apapun di stasiun 5. Di stasiun 3 kelimpahan
tertinggi adalah di bulan Juli lalu diikuti bulan Juni. Kelimpahan bulan Juli
didominasi oleh Fistularia dan Solenostomus sedangkan pada bulan Juni
didominasi oleh Stolephorus dari famili Engraulidae. Kisaran kelimpahan di
stasiun 3 adalah 51 - 1325 ind/m3.
0 500 1000 1500
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
K
Abudefduf Ambassis Amblyopinae Gobiidae sp
Ammodytiodes Anacanthus Anaora
Aulostomus chinensis Bleekeria Callionymidae sp
Caranx Chromis Decapterus
Ephinephelus Exallias Gerres
Iso Istiblennius Labridae sp
35
Gambar 23. Sebaran kelimpahan larva ikan di stasiun 2 selama bulan Juni-November 2010.
Kisaran kelimpahan larva ikan di stasiun 4 selama bulan Juni-November berkisar
antara 408-3210 ind/m3 dengan kelimpahan tertinggi ada di bulan Juli dan
terendah ada di bulan Agustus. Kelimpahan bulan Juli didominasi oleh
Leptobramma (408 ind/m3) sedangkan bulan Juni oleh Aulostomus (1197 ind/m3) (Gambar 25).
Gambar 24. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 3 setiap bulan selama Juni-November 2010.
0 1000 2000 3000
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
K
Abudefduf Antennariidae sp Aulostomus chinensis
Bembrops Calumia Caragobius
Leiognathus Leptobramma muelleri Lutjanus
Microcanthus Omobranchus Opistognathus
0 500 1000 1500
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
K
Abalistes Amblyopinae Gobiidae sp Ammodytiodes Anadontosoma Anthinae Serranidae sp Argyrops Aulostomus chinensis Bleekeria Brachypleura Branchyamblypus Bregmaceros Carangidae sp
Chanos chanos Cheilio Decapterus Epinephelus
Fistularia Gerres Kyphosus Lagocephalus
36
Gambar 25. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 4 setiap bulan selama Juni-November 2010.
Stasiun 5 merupakan stasiun dengan kelimpahan terendah dari semua
stasiun yang ada. Kisaran kelimpahan di stasiun ini selama bulan Juni-November
berkisar 102 - 662 ind/m3 dengan kelimpahan tertinggi ada di bulan Juni dan terendah ada di bulan November (Gambar 26). Kelimpahan di bulan Juni
didominasi oleh Aulostomus (459 ind/m3), dan jenis ini selalu muncul dari bulan Juni - Oktober dengan nilai kelimpahan beruturut-turut 459 , 76 , 61, 8 dan 25
ind/m3. Selain Pomacentrus, genera dari famili Pomacentridae lainnya yang tertangkap di stasiu 5 adalah Chromis dan Abudefduf dimana Chromis tertangkap
di bulan Juni-Agustus dan Oktober sedangkan Abudefduf hanya ada di bulan Juli.
0 2000 4000
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
K
Abudefduf Amblyopinae Gobiidae sp Anaora Antennariidae sp Argyrops Aulostomus chinensis Bregmaceros Calumia Caragobius Centropygae Chanos chanos Chirocentrus
Chromis Crossorhombus Cynoglossus Diagramma
Doederleina Enneaptygius Gerres Gramnatocynus
Herklosichthys Hypseoleotris Iso Istiblennius
Kyphosus Labridae sp Leiognathus Leptobramma muelleri
37
Gambar 26. Komposisi kelimpahan jenis larva ikan di stasiun 5 setiap bulan selama Juni-November 2010.
4.3.3 Distribusi Spasial dan Temporal Larva Berdasarkan Stadia
Secara umum, mayoritas larva yang tertangkap di semua stasiun penelitian
ada pada stadia preflexion sedangkan berdasarkan waktu larva stadia ini banyak
ditemukan pada bulan Juni-Juli dan Oktober (Gambar 27A). Demikian halnya
dengan larva ikan pada stadia postflexion yang juga banyak ditemukan pada bulan
Juni, Juli dan Agustus (Gambar 27B). Aulostomus sebagai genus dominan hanya
ditemukan pada fase postflexion yang merupakan stadia akhir sebelum fase
juvenil. Aulostomus ditemukan di stasiun 5 hanya pada bulan September dan tidak
ditemukan pada bulan November di stasiun manapun.
A B
Gambar 27. Distribusi larva ikan berdasarkan perkembangan stadianya, preflexion (A) dan postflexion (B) selama Juni-November 2010.
0 500 1000
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
K
Abudefduf Atule Aulostomus chinensis Bleekeria
Cheilinus Cheilodactylus Chromis Crossorhombus
Decapterus Dinematichthys Dussumeria Echiodon
Eleotris Exallias Gerres Gobinae sp
Herklosichthys Hypseoleotris Iso Kuhlia
Kyphosus Leptobramma muelleri Omobranchus Petroscirtes Plagiotremus Pomacentrus Pseudochromis Scarus
Schindleria Scombridae sp Siganus Tenualosa
0 20 40 60
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
N
bulan
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5
0 20 40 60
Jun Jul Aug Sep Oct Nov
bulan
38
Dari 40 famili ikan karang yang tertangkap 60% diantaranya ditemukan
pada fase preflexion, sisanya ada fase flexion (32.5%) dan postflexion (7.5%)
(Gambar 28). Larva ikan karang pada fase preflexion ditemukan pada semua
stasiun dengan kelimpahan tertinggi ada pada stasiun 4 dan paling sedikit ada
pada stasiun 3 (Gambar 29) dan didominasi oleh famili Pomacentridae (Gambar
29). Pomacentridae sendiri juga ditemukan pada fase ini di semua stasiun dengan
jumlah terbanyak ada pada stasiun 4 (Gambar 29).
Gambar 28. Komposisi stadia famili larva ikan karang yang ditemukan di semua lokasi penelitian.
Gambar 29. Sebaran spasial kelimpahan famili larva ikan karang pada stadia preflexion yang ditemukan di semua stasiun penelitian.
60,0%