KOMPOSISI, KELIMPAHAN DAN DISTRIBUSI LARVA IKAN
PADA ESTUARIA PELAWANGAN TIMUR
SEGARA ANAKAN,CILACAP
ASTRI SURYANDARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan pada Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
ABSTRACT
ASTRI SURYANDARI. Composition, Abundance and Distribution of Fish
Larvae in Pelawangan Timur Esturine, Segara Anakan Cilacap. Under direction of M.MUKHLIS KAMAL and YUNIZAR ERNAWATI
The sustainability of fish resources depends on survival rate of the larval phase. Larval phase are susceptible to environmental disturbances such as changes in water quality. The aims of this study are assess the composition, abundance and distribution of fish larvae in Pelawangan Timur estuarine. The methodolgy of this research is analytical description and fish larval samples were collected by larval net on June-August 2011. The results showed that total larval fish caught is 5186 consist of 21 families and 32 genera. Gobiidae is dominant of total catch (66.62%), followed by Engraulidae (10.72%), Clupeidae (9.99%) and
Blennidae (7.60%). Dominant genera are Tridentiger (1836 ind/100m3),
Rhinogobius (392 ind/100m3), Sardinella (316 ind/100m3), Omobranchus
(301ind/100m3), Stolephorus (266 ind/100 m3), Engraulis (159 ind/100m3) and
Herklotsichthys (79 ind/100 m3). Spatial abundance of fish larvae was highest at
station III (Cigintung) and IV (Sapuregel). Tridentiger larval are found in all station
with a high abundance compared to other genera, Stolephorus and Engraulis
were abundant at station II (Donan), Sardinella and Herklotsichthys were
abundant at station I (Muara Donan), Omobranchus (Blenniidae) larval were
caught in all stations with lower abundace than Tridentiger. Tridentiger and
Rhinogobius are residents in estuarine ecosystem and spawned during the
observation. Clupeidae (Sardinella and Herklotsichthys) and Engraulidae
(Stolephorus and Engraulis) migrated into the estuary waters at specific times
associated with the spawning and nursery time. Tridentiger, Stolephorus and
Engraulis larvae can survive in turbid condition. Sardinella and Herklotsichthys
larvae were correlated to salinity and phytoplankton abundance.
RINGKASAN
ASTRI SURYANDARI. Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan di Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan Cilacap
Keberhasilan hidup pada fase larva menentukan keberhasilan rekrutmen dan ukuran stok sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. Estuaria Pelawangan Timur, Segara Anakan merupakan ekosistem estuaria dengan hutan mangrove dan mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dari Samudra Hindia serta masukan air tawar dari beberapa sungai di sekitarnya. Secara
ekologis, estuaria memiliki fungsi sebagai derah asuhan (nursery ground) bagi
larva berbagai jenis ikan laut. Sebagian dari siklus hidup ikan laut tergantung pada ekosistem estuaria. Namun demikian, ekosistem estuaria seperti Pelawangan Timur mengalami banyak tekanan akibat aktvitas antropogenik yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan serta sumberdaya perikanan yang ada di estuaria tersebut. Perubahan kondisi kualitas perairan estuaria Pelawangan Timur selama kurun waktu yang panjang berpengaruh pada komunitas larva ikan. Kajian mengenai komunitas larva ikan diharapkan dapat memberi gambaran tentang kondisi lingkungan estuaria saat ini sebagai habitat asuhan bagi larva ikan yang menjamin keberlanjutan stok ikan di perairan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi, kelimpahan dan distribusi larva ikan serta kaitannya dengan karakteristik habitat di estuaria Pelawangan Timur.
Penelitian berlangsung pada bulan Juni hingga Agustus 2011 di estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Penelitian dibagi kedalam 6 stasiun, penentuan stasiun didasarkan pada masing-masing wilayah estuaria yakni daerah aliran sungai, muara, serta daerah pedalaman (hulu) sungai di antara ekosistem mangrove. Pengambilan sampel larva ikan dilakukan
dengan menggunakan jaring larva (Bonggo net) dengan diameter mulut jaring 60
cm dan mesh size 700µm, setiap 2 minggu sekali selama bulan Juni hingga Agustus. Selain pengambilan sampel larva ikan, dilakukan pula pengukuran parameter kualias air yang dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel larva ikan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah komunitas larva ikan yang meliputi komposisi dan kelimpahan jenis larva ikan, distribusi larva ikan baik secara temporal dan spasial. Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu air, kecerahan, kekeruhan (turbiditas), salinitas, pH, oksigen terlarut, N-Nitrat, orthoposfat, plankton dan kecepatan arus.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kelimpahan (larva ikan), Analisis Nodul (distribusi larva ikan dan kaitannya dengan lingkungan),
Analisis Komponen Utama (kondisi lingkungan perairan), korelasi
Spearman-rank (hubungan antara parameter kualitas air dengan kepadatan larva ikan). Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang terdiri dari 21 famili dan 32 genus. Larva ikan famili Gobiidae merupakan yang terbanyak dari seluruh total tangkapan (66,62%), diikuti oleh famili Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Genus yang dominan
terdiri dari Tridentiger, Rhinogobius, Sardinella, Omobranchus, Stolephorus,
Engraulis dan Herklotsichthys dengan masing-masing kelimpahan berturut-turut
adalah 1836 ind/100m3
, 392 ind/100m3,, 316 ind/100m3, 301ind/100m3, 266
ind/100 m3, 159 ind/100m3 dan 79 ind/100m3.
Kelimpahan larva ikan secara umum paling tinggi pada bulan Juni kemudian menurun pada bulan Juli dan Agustus. Jenis larva yang
kelimpahannya tinggi adalah Tridentiger (Gobiidae). Larva Tridentiger dan
Rhinogobius selalu tertangkap setiap bulan selama penelitian berlangsung. Larva
ikan Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthys) tertangkap hanya pada bulan Juli
sedangkan larva ikan Engrulidae tertangkan dengan kelimpahan tinggi pada bulan Agustus.
Secara spasial kelimpahan larva ikan tertinggi adalah di stasiun III (Cigintung) dan IV Sapuregel. Larva ikan yang kelimpahannya tinggi pada kedua
lokasi tersebut adalah larva Tridentiger dan Rhinogobius. Larva ikan Sardinella
(Clupeidae) ditemukan melimpah pada bulan Juli di stasiun I, walaupun larva tersebut ditemukan pula di stasiun II, IV dan Vi namun dalam kelimpahan yang
rendah dibandingkan di stasiun I, sedangkan larva ikan Herklotsichthys
(Clupeidae) hanya ditemukan melimpah di stasiun I. Larva Omobranchus
(Blennidae) tertangkap di semua stasiun dengan kelimpahan yang lebih rendah
didandingkan Tridentiger.
Secara morfologi, larva ikan yang tertangkap terdiri dari beberapa fase
yakni preflexion, flexion dan postflexion. Dilihat dari bentuk morfologinya,
larva-larva tersebut masih dalam tahap perkembangan.
Nilai rata-rata kualitas air di semua stasiun di estuaria Pelawangan Timur selama penelitian cukup berfluktuasi. Kondisi parameter kualitas air masih dalam batas yang masih diperbolehkan untuk kehidupan biota air, kecuali untuk nilai kekeruhan yang cukup tinggi di beberapa waktu pengamatan. Berdasarkan analisis komponen utama terlihat bahwa stasiun I (Muara Donan) dicirikan oleh salinitas, pH, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang tinggi, arus yang besar serta kedalaman perairan yang dalam. Stasiun II dicirikan dengan oksigen terlarut dan kekeruhan yang tinggi, stasiun III dicirikan oleh suhu air yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Stasiun IV dicirikan oleh kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya sedangkan stasiun V dicirikan oleh
kandungan N-NO3 dan stasiun VI (Kembang Kuning) ditandai dengan kandungan
ortofosfat yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya.
Hasil analisis nodul menunjukkan bahwa larva ikan dari famili Gobiidae
seperti Tridentiger, Rhinogobius, memiliki sebaran yang luas di perairan estuaria
Pelawangan Timur sedangkan Sardinella dan Herklotsichthys cenderung berada
pada bagian estuari yang berhubungan dekat dengan laut. Stolephorusn dan
Engraulis tersebar di perairan estuari namun memiliki kecenderungan berada
pada bagian estuari yang dekat dengan mulut estuari. Larva Omobranchus
tersebar di semua lokasi namun memiliki kecenderungan berada di stasiun I.
Larva ikan famili Gobiidae seperti Tridentiger dan Rhinogobius memiliki
penyebaran yang luas di semua wilayah perairan Pelawangan Timur dan ditemukan sepanjang waktu penelitian dengan berbagai tahap morfologi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kedua jenis ikan tersebut merupakan ikan estuari Pelawangan Timur yang memijah sepanjang waktu penelitian berlangsung. Hasil analisis korelasi terhadap parameter lingkungan menunjukkan bahwa parameter kekeruhan berkorelasi posistif dengan
kelimpahan larva Tridentiger. Hal tersebut menunjukkan bahwa larva ikan
Tridentiger dapat hidup pada kondisi perairan yang keruh.
Larva ikan famili Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthys)) cenderung
berada pada daerah estuaria bagian luar yang berhubungan dengan laut. Parameter lingkungan yang berperan terhadap keberadaan larva Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthy) adalah salinitas dan fitoplankton. Larva
Stolephorus tersebar di semua lokasi penelitian namun kelimpahan teritinggi
korelasi menunjukkan bahwa parameter lingkungan yang berkorelasi positif dengan kelimpahan larva adalah suhu, kekeruhan dan arus, sedangkan
parameter lingkungan yang berkorelasi positif dengan Engraulis adalah
kekeruhan. Korelasi positif antara kekeruhan dan kelimpahan larva Stolephorus
dan Engraulis menunjukkan bahwa kedua jenis larva tersebut masih dapat bertahan hidup pada perairan yang keruh.
Larva ikan famili Gobiidae seperti Tridentiger dan Rhinogobius memiliki
sebaran yang luas di estuaria Pelawangan Timur dan memijah sepanjang waktu
penelitian. Larva ikan famili Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthys) dan
Engraulidae (Stolephorus dan Engraulis) cenderung berada pada bagian estuaria
yang dekat dengan laut. Jenis tersebut merupakan ikan yang bermigrasi ke perairan estuaria pada waktu tertentu terkait dengan masa pemijahan dan pengasuhan larva sedangkan famili Gobiidae merupakan penghuni tetap
perairan estuaria (sedentary) dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan
di ekosistem tersebut. Parameter lingkungan yang berkorelasi positif terhadap
keberadaan larva Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthy) adalah salinitas dan
fitoplankton. Kekeruhan perairan tidak menjadi penghalang bagi keberadaan
larva Gobiidae (Tridentiger) dan larva Engraulidae (Stolephorus dan Engraulis) di
estuaria tersebut.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KOMPOSISI, KELIMPAHAN DAN DISTRIBUSI LARVA IKAN
PADA ESTUARIA PELAWANGAN TIMUR
SEGARA ANAKAN,CILACAP
ASTRI SURYANDARI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis
: Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan Pada
Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap
Nama
: Astri Suryandari
NIM
: C251090101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, MSc
Anggota
Dr.Ir.Yunizar Ernawati,MS
Diketahui,
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Dekan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWTatas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul: Komposisi, Kelimpahan dan
Distribusi Larva Ikan pada Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan Cilacap, berhasil diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyelesaian tesis ini, mulai dari tahap pelaksanaan penelitian, pengolahan data hingga penulisan hasil tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan arahan berbagai pihak
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M.Mukhlis Kamal,MSc dan Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku pembimbing, Bapak Dr. Ir. Didik Wahju Hendro Tjahjo selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran serta Bapak Dr. Ir. Enan M.Adiwilaga selaku ketua Program Studi yang berkenan memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai Riset Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan beserta rekan-rekan atas dukungan dan bantuan selama melaksanakan studi dan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, suami serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP), staf administrasi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan rekan-rekan SDP 2009 serta semua pihak yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis merasa bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna sehingga masih dibutuhkan penelitian serupa yang lebih lengkap dan sempurna. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberi kontribusi bagi pengembangan bidang ichtyoplankton di Indonesia.
Bogor, Agustus 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 9 Juli 1979 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Djoko Sasono dan Surtiningsih. Pada tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negri 12 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran dan lulus pada tahun 2002.
Penulis bekerja di Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (BP2KSI) sejak tahun 2003 di Jatiluhur. Pada tahun 2006 penulis menikah dengan Nanang Widarmanto,S.Pi dan telah dikaruniai 1 orang putri yaitu Fadhillah Ahadiana Khairiani
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………. xv
DAFTAR GAMBAR………. xvi
DAFTAR LAMPIRAN……….. xviii
1. PENDAHULUAN………. 1
1.1 Latar Belakang………. 1
1.2 Perumusan Masalah……… 2
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 4
2. TINJAUAN PUSTAKA……… 5
2.1 Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan………... 5
2.2 Biologi Larva………. 6
2.3 Faktor-faktor Lingkugan yang Berperan dalam Kehidupan Larva Ikan... 9
2.4 Pengetahuan Larva Ikan dalam Bidang Perikanan……… 10
2.5 Ekosistem Estuaria dan Asosiasinya dengan Komunitas Ikan…………. 12
3. METODE PENELITIAN………. 14
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian……….. 14
3.2 Alat dan Bahan………. 16
3.3 Metode Kerja……… 16
3.3.1 Prosedur Kerja di Lokasi Penelitian ……….. 16
Pengambilan dan Penanganan Sampel Larva Ikan di Lokasi…… 16
Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan………... 17
Pengumpulan Data Hasil Tangkapan………. 18
3.3.2 Prosedur Kerja di Laboratorium……….. 18
3.4 Analisis Data………. 20
3.4.1 Komunitas Larva Ikan……… 20
Kelimpahan Larva Ikan………. 20
Indeks Keanekaragaman……….. 21
Indeks Keseragaman………. 21
Indeks Dominasi………. 22
3.4.2 Karakteristik Habitat Larva Ikan Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia Perairan……… 22
3.4.3 Distribusi dan Preferensi Habitat Larva Ikan………. 24
3.4.4 Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Larva Ikan………. 25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN……… 26
4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan……….. 26
4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Pelawangan Timur……… 32
4.2.1 Kondisi Parameter BioFisika Kimia Perairan Pelawangan Timur… 32 4.2.2 Kondisi Parameter Biofisika Kimia Perairan Pelawangan Timur secara Spasial dan Temporal……… 36
4.2.3 Karakteristik Kondisi Lingkungan di Stasiun Penelitian………. 39
4.3 Distribusi Larva Ikan……….. 42
4.5 Komposisi Jenis Ikan di Estuaria Pelawangan Timur……….. 54
4.6 Implikasi Penelitian Larva Ikan di Estuaria Pelawagan Timur bagi Pengelolaan Perikanan………. 55
5. SIMPULAN DAN SARAN……….. 58
5.1 Simpulan……… 58
5.2 Saran……… 58
DAFTAR PUSTAKA……… 60
LAMPIRAN……… 67
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Lokasi stasiun pengambilan contoh ... 15
2. Parameter serta alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian.. ... 16
3. Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan ... 26
4. Nilai rataan parameter bio-fisika kimia perairan pelawangan timur... 33
5. Korelasi antar variabel lingkungan hasil analisis komponen utama ... 39
6. Diagonalisasi Komponen Utama ... 40
7. Kelompok Larva Ikan Hasil Analisis Cluster ... 48
8. Kelompok ikan berdasarkan siklus hidupnya di ekosistem estuaria ... 54
9. Jenis dan komposisi ikan hasil tangkapan nelayan di Pelawangan Timur, Segara Anakan……… 55
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram alur perumusan masalah ... 4
2. Tahap perkembangan morfologi larva ikan ... 8
3. Peta lokasi ... 14
4. Pengambilan dan penanganan sampel larva ikan ... 17
5. Mikroskop yang digunakan untuk menyortir dan identifikasi; sampel larva yang disimpan dalam botol dengan pengawet alkohol………. ……… 19
6. Hipotesis teknik identifikasi secara morfologi larva ikan ... 20
7. Komposisi famili larva ikan secara temporal ... 29
8. Komposisis famili larva ikan secara spasial ... 29
9. Komposisi morfologi larva ikan secara temporal ... 20
10. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi di lokasi penelitian ... 32
11. Nilai kecerahan selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur………...…. 36
12. Kecepatan arus selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur……… ... 37
13. Nilai pH selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di pelawangan timur ... 37
14. Nilai kekeruhan (turbiditas) selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur………... 38
15. Kadar oksigen terlarut selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur ... 38
16. Salinitas selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur ... 39
17. Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) ... 41
18. Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu
faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3), ... 41
19. Distribusi larva ikan dominan di lokasi penelitian ... 43
20. Komposisi morfologi larva ikan secara spasial ... 44
21. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juni... 45
22. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli ... 46
23. Kelimpahan larva ikan pada bulan Agustus………... 46
24. Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter biofisika kimia perairan 47 25. Pengelompokan larva ikan dengan analisis cluster………. 48
26. Analisis nodul berdasarkan indeks constancy... ... 49
27. Analisis nodul berdasarkan indeks fidelity... 49
28. Peta kawasan lindung dan lokasi penelitian di Pelawangan Timur………. 56
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kelimpahan Larva Ikan (ind/ 100 m3) di Stasiun I, II, III………. 67
2. Kelimpahan Larva Ikan (ind/100 m3) di stasiu IV, V, VI... 68
3. Kualitas Air Bulan Juni di Lokasi Penelitian ... 69
4. Kualitas Air Bulan Juli di Lokasi Penelitian ... 70
5. Kualitas Air Bulan Agustus di Lokasi Penelitian ... 71
6. Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Juni ... 72
7. Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Juli ... 73
8. Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Agustus ... 74
9. Korelasi Spearman Larva Tridentiger dan Rhinogobius dengan parameter kualitas air………. 75
10. Korelasi Spearman Engraulis dan Stolephorus dengan parameter kualitas air ... 76
11. Korelasi Spearman Sardinella dan Herklotsichthys dengan parameter kualitas air……….. 77
12. Korelasi spearman Omobranchus dengan parameter kualitas air ... 78
13. Foto Beberapa Larva Ikan ... 79
14. Lokasi Penelitian ... 80
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberhasilan hidup pada fase larva menentukan keberhasilan rekrutmen
dan ukuran stok sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. Fase larva
merupakan bagian dalam siklus hidup ikan yang rentan terhadap gangguan
lingkungan seperti perubahan kualitas perairan. Dengan demikian kajian
mengenai larva ikan beserta habitat dan dinamikanya menjadi salah satu unsur
yang diperlukan bagi pengelolaan perikanan diantaranya dalam penentuan
kawasan fisheries refugia ikan, pemantauan kelimpahan populasi ikan,
pengembangan budidaya ikan, serta pemantauan kualitas lingkungan perairan
(Mitchell, 1994; Quist et al.,2004; UNEP, 2007)
Sebagian besar kelangsungan hidup ikan laut pada fase larva tidak dapat
dipisahkan dengan ekosistem estuaria. Estuaria merupakan wilyah pesisir semi
tertutup yang memiliki hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima
masukan air tawar dari daratan. Ekosistem estuaria dengan produktivitas yang
tinggi merupakan salah satu habitat yang memiliki daya dukung untuk
berkembangbiaknya berbagai jenis biota akuatik termasuk ikan. Ekosistem
estuaria seringkali berasosiasi dengan hutan mangrove yang secara ekologi
berperan sebagai habitat asuhan (nursery ground), habitat pemijahan (spawning
ground) dan habitat mencari makan (feeding ground) bagi biota akuatik seperti
ikan, udang dan gastropoda (Beck et al., 2001; Elliot and Hemingway, 2002; Tse
et al., 2008).
Pelawangan Timur merupakan bagian timur dari ekosistem estuaria
Segara Anakan, Cilacap. Segara Anakan merupakan ekosistem yang unik
sebagai hasil interaksi antara ekosistem perairan laguna, hutan mangrove,
daratan (termasuk Pulau Nusa Kambangan) dan ekosistem laut. Estuaria
Pelawangan Timur dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan mendapat
pasokan air tawar yang berasal dari Sungai Sapuregel, Donan dan Sungai
Kembang Kuning. Selain itu, estuaria Pelawangan Timur juga memiliki vegetasi
2 Masukan air tawar dari beberapa aliran sungai di Pelawangan Timur
membawa sedimen serta nutrien berupa bahan-bahan organik dan anorganik
tersuspensi yang menyebabkan kondisi perairan menjadi keruh dan
mempercepat pendangkalan. Perubahan kualitas perairan karena sedimentasi
serta pencemaran dari hasil aktivitas antropogenik dan industri berpengaruh
terhadap perkembangan telur dan larva ikan sehingga mengganggu keberhasilan
rekrutmen dan keberlanjutan sumberdaya ikan (Griffin et al., 2009; Mc Kinley, et
al., 2011).
Penelitian mengenai larva ikan di Segara Anakan telah dilakukan oleh
Nursid (2002) dan Sugiharto (2005). Hasil penelitian Nursid (2002) menyebutkan
bahwa sebanyak 23 famili dan 38 genus larva ikan ditemukan di perairan laguna
Segara Anakan dengan komposisi terbesar adalah larva Gobiidae kemudian
Engraulidae dan Apogonidae. Menurut Nursid (2002) beberapa parameter
lingkungan yang secara nyata berperan dalam kehidupan larva ikan adalah
salinitas dan kekeruhan. Penelitian yang dilakukan Sugiharto (2005)
mendapatkan sebanyak 12 jenis dari 4 famili larva ikan dengan komposisi yang
terbesar adalah dari famili Gobiidae. Menurut Sugiharto (2005), kecepatan arus
memegang peranan dalam keberadaan dan sebaran larva ikan sedangkan faktor
fisik-kimia air lainnya seperti kekeruhan, salinitas, oksigen terlarut dan
temperatur belum merupakan faktor yang berpengaruh pada distribusi larva.
Perubahan kondisi perairan dan dinamika lingkungan memungkinkan
adanya perubahan terhadap kehidupan larva termasuk jenis, kelimpahan dan
sebarannya di estuaria, sehingga adanya penelitian berikutnya diharapkan dapat
memberikan informasi terkini mengenai sumberdaya larva ikan dan fungsi
ekologis ekosistem tersebut sebagai daerah asuhan.
1.2 Perumusan Masalah
Daerah estuaria merupakan habitat asuhan (nursery ground) bagi
berbagai jenis ikan laut (Velascho, 1996; Elliot and Hemingway, 2002; Bonecker
et al.,2007). Estuaria Pelawangan Timur, Segara Anakan merupakan ekosistem
estuaria yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dari Samudra Hindia
dan masukan air tawar dari beberapa sungai di sekitarnya serta memiliki
vegetasi mangrove. Sebagai ekosistem estuaria dengan komunitas mangrove,
Segara Anakan merupakan habitat asuhan bagi berbagai jenis ikan (Dudley,
3 Ekosistem estuaria secara alami selama kurun waktu tertentu dapat
mengalami perubahan kondisi kualitas perairan seperti meningkatnya kekeruhan
dan sedimentasi yang disebabkan masukan air tawar dari daratan yang
membawa sedimen serta bahan organik dan anorganik tersuspensi. Hal ini
terjadi pula di perairan Pelawangan Timur. Meningkatnya kekeruhan (turbiditas)
perairan dapat menghalangi penetrasi sinar matahari di perairan sehingga
mengganggu proses fotosintesis fitoplankton yang merupakan sumber makanan
bagi organisme akuatik termasuk larva ikan selain itu peningkatan turbiditas dan
sedimen tersuspensi dapat mengurangi oksigen terlarut dalam kolom air
sehingga mengganggu proses pernafasan bahkan meningkatkan mortalitas telur
dan larva ikan (Ward, 1992; Wilber and Clarke, 2001; North and Houde, 2001).
Proses sedimentasi yang terus menerus mengakibatkan pendangkalan dan
mempersempit ketersediaan habitat untuk bertelur, mengurangi aktivitas bertelur
dan meningkatkan mortalitas telur dan larva ikan (Ryan, 1991). Selain proses
alami, perubahan kualitas lingkungan estuaria semakin dipercepat oleh tekanan
limbah dari kegiatan industri dan pemukiman di sekitarnya. Kawasan
Pelawangan Timur terutama di sepanjang Donan sampai Kebon Sayur
merupakan kawasan industri, pemukiman dan pelabuhan yang menghasilkan
limbah ke perairan. Masukan bahan organik dan anorganik dari aktivitas
tersebut yang berinteraksi dengan karakter fisik estuaria seperti pasang surut,
masukan air tawar dari sungai dan angin semakin meningkatkan kekeruhan,
sedimentasi serta eutrofikasi sehingga mempengaruhi kualitas perairan estuaria
yang akhirnya mempengaruhi sintasan larva ikan. Keberhasilan larva ikan dalam
bertahan hidup hingga mencapai tahap daur hidup selanjutnya menentukan
proses rekrutmen yang menjamin keberlanjutan stok.
Perubahan kondisi kualitas perairan estuaria Pelawangan Timur selama
kurun waktu yang panjang tentunya berpengaruh pada komunitas larva ikan.
Dengan demikian, kajian mengenai komunitas larva ikan diharapkan dapat pula
memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan estuaria saat ini sebagai
habitat larva ikan yang menjamin keberlanjutan stok ikan di perairan tersebut.
4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi, kelimpahan dan
distribusi larva ikan di ekosistem estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan
dalam kaitannya dengan kondisi lingkungan di ekosistem tersebut. Manfaat
penelitian adalah untuk menginventarisir jenis sumberdaya ikan serta
mengetahui karakteristik habitat jenis ikan yang hidup di daerah tersebut sebagai
salah satu informasi dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Segara Anakan.
Gambar 1. Alur perumusan masalah
Ekosistem Estuaria Pelawangan Timur Proses Hidrodima nika: pasang surut,masu kan air Aktivitas Antropogenik: pelabuhan, industri,pemuki man
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan
Estuaria Pelawangan Timur merupakan bagian timur dari Kawasan
Segara Anakan, Cilacap. Segara Anakan merupakan satu-satunya ekosistem
estuari dengan hutan mangrove yang terletak di Kabupaten Cilacap di selatan
Jawa. Segara Anakan berhubungan dengan Samudra Hindia melalui dua buah
inlet yaitu Pelawangan Barat dan Pelawangan Timur. Bagian barat Segara
Anakan (Pelawangan Barat), terletak pada sudut barat daya laguna dimana lebar
dan panjang salurannya lebih pendek dibandingkan bagian timur (Pelawangan
Timur). Estuaria Pelawangan Timur merupakan cabang dari Sungai Kembang
Kuning yang bersatu dengan Sungai Sapuregel dan Donan dan akhirnya
bermuara di Teluk Penyu (Djuwito, 1985).
Perairan Pelawangan Timur memiliki kedalaman air antara 5-10m (White
et al.,1989). Inlet Pelawangan Timur dekat dengan pelabuhan Cilacap dan
merupakan saluran yang menghubungkan laguna ke Samudera Hindia
(Jennerjahn et al., 2007). Perairan Pelawangan Timur terdiri dari kawasan
lindung Sapuregel sampai wilayah Karang Bolong (ujung timur pulau
Nusakambangan). Luas perairan kawasan lindung Pelawangan Timur ±650 Ha.
Luas perairan Sapuregel ± 120 Ha dan perairan Kembang Kuning ± 40 Ha (Hadi,
1998 dalam Sugiharto, 2005). Sedangkan perairan Donan sejak tahun 1978
ditetapkan sebagai kawasan lalu lintas kapal-kapal tanker sehingga kegiatan
penangkapan ikan oleh nelayan di perairan tersebut tidak diijinkan lagi
(Sugiharto, 2005).
Hutan mangrove di Segara Anakan merupakan satu-satunya hutan
mangrove yang utama di Pulau Jawa. Luas hutan mangrove di Segara Anakan
sekitar 9.600 ha (Ardli, 2007). Sebanyak 26 jenis mangrove terdapat di Segara
Anakan (Pribadi, 2007). Kawasan Sapuregel, Pelawangan Timur memiliki hutan
mangrove dengan kerapatan yang cukup tebal dan terdiri dari beberapa spesies
mangrove yang biasanya merupakan formasi dari hutan yang cukup matang
dengan substrat yang stabil (Pribadi, 2007). Mangrove merupakan daerah
makanan (feeding ground) dan asuhan (nursery ground) bagi beberapa jenis
6 melakukan migrasi ke ekosistem mangrove dalam daur hidupnya (King, 2007;
Laegdsgaard & Johnson, 2001).
Perubahan kondisi lingkungan seperti perubahan kawasan sekitar
perairan menjadi area pertanian banyak ditemukan di bagian barat Segara
Anakan, namun demikian bagian timur juga mengalami masalah yang sama
walaupun dalam skala yang lebih kecil (Ardli, 2007).
Komunitas ikan di Segara Anakan cukup beragam. Sebanyak 45 jenis
ikan yang termasuk dalam 37 famili ditemukan di Segara Anakan (Ecology team,
1984;Djuwito, 1985). Dari 45 jenis tersebut 17 jenis merupakan jenis ikan yang
selalu melakukan migrasi (migratory species) ke Segara Anakan, 12 jenis
merupakan jenis yang menetap (residential species) di perairan tersebut
sedangkan 16 jenis lainnya merupakan jenis ikan yang sesekali memasuki
perairan tersebut (Ecology team, 1984). Sedangkan menurut Dudley (2000), dari
hasil tangkapan di Segara Anakan, diperoleh 60 jenis ikan dan ditemukan pula
juvenile dari Scianidae, Leioghnatidae, Anguillidae, Ariidae, Carangidae,
Clupeidae, Engraulidae, Haemulidae, Sparidae, Synodontidae, Teraponidae dan
Trichiuridae.
2.2 Biologi Larva Ikan
Dalam siklus hidupnya, ikan mengalami suatu fase yang disebut larva.
Larva ikan merupakan fase atau tingkatan ikan setelah telur menetas. Awal daur
hidup ikan meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan
juvenil (Effendie, 1997). Stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai
plankton yaitu sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara
atau meroplankton (Odum, 1993).
Larva ikan yang baru menetas ditandai dengan adanya yolk sac (kantong
kuning telur) yang terletak di bagian bawah depan dan sebuah sirip tak berjari
yang mengelilingi badan larva, mulai dari punggung, ekor sampai pada bagian
bwah sebatas belakang anus. Pada beberapa jenis ikan batas sirip keliling
terletak tepat di belakang kuning telur (Romimohtarto & Juwana, 2004).
Secara garis besar, perkembangan larva dibagi menjadi dua fase yaitu
prolarva dan post larva (Russel,1976 dalam Bensman,1990). Pro larva
merupakan fase dimana larva masih mempunyai kantung kuning telur, tubuhnya
7 (Gambar 2a). Sirip dada dan ekor sudah ada tetapi belum sempurna bentuknya
dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur ini tidak
mempunyai sirip perut yang nyata melainkan hanya bentuk tonjolan saja. Sistem
pernafasan dan peredaran darah pun belum sempurna sedangkan mulut dan
rahang belum berkembang serta ususnya masih berupa tabung yang lurus.
Makanannya didapat dari sisa kuning telur yang belum habis diserap.
Postlarva adalah fase larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur
sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan
organ-organ yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut
secara morfologi sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya. Sel-sel
pigmen berkembang menurut pola-pola yang menjadi karakter berbagai jenis
post larva ikan. Tanda-tanda pengenal lainnya adalah bentuk dan ukuran badan
serta bentuk ukuran sirip. Pada perkembangan larva lebih lanjut, sirip ekor
berkembang diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Vertebrata
dan tulang-tulang iga mengeras dan dengan perubahan –perubahan pigmentasi
badan maka post larva mencapai tingkat benih.
Pada fase post larva secara morfologi larva ikan mengalami beberapa
tahap perkembangan hingga dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu
preflexion, flexion dan postflexion. Preflexion adalah bentuk tahap
perkembangan larva dimana mulai terbentuk fleksi (lekukan) pada bagian
notochord (Gambar 2 B). Flexion adalah bentuk tahap perkembangan yang
ditandai dengan adanya fleksi pada notochord dan berakhir pada tulang hypural
membentuk posisi vertical (Gambar 2C) sedangkan postflexion adalah tahap
perkembangan larva yang ditandai dengan pembentukan sirip ekor (yang
merupakan elemen hypural vertical) hingga perkembangan bagian meristik
8 A. pro larva dengan kantung kuning
telur (yolk sac) B. fase preflexion
C. fase flexion D. fase postflexion
Gambar 2. Tahap perkembangan morfologi larva ikan (sumber : Kendall et
al.,1983)
Beberapa sifat taksonomik yang digunakan untuk mengenal larva ikan
meliputi:
a) Berbagai struktur atau bentuk bagian tubuh, seperti mata, kepala, badan,
lambung dan sirip (khususnya sirip dada)
b) Urutan munculnya sirip-sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur
tulang
c) Ukuran larva
d) Pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanofora)
e) Tanda-tanda yang sangat khas seperti lipatan sirip yang membengkak,
sirip yang memanjang dan terubah, jenggot pada dagu, duri pada pre
operculum dan sebagainya
Karakter melanophora merupan ciri diagnostik utama dalam mengidentifikasi
spesies pada stadia post larva. Perbedaan bentuk dan pola melanophora dan
distribusinya dapat dibagi dengan jelas. Kesamaan antar spesies dapat dilihat
dari ada atau tidaknya melanophora atau posisi dimana melanophora berada.
Lokasi melanophora biasanya terletak di bagian eksternal dari epidermis atau
dermis, bagian internal peritoneum, di atas atau di bawah kolom vertebral dan di
9
2.3 Faktor-Faktor Lingkungan yang Berperan dalam Kehidupan Larva Ikan
Keberadaan dan sebaran hewan laut termasuk plankton larva tidak terjadi
begitu saja, tetapi sebagai hasil dari kejadian-kejadian yang teratur yang berjalan
terus menerus berupa faktor-faktor lingkungan tunggal atau ganda yang menata
bentuk sebaran, kelulushidupan dan kepadatan hewan laut tersebut. Beberapa
yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva adalah kualitas perairan,
makanan, deteksi predator dan kemampuan menghindar (Esteves et al., 2000;
Garcia et al., 2001; Patrick, 2008). Faktor-faktor lingkungan laut yang diketahui
mempengaruhi kehidupan hewan laut termasuk pada fase larva adalah faktor
fisik, kimiawi dan biologi. Fakor fisik terdiri dari suhu, tingkat keasinan (salinitas),
tekanan, penyinaran atau cahaya, gelombang, arus dan pasang surut.
Pengaruh suhu pada plankton larva tidak seragam di seluruh perairan
dan terhadap masing-masing kelompok atau populasi. Suhu mempengaruhi
perilaku larva seperti kecepatan berenang, pertumbuhan dan durasi larva seperti
yang ditemukan pada larva ikan karang Amphiprion melanopus (Green & Fisher,
2004).
Perairan pesisir seringkali mengalami fluktuasi salinitas. Hewan akuatik
yang hidup di perairan ini sudah terbiasa dengan kondisi fluktuasi tersebut
namun bagi sebagian lainnya termasuk pada fase larva tidak dapat mentolerir
kondisi tersebut sehingga dengan demikian faktor salinitas akan mempengaruhi
kehidupannya. Penelitian yang dilakukan Barletta-Bergan et al. (2002),
menunjukkan bahwa fluktuasi salinitas mempengaruhi variasi jumlah spesies dan
struktur komunitas larva ikan di Estuaria Caete’.
Cahaya mempunyai pengaruh secara tidak langsung yakni sebagai
sumber energi untuk proses fotosintesis fitoplanktton yang menjadi tumpuan
hidup hewan laut karena menjdi sumber makanan. Selain itu faktor cahaya
mempengaruhi dalam pergerakan ruaya (vertical migration). Sebates (2004)
menemukan bahwa distribusi larva ikan secara vertikal pada siang hari berada
pada kolom air bagian atas sedangkan pada malam hari larva ikan lebih banyak
ditemukan di lapisan air yang lebih dalam.
Arus memainkan peranan penting pada larva ikan terutama pada pola
distribusi. Arus akan membawa larva ikan masuk atau pun keluar dari perairan
estuaria. Adakalanya arus membawa larva ikan yang masih rentan ke habitat
yang ekstrim sehingga apabila larva belum siap terhadap kondisi tersebut akan
10 Faktor kimiawi yang berperan bagi kehidupan biota laut termasuk larva
ikan adalah oksigen terlarut, karbondioksida, pH (derajat keasaman) dan
senyawa organik lainnya. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh organisme perairan
dalam metabolism tubuhnya. Oksigen terlarut dibutuhkan dalam proses respirasi
semua organisme termasuk larva ikan. Oksigen terlarut juga berpengaruh dalam
proses oksidasi senyawa kimia lainnya di perairan. Derajat keasaman (pH)
mempengaruhi proses kimiawi yang terjadi di perairan. Penurunan pH perairan
laut menyebabkan gangguan reoroduksi pada biota laut seperti kelompok
Echinodermata, ikan dan udang (Ros, et al.,2011).
Faktor biologi yang berperan dalam kehidupan larva ikan diantaranya
adalah makanan, predator dan kompetitor (Romimohtarto & Juwana, 1998;
Esteves et al., 2000). Makanan bagi larva ikan adalah fitoplankton. Fitoplankton
merupakan produsen dalam jaring-jaring makanan di ekosistem perairan,
sehingga kelimpahan fitoplankton di perairan menjadi pendukung bagi
keberlanjutan sumberdaya larva. Larva ikan sangat rentan terhadap gangguan
predator. Predator larva dapat berupa ikan yang lebih besar dan bersifat
karnivora dan ubur-ubur. Laju kelulushidupan larva di perairan sangat
dipengaruhi oleh keberadaan predator. Kompetitor larva ikan dapat berupa
sesama jenis larva ikan, larva biota lainnya atau pun ikan yang lebih besar.
Persaingan selalu terjadi antar organisme dalam suatu ekosistem demikian pula
dengan larva ikan. Persaingan dapat terjadi dalam memperebutkan sumberdaya
makanan yaitu fitoplankton ataupun persaingan ruang (habitat) yang ditempati.
Fitoplankton bukan hanya sumber makanan bagi larva ikan saja, namun juga
bagi organisme perairan lainnya termasuk larva udang, kepiting, Moluska serta
ikan-ikan herbivora dan omnivora yang telah dewasa.
2.4 Pengetahuan Larva Ikan dalam Bidang Perikanan
Pengetahuan mengenai awal daur hidup ikan (larva ikan) mempunyai
kaitan erat dengan berbagai aplikasi dalam bidang perikanan seperti budidaya,
estimasi jumlah stok ikan, monitoring kondisi kualitas perairan serta penetapan
kawasan konservasi dan refugia ikan. Upaya untuk mempelajari larva dan telur
ikan sudah dikenal sejak beberapa tahun lampau bahkan di Indonesia lebih dari
100 tahun yang lalu di daerah pesisir Pulau Jawa diketahui adanya usaha
pertambakan bandeng. Pada masa itu banyak orang yang mengumpulkan nener
11 sampai ukuran yang dapat dipanen. Para pengumpul dengan mudah mengenal
nener bandeng yang tak lain adalah fase larva dari ikan bandeng.
Mempelajari variasi kelimpahan dan distribusi larva ikan pada suatu
habitat merupakan hal penting untuk memahami mekanisme dalam proses
rekrutmen serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (Mitchell, 1994; Quist, et
al., 2004; Shoji & Tanaka, 2008). Informasi mengenai distribusi, kelimpahan dan
pertumbuhan larva ikan di perairan laut merupakan hal penting yang diperlukan
dalam pengelolaan perikanan (Van der Lingen & Hugget, 2003). Pengetahuan
mengenai pertumbuhan dan mortalitas larva ikan di suatu habitat perairan
diperlukan untuk dapat mengetahui laju serta tingkat keberhasilan rekrutmen
yang menjamin keberlanjutan stok (Smith, 1981). Selain itu, dalam menjaga
kelestarian sumberdaya ikan di suatu habitat seringkali dilakukan upaya
perlindungan habitat seperti menetapkan daerah perlindungan laut (Marine
Protected Area) dan kawasan Perikanan Refugia (Fisheries Refugia). Salah satu
faktor penting dalam penetapan kawasan tersebut adalah informasi mengenai
daerah asuhan yang diindikasikan dengan keberadaan larva dan telur ikan di
daerah tersebut (Ward, et al., 2001; UNEP, 2007).
Pengetahuan mengenai transpor larva dari satu habitat seperti mangrove
ke habitat lain seperti terumbu karang menjelaskan keterkaitan antara ekosistem
tersebut dan peranannya sebagai habitat asuhan yang potensial bagi ikan
sehingga perlu dipertahankan kondisinya (Huijbers,et al., 2008). Kondisi
kelimpahan dan komposisi larva ikan di suatu habitat juga dapat menjadi
indikator kualitas suatu habitat (Mc Kinley et al., 2011). Selain itu, pengetahuan
mengenai larva ikan terutama ikan ekonomis penting juga penting dalam
pengembangan kegiatan budidaya (The Research Council of Norway, 2009).
Dengan demikian mempelajari fase larva ikan menjadi bagian yang cukup
penting dalam pengelolaan perikanan.
2.5 Ekosistem Estuaria dan Asosiasinya dengan Komunitas Ikan
Menurut Blaber (2000), estuaria merupakan perairan semi tertutup yang
memiliki hubungan dengan laut dimana perairan tersebut mendapatkan
pengaruh dari air laut dan air tawar dari daratan. Wilayah estuaria dapat berupa
muara sungai dan delta-deltabesar, hutan mangrove dekat estuaria, teluk dan
12 Ekosistem estuaria seringkali berasosiasi dengan mangrove sehingga
sering disebut dengan ekosistem mangrove. Mangrove didefinisikan sebagai
vegetasi dengan tipe batang keras yang berada di lingkungan laut dan payau
(Giesen et al., 2006). Ekosistem mangrove memiliki fungsi penting bagi
kehidupan berbagai jenis ikan termasuk ikan ekonomis penting yakni sebagai
habitat pemijahan dan asuhan (Ikejima et al,2003; Giesen et al., 2006).
Penelitian yang dilakukan Sasekumar et al. (1992) menemukan sebanyak 119
spesies ikan di daerah mangrove di Selangor, Malaysia yang mayoritas adalah
fase juvenile. Sedangkan Tse,et al., (2008) mendapatkan bahwa komunitas ikan
memiliki ketergantungan terhadap ekosistem mangrove dalam penyediaan
sumber makanan bagi fase larva dan juvenilnya.
McHugh (1984) dalam Dando (1984) dan Kennish (1990)
mengelompokkan ikan-ikan estuaria menjadi 6 kelompok yang menggunakan
estuaria sebagai tempat pemijahan, migrasi dan tempat hidupnya yaitu:
1. Passage Migrants, yaitu spesies anadromus dan katadromus misalnya
Salmoidae, Petromyzonidae dan Anguilla spp.
2. Spesies ikan tawar yang sering secara musiman masuk ke daerah yang
bersalinitas rendah untuk mencari makan. Ikan-ikan ini merupakan ikan
dari daerah air tawar yang masuk ke dalam estuaria karena banjir,
contohnya adalah Carrasius carrasius, Leuciscus leuciscus, Thymallus
thymallus. Beberapa diantara spesies tersebut misalnya Leuciscus
leuciscus membentuk populasi yang permanen di daerah pasang surut air
tawar di sepanjang estuaria.
3. Spesies ikan air laut yang masuk ke mulut estuaria sebagai opportunist
feeders. Ikan-ikan ini sering masuk dan meninggalkan daerah pasang
surut, misalnya ikan dari Estuaria Tamar di S.W. England yakni Squatina
squatina, Conger conger dan Scomber scombrus.
4. Ikan estuaria yakni ikan-ikan yang menghabiskan sebagian besar atau
seluruh hidupnya di daerah euryhalin. Ikan estuaria yang sesungguhnya,
menghabiskan seluruh siklus hidupnya di daerah estuaria, contohnya
adalah ikan-ikan gobid seperti Pomatoschistus microps, Fundulus
confluentus, dan Hypsoblennius henzti. Ikan-ikan estuaria lain
meninggalkan estuaria dalam periode yang singkat, biasanya untuk
melakukan pemijahan misalnya ikan Platichthys flesus, Brevoortia
13 5. Ikan laut yang menggunakan estuaria sebagai daerah asuhan (nursery
ground). Ikan-ikan ini merupakan kelompok dominan di daerah estuaria
Atlantik, diantaranya Clupea harengus, C.sprattus, Pogonia cromis,
Dicentranchus labrax, Solea solea Idan Paralichthys dentatus.
6. Ikan air tawar dan air laut yang masuk ke daerah estuaria dalam bentuk
dewasa untuk melakukan pemijahan, contohnya Galaxia spp dan
Pseudopleuronectes americanus.
Ekosistem estuaria merupakan jalan masuk dan keluar bagi ikan-ikan
diadromus (anadromus dan katadromus). Ikan anadromus menggunakan
estuaria sebagai jalan masuk dari laut menuju sungai atau danau, sebaliknya
ikan katadromus menggunakan estuaria sebagai jalan keluar dari sungai atau
danau untuk bermigrasi ke laut.
Ikan memiliki pola migrasi secara musim (temporal) dan ruang (spasial).
Di daerah estuaria pola migrasi ini terlihat jelas. Ikan yang bermigrasi dari air laut
ke air tawar untuk bertelur (spesies anadromus) misalnya dari famili Serranidae,
Petromyzontidae, Clupeidae, Osemeridae, Salmolidae dan Acipenseridae,
sedangkan ikan yang melakukan migrasi dari air tawar ke air laut untuk bertelur
(spesies katadromus) seperti Anguilla sp (Kennish,1990). Ikan melakukan
migrasi dalam rangka bertelur, mencari makan, kawin dan mencari perlindungan.
Menurut Dando (1984), banyak spesies ikan laut yang masuk atau naik ke
perairan tawar untuk bertelur tetapi pada masa larva dan postlarvanya
14
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di estuaria Pelawangan Timur, Segara anakan,
Cilacap (Gambar 3). Penelitian berlangsung pada bulan Juni–Agustus 2011.
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval waktu 2 (dua)
minggu sekali. Penentuan stasiun pengambilan sampel didasarkan pada
masing-masing wilayah estuaria yakni daerah aliran sungai, muara, serta
daerah pedalaman (hulu) sungai di antara ekosistem mangrove. Adapun
karakteristik masing-masing stasiun tertera pada Tabel 1.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian (ket: I:Muara Donan, II:Donan, III: Cigintung, IV: Sapuregel, V: Pisangan, VI: Kembang Kuning)
I
II
III
IV
V
[image:31.595.109.530.165.766.2]15 Tabel 1. Lokasi stasiun pengambilan contoh
Stasiun Lokasi Posisi
Geografis Karakteristik
I. Muara Donan 07o 45 ’143” S 109o 00’ 612”E
- Terletak di mulut kanal Timur
- Pengaruh pasang surut air laut dominan
- merupakan alur kapal besar
- dijumpai beberapa alat tangkap apong
II. Donan 07o42’ 653”S - 108o 59’ 553”E
- aliran sungai Donan
- sekitarnya merupakan daerah industri
- merupakan alur kapal besar
- dekat pemukiman penduduk
- dasar perairan: berlumpur (warna hitam)
- pasang surut melalui kanal Timur III. Cigintung 07o40’ 099” S
108o59’ 707’’E
- Daerah pedalaman
- Merupakan aliran sungai diantara ekosistem mangrove dengan jenis Rhizopora, Avicennia
- Minim aktivitas penangkapan IV. Sapuregel 07o 43 ’ 114’’ S
108o 58 282”E
- merupakan muara Sungai Sapuregel
- merupakan daerah penangkapan dengan alat tangkap apong
V. Pisangan 07°41’ 262”S
108°57’ 370”E - merupakan daerah pedalaman yang berupa aliran sungai dengan ekosistem mangrove di sekitarnya - tidak terdapat alat tangkap apong
VI. Kembang
Kuning
07°43’ 207”S 108°56’ 708”E
- Aliran sungai Kembang Kuning - daerah penangkapan ikan dengan
alat tangkap apong.
16
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang dibutuhkan meliputi alat dan bahan yang digunakan
untuk pengambilan sampel larva dan pengukuran parameter lingkungan
perairan. Alat dan bahan serta parameter yang dipergunakan selama penelitian
[image:33.595.108.546.205.457.2]disajikan pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Parameter serta alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
No. Parameter Unit Alat dan Bahan
1. Larva Ind/m3 Jaring larva (diameter mulut jaring:60 cm,mesh size 700µm), formalin 5%, Alkohol 70%, botol larva 2. Plankton sel/l Plankton net, lugol
3. Salinitas % refraktometer
4 Tingkat keasaman (pH) Water Quality Checker Horiba
5 Oksigen terlarut (DO) mg/l Botol Winkler, H2SO4, MnCl, NaOh,KI
6 Kekeruhan NTU Turbidimeter 7 Kecerahan cm Keping secchi
8 Suhu air ºC Water Quality Checker Horiba
9 Arus m/s Current meter
10 Kedalaman perairan m Depth meter
11 Nitrat mg/l Spectrofotometer,Brucine
12 Orthofosfat mg/l Spectrofotometer, Amonium molibdat
3.3 Metode Kerja
3.3.1 Prosedur Kerja di Lokasi Penelitian
Pengambilan dan Penanganan Sampel Larva Ikan di Lokasi
Pengambilan sampel larva dilakukan pada pagi hingga siang hari
dengan menggunakan jaring larva (larva net) dengan ukuran mesh size 729 µm
dan diameter 60 cm (Gambar 4 A). Jaring larva dipasang atau diikat pada
bagian belakang perahu motor dengan jarak 10 meter dan kedalaman ± 0,5
meter (Gambar 4 B dan 4 C). Kemudian jaring larva ditarik secara horizontal
dengan kecepatan perahu 1,5 knot selama 10 menit. Setelah itu perahu
berhenti, kemudian jaring ditarik dan diangkat untuk diambil sampel larvanya.
Sampel larva disimpan dalam botol sampel dan diawetkan dengan larutan
formalin 4 % (Sanchez-Velasco et al., 1996; Romimohtarto & Juwana, 2004)
17
A. Jaring larva B.Pengoperasian jaring larva
C.Penarikan jaring larva setelah selesai dioperasikan
[image:34.595.151.468.95.359.2]D. Sampel larva di lapangan yang diawetkan dengan formalin
Gambar 4. Pengambilan dan penanganan sampel larva ikan
Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan
Pengukuran beberapa parameter kualitas lingkungan perairan dilakukan
secara langsung di lokasi (in situ). Sampel air diambil dengan menggunakan
Kemmerer water sampler, kemudian sebagian dimasukan ke dalam botol sampel
dan botol winkler untuk pengukuran oksigen terlarut. Pengukuran suhu air dan
tingkat keasaman (pH) dilakukan dengan bantuan alat Water Quality Checker
Horiba secara langsung di lokasi. Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan
metode Winkler yang dilakukan langsung di lokasi. Salinitas diukur dengan
menggunakan refraktometer dan kekeruhan (turbiditas) dengan turbidimeter
secara langsung di lokasi. Kecerahan diukur dengan cara memasukan keping
sechi (Sechi disk) ke dalam perairan sedangkan kecepatan arus air diukur
dengan menggunakan current meter.
Pengukuran nitrat dan ortofosfat dilakukan di laboratorium dengan alat
spectrophotometer. Sampel air untuk pengukuran parameter tersebut diambil di
lokasi bersamaan dengan sampel untuk pengukuran parameter kualitas air
18 ortofosfat disimpan dalam botol sampel dan dimasukkan ke coolbox yang telah
diberi batu es untuk menjaga kondisi suhu air tetap rendah agar terhindar dari
kerusakan sebelum dianalisis lebih lanjut.
Pengumpulan Data Hasil Tangkapan
Data hasil tangkapan nelayan merupakan data pendukung yang diperoleh
melalui wawancara dengan nelayan setempat. Data tersebut dikumpulkan untuk
mengetahui jenis ikan yang tertangkap, jenis dan alat tangkap serta musim dan
daerah penangkapan.
3.3.2 Prosedur Kerja di Laboratorium Penyortiran dan Identifikasi Larva ikan
Pengamatan sampel larva dilakukan di laboratorium Biologi Ikan Balai
Riset Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Jatiluhur. Larva ikan yang
didapat dari lokasi penelitian kemudian disortir terlebih dahulu untuk
memisahkan antara larva ikan, larva udang, telur ataupun material lain seperti
serasah yang ikut masuk sewaktu dilakukan pengambilan sampel di lapangan.
Penyortiran dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Sampel larva dari lapangan disaring dengan menggunakan kain jaring
plankton
2. Spesimen hasil penyaringan tersebut kemudian dicuci dengan air tawar
dan disimpan pada pada wadah (gelas kimia) dengan air tawar atau
akuades.
3. Sedikit demi sedikit dari specimen tersebut dituang pada cawan petri untuk
dipisahkan/disortir untuk mendapatkan telur dan larva ikan menggunakan
mikroskop Merk Olympus SZ 61 perbesaran 10-40 kali (Gambar 5 A)
4. Larva ikan dan telur hasil sortir tersebut sekaligus dihitung jumlahnya dan
dipindahkan secara hati-hati dengan menggunakan pinset ke dalam botol
19
A. B
Gambar 5. A. mikroskop yang digunakan untuk menyortir dan identifikasi; B. sampel larva yang disimpan dalam botol dengan pengawet alkohol
Setelah penyortiran selesai dilakukan pada seluruh sampel yang diperoleh
dari lapangan, selanjutnya dilakukan proses identifikasi sampai ke takson yang
paling memungkinkan. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop
Binokuler Merk Olympus SZ 61 perbesaran 10-40 kali dan mikroskop binokuler
Merk Olympus SX 31 yang dilengkapi dengan kamera dan mikrometer okuler
untuk mengukur proporsi panjang tubuh larva. Larva ikan yang tertangkap
diidentifikasi sampai ke takson yang paling memungkinkan. Identifikasi
menggunakan Okiyama (1988) dan Leis & Carson-Ewart (2000). Identifikasi
dilakukan dengan melihat karakter morfologi pada larva seperti tertera pada
Gambar 6.
Beberapa karakter yang digunakan dalam mengidentifikasi larva menurut
Leis and Carson-Ewart (2000) adalah sebagai berikut:
1) Bentuk tubuh
2) Myomer
3) Usus/saluran pencernaan
4) Gelembung udara/gelembung renang
5) Duri pada kepala
6) Pembentukan sirip
7) Ukuran tubuh
8) Pigmen
20 Gambar 6 Hipotesis teknik identifikasi secara morfologi larva ikan (Leis &
Carson-Ewart, 2000).
3.4 Analisis Data 3.4.1 Komunitas Larva
Kelimpahan Larva Ikan
Kelimpahan larva ikan yang didefenisikan sebagai banyaknya larva ikan
persatuan luas daerah pengambilan contoh dihitung dengan menggunakan
rumus :
Keterangan:
N : kelimpahan larva ikan (ind/m3) n : jumlah larva ikan yang tercacah (ind) Vtsr : Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v) l : luas bukaan mulut saringan
t : lama waktu penarikan saringan (menit)
Nothocord tip Nostril
Head Tail
Cleithral Symphysis
Trunk Serrate spine
Soft ray Soft ray base
Post anal myomers
Spine base Smooth spine
Soft ray
Cleithrum Gut Anus
Pre analmyomers
Head Trunk
Brain
External pigment
Myoseptaa Myomeres
Pectoral base
Gas Blader
Notochord tip
Post anal myomeres Dorsal fin
Striated gut
anus Pelvic bud
Tail
[image:37.595.110.526.111.536.2]21 v kecepatan tarikan (m/menit)
Indeks Keanekaragaman
Keanekaragaman larva ikan diperlukan untuk menjelaskan kehadiran
jumlah individu antar genus dalam suatu komunitas. Keanekaragaman larva ikan
dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (Krebs, 1989) Formulasi
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener berdasarkan persamaan sebagai
berikut :
Keterangan:
H’ : indeks keanekaragaman Shanon-Wiener pi : proporsi individu spesies ke-i
s : Jumlah genus
Nilai indeks keanekaragaman merujuk pada nilai indeks keanekaragaman Wilhm
and Doris (1968) dalam Mason (1981) adalah
H’<1 : keragaman larva ikan rendah H’=1-3: keragaman larva ikan sedang
H’>3 : Keragaman larva ikan tinggi
Indeks Keseragaman
Keseragaman adalah suatu gambaran tentang sebaran individu setiap
spesies dalam komunitas. Indeks keseragaman (E) larva ikan dihitung
berdasarkan persamaan berikut :
.
,
! ! ,
maks H
H
E atau
s
H
E
ln
,
Keterangan :
E = indeks keseragaman H, = indeks keanekaragaman
22 Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui berapa besar
kesamaan penyebaran jumlah individu setiap genus pada tingkat komunitas.
Indeks Keseragaman berdasarkan Odum (1971) adalah :
Indeks Keseragaman berkisar antara 0-1. Apabila nilai E mendekati 1
sebaran individu antar jenis merata (seragam). Nilai E mendekati 0 apabila
sebaran individu antar jenis tidak merata atau ada sekelompok jenis tertentu
yang dominan
Indeks Dominasi
Indeks Dominasi diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Odum 1971) :
2
1 1
2 n
i i S
i i
N n p
D
Keterangan :
D : Indeks dominasi
ni : jumlah individu genus ke-i N : jumlah total individu
pi : proporsi individu spesies ke-i (ni/N) s : Jumlah genus
Kriteria nilai sebagai berikut :
D mendekati 0 tidak ada jenis yang mendominasi, dan D mendekati 1
terdapat jenis yang mendominasi jenis yang lain.
3.4.2 Karakteristik Habitat Larva Ikan Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia Perairan
Analisis Komponen Utama digunakan untuk mendeterminasi sebaran
parameter biofisika kimia perairan. Analisis Komponen Utama (Principal
Component Analysis) digunakan untuk memudahkan menginterpretasi data dari
suatu matriks data yang berukuran cukup besar (Bengen,2000). Tujuan utama
penggunaan analisis komponenn utama dalam suatu matriks data berukuran
cukup besar diantaranya adalah (1).mengekstraksi informasi esensial yang
terdapat dalam suatu tabel/matriks data yang besar, (2)menghasilkan suatu
representasi grafik yang memudahkan interpretasi, (3) mempelajari suatu
tabel/matriks data dari sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan
23 Langkah-langkah yang diperlukan dalam analisis komponen utama adalah
sebagai berikut:
a) Satu individu dapat dijelaskan dengan baik oleh nilai-nilai yang diperleh
dari p variabel. Hal yang sama, satu variabel didefinisikan oleh n nilai
yang berkaitan dengan distribusi individunya. Dengan demikian satu
individu dapat didefinisikan oleh satu titik dari satu geometrik berdimensi
p, sedangkan satu variabel dipresentasikan oleh satu titik dari satu ruang
berdimensi n. Semua individu (atau variabel) akhirnya membentuk suatu
kumpulan titik-titik. Analisis Komponen Utama memungkinkan adanya
suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang-ruang ini agar dapt lebih
mudah dibaca dengan kehilangan informasi sesedikit mungkin (Bengen,
2000).
b) Sumbu-sumbu faktorial yang diperoleh merepresentasikan kombinasi
linear dari variabel-variabel asal. Faktor/sumbu utama menjelaskan
dengan lebih baik variabilitas data asal/inisial. Faktor kedua menjelaskan
dengan lebih baik variabilitas residu yang tidak tergambarkan pada faktor
utama dan selanjutnya.
c) Untuk menemukan kembali informasi yang lengkap, maka perlu
diperhatikan semua sumbu yang jumlahnya sama dengan variabel
(kecuali terdapat suatu korelasi sempurna antar variabel). Manfaat dari
Analisis Komponen Utama adalah dapat mengasosiasikan pada sumbu
faktorial yang berbeda, suatu peran deskriptif dalam batasan kualitatif dan
kuantitatif.
Secara umum informasi yang diberikan dari hasil Analisis Komponen Utama
adalah
Matriks korelasi antar semua variabel
Akar ciri dari setiap sumbu faktorial:berkaitan dengan jumlah inersi dari
setiap sumbu.
Vektor ciri yang menjelaskan koefisien variabel (pemusatan dan
pereduksian) dalam persamaan liniearyang mendeterminasikan
sumbu-sumbu utama.
Korelasi antara variabel dan sumbu yang dapat menginterpretasikan sumbu
utama;
Grafik bidang yang memvisualisasikan variabel terhadap sumbu. Juga
24 dekat suatu lingkaran pada lingkaran korelasi nsemakin besar perannya
terhadap sumbu (grafik bidang). Korelasi terhadap sumbu sama dengan
kosinus sudut antara sumbu dan garis lurus yang melewati pusat gravitasi
dan titik variabel, maka dengan demikian kita tidak menginterpretasikan
posisi suatu variabel terhadap jarak dari pusat gravitasi tetapi sudut yang
dibentuk oleh garis lurus dengan sumbu atau dengan variabel lain apabila
variabel ini memberikan kontribusi yang besar (dekat dengan lingkaran
korelasi).
Koordinat individu pada setiap sumbu.
Kualitas representasi titik-individu dalam setiap grafik bidang.
Grafik bidang yang memperlihatkan kemiripan (kedekatan) antar
titik-individu.
3.4.6 Distribusi dan Preferensi Habitat Larva Ikan
Distribusi larva ikan kaitannya dengan karakteristik parameter kualitas
lingkungan dilakukan dengan analisis Nodul. Analisis nodul yaitu membuat matrik
hubungan antara kelompok spesies dengan kelompok habitat selanjutnya
dihitung dengan Indeks constancy (Cij) dan Indeks Fidelity (Fij) (Boesch,1977).
Constancy adalah proporsi jumlah kemunculan kelompok spesies pada suatu
habitat/tempat dalam setiap kemungkinan kejadian. Sedangkan Fidelity adalah
suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana keberadaan suatu spesies pada
suatu kelompok tempat/habitat. Indeks Constancy dihitung dengan persamaan:
keterangan :
Cij : indeks constancy kelompok spesies-i pada kelompok habitat -j
aij : jumlah anggota kelompok spesies-i pada kelompok habitat- j
ni & nj : jumlah seluruh kelompok spesies dan kelompok tempat/habitat
Nilai indeks :0-1, dimana nilai 1 apabila kelompok spesies tersebut ditemukan
pada kelompok tempat/habitat yang ada dan nilai 0 apabila kelompok spesies
tersebut tidak ditemukan pada tempat/habitat .Sedangkan indeks Fidelity dihitung
25 Keterangan :
Fij : indeks fidelity kelompok jenis I pada kelompok habitat-j
aij : jumlah kehadiran kelompok jenis i pada kelompok tempat/habitat-j
ni dan nj : jumlah seluruh kelompok jenis dan kelompok tempat/habitat
jika nilai indeks Fidelity kurang dari 1 (satu) artinya terdapat hubungan negatif
antara jenis dengan habitat sedangkan nilai indeks lebih dari 1 (satu) artinya
terdapat hubungan positif antara jenis dengan habitat. I
3.4.7 Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Kelimpahan Larva Ikan
Untuk melihat hubungan antara parameter kualitas lingkungan dengan
kelimpahan genus larva digunakan analisis korelasi Spearman rank. Tehnik
26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan
Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang
terdiri dari 21 famili dan 32 genus (Tabel 3). Famili Gobiidae merupakan
penyumbang terbesar dari seluruh total tangkapan (66,62%), diikuti oleh famili
Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Genus yang
dominan terdiri dari Tridentiger, Rhinogobius, Sardinella, Omobranchus,
Stolephorus, Engraulis dan Herklotsichthys dengan masing-masing kelimpahan
[image:43.595.98.526.321.702.2]berturut-turut adalah 1836, 392,, 316, 301, 266, 159 dan 79 individu per 100 m3.
Tabel 3. Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan
Famili Genus Kelimpahan Panjang Standar (mm) Keterangan Ind/m3 % Rata-rata Kisaran
Ambassidae Ambassis 21 0,54 5 2,5-6,7 F,Pf
Atherinidae Hypoatherina 5 0,12 3,4 2,5-5,1 Pof Blenniidae Omobranchus 301 7,6 2,4 1,8-4,1 Pf,F
Cynoglossidae Cynoglossus 1 0,02 1,8 1,8 Pf
Carangidae Caranx 10 0,25 2,4 2,0-2,7 Pf
Clupeidae Herklotsichthys 79 2,01 5,8 4,3-11,6 F, Pof Clupeidae Sardinella 316 7,98 5,6 4,0-11,2 F, Pof Engraulidae Engraulis 159 4,01 6,2 2,1-10,5 Pf,F,Pof Engraulidae Stolephorus 266 6,71 10,6 4,0-21,9 Pf,F,Pof
Eleotridae Eleotris 2 0,06 8,6 8,3-8,6 Pof
Gerreidae Gerres 1 0,02 2,5 2,2-3,5 Pf
Gobiidae