• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Habitat Larva Ikan Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia Perairan

DAFTAR PUSTAKA

3.4 Analisis Data .1 Komunitas Larva

3.4.2 Karakteristik Habitat Larva Ikan Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia Perairan

D Keterangan : D : Indeks dominasi

ni : jumlah individu genus ke-i N : jumlah total individu

pi : proporsi individu spesies ke-i (ni/N) s : Jumlah genus

Kriteria nilai sebagai berikut :

D mendekati 0 tidak ada jenis yang mendominasi, dan D mendekati 1 terdapat jenis yang mendominasi jenis yang lain.

3.4.2 Karakteristik Habitat Larva Ikan Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia Perairan

Analisis Komponen Utama digunakan untuk mendeterminasi sebaran parameter biofisika kimia perairan. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) digunakan untuk memudahkan menginterpretasi data dari suatu matriks data yang berukuran cukup besar (Bengen,2000). Tujuan utama penggunaan analisis komponenn utama dalam suatu matriks data berukuran cukup besar diantaranya adalah (1).mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu tabel/matriks data yang besar, (2)menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi, (3) mempelajari suatu tabel/matriks data dari sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antar variabel.

23 Langkah-langkah yang diperlukan dalam analisis komponen utama adalah sebagai berikut:

a) Satu individu dapat dijelaskan dengan baik oleh nilai-nilai yang diperleh dari p variabel. Hal yang sama, satu variabel didefinisikan oleh n nilai yang berkaitan dengan distribusi individunya. Dengan demikian satu individu dapat didefinisikan oleh satu titik dari satu geometrik berdimensi p, sedangkan satu variabel dipresentasikan oleh satu titik dari satu ruang berdimensi n. Semua individu (atau variabel) akhirnya membentuk suatu kumpulan titik-titik. Analisis Komponen Utama memungkinkan adanya suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang-ruang ini agar dapt lebih mudah dibaca dengan kehilangan informasi sesedikit mungkin (Bengen, 2000).

b) Sumbu-sumbu faktorial yang diperoleh merepresentasikan kombinasi linear dari variabel-variabel asal. Faktor/sumbu utama menjelaskan dengan lebih baik variabilitas data asal/inisial. Faktor kedua menjelaskan dengan lebih baik variabilitas residu yang tidak tergambarkan pada faktor utama dan selanjutnya.

c) Untuk menemukan kembali informasi yang lengkap, maka perlu diperhatikan semua sumbu yang jumlahnya sama dengan variabel (kecuali terdapat suatu korelasi sempurna antar variabel). Manfaat dari Analisis Komponen Utama adalah dapat mengasosiasikan pada sumbu faktorial yang berbeda, suatu peran deskriptif dalam batasan kualitatif dan kuantitatif.

Secara umum informasi yang diberikan dari hasil Analisis Komponen Utama adalah

Matriks korelasi antar semua variabel

Akar ciri dari setiap sumbu faktorial:berkaitan dengan jumlah inersi dari setiap sumbu.

Vektor ciri yang menjelaskan koefisien variabel (pemusatan dan pereduksian) dalam persamaan liniearyang mendeterminasikan sumbu-sumbu utama.

Korelasi antara variabel dan sumbu yang dapat menginterpretasikan sumbu utama;

Grafik bidang yang memvisualisasikan variabel terhadap sumbu. Juga dapat digambarkan pada setiap grafik, lingkaran korelasi (=1): semakin

24 dekat suatu lingkaran pada lingkaran korelasi nsemakin besar perannya terhadap sumbu (grafik bidang). Korelasi terhadap sumbu sama dengan kosinus sudut antara sumbu dan garis lurus yang melewati pusat gravitasi dan titik variabel, maka dengan demikian kita tidak menginterpretasikan posisi suatu variabel terhadap jarak dari pusat gravitasi tetapi sudut yang dibentuk oleh garis lurus dengan sumbu atau dengan variabel lain apabila variabel ini memberikan kontribusi yang besar (dekat dengan lingkaran korelasi).

Koordinat individu pada setiap sumbu.

Kualitas representasi titik-individu dalam setiap grafik bidang.

Grafik bidang yang memperlihatkan kemiripan (kedekatan) antar titik-individu.

3.4.6 Distribusi dan Preferensi Habitat Larva Ikan

Distribusi larva ikan kaitannya dengan karakteristik parameter kualitas lingkungan dilakukan dengan analisis Nodul. Analisis nodul yaitu membuat matrik hubungan antara kelompok spesies dengan kelompok habitat selanjutnya dihitung dengan Indeks constancy (Cij) dan Indeks Fidelity (Fij) (Boesch,1977). Constancy adalah proporsi jumlah kemunculan kelompok spesies pada suatu habitat/tempat dalam setiap kemungkinan kejadian. Sedangkan Fidelity adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana keberadaan suatu spesies pada suatu kelompok tempat/habitat. Indeks Constancy dihitung dengan persamaan:

keterangan :

Cij : indeks constancy kelompok spesies-i pada kelompok habitat -j aij : jumlah anggota kelompok spesies-i pada kelompok habitat- j ni & nj : jumlah seluruh kelompok spesies dan kelompok tempat/habitat

Nilai indeks :0-1, dimana nilai 1 apabila kelompok spesies tersebut ditemukan pada kelompok tempat/habitat yang ada dan nilai 0 apabila kelompok spesies tersebut tidak ditemukan pada tempat/habitat .Sedangkan indeks Fidelity dihitung dengan persamaan :

25 Keterangan :

Fij : indeks fidelity kelompok jenis I pada kelompok habitat-j

aij : jumlah kehadiran kelompok jenis i pada kelompok tempat/habitat-j ni dan nj : jumlah seluruh kelompok jenis dan kelompok tempat/habitat

jika nilai indeks Fidelity kurang dari 1 (satu) artinya terdapat hubungan negatif antara jenis dengan habitat sedangkan nilai indeks lebih dari 1 (satu) artinya terdapat hubungan positif antara jenis dengan habitat. I

3.4.7 Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Kelimpahan Larva Ikan

Untuk melihat hubungan antara parameter kualitas lingkungan dengan kelimpahan genus larva digunakan analisis korelasi Spearman rank. Tehnik perhitungan dilakukan dengan menggunakan program STATISTICA.

26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan

Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang terdiri dari 21 famili dan 32 genus (Tabel 3). Famili Gobiidae merupakan penyumbang terbesar dari seluruh total tangkapan (66,62%), diikuti oleh famili Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Genus yang dominan terdiri dari Tridentiger, Rhinogobius, Sardinella, Omobranchus, Stolephorus, Engraulis dan Herklotsichthys dengan masing-masing kelimpahan berturut-turut adalah 1836, 392,, 316, 301, 266, 159 dan 79 individu per 100 m3.

Tabel 3. Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan

Famili Genus Kelimpahan Panjang Standar (mm) Keterangan Ind/m3 % Rata-rata Kisaran

Ambassidae Ambassis 21 0,54 5 2,5-6,7 F,Pf

Atherinidae Hypoatherina 5 0,12 3,4 2,5-5,1 Pof Blenniidae Omobranchus 301 7,6 2,4 1,8-4,1 Pf,F

Cynoglossidae Cynoglossus 1 0,02 1,8 1,8 Pf

Carangidae Caranx 10 0,25 2,4 2,0-2,7 Pf

Clupeidae Herklotsichthys 79 2,01 5,8 4,3-11,6 F, Pof Clupeidae Sardinella 316 7,98 5,6 4,0-11,2 F, Pof Engraulidae Engraulis 159 4,01 6,2 2,1-10,5 Pf,F,Pof Engraulidae Stolephorus 266 6,71 10,6 4,0-21,9 Pf,F,Pof

Eleotridae Eleotris 2 0,06 8,6 8,3-8,6 Pof

Gerreidae Gerres 1 0,02 2,5 2,2-3,5 Pf

Gobiidae Gobiidae sp1 285 7,19 2,2 1,8-2,7 Pf Gobiidae Gobiidae sp 2 94 2,37 2,3 1,8-2,8 Pf Gobiidae Glossogobius 24 0,62 4,2 2,3-9,0 F Gobiidae Tridentiger 1836 46,39 7,2 1,8-14,2 Pf, F,Pof Gobiidae Rhinogobius 392 9,91 2,5 1,9-3,3 Pf

Gobiidae Rediogobius 2 0,06 3,1 2,8-3,3 Pf

Gobiidae Acentrogobius 2 0,06 4,4 2,8-7,7 Pf Gobiidae Parachaeturichthys 1 0,02 2,8 2,8 Pf Leioghnatidae Secutor 12 0,31 14,2 12,6-17,8 Pof

Mugilidae Mugil 18 0,44 1,8 1,6-2,5 F

Mugilidae Liza 12 0,31 7,9 6,9-8,8 Pof

Mugiloididae Parapercis 3 0,08 2 1,8-2,5 Pf Mullidae Upeneus 7 0,17 2,5 1,7-2,8 Pf Ostracidae Ostracidae spp 2 0,04 4,0 3,5-5,4 Pf Pomacentridae Pomacentrus 2 0,04 1,7 1,3-2,0 Pf Pomachantidae Pomacentrus 2 0,04 1,7 1,3-2,0 Pf Polynemidae Eleutheronema 2 0,04 4,1 3,8-4,3 F Silaginidae Silago 1 0,02 3,3 3,3 Pf Synghnatidae Parasyngnathus 95 2,41 14,4 7,4-24,8 F Synghnatidae Oostethus 2 0,04 4,4 4,3-4,5 F Tetraodontidae Tetraodontidae spp 4 0,10 2,2 1,5-2,8 Pf

Pf=preflexion; F=flexion; Pof=Postflexion

Larva ikan Gobiidae merupakan larva ikan yang dominan ditemukan selama penelitian ini, seperti halnya pada penelitian Sugiharto (2005) dan Nursid

27 (2002) di estuaria Segara Anakan. Beberapa penelitian lain juga menemukan bahwa larva ikan Gobiidae merupakan penyumbang terbesar dalam komunitas larva di ekosistem estuaria (Sanvicente-Añorve et al.,2003; Bonecker et al.,2009; Ramos et al.,2012). Famili Gobiidae terdiri dari 212 genera dan 1875 spesies (Nelson, 1994). Anggota jenis dari famili Gobiidae hidup di habitat air tawar, estuaria hingga laut. Sebagian besar dari famili Gobiidae hidup di ekosistem estuaria. Gobiidae memiliki toleransi terhadap rentang salinitas yang cukup luas. Beberapa anggota jenis Gobiidae yang hidup di air tawar akan pergi ke perairan estuaria untuk memijah (Miller, 1984). Anggota jenis dari famili Gobiidae yang mendominasi pada penelitian ini adalah genus Tridentiger. Jenis tersebut juga dominan ditemukan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sugiharto (2005).

Famili Engraulidae merupakan penyusun komunitas larva terbesar kedua setelah Gobiidae pada penelitian ini. Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nursid (2002) di laguna Segara Anakan. Penelitian di estuaria lain yang dilakukan Morais and Morais (1994) serta Barleta–Bergan (2002) juga menemukan bahwa larva ikan Engraulidae merupakan larva ikan yang dominan ditemukan selain Gobiidae. Menurut hasil penelitian Sanchez-Velasco et al. (1996), ikan Gobiidae dan Engraulidae dalam siklus hidupnya memiliki ketergantungan terhadap ekosistem estuaria terutama pada fase larva. Anggota jenis dari Engraulidae dikenal sebagai ikan konsumsi ekonomis penting di berbagai perairan estuaria dan laut. Genus dari famili Engraulidae yang ditemukan selama penelitian ini adalah Stolephorus dan Engraulis dengan kelimpahan Stolephorus lebih tinggi daripada Engraulis.

Larva ikan famili Clupeidae merupakan larva terbanyak setelah Gobiidae dan Engraulidae. Penelitian yang dilakukan Nursid (2002) di perairan Laguna Segara Anakan juga mendapatkan famili tersebut, namun tidak demikian halnya pada penelitian Sugiharto (2005) yang dilakukan di Pelawangan Timur. Larva ikan Clupeidae yang tertangkap pada penelitian ini terdiri dari genus Sardinella dan Herklotsichthys. Habitat Clupeidae adalah perairan laut dan pesisir. Beberapa jenis dari famili tersebut mampu mentolerir salinitas yang lebih rendah dan melakukan migrasi ke daerah muara sungai untuk bertelur. Ikan Clupeidae hidup berkumpul membentuk schooling dan berenang secara bersama-sama di suatu perairan (Carpenter and Niem, 1999).

28 Larva ikan famili Blennidae merupakan larva ikan berikutnya yang cukup banyak dalam komposisi hasil tangkapan di selama penelitian. Famili Blenniidae tersebar di perairan tawar, payau hingga laut, merupakan ikan dasar yang menyukai daerah pasang surut dan berbatu dengan kedalaman lebih kurang 20 m. Beberapa anggota dari famili ini bahkan hidup di aliran sungai. Anggota jenis Bleniidae bukan ikan konsumsi ekonomis penting.

Secara temporal kelimpahan larva ikan paling tinggi terjadi pada bulan Juni dengan komposisi yang dominan adalah famili Gobiidae (Gambar 7). Pada bulan Juli, jumlah kelimpahan menurun demikian juga pada bulan Agustus. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli didominasi oleh famili Clupeidae sedangkan pada bulan Agustus adalah Engraulidae. Larva Gobiidae tertangkap pada setiap bulan pengamatan sedangkan Clupeidae hanya tertangkap pada bulan Juli dan Engraulidae pada bulan Agustus. Tingginya kelimpahan larva ikan pada bulan Juni dapat berkaitan dengan masa pemijahan dari ikan. Beberapa jenis ikan Gobiidae memiliki masa pemijahan sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada waktu tertentu.

Secara spasial kelimpahan larva ikan tertinggi adalah di stasiun III (Cigintung) dan IV Sapuregel (Gambar 8). Larva Gobiidae merupakan larva ikan yang ditemukan di semua stasiun penelitian dengan kelimpahan yang tinggi dibandingkan famili lainnya. Larva Engraulidae tertangkap di stasiun I (Muara Donan), II (Donan), III (Cigintung), IV (Sapuregel) dan VI (kembang Kuning), namun kelimpahan tertinggi hanya ada di stasiun II, sedangkan larva Clupeidae ditemukan melimpah di stasiun I (Muara Donan), walaupun juga terdapat di stasiun lainnya dengan kelimpahan yang rendah dibandingkan di stasiun I. Seperti halnya pada larva Gobiidae, larva ikan Blenniidae juga tertangkap di semua stasiun penelitian namun dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan Gobiidae.

29 Gambar 7. Komposisi famili larva ikan secara temporal

Gambar 8. Komposisi famili larva ikan secara spasial

Berdasarkan bentuk morfologinya larva ikan yang tertangkap terdiri dari stadia preflexion, flexion dan postflexion. Komposisi fase larva tersebut tidak sama pada setiap genus selama periode penelitian. Larva Tridentiger yang tertangkap pada bulan Juni terdiri dari fase preflexion, flexion dan postflexion dengan komposisi dominan adalah fase post flexion sedangkan larva yang tertangkap pada bulan Juli dan Agustus didominasi oleh fase flexion (Gambar 9). Tingginya kelimpahan larva Tridentiger fase postflexion pada bulan Juni diduga merupakan hasil pemijahan pada periode sebelumnya yang sudah berkembang sedangkan larva yang masih tahap preflexion merupakan hasil pemijahan pada periode yang berbeda dari larva postflexion tersebut. Sedangkan larva Rhinogobius lebih banyak ditemukan pada fase preflexion di setiap bulan.

0 500 1000 1500 2000 2500

juni juli agsts

in d /100 m 3 Syngnathidae Gobiidae Engraulidae Clupeidae Blenniidae 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 I II III IV V VI in d /100 m 3 stasiun Syngnathidae Gobiidae: Engraulidae: Clupeidae Blenniidae:

30 Larva Sardinella yang tertangkap pada bulan Juli terdiri dari fase preflexion dan sebagian kecil flexion sedangkan Herklotsichthys terdiri dari fase flexion dan post flexion (Gambar 9 C dan D). Hal tersebut mengindikasikan bahwa larva Sardinella yang ditemukan pada bulan Juli tersebut merupakan larva yang baru berkembang setelah menetas sedangkan larva Herklotsichtys sudah mengalami tahap perkembangan yang lebih dulu dibanding Sardinella.

Larva Stolephorus pada bulan Juni ditemukan pada fase flexion dan postflexion sedangkan pada bulan Agustus terdiri dari fase preflexion dan flexion. Jika dilihat dari bentuk perkembangannya maka larva Stolephorus yang ditemukan pada bulan Juni tersebut sudah mengalami perkembangan lebih lanjut setelah menetas, sedangkan larva yang ditemukan pada bulan Agustus sebagian merupakan larva yang mengalami perkembangan awal setelah menetas. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa larva Stolephorus yang masuk ke pearian estuaria Pelawangan Timur masih dalam tahap perkembangan setelah menetas.

Larva Engraulidae lainnya yakni Engraulis yang tertangkap pada bulan Juni merupakan fase flexion sedangkan pada bulan Agustus terdiri dari fase preflexion, flexion dan postflexion dengan komposisi terbesar adalah fase flexion (Gambar 9 F) Larva yang tertangkap pada bulan Juni dan Agustus merupakan larva yang telah mengalami perkembangan lanjut setelah menetas .

Komposisi larva ikan secara temporal menunjukkan bahwa beberapa famili larva ikan seperti Clupeidae dan Engraulidae berada di perairan pada waktu tertentu dengan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemijahan terjadi pada waktu tertentu yang diperkuat oleh bentuk morfologi larva (Gambar 9). Larva ikan yang masih dalam fase preflexion adalah larva yang baru mengalami tahap perkembangan setelah cadangan makanannya (kuning telur) habis, kemudian selama kurun waktu tertentu berkembang menjadi fase flexion, postflexion dan juvenil. Tahapan morfologi larva ikan tersebut dapat dijadikan dasar untuk menduga waktu pemijahan dan penetasan dari larva ikan pada suatu peraira. Bulan Juli diduga merupakan waktu pemijahan serta penetasan Sardinella dan Herklotsichthys, sedangkan pada bulan Agustus adalah waktu pemijahan dan penetasan larva Stolephorus dan Engraulis.

31

A.Tridentiger B. Rhinogobius C Sardinella

D. Herklotsichthys E. Stolephorus

F. Engraulis : preflexion; : flexion : post flexion

Gambar 9. Komposisi morfologi larva ikan secara temporal

Nilai indeks keanekaragaman Shanon (H’) di lokasi penelitian berkisar antara 1,08-1,98 (Gambar 10). Stasiun VI (Kembang Kuning) memiliki nilai

indeks H’ yang tertinggi (1,98) sedangan stasiun III (Cigintung ) memilki indeks H’

terendah (1,08). Kisaran indeks tersebut menunjukkan keanekaragaman yang sedang. Indeks keseragaman di lokasi penelitian berkisar antara 0,45-0,68. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sebaran individu antar jenis masih cukup merata. Hal tersebut terlihat dari ditemukannya berbagai genus larva ikan di seluruh lokasi penelitian. Nilai dominasi di stasiun pengamatan berkisar antara 0,21-0,50, artinya bahwa belum terlihat adanya dominasi genus yang sangat kuat di komunitas larva tersebut. Walaupun secara umum terlihat genus dari Gobiidae (Tridentiger) mendominasi hasil tangkapan di setiap lokasi penelitian namun pada waktu tertentu ditemukan pula larva ikan selain Gobiidae yang di lokasi penelitian dengan demikian belum terlihat adanya dominasi genus yang sangat kuat di komunitas larva tersebut.

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Jun Jul Agst

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Jun Jul Agst

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Jun Jul Agst

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Jun Jul Ags

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Jun Jul Agst

0% 20% 40% 60% 80% 100%

32 Gambar 10. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi di lokasi

penelitian

4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Pelawangan Timur

4.2.1 Kondisi Parameter Bio Fisika Kimia Perairan Pelawangan Timur

Perairan Pelawangan Timur merupakan bagian dari ekosistem estuaria Segara Anakan yang merupakan pintu masuk air laut dari sisi bagian timur yang menuju ke laguna Segara Anakan. Perairan Pelawangan Timur mendapatkan masukan air laut dari sebelah timur dan air tawar dari beberapa sungai yang mengalir ke kawasan tersebut yaitu Sapuregel, Donan dan Kembang Kuning.

Perairan Pelawangan Timur dimanfaatkan sebagai jalur transportasi, jalur kegiatan industri dan daerah penangkapan ikan. Perairan Sungai Donan merupakan kawasan lalu lintas kapal tanker dan perahu penyeberangan, sedangkan perairan Kembang Kuning dan Sapuregel merupakan kawasan penangkapan ikan dengan alat tangkap yang dominan adalah apong. Selain itu sepanjang Perairan Donan hingga pintu masuk Pelawangan Timur merupakan kawasan kegiatan industri.

Pengamatan parameter bio-fisika kimia perairan dilakukan di enam stasiun pengamatan. Hasil pengamatan parameter fisika kimia perairan Pelawangan Timur tertera pada tabel 4 berikut ini.

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 I II III IV V VI

33 Tabel 4. Nilai rataan parameter bio-fisika kimia perairan pelawangan timur

Parameter Stasiun I II III IV V VI Suhu (ºC) Rataan Stdev 27,9 1,20 29,37 1,00 29,23 0,80 28,09 0,70 28,58 1,00 28,23 0,70 Kecerahan (cm) Rataan Stdev 70,00 45,3 62,10 30,7 45,42 16,6 77,92 37,44 64,58 36,3 65,83 50,6 Kedalaman (m) Rataan Stdev 7,8 0 3,31 6,80 0,60 3,30 1,40 5,70 1,80 3,60 1,09 4,60 1,22 Arus (mps) Rataan Stdev 0,29 0,28 0,14 0,17 0,09 0,08 0,15 0,19 0,11 0,19 0,10 0,10 Kekeruhan (NTU) Rataan

Stdev 27,9 27,30 28,55 41,70 27,24 17,30 18,64 17,10 28,27 24,20 30,64 35,10 pH Rataan Stdev 7,88 0,20 7,75 0,30 7,67 0,20 7,75 0,30 7,58 0,20 7,75 0,30 Salinitas (°/◦◦) Rataan Stdev 32,67 2,10 30,92 1,83 29,75 2,01 30,92 1,98 31,25 2,49 30,92 1,51 Oksigen terlarut (mg/l) Rataan Stdev 3,97 0,64 4,03 0,68 4,06 0,55 3,56 0,86 3,53 0,87 3,81 0,90 N-Nitrat (mg/l) Rataan Stdev 0,336 0,47 0,468 0,57 0,395 0,58 0,380 0,47 0,461 0,58 0,378 0,41 Ortofosfat (mg/l) Rataan Stdev 0,016 0,012 0,016 0,009 0,021 0,016 0,018 0,013 0,021 0,013 0,024 0,014 Fitoplankton (sel/l) Rataan 16.155.579 9.803.491 3.040.222 9.651.923 6.511.088 8.796.296

Suhu air di Pelawangan Timur berkisar antara 27,90-29,23°C Suhu berpengaruh pada proses fisik perairan dan daya larut serta difusi oksigen pada perairan serta kehidupan organisme perairan. Setiap organisme memiliki suhu optimum untuk mendukung perkembangannya. Pada biota akuatik seperti ikan, suhu perairan berpengaruh pada proses pertumbuhan dan siklus reproduksinya (Bye,1984). Menurut beberapa penelitian bahwa suhu air berpengaruh pada pertumbuhan larva ikan dimana perubahan suhu secara drastis dapat meningkatkan mortalitas larva ikan (Bjornsson et al., 2001; Jordaan and Kling, 2003).

Salinitas di lokasi penelitian berkisar antara 29,75-32,67 °/◦◦ dengan nilai rataan terendah berada di stasiun 3 (Cigintung) sedangkan yang tertinggi di stasiun I (Muara Donan). Berdasarkan KepMen Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004, nilai salinitas di perairan tersebut masih termasuk rentang nilai yang sesuai untuk kehidupan biota laut. Salinitas merupakan salah satu parameter yang paling mempengaruhi organisme yang hidup pada ekosistem estuaria. Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme akuatik. Semakin tinggi salinitas maka semakin tinggi pula tekanan osmosis tubuh terhadap lingkungannya maka semakin besar pula energi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri. Pada ekosistem estuaria dimana fluktuasi salinitas kerap terjadi, biota akuatik seperti ikan yang dapat hidup di perairan tersebut adalah yang memiliki toleransi dan adaptasi yang luas terhadap perubahan salinitas.

34 Kekeruhan (turbiditas) di perairan Pelawangan Timur berkisar 18,64-30,64 NTU. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan-bahan organik dan anorganik tersuspensi dan terlarut misalnya lumpur dan pasir halus, maupun bahan anorganik dan organik yang berupa mikroorganisme lain (Davis dan Cornwell,1991 dalam Effendi, 2003). Nilai kekeruhan yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pada penelitian sebelumnya di lokasi yang sama yaitu 5-11,6 NTU (Siregar, 2007) dan 0,19-30,4 NTU (Sugiharto, 2005). Perbedaan nilai turbiditas tersebut dapat disebabkan karena perubahan kondisi lingkungan perairan dimana masukan air tawar dari daratan yang membawa partikel organik dan anorganik terlarut serta masuknya limbah aktivitas manusia di sekitar perairan tersebut semakin hari semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia di ekosistem tersebut. Kekeruhan yang tinggi dapat menghambat penetrasi cahaya matahari yang digunakan dalam proses fotosintesis oleh fitoplankton. Akibatnya produktivitas primer fitoplankton menurun sehingga ketersediaan makanan bagi organisme pemakan fitoplankton seperti larva ikan akan terganggu. Kekeruhan yang diakibatkan meningkatkan partikel lumpur terlarut di perairan menghambat perkembangan telur dan menyebabkan kerusakan pada insang sehingga mengakibatan kematian pada ikan terutama fase larva (Robertson, et al.,2006).

Oksigen terlarut yang diperoleh di lokasi pengamatan berkisar 3,56-4,06 mg/l. Kandungan oksigen terlarut (O2) dalam perairan turut menentukan kualitas perairan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) makhluk hidup dan proses oksidasi dalam perairan. Sebagai contoh ikan yang hidup dalam perairan yang kekurangan oksigen akan terganggu fungsi insangnya dan dapat menyebabkan insang berlendir (anoxia) sehingga menimbulkan kematian. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai indikator senyawa-senyawa kimia di perairan. Sumber oksigen di perairan adalah difusi udara dan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Perairan yang mengalir pada umumnya memiliki kandungan oksigen yang cukup karena gerakan air oleh arus dan angin menjamin berlangsungnya difusi udara.

Derajat keasaman (pH) merupakan parameter yang juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Konsentrasi pH yang

35 diperoleh selama penelitian berkisar antara 7,5-7,8. Nilai ini masih dalam kisaran normal dan sebagian besar biota akuatik di suatu perairan menyukai nilai pH dengan kisaran 7 – 8,5. Perubahan kadar pH di perairan mengganggu reproduksi organisme perairan seperti ikan, udang atau pun moluska. Menurut Ross et al. (2011), perubahan pH menyebabkan perubahan respon olfactory pada larva ikan

Amphiprion percula yang berpotensi terhadap disorientasi pemilihan habitat yang sesuai.

Rataan nilai kandungan N-nitrat (N-NO3) di lokasi penelitian adalah 0,34-0,47 mg/l dengan konsentrasi tertinggi di stasiun II (Donan) dan yang terendah di stasiun I (Muara Donan). Baku mutu untuk perairan berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 maksimal 10 mg/l, sedangkan kadar ortofosfat yang diperoleh di lokasi penelitian adalah 0,016-0,024 mg/l. Baku mutu air untuk ortofosfat tidak

lebih dari 0,1 mg/l. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan

secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Keberadaan fosfor secara berlebihan disertai dengan keberadaan nitrogen dapat memacu ledakan pertumbuhan alga di perairan. Algae yang berlimpah dapat membentuk lapisan di permukaan air yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan.

Kelimpahan fitoplankton di lokasi penelitian berkisar antara 3.040.222-16.155.579 sel/l dengan kelimpahan tertinggi ditemukan di stasiun I (Muara Donan) dan kelimpahan terendah ditemukan di stasiun III (Cigintung). Fitoplankton dalam jejaring makanan di ekosistem perairan berperan sebagai produsen. Melalui proses fotosintesis, fitoplankton menyumbang oksigen bagi perairan. Larva ikan yang sudah tidak memiliki kuning telur sebagai cadangan makanan memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber makanannya.

Rata-rata kecepatan arus pada saat pengamatan berkisar antara 0,09-0,29 m/detik. Kecepatan arus air di lokasi cukup berfluktuatif. Arus air berperan mendistribusikan massa air dari laut menuju estuaria atau pun sebaliknya sehingga memungkinkan kondisi parameter lain seperti salinitas, DO dan turbiditas berfluktuasi. Arus sangat mempengaruhi keberadaan komunitas larva ikan. Larva ikan masih bersifat planktonik dimana pergerakannya sangat dipengaruhi oleh pola arus. Sifat larva ikan yang belum dapat berenang secara

Dokumen terkait