• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

1.2 Perumusan Masalah

Daerah estuaria merupakan habitat asuhan (nursery ground) bagi berbagai jenis ikan laut (Velascho, 1996; Elliot and Hemingway, 2002; Bonecker et al.,2007). Estuaria Pelawangan Timur, Segara Anakan merupakan ekosistem estuaria yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dari Samudra Hindia dan masukan air tawar dari beberapa sungai di sekitarnya serta memiliki vegetasi mangrove. Sebagai ekosistem estuaria dengan komunitas mangrove, Segara Anakan merupakan habitat asuhan bagi berbagai jenis ikan (Dudley, 2000; Kohno dan Sulistiono 1994 dalam Sugiharto dkk., 2007).

3 Ekosistem estuaria secara alami selama kurun waktu tertentu dapat mengalami perubahan kondisi kualitas perairan seperti meningkatnya kekeruhan dan sedimentasi yang disebabkan masukan air tawar dari daratan yang membawa sedimen serta bahan organik dan anorganik tersuspensi. Hal ini terjadi pula di perairan Pelawangan Timur. Meningkatnya kekeruhan (turbiditas) perairan dapat menghalangi penetrasi sinar matahari di perairan sehingga mengganggu proses fotosintesis fitoplankton yang merupakan sumber makanan bagi organisme akuatik termasuk larva ikan selain itu peningkatan turbiditas dan sedimen tersuspensi dapat mengurangi oksigen terlarut dalam kolom air sehingga mengganggu proses pernafasan bahkan meningkatkan mortalitas telur dan larva ikan (Ward, 1992; Wilber and Clarke, 2001; North and Houde, 2001). Proses sedimentasi yang terus menerus mengakibatkan pendangkalan dan mempersempit ketersediaan habitat untuk bertelur, mengurangi aktivitas bertelur dan meningkatkan mortalitas telur dan larva ikan (Ryan, 1991). Selain proses alami, perubahan kualitas lingkungan estuaria semakin dipercepat oleh tekanan limbah dari kegiatan industri dan pemukiman di sekitarnya. Kawasan Pelawangan Timur terutama di sepanjang Donan sampai Kebon Sayur merupakan kawasan industri, pemukiman dan pelabuhan yang menghasilkan limbah ke perairan. Masukan bahan organik dan anorganik dari aktivitas tersebut yang berinteraksi dengan karakter fisik estuaria seperti pasang surut, masukan air tawar dari sungai dan angin semakin meningkatkan kekeruhan, sedimentasi serta eutrofikasi sehingga mempengaruhi kualitas perairan estuaria yang akhirnya mempengaruhi sintasan larva ikan. Keberhasilan larva ikan dalam bertahan hidup hingga mencapai tahap daur hidup selanjutnya menentukan proses rekrutmen yang menjamin keberlanjutan stok.

Perubahan kondisi kualitas perairan estuaria Pelawangan Timur selama kurun waktu yang panjang tentunya berpengaruh pada komunitas larva ikan. Dengan demikian, kajian mengenai komunitas larva ikan diharapkan dapat pula memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan estuaria saat ini sebagai habitat larva ikan yang menjamin keberlanjutan stok ikan di perairan tersebut. Alur perumusan masalah dalam penelitian ini dideskripsikan pada Gambar 1 .

4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi, kelimpahan dan distribusi larva ikan di ekosistem estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan dalam kaitannya dengan kondisi lingkungan di ekosistem tersebut. Manfaat penelitian adalah untuk menginventarisir jenis sumberdaya ikan serta mengetahui karakteristik habitat jenis ikan yang hidup di daerah tersebut sebagai salah satu informasi dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Segara Anakan.

Gambar 1. Alur perumusan masalah

Ekosistem Estuaria Pelawangan Timur Proses Hidrodima nika: pasang surut,masu kan air Aktivitas Antropogenik: pelabuhan, industri,pemuki man

Faktor biofisik kimia Perairan Fisika: arus, suhu, kecerah an Kimia: Salinitas, DO, turbiditas, nitrat, ortofosfat Biologi: Fitoplankton, predator, competitor SD Larva Ikan: Sedentary, migratory, occasional Perubahan Kualitas Perairan Turbiditas, sedimentasi, eutrofikasi Pertumbuhan Mortalitas Sintasan kelimpahan Keberlanjutan Stok ikan estuaria Segara Anakan I N P U T O U T P U T P R O S E S

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan

Estuaria Pelawangan Timur merupakan bagian timur dari Kawasan Segara Anakan, Cilacap. Segara Anakan merupakan satu-satunya ekosistem estuari dengan hutan mangrove yang terletak di Kabupaten Cilacap di selatan Jawa. Segara Anakan berhubungan dengan Samudra Hindia melalui dua buah inlet yaitu Pelawangan Barat dan Pelawangan Timur. Bagian barat Segara Anakan (Pelawangan Barat), terletak pada sudut barat daya laguna dimana lebar dan panjang salurannya lebih pendek dibandingkan bagian timur (Pelawangan Timur). Estuaria Pelawangan Timur merupakan cabang dari Sungai Kembang Kuning yang bersatu dengan Sungai Sapuregel dan Donan dan akhirnya bermuara di Teluk Penyu (Djuwito, 1985).

Perairan Pelawangan Timur memiliki kedalaman air antara 5-10m (White et al.,1989). Inlet Pelawangan Timur dekat dengan pelabuhan Cilacap dan merupakan saluran yang menghubungkan laguna ke Samudera Hindia (Jennerjahn et al., 2007). Perairan Pelawangan Timur terdiri dari kawasan lindung Sapuregel sampai wilayah Karang Bolong (ujung timur pulau Nusakambangan). Luas perairan kawasan lindung Pelawangan Timur ±650 Ha. Luas perairan Sapuregel ± 120 Ha dan perairan Kembang Kuning ± 40 Ha (Hadi, 1998 dalam Sugiharto, 2005). Sedangkan perairan Donan sejak tahun 1978 ditetapkan sebagai kawasan lalu lintas kapal-kapal tanker sehingga kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan di perairan tersebut tidak diijinkan lagi (Sugiharto, 2005).

Hutan mangrove di Segara Anakan merupakan satu-satunya hutan mangrove yang utama di Pulau Jawa. Luas hutan mangrove di Segara Anakan sekitar 9.600 ha (Ardli, 2007). Sebanyak 26 jenis mangrove terdapat di Segara Anakan (Pribadi, 2007). Kawasan Sapuregel, Pelawangan Timur memiliki hutan mangrove dengan kerapatan yang cukup tebal dan terdiri dari beberapa spesies mangrove yang biasanya merupakan formasi dari hutan yang cukup matang dengan substrat yang stabil (Pribadi, 2007). Mangrove merupakan daerah makanan (feeding ground) dan asuhan (nursery ground) bagi beberapa jenis ikan dan udang baik ikan yang menetap di estuaria atau pun ikan laut yang

6 melakukan migrasi ke ekosistem mangrove dalam daur hidupnya (King, 2007; Laegdsgaard & Johnson, 2001).

Perubahan kondisi lingkungan seperti perubahan kawasan sekitar perairan menjadi area pertanian banyak ditemukan di bagian barat Segara Anakan, namun demikian bagian timur juga mengalami masalah yang sama walaupun dalam skala yang lebih kecil (Ardli, 2007).

Komunitas ikan di Segara Anakan cukup beragam. Sebanyak 45 jenis ikan yang termasuk dalam 37 famili ditemukan di Segara Anakan (Ecology team, 1984;Djuwito, 1985). Dari 45 jenis tersebut 17 jenis merupakan jenis ikan yang selalu melakukan migrasi (migratory species) ke Segara Anakan, 12 jenis merupakan jenis yang menetap (residential species) di perairan tersebut sedangkan 16 jenis lainnya merupakan jenis ikan yang sesekali memasuki perairan tersebut (Ecology team, 1984). Sedangkan menurut Dudley (2000), dari hasil tangkapan di Segara Anakan, diperoleh 60 jenis ikan dan ditemukan pula juvenile dari Scianidae, Leioghnatidae, Anguillidae, Ariidae, Carangidae, Clupeidae, Engraulidae, Haemulidae, Sparidae, Synodontidae, Teraponidae dan Trichiuridae.

2.2 Biologi Larva Ikan

Dalam siklus hidupnya, ikan mengalami suatu fase yang disebut larva. Larva ikan merupakan fase atau tingkatan ikan setelah telur menetas. Awal daur hidup ikan meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juvenil (Effendie, 1997). Stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton yaitu sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum, 1993).

Larva ikan yang baru menetas ditandai dengan adanya yolk sac (kantong kuning telur) yang terletak di bagian bawah depan dan sebuah sirip tak berjari yang mengelilingi badan larva, mulai dari punggung, ekor sampai pada bagian bwah sebatas belakang anus. Pada beberapa jenis ikan batas sirip keliling terletak tepat di belakang kuning telur (Romimohtarto & Juwana, 2004).

Secara garis besar, perkembangan larva dibagi menjadi dua fase yaitu prolarva dan post larva (Russel,1976 dalam Bensman,1990). Pro larva merupakan fase dimana larva masih mempunyai kantung kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang fungsinya belum diketahui

7 (Gambar 2a). Sirip dada dan ekor sudah ada tetapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur ini tidak mempunyai sirip perut yang nyata melainkan hanya bentuk tonjolan saja. Sistem pernafasan dan peredaran darah pun belum sempurna sedangkan mulut dan rahang belum berkembang serta ususnya masih berupa tabung yang lurus. Makanannya didapat dari sisa kuning telur yang belum habis diserap.

Postlarva adalah fase larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut secara morfologi sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya. Sel-sel pigmen berkembang menurut pola-pola yang menjadi karakter berbagai jenis post larva ikan. Tanda-tanda pengenal lainnya adalah bentuk dan ukuran badan serta bentuk ukuran sirip. Pada perkembangan larva lebih lanjut, sirip ekor berkembang diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Vertebrata dan tulang-tulang iga mengeras dan dengan perubahan –perubahan pigmentasi badan maka post larva mencapai tingkat benih.

Pada fase post larva secara morfologi larva ikan mengalami beberapa tahap perkembangan hingga dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu

preflexion, flexion dan postflexion. Preflexion adalah bentuk tahap

perkembangan larva dimana mulai terbentuk fleksi (lekukan) pada bagian notochord (Gambar 2 B). Flexion adalah bentuk tahap perkembangan yang ditandai dengan adanya fleksi pada notochord dan berakhir pada tulang hypural membentuk posisi vertical (Gambar 2C) sedangkan postflexion adalah tahap perkembangan larva yang ditandai dengan pembentukan sirip ekor (yang merupakan elemen hypural vertical) hingga perkembangan bagian meristik eksternal seperti pada bagian sirip (Gambar 2 D).

8 A. pro larva dengan kantung kuning

telur (yolk sac) B. fase preflexion

C. fase flexion D. fase postflexion

Gambar 2. Tahap perkembangan morfologi larva ikan (sumber : Kendall et al.,1983)

Beberapa sifat taksonomik yang digunakan untuk mengenal larva ikan meliputi:

a) Berbagai struktur atau bentuk bagian tubuh, seperti mata, kepala, badan, lambung dan sirip (khususnya sirip dada)

b) Urutan munculnya sirip-sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang

c) Ukuran larva

d) Pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanofora)

e) Tanda-tanda yang sangat khas seperti lipatan sirip yang membengkak, sirip yang memanjang dan terubah, jenggot pada dagu, duri pada pre operculum dan sebagainya

Karakter melanophora merupan ciri diagnostik utama dalam mengidentifikasi spesies pada stadia post larva. Perbedaan bentuk dan pola melanophora dan distribusinya dapat dibagi dengan jelas. Kesamaan antar spesies dapat dilihat dari ada atau tidaknya melanophora atau posisi dimana melanophora berada. Lokasi melanophora biasanya terletak di bagian eksternal dari epidermis atau dermis, bagian internal peritoneum, di atas atau di bawah kolom vertebral dan di daerah otoctystic.

9

2.3 Faktor-Faktor Lingkungan yang Berperan dalam Kehidupan Larva Ikan

Keberadaan dan sebaran hewan laut termasuk plankton larva tidak terjadi begitu saja, tetapi sebagai hasil dari kejadian-kejadian yang teratur yang berjalan terus menerus berupa faktor-faktor lingkungan tunggal atau ganda yang menata bentuk sebaran, kelulushidupan dan kepadatan hewan laut tersebut. Beberapa yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva adalah kualitas perairan, makanan, deteksi predator dan kemampuan menghindar (Esteves et al., 2000; Garcia et al., 2001; Patrick, 2008). Faktor-faktor lingkungan laut yang diketahui mempengaruhi kehidupan hewan laut termasuk pada fase larva adalah faktor fisik, kimiawi dan biologi. Fakor fisik terdiri dari suhu, tingkat keasinan (salinitas), tekanan, penyinaran atau cahaya, gelombang, arus dan pasang surut.

Pengaruh suhu pada plankton larva tidak seragam di seluruh perairan dan terhadap masing-masing kelompok atau populasi. Suhu mempengaruhi perilaku larva seperti kecepatan berenang, pertumbuhan dan durasi larva seperti yang ditemukan pada larva ikan karang Amphiprion melanopus (Green & Fisher, 2004).

Perairan pesisir seringkali mengalami fluktuasi salinitas. Hewan akuatik yang hidup di perairan ini sudah terbiasa dengan kondisi fluktuasi tersebut namun bagi sebagian lainnya termasuk pada fase larva tidak dapat mentolerir kondisi tersebut sehingga dengan demikian faktor salinitas akan mempengaruhi kehidupannya. Penelitian yang dilakukan Barletta-Bergan et al. (2002), menunjukkan bahwa fluktuasi salinitas mempengaruhi variasi jumlah spesies dan struktur komunitas larva ikan di Estuaria Caete’.

Cahaya mempunyai pengaruh secara tidak langsung yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis fitoplanktton yang menjadi tumpuan hidup hewan laut karena menjdi sumber makanan. Selain itu faktor cahaya mempengaruhi dalam pergerakan ruaya (vertical migration). Sebates (2004) menemukan bahwa distribusi larva ikan secara vertikal pada siang hari berada pada kolom air bagian atas sedangkan pada malam hari larva ikan lebih banyak ditemukan di lapisan air yang lebih dalam.

Arus memainkan peranan penting pada larva ikan terutama pada pola distribusi. Arus akan membawa larva ikan masuk atau pun keluar dari perairan estuaria. Adakalanya arus membawa larva ikan yang masih rentan ke habitat yang ekstrim sehingga apabila larva belum siap terhadap kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidupnya (Joyeux, 1999).

10 Faktor kimiawi yang berperan bagi kehidupan biota laut termasuk larva ikan adalah oksigen terlarut, karbondioksida, pH (derajat keasaman) dan senyawa organik lainnya. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh organisme perairan dalam metabolism tubuhnya. Oksigen terlarut dibutuhkan dalam proses respirasi semua organisme termasuk larva ikan. Oksigen terlarut juga berpengaruh dalam proses oksidasi senyawa kimia lainnya di perairan. Derajat keasaman (pH) mempengaruhi proses kimiawi yang terjadi di perairan. Penurunan pH perairan laut menyebabkan gangguan reoroduksi pada biota laut seperti kelompok Echinodermata, ikan dan udang (Ros, et al.,2011).

Faktor biologi yang berperan dalam kehidupan larva ikan diantaranya adalah makanan, predator dan kompetitor (Romimohtarto & Juwana, 1998; Esteves et al., 2000). Makanan bagi larva ikan adalah fitoplankton. Fitoplankton merupakan produsen dalam jaring-jaring makanan di ekosistem perairan, sehingga kelimpahan fitoplankton di perairan menjadi pendukung bagi keberlanjutan sumberdaya larva. Larva ikan sangat rentan terhadap gangguan predator. Predator larva dapat berupa ikan yang lebih besar dan bersifat karnivora dan ubur-ubur. Laju kelulushidupan larva di perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan predator. Kompetitor larva ikan dapat berupa sesama jenis larva ikan, larva biota lainnya atau pun ikan yang lebih besar. Persaingan selalu terjadi antar organisme dalam suatu ekosistem demikian pula dengan larva ikan. Persaingan dapat terjadi dalam memperebutkan sumberdaya makanan yaitu fitoplankton ataupun persaingan ruang (habitat) yang ditempati. Fitoplankton bukan hanya sumber makanan bagi larva ikan saja, namun juga bagi organisme perairan lainnya termasuk larva udang, kepiting, Moluska serta ikan-ikan herbivora dan omnivora yang telah dewasa.

2.4 Pengetahuan Larva Ikan dalam Bidang Perikanan

Pengetahuan mengenai awal daur hidup ikan (larva ikan) mempunyai kaitan erat dengan berbagai aplikasi dalam bidang perikanan seperti budidaya, estimasi jumlah stok ikan, monitoring kondisi kualitas perairan serta penetapan kawasan konservasi dan refugia ikan. Upaya untuk mempelajari larva dan telur ikan sudah dikenal sejak beberapa tahun lampau bahkan di Indonesia lebih dari 100 tahun yang lalu di daerah pesisir Pulau Jawa diketahui adanya usaha pertambakan bandeng. Pada masa itu banyak orang yang mengumpulkan nener bandeng di sepanjang pantai untuk bibit yang dibesarkan di dalam tambak

11 sampai ukuran yang dapat dipanen. Para pengumpul dengan mudah mengenal nener bandeng yang tak lain adalah fase larva dari ikan bandeng.

Mempelajari variasi kelimpahan dan distribusi larva ikan pada suatu habitat merupakan hal penting untuk memahami mekanisme dalam proses rekrutmen serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (Mitchell, 1994; Quist, et al., 2004; Shoji & Tanaka, 2008). Informasi mengenai distribusi, kelimpahan dan pertumbuhan larva ikan di perairan laut merupakan hal penting yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan (Van der Lingen & Hugget, 2003). Pengetahuan mengenai pertumbuhan dan mortalitas larva ikan di suatu habitat perairan diperlukan untuk dapat mengetahui laju serta tingkat keberhasilan rekrutmen yang menjamin keberlanjutan stok (Smith, 1981). Selain itu, dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan di suatu habitat seringkali dilakukan upaya perlindungan habitat seperti menetapkan daerah perlindungan laut (Marine Protected Area) dan kawasan Perikanan Refugia (Fisheries Refugia). Salah satu faktor penting dalam penetapan kawasan tersebut adalah informasi mengenai daerah asuhan yang diindikasikan dengan keberadaan larva dan telur ikan di daerah tersebut (Ward, et al., 2001; UNEP, 2007).

Pengetahuan mengenai transpor larva dari satu habitat seperti mangrove ke habitat lain seperti terumbu karang menjelaskan keterkaitan antara ekosistem tersebut dan peranannya sebagai habitat asuhan yang potensial bagi ikan sehingga perlu dipertahankan kondisinya (Huijbers,et al., 2008). Kondisi kelimpahan dan komposisi larva ikan di suatu habitat juga dapat menjadi indikator kualitas suatu habitat (Mc Kinley et al., 2011). Selain itu, pengetahuan mengenai larva ikan terutama ikan ekonomis penting juga penting dalam pengembangan kegiatan budidaya (The Research Council of Norway, 2009). Dengan demikian mempelajari fase larva ikan menjadi bagian yang cukup penting dalam pengelolaan perikanan.

2.5 Ekosistem Estuaria dan Asosiasinya dengan Komunitas Ikan

Menurut Blaber (2000), estuaria merupakan perairan semi tertutup yang memiliki hubungan dengan laut dimana perairan tersebut mendapatkan pengaruh dari air laut dan air tawar dari daratan. Wilayah estuaria dapat berupa muara sungai dan delta-deltabesar, hutan mangrove dekat estuaria, teluk dan rawa pasang surut.

12 Ekosistem estuaria seringkali berasosiasi dengan mangrove sehingga sering disebut dengan ekosistem mangrove. Mangrove didefinisikan sebagai vegetasi dengan tipe batang keras yang berada di lingkungan laut dan payau (Giesen et al., 2006). Ekosistem mangrove memiliki fungsi penting bagi kehidupan berbagai jenis ikan termasuk ikan ekonomis penting yakni sebagai habitat pemijahan dan asuhan (Ikejima et al,2003; Giesen et al., 2006). Penelitian yang dilakukan Sasekumar et al. (1992) menemukan sebanyak 119 spesies ikan di daerah mangrove di Selangor, Malaysia yang mayoritas adalah fase juvenile. Sedangkan Tse,et al., (2008) mendapatkan bahwa komunitas ikan memiliki ketergantungan terhadap ekosistem mangrove dalam penyediaan sumber makanan bagi fase larva dan juvenilnya.

McHugh (1984) dalam Dando (1984) dan Kennish (1990) mengelompokkan ikan-ikan estuaria menjadi 6 kelompok yang menggunakan estuaria sebagai tempat pemijahan, migrasi dan tempat hidupnya yaitu:

1. Passage Migrants, yaitu spesies anadromus dan katadromus misalnya Salmoidae, Petromyzonidae dan Anguilla spp.

2. Spesies ikan tawar yang sering secara musiman masuk ke daerah yang bersalinitas rendah untuk mencari makan. Ikan-ikan ini merupakan ikan dari daerah air tawar yang masuk ke dalam estuaria karena banjir, contohnya adalah Carrasius carrasius, Leuciscus leuciscus, Thymallus thymallus. Beberapa diantara spesies tersebut misalnya Leuciscus leuciscus membentuk populasi yang permanen di daerah pasang surut air tawar di sepanjang estuaria.

3. Spesies ikan air laut yang masuk ke mulut estuaria sebagai opportunist feeders. Ikan-ikan ini sering masuk dan meninggalkan daerah pasang surut, misalnya ikan dari Estuaria Tamar di S.W. England yakni Squatina squatina, Conger conger dan Scomber scombrus.

4. Ikan estuaria yakni ikan-ikan yang menghabiskan sebagian besar atau seluruh hidupnya di daerah euryhalin. Ikan estuaria yang sesungguhnya, menghabiskan seluruh siklus hidupnya di daerah estuaria, contohnya adalah ikan-ikan gobid seperti Pomatoschistus microps, Fundulus confluentus, dan Hypsoblennius henzti. Ikan-ikan estuaria lain meninggalkan estuaria dalam periode yang singkat, biasanya untuk melakukan pemijahan misalnya ikan Platichthys flesus, Brevoortia tyrannus dan Morone Americana.

13 5. Ikan laut yang menggunakan estuaria sebagai daerah asuhan (nursery

ground). Ikan-ikan ini merupakan kelompok dominan di daerah estuaria Atlantik, diantaranya Clupea harengus, C.sprattus, Pogonia cromis, Dicentranchus labrax, Solea solea Idan Paralichthys dentatus.

6. Ikan air tawar dan air laut yang masuk ke daerah estuaria dalam bentuk dewasa untuk melakukan pemijahan, contohnya Galaxia spp dan Pseudopleuronectes americanus.

Ekosistem estuaria merupakan jalan masuk dan keluar bagi ikan-ikan diadromus (anadromus dan katadromus). Ikan anadromus menggunakan estuaria sebagai jalan masuk dari laut menuju sungai atau danau, sebaliknya ikan katadromus menggunakan estuaria sebagai jalan keluar dari sungai atau danau untuk bermigrasi ke laut.

Ikan memiliki pola migrasi secara musim (temporal) dan ruang (spasial). Di daerah estuaria pola migrasi ini terlihat jelas. Ikan yang bermigrasi dari air laut ke air tawar untuk bertelur (spesies anadromus) misalnya dari famili Serranidae, Petromyzontidae, Clupeidae, Osemeridae, Salmolidae dan Acipenseridae, sedangkan ikan yang melakukan migrasi dari air tawar ke air laut untuk bertelur (spesies katadromus) seperti Anguilla sp (Kennish,1990). Ikan melakukan migrasi dalam rangka bertelur, mencari makan, kawin dan mencari perlindungan. Menurut Dando (1984), banyak spesies ikan laut yang masuk atau naik ke perairan tawar untuk bertelur tetapi pada masa larva dan postlarvanya menggunakan daerah estuaria sebagai tempat asuhannya.

14

3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di estuaria Pelawangan Timur, Segara anakan, Cilacap (Gambar 3). Penelitian berlangsung pada bulan Juni–Agustus 2011. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval waktu 2 (dua) minggu sekali. Penentuan stasiun pengambilan sampel didasarkan pada masing-masing wilayah estuaria yakni daerah aliran sungai, muara, serta daerah pedalaman (hulu) sungai di antara ekosistem mangrove. Adapun karakteristik masing-masing stasiun tertera pada Tabel 1.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian (ket: I:Muara Donan, II:Donan, III: Cigintung, IV: Sapuregel, V: Pisangan, VI: Kembang Kuning)

I

II

III

IV

V

VI

15 Tabel 1. Lokasi stasiun pengambilan contoh

Stasiun Lokasi Posisi

Geografis Karakteristik

I. Muara Donan 07o 45 ’143” S 109o 00’ 612”E

- Terletak di mulut kanal Timur

- Pengaruh pasang surut air laut dominan

- merupakan alur kapal besar

- dijumpai beberapa alat tangkap apong

II. Donan 07o42’ 653”S - 108o 59’ 553”E

- aliran sungai Donan

- sekitarnya merupakan daerah industri

- merupakan alur kapal besar

- dekat pemukiman penduduk

- dasar perairan: berlumpur (warna hitam)

- pasang surut melalui kanal Timur III. Cigintung 07o40’ 099” S

108o59’ 707’’E

- Daerah pedalaman

- Merupakan aliran sungai diantara ekosistem mangrove dengan jenis Rhizopora, Avicennia

- Minim aktivitas penangkapan IV. Sapuregel 07o 43 ’ 114’’ S

108o 58 282”E

- merupakan muara Sungai Sapuregel

- merupakan daerah penangkapan dengan alat tangkap apong

V. Pisangan 07°41’ 262”S

108°57’ 370”E - merupakan daerah pedalaman yang berupa aliran sungai dengan ekosistem mangrove di sekitarnya - tidak terdapat alat tangkap apong

VI. Kembang

Kuning

07°43’ 207”S

108°56’ 708”E - Aliran sungai Kembang Kuning - daerah penangkapan ikan dengan alat tangkap apong.

- merupakan alur menuju laguna sebelah barat

16

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang dibutuhkan meliputi alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel larva dan pengukuran parameter lingkungan

Dokumen terkait