• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manifestasi Sistemik Lupus Eritematosusterhadapkehilangan Tulang Kortikalmandibula Akibat Pemakaian Obat Kortikosteroid Pada Komunitas Cinta Kupu Medan Berdasarkan Radiografi Panoramik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Manifestasi Sistemik Lupus Eritematosusterhadapkehilangan Tulang Kortikalmandibula Akibat Pemakaian Obat Kortikosteroid Pada Komunitas Cinta Kupu Medan Berdasarkan Radiografi Panoramik"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

MANIFESTASI SISTEMIK LUPUS

ERITEMATOSUSTERHADAPKEHILANGAN TULANG

KORTIKALMANDIBULA AKIBAT PEMAKAIAN OBAT

KORTIKOSTEROID PADA KOMUNITAS

CINTA KUPU MEDAN BERDASARKAN

RADIOGRAFI PANORAMIK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

RANI ANGGITA P. NIM: 080600073

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

FakultasKedokteran Gigi

DepartemenRadiologi Dental

Tahun 2014

Rani Anggita P.

Manifestasi Lupus Erythematosus Sistemik terhadap Kehilangan Tulang Kortikal

Mandibula Akibat Pemakaian Obat Kortikosteroid pada Komunitas Cinta Kupu

Medan Berdasarkan Radiografi Panoramik

xii + 54 halaman

Lupus Eritematosus Sistemik atau dikenal juga dengan Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun mempengaruhi setiap

organ atau sistem dalam tubuh. Osteoporosis rahang akibat pemakaian obat

kortikosteroid merupakan manifestasipenyakit lupus eritematosus sistemik.

Radiografi panoramik digunakan untuk melihat bentuk kerusakan tulang rahang pada

penderitalupus eritematosus sistemik.

Metode penelitian merupakan deskriptif (crossectional), dengan sampel 32

orang. Hasil regio kiri C1= 4(12,5%) gambaran normal, C2= 27 (84,4%)gambaran

erosi ringan, C3= 1 (3,1%)gambaran erosi parah (poreus). Regio kanan C1= 2 (6,3%)

(3)

2(6,3%) gambaran erosi parah (poreus). Hubungan lama (waktu) penggunaan obat

kortikosteroid dengan kerusakan tulang kortikal mandibulaadalah sedang.

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipersetujuiuntukdipertahankan dihadapantim penguji skripsi

Medan, 12 Juni 2014

Pembimbing: Tanda tangan

(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi initelah dipertahankan dihadapantim penguji padatanggal12 Juni 2014

TIM PENGUJI

KETUA : Dr. Trelia Boel, drg., M. Kes, Sp. RKG(K)

ANGGOTA : 1.H. Amrin Thahir, drg.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada ayahanda H. Ramula. H. Purba dan ibunda tercinta Hj. Arnia Riosana Harahap atas segala kasih sayang, doa, dan dukungan serta segala bantuan baik berupa moril ataupun materil yang tidak akan terbalas oleh penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada abangda Maulana Febrino Purba S. IP., MM., Arief Marizki Purba S. E., S. Sos., M. Si., Rangga Novio Purba S. Sos., dan Kakanda Silveria Fahdevi S.T., serta keponakan tersayang Hamam Silvio Abyasa Purba yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing Dr. Trelia Boel, drg., M. Kes, Sp. RKG(K), yang telah bersedia meluangkan waktunya, memberikan semangat, motivasi, bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., C. Ort., Ph.D., Sp. Ort., selaku dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. H. Amrin Thahir, drg., CekDaraManja, drg., Sp. RKG, Dewi Kartika, drg., dan Maria Sitanggang, drg., atas segala masukan dan saran yang telah diberikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

(7)

4. Ibu Maya selaku dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Bidang Statistik yang telah banyak membantu dalam penyempurnaan hasil penelitian ini.

5. Pegawai Unit RadiologiKedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara (Kak Rani, Kak Tetty dan Bang Ari).

6. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis selama menjalani masa pendidikan.

7. Ibu Hj. Irawati Nasution S.H., M.H selaku ketua Yayasan Lupus “CINTA KUPU” Medan, Sumatera Utara.

8. Sahabat-sahabat tersayang (Rizki amalia putri, T.Melisa, Indah Pratiwi, Khairunisaq, Nadrah Husnah, Mona, Arie Aditya Paramitha, Ikbal, Devi Ayu Putri, dan Okti ) yang selalu memberikan dukungan moril kepada penulis dalam penelitian ini

9. Semua teman-teman Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam pengantar ini.

Akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi dan seluruhnya.

Medan, 12 Juni 2014 Penulis

(………....) Rani Anggita P.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN . ...

HALAMAN PENGESAHAN ...

KATA PENGANTAR ... v

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiografi Panoramik ... 6

2.2 Radiografi Panoramik Konvensional ... 7

2.3 Radiografik Panoramik Digital ... 8

2.4 Definisi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)... 10

2.5 Epidemiologi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)... 10

(9)

2.12 Klasifikasi Osteoporosis ... 23

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 34

3.6 Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 36

3.7 Prosedur Penelitian ... 37

4.2 Hubungan antara Lama (Waktu) Penggunaan Obat Kortikosteroid dan Kerusakan Tulang Kortikal Mandibula .... 41

BAB 5 PEMBAHASAN ... 43

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 47

Saran ... 47 DAFTAR PUSTAKA ... 48

(10)

DAFTAR TABEL

TabelHalaman

1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997… ... 17

2. Efek samping pemakaian kortikosteroid ………... ... .... 19

3. Kriteria Skor-T menurut WHO ………... ... 27

4. Kerusakan tulang kortikal mandibula ... ... ... 40

5.Hubungan lama (waktu) penggunaan obat dan kerusakan tulang kortikal mandibula ... 41

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar ... Halaman

1. Gambaran foto panoramik ……...……….. ... 6

2. Butterfly Rashdi bagian hidung dan pipi . ...…..…………. 14

3. Tulang kortikal dan trabekular ………... 21

4. Normal and osteoporotic trabecular bone ... .... 24

5. Indeks kortikal mandibula ... . 29

6.Nilai estimasi daritulang kortikal………...………... ... 30

7. Nilai estimasi tulang kortikal ... 37

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Kuesioner penelitian

2. Hasil perhitungan spss

3. Surat konsultasi bagian biostatistika FKM

4. Surat persetujuan komisi etik (Ethical Clearance)

5. Lembar penjelasan kepada calon responden

6. Surat pernyataanpersetujuansubjekpenelitian (Informed Consent)

7. Kuesioner riwayat penyakit

8. Surat persetujuan penelitian komunitas Cinta Kupu

9. Jadwal pelaksanaan penelitian

10. Rincian biaya penelitian

(13)

FakultasKedokteran Gigi

DepartemenRadiologi Dental

Tahun 2014

Rani Anggita P.

Manifestasi Lupus Erythematosus Sistemik terhadap Kehilangan Tulang Kortikal

Mandibula Akibat Pemakaian Obat Kortikosteroid pada Komunitas Cinta Kupu

Medan Berdasarkan Radiografi Panoramik

xii + 54 halaman

Lupus Eritematosus Sistemik atau dikenal juga dengan Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun mempengaruhi setiap

organ atau sistem dalam tubuh. Osteoporosis rahang akibat pemakaian obat

kortikosteroid merupakan manifestasipenyakit lupus eritematosus sistemik.

Radiografi panoramik digunakan untuk melihat bentuk kerusakan tulang rahang pada

penderitalupus eritematosus sistemik.

Metode penelitian merupakan deskriptif (crossectional), dengan sampel 32

orang. Hasil regio kiri C1= 4(12,5%) gambaran normal, C2= 27 (84,4%)gambaran

erosi ringan, C3= 1 (3,1%)gambaran erosi parah (poreus). Regio kanan C1= 2 (6,3%)

(14)

2(6,3%) gambaran erosi parah (poreus). Hubungan lama (waktu) penggunaan obat

kortikosteroid dengan kerusakan tulang kortikal mandibulaadalah sedang.

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lupus Eritematosus Sistemik atau yang dikenal juga dengan Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi yang tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi auto antibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 14-64 tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 11:1.1

Menurut literatur yang dilaporkan bahwa di Amerika Serikat ditemukan 1,8 sampai 7,6 per 100.000 orang penduduk terdiagnosis sebagai orang dengan penyakit lupus (Odapus). Beberapa gejala awal yang dialami pasien lupus, antara lain sakit pada sendi dan tulang, demam berkepanjangan.Sedangkan gejala yang dialami pasien pada tahap lanjut penyakit lupus, diantaranya bercak merah berbentuk seperti kupu-kupu (butterfly rash), ujung jari berwarna pucat kebiruan, kejang, sakit kepala, stroke, dan keguguran pada ibu hamil.1,2

(16)

bahwa paparan sinar matahari merupakan salah satu penyebab penyakit lupus, sehingga membuat penderita menghindari paparan sinar matahari. Maka pada keadaan tersebut,dapat menyebabkan kekurangan vitamin D, sehingga memberikan kontribusi untuk massa tulang berkurang.1,2

Beberapa penelitian telah menemukan peningkatan kehilangan tulang pada penderita SLE.Bahkan, wanita yang menderita penyakit lupus lebih mungkin mengalami kerusakan pada tulang sendi yang dapat menyebabkan osteoporosis dibandingkan mereka yang tanpa penyakit lupus.3Manifestasi sistemik dari SLE sangat bervariasi, salah satunya adalah manifestasi muskoloskeletal.Sistem ini melibatkan berbagai jenis jaringan baik sendi, otot, tulang, jaringan lunak dan struktur pendukung tulang sendi seperti tendon, ligamen, dan bursae.Kelainan sendi merupakan kelainan yang paling banyak terjadi yang mana radang sendi terjadi sebanyak 90% pada penderita Odapus. Obat-obatan merupakan salah satu manifestasi dari muskoskeletal yang nantinya dapat menyebabkan osteoporosis atau kehilangan tulang.1,2

Menurut Almehed et al., (2008), pada 163 wanita SLE di Swedia, yang dikategorikan pada SLE yang menggunakan kortikosteroid menyatakan 55% dari wanita berusia 47 tahun cenderung berdampak postmenopausal. Formigaetal., (2000)dinilai padaBMD(Bone Mineral Density)dari waktu ke waktupada 25 pasiendenganSLE, setelah 18 bulantidak adapenurunan yang signifikan dalamBMD(Bone Mineral Density).Yee et al., (2000), menunjukkan 9% dari 242 pasien mengalami patah tulang non traumatik sejak di diagnosis SLE. Lebih dari 90% dari pasien yang menderita patah tulang dalam penelitian ini memiliki BMD yang rendah dan 31,8% adalah osteoporosis.4

(17)

Dalam mendiagnosis dan melakukan perawatan terhadap pasien, dokter gigi sering menggunakan radiografi panoramik.1Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa, radiografi panoramik berguna mengidentifikasi wanita dengan kehilangan tulang (osteoporosis)yang tidak terdeteksi dengan pengujian BMD(Bone Mineral Density) menggunakan DXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry) yang tidak tersedia secara luas. Penelitian di Jepang (2002) menyatakan radiografi panoramik digunakan pada sekitar 65.000 instansi dokter gigi untuk mengidentifikasi osteoporosis.6

Ardakani FE seorang dokter gigi (2004) melakukan penelitian tentang penggunaan radiografi panoramik dalam mengindentifikasi osteoporosis pada wanita.Penelitian ini melaporkan bahwa untuk setiap pertambahan tahun masa menopause, maka ketebalan korteks mandibula akan turun sebanyak 0,1 mm. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kribbs (2006) yang membandingkan ketebalan angular korteks mandibula wanita sehat dan wanita osteoporosis dan Kribss menemukan bahwa korteks mandibula wanita osteoporosis lebih tipis dibandingkan wanita sehat.7,8

Taguchi et al., (2006), pada 158 pasien menyatakan untuk pemeriksaan densitometri tulang, dokter gigi dapat merujuk wanita yang berusia kurang dari 65 tahun melakukan tes hanya dengan temuan sinar-xpanorama. Vlasiadis et al., (2007),menentukanresorpsi tulang dan osteoporosis pada perempuan dengan kelompok umur yang berbeda.Mereka menemukan bahwa ketika lumbar tulang belakang T-score menurun,MTC (Mandibular Cortical Thickness) menurun secara signifikandan indeks ini berpengaruh pada jumlah gigi yang hilang.Mereka menyimpulkan bahwa dokter gigi memilikiInformasi sinar-x yang cukup untuk melakukan skrininguntuk osteoporosis.9

(18)

Di Indonesia terdapat sekitar 150.000 penderitalupus eritematosus sistemik yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan, berdasarkan data tahun 2002 di RSU Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 14% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung 291 Pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.8

Hal tersebut menunjukkan bahwa, semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia yang mengalami SLE setiap tahunnya. Untuk memperbaiki kualitas hidup para penderita lupus tersebut, saat ini telah didirikan sebuah komunitas lupus di Medan yaitu Cinta Kupu. Cinta Kupu didirikan pada tanggal 16 Oktober 2011 yang bertujuan untuk membantu sesama Odapus dengan cara berbagi informasi seputar penyakit lupus baik bersumber dari pengalaman maupun bersumber dari dokter ahli. Menurut survei pendahuluan peneliti, Odapus yang bergabung di Komunitas Cinta Kupu SUMUT terdiri dari 70 Odapus.11

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas dan belum adanya data tentang keadaan tulang kortikal mandibula pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan radiografi panoramik untuk melihat manifestasi penyakitlupus eritematosus sistemik terhadap kehilangan tulang kortikal mandibula di Komunitas Cinta Kupu SUMUT.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang timbul sebagaiberikut:

(19)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui kerusakan tulang kortikal mandibula pada penderita lupus eritematosus sistemikKomunitas Cinta Kupu Medan ditinjau dengan menggunakan radiografi panoramik.

1.3.2 Tujuan Khusus

Mengetahui bentuk kerusakan tulang kortikal pada penderita lupus eritematosus sistemikKomunitas Cinta Kupu Medan akibat pemakaian Obat Kortikosteroid ditinjau dengan menggunakan radiografi panoramik.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah:

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi informasi atau konstribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang kondisi tulang kortikal mandibula penderita SLE. Memberi informasi bagi dokter gigi dalam penegakan diagnosis, rencana perawatan, dan evaluasi hasil perawatan terutama pada pasien lupus eritematosus sistemik

1.4.2 Manfaat Aplikatif

Manfaat aplikatif dari penelitian ini adalah:

(20)

18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Radiografi Panoramik

Gambaran panoramik adalah sebuah teknik untuk menghasilkan sebuah gambaran tomografi yang memperlihatkan struktur facial mencakup rahang maksila dan mandibula beserta struktur pendukungnya dengan distorsi dan overlap minimal dari detail anatomi pada sisi kontralateral.12

Radiografi panoramik adalah sebuah teknik dimana gambaran seluruh jaringan gigi ditemukan dalam satu film.Foto panoramik dikenal juga dengan panorex atau orthopantomogram dan menjadi sangat popular di kedokteran gigi karena teknik yang sederhana, gambaran mencakup seluruh gigi dan rahang dengan dosis radiasi yang rendah.Foto panoramik dapat menunjukkan hasil yang buruk dikarenakan kesalahan posisi pasien yang dapat menyebabkan distorsi.12

Gambar 1. Gambaran Foto Radiografi Panoramik12

(21)

19

1.Adanya lesi tulang atau ukuran dari posisi gigi terpendam yang menghalangi gambaran pada intra-oral.

2.Melihat tulang alveolar dimana terjadi poket lebih dari 6 mm.

3.Untuk melihat kondisi gigi sebelum dilakukan rencana pembedahan. Foto rutin untuk melihat perkembangan erupsi gigi molar tiga tidak disarankan.

4.Rencana perawatan ortodonti yang diperlukan untuk mengetahui keadaan gigi atau benih gigi.

5.Mengetahui ada atau tidaknya fraktur pada seluruh bagian mandibula. 6.Rencana perawatan implan gigi untuk mencari sinar-x.13

2.2 Radiografi Panoramik Konvensional

Radiografi panoramik konvensional menggunakan film panoramik yang

merupakan film ekstra oral dimana film disinari diluar mulut pasien.Karena film sangat sensitif terhadap cahaya, untuk dapat melihat hasil paparan setelah film terpapar sinar-x maka film tersebut harus diproses lebih dahulu baik melalui processing (pencucian) manual dikamar gelap maupun melalui processing secara otomatis menggunakan automatic machine processor.Apabila dilakukan secara manual maka ruang gelap harus memiliki ventilasi yang baik atau menggunakan pendingin udara (AC) dan operator harus menggunakan sarung tangan sesuai prosedur untuk menghindari kontak dengan larutan kimia.13

A. Prinsip Kerja Radiografi Panoramik Konvensional

Prinsip kerja film konvensional dapat dijelaskan seperti gambar analog.Gambar pada film terjadi karena interaksi sinar-x dengan elektron dalam emulsi film yang menghasilkan gambar latent dan kemudian diperlukan proses kimiawi yang akan merubah gambar latent kedalam gambar sebenarnya

(visible).13Film radiografi konvensional terdiri dari ikatan halida perak didalam

(22)

20

Dalam film ekstra oral, secara tidak langsung reseptor digunakan untuk merekam gambar.Film tipe ini sensitif terhadap foton cahaya yang dipancarkan oleh layar penguat (intensifying screen). Film yang tersusun dari kristal halida perak ini memiliki sifat lebih sensitif terhadap cahaya dibandingkan terhadap sinar x.Penggunaan layar penguat adalah untuk mengurangi dosis dan dapat digunakan jika tidak membutuhkan detail yang baik.14 Menggunakan film dengan kecepatan tinggi adalah cara untuk mengurangi dosis radiasi pada pasien sampai 50% tanpa menggangu ketepatan diagnosis. 13

B. Kekurangan dan Kelebihan Radiografi Panoramik Konvensional 1. Kekurangan Film Konvensional, yaitu:13

a) Diperlukan biaya pembelian film dan larutan prosesing.

b) Diperlukan biaya untuk peralatan prosesing dan ruangan gelap.

c) Dibutuhkan banyak waktu untuk prosesing film dan perawatan prosesor. d) Penggunaan cairan kimia yang bersifat toksik terhadap lingkungan. e) Permasalahan dalam penyimpanan dan pengambilan kembali. 2. Kelebihan Film konvensional, yaitu:13

a) Dibutuhkan biaya awal yang rendah terutama untuk prosesingmanual. b) Tidak diperlukan waktu dan tenaga karena konvensional telah tersedia. c) Film konvensional memiliki resolusi lebih tinggi.

2.3 Radiografi Panoramik Digital

Radiografi digital merupakan bentuk dari gambaran sinar x dimana sensor digital digunakan untuk menggantikan film konvensional. Alat dan informasi mengenai radiografi digital tersedia dalam banyak sumber termasuk jurnal kedokteran gigi, internet dan promosi.1

A. Prinsip Kerja Radiografi Panoramik Digital

(23)

21

kepada paparan dan disusun pada baris dan grid pada sensor, tidak seperti kristal yang terdistribusi secara acak pada film standar. Namun demikian, tidak seperti film, sensor hanyalah berupa detektor radiasi dan gambar ditampilkan pada monitor.14

Signal yang dihasilkan oleh sensor merupakan signal analog. Sensor terhubung pada komputer dan signal akan disampling pada interval tertentu. Output dari masing-masing pixelakan dikuantifikasi dan dikonversi menjadi angka oleh frame gabber pada komputer. Rentang angka tersebut normalnya dimulai dari 0 sampai 256, dengan 0 berarti hitam dan 256 berarti putih. Warna lain merupakan gradasi warna abu-abu. 1

Jumlah tingkatan warna abu-abu berhubungan dengan resolusi kontras, dan ukuran pixel berhubungan dengan resolusi spatial.Kedua hal tersebut menentukan resolusi secara keseluruhan dari gambar.Resolusi juga dapat dijabarkan dalam pasangan garis permilimeter. Kebanyakan film E-speed konvensional memiliki resolusi 20 LP/mm sementara dengan radiografi digital rentang resolusi berada antara 7-10 LP/mm. Pengurangan resolusi tersebut tidak berpengaruh terhadap diagnosis klinik.14

Radiografi digital merupakan hasil interaksi antara sinar X dengan elektron pada pixel sensor elektronik (elemen gambar), konversi data analog menjadi data digital proses komputer, dan gambar yang ditampilkan pada layar komputer.13

B. Kelebihan dan Kekurangan Radiografi Panoramik Digital 1. Kelebihan radiografi digital, yaitu:13

a) Tidak diperlukan prosesing kimia dan mengurangi pencemaran lingkungan.

b) Penghematan waktu.

c) Penurunan dosis radiasi pada pasien

d) Persepsi pasien akan praktek dan klinik yang modern

(24)

22

f) Karena foto dalam bentuk elektronik, labeling dan mounting tidak diperlukan. Dan foto dapat dilihat hanya dengan beberapa kali klik.

g) Film dapat dikirim kemanapun dalam dokumen elektronik tanpa membuat duplikatnya.

h) Waktu penyinaran dapat dikurangi bahkan tanpa mengurangi kualitas hasil foto.

2. Kekurangan radiografi digital, yaitu:13

a) Diperlukan biaya yang besar untuk pembelian satu unit panoramik digital. b) Diperlukan tambahan monitor komputer, printer dan jaringan internet. c) Perbedaan cara dan sistem pengoperasian sehingga dibutuhkan waktu dan kemauan belajar digital.

2.4 Definisi Lupus Eritematosus Sistemik

Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang berarti serigala, sedangkan eritematosusdari bahasa latin dapat berarti kemerah-merahan. Sistemik sendiri dapat berarti berdampak di seluruh tubuhatau sistem internal.Sehingga, SLE didefinisikan sebagai salah satu penyakit auto imun kronis, yang mana sistem imun menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan. SLE timbul dengan remisi dan eksaserbasi, namun tidak bersifat menular.7,8

2.5 Epidemiologi Lupus Eritematosus Sistemik

(25)

23

berjumlah 1.500.000 orang dengan 100.000 Odapus baru ditemukan setiap tahunnya.16

Berdasarkan data Yayasan Lupus Indonesia, jumlah Odapus di Indonesia meningkat dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 yaitu tercatat 8018 orang, sementara di RS. Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE dari total pasien yang berobat ke Poliklinik Reumatologi selama tahun 2010. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia, jumlah penduduk yang mengalami SLE makin bertambah setiap tahunnya.17

2.6 Etiologi dan Faktor Predisposisi SLE

Lupus eritematosus sistemikmerupakan penyakit inflamasi yang etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti, serta manifestasi klinis perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam.Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Namun, diduga ada beberapa faktor predisposis yang berperan terhadap terjadinya SLE.Adapun faktor yang memicu seseorang menderita SLE, antara lain:1,2

a) Faktor genetik

Faktor genetik memberi pengaruh dengan meningkatkan penemuan auto imun dibandingkan dengan populasi lain. Berdasarkan riwayat keluarga dan kecenderungan meningkatnya SLE yang terjadi pada anak kembar identik menggambarkan adanya kemungkinan faktor genetik sebagai faktor predisposisi. Namun keterlibatan faktor genetik hanya 5-10%.1,2,12

b) Faktor imunologik 1. Antigen

(26)

24

2.Kompleks Imun dan Antibodi

Kompleks imun terdiri dari asam nukleat dan antibodi yang pada umumnya terdapat pada jaringan yang rusak pada pasien lupus eritematosus sistemik. Pasien dengan peningkatan sirkulasi kompleks imun juga menderita beberapa penyakit terutama ginjal. Komplek imun juga menyebabkan kerusakan jaringan di sistem saraf pusat, kulit, dan paru-paru.

c) Faktor hormonal

Faktor hormonal seks mempunyai peran penting dalam perkembangan dan penelitian klinis pada SLE. Pada Odapus perempuan dipengaruhi oleh status hormon esterogen, sehingga saat menstruasi,hamil dan melahirkan dapat pemicu kekambuhan, yang mana kadar esterogen pada Odapus ditemukan meningkat, hingga menyebabkan terjadinya gejala SLE yang lebih buruk.

Sedangkan pada Odapus laki-laki, ditemukan tingkat hormon androgen dan testosteron yang lebih rendah dibandingkan laki-laki normal.1,2

d) Faktor lingkungan 1. Infeksi Virus dan Bakteri

Agen infeksius seperti Epstein Barr Virus (EBV) pada anak-anak dapat menyebabkan lupus pada anak-anak serta bakteri streptococcus dan klebsiella.1,2

2. Paparan sinar UV

Sinar ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Hal ini disebabkan karena sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.1,2

3. Stres

(27)

25

bersangkutan yakni berupa penurunan imunitas Odapus hingga rentan infeksi virus.1,2

4. Obat-obatan

Obat pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan lupus (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :

1. Obat yang pasti menyebabkan lupus obat : kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

2. Obat yang mungkin menyebabka lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin.1,2

Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.1,2

2.7 Klasifikasi dan Gambaran Klinis

A. Klasifikasi

Menurut Myers SA and Mary HE, (2001) klasifikasi lupus eritematosus yaitu: 1. Lupus eritematosus sistemik(SLE)

(28)

26

2. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)

Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai Discoid Lupus Erythematosus (DLE).Lesi discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal secara permanen rusak. Lesi dapat merusak wajah dan kulit kepala.1,2

Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE (walaupun setengahnya memiliki ANA yang positif); namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE.1,2

Gambar 2 .Butterfly rash di bagian hidung dan pipi7

(29)

27

3.Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)

DILE ditemukan pada 10 % dari kasus-kasus lupus.Penyebabnya adalah mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Pada orang-orang tertentu akan muncul sensitifitas seperti gejala-gejala lupus ketika mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Gejala-gejala lupus tersebut akan menghilang jika obat penyebab lupus ini berhenti untuk dikonsumsi.1,2

B. Gambaran Klinis 1. Ginjal

Keterlibatan ginjal terdiri dari sekitar 50 sampai 70% pada pasien SLE dan merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Secara klinis penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik kemudian berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif dengan gagal ginjal.1,2

2. Sistem Saraf Pusat

Manifestasi sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada sekitar 20% pasien dengan SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP termasuk psikosis, stroke, kejang, dan myelitis dan berhubungan dengan prognosis keseluruhan yang buruk.1,2

3. Kardiovaskular

Keterlibatan kardiovaskular pada SLE dimanifestasikan oleh vaskulitis dan

perikarditis.Selain itu, kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner, hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting. Sebuah studi berbasis masyarakat, infark miokard, gagal jantung, dan stroke adalah 10 kali lebih mungkin terjadi pada wanita dengan SLE dibandingkan dengan populasi umum.1,2

(30)

28

utama morbiditas pada pasien. Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan tingkat tinggi antikoagulan.1,2

4. Muskuloskeletal

Manifestasi muskuloskeletal terjadi sekitar 95% pada pasien SLE dan

arthralgia merupakan gejala yang pertama sekitar 50% kasus artritis simetris non erosive paling sering menyerang tangan, pergelangan tangan dan lutut.

Pada pasien SLE deformitas sendi tetap jarang terjadi karena adanya keterlibatan ligamen dan tendon.Sebuah riwayat gejala yang berhubungan dengan sendi temporomandibular dilaporkan dalam dua pertiga kasus SLE dalam satu penelitian.Nekrosis avaskular dari tulang merupakan penyebab utama morbiditas dan biasanya berhubungan dengan terapi kortikosteroid.1,2

2.8 Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik

Manifestasi dari SLE sangat bervariasi yakni dapat melibatkan beberapa organ.Penyakit ini bisa timbul mendadak disertai tanda-tandanya terkena berbagai sistem organ tubuh, seperti kulit, persendian, ginjal, jantung, paru-paru, dan sistem saraf. Bila terjadi menahun, maka gejala pada satu sistem imun akan diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain dan dapat terjadi eksaserbasi atau remisi.1,2

Pada tahun 1997 American Collage Of Rheumatology membuat satu kriteria yang menjamin akurasi diagnosis lupus 98%. Berikut ini merupakan tabel kriteria SLE menurut Hochberg MC: updating the American Collage of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus Arthritis Rheum 40:1725, 1997).1

2.9 Terapi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

(31)

29

Pengobatan yang rutin dilakukan adalah obat-obatan dari golongan kortikosteroid.Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan kehilangan tulang atau disebut juga proses terjadinya osteoporosis pada Odapus.

Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.1,2

Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997 7

No Kriteria Batasan

Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial,

Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofi.

Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.

Ulkus mulut atau orofaring, umunya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.

Atritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.

(32)

30

2. Perikarditis

pemriksa atau terdapat bukti efusi pleura atau

2. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi pericardium.

1 Priteinuria menetap > 0,5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau

2. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritosit,

3. Hemoglobin, granular, tubular, atau campuran.

1. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit) atau

2. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit)

1. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau

2. Anti-Sm: terdapatnya anti bodi terhadap antigen nuklear Sm atau

3. Temuan positif terhadap antibodi antifofolipid yang didasarkan atas: 1) Kadar serum antibodi antikardiolipin

abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus anti koagulan positif

menggunakan metoda standard, atau 3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap

sifilis sekuramg-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidium.

11 Anti Nuklear Antibodi (ANA)

Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear

(33)

31

2.10 Efek SampingLupus Eritematosus Sistemik(SLE)

Efek samping pemakaian obat kortikosteroid pada penderita lupus eritematosus sistemikdapat dilihat pada tabel di bawah ini:1

Tabel 2. Efek Samping Pemakaian Kortikosteroid1

Sistem Efek Samping

Skeletal Osteoporosis, osteonekrosis, miopati

Gastrointestinal Penyakit ulkus peptikum (kombinasi dengan OAINS), Pankreatitis, Perlemakan hati.

Immunologi Predisposisi infeksi, menekan hipersensitivitas

Kardiovaskular Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan aterosklerosis, aritmia

Ocular Glaukoma, katarak

Kutaneous Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka terganggu, jerawat, buffalo hump,hirsutism

Endokrin Penampilan cushingoid, diabetes melitus, perubahan metabolisme lipid,perubahan nafsu makan dan meningkatnya berat badan, gangguan elektrolit, supresi HPA aksis, supresi hormon gonad

Tingkah laku Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif.

HPA, hypothalamic-pituitary-adrenal; OAINS, obat anti inflamasi non

steroid.

(34)

32

mg / hari, dengan prevalensi keseluruhan osteoporosis setinggi 18 % pada pengguna steroid.18

Kip dan rekan kerja menunjukkan peran paparan kortikosteroid dalam memprediksi tulang belakang lumbal dan leher femoralis BMD.24 Dalam studi ini dosis steroid kumulatif, durasi pengobatan steroid, puncak dosis steroid saat ini semua secara bermakna terkait dengan lumbar rendah atau femoralis BMD, bahkan setelah mengendalikan variabel penyakit yang berhubungan. Para penulis yang sama melaporkan prevalensi osteoporosis setinggi 13,4% di tulang belakang lumbal dan 6,3% pada pinggul pada 97 pasien lupus.18 Sebuah studi menarik berikutnya pada 82 wanita SLE pra dan pasca menopause dengan penulis yang sama menekankan, keparahan penyakit dan paparan kortikosteroid terkait negatif dengan total BMD tubuh dan massa bebas lemak.18

2.11 Struktur Tulang Manusia

Struktur tulang sangat penting untuk penilaian pada postur tubuh, mobilitas dan perlindungan organ. Massa tulang maksimum dicapai pada 25-30 tahun. Pergantian tulang yang konstan sekitar 10 % dari massa tulang setiap tahunnya, tulang melakukan resorpsi dan formasi yang ada secara bersamaan. Keadaan keseimbangan yang mempengaruhi tulang dapat terjadi di usia yang lebih tinggi, dengan menggunakan obat atau makanan yang buruk, yang mengakibatkan penurunan massa tulang.19

Secara garis besar tulang dikenal dengan dua tipe yaitu tulang korteks (kompak) dan tulang trabekular (berongga = spongy = cancelous). Bagian luar kedua tulang tersebut merupakan tulang padat yang disebut korteks tulang dan bagian dalamnya adalah trabekular yang tersusun seperti bunga karang. 20

(35)

33

terdiri dari lapisan padat kolagen yang mengalami mineralisasi, tersusun konsentris sejajar dengan permukaan tulang.20

Tulang korteks terdapat pada tulang panjang ekstremitas dan vertebra. Tulang spongiosa atau canselous atau trabekular mempunyai elastisitas lebih kecil dari tulang korteks, mengalami proses resorpsi lebih cepat dibandingkan tulang korteks. Tulang spongiosa terdapat pada daerah metafisis dan epifisi tulang panjang serta pada bagian dalam tulang pendek. 20

Gambar 3. Tulang Kortikal dan Trabekular pada Manusia 20

(36)

34

2.11.1 Sel-Sel Tulang

Unsur yang membentuk tulang adalah mineral 65%, matriks 35%, sel-sel osteoblast, osteoclast, osteocyt dan air.Matriks tulang kortikal dan tulang trabekular terdiri dari matriks organik dan anorganik. Komponen anorganik merupakan 65% dari seluruh masa tulang sedangkan, komponen organik sekitar 20% dan air 10%.29

Kolagen tulang merupakan komponen organik terbesar yang membentuk dan memungkinkan tulang menahan regangan sedangkan anorganik atau mineral berfungsi menahan beban tekanan. 20

Osteoklas membantu dalam penyerapan tulang.Osteoklas berasal dari linage sel hematopoetic, seperti makrofag, monosit dan sel dendritik. Di bawah pengaruh macrofag stimulating factor (M-CSF) dan aktivator reseptor NF ligand (RANKL).19,20

Osteoblas bertanggung jawab untuk pembentukan tulang dan regulasi diferensiasi osteoklas.Mereka berasal dari sel batang mesenchymal yang juga merupakan turunan dari adiposit, kondrosit, miosit dan fibroblas dalam stroma sumsum tulang. Beberapa faktor penting untuk diferensiasi osteoblas adalah protein

morphogenetic tulang ( BMP ), mengubah faktor pertumbuhan (TGFβ) dan (Wnt)

protein yang bertanggung jawab juga untuk aspek pertumbuhan sel osteoblas dan fungsi. Osteoblas dewasa mengembalikan tulang dengan membentuk osteoid tersebut.Osteoid mengandung protein matriks tulang seperti kolagen tipe I dan protein morphogenetic tulang (BMP). 19,20

(37)

35

2.12 Klasifikasi Osteoporosis

Osteoporosis diklasifikasikan atas: 1. Osteoporosis primer

Dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Dihubungkan dengan faktor resiko meliputi merokok, aktifitas, berat badan rendah, alkohol, ras kulit putih asia, riwayat keluarga, postur tubuh, dan asupan kalsium yang rendah. 21

a. Tipe I (post menopausal)

Terjadi 5-20 tahun setelah menopause (55-75 tahun). Ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Colles' fracture, dan berkurangnya gigi geligi. Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut. Dimana jaringan trabekular lebih responsif terhadap defisiensi estrogen.21

b. Tipe II (senile)

Terjadi pada pria dan wanita usia ≥ 70 tahun. Ditandai oleh fraktur panggul dan tulang belakang tipe wedge. Hilangnya massa tulang kortikal terbesar terjadi pada usia tersebut. 21

2. Osteoporosis sekunder

Dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Penyebabnya meliputi gangguan tiroid hiperparatiroidisme, hipertirodisme, multipel mieloma, gagal ginjal kronis, malnutrisi, pemakaian kortikosteroid yang lama.6

2.13 Osteoporosis pada Lupus Eritematosus Sistemik(SLE)

Kekuatan tulangatau struktursulituntuk mengukurin vivo, tetapimassa tulangdapat diukur denganteknikdensitometri. Pasien lupus memerlukan tes untuk mengetahui keadaan sendi tulang dan kepadatan tulang pada keadaan individu mereka. Salah satu tes untuk melihat kepadatan mineral tulang dikenal sebagai pemeriksaan densitas tulang.19,20,21

(38)

36

tulang dapat menyebabkan dampak buruk kepada individu dan sistem kekebalan tubuh. Osteoporosisadalah penyakittulang sistemikyang ditandai denganmassa tulang

yang rendahdankerusakanarsitekturmikrojaringan tulangyang mengakibatkanpeningkatan risikopatah tulang.20

Gambar 4. Gambaran Mikroskopis Tulang Normal dan Osteoporosis

Osteoporosis dapat bersifat primer; disebabkan oleh penuaan, menopause dan faktor gaya hidup seperti merokok, alkohol, aktivitas fisik yang rendah, paparan sinar matahari yang rendah dan tidak cukup asupan kalsium atau sekunder; disebabkan oleh penyakit atau obat-obatan, terutama kortikosteroid.21

2.14Tulang Kortikal Mandibula pada SLE

(39)

37

bawah.Lapisan sudutkortekspada rahang bawahtidak terlihatsebelum usia15 tahun.Osteoporosisdapatmempengaruhi semuatulang pada tubuh.3

Massa tulangsecara alamimeningkat dariembrio untukusia35-40tahun dan penurunan bertahap pada massa ini dimulai. Massapenurunanbagi perempuan 8% untuksetiap dekadedan3% laki-laki.Resorpsi tulangterutamaterlihat dalamtulang kortikal.Pria50% resorpsitulang kortikal padausia 80 tahun,Wanita50% pada usia 70tahundan100% usia90tahun. Melalui prosesosteoporosis,

tulangtrabeculardipengaruhilebih cepat darikehilangan tulangkortikal.Trabecularpadatpada orang mudapada kedua jenis

kelamindimulailebih pada wanita.Pengurangan tulang kortikal mandibula pada wanita, terlihat meningkat sejalan dengan peningkatan usia.Kortikosteroid merupakan indikator utama kerusakan tulang kortikal mandibula dan osteoporosis pada Odapus.Mekanisme utama obat kortikosteroidmempengaruhi pembentukan tulang, dimana berpengaruh pada penekanan osteoblastogenesis dan peningkatan apoptosis, osteoblas dan osteosit.22

Kortikosteroid menurun pada pengaturan ekspresi mRNA osteoprotegerin dalam osteoblas, seperti pada pengaturan sel dan merangsang aktivitas reseptor nuklirkappa B ligan (RANKL) dan menjadi faktor penghambat dari osteose miclastogenesisdan merangsang diferensiasidari osteoklas masing-masing.Osteoprotegerin adalah bagian dari reseptor tumor necrosis faktor yang antagonis.Interaksi RANKL dengan reseptornya menurun pada penyerapan kalsium dan peningkatanekskresi kalsium pada penggunaan obat kortikosteroid. 22Keadaan ini dapat menambah bentuk proses osteoporosis terutama pada wanita.3

2.15 Pengukuran Tulang

(40)

38

terjadinya osteoporosis sehingga terjadi kerapuhan tulang. DMT memberikan sumbangan terbesar pada kekuatan tulang.DMT normal jika T-score sampel ≥- 1 dan DMT rendah bila T-score sampel < - 1.Nilai DMT yang rendah merupakan faktor utama risiko fraktur pada masa selanjutnya.21

Jahari dkk., (2005), mendapatkan tingginya angka DMT rendah pada perempuan dewasa muda usia 25-34 tahun. Nilai DMT rendah meliputi risiko osteoporosis sebesar 4,35% dan osteopenia 37,25%.Penelitian osteoporosis di 3 provinsi (Sulawesi Utara, DI Yogyakarta dan Jawa Barat) ditemukan tingginya prevalensi nilai DMT rendah pada usia 25-35 tahun yang meliputi risiko osteoporosis sebesar 5,8 % dan osteopenia 30,1 %.23

Secara umum tingkat akurasi tes DMT tergolong tinggi, yaitu antara 89-99%.Namun, terdapat perbedaan nilai kepadatan (DMT) pada tiap tempat pengukuran di tubuh. Jadi, densitas tulang pada tempat tertentu merupakan prediktor utama fraktur pada tempat tersebut.24 Untuk menentukan DMT, dilakukan pengukuran dengan menggunakan dua skor, yaitu:

1. Skor-T

Skor-T adalah skor yang memfasilitasi klasifikasi wanita kedalam penderita atau orang yang beresiko terkena osteoporosis atau bahkan terkena fraktur. Selain itu skor-T merupakan nilai DMT yang menunjukkan berapa SD diatas atau dibawah DMT rata-rata kelompok umur dewasa muda (20-35 tahun).21

2. Skor-Z

(41)

39

Tabel 3. Kriteria Skor-T menurut WHO 21

Skor-T: Kritreria WHO untuk Kejadian Osteoporosis pada Wanita21

Normal Skor-T > -1.0 SD dibawah rentang yang

direkomendasikan untuk dewasa muda

Massa Tulang Rendah Skor-T -1.0 s/d -2.5 SD dibawah rentang yang direkomendasikan untuk dewasa muda

(Osteopenia)

Osteoporosis Skor-T < - 2.5 SD dibawah rentang yang direkomendasikan untuk dewasa muda

(Osteoporosis)

Osteoporosis berat Skor-T < - 2.5 SD dibawah rentang yang direkomendasikan untuk dewasa muda dan pasien yang memiliki satu atau lebih fraktur tulang.

(Telah Fraktur)

Sumber: WHO, 1994.

2.16Pengukuran Tulang Kortikal Mandibula

Seperti tulang lain dalam tubuh, tulang rahang juga dapat dipengaruhi oleh penyakit sistemik atau perawatan medis serta sebagai penyakit tulang lokal yang dapat menyebabkan hilangnya total gigi.Secara radiografik, kerusakan tulang pada tulang rahang menunjukkan adanya penurunan kepadatan tulang, kortikal, dan lamina dura yang menipis serta trabekula yang jarang. Di Negara Jepang, prevalensi kejadian penyakit untuk kerusakan tulang kortikal adalah sebanyak 9,7 juta pada tahun 2010 dan 12,2 juta pada tahun 2011.24

(42)

40

absorptiometry (SPA), dual-foto absorptiometry (DPA), CT kuantitatif (QCT) danyang lebih baru dual-energiX-ray absorptiometry (DXA). Semua teknik pengukuran ini lebih tepat daripada analisis visual yang sederhana.Namun, metode ini meningkatkan biaya pengobatan dan memerlukan pengukuran mahal. 23

Saat ini, DXA diterima secara luas sebagai ''standar emas metode'' mineral tulang klinis, pengukuran pada tulang belakang dan tulang paha proksimal dan umumnya dianggap sebagai teknik pilihan untuk penilaian kepadatan mineral tulang (BMD) karena presisi tinggi dan akurasi yang tinggi. Selanjutnya, DXA dapat diterapkan untuk menilai BMD baik tulang aksial dan tulang apendikularis. Namun, belum menjadi metode yang sering digunakan untuk penilaian BMD dari mandibula karena superimposisi sisi kontra lateral dari mandibula.21

DevlindanHorner (2002) berdasarkan penggunaan DXA untuk mandibula,hampir90% wanita dengan lebarkortikal<3,0 mmmemilikiBMDyang rendah, dan 60% dariwanita denganlebarkortikal<3,0 mmmemilikiosteoporosis. Hildebolt et al (2002) menggambarkan penggunaan DXA pada rahang mayat, tetapi tidak ada upaya yang dilakukan untuk menggunakannya secara klinis.2,3

Teknik radiologi dental panoramik berguna dimana dokter gigi dapat mengevaluasi keseluruhangigi serta tulang rahang dan secara luas digunakan untukpemeriksaan rutin. Pada keadaan perhitungan tulang, dokter dan dokter gigi sudah mulai fokus dan memahami pada beberapa indeks panoramik mandibula seperti; Indeks kortikal mandibula (MCI), Ketebalan korteks mandibula (MCT) dan indeks panoramik mandibula(PMI) untuk identifikasi individu yangharus menjalani penilaian BMD. Beberapakualitatif dan kuantitatif indeks, termasuk MCI,MCT dan PMI, juga telah digunakan untuk menilai kualitas tulang dan untuk mengamati tanda-tanda osteoporosis.Studi sebelumnya telah melaporkan korelasi yang signifikanantara pengukuran BMD dan MCT atau PMI.24

(43)

41

rahang bawah padanotch antegonial situs distal dari foramen mental yangbilateral. Dikategorikan ke dalam salah satu dari tiga kelompokmenurut klasifikasi Klemetti et al, yaitu sebagai berikut: 24

Gambar 5.Indeks Kortikal Mandibula: C1Margin endosteal korteks tajam di kedua sisi, C2 Margin endosteal menunjukkan cacat semilunar(lacunar resorption) atau tampak membentuk kortikal endosteal residu pada satu atau kedua sisi, C3 Lapisan kortikal membentuk residu kortikal endosteal berat dan jelas berpori.

(44)

42

(45)

43

Gambar 6. Nilai Estimasi dari Tulang Kortikal 24

Drozdzowska et al., (2005), mengevaluasi korelasi antara indeks mandibula panorama berbasis dan BMD mandibula dalam 30 wanita edentulous pasca-menopause. Mereka menemukan bahwa, meskipun MCI berkorelasi secara signifikan dengan BMD mandibula diukur dengan DXA, MI dan PMI tidak berkorelasi. Horner dan Devlin (2005) menunjukkan bahwa kedua MCI dan PMI secara signifikan berkorelasi dengan mandibula BMD.24

Berbeda dengan laporan ini sebelumnya, kami menyimpulkan bahwa MCI, MI dan PMI tidak berkorelasi dengan mandibula BMD.MCI, MI dan PMI juga tidak berkorelasi denganmaksilaris BMD. Namun, tidak ada perbandingan dengan hasil dari penulis lain mungkin karena kurangnya data yang diterbitkan. Meskipun ada data yang diterbitkan tentang masalah dengan pengulangan indeks

radiomorphometric panorama, kebanyakan penulis menyimpulkan bahwa

(46)

44

2.17 Kerangka Teori

Sistemik Lupus Eritematosus

Definisi Efek yang

ditimbulkan Radiografi Panoramik

Pengukuran Tulang Kortikal

mandibula Konvensional

- Indikasi

- Kontra Indikasi - Keuntungan - kerugian

• PMI • MCI • MI

Digital

- Indikasi - Kontra

(47)

45

2.18 Kerangka Konsep

Radiografi Panoramik

Keadaan Tulang Kortikal Mandibula

Mandibular Cortical Index

(MCI)

Normal

Ringan

Parah Penderita Sistemik Lupus Eritematosus

(SLE)

(48)

46

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan pendekatan Crossectional.Fungsi analisis deskriptif untuk memberikan gambaran umum tentang data yang diperoleh, menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang diperoleh.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April 2014 di Jl. Binjai, Km 10,8 Villa Mulia Mas. Medan dan Laboratorium Pramita, Medan.

3.3 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi penelitian adalah penderita lupus eritematosus sistemik(SLE) pada Komunitas Cinta Kupu Medan.

3.3.2 Sampel

(49)

47

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi penelitian ini adalah penderita lupus eritematosus sitemik dengan pemakaian obat kortikosteroid lebih dari 1 tahun. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah penderita lupus eritematosus sistemik yang memiliki penyakit sistemik lainnya dan mengkonsumsi obat-obatan lainnya.

3.5 Besar Sampel

Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 32 orang, dengan perhitungan besar sampel seperti yang tertera pada rumus di bawah ini:

n = [����0(1− �0) + ��√��(1− ��)]

Po = Besar Proporsi (Penelitian Sebelumnya)  0,038 Pa = Po-(Pa-Po)

(50)

48

3.6 Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel Penelitian

Definisi Operasional Cara

Pengukuran lebih dari 1 tahun

Kortikosteroid waktu lebih dari 1 tahun dapat

(51)

49

Setelah menandatangani informed consent, pada tahap berikutnya pada semua sampel dilakukan pemeriksaan radiografi panoramik. Hasil panoramik dibaca radiologis untuk melihat kelainan yang ada dan bentuk kehilangan tulang kortikal pada mandibula berdasarkan Mandibular Cortical Index (MCI), yaitu C1, C2, dan C3.C1 kortikal mandibula dengan kondisi yang baik dan normal.C2 kortikal mandibula dengan kondisi yang tingkat erosi dan menengah.C3 kortikal mandibula dengan kondisi yang erosi pada tingkat yang parah. Untuk melihat perbandingan keadaan tulang kortikal mandibula, gambar dibawah ini dapat digunakan sebagai pedoman.24

Gambar 7. Nilai Estimasi Tulang Kortikal

(52)

50

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin radiografi panoramik dengan sistem sensor digital.Kemudian hasil foto panoramik diproses dengan Fujifilm FCR CAPSULA XL II yang kemudiannya menghasilkan film radiografi panoramik.

Gambar 8. Foto Panoramik

3.8Analisis Data

Data yang diperoleh menggunakan gambaran panoramik, kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan Mandibular Cortical Index (MCI) untuk mengetahui bentuk kehilangan tulang kortikal mandibula. Hasil pengolahan data dilakukan dengan perhitungan SPSS.

3.9 Etika Penelitian

(53)

51

berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.Persetujuan komisi etik tentang pelaksanaan peneitian bidang kesehatan Nomor: 173/KOMET/FK USU/2014.

3.10 Alur Penelitian

Survey Lapangan Penelitian

Responden

Wawancara

Radiografi Panormik

(54)

52

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Sampel penelitian berjumlah, 32 orang penderita lupus eritematosus sistemik yang menggunakan obat kortikosteroid pada komunitas Cinta Kupu Medan.Penelitian dilakukan dengan menggunakan foto panoramik untuk mengetahui kerusakan tulang kortikal mandibula dan diklasifikasikan kedalam tiga kategori berdasarkan klasifikasi Mandibular Cortical Index (MCI).

4.1 Kerusakan Tulang Kortikal Mandibula

Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan untuk melihat kerusakan tulang kortikal mandibula dengan mengklasifikasikan kedalam tiga kategori berdasarkan klasifikasi Mandibular Cortical Index (MCI).

Tabel 4. Kerusakan tulang kortikal mandibula

(55)

53

Berdasarkan Tabel 4., dapat dilihat pada hasil pengamatan menurut Mandibular Cortical Index (MCI) pada regio kiri, C1= 4 orang (12,5%) memiliki gambaran kortikal mandibula yang normal.C2= 27 orang (84,4%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, C3= 1 orang (3,1%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah (berat) atau tampak poreus.

Pada regio kananC1= 2 orang (6,3%) memiliki gambaran kortikal mandibula yang normal. Pada C2= 28 orang (87,5%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, C3= 2 orang (6,3%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah atau tampak poreus.

4.2 Hubungan antara Lama (waktu) Penggunaan Obat Kortikosteroid dan Kerusakan Tulang Kortikal Mandibula

Tabel 5.Hubungan lama (waktu) penggunaan obat dan kerusakan tulang korrtikal mandibula

(56)

54

tulang kortikal mandibula.Sesuai dengan panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, Seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi26

Parameter Nilai Interpretasi

Kekuatan korelasi 0,00-0,199 0,20-0,399

0,60-0,799

0,40-0,599

0,80-1,000

Sangat lemah Lemah

Kuat

Sedang

(57)

55

BAB 5

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini digunakan radiografi panoramik yang dapatmemperlihatkan gambaran secara luas padarahang, sehingga dapat mendukung penelitianini untuk dapat melihat bagian mandibula.Radiografi panoramik merupakan salah satu radiografi ekstra oral yang menghasilkangambaran yang memperlihatkan struktur facialtermasuk mandibula dan maksila besertastruktur pendukungnya. Radiografi panoramik digunakan untuk melihat area yangluas pada rahang dengan dosis radiasi yangrelatif kecil.12

Lupus eritematosus sistemikmerupakan suatu penyakit inflamasi autoimun yang dalam pengobatannya dilakukan terapi medikamentosa menggunakan jenis obat kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien lupus.24

Hasil pengamatan diklasifikasikan dengan Mandibular Cortical Index (MCI) disertai adanya penipisan korteks pada tepi bawah mandibula pada interpretasi radiografi panoramik. Gambaran kortikal mandibula berdasarkan MCI pada radiografi panoramik yaitu tampak pada mandibula dari sisi distal sudut antegonial sampai foramen mentale secara bilateral.

Berdasarkan hubungan tingkat kerusakan tulang kortikal mandibula (Tabel 4) padaregio kiri, C1= 4 orang (12,5%) memiliki gambaran kortikal mandibula yang normal.C2= 27 orang (84,4%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, C3= 1 orang (3,1%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah (berat) atau tampak poreus

(58)

56

memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah atau tampak poreus..

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan pada satu regio misalnya, pada sisi kiri C1= 4 orang dan sisi kanan C1= 2 orang, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh hasil pengamatan yang tidak begitu tegas. Dapat diakibatkan oleh dua kemungkinan, yaitu alat yang kurang konvensional, kerusakan yang tidak merata dan tinjauan hasil dengan kasat mata yang kurang mendukung. Namun apabila menggunakan alat yang lebih canggih 3 dimensi, kemungkinan hasil bisa terlihat lebih jelas.

Penelitian Mudda et al., (2010), dari total 60 orang wanita pra-menopause 22-45 tahun dan pasca-menopause 22-45-85 tahun, regio kanan dan kiri pra-menopause tingkat keparahan normal C1= 29 (0,48%) orang memiliki gambaran kortikal mandibula normal, C2= 1 (0,01%) orang memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, pada tingkat kerusakan berat C3= (0%) atau tidak ditemukan adanya gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah (berat)atau tampak poreus.27

Untuk regio kanan dan kiri pasca menopause tingkat keparahan normal C1= 4 (0,06%) orang memiliki gambaran kortikal mandibula normal, C2= 23 (0,38%) orang memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, pada tingkat kerusakan berat C3= 3 (0,05%) orang memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah atau tampak poreus.Pasien dengan kategori C3 terlihat hanya dalam kelompok pasca-menopause setelah 54 tahun.27

(59)

57

bervariasi sesuai dengan tingkat usia dalam 10 tahun. Hal ini berkisar 0,5-2 % untuk tulang kortikal baik yang terjadi secara alami, obat atau pembedahan diinduksi. Hasil penelitian Mudda et al., (2010) menunjukkan perubahan tulang kortikal mandibula yang menyebabkan osteoporosis berdasarkan MCI terkait dengan perubahan usia.26

Terdapat perbedaan dari hasil penelitian yang sebelumnya oleh Mudda et al., (2010).Hal ini disebabkan pada penelitian ini tidak mengkategorikan berdasarkan umur pra menopause dan pasca menopause. Mudda et al., (2010), juga tidak mengkategorikan sampel yang memiliki penyakit sistemik.27

Faktor-faktor resiko osteoporosis pada umumnya juga relevan pada pasien SLE (misalnya usia, berat badan, riwayat merokok, puncak massa tulang, riwayat patah tulang sebagai orang dewasa) kondisi metabolik pada SLE yang juga dapat meningkatkan resiko osteoporosis: kadar serum vitamin D rendah, aktivitas tiroid rendah dan tingkat homocysteine yang tinggi yang dapat mengurangi aktivitas fisik mereka.28

Berdasarkan hubungan lama (waktu) penggunaan obat kortikosteroid dan kerusakan tulang kortikal mandibula (Tabel 5) nilainya adalah 0,488 dimana nilai interpretasinya adalah sedang.Nilai tersebut menunjukkan ada kemungkinan terjadi hubungan antara lama(waktu) penggunaan dengan kerusakan tulang kortikal mandibula.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Lee C et al., (2005), menunjukkan dari total sampel 307 pasien SLE yang menggunakan obat kortikosteroid selama 6-7 tahun dengan dosis rata-rata 5mg(kisaran 0 - 60mg / hari) sebanyak 0,651. Nilai tersebut dikatakan kuat hubungannya.29 Perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee C et al., (2005),mungkin disebabkan oleh rata-rata durasi waktu penggunaan yang berbeda.

(60)

58

penggunaan obat kortikosteroid per-harinya.sehingga kaitan antara waktu penggunaan dengan kerusakan tulang kortikal mandibula dapat dikatakan sedang.

Mekanisme utama obat kortikosteroidmempengaruhi pembentukan tulang, berpengaruh penekanan osteoblastogenesis dan peningkatan apoptosis, osteoblas dan osteosit. Kortikosteroid menurun pada pengaturan ekspresi mRNA osteoprotegerin dalam osteoblas, seperti pada pengaturan sel dan merangsang aktivitas reseptor nuklirkappa B ligan (RANKL) dan faktor penghambat dari osteose miclastogenesisdan merangsang diferensiasidari osteoklas masing-masing.25Efek samping pemakaian kortikosteroid pada sistem skeletal menyebabkan osteoporosis, osteonekrosis, dan miopati.7

(61)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kerusakan tulang kortikal mandibula pada penderita SLE akibat pemakaian obat kortikosteroid ditinjau secara radiografi panoramik terlihat bahwa:

Hasil pengamatan menurut Mandibular Cortical Index (MCI) pada Tabel 4., yaitu:

1. Regio kiri, C1= 4 orang (12,5%), C2=27 orang (84,4%), C3= 1 orang (3,1%). 2. Regio kanan, C1=2 orang (6,3%),C2= 28 orang (87,5%), C3= 2 orang (6,3%).

Hubungan lama (waktu) penggunaan obat kortikosteroid dengan kerusakan tulang kortikal mandibula pada Tabel 5., adalah 0,488, dimana nilai interpretasinya adalah sedang. Nilai tersebut menunjukkan dapat terjadi hubungan antara lama (waktu) penggunaan obat dengan kerusakan tulang kortikal mandibula.

6.2 Saran

1. Diharapkan pada penelitian selanjutnya menggunakan sampel yang lebih besar, agar hasil lebih representatif.

2. Diperlukan penelitian lanjut dengan penggunaan dosis kortikosteroid yang berbeda pada pasien lupus agar kaitannya lebih akurat dengan osteoporosis.

(62)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). 2011. [cited 2011 Oct 6]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview

2. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik 2011

3. NIH Osteoporosis and Related Bone Diseases ~ National Resource Center. What People With Lupus Need to Know About Osteoporosis. Januari 2012.

4. Panopalis P., Yazdany J., Bone health in systemic lupus erythematosus. Current rheumatology reports. 2009; 11 : 177-84.

5. Howerton LJ, Lannuci JM. Dental Radiography Principle and Technique Missiouri: Elsevier Saunders, 2012: 3.

6. Taguchi A., Tsuda M., Ohtsuka M., dkk. Use of dental panoramic radiographs in identifying younger postmenopausal women with osteoporosis. Osteoporos Int 2006;17 :387-94.

7. Ardakani FE, Niafar N. Evaluation of changes in the mandibular angular cortexusing panoramic images.J Contemp Dent Pract, vol. 5, No.3, 2004. 8. Kribbs PJ., Comparison of mandibular bone in normal and osteoporotic

women. J Prost Dent1990; 63 : 218-22.

(63)

10. Taguchi A., asano A., Suei Y., et al., Observer Performance in Diagnosing Osteoporosis by Dental Panoramic Radiograph: Result from OSPD. 2008; 43 :209-13.

11. Cinta Kupu–Medan. Yayasan Lupus

Indonesia.http://yayasanlupusindonesia.org/cinta-kupu-medan/

12. Pharoah W. Oral Radiology Principles and Interpretation Fourth Edition . St.Louis: Mosby, 2000 (11) 205.

13. Astari N., Perbandingan Dosis dan Kualitas Gambar Radiografi Panoramik Konvensional dengan Radiografi Panoramik Digital. Fakultas Kedokteran Gigi Univ. Sumatera Utara. 2010.

14. Brennan J. An Introduction To Digital Radiography In Dentistry. Journal Of Orthodontics. 2002;29: 66-69.

15. Wartapedi

16. Sari MP., Gambaran Pengambilan Keputusan untuk Bekerja pada Penderita SLE Laki-laki. Univ Indonesia. 2008.

17. L. Sinigaglia, M. Varenna, L. Binelli, dkk. Bone mass in systemic lupus erythematosus 18. Almehed K., Osteoporosis in SLE.Thesis. University of Gothenburg.

Sahlgrenska Academy Dept of Rheumatology and Inflammation Research.200

19. Ahli Bedah Orthopedi. Osteoporosis (Dr H. Subagyo Sp.B-Sp.OT). 2013

20. Putra I. Studi Banding Densitas Mineral Tulang pada Masa Klimakterium. Dept.Obstetri & Ginekologi. Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Ked. Univ. Sumatera Utara Rsup. H. Adam Malik-RSUD Dr. Pirngadi Medan. 2010.

(64)

22. Carrasco MG et al., Osteoporosis in Patient with SLE. IMAJ 2009; 11.

23. Rochmah W., Prihatini S., Setyawati B. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Densitas Mineral Tulang pada Perempuan Dewasa Muda. Fak.Kedokteran Univ Gajah Mada Yogyakarta. 2011, 34(2): 93-03.

24. Cakur B, Dagistan S, Sahun A, Harolrli A,DKK. Realibility of Mandibular Cortical Index. J. Dentomax Radiology. 2009 (38) 255-61.

25. Imaniar AL, Wahyuni OR, Savitri Yunita. Gambaran Radiografik Kortikal Mandibula sebagai indikator Osteoporosis pada Wanita Postmenopause. Dentomaxillofacial Radiology Dent J. 2012; 3 (1) : 31-35.

26. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. 5 th ed., Jakarta: 168-69

27. Mudda JA, Bajaj M, Patil VA. A Radiographic comparison of mandibular bone quality in pre and pasca menopausal women in Indian population. J. Of Indian Society Periodontology. 2010 (14) 2.

28. Lane NE.Therapy Insight: osteoporosis and osteonecrosis in systemic lupus erythematosus. Ncprheumo. 2006 (2) 562-69.

Gambar

Gambar 1. Gambaran Foto Radiografi Panoramik 12
Gambar 2 . Butterfly rash di bagian hidung dan pipi7
Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997 7
Gambar 3. Tulang Kortikal dan Trabekular pada Manusia  20
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indikator memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan atau pola yang ada ditunjukkan?. pada kode LH 10 dengan model yang digunakan adalah

Metode yang di pakai dalam penulisan ini adalah yuridis empiris yakni mengkaji pelaksanaan atau implementasi hukum positip (perundangan-undangan) dan realitas

Di samping itu juga struktur kekeluargaan orang-orang Baba dikaji untuk memberi satu gambaran yang jelas lagi lengkap kepada pembaca mengenai ciri-ciri yang

Namun apabila salah satu dari faktor tersebut mengalami kelainan, misalnya keadaan yang menyebabkan his tidak adekuat, kelainan pada bayi, kelainan jalan lahir,

Ciátios zigomorfos, solitários ou em dicásios, axilares; pedúnculos 2–5 mm compr.; invólucro campanulado ou algumas vezes hemisférico, 1,6–2,5 × 1,5–2,5 mm,

In this study, Minimum Nose Fraction (MNF), a specialized Band ratio (BR) as well as a developed method based on the integration of Spectral Angle Mapper (SAM) and Feature Level

Susunan Personalia Tim Pejabat Pengelolaan tnformasi dan Dokumentasi Dinas Pemuda dan olalraga Kabupaten Lombok Barat. Tahun Anggaran