BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. URAIAN UMUM
Dalam suatu perencanaan pekerjaan, diperlukan pemahaman terhadap teori
pendukung agar didapat hasil yang maksimal. Oleh karena itu, sebelum memulai
perencanaan rehabilitasi bendung jejeruk, perlu adanya dasar teori untuk
menentukan spesifikasi-spesifikasi yang akan menjadi acuan dalam perencanaan
pekerjaan konstruksi tersebut.
2.2. BENDUNG
Bendung (Weir) adalah Konstruksi Bangunan Air yang melintang sungai
yang bertujuan untuk menaikkan muka air sungai di Upstream. Tujuan selebihnya
adalah dengan naiknya muka air sehingga akan dapat digunakan untuk mengairi
sawah (irigasi).
Berdasakan sifat dari konstruksinya, Bendung dibedakan atas 2(dua) tipe:
1. Bendung Sederhana (tidak permanen).
2. Bendung Permanen (Teknis).
Bendung Jejeruk merupakan salah satu type bendung permanen. Berikut
merupakan pembagian jenis-jenis bendung permanen:
1. Bendung Tetap ( fix weir ), Merupakan jenis bendung yang elevasi
Gambar 2.1.Elevasi Mercu
2. Bendung Gerak ( Barrage ), merupakan bendung dengan elevasi mercu
yang tidak tetap ( bisa digerakkan), atau dilengkapi dengan alat pengatur /
pintu, sehingga dapat mengatur elevasi muka air.
Type Bendung Gerak berdasarkan bentuk alat pengaturnya:
a. Sluice gate
Gambar 2.2.Bendung Slide Gate
upst ream
downstream Muka air upst ream bisa diat ur dengan membuka/ menut up pint u
Muka air banj ir Muka air normal
b. Radial Gate
upstream
Gambar 2.3.Bendung Gerak : Radial Gate
c. Bendung Karet
Gambar 2.4.Bendung Gerak : DAM bendung Karet
Alat pengatur dari Bendung Karet, dapat dikembang kempiskan
sesuai kebutuhan, yaitu dengan menambah atau mengurangi
isinya. Isi Bendung karet bisa dari air atau udara.
2.3. ANALISIS HIDROLOGI
Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena
hidrologi seperti besarnya : curah hujan, temperatur, penguapan, lamanya
penyinaran matahari, kecepatan aliran, konsentrasi sedimen sungai akan selalu
berubah terhadap waktu (Soewarno, 1995).
Muka air banj ir
Analisis hidrologi dalam pelaksanaan pekerjaan ini lebih pada analisis
ketersediaan air dan kebutuhan air. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui
karakteristik hujan, debit atau potensi air.
Data klimatologi yang digunakan diambil dari Stasiun di areal layanan
Daerah Irigasi yang bersangkutan. Data klimatologi digunakan untuk menghitung
kebutuhan air dan ketersediaannya (debit andalan). Untuk itu, data hujan yang
digunakan minimal data 20 tahun terakhir.
2.4. ANALISA DEBIT BANJIR RENCANA
Pemilihan banjir rencana untuk bangunan air adalah suatu masalah yang
sangat bergantung pada analisis statistik dari urutan kejadian banjir baik berupa
debit air di sungai maupun hujan.
2.4.1.Analisis Data Curah Hujan
Dalam penentuan curah hujan data dari pencatat atau penakar hanya
didapatkan curah hujan di suatu titik tertentu (point rainfall). Untuk mendapatkan
harga curah hujan areal dapat dihitung dengan beberapa metode:
9 Metode Rata-Rata Aljabar
Curah hujan didapatkan dengan mengambil rata-rata hitung
(arithmatic mean) dari penakaran pada penakar hujan areal tersebut.
Cara ini digunakan apabila :
1. Daerah tersebut berada pada daerah yang datar
2. Penempatan alat ukur tersebar merata
Rumus yang digunakan:
R = n 1
( R1+R2+...+Rn)
(Hidrologi untuk Pengairan. Ir.Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda. hal :27)
Di mana :
R = curah hujan maksimum rata-rata (mm)
n = jumlah stasiun pengamatan
R1 = curah hujan pada stasiun pengamatan satu (mm)
R2 = curah hujan pada stasiun pengamatan dua (mm)
Rn = curah hujan pada stasiun pengamatan n (mm)
9 Metode Polygon Thiessen
Cara ini didasarkan atas cara rata-rata timbang, dimana
masing-masing stasiun mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan
garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua
stasiun, dengan planimeter maka dapat dihitung luas daerah tiap stasiun.
Sebagai kontrol maka jumlah luas total harus sama dengan luas yang
telah diketahui terlebih dahulu. Masing-masing luas lalu diambil
prosentasenya dengan jumlah total 100%. Kemudian harga ini dikalikan
dengan curah hujan daerah di stasiun yang bersangkutan dan setelah
dijumlah hasilnya merupakan curah hujan yang dicari.
Hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah :
1. Jumlah stasiun pengamatan minimal tiga buah stasiun.
2. Penambahan stasiun akan mengubah seluruh jaringan
3. Topografi daerah tidak diperhitungkan.
Perhitungan menggunakan rumus sebagai berikut:
R=
n n n
A A
A
R A R
A R A
+ + +
+ + +
... . ... .
.
2 1
2 2 1 1
(Hidrologi untuk Pengairan, Ir.Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda, hal :27)
Di mana :
R = curah hujan maksimum rata-rata (mm)
R1, R2,....,Rn = curah hujan pada stasiun 1,2,...,n (mm)
A1, A2,…,An = luas daerah pada polygon 1,2,…...,n (km2)
Gambar 2.5. Polygon Thiessen
Ket erangan gambar :
A1 = luas daerah pengaruh st asiun pert ama
A2 = luas daerah pengaruh st asiun ke-2
A3 = luas daerah pengaruh st asiun ke-3
A4 = luas daerah pengaruh st asiun ke-4
9 Metode Isohyet
Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah
tangkapan hujan tidak merata. Dengan cara ini, kita harus menggambar
kontur berdasarkan tinggi hujan yang sama, seperti Gambar 2.6.
Metode ini ini digunakan dengan ketentuan :
1. Dapat digunakan pada daerah datar maupun pegunungan
2. Jumlah stasiun pengamatan harus banyak
3. yang Bermanfaat untuk hujan yang sangat singkat
Gambar 2.6. Metode Isohyet
Rumus digunakan adalah sebagai berikut:
n
(Hidrologi Teknik, Ir.CD.Soemarto,B.I.E.Dipl.H, hal: 34) Kontur tinggi hujan
Di mana:
R = curah hujan rata-rata (mm)
R1, R2, ..., Rn = curah hujan stasiun 1, 2,..., n (mm)
A1, A2, .. , An = luas area antara 2(dua) isohyet (km2)
Pada umumnya, data curah hujan yang tercatat terdapat beberapa yang
hilang atau dianggap kurang panjang jangka waktu pencatatannya. Untuk mengisi
data yang hilang digunakan Metode Reciprocal, dimana metode ini menggunakan
data curah hujan referensi dengan mempertimbangkan jarak stasiun yang akan
dilengkapi datanya dengan stasiun referensi tersebut.
Persamaan matematis yang digunakan :
Hh =
Hh = Hujan di stasiun yang akan dilengkapi
H1, … Hn = Hujan di stasiun referensi
L1, … Ln = Jarak stasiun referensi dengan stasiun yang dilengkapi (m)
2.4.2. Analisis Frekuensi
Analisis frekuensi merupakan prakiraan (forecasting), dalam arti
probabilitas untuk terjadinya suatu peristiwa hidrologi dalam bentuk hujan rencana
yang berfungsi sebagai dasar perhitungan perencanaan hidrologi untuk antisipasi
setiap kemungkinan yang akan terjadi. Analisis frekuensi ini dilakukan dengan
menggunakan sebaran kemungkinan teori probability distribution.
Analisis frekuensi ini didasarkan pada sifat statistik data yang tersedia
tersebut dapat diartikan bahwa sifat statistik data yang akan datang diandaikan
masih sama dengan sifat statistik data yang telah ada. Dengan demikian, diartikan
bahwa sifat klimatologis dan sifat hidrologi DAS diharapkan masih tetap sama.
Hal terakhir ini yang tidak akan dapat diketahui sebelumnya, lebih-lebih yang
berkaitan dengan tingkat aktivitas manusia (human activities) (Sri Harto, 1993).
Secara sistematis metode analisis frekuensi perhitungan hujan rencana ini
dilakukan secara berurutan sebagai berikut :
2.4.2.1. Perhitungan Dispersi
Pada kenyataannya tidak semua varian dari suatu variabel hidrologi terletak
atau sama dengan nilai rata-ratanya. Variasi atau dispersi adalah besarnya derajat
dari sebaran varian di sekitar nilai rata-ratanya. Cara menghitung besarnya dispersi
disebut perhitungan dispersi.
Adapun cara penghitungan dispersi antara lain :
a. Nilai rata-rata
n X X =
∑
iDi mana :X = nilai rata-rata curah hujan
i
X = nilai pengukuran dari suatu curah hujan ke-i
n = jumlah data curah hujan
b. Standar Deviasi (S)
n X X S
n
i i
2
1
) (
∑
= − =
Di mana: S = standar deviasi
i
X = nilai hujan DAS ke i
X = nilai rata-rata hujan DAS
n = jumlah data
c. Koefesien Skewness (Cs), yaitu suatu nilai yang menunjukan derajat ketidak simetrisan dari suatu bentuk distribusi.
(
)(
)
3(Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisis Data .Jilid I. Soewarno, hal : 29)
Di mana: CS = koefesien skewness
Xi = nilai hujan DAS ke i
X = nilai rata-rata hujan DAS
n = jumlah data
Untuk kurva distribusi yang bentuknya simetris, maka Cs= 0,00;
kurva distribusi yang bentuknya menceng ke kanan maka Cs lebih
besar nol, sedangkan yang bentuknya menceng ke kiri makaCs
kurang dari nol.
d. Pengukuran Kurtosis, yaituuntuk mengukur keruncingan yang muncul dari bentuk kurva distribusi.
(
)
Di mana: CK = koefisien kurtosis
Xi = nilai hujan DAS ke-i
X = nilai rata-rata hujan DAS
n = jumlah data
S = standar deviasi
e. Koefisien Variasi (CV), yaitu nilai perbandingan antara standar deviasi dengan nilai rata-rata hitung suatu distribusi.
X S
CV =
(Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisis Data. Jilid I. Soewarno, hal : 29)
Di mana CV = koefisien variasi
X = nilai rata-rata hujan DAS
S = standar deviasi
Dari nilai-nilai di atas, kemudian dilakukan pemilihan jenis sebaran yaitu
dengan membandingan koefisien distribusi dari metode yang akan
digunakan.
2.4.2.2. Pemilihan Jenis Sebaran
Ada berbagai macam distribusi teoritis yang semuanya dapat dibagi
menjadi dua yaitu distribusi diskret dan distribusi kontinyu. Yang termasuk
distribusi diskret adalah binomial dan poisson, sedangkan yang termasuk distribusi
kontinyu adalah Normal, Log Normal, Gama, Beta, Pearson dan Gumbel.
Masing-masing sebaran memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data
hidrologi harus diuji kesesuaiannya dengan sifat statistik masing-masing sebaran
tersebut. Pemilihan sebaran yang tidak benar dapat mengundang kesalahan
Untuk memilih jenis sebaran, ada beberapa macam distribusi yang sering
dipakai yaitu :
9 Distribusi Normal
Dalam analisis hidrologi distribusi normal sering digunakan untuk
menganalisis frekwensi curah hujan, analisis stastistik dari distribusi curah hujan
tahuan, debit rata-rata tahuan. Rumus yang digunakan dalam perhitungan:
Xt = X + z Sx
Di mana : Xt = curah hujan rencana
X = curah hujan maksimum rata-rata
Sx = standard deviasi = ( 1 )2
1 1
X X
nΣ −
−
z = faktor frekuensi ( Tabel 2.01 )
Tabel 2.01Faktor Frekuensi Normal
(Sumber : CD Soemarto,1999)
Distribusi tipe normal, mempunyai koefisien kemencengan (CS)= 0
P ( z ) Z P ( z ) Z
0,001 ‐3,09 0,6 0,24 0,005 ‐2,58 0,7 0,52 0,01 ‐2,33 0,8 0,84 0,02 ‐2,05 0,85 1,04 0,03 ‐1,88 0,9 1,28 0,04 ‐1,75 0,95 1,64 0,05 ‐1,64 0,96 1,75 0,1 ‐1,28 0,97 1,88 0,15 ‐1,04 0,98 2,05 0,2 ‐0,84 0,99 2,33 0,3 ‐0,52 0,995 2,58 0,4 ‐0,25 0,999 3,09
9 Distribusi Log Normal
Distribusi Log Normal, merupakan hasil transformasi dari Distribusi
Normal, yaitu dengan mengubah varian X menjadi nilai logaritmik varian X.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Xt = X + Kt . Sx
Di mana: Xt = Besarnya curah hujan yang mungkin terjadi pada periode ulang
T tahun
Sx = Standar deviasi = ( 1 )2 1
1
X X
nΣ −
−
X = Curah hujan rata-rata
Kt = Standar variabel untuk periode ulang tahun
Tabel 2.02Standar Variabel ( Kt )
T Kt T Kt T Kt
1 ‐1,86 20 1,89 96 3,34 2 ‐0,22 25 2,10 100 3,45 3 0,17 30 2,27 110 3,53 4 0,44 35 2,41 120 3,62 5 0,64 40 2,54 130 3,70 6 0,81 45 2,65 140 3,77 7 0,95 50 2,75 150 3,84 8 1,06 55 2,86 160 3,91 9 1,17 60 2,93 170 3,97 10 1,26 65 3,02 180 4,03 11 1,35 70 3,08 190 5,09 12 1,43 75 3,60 200 4,14 13 1,50 80 3,21 220 4,24 14 1,57 85 3,28 240 4,33 15 1,63 90 3,33 260 4,42 (Sumber : Sri Harto, BR, Dipl, H. Hidrologi Terapan)
Distribusi tipe Log Normal, mempunyai koefisien kemencengan
(Coefficient of skewness) atau CS = 3 CV + CV3. Syarat lain distribusi sebaran Log
9 Distribusi Gumbel I
Distribusi Tipe I Gumbel atau Distribusi Extrim Tipe I umumnya
digunakan untuk analisis data maksimum, misalnya untuk analisis frekwensi
banjir. Rumus yang digunakan dalam perhitungan adalah sebagai berikut:
Xt = ⎯X +
n n t
S ) Y -(Y
× Sx
Di mana :
Xt = curah hujan rencana dalam periode ulang T tahun (mm)
X = curah hujan rata-rata hasil pengamatan (mm)
Yt = reduced variabel, parameter Gumbel untuk periode T tahun
Yn = reduced mean, merupakan fungsi dari banyaknya data (n)
Sn = reduced standar deviasi, merupakan fungsi dari banyaknya data (n)
Sx = standar deviasi =
1 -n
) X -(Xi 2
∑
Xi = curah hujan maksimum (mm)
n = lamanya pengamatan
Tabel 2.03Reduced Mean (Yn)
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,4952 0,4996 0,5035 0,507 0,51 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,522 20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,53 0,582 0,5882 0,5343 0,5353 30 0,5363 0,5371 0,538 0,5388 0,5396 0,54 0,541 0,5418 0,5424 0,543 40 0,5463 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5468 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481 50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518 60 0,5521 0,5524 0,5527 0,553 0,5533 0,5535 0,5538 0,554 0,5543 0,5545 70 0,5548 0,555 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567 80 0,5569 0,557 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,558 0,5581 0,5583 0,5585 90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,8898 0,5599
100 0,56
Tabel 2.04Reduced Standard Deviation (Sn)
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565 20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,108 30 1,1124 1,1159 1,1193 1,226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388 40 1,1413 1,1436 1,1458 1,148 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,159 50 1,1607 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734 60 1,1747 1,1759 1,177 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844 70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,189 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,193 80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,198 1,1987 1,1994 1,2001 90 1,2007 1,2013 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2046 1,2049 1,2055 1,206
100 1,2065
(Sumber : CD Soemarto,1999)
Tabel 2.05Reduced Variate (Yt)
Periode Ulang Reduced Variate
2 0,3665
5 1,4999
10 2,2502
20 2,9606
25 3,1985
50 3,9019
100 4,6001
200 5,2960
500 6,2140
1000 6,9190
5000 8,5390
10000 9,9210
(Sumber : CD Soemarto,1999)
Distribusi Tipe I Gumbel, mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of
skewness) atau CS = 1,139.
9 Distribusi Log Pearson Tipe III
Distribusi Log Pearson Tipe III atau Distribusi Extrim Tipe III digunakan
untuk analisis variable hidrologi dengan nilai varian minimum misalnya analisis
frekwensi distribusi dari debit minimum (low flows). Perhitungannya adalah
Langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. Mengubah data curah hujan sebanyak n buah X1,X2,X3,...Xn menjadi log
( X1 ), log (X2 ), log ( X3 ),...., log ( Xn ).
2. Menghitung harga rata-ratanya dengan rumus :
)
3. Menghitung harga standar deviasinya dengan rumus berikut :
( )
( )
4. Menghitung koefisien skewness (Cs) dengan rumus :
( )
5. Menghitung logaritma hujan rencana dengan periode ulang T tahun dengan
rumus :
Log (XT) = log(X) + K .Sd
Dimana :
LogXt = Logaritma curah hujan dalam periode ulang T tahun (mm)
LogX = rata-rata LogX
K =faktor frekuensi sebaran Lg pearson III (Tabel 2.06)
n = Jumlah pengamatan
Tabel 2.06Harga K untuk Metode Sebaran Log-Pearson III
6. Menghitung koefisien kurtosis (Ck) dengan rumus :
7. Menghitung koefisien variasi (Cv) dengan rumus :
) log(X
Sd
Cv=
Distribusi Log Pearson Tipe III, mempunyai koefisien kemencengan
(Coefficient of skewness) atau CS≠ 0.
2.4.2.3. Uji Keselarasan Distribusi a. Uji Chi-Kuadrat
Uji keselarasan distribusi ini digunakan pengujian Chi-kuadarat yang
dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah
dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sample data yang dianalisis.
Adapun prosedur pengujian Chi-kuadrat adalah sebagai berikut:
1. Urutkan data pengamatan dari yang terbesar ke yang terkecil atau sebaliknya
2. Hitung jumlah kelas yang ada yaitu Nc = 1 + 1,33 ln (n)
3. Dalam pembagian kelas disarankan agar dalam masing-masing kelas terdapat
minimal tiga buah data pengamatan.
4. Tentukan derajat kebebasan (DK) = G-P-1 (nilai P = 2 untuk distribusi normal
dan binomial, untuk distribusi poisson dan Gumbel nilai P = 1)
5. Hitung n
6. Nilai Ef = jumlah data ( n )/Jumlah kelas
7. Tentukan nilai Of untuk masing-masing kelas
8. Jumlah G Sub-group
∑
=−
= G
i Ef
Of Ef X
1
2
2 ( )
untuk menentukan nilai Chi-kuadrat
Di mana:
X2 = harga Chi-Kuadrat
G = jumlah sub-kelompok
Of = frekwensi yang terbaca pada kelas yang sama
9. Didapat nilai X2, harus < X2 Criticl yang di dapat dari Tabel 2.07
Tabel 2.07Nilai Kritis untuk Distribusi Chi Kuadrat
Dk Derajat Kepercayaan
Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah sebagai berikut :
1. Apabila peluang lebih besar dari 5% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
2. Apabila peluang lebih kecil dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
3. Apabila peluang antara 1% - 5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan,
maka perlu penambahan data.
b. Uji Smirnov-Kolmogorov
Pengujian kecocokan sebaran dengan cara ini dinilai lebih sederhana
dibanding dengan pengujian dengan cara Chi-Kuadrat. Dengan membandingkan
kemungkinan (probability) untuk setiap variat, dari distribusi empiris dan
teoritisnya, akan didapat perbedaan (∆ ) tertentu (Soewarno, 1995).
Apabila harga ∆ max yang terbaca pada kertas probabilitas kurang dari ∆ kritis untuk suatu derajat nyata dan banyaknya variat tertentu, maka dapat
disimpulkan bahwa penyimpangan yang terjadi disebabkan oleh
kesalahan-kesalahan yang terjadi secara kebetulan.
Prosedur uji kecocokan Smirnov-Kolmogorof adalah :
1. Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya nilai
masing-masing data tersebut :
X1 → P(X1)
X2→ P(X2) Xn → P(Xn)
2. Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data
(persamaan distribusinya) :
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antara peluang
pengamatan dengan peluang teoritis.
D = maksimum [ P(Xm) – P`(Xm)]
4. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov – Kolmogorof test), tentukan harga D0
(Tabel 2.08).
Tabel 2.08Nilai Delta Kritis untuk Uji Keselarasan Smirnov Kolmogorof
n α
0,2 0,1 0,05 0,01 5 0,45 0,51 0,56 0,67 10 0,32 0,37 0,41 0,49 15 0,27 0,30 0,34 0,00 20 0,23 0,26 0,29 0,36 25 0,21 0,24 0,27 0,32 30 0,19 0,22 0,24 0,29 35 0,18 0,20 0,23 0,27 40 0,17 0,19 0,21 0,25 45 0,16 0,18 0,20 0,24 50 0,15 0,17 0,19 0,23 n>50 1,07/n 1,22/n 1,36/n 1,693/n (Sumber :Soewarno)
2.4.2.4. Ploting Data Curah Hujan ke Kertas Probabilitas
Ploting data distribusi frekwensi dalam kertas probabilitas bertujuan untuk
mencocokan rangkaian data dengan jenis sebaran yang dipilih, dimana kecocokan
dapat dilihat dengan persamaan garis yang membentuk garis lurus. Hasil ploting
juga dapat digunakan untuk menaksir nilai tertentu dari data baru yang kita
peroleh. Misal jika hasil hasil distribusi yang kita peroleh adalah distribusi Log
a. Persamaan untuk mencari besarnya probabiltas Log Pearson Tipe III
(Mengenal Dasar-dasar Hidrologi, Ir. Joyce Martha W dan Ir. Wanny Adidarma .Dipl.H, hal :141)
Di mana:
b. Persamaan Garis lurus Hasil Ploting Log Pearson Tipe III
Hasil ploting dari distribusi Log Perason tipe III terhadap variat X dalam
kertas probabilitas membentuk persamaan garis sebagai berikut:
2.4.3.Intensitas Curah Hujan
Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada
suatu kurun waktu dimana air tersebut berkonsentrasi. Analisis intensitas curah
hujan ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau.
Di bawah ini akan dikemukakan perhitungan debit banjir sungai dengan
daerah pengaliran yang kecil. Yakni cara pemikiran dan cara perhitungan curah
hujan jangka waktu yang pendek. Curah hujan jangka pendek dinyatakan dalam
intensitas per-jam. Yang disebut intensitas curah hujan (mm/jam)
a. Menurut Dr. Mononobe
Seandainya data curah hujan yang ada hanya curah hujan harian, maka
intensitas curah hujannya dapat dirumuskan (Loebis, 1987) :
I =
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
t = lamanya curah hujan (jam)
b. Menurut Sherman
Rumus yang digunakan:
I = b t
a
(Hidrologi Teknik, Ir.CD.Soemarto,B.I.E.Dipl.H, hal : 15)
b = 2
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
t = lamanya curah hujan (menit)
a,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi.
n = banyaknya pasangan data i dan t
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
t = lamanya curah hujan (menit)
a,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan
d. Menurut Ishiguro
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
t = lamanya curah hujan (menit)
a,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di
daerah aliran
2.4.4.Analisis Debit Banjir Rencana
Metode yang digunakan untuk menghitung debit banjir rencana sebagai
dasar perencanaan konstruksi bendung adalah sebagai berikut:
a Metode Rasional
Perhitungan Metode rasional menggunakan rumus sebagai berikut:
Q = 0,278 . C . I . A (m³/dtk)
Di mana:
w = waktu kecepatan perambatan (m/det atau km/jam)
l = jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau (km)
A = luas DAS (km2)
H = beda tinggi ujung hulu dengan titik tinggi yang ditinjau (m)
Koefisien limpasan (C), dapat diperkirakan dengan meninjau tata guna
lahan. Harga koefisien limpasan disajikan dalam Tabel 2.09, Tabel 2.10, dan tabel
2.12.
Tabel 2.09Koefisien Limpasan
No. Kondisi Tanah Permukaan Harga C
Tabel 2.10Karakteristik Tanah
Karakteristik tanah
Tata guna lahan
Koeff. limpasan Campuran pasir dan atau
campuran kerikil
Geluh dan sejenisnya
Lempung dan sejenisnya
Pertanian Padang rumput Hutan
Pertanian Padang rumput Hutan
Pertanian Padang rumput Hutan
Koefisien pengaliran (α) tergantung dari beberapa faktor antara lain jenis
tanah, kemiringan, luas dan bentuk pengaliran sungai. Sedangkan besarnya nilai
koefisien pengaliran dapat dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11Koefisien Pengaliran
Kondisi Daerah Pengaliaran Koefisien Pengaliran (α)
(Sumber : Banjir Rencana Untuk Bangunan Air, Ir.Joesron Loebis, M.Eng.)
b Metode Weduwen
Rumus dari Metode Weduwen adalah sebagai berikut :
7 1 , 4 1
+ − =
n q β α
(Banjir Rencana Untuk Bangunan Air, Ir.Joesron Loebis, M.Eng. hal: IV-3)
Di mana:
Qt = debit banjir rencana (m3/det)
Rn = curah hujan maksimum (mm/hari)
α = koefisien pengaliran
β = koefisien pengurangan daerah untuk curah hujan DAS
qn = debit persatuan luas (m3/det.km2)
t = waktu konsentrasi (jam)
A = luas daerah pengaliran (km2)
L = panjang sungai (km)
I = Gradien sungai atau medan yaitu kemiringan rata-rata sungai (10%
bagian hulu dari panjang sungai tidak dihitung. Beda tinggi dan
panjang diambil dari suatu titik 0,1 L dari batas hulu DAS).
Adapun syarat dalam perhitungan debit banjir dengan Metode Weduwen
adalah sebagai berikut:
A = Luas daerah pengaliran < 100 Km2
t = 1/6 sampai 12 jam
Langkah kerja perhitungan Metode Weduwen:
1. Hitung A, L dan I dari peta garis tinggi DAS, substitusikan kedalam
persamaan
2. Buat harga perkiraan untuk Q1 dan gunakan persamaan di atas untuk
menghitung besarnya t, qn, α dan β .
3. Setelah besarnya t, qn, α dan β didapat kemudian dilakukan iterasi
perhitungan untuk Q2.
c Metode Haspers
Untuk menghitung besarnya debit dengan Metode Haspers digunakan
persamaan sebagi berikut:
Rumus Haspers:
4. Intensitas Hujan
Adapun langkah-langkah dalam menghitung debit puncak adalah sebagai
berikut :
a. Menentukan besarnya curah hujan sehari (Rh rencana) untuk periode ulang
rencana yang dipilih.
b. Menentukan α, untuk daerah aliran sungai
c. Menghitung A, L ,I, F untuk daerah aliran sungai
d. Menghutung nilai t (waktu konsentrasi)
e. Menghitung β, Rt, qn dan Qt = αβ qn A
d Metode FSR Jawa Sumatera
Untuk menghitung debit banjir rencana dengan Metode FSR Jawa Sumatra
digunakan persamaan:
Q = GF . MAF
(Banjir Rencana Untuk Bangunan Air, Ir. Joesron Loebis, M.Eng.)
MAF = 8.106 x (AREA)V x APBAR2,445 x SIMS0,117 x (1+LAKE) -0,85
V = 1,02 – 0,0275 Log ( AREA )
APBAR = PBAR x ARF
SIMS = H / MSL
MSL = 0,95 . L
LAKE = Luas DAS di hulu bendung
Luas DAS total
Di mana: Q = debit banjir rencana (m3/dt)
GF = Growth factor (Tabel 2.13)
AREA = luas DAS (km2)
APBAR = Hujan rerata maksimum tahunan yang mewakili DAS
selama 24 jam.(mm)
ARF = faktor reduksi
SIMS = indeks kemiringan
H = beda tinggi titik pengamatan dengan ujung sungai tertinggi
MSL = panjang sungai sampai titik pengamatan (km)
L = panjang sungai (km)
LAKE = indeks danau (0 s.d. 0,25)
MAF = debit maksimum rata-rata tahunan (m3/dt)
Tabel 2.12Faktor Reduksi (ARF)
DAS (km2) ARF
1 ‐ 10 0,99
10 ‐ 30 0,97
30 ‐ 3000 1,52 – 0,0123 log A (Sumber : Banjir Rencana Untuk Bangunan Air, Ir. Joesron Loebis, M.Eng.)
Tabel 2.13Growth Factor (GF)
Return
Period Luas cathment area (km2)
T <180 300 600 900 1200 >1500
5 1,28 1,27 1,24 1,22 1,19 1,17
10 1,56 1,54 1,48 1,49 1,47 1,37
20 1,88 1,84 1,75 1,70 1,64 1,59
50 2,35 2,30 2,18 2,10 2,03 1,95
100 2,78 2,72 2,57 2,47 2,37 2,27
(Sumber : Banjir Rencana Untuk Bangunan Air, Ir. Joesron Loebis, M.Eng)
e Metode Passing Capacity
Metode Passing Capacity yaitu menghitung debit banjir rencana dengan
memperhatikan keadaan sungai juga tinggi muka air dan menggunakan data
Q = A x V
( Standart Perencanaan Irigasi KP-03, hal 15 )
Di mana:
2.5. PERHITUNGAN NERACA AIR
Perhitungan neraca air dilakukan untuk mengecek apakah air yang tersedia
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan air irigasi atau tidak. Perhitungan
neraca air ini pada akhirnya akan menghasilkan kesimpulan mengenai :
• Pola tanam akhir yang akan dipakai untuk jaringan irigasi yang sedang
direncanakan
• Penggambaran akhir daerah proyek irigasi.
Tabel 2.14Parameter Perhitungan Neraca Air
Bidang Parameter yang dihitung Neraca Air Kesimpulan Meteorologi Evaporasi dan Curah hujan
Kebutuhan air irigasi
Jatah debit
Koefisien tanaman Jaringan irigasi Efisiensi irigasi
Topografi Daerah layanan Debit andalan
2.5.1.Analisis Kebutuhan Air
Kebutuhan air dimaksudkan untuk menentukan besarnya debit air yang
akan dipakai mengairi lahan di daerah irigasi. Debit air ini digunakan sebagai dasar
perencanaan jaringan irigasi. Kebutuhan air di sawah untuk padi dan palawija
ditentukan oleh faktor-faktor di bawah ini (KP-01 Dirjen Pengairan, Departemen
Pekerjaan Umum, 1986):
Menurut jenisnya ada dua macam pengertian kebutuhan air, yaitu:
1. Kebutuhan air untuk tanaman (Consumtive Use).
Kebutuhan air untuk tanaman (Consumtive Use) yaitu banyaknya air yang
dibutuhkan tanaman untuk membuat jaring tanaman (batang dan daun) dan untuk
diuapkan (evapotranspirasi), perkolasi, curah hujan, pengolahan lahan, dan
pertumbuhan tanaman.
Rumus :
Ir = ETc + P – Re +WLR
( Buku Petunjuk Perencanaan Irigasi, PU Pengairan, Hal 5 )
di mana :
Ir = kebutuhan air (mm/hari)
E = evaporasi (mm/hari)
T = transpirasi (mm)
P = perkolasi (mm)
B = infiltrasi (mm)
W = tinggi genangan (mm)
Re = hujan efektif (mm/hari)
2. Kebutuhan air untuk irigasi.
Kebutuhan air untuk irigasi yaitu kebutuhan air yang digunakan untuk
menentukan pola tanaman untuk menentukan tingkat efisiensi saluran irigasi
Perhitungan kebutuhan air irigasi ini dimaksudkan untuk menentukan
besarnya debit yang akan dipakai untuk mengairi daerah irigasi. Setelah
sebelumnya diketahui besarnya efisiensi irigasi. Besarnya efisiensi irigasi
tergantung dari besarnya kehilangan air yang terjadi pada saluran pembawa dari
mulut bendung sampai petak sawah. Kehilangan air tersebut disebabkan karena
penguapan, perkolasi, kebocoran dan sadap liar.
2.5.1.1. Kebutuhan Air untuk Tanaman
Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa factor yang mempengaruhi
besarnya kebutuhan air:
1. Evapotranspirasi
Besarnya evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan metoda Penman
yang dimodifikasi oleh Nedeco/Prosida seperti diuraikan dalam PSA–010.
Evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan rumus-rumus teoritis empiris
dengan meperhatikaan faktor-faktor meteorologi yang terkait seperti suhu udara,
kelembaban, kecepatan angin dan penyinaran matahari.
Evapotranspirasi tanaman yang dijadikan acuan adalah rerumputan pendek
(albedo = 0,25). Selanjutnya untuk mendapatkan harga evapotaranspirasi harus
dikalikan denagn koefisien tanaman tertentu. Sehingga evapotranspirasi sama
dengan evapotranspirasi potensial hasil perhitungan Penman x crop factor. Dari
harga evapotranspirasi yang diperoleh, kemudian digunakan untuk menghitung
kebutuhan air bagi pertumbuhan dengan menyertakan data curah hujan efektif.
Rumus evapotranspirasi Penman yang telah dimodifikasi adalah sebagai
berikut:
(
)
AE
H H x
L
Eto ne q
lo ne
sh +
+ −
∆ +
= −
δ δ δ
1
1
Di mana:
Eto = indek evaporasi yang besarnya sama dengan evapotranspirasi dari
rumput yang dipotong pendek (mm/hr) ne
sh H
= jaringan radiasi gelombang pendek (Longly/day)
= { 1,75{0,29 cos Ώ + 0,52 r x 10-2 }} x α ahsh x 10-2 = { aah x f(r) } x α ahsh x 10-2
= aah x f(r) (Tabel Penman 5)
α = albedo (koefisien reaksi), tergantung lapisan permukaan Ra = α ah x 10-2
= radiasi gelombang pendek maksimum secara teori (Longly/day)
= jaringan radiasi gelombang panjang (Longly/day)
= 0,97 α Tai4 x (0,47 – 0,770 edx
{
1−8/10(
1−r)
}
Hshne = f( ) ( ) ( )
Tai xf Tdp xf m( )
4Tai Tai
f =α
= efek dari temperatur radiasi gelombang panjang
= efek dari angka nyata dan jam penyinaran matahari terang
maksimum pada radiasi gelombang panjang
r = lama penyinaran matahari relatif
Eq = evaporasi terhitung pada saat temperatur permukaan sama dengan
temperatur udara (mm/hr)
= 0,35 (0,50 + 0,54 µ2) x (ea – ed)
= f (µ2) x PZwa) sa - PZwa
µ2 = kecepatan angin pada ketinggian 2m di atas tanah
PZwa = ea = tekanan uap jenuh (mmHg)
= ed = tekanan uap yang terjadi (mmHg)
∆ = kemiringan tekanan uap air jenuh yag berlawanan dengan dengan kurva temperatur pada temperatur udara (mmHg/0C)
∆ = konstanta Bowen (0,49 mmHg/0C) Tabel 2.15Pengaruh Suhu untuk Evapotranspirasi
Tabel 2.16Pengaruh terhadap kelembaban relatif Tdp (mmHg)
Tdp 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
15 0.195 0.194 0.194 0.193 0.192 0.191 0.190 0.189 0.188 0.187 12.780 12.860 12.950 13.030 13.110 13.200 13.280 13.370 13.450 13.540 16 0.186 0.185 0.184 0.183 0.182 0.181 0.180 0.179 0.178 0.177
13.630 13.710 13.800 13.900 13.990 14.080 14.170 14.260 14.350 14.460 17 0.176 0.175 0.175 0.174 0.173 0.172 0.171 0.170 0.169 0.168
14.530 14.620 14.710 14.800 14.900 14.990 15.090 15.170 15.370 15.380 18 0.167 0.166 0.165 0.164 0.163 0.162 0.161 0.160 0.159 0.158
15.460 15.560 15.660 15.760 15.860 15.960 16.060 16.160 16.260 16.360 19 0.157 0.156 0.156 0.155 0.154 0.153 0.152 0.151 0.150 0.149
16.460 16.570 16.680 16.790 16.900 17.000 17.100 17.100 17.320 17.430 20 0.148 0.147 0.146 0.145 0.144 0.143 0.142 0.141 0.140 0.139
17.530 17.640 17.750 17.860 17.970 18.090 18.200 18.310 18.430 18.540 21 0.137 0.136 0.135 0.134 0.133 0.132 0.131 0.130 0.129 0.128
18.650 18.770 18.880 19.000 19.110 19.230 19.350 19.460 19.580 19.700 22 0.127 0.126 0.125 0.124 0.123 0.122 0.121 0.120 0.119 0.117
19.820 19.940 20.060 20.190 20.310 20.430 20.580 20.650 20.800 20.930 23 0.116 0.115 0.114 0.113 0.112 0.111 0.110 0.109 0.108 0.107
21.050 21.190 21.320 21.450 21.580 21.710 21.840 21.970 22.100 22.230 24 0.106 0.105 0.104 0.103 0.102 0.101 0.100 0.099 0.097 0.096
22.370 22.500 22.600 22.760 22.910 23.050 23.190 23.330 23.450 23.600 25 0.095 0.094 0.093 0.092 0.091 0.090 0.089 0.088 0.087 0.860
23.750 23.900 24.030 24.200 24.330 24.490 24.640 24.790 24.940 25.090
Tabel 2.17Pengaruh kecepatan angin tiap bulan
x F(U2)= 0,49 x 0,35 (0,5 + 0,54 U2)
U2 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
Tabel 2.18Pengaruh lintang
Latitude Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des
0 8.59 8.87 8.93 8.67 8.23 7.95 8.03 8.41 8.77 8.83 8.62 8.46 1 8.66 8.92 8.93 8.62 8.15 7.85 7.94 8.34 8.74 8.85 8.68 8.55 2 8.74 8.96 8.92 8.57 8.06 7.75 7.85 8.27 8.71 8.88 8.75 8.63 3 8.82 9.00 8.92 8.52 7.98 7.65 7.75 8.21 8.69 8.91 8.81 8.72 4 8.89 9.04 7.91 8.47 7.89 7.55 7.66 8.14 8.67 8.93 8.88 8.80 5 8.97 9.08 8.91 8.42 7.81 7.45 7.56 8.08 8.64 8.95 8.94 8.89 6 9.04 9.12 8.90 8.37 7.72 7.35 7.47 8.01 8.62 8.97 9.01 8.97 7 9.12 9.16 8.90 8.32 7.64 7.25 7.37 7.95 8.59 8.99 9.08 9.06 8 9.19 9.20 8.90 8.27 7.55 7.15 7.28 7.88 8.57 9.01 9.14 9.14 9 9.27 9.24 8.90 8.22 7.47 7.05 7.18 7.81 8.54 9.03 9.21 9.23 10 9.35 9.28 8.89 8.17 7.38 6.95 7.09 7.74 8.51 9.06 9.27 9.32
Tabel 2.19Koefisien berdasarkan lamanya penyinaran matahari
Degrees r
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 0.000 0.039 0.078 0.117 0.156 0.195 0.234 0.273 0.312 0.351 0.390 1 0.019 0.058 0.097 0.136 0.175 0.214 0.253 0.292 0.331 0.370 0.409 2 0.074 0.113 0.152 0.191 0.230 0.269 0.308 0.347 0.366 0.425 0.461 3 0.120 0.159 0.198 0.237 0.276 0.315 0.354 0.393 0.432 0.471 0.510 4 0.140 0.179 0.218 0.257 0.296 0.335 0.374 0.413 0.452 0.491 0.530 5 0.167 0.206 0.245 0.264 0.323 0.362 0.401 0.440 0.479 0.518 0.557 6 0.188 0.227 0.266 0.305 0.344 0.383 0.422 0.461 0.500 0.539 0.578 7 0.204 0.243 0.282 0.321 0.360 0.399 0.438 0.477 0.516 0.555 0.594 8 0.214 0.253 0.292 0.331 0.370 0.409 0.449 0.487 0.525 0.565 0.604 9 0.216 0.255 0.294 0.333 0.372 0.411 0.450 0.489 0.528 0.567 0.606 10 0.218 0.257 0.296 0.335 0.374 0.413 0.452 0.491 0.530 0.569 0.608
Tabel 2.20
Besaran m Besaran m Octan f(m) tenth f(m)
0 1 0 1
2. Perkolasi
Perkolasi adalah meresapnya air ke dalam tanah dengan arah vertikal ke
bawah, dari lapisan tidak jenuh. Besarnya perkolasi dipengaruhi oleh sifat-sifat
tanah, kedalaman air tanah dan sistem perakarannya. Koefisien perkolasi adalah
sebagai berikut :
a. Berdasarkan kemiringan :
- lahan datar = 1 mm/hari
- lahan miring > 5% = 2 – 5 mm/hari
b. Berdasarkan tekstur :
- berat (lempung) = 1 – 2 mm/hari
- sedang (lempung kepasiran) = 2 -3 mm/hari
- ringan = 3 – 6 mm/hari
3. Koefisien Tanaman (Kc)
Besarnya koefisien tanaman (Kc) tergantung dari jenis tanaman dan fase
pertumbuhan. Pada perhitungani ini digunakan koefisien tanaman untuk padi
dengan varietas unggul mengikuti ketentuan Nedeco/Prosida. Harga-harga
koefisien tanaman padi dan palawija disajikan pada Tabel 2.19. sebagai berikut:
Tabel 2.21Koefisien Tanaman Untuk Padi dan Palawija Menurut Nedeco/Prosida
Bulan Padi Palawija
Varietas Biasa Varietas Unggul Jagung Kacang Tanah 0,50 1,20 1,20 0,50 0,50 1,00 1,20 1,27 0,59 0,51 1,50 1,32 1,33 0,96 0,66 2,00 1,40 1,30 1,05 0,85 2,50 1,35 1,15 1,02 0,95 3,00 1,24 0,00 0,95 0,95
3,50 1,12 0,95
4,00 0,00 0,55
4,50 0,55
4. Curah Hujan Efektif (Re)
9 Besarnya Curah Hujan Efektif
Curah hujan efektif adalah bagian dari curah hujan total yang digunakan
oleh akar-akar tanaman selama masa pertumbuhan. Besarnya curah hujan efektif
dipengaruhi oleh :
1. Cara pemberian air irigasi (rotasi, menerus atau berselang)
2. Laju pengurangan air genangan di sawah yang harus ditanggulangi
3. Kedalaman lapisan air yang harus dipertahankan di sawah
4. Cara pemberian air di petak
5. Jenis tanaman dan tingkat ketahanan tanaman terhadap kekurangan air
Curah hujan efektif (Re) dihitung dari data curah hujan rata-rata setengah
bulanan yang selanjutnya diurutkan dari data terkecil hingga terbesar.
Re = 5 n
+ 1
Di mana:
Re = curah hujan efektif
5 n
+ 1 = rangking curah hujan efektif (Re) dihitung dari rangking terkecil
n = jumlah pengamatan curah hujan
9 Koefisien Curah Hujan Efektif
Besarnya koefisien curah hujan efektif untuk tanaman padi dapat dilihat
Tabel 2.22 Koefisien Curah Hujan Untuk Padi
Bulan Golongan
1 2 3 4 5 6
0,50 0,36 0,18 0,12 0,09 0,07 0,06 1,00 0,70 0,53 0,35 0,26 0,21 0,18 1,50 0,40 0,55 0,46 0,36 0,29 0,24 2,00 0,40 0,40 0,50 0,46 0,37 0,31 2,50 0,40 0,40 0,40 0,48 0,45 0,37 3,00 0,40 0,40 0,40 0,40 0,46 0,44 3,50 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,45 4,00 0,00 0,20 0,27 0,30 0,32 0,33 4,50 0,13 0,20 0,24 0,27 5,00 0,10 0,16 0,20
5,50 0,08 0,13
6,00 0,07
(Sumber : Dirjen Pengairan, Bina Program PSA 010, 1985)
Sedangkan untuk tanaman palawija besarnya curah hujan efektif ditentukan
dengan metode curah hujan bulanan yang dihubungkan dengan curah hujan
rata-rata bulanan serta evapotranspirasi tanaman rata-rata-rata-rata bulanan berdasarkan
Tabel 2.23.
Tabel 2.23 Koefisien Curah Hujan Rata-rata Bulanan dengan ET Tanaman
Palawija Rata-rata Bulanan dan Curah Hujan Mean Bulanan
Curah Hujan mean 12,5 25 37,5 50 62,5 75 87,5 100 112,5 125 137,5 150 162,5 175 187,5 200 Bulanan/mm mm
ET tanaman 25 8 16 24 Curah Hujan rata‐rata bulanan/mm Rata‐rata 50 8 17 25 32 39 46 Bulanan/mm 75 9 18 27 34 41 48 56 62 69
100 9 19 28 35 43 52 59 66 73 80 87 94 100
125 10 20 30 37 46 54 62 70 76 85 97 98 107 116 120
150 10 21 31 39 49 57 66 74 81 89 97 104 112 119 127 133
175 11 23 32 42 52 61 69 78 86 95 103 111 118 126 134 141
200 11 24 33 44 54 64 73 82 91 100 106 117 125 134 142 150
225 12 25 35 47 57 68 78 87 96 106 115 124 132 141 150 159
5. Kebutuhan Air untuk Pengolahan Lahan
9 Pengolahan Lahan untuk Padi
Kebutuhan air untuk pengolahan atau penyiraman lahan menentukan
kebutuhan minimum air irigasi. Faktor-faktor yang menentukan besarnya
kebutuhan air untuk pengolahan tanah, yaitu besarnya penjenuhan, lamanya
pengolahan (periode pengolahan) dan besarnya evaporasi dan perkolasi yang
terjadi.
Menurut PSA-010, waktu yang diperlukan untuk pekerjaan penyiapan
lahan adalah selama satu bulan (30 hari). Kebutuhan air untuk pengolahan tanah
bagi tanaman padi diambil 200 mm, setelah tanam selesai lapisan air di sawah
ditambah 50 mm. Jadi kebutuhan air yang diperlukan untuk penyiapan lahan dan
untuk lapisan air awal setelah tanam selesai seluruhnya menjadi 250 mm.
Sedangkan untuk lahan yang tidak ditanami (sawah bero) dalam jangka waktu 2,5
bulan diambil 300 mm.
Untuk memudahkan perhitungan angka pengolahan tanah digunakan Tabel
koefisien Van De Goor dan Zijlstra pada Tabel 2.24 berikut ini.
Tabel 2.24Koefisien Kebutuhan Air Selama Penyiapan Lahan
Eo + P T = 30 hari T = 45 hari mm/hari S = 250 mm S = 300 mm S = 250 mm S = 300 mm
5,0 11,1 12,7 8,4 9,5
5,5 11,4 13,0 8,8 9,8
6,0 11,7 13,3 9,1 10,1 6,5 12,0 13,6 9,4 10,4 7,0 12,3 13,9 9,8 10,8 7,5 12,6 14,2 10,1 11,1 8,0 13,0 14,5 10,5 11,4 8,5 13,3 14,8 10,8 11,8 9,0 13,6 15,2 11,2 12,1 9,5 14,0 15,5 11,6 12,5 10,0 14,3 15,8 12,0 12,9 10,5 14,7 16,2 12,4 13,2
9 Pengolahan Lahan untuk Palawija
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan bagi palawija sebesar 50 mm selama
15 hari yaitu 3,33 mm/hari, yang digunakan untuk menggarap lahan yang ditanami
dan untuk menciptakan kondisi lembab yang memadai untuk persemian yang baru
tumbuh.
6. Kebutuhan Air untuk Pertumbuhan
Kebutuhan air untuk pertumbuhan padi dipengaruhi oleh besarnya
evapotranspirasi tanaman (Etc), perkolasi tanah (p), penggantian air genangan (W)
dan hujan efektif (Re). Sedangkan kebutuhan air untuk pemberian pupuk padi
tanaman apabila terjadi pengurangan air (sampai tingkat tertentu) pada petak
sawah sebelum pemberian pupuk.
2.5.1.2. Kebutuhan Air untuk Irigasi
Kebutuhan air untuk irigasi yaitu kebutuhan air yang digunakan untuk
menentukan pola tanaman untuk menentukan tingkat efisiensi saluran irigasi
sehingga didapat kebutuhan air untuk masing-masing jaringan.
Perhitungan kebutuhan air irigasi ini dimaksudkan untuk menentukan
besarnya debit yang akan dipakai untuk mengairi daerah irigasi. Setelah
sebelumnya diketahui besarnya efisiensi irigasi. Besarnya efisiensi irigasi
tergantung dari besarnya kehilangan air yang terjadi pada saluran pembawa dari
mulut bendung sampai petak sawah. Kehilangan air tersebut disebabkan karena
penguapan, perkolasi, kebocoran dan sadap liar.
a. Pola Tanaman dan Perencanan Tata Tanam
Pola tanam adalah suatu pola penanaman jenis tanaman selama satu tahun
yang merupakan kombinasi urutan penanaman. Rencana pola dan tata tanam
intensitas luas tanam. Suatu daerah irigasi pada umumnya mempunyai pola tanam
tertentu, tetapi bila tidak ada pola yang biasa digunakan pada daerah tersebut
direkomendasikan pola tanaman padi-padi-palawija.
Pemilihan pola tanam ini didasarkan pada sifat tanaman hujan dan
kebutuhan air.
a. Sifat tanaman padi terhadap hujan dan kebutuhan air
1. Pada waktu pengolahan memerlukan banyak air
2. Pada waktu pertumbuhannya memerlukan banyak air dan pada saaat
berbunga diharapkan hujan tidak banyak agar bunga tidak rusak dan padi
baik.
b. Palawija
1. Pada waktu pengolahan membutuhkan air lebih sedikit daripada padi
2. Pada pertumbuhan sedikit air dan lebih baik lagi bila tidak turun hujan.
Setelah diperoleh kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan pertumbuhan,
kemudian dicari besarnya kebutuhan air untuk irigasi berdasarkan pola tanam dan
rencana tata tanam dari daerah yang bersangkutan.
b. Efisiensi Irigasi
Besarnya efisiensi irigasi tergantung dari besarnya kehilangan air yang
terjadi pada saluran pembawa, mulai dari bendung sampai petak sawah.
Kehilangan air tersebut disebabkan karena penguapan, perkolasi, kebocoran dan
sadap liar. Besarnya angka efisiensi tergantung pada penelitian lapangan pada
Pada perencanaan jaringan irigasi, tingkat efisiensi ditentukan menurut
kriteria standar perencanaan yaitu sebagai berikut :
1. Kehilangan air pada saluran primer adalah 7,5 – 12,5 %, diambil 10%
Faktor koefisien 1,10.
2. Kehilangan air pada saluran sekunder adalah 7,5 – 15,5 %, diambil 15%
Faktor koefisien 1,15.
3. Kehilangan air pada saluran tersier diambil 25%
Faktor koefisien 1,25.
2.5.2.Analisis Debit Andalan
Perhitungan debit andalan bertujuan untuk menentukan areal persawahan
yang dapat diairi. Perhitungan ini menggunakan cara analisis water balance dari
Dr. F. J. Mock berdasarkan data curah hujan bulanan, jumlah hari hujan,
evapotranspirasi dan karakteristik hidrologi daerah pengaliran.
Prinsip perhitungan ini adalah bahwa hujan yang jatuh di atas tanah
(presipitasi) sebagian akan hilang karena penguapan (evaporasi), sebagian akan
hilang menjadi aliran permukaan (direct run off) dan sebagian akan masuk tanah
(infiltrasi). Infiltrasi mula-mula menjenuhkan permukaan (top soil) yang kemudian
menjadi perkolasi dan akhirnya keluar ke sungai sebagai base flow.
Perhitungan debit andalan meliputi :
1. Data curah hujan
Rs = curah hujan bulanan (mm)
n = jumlah hari hujan.
2. Evapotranspirasi
Evapotranspirasi terbatas dihitung dari evapotranspirasi potensial metode
Penman.
dE = ( m / 20 ) x ( 18 – n ) x Eto
Etl = Eto – dE
Di mana :
dE = selisih evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi terbatas.
Eto = evapotranspirasi potensial.
Etl = evapotranspirasi terbatas
n = jumlah hari hujan dalam 1 bulan
m = prosentase lahan yang tidak tertutup vegetasi.
= 10 – 40 % untuk lahan yang tererosi.
= 30 – 50 % untuk lahan pertanian yang diolah.
3. Keseimbangan air pada permukaan tanah
Rumus mengenai air hujan yang mencapai permukaan tanah, yaitu :
S = Rs – Et1
SMC(n) = SMC (n-1) + IS (n)
WS = S – IS
Di mana:
S = kandungan air tanah
Rs = curah hujan bulanan
Et1 = evapotranspirasi terbatas
IS = tampungan awal/Soil Storage (mm)
IS (n) = tampungan awal/Soil Storage bulan ke-n (mm)
SMC = kelembaban tanah/Soil Storage Moisture antara 50-250 mm
SMC (n) = kelembaban tanah bulan ke–n
SMC (n-1) = kelembaban tanah bulan ke–(n-1)
WS = water suplus/volume air berlebih
4. Limpasan (run off) dan tampungan air tanah (ground water storage)
V (n) = k.V (n-1) + 0,5.(1-k). I (n)
Di mana:
V (n) = volume air tanah bulan ke-n
V (n-1) = volume air tanah bulan ke-(n-1)
k = faktor resesi aliran air tanah diambil antara 0-1,0
I = koefisien infiltrasi diambil antara 0-1,0
Harga k yang tinggi akan memberikan resesi yang lambat seperti pada
kondisi geologi lapisan bawah yang sangat lulus air. Koefisien infiltrasi
ditaksir berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah
pengaliran.
Lahan yang porus mempunyai infiltrasi lebih tinggi dibanding tanah
lempung berat. Lahan yang terjal menyebabkan air tidak sempat berinfiltrasi
ke dalam tanah sehingga koefisien infiltrasi akan kecil.
5. Aliran sungai
Aliran dasar = infiltrasi – perubahan volume air dalam tanah
B (n) = I – dV (n)
Aliran permukaan = volume air lebih – infiltrasi
D (ro) = WS – I
Aliran sungai = aliran permukaan + aliran dasar
Run off = D (ro) + B(n)
Debit =
) (Detik bulan satu
luasDAS x
sungai aliran
2.5.3. Naraca Air
Dari hasil perhitungan neraca air, kebutuhan pengambilan yang
dihasilkannya untuk pola tanam yang dipakai akan dibandingkan dengan debit
andalan untuk tiap setengah bulan dan luas daerah yang bisa diairi, luas daerah
irigasi, jatah debit air dan pola pengaturan rotasi. Apabila debit sungai melimpah,
proyek yang akan direncanakan sesuai dengan pola tanam yang dipakai. Jika debit
sungai kurang maka terjadi kekurangan debit, maka ada tiga pilihan yang perlu
dipertimbangkan sebagai berikut :
1. Luas daerah irigasi dikurangi.
2. Melakukan modifikasi pola tanam.
3. Rotasi teknis/golongan.
2.6. ANALISIS HIDROLIS BENDUNG DAN BANGUNAN PELENGKAP
Analisis hidrolis bendung meliputi tubuh bendung itu sendiri dan
bangunan-bangunan pelengkap sesuai dengan tujuan bendung. Perhitungan
struktur bendung dimulai dengan analisis saluran yaitu saluran induk/primer, pintu
romijn, saluran kantong lumpur, saluran penguras kantong lumpur dan saluran
intake. Dari saluran intake ini dapat diketahui elevasi muka air pengambilan,
dimana elevasi ini digunakan sebagai acuan dalam menentukan tinggi mercu
bendung.
Keterangan :
1. Mercu bendung. 7. Pilar.
2. Pintu penguras bendung. 8. Pintu pengambilan.
3. Lantai muka. 9. Lantai olakan.
4. Lembah sayap. 10. Dinding tegak.
5. Kantong lumpur. 11. Pintu pengambilan saluran.
6. Pintu penguras kantong lumpur.
2.6.1. Lebar Bendung
Lebar bendung adalah jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment) dan
sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Pada bagian
ruas bawah sungai, lebar rata-rata tersebut dapat diambil pada debit penuh
(bankfull discharge), sedangkan pada bagian atas sungai sulit untuk menentukan
debit penuh. Lebar maksimum bendung sebaiknya tidak lebih dari 1,2 kali rata-rata
lebar sungai pada alur yang stabil.
Lebar total bendung tidak seluruhnya dimanfaatkan untuk melewatkan
debit air karena adanya pilar dan bangunan penguras, jadi lebar bendung yang
bermanfaat untuk melewatkan debit disebut lebar efektif (Be), yang dipengaruhi
oleh tebal pilar dan koefisien kontraksi pilar dan pangkal bendung.
Dalam menentukan lebar efektif perlu diketahui mengenai eksploitasi
bendung, dimana pada saat air banjir datang pintu penguras dan pintu pengambilan
harus ditutup. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah masuknya benda yang
terangkut oleh banjir yang dapat menyumbat pintu penguras bila pintu terbuka dan
air banjir masuk ke saluran induk.
Rumus : Be = B – 2(n.Kp + Ka)H1
Di mana:
Be = lebar efektif bendung (m)→ (Be1+Be2+Be3) B = lebar mercu sebenarnya (m)→ (B1+B2+B3) Kp = koefisien kontraksi pilar
Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung
n = jumlah pilar
H1 = tinggi energi (m)
Gambar 2.8.Sketsa Lebar Efektif Bendung
Tabel 2.25Harga-harga Koefisien Kontraksi Pilar (Kp)
No Kp
1 Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut‐sudut yang bulat pada jari‐jari yang
hampir sama dengan 0,1 dari tebal pilar 0,02
2 Untuk pilar berujung bulat 0,01
3 Untuk pilar berujung runcing 0,00
(Sumber : Irigasi dan Bangunan Air, Gunadarma)
Tabel 2.26 Harga-harga Koefisien Kontraksi Pangkal Bendung (Ka)
No Ka
1 Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 900 ke arahn aliran 0,20 2 Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 900 ke arah aliran dengan
0,5 Hl > r > 0,15 Hl 0,10 3 Untuk pangkal tembok bulat dimana r > 0,5 Hl dan tembok hulu tidak lebih dari 450 ke
arah aliran 0,00
2.6.2. Tipe Mercu Bendung
Untuk tipe mercu bendung di Indonesia pada umumnya digunakan dua tipe
mercu, yaitu tipe Ogee dan tipe bulat. Kedua bentuk mercu tersebut dapat dipakai
untuk konstruksi beton maupun pasangan batu atau bentuk kombinasi dari
keduanya.
2.6.2.1.Mercu Bulat
Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan koefisien bendung ambang lebar. Pada sungai ini
akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan ini akan mengurangi tinggi
muka air hulu selama banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi karena
lengkung streamline dan tekanan negatif ada mercu.
Gambar 2.9. Bendung dengan Mercu Bulat
Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandingan antara H1 dan r (H1/
r). Untuk bendung dengan dua jari-jari (R2), jari-jari hilir akan digunakan untuk
menemukan harga koefisien debit.
Untuk menghindari bahaya kavitasi lokal, tekanan minimum pada mercu
bendung harus dibatasi sampai –4 m tekanan air jika mercu tersebut dari beton.
air. Persamaan energi dan debit untuk bendung ambang pendek dengan pengontrol
segi empat adalah sebagai berikut :
2 / 3 1
. . . 3 2 . 3 2
. g BeH
C
Q= d
Di mana:
Q = debit (m3/dt)
Cd = koefisien debit (Cd = C0C1C2)
g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
b = panjang mercu (m)
H1 = tinggi di atas mercu (m)
C0 = fungsi H1/r (lihat Gambar 2.10)
C1 = fungsi p/H1 (lihat Gambar 2.12)
C2 = fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung
C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika H1/r lebih dari 5,0 ( lihat
Gambar 2.10)
Gambar 2.11.Harga Koefisien C0 untuk Bendung Ambang Bulat sebagai Fungsi
Perbandingan H1/r
Gambar 2.12. Koefisien C1 sebagai Fungsi Perbandingan p/H1
Gambar 2.13. Harga-harga Koefisien C2 untuk Bendung Mercu Ogee
dengan Muka Hulu Melengkung ( menurut USBR,1960 )
2.6.2.2.Mercu Ogee
Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam
aerasi. Oleh karena itu mercu tidak akan memberikan tekanan subatmosfer pada
permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk
debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah pada mercu.
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir U.S Army Corps
of Engineers mengembangkan persamaan :
n
hd X k hd
Y
⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡
= 1
Di mana:
X dan Y = koordinator-koordinator permukaan hilir
hd = tinggi rencana di atas mercu
k dan n = koefisien kemiringan permukaan hilir
Tabel 2.27 Harga – harga K dan n
Kemiringan permukaan hilir K n
Vertikal 2,000 1,850
3 : 1 1,936 1,836
3 : 2 1,939 1,810
1 : 1 1,873 1,776
Bentuk-bentuk mercu dapat dilihat pada Gambar 2.15 berikut :
Gambar 2.15.Type Mercu Ogee
Bangunan hulu mercu bervariasi disesuaikan dengan kemiringan
permukaan hilir. Persamaan antara tinggi energi dan debit untuk bendung Ogee
adalah :
. . . 13/2
3 2 . 3 2
. g BeH
C
Q= d
Di mana:
Cd = koefisien debit (C0, C1, C2)
g = gravitasi (m /dt2)
b = lebar mercu (m)
H1 = tinggi energi di atas ambang (m)
C0 = konstanta = 1,30
C1 = fungsi p/hd dan H1/hd
C2 = faktor koreksi untuk permukaan hulu
Faktor koreksi C1 disajikan dalam Gambar 2.16 dan sebaiknya dipakai
Gambar 2.16. Faktor Koreksi untuk Selain Tinggi Energi Rencana pada Bendung
Mercu Ogee (Menurut Van De Chow, Berdasarkan Data USBR dan WES)
2.6.3. Tinggi Air Banjir di Atas Mercu
Persamaan tinggi energi di atas mercu (H1) menggunakan rumus debit
bendung dengan mercu bulat, yaitu:
2 / 3 1
. . . 3 2 . 3 2
. g BeH
C
Q= d
(Buku Petunjuk Perencanaan Irigasi, PU Pengairan, Hal :80)
Di mana:
Q = debit (m3/det)
Cd = koefisien debit
g = percepatan gravitasi (m/det2)
Be = lebar efektif bendung (m)
Gambar 2.17.Elevasi Air di Hulu dan Hilir Bendung
2.6.4. Tinggi Air Banjir di Hilir Bendung
Perhitungan dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
2 / 1 3 / 2
* * 1
i R n
V =
(Hidrolika Terapan Aliran Pada Saluran Terbuka & Pipa, Robert J Kodoatie, hal 127)
(
b mh)
hA= + . .
2
1 .
2h m
b
P= + +
P A
R=
Perhitungan h dengan coba-coba.
Elevasi muka air di hilir bendung = elevasi dasar hilir + h
2.6.5. Kolam Olak
Kolam olak adalah suatu bangunan berupa olak di hilir bendung yang
berfungsi untuk meredam energi yang timbul di dalam aliran air superkritis yang
Faktor pemilihan tipe kolam olak :
1. Tinggi bendung
2. Keadaan geoteknik tanah dasar misalnya jenis batuan, lapisan, kekerasan
tekan, diameter butir dsb.
3. Jenis angkutan sedimen yang terbawa aliran sungai.
4. Keadaan aliran yang terjadi di bangunan peredam energi seperti aliran tidak
sempurna/tenggelam, loncatan air lebih rendah atau lebih tinggi.
Tipe kolam olak:
a. Berdasarkan Bilangan Froude:
1. Untuk Fr ≤ 1,7 tidak diperlukan kolam olak. Pada saluran tanah bagian hilir
harus dilindungi dari bahaya erosi.
2. Bila 1,7 < Fr ≤ 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam energi
secara efektif. Kolam olak dengan ambang ujung mampu bekerja dengan
baik.
3. Jika 2,5 < Fr ≤ 4,5 maka loncatan air tidak terbentuk dan menimbulkan
gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Kolam olak yang digunakan
untuk menimbulkan turbulensi (olakan) yakni tipe USBR tipe IV.
4. Untuk Fr ≥ 4,5 merupakan kolam olak yang paling ekonomis, karena kolam
ini pendek. Kolam olak yang sesuai adalah kolam USBR tipe III.
b. Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam
Jika kedalaman konjungsi hilir dari loncat air terlalu tinggi dibanding
kedalaman air normal hilir, atau kalau diperkirakan akan terjadi kerusakan pada
lantai kolam yang panjang akibat batu-batu besar yang terangkut lewat atas
bendung, maka dapat dipakai peredam energi yang relatif pendek tetapi dalam.
Kolam olak tipe bak tenggelam telah digunakan pada bendung-bendung
Teknik Hidrolika di Bandung untuk menghasilkan serangkaian perencanaan untuk
kolam dengan tinggi energi rendah ini. Dapat dihitung dengan rumus:
3 2
g q c
h =
Di mana :
hc = kedalaman air kritis (m)
q = debit per lebar satuan (m3/dt.m)
g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt)
Gambar 2.18.Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam
c. Kolam Vlughter
Kolam vlughter dikembangkan untuk bangunan terjun di saluran irigasi.
Batas-batas yang diberikan untuk Z/hc 0,5; 2,0; 15,0 dihubungkan dengan bilangan
Froude. Bilangan Froude itu diambil dalam Z di bawah tinggi energi hulu. Kolam
vlughter bisa dipakai sampai beda tinggi energi Z tidak lebih dari 4,50 m.
hc = 3 2
g q
Jika 0,5 < hc
z
≤ 2,0 maka t = 2,4 hc + 0,4 z
Jika 2,0 < hc
z
≤ 15,0 maka t = 3,0 hc + 0,1 z
a = 0,28 hc z hc
D = R = L ( ukuran dalam m )
d. Kolam Schoklitsch
Armin Schoklitsch menemukan kolam olakan yang ukuran-ukurannya tidak
tergantung pada tinggi muka air hulu maupun hilir, melainkan tergantung pada
debit per satuan lebar.
Gambar 2.20. Kolam Schoklitsch
( Sumber: Buku Pegangan Kuliah Bangunan Air)
Panjang kolam olakan L = ( 0,5-1 ) w
Tinggi ambang hilir dari lantai S = q 2 1
(
g w
)4 1
dengan harga minimum
0,1 w.
Untuk faktor dapat diambil dari Gambar grafik di bawah, dan faktor ξ diambil antara 0,003 dan 0,08. Harga ρ pada umumnya diambil 0,15.
Gambar 2.21. Grafik Faktor β
( Sumber: Buku Pegangan Kuliah Bangunan Air)
2.6.6. Panjang Lantai Muka
Perencanaan panjang lantai muka bendung menggunakan garis kemiringan
hidrolik. Garis Gradien Hidrolik digambarkan di hilir ke arah hulu dengan titik
ujung hilir bendung sebagai permukaan dengan tekanan sebesar nol. Kemiringan
garis hidrolik gradien disesuaikan dengan kemiringan yang diijinkan untuk tanah
dasar tertentu, yaitu menggunakan Creep Ratio (Cr). Untuk mencari panjang lantai
depan hulu yang menentukan adalah beda tinggi energi terbesar dimana terjadi
pada saat muka banjir di hulu dan kosong di hilir. Garis Gradien hidrolik akan
membentuk sudut dengan bidang horisontal sebesar α, sehingga akan memotong muka air banjir di hulu. Proyeksi titik perpotongan tersebut ke arah horisontal
(lantai hulu bendung) adalah titik ujung dari panjang lantai depan minimum.
Lh Lv
Lw=Σ + Σ
3 1