1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan manusia yang
lainnya. Hubungan antarmanusia tersebut dikenal sebagai sebuah interaksi.
Dalam banyak hal, wujud interaksi ditentukan oleh komunikasi.Salah satu media
komunikasi terpenting adalah bahasa. Keberhasilan berkomunikasi sangat
ditentukan oleh keterampilan seseorang dalam menggunakan bahasa. Di antaranya
keterampilan menulis sebagai sarana komunikasi antar manusia.
Dalam kenyataan sehari-hari, setiap orang selalu dihadapkan dengan
berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan menulis, interaksi di lingkungan
keluarga, di lingkungan masyarakat, atau di lingkungan pendidikan. Di
lingkungan pendidikan, siswa dituntut untuk dapat menulis, karena dengan
menulis siswa bisa memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih banyak serta bisa
menunjukkan gagasan dan ide-idenya melalui tulisan.
Secara sederhana, kegiatan menulis merupakan kegiatan menggambarkan
bahasa dengan lambang-lambang grafik yang bisa dipahami. (Tarigan, 1986, hlm.
4) menyatakan bahwa menulis adalah “menurunkan atau melukiskan
lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dapat dipahami oleh
seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut,
kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik tersebut”. Hernowo
mengatakan bahwa kegiatan menulis bukan sekedar membuat huruf-huruf dengan
pena pada selembar kertas melainkan sebagai upaya untuk melahirkan pikiran dan
perasaan, dan melalui kegiatan menulis kita bisa mengekspresikan diri secara total
(Hernowo, 2002, hlm. 166).
Menulis merupakan keterampilan yang menuntut penguasaan bahasa yang
keterampilan menulis” (Semi, 1995, hlm. 5). Keterampilan menulis sama halnya
seperti keterampilan berbicara yaitu keterampilan yang bersifat produktif dan
ekspresif. Perbedaannya keduanya adalah menulis merupakan komunikasi yang
dilakukan tanpa bertatap muka (tidak langsung), sedangkan berbicara merupakan
komunikasi yang dilakukan dengan tatap muka (secara langsung) (Tarigan, 1994,
hlm. 2). Menurut Azies dan Alwasilah (1996, hlm. 128), keterampilan menulis
berhubungan erat dengan keterampilan membaca. Demikian halnya menurut Semi
(1995, hlm. 5), semakin banyak seorang siswa membaca, akan semakin lancar
pula dia menulis.
Materi menulis di sekolah biasanya selalu berhubungan dengan paragraf
atau wacana. Sebelum siswa mendalami wacana, dia terlebih dahulu harus
memahami paragraf. Jika ada materi mengarang (komposisi), materi paragraf
haruslah menjadi dasar pemahaman komposisi, pengajaran menulis, sebagaimana
juga materi lain, disajikan secara bertahap. Dalam belajar menulis, siswa dapat
ditugaskan membuat surat, naskah pidato atau konsep wawancara, atau
periklanan.Dalam kaitan dengan menulis, siswa harus memiliki kemampuan
dalam memahami ejaan. Materi ejaan sifatnya sangat teknis sehingga siswa cukup
mempelajarinya di rumah saja melalui modul atau buku khusus tentang ejaan.
Atau bisa juga siswa dilatih menggunakan ejaan. Pelatihan menulis paragraf atau
karangan merupakan cara untuk melatih menggunakan ejaan. Ejaan hanya
merupakan bagian dari materi menulis. Oleh karena itu, sejak dini siswa
diperkenalkan dengan kaidah tata tulis ini walaupun bukan sebagai materi
tersendiri.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mempunyai tanggung jawab
untuk membina dan memupuk keterampilan siswa dalam menulis. Kurikulum
bahasa mencantumkan hakikat pembelajaran bahasa adalah belajar berkomunikasi
(Puskur, 2003). Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi baik tulisan maupun
lisan.Di sekolah-sekolah, pembelajaran menulis masih belum memuaskan.
menulis adalah penggunaan metode. Cara penyampaian guru cenderung kurang
bervariasi (Tarigan, 1986, hlm. 39). Padahal, cara guru mengajar sangat
mempengaruhi cara siswa belajar. Bila guru mengajar dengan metode ceramah,
siswa pun belajar dengan cara menghafal. Bila guru mengajar dengan banyak
memberikan latihan, siswa pun akan memperoleh pengalaman.
Pembelajaran bahasa di sekolah cenderung bersifat sangat teoretis dan
tidak terkait dengan lingkungan tempat anak berada. Akibatnya, peserta didik
tidak mampu menerapkan materi yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan seakan-akan mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga
asing dari masyarakatnya sendiri (Dikmenum, 2002, hlm. 2). (Nurhadi, 2004, hlm.
32) melaporkan hasil penelitian yang sama. Para siswa sekolah dasar dan
menengah di Indonesia tidak mampu menghubungkan materi yang dipelajari dan
memanfaatkan pengetahuan itu untuk memecahkan persoalan sehari-hari. Siswa
hanya memperoleh hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. la hanya tahu
bahwa tugasnya adalah mengenal fakta, sedangkan keterkaitan antara
fakta-fakta dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai.
Widharyanto (2003, hlm. 23) menyatakan temuan lain, bahwa
Materi menulis kadang-kadang membuat siswa bingung karena beragam
jenis tulisan yang dipelajari di sekolah. Tulisan tersebut antara lain seperti narasi,
eksposisi, deskripsi, dan argumentasi. Menulis merupakan suatu keterampilan dan
keterampilan akan berkembang jika siswa atau pelajar melakukan latihan secara
berkelanjutan. Bisa dengan cara memberikan kesempatan lebih banyak bagi siswa
untuk berlatih menulis baik menulis karangan, novel, dongeng, cerita atau tulisan
lainnya yang sesuai dengan materi pelajaran di sekolah.
Di antara permasalahan yang berhubungan dengan belajar keterampilan
menulis pada siswa adalah sistem penilaiannya. Sistem penilaian yang digunakan
pada umumnya hanya berdasar pada tes tertulis saja yang biasanya dilakukan di
akhir semester, atau tahun pelajaran. Padahal, tidak semua keterampilan berbahasa
dapat dievaluasi dengan menggunakan tes tertulis saja (Saukah, 1999, hlm 211).
Permasalahan tersebut berimbas pada kualitas pembelajaran menulis itu
sendiri. Akibatnya, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang tidak
disenangi oleh siswa. Kenyataan tersebut sesungguhnya dapat diubah dengan cara
meningkatkan kualitas pembelajaran menulis itu agar lebih baik. Bahasa
Indonesia, khsusnya keterampilan menulis harus menjadi pelajaran yang
menyenangkan, menarik, dan memberi manfaat bagi siswa sebagai pelajar. Salah
satu aspek yang terkait dengan permasalahan tersebut adalah masalah kompetensi
dan kreativitas guru dalam memilih model pembelajaran. Guru dituntut untuk
mampu memilih model pembelajaran menunjang pencapaian tujuan kurikulum
dan sesuai dengan potensi peserta didik. Hal ini karena alasan bahwa ketepatan
guru dalam menentukan model pembelajaran akan berpengaruh terhadap
keberhasilan pembelajaran dan hasil belajar siswa, sebab model pembelajaran
yang digunakan oleh guru berpengaruh terhadap kualitas proses belajar mengajar
yang dilakukan (Djahiri, 1992, hlm. 45). Model pembelajaran akan berhubungan
dengan metode, pendekatan, dan teknik pembelajaran. Guru hendaknya mampu
menguasai ketiga konsep tersebut. Guru memang seharusnya mampu meracik
ketiga hal tersebut dengan aspek-aspek lain dalam PBM, sehingga pembelajaran
kompetensi dan kreativitas guru dalam memberdayakan berbagai pendekatan,
metode dan prosedur pembelajaran akan menentukan kualitas hasil
pembelajarannya. Seiring dengan harapan itu, tidak salah apabila masih
dipertanyakan, sejauh mana upaya peningkatan kualifikasi tenaga pengajar dan
penyempurnaan kurikulum bahasa Indonesia dapat meningkatkan kualitas proses
pembelajaran. (Rivers, 1987, hlm. 56) menyatakan bahwa “proses belajar
mengajar memerlukan interaksi yang memadai yang merupakan syarat mutlak
untuk berkembangnya belajar bahasa yang optimal.”
Interaksi dalam pembelajaran berperan sebagai proses kognitif dalam
interaksi siswa dengan masukan dan siswa dengan sesama temannya. Oleh
karena itu, siswa tidak hanya sekedar menyimak dari guru, tetapi berpartisipasi
aktif dalam mengolah dan menegosiasikan masukan tersebut (Long, 1983).
Dengan kata lain, belajar bahasa yang optimal memerlukan interaksi negosiatif
yang menempatkan siswa pada posisi pengolah informasi-informasi yang
diperlukan melalui makna dengan guru dan sesama temannya. Di samping itu,
pembelajaran yang baik adalah yang menempatkan siswa sebagai gurunya, dan
guru yang baik adalah yang juga belajar dari siswa nya. Siswa adalah gurunya
guru.
Standar kompetensi menulis dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia
kelas VIII berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah
supaya siswa mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan informasi
dalam bentuk narasi dan pesan singkat.Menulis ialah menurunkan atau
melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang
dipakai seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik
tersebut, kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik tersebut (Tarigan
2008, hlm. 1).
Keterampilan menulis tidak didapatkan secara alamiah, tetapi harus melalui
proses belajar dan berlatih. Dengan penguasaan keterampilan menulis diharapkan
siswa dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan yang dimiliknya
maupaun nonfiksi.Keterampilan menulis telah diajarkan diberbagai jenjang
pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Meskipun demikian,
pembelajaran menulis telah lama menjadi masalah dalam sistem pembelajaran
bahasa Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sampai saat ini masih banyak
terjadi sistem pembelajaran yang kurang sesuai. Kekurangtepatan sistem
pembelajaran dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran
terutama pembelajaran menulis.
Mengingat pentingnya keterampilan menulis, khususnya menulis karangan
narasi pada siswa kelas VIII, perlu diadakan pembinaan dan pembiasaan diri
dalam menulis, khususnya menulis karangan narasi. Pembinaan dan pelatihan
menulis karangan narasi pada siswa kelas VIII menuntut peran guru mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Guru harus memiliki teknik, metode atau
media yang sesuai agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal.
Karangan narasi menarik untuk dibicarakan pada siswa karena hal yang
disampaikan dalam karangan ini adalah suatu bentuk wacana yang berusaha
mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa secara kronologis sehingga tampak
seolah-olah pembaca melihat atau melihat peristiwa itu secara langsung (Keraf
1983, hlm. 135). Seperti yang diungkapkan Sulkhan, dkk. (dalam Fitri 2008, hlm.
2) bahwa, dalam praktik pembelajaran menulis banyak siswa yang tidak suka.
Pembelajaran menulis karangan sering menimbulkan rasa bosan, terutama bagi
siswa yang kurang mampu dan kurang mendapat latihan di sekolah sehingga tidak
berminat dalam kegiatan pembelajaran keterampilan menulis.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di SMPN I Batujajar Kabupaten Bandung, yang mengajar kelas VIII,
diketahui bahwa saat ini kondisi kemampuan menulis karangan narasi siswa
belum maksimal. Diketahui bahwa nilai rata-rata 6,5 dengan nilai tertinggi 8 dan
nilai terendah 5. Selain itu, dari hasil wawancara yang dilakukan dengan siswa
diperoleh informasi, bahwa siswa masih merasa belum mampu untuk menyusun
dan menggunakan kalimat dengan stuktur yang baik dan benar. Di samping itu,
halaman penuh, siswa tidak memperhatikan pilihan kosakata, alur, isi karangan,
maupun urutan dalam kalimat dan keterpaduan paragraf. Keadaan tersebut
bertolak belakang dengan pernyataan Keraf (1983, hlm. 147) yang menyatakan bahwa “menulis karangan narasi harus memperhatikan unsur-unsur yang membangun karangan tersebut agar hasil yang ditulis baik. Struktur narasi dapat
dilihat dari komponen-komponen yang membentuknya, yaitu: alur (plot),
perbuatan, penokohan, latar, dan sudut pandang”.
Selama ini, pembelajaran menulis karangan narasi, banyak dijumpai masalah
yang dihadapi oleh para guru maupun siswa, sehingga hasil pembelajaran tidak
sesuai dengan harapan. Masalah-masalah ini disebabkan oleh kekurangtepatan
pemilihan strategi pembelajaran ataupun metode yang digunakan guru. Metode
apapun sebenarnya baik, karena memiliki dasar yang kuat, akan tetapi
sebaik-baiknya metode memiliki kelemahan disamping kelebihannya. Baik tidaknya
metode yang digunakan sangat tergantung pada faktor guru dalam
menerapkannya.
Faktor guru yang menyebabkan siswa kurang terampil menulis karangan
narasi adalah teknik mengajar yang kurang kreatif dalam mengembangkan potensi
diri para siswa dan tidak menggunakan media yang tersedia. Teknik yang selama
ini sering digunakan adalah teknik ceramah dan penugasan. Teknik ini memiliki
kelemahan karena siswa lebih berperan sebagai objek didik, bukan sebagai subjek
didik yang aktif. Guru lebih baik menggunakan teknik diskusi karena dapat
memberikan kesempatan bagi siswa untuk lebih aktif selama proses pembelajaran.
Padahal dalam menulis karangan narasi siswa menuangkan ide pikirannya sendiri
bukan kelompok.
Selain faktor guru, siswa juga menentukan keberhasilan dalam pembelajaran
menulis. Faktor dari siswa diantaranya (1) siswa kurang berminat dalam
pembelajaran menulis, (2) siswa sulit menentukan tema karangan, (3) siswa
bingung untuk memulai menulis, dan (4) siswa sulit untuk mengembangkan
Faktor dari siswa yang pertama adalah siswa kurang berminat pada
pembelajaran menulis. Kurangnya minat siswa karena mereka tidak mengetahui
pentingnya keterampialn menulis sebagai bagian dari empat keterampilan
berbahasa, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan membaca, keterampilan
berbicara, dan keterampilan menulis. Guru harus memberikan pengertian bahwa
keterampilan menulis sangat dibutuhkan untuk meningkatkan performa seseorang.
Keterampilan menulis bukan bawaan sejak lahir, tetapi keterampilan yang dapat
dipelajari dan dikembangkan. Kurang minatnya siswa juga karena menganggap
bahwa menulis narasi itu sulit, padahal dengan membaca teks wawancara dapat
mempermudah siswa dalam menulis karangan narasi.
Faktor dari siswa yang kedua adalah siswa sulit menemukan tema karangan
yang disebabkan karena siswa jarang membaca. Siswa dapat memulai menulis
dengan tema-tema yang sederhana. Tema yang sederhana digunakan sebagai
latihan sebelum menulis dengan tema yang lebih kompleks. Dengan membaca
teks wawancara siswa akan lebih mudah untuk menemukan tema.
Faktor ketiga adalah siswa bingung untuk memulai menulis. Biasanya siswa
merasa bingung ketika mengawali sebuah karangan, sehingga judul yang
dipilihnya pun kadang tidak sesuai dengan isi karangan itu sendiri. Jadi hasilnya
pun menyimpang dari dari tema yang ditetapkan oleh guru. Untuk menyusun
sebuah karangan narasi, siswa harus mampu menguasai kosakata dan kaidah
bahasa serta mampu mengembangkan tema yang akan ditulis. Siswa seharusnya
memulai dengan menata dan memetakan gagasan lebih dahulu sebelum menulis.
Setelah membuat peta gagasan, kegiatan menulis akan lebih mudah apabila ada
stimulannya. Teks wawancara dapat dijadikan sebagai stimulan yang tepat bagi
siswa agar dapat memulai menulis. Dalam teks wawancara terdapat berbagai
informasi yang dapat digunakan siswa dalam memulai menulis. Selain itu
dorongan dan motivasi dari guru juga sangat dibutuhkan.
Faktor terakhir yang menyebabkan rendahnya keterampilan menulis
karangan narasi adalah siswa sulit untuk mengembangkan gagasan meliputi
jelas. Untuk mengatasi hal ini, guru dapat memberikan penjelasan untuk menulis
dari hal yang umum ke hal yang khusus (deduktif) atau dari hal yang khusus ke
hal-hal yang umum (induktif). Membaca teks wawanacara dapat mempermudah
siswa dalam mengembangkan gagasan karena dalam teks wawancara informasi
yang dibutuhkan ada, sehingga daya khayal siswa akan lebih baik.
Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut di atas,
maka perlu dicari solusi adanya model dan media yang tepat agar dapat digunakan
dalam pembelajaran menulis terutama menulis karangan narasi yaitu melalui
pengembangan model pembelajaran siswa aktif dalam meningkatkan keterampilan
menulis siswa SMP di Kabupaten Bandung Barat.
Problematika pendidikan yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah
proses belajar mengajar yang diberikan di kelas pada umumnya hanya
mengemukakan konsep-konsep dalam suatu materi. Proses belajar mengajar yang
dilakukan adalah satu arah (teaching directed). Model pembelajaran tersebut
dianggap kurang mengeksplorasi wawasan dan pengetahuan siswa.
Perubahan paradigma dalam proses yang tadinya berpusat pada guru
(teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student
centered) diharapkan dapat mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam
membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Dalam proses pembelajaran yang
berpusat pada siswa, maka siswa memperoleh kesempatan dan fasilitas untuk
membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh
pemahaman yang mendalam (deep learning) dan pada akhirnya dapat
meningkatkan mutu kualitas siswa. Peran guru dalam pembelajaran berpusat pada
siswa adalah sebagai fasilitator yang dalam hal ini, guru memfasilitasi proses
pembelajaran di kelas. Fasilitator adalah orang yang memberikan fasilitas.
Pembelajaran siswa aktif sebagai salah satu pendekatan belajar yang
menempatkan siswa sebagai gurunya bagi diri sendiri, dapat dijadikan solusi
dalam menyelesaikan persoalan pembelajaran bahasa Indonesia. Pendekatan ini
lebih menekankan pada aktivitas siswa. Siswa menggunakan otaknya untuk
pelajari (Silberman, 1996, hlm. 39). Dalam siswa aktif, aktivitas siswa didasarkan
pada pengalaman belajar yang diperoleh melalui bentuk keterlibatan kelas baik
dalam kerja tim, kerja kelompok kecil, kerja berpasangan, maupun kerja
individual. Selain itu, keterlibatan siswa di kelas juga dilakukan melalui aktivitas
menulis, menulis, membaca, debat, role playing, acting, wawancara, percobaan,
ataupun riset kecil. Aktivitas seperti itu diduga dapat mengatasi: (1) siswa kurang
berminat dalam pembelajaran menulis, (2) siswa sulit menentukan tema
karangan, (3) siswa bingung untuk memulai menulis, dan (4) siswa sulit untuk
mengembangkan gagasan.
Pembelajaran siswa aktif merupakan suatu pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang perlu dipahami.
Pertama, siswa aktif menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk
menemukan materi. Artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman
secara langsung. Proses belajar dalam konteks siswa aktif , tidak mengharapkan
agar siswa hanya menerima pelajaran akan tetapi proses mencari dan menemukan
sendiri materi pelajaran. Kedua, siswa aktif mendorong agar siswa dapat
menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan
nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman
belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan
dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan
saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi
yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan
mudah dilupakan. Ketiga, siswa aktif mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan artinya siswa aktif bukan hanya mengharapkan
siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi
dalam konteks siswa aktif bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian
dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
Dengan penerapan metode ini siswa diharapkan mampu mengembangkan
kemampuan yang dimiliki untuk memecahkan berbagai masalah yang ada di
kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini dikembangkan dengan tujuan agar
pembelajaran berjalan produktif dan bermakna. Disinilah perlunya memahami
secara benar bagaimana cara menerapkan metode siswa aktif sehingga dapat
diterapkan untuk semua mata pelajaran.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, pembatasan
masalah diperlukan untuk memudahkan penelitian, agar bidang garapan yang
diteliti menjadi fokus. Menurut (Arikunto, 1989, hlm. 32) bahwa pembatasan
masalah harus menetapkan lebih dulu segala yang diperlukan untuk
pemecahannya, yaitu: tenaga, kecekatan, waktu, ongkos, dan lain-lain yang timbul
dari rencana itu. Pembahasan penelitian ini adalah pengembangan model
pembelajaran siswa aktif dalam meningkatkan keterampilan menulis siswa SMP di
Kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini dilaksanakan selama satu semester di
Tiga SMP Kabupaten Bandung Barat tahun ajaran 2011 - 2012. Penerapan model
ini akan berujung kepada kesimpulan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan. Indikatornya mengacu pada salah satu indikator yang
dikemukakan (Reigeluth dan Merrill, 1979, hlm. 37) yakni kecermatan
penguasaan keterampilan. Dalam penelitian ini, keterampilan yang dimaksudkan
adalah keterampilan menulis narasi dengan menggunakan bahasa yang baik dan
benar.
Siswa aktif merupakan pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam
sesuai dengan prinsip-prinsip menulis, salah satu prinsip tersebut adalah menulis
itu bersifat interaktif, artinya menulis tidak hanya mensyaratkan hadirnya
partisipan melainkan diperlukan adanya dialog dan saling menanggapi antar kedua
belah pihak. Dalam hal ini keaktifan siswa sangat dituntut. Sementara itu, salah
satu prinsip siswa aktif adalah siswa terlibat aktif dalam setiap
pembelajaran.Adapun tahapan pembelajarannya adalah siswa mengeksplorasi
ide-ide, menemukan konsep, dan mengaplikasikan konsep. Dengan demikian,
pendekatan siswa aktif diduga efektif dapat mengembangkan kemampuan menulis
siswa.
Berdasarkan deskripsi singkat di atas, penelitian ini berjudul “Model
pembelajaran siswa aktif dalam meningkatkan keterampilan menulis siswa SMP di
Kabupaten Bandung Barat. Tujuannya adalah menguji keefektifan model tersebut
dan mengkaji perbedaan yang signifikan tentang kemampuan menulis sebelum
dan sesudah penerapan model tersebut dilaksanakan serta mendeskripsikan
langkah-langkah pembelajarannya.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan satu langkah yang harus dilakukan sebagai
upaya untuk menyatakan secara tertulis pernyataan-pernyataan tentang apa yang
hendak dicarikan jawabannya. Menurut (Moleong, 1990, hlm. 77). Bahwa
rumusan masalah di sini bermaksud menunjang upaya penemuan dan menyusun
teori substantif, yaitu teori yang berakar dari data. Selanjutnya dijelaskan kembali
bahwa rumusan masalah yang tentatif yang kemudian diubah, dimodifikasi, dan
disempurnakan pada latar penelitian jelas akan labih memperkaya khazanah
pengetahuan dalam dunia ilmu. Dari hal tersebut, maka perumusan masalah bagi
peneliti akan mengarahkan dan membumbung pada situasi lapangan bagaimana
yang akan dipilihnya dari berbagai lapangan yang sangat banyak terdiri. Sesuai
dengan ruang lingkup masalah pokok penelitian ini, terdapat beberapa rumusan
Secara umum, masalah penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah apakah model pembelajaran siswa aktif dapat meningkatkan keterampilan
menulis narasi siswa SMP di Kabupaten Bandung Barat.
1) Langkah-langkah apa saja yang harus diperhatikan dalam pembelajaran
menulis narasi di SMP Kabupaten Bandung Barat dengan menggunakan
model pembelajaran siswa aktif?
2) Apakah model pembelajaran siswa aktif dapat meningkatkan kemampuan
menulis narasi siswa SMP Kabupaten Bandung Barat?
3) Apakah penerapan model pembelajaran siswa aktif dalam pembelajaran
menulis narasi, berhasil lebih tinggi, jika dibandingkan dengan model
pembelajaran konvensional di SMP Kabupaten Bandung Barat?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diarahkan pada implementasi model pembelajaran siswa
aktif dalam meningkatkan keterampilan menulis narasi siswa SMP di Kabupaten
Bandung Barat. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1) langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam pembelajaran menulis
narasi di SMP Kabupaten Bandung Barat dengan menggunakan model
pembelajaran siswa aktif;
2) model pembelajaran siswa aktif dalam meningkatkan kemampuan
menulis narasi siswa SMP Kabupaten Bandung Barat; dan
3) penerapan model pembelajaran siswa aktif dalam pembelajaran menulis
narasi, berhasil lebih tinggi, jika dibandingkan dengan model
pembelajaran konvensional di SMP Kabupaten Bandung Barat.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini mencoba menerapkan model tersebut dalam pembelajaran
menulis. Dengan demikian, secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan terhadap pengembangan dalil-dalil atau prinsip-prinsip
yang dapat meningkatkan keterampilan menulis yang dikembangkan dalam
pembelajaran menulis.
1) Manfaat bagi siswa
a) Penelitian ini dapat memberikan wawasan yang baik kepada siswa dalam
memahami konsep menulis narasi melalui tahapan pembelajaran SAL.
b) Secara konseptual, penelitian ini dapat membantu mengorganisasikan
pikiran siswa dan menempatkannya dalam suatu bentuk yang berdiri
sendiri melalui proses belajar melalui SAL.
2) Manfaat bagi guru
a) Penelitian ini dapat menjadi media untuk menuangkan ide, gagasan, dan
pemikiran mengenai berbagai hal, khususnya terkait dengan tugas dan
fungsinya sebagai tenaga pendidik.
b) Penelitian ini merupakan media untuk mengembangkan kemampuan guru
dalam memecahkan masalah pembelajaran menulis. Menulis merupakan
salah satu cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh guru di
kelas dan di sekolah atau berbagai permasalahan yang dihadapi oleh
bangsa ini. Dalam hal ini, berkaitan dengan fungsinya sebagai pendidik.
3) Manfaat bagi Sekolah
a) Penelitian ini dapat berfungsi sebagai pengembangan materi pelajaran di
sekolah. Guru dianjurkan untuk membuat diktat pelajaran ataupun bahan
ajar. Dengan demikian, materi pelajaran akan dapat diperluas, tidak hanya
sekadar yang ada pada buku sumber tetapi disesuaikan dengan materi yang
bersifat kontekstual di sekolah.
b) Penelitian ini selain fungsi pengembangan materi pelajaran, menulis bagi
guru juga berfungsi sebagai unsur kegiatan pengembangan profesi gur di
sekolah. Yang dapat dilakukan guru antara lain; menulis artikel ilmiah
populer yang diterbitkan di media massa, membuat diktat pelajaran dan
bahan ajar, membuat makalah ilmiah yang diterbitkan pada jurnal atau
buletin, membuat penelitian tindakan kelas (PTK) yang didokumentasikan
2. Manfaat Praktis
1) Bagi beberapa instansi pendidikan, di dalam mengembangkan kurikulum
Bahasa Indonesia, model pembelajaran siswa aktif meningkatkan
keterampilan menulis ini bisa dijadikan salah satu model pembelajaran.
2) Bagi LPTK, hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam menyediakan guru
yang akan mengajarkan bahasa Indonesia, mengembangkan konsep
kurikulum, dan mengembangkan model pembelajaran.
3) Bagi guru, penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan wawasan guru
dalam mencari solusi dari belajar yang membosankan ke belajar yang
menyenangkan.
4) Bagi siswa, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan kreativitas
siswa.
E. Asumsi
Asumsi adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti
berdasarkan berbagai sumber, yang akan dijadikan dasar untuk membuat hipotesis
yang harus dirumuskan secara jelas. Dalam penelitian ilmiah peneliti harus
memberikan asumsi tentang kedudukan masalahnya, karena asumsi akan menjadi
landasan teori dalam laporan hasil penelitian. Asumsi atau postulat adalah sebuah
titik tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh peneliti. Dalam penelitian
ini ada beberapa asumsi yang dijadikan dasar yaitu:
1) Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus dimiliki
siswa SMP. Berbagai aktivitas di sekolah menuntut para siswa untuk
dapat menyampaikan ide dan gagasannya dalam bahasa tulisan.
2) Ketepatan pemilihan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran sangat
menentukan keberhasilan tujuan pembelajaran.
3) Pembelajaran menulis akan berhasil dengan baik jika ditunjang oleh
penggunaan pendekatan pembelajaran yang mendukung siswa terlibat
4) Pembelajaran siswa aktif adalah pendekatan pembelajaran yang
menekankan pada keaktifan siswa. Dengan demikian, pendekatan tersebut
dapat menunjang keberhasilan proses belajar siswa sehingga kemampuan
menulis dapat berkembangan dengan baik.
F. Hipotesis
Hipotesis adalah penjelasan sementara tentang suatu tingkah laku,
gejala-gejala, atau kejadian tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Jadi hipotesis
merupakan rumusan jawaban sementara yang harus diuji kebenarannya dengan
data yang dianalisis dalam kegiatan penelitian. Hipotesis penelitian ini
dirumuskan dengan hipotesis nol (Ho) dan hipotesis kerja (Ha) sebagai berikut:
1) Ho : 1 2 (tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan menulis
karangan narasi antara siswa yang mengikuti model pembelajaran siswa
aktif dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional).
2) H1 : 1 2 (terdapat perbedaan peningkatan kemampuan menulis
karangan narasi antara siswa yang mengikuti model pembelajaran siswa
aktif dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional).
G. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi salah tafsir dalam memahami konsep-konsep penelitian
ini, maka penulis memberikan penjelasan beberapa istilah dalam penelitian ini
sebagai berikut.
1. Pembelajaran Siswa Aktif (Student Active Learning) adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang menekankan aktivitas siswa. Kegiatan belajar dipandang
sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan siswa. Siswa menggunakan
otaknya untuk mengkaji ide-ide, memecahkan masalah,dan menerapkan
konsep-konsep yang dipelajarinya (Silberman, 1996, hlm. 231). Siswa
mengintegrasikan informasi, konsep-konsep, atau keterampilan baru ke dalam
skema atau struktur kognitif yang sudah mereka miliki melalui berbagai cara
2. Komponen pembelajaran dalam penelitian ini adalah komponen yang turut
menentukan keefektifan pembelajaran, yaitu guru, siswa, materi ajar menulis,
sarana dan prasarana yang secara siginifikan berpengaruh terhadap
pelaksanaan model siswa aktif.
3. Pembelajaran menulis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bagian
dari pembelajaran bahasa Indonesia yang terfokus pada menulis sebagai salah
satu keterampilan berbahasa. Ragam menulis yang dipilih adalah ragam
menulis narasi. Menulis narasi adalah adalah karangan yang mengisahkan
suatu peristiwa yang disusun secara kronologis (sistematika waktu) dengan
tujuan memperluas karangan seseorang paragraf.
4. Model pembelajaran siswa aktif adalah perekayasaan model pembelajaran
menulis dengan penerapkan prinsip-prinsip pembelajaran siswa aktif yang
dijabarkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran, yakni mengkaji ide-ide,
memecahkan masalah, dan menerapkan konsep-konsep.
5. Kemampuan menulis karangan narasi adalah kemampuan siswa SMP dalam
mengisahkan rangkaian peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan dari
suatu kejadian yang diceritakan dan disusun sesuai dengan kronologi waktu
berdasarkan alur cerita atau plot yang mengandung tokoh-tokoh dan
perwatakannya yang bertujuan untuk memperluas pengalaman, baik
pengalaman yang bersifat lahir ataupun yang bersifat batin.
H. Paradigma Penelitian
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa suatu model
mengajar dianggap baik apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) memiliki
prosedur yang sistematik, untuk memodifikasi perilaku siswa yang didasarkan
pada asumsi-asumsi tertentu; (2) hasil belajar ditetapkan secara khusus, yaitu
perubahan perilaku positif siswa secara khusus; (3) penetapan lingkungan belajar
secara khusus dan kondusif; (4) ukuran keberhasilan, yaitu bisa menetapkan
dengan lingkungan, yaitu model pembelajaran tersebut harus mendorong siswa
reaktif, aktif dan partisipatif terhadap apa yang terjadi dalam lingkungannya.
Menurut Chauhan (1979, hlm. 74), ada beberapa fungsi dari model
mengajar, antara lain: (1) pedoman, yaitu sebagai pedoman guru dalam
melaksanakan proses mengajar secara komprehensif untuk mencapai tujuan
pembelajaran; (2) pengembangan kurikulum, yaitu dapat membantu dalam
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP); (3) menetapkan bahan-bahan
pengajaran, yaitu menetapkan bahan ajar secara khusus yang akan disampaikan
siswa untuk membantu perubahan positif pengetahuan dan kepribadian siswa; (4)
membantu perbaikan dalam mengajar, yaitu mampu mendorong atau membantu
proses belajar-mengajar secara efektif dalam mencapai tujuan pendidikan; dan (5)
mendorong atau memotivasi terjadinya perubahan tingkah laku pada peserta didik
secara maksimal sesuai dengan bakat, minat atau kemampuan masing- masing.
Apabila mengkaji beberapa sumber ilmiah tentang pembelajaran, maka
beberapa konsep yang dapat dipahami dari makna pembelajaran inovatif dan
partisipatif, antara lain: (1) model pembelajaran inovatif dan partisipatif dapat
menumbuhkembangkan pilar-pilar pembelajaran pada siswa, antara lain: learning
to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning together
(belajar hidup bersama), dan learning to be (belajar menjadi seseorang) (Djohar,
1999, hlm. 57); (2) model pembelajaran inovatif dan partisipatif tersebut mampu
mendorong siswa untuk mengembangkan semua potensi dirinya secara maksimal,
dengan ditandai oleh keterlibatan siswa secara aktif, kreatif dan inovatif selama
proses pembelajaran di sekolah; (3) model pembelajaran inovatif dan partisipatif
tersebut mampu mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran atau tujuan
pendidikan; dan (4) model pembelajaran inovatif dan partisipatif tersebut mampu
mendorong siswa untuk melakukan perubahan perilaku secara positif dalam
berbagai aspek kehidupan (baik secara pribadi atau kelompok). Jadi, pembelajaran
inovatif dan partisipatif adalah pembelajaran yang berorientasi pada strategi,
metode atau upaya meningkatkan semua kemampuan positif siswa agar dapat
(kepribadian) dan kualitas spiritual sehingga siap menyongsong masa depan yang
penuh kompetisi. Dalam proses pengembangan potensi atau kemampuan siswa
tersebut, pembelajaran inovatif dan partisipatif menempatkan posisi dan
peran-peran siswa sebagai sebagai pihak yang paling aktif (paling sentral), guru hanya
sekedar sebagai pembimbing, motivator dan evaluator kegiatan pembelajaran
siswa.
Berdasarkan paparan tersebut, peneliti berkeyakinan, bahwa: (1) setiap
guru dalam proses pembelajaran pada era sekarang dan akan datang harus
menggunakan model-model pembelajaran invatif dan partisipatif; dan (2) wujud
pembelajaran pada era sekarang dan akan datang harus mampu mengembangkan
diri siswa untuk memilki ketrampilan atau kualitas pada sepuluh aspek, yaitu: (1)
Basic skills; (2) Technology skills; (3) Problem solving skills; (4) Multicultural
quality; (5) Interpersonal skills; (6) Inquiry skills; (7) Information quality; (8)
Critical and creative thinkingskills; (9) Communicationskills; dan (10)
Spiritualquality.
Pengembangan kompetensi guru, terutama kompetensi profesional dan
pedagogic berkaitan dengan proses pembelajaran. Sejalan dengan perkembangan
teknologi serta teori-teori pembelajaran, maka guru pun dituntut mampu
menguasai dan memilih pendekatan, model, strategi, dan metode pembelajaran
yang tepat, sehingga menjadikan siswa aktif, kreatif, dan belajar dalam suasana
senang serta efektif.
Menghadapi tugas tersebut guru tentu harus menguasai strategi, metode,
teknik pembelajaran dan bimbingan yang up to date. Bila pengetahuan guru sudah
ketinggalan, apa lagi hanya mengandalkan pengalaman tanpa didukung teori-teori,
maka guru tidak akan mandapatkan respek dari para siswa yang dibinanya.
Salah satu pendekatan dan strategi yang harus dikuasi guru adalah
Pembelajaran yang menyenangkan, Penguasaan guru berkenaan dengan
Pembelajaran yang menyenangkan ini diharapkan mampu menstimulasi
terciptanya dinamika pembelajaran yang sehat dan kondusif yang bermuata pada
Para ahli pendidikan berpendapat bahwa proses pembelajaran di sekolah
sampai saat ini cenderung berpusat kepada guru. Tugas guru adalah
menyampaikan materi-materi dan siswa diberi tanggung jawab untuk menghafal
semua pengetahuan. Memang pembelajaran yang berorientasi target penguasaan
materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat dalam jangka pendek, tetapi
gagal dalam membekali anak memecahkan masalah dalam kehidupan jangka
panjang.
Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru
tidak boleh semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu
proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat
bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan ide-ide, dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan sendiri ide-ide, dan mengajak
siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri dalam
belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu
mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus di upayakan
sendiri siswa yang memanjat tangga itu. Tingkat pemahaman siswa menurut
model Gagne (1985) dapat dikelompokan menjadi delapan tipe belajar, yaitu: (1)
belajar isyarat, (2) stimulus-respon, (3) rangkaian gerak, (4) rangkaian verbal, (5)
membedakan, (6) pembentukan konsep, (7) pembentukan aturan dan (8)
pemecahan masalah (problem solving).
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita
terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk pada pandangan
tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Oleh karenanya
strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran tergantung
pada pendekatannya. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007
tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang
menyatakan bahwa dalam kegiatan inti pembelajaran merupakan proses untuk
mencapai Kompetensi Dasar (KD) yang harus dilakukan secara interaktif,
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemadirian sesuai denganbakat, minat, dan perkembangan fisik dan
psikologis peserta didik. Kegiatan pembelajaran ini dilakukan secara sistematis
dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan
kemurnian (originality) dan ketajaman pemahaman(insight) dalam
mengembangkan sesuatu (generating). Kemampuan memecahkan masalah
(problem solving) adalah kemampuan tahap tinggi siswa dalam mengatasi
hambatan, kesulitan maupun ancaman. Metode problem solving (metode
pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga
merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem solvingdapat
menggunakan metode-metode lainnya dimulai dengan mencari data sampai
kepada menarik kesimpulan.
Berpikir kreatif merupakan dasar untuk menulis karangan narasi. Narasi
adalah cerita yang didasarkan pada urut-urutan suatu kejadian atau peristiwa.
Narasi dapat berisi fakta, misalnya biografi (riwayat seseorang),
otobiografi/riwayat hidup seseorang yang ditulisnya sendiri, atau kisah
pengalaman. Narasi seperti ini disebut dengan narasi ekspositoris. Narasi bisa juga
berisi cerita khayal/fiksi atau rekaan seperti yang biasanya terdapat pada cerita
novel atau cerpen. Narasi ini disebut dengan narasi imajinatif.
Dalam karangan imajinasi, penulis harus kreatif menghubungkan
imajainasinya dengan kata-kata yang dipilih. Penulis harus melakukan suatu
kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality) dan ketajaman
pemahaman (insight) dalam mengembangkan (generating) imajinasinya menjadi
sebuah tulisan yang menarik berbentuk cerita. Cerita ini berdasarkan pada
urut-urutan suatu (atau rangkaian) kejadian atau peristiwa. Di dalam kejadian ini ada
tokoh (beberapa tokoh) dan tokoh ini mengalami dengan menghadapi suatu
(serangkaian) konflik dengan tikaian. Kejadian, tokoh, dan konflik ini merupakan
Secara skematis, kerangka berpikir penelitian ini lebih lanjut disajikan
Gambar 1.1
Potensi Sumber Daya, lingkungan, Kelompok Usaha, Keluarga, dll.