i
KORELASI BODY MASS INDEX DAN ABDOMINAL SKINFOLD
THICKNESS TERHADAP KADAR HIGH SENSITIVITY C-REACTIVE
PROTEIN PADA STAF WANITA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Gary Ranteta`dung NIM : 088114178
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
‘
’Dengan doa, kesabaran dan usaha yang keras,
aku telah melewati proses yang luar biasa ini‘’
Kupersembahkan skripsi ini kepada:
Tuhan Yesus, Allah sumber kekuatan dan kemenanganku
Papa dan Mama tercinta
Helen, Nuel, Bunga dan Bulan
Semua Sahabatku
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Gary Ranteta`dung
Nomor Mahasiswa : 088114178
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KORELASI BODY MASS INDEX DAN ABDOMINAL SKINFOLD
THICKNESS TERHADAP KADAR HIGH SENSITIVITY C-REACTIVE
PROTEIN PADA STAF WANITA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 06 Januari 2012
Yang menyatakan
vi PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala anugerah, bimbingan dan kekuatan yang telah Ia berikan sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Korelasi Body Mass Index
dan Abdominal Skinfold Thickness terhadap Kadar High Sensitivity C-Reactive Protein pada Staf Wanita Universitas Sanata Dharma” sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) di Fakultas
Farmasi, Universitas Sanata Dharma,Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini bukan suatu hal
yang mudah, namun karena bantuan, bimbingan, dukungan dan doa dari berbagai
pihak, penulis mampu untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Ucapan terima
kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapakan kepada:
1. Dr. Ir. Paulus Wiryono Priyotamtama, S.J., M.Sc., selaku rektor
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian ini.
2. Ketua Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada, yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian.
3. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi, yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian.
4. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK., selaku pembimbing. Terima kasih atas
vii
membimbing, serta memberi masukan kepada penulis dalam menyusun
skripsi ini.
5. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. dan Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt.
selaku penguji. Terima kasih atas saran-saran yang diberikan untuk skripsi
ini.
6. Ayah dan ibu, terima kasih atas kasih sayang yang diberikan kepada
penulis.
7. Y. Agung Santoso, MA, selaku dosen statistika Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma. Terima kasih telah meluangkan waktu,
memberikan pemahaman mengenai statistik kepada penulis.
8. Pihak Laboratorium Parahita Yogyakarta yang telah membantu
pengambilan dan pemeriksaan darah responden penelitian.
9. Rekan-rekan peneliti Pika, Desi Natalia, Sisca Devi, Caroline Ester,
Fatrisia Vivi, Agatha Novita, Fransischa, Prisma Andini, Marcella Pradita
dan Natalia Endah dalam kerjasama yang luar biasa ini.
10.Paulus Febrianto Silor, S.Farm, terima kasih atas share yang sangat
membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
11.Semua staf Universitas Sanata Dharma yang terlibat langsung maupun
tidak langsung dalam penelitian ini.
12.Semua dosen Fakultas Farmasi yang telah memberikan ilmunya kepada
penulis selama penulis berkuliah di Fakultas Farmasi Universitas Sanata
viii
13.Bapak Narto, Mas Dwi dan Mas Sarwanto, sekretariat Fakultas Farmasi USD
yang bersedia membantu mengurus hal-hal administrasi penelitian ini.
14.Teman-teman seperjuangan: Astaria Setiarum, Agatha Ratri, Carolie
Ivonni, Dini Kristanti, Wenny Daniaty, Octo Rahadian. Terima kasih telah
menjadi pendengar yang baik dan memberikan solusi disaat penulis
menceritakan kesulitan-kesulitan yang ditemui.
15.Teman-teman tim kerja kelompok selama di FKK: Nitha, Ipip, Vithe, Yuli,
Pika, Desi, Peffly dan Lina. Terima kasih telah menjadi partner dalam
diskusi kelompok, presentasi makalah, dan tugas take home selama kuliah.
16.Teman-teman Farmasi C 2008 dan FKK B 2008. Terima kasih telah
menjadi teman yang luar biasa, bekerjasama, berbagi suka dan duka serta
dukungan yang telah diberikan selama ini.
17.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak memberi andil hingga terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penelitian ini.
Penulis mohon saran dan kritikan yang membangun guna perbaikan selanjutnya.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat.
Yogyakarta, 16 November 2011
x
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA……… 10
xi
C. Inflamasi, Aterosklerosis dan Penyakit Jantung Koroner………… 15
D. High Sensitivity C-Reactive Protein... 16
E. Body Mass Index dan Abdominal Skinfold Thickness……….. 19
F. Landasan Teori………... 21
G. Hipotesis……….. 22
BAB III. METODE PENELITIAN……….... 23
A. Jenis dan rancangan Penelitian……… 23
B. Variabel……… 23
C. Definisi Operasional……… 24
D. Responden Penelitian………... 25
E. Lokasi dan Waktu Penelitian………... 27
F. Ruang Lingkup………. 28
G. Teknik Sampling………... 29
H. Instrumen Penelitian……….... 30
I. Tata Cara Penelitian………... 30
1. Observasi awal………... 30
2. Permohonan izin dan kerja sama………... 30
xii
4. Validitas dan reliabilitas instrumen penelitian …………... 33
5. Pengukuran parameter………... 34
6. Pembagian hasil pemeriksaan laboratorium……….. 35
J. Teknik Analisis Data Statistik………... 36
K. Kesulitan Penelitian………. 37
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 38
A. Karakteristik Responden………... B. Perbandingan Rerata hs-CRP BMI <23 Kg/m2 dan BMI ≥23 Kg/m2………... 44
C. Perbandingan Rerata hs-CRP AST<14,5 mm dan AST ≥14,5 mm……….. 46
D. Korelasi Body Mass Index dengan kadar hs-CRP……….... 47
E. Korelasi Abdominal Skinfold Thickness dengan kadar hs-CRP…... 49
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 53
A. Kesimpulan……….. 53
xiii
DAFTAR PUSTAKA……….. 54
LAMPIRAN……… 59
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Klasifikasi BMI menurut WHO untuk Penduduk Dewasa
Asia………. 20
Tabel II. Panduan Interpretasi Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan Kekuatan Korelasi, Nilai p, dan Arah Korelasi……….. 37
Tabel III. Karakteristik Responden……… 38
Tabel IV. Profil BMI Responden………... 41
Tabel V. Profil Kadar hs-CRP Responden………... 43
Tabel VI. Perbandingan Rerata hs-CRP BMI <23 Kg/m2 dan BMI ≥23 Kg/m2………. 45
Tabel VII. Perbandingan Rerata hs-CRP AST <14,5 mm dan AST ≥14,5 mm……….. 46
Tabel VIII. Korelasi BMI dengan Kadar hs-CRP………. 47
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Marker Risiko Penyakit Kardiovaskular………... 18
Gambar 2. Skema Responden Penelitian……… 27
Gambar 3. Histogram Sebaran Data Usia………... 39
Gambar 4. Histogram Sebaran Data Berat Badan……….. 40
Gambar 5. Histogram Sebaran Data Tinggi Badan……… 41
Gambar 6. Histogram Sebaran Data BMI……….. 42
Gambar 7. Histogram Sebaran Data AST………... 43
Gambar 8. Histogram Sebaran Data hs-CRP……….. 44
Gambar 9. Diagram Sebar Korelasi BMI dengan hs-CRP……….. 47
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Komisi Etik Kedokteran…………. 60
Lampiran 2. Surat Izin penelitian………. 61
Lampiran 3. Informed Consent……… 62
Lampiran 4. Surat Izin Peminjaman Ruangan………. 63
Lampiran 5. Blangko Pengisian Data Pengukuran Antropometri dan Tekanan Darah……….. 65
Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan Laboratorium……… 66
Lampiran 7. Uji Realiabilitas Instrumen………. 67
Lampiran 8. Deskripsi dan Uji Normalitas Usia………. 68
Lampiran 9. Deskripsi dan Uji Normalitas Body Mass Index……. 69
Lampiran 10. De Deskripsi dan Uji Normalitas Abdominal Skinfold Thickness………... 70
Lampiran 11. Deskripsi dan Uji Normalitas hs-CRP………. 71
Lampiran 12. Deskripsi dan Normalitas Berat Badan………... 72
Lampiran 13. Deskripsi dan Normalitas Tinggi Badan………. 73
Lampiran 14. Deskripsi dan Normalitas hs-CRP pada BMI ≥23 Kg/m2……….. 74
Lampiran 15. Deskripsi dan Normalitas hs-CRP pada BMI <23 Kg/m2 ……….. 75
xvii
Lampiran 17. Deskripsi dan Normalitas hs-CRP pada
AST ≥14,5 mm……… 77
Lampiran 18. Deskripsi dan Normalitas hs-CRP pada
AST <14,5 mm……… 78
Lampiran 19. Uji Mann Whitney Rerata hs-CRP AST<14,5 mm
dan AST ≥14,5 mm………. 79
Lampiran 20. Uji Korelasi Spearman BMI dengan hs-CRP………. 80
Lampiran 21. Uji Korelasi Spearman AST dengan hs-CRP………. 81
Lampiran 22. Foto Pengukuran BMI dan Pengambilan Darah
Responden ……….. 82
xviii INTISARI
Obesitas dapat meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK). Skrining obesitas dapat dilakukan dengan mengukur Body Mass Index (BMI) dan
Abdominal Skinfold Thickness (AST). Seseorang dengan obesitas cenderung mengalami peningkatan kadar High Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP). Kadar hs-CRP dapat digunakan untuk menilai risiko PJK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi positif bermakna antara BMI dan AST terhadap kadar hs-CRP.
Penelitian ini merupakan jenis observasional analitik dengan desain
cross-sectional.Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling
dengan 46 responden. Kriteria inklusi meliputi wanita premenopause, usia 30-50 tahun, bekerja di Universitas Sanata Dharma, dan bersedia untuk bekerjasama dalam penelitian ini. Kriteria eksklusi yaitu memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, penyakit hati akut maupun kronis,
rheumathoid arthritis, menderita penyakit peradangan akut atau kronis, demam, hamil, perokok, udema dan menggunakan obat-obatan kontrasepsi. Pengukuran meliputi berat badan, tinggi badan, AST dan kadar hs-CRP dalam darah. Penelitian ini menggunakan taraf kepercayaan 95%.
Uji korelasi Spearman menunjukkan korelasi positif bermakna antara BMI dengan kadar CRP (r=0,697; p=0,000) dan antara AST dengan kadar hs-CRP (r=0,389; p=0,007). Pengukuran BMI dan AST dapat digunakan sebagai deteksi dini untuk mengetahui faktor resiko PJK.
xix ABSTRACT
Obesity can increase the risk of Coronary Heart Disease (CHD). Screening of obesity can be measured by Body Mass Index (BMI) and Abdominal Skinfold Thickness (AST). Person with obesity tend to have elevated levels of High Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP). Hs-CRP levels can be used to assess the risk of CHD. The aim of this study was to determine significant positive correlation between BMI and AST with hs-CRP levels.
This study was observational analytical with cross-sectional design. This study used purposive sampling with 46 respondents. Inclusion criteria were premenopausal women, aged 30-50 years old, working at Sanata Dharma Univesity, and willingness to cooperate in this study. Exclusion criteria were patient who have a history of diabetes mellitus, coronary heart disease, acute or chronic liver disease, arthritis rheumathoid, acute or chronic inflammatory disease, fever, pregnancy, smoking, edema and consume contraception medicines. Measurements included weight, height, AST, and hs-CRP levels in blood. This Study used 95% confidence interval.
Spearman correlation test showed significant positive correlation between BMI with hs-CRP (r=0.697; p=0.000) and between AST with hs-CRP (r=0.389; p=0.007). Measurement of BMI and AST can be used as early detection to determine risk factor of CHD.
1 BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Era globalisasi telah mengubah gaya hidup dan pola makan masyarakat
(Azwar, 2004). Masyarakat cenderung mengkonsumsi fast food yang kaya kalori,
garam, gula, lemak tetapi rendah vitamin A, serat, asam askorbat, kalsium dan
folat (Risnaningsih dan Woro, 2008). Di lain sisi, aktivitas fisik masyarakat pun
semakin berkurang akibat kemajuan teknologi dan tuntunan pekerjaan
(Naamsyah, 2008; Nurlaila, 2011). Ketidakseimbangan antara asupan energi
(energy intake) dan energi yang digunakan (energy expenditure) dapat
mengakibatkan obesitas (Hadi, 2005).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 memperkirakan 1,5
milyar orang dewasa mengalami overweight dan 500 juta mengalami obesitas
(WHO, 2011a). Prevalensi overweight dan obesitas di kawasan Asia-Pasifik juga
meningkat sangat tajam, di Korea Selatan 20,5% penduduk tergolong overweight
dan 1,5% mengalami obesitas. Di Thailand, 16% penduduknya mengalami
overweight dan 4% mengalami obesitas (Hadi, 2005). Di Indonesia, sebanyak
8,8% orang dewasa tergolong overweight dan 10,3% mengalami obesitas. Di
Yogyakarta, sebanyak 8,5% orang dewasa mengalami overweight dan 10,2%
mengalami obesitas (Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan
WHO (2011a) mendefinisikan obesitas sebagai suatu kondisi di mana
terjadi akumulasi lemak secara berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan.
Menurut WHO (2000) obesitas berhubungan dengan Penyakit Jantung Koroner
(PJK). Wilson, D’Agostino, Sullivan, Parise dan Kannel (2002) menemukan
overweight dan obesitas sebagai faktor penentu terjadinya PJK. Gotera, Aryana,
Suastika, Santoso dan Kuswardhani, (2006) menyatakan peningkatan berat badan
dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari 30 Kg/m2 dapat meningkatkan
risiko PJK 4 kali lipat, baik pada laki-laki ataupun wanita. Penelitian Mawi (2003)
menunjukkan bahwa kelompok overweight dan obesitas memiliki risiko PJK 1,79
kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok underweight dan ideal.
Skrining obesitas dapat dilakukan dengan pengukuran antropometri
tubuh. Body Mass Index (BMI) dan Abdominal Skinfold Thickness (AST)
merupakan pengukuran antropometri yang digunakan dalam penelitian ini. BMI
merupakan pengukuran antropometri yang mudah dilakukan dan sering digunakan
(WHO, 2000). Polikandrioti, Kotronoulas, Liveri, Giovaso, Varelis dan Kyritsi
(2009) menyatakan pengukuran BMI sederhana, aman dan mudah dilakukan.
Selain BMI, pengukuran antropometri juga dilakukan dengan mengukur AST.
Menurut Budiman (2008) cara ini murah, mudah dilakukan, tidak butuh waktu
lama dan tidak invasif. Penelitian Demura dan Sato (2007) menemukan bahwa
AST merupakan pengukuran skinfold dengan tingkat kesalahan paling kecil
dibanding parameter skinfold lainnya.
Jaringan adiposa dapat melepaskan sitokin, salah satunya adalah
atau ukuran sel lemak (Nurtanio dan Wangko, 2007). Meningkatnya sekresi
sitokin IL-6 menimbulkan low grade inflammation yang ditandai dengan
tingginya kadar C-Reactive Protein (CRP) (Chaikate et al., 2006). Proses inflamasi yang terjadi memainkan peran penting dalam patogenesis aterosklerosis
(Blake dan Ridker, 2001). Aterosklerosis merupakan penyebab utama PJK (Rifai
dan Ridker, 2001).
Menurut American Association for Clinical Chemistry (2011), High
Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) adalah pemeriksaan CRP dalam kuantitas
kecil dengan metode yang mempunyai sensitivitas tinggi. Kadar hs-CRP dalam
darah dapat digunakan sebagai prediktor PJK (Blake dan Ridker, 2001; Ridker,
2002; Patel, Robbins dan Topol, 2001). Beberapa studi prospektif secara
konsisten menunjukkan bahwa hs-CRP merupakan prediktor kuat kejadian
koroner pada pria dan wanita yang tampak sehat di masa depan (Rifai dan Ridker,
2001).
Pengukuran BMI dan AST serta kadar hs-CRP dalam darah memiliki
kaitan dengan risiko PJK. Penelitian yang dilakukan Silor (2011) pada staf pria
Universitas Sanata Dharma menemukan korelasi bermakna antara BMI dengan
hs-CRP (r=0,354; p=0,003) dan triceps skinfold thickness dengan kadar hs-CRP
(r=0,318; p=0,007). Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui
korelasi antara BMI dan AST terhadap kadar hs-CRP pada staf wanita Universitas
Sanata Dharma.
Secara umum, wanita memiliki kadar hs-CRP yang lebih tinggi
Rains, Bells, Reeves, Farmer dan Yasunaga, 2011). Menurut National Institute of
Health (2008) persentase lemak tubuh yang normal untuk wanita usia 34-55 tahun
adalah 25%-32% sedang untuk pria pada usia yang sama adalah 10%-18%.
American Heart Association (AHA) 2011a menyatakan bahwa pada wanita
premenopause hormon estrogen dapat memberikan perlindungan terhadap
penyakit kardiovaskular, meskipun demikian deteksi dini melalui pengukuran
BMI dan AST tetap perlu dilakukan.
1. Perumusan masalah
Apakah terdapat korelasi positif bermakna antara BMI dan AST terhadap
kadar hs-CRP pada staf wanita Universitas Sanata Dharma?
2. Keaslian penelitian
Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Silor (2011) dengan judul
“Korelasi Body Mass Index dan Triceps Skinfold Thickness terhadap Kadar
hs-CRP Dalam Darah”. Penelitian ini merupakan studi cross sectional, purposive
sampling yang dilakukan pada 70 staf pria Universitas Sanata Dharma dengan
rentang usia 30-50 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat korelasi
bermakna pada BMI dengan hs-CRP (r=0,354; p=0,003) dan triceps skinfold
thickness dengan kadar hs-CRP (r=0,318; p=0,007). Penelitian ini merupakan
penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya. Perbedaannya terletak pada subyek
penelitian dan parameter skinfold thickness yang diukur.
Penelitian mengenai obesitas, pengukuran antropometri, hs-CRP dan
penyakit kardiovaskular yang telah dipublikasikan sepanjang penelusuran peneliti,
a. Elevated Plasma High-Sensitivity C-Reactive Protein Concentrations in
Asian Indians Living in The United States (Chandalia, Chabochan, Devaraj,
Jialal, Grundy, dan Abate, 2003). Penelitian ini dilakukan terhadap 82 pria
India dan 55 pria Kaukasia di Amerika Serikat dengan desain penelitian
cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan pria India memiliki kadar
hs-CRP yang lebih tinggi dibanding dengan pria Kaukasia (0,94 mg/L vs 0,63
mg/L; p=0,036). Pada pria India ditemukan korelasi antara hs-CRP dengan
berat badan (r=0,28; p<0,05), truncal skinfold thickness (r=0,39; p<0,05) dan
pada pria Kaukasia, korelasi hs-CRP dengan berat badan (r=0,46; p<0,05),
truncal skinfold thickness (r=0,52; p<0,05).
b. Indeks Massa Tubuh sebagai Determinan Penyakit Jantung Koroner pada
Orang Dewasa Berusia diatas 35 Tahun (Mawi, 2003). Penelitian ini
dilakukan terhadap 40 pria dan 40 wanita berusia 35-80 tahun di Jakarta
Utara dan Jakarta Timur dengan desain cross-sectional. Hasil penelitian
menunjukkan kelompok overweight dan obesitas memiliki risiko PJK 1,79
kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok underweight dan ideal.
c. Systemic Low Grade Inflamation is Related to Both Circulating and Adipose
Tissue TNF α, Leptin and IL-6 Levels in Obese Women (Maachi et al., 2004).
Penelitian ini dilakukan terhadap 15 wanita obesitas yang rata-rata berusia 48
tahun (10 subyek postmenopausal dan 5 subyek premenopausal) di Prancis
dengan desain penelitian cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan BMI
berkorelasi secara signifikan dengan IL-6 (r=0,600; p<0,02), leptin (r=0,679;
antara persen lemak tubuh dengan hs-CRP (r=0,732; p<0,005), dan leptin
(r=0,831; p<0,0001).
d. Race and Gender Differences in C-Reactive Protein Levels (Khera et al.,
2005). Penelitian ini dilakukan terhadap 475 Pria kulit putih rata-rata berusia
45 tahun, 740 pria kulit hitam rata-rata berusia 44 tahun, 516 wanita kulit
putih rata-rata berusia 47 tahun, dan 1018 wanita kulit hitam rata-rata berusia
44 tahun dari Dallas Heart study. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
korelasi bermakna antara BMI dengan hs-CRP pada pria kulit putih (r=0,32;
p<0,001), pria kulit hitam (r=0,29; p<0,001), wanita kulit putih (r=0,58;
p<0,001) dan wanita kulit hitam (r=0,51; p<0,001). Subyek kulit hitam
memiliki kadar hs-CRP yang lebih tinggi dibanding kulit putih (3,0 mg/L vs
2,3 mg/L; p<0,001). Penelitian ini juga menemukan hasil bahwa wanita
memiliki kadar hs-CRP yang lebih tinggi dibanding pria (3,3 mg/L vs 1,8
mg/L; p<0.001).
e. C-Reactive Protein, Interleukin-6 and Tumor Necrosis Factor Alpha Levels in
Overweight and Healthy Adults (Chaikate et al., 2006). Penelitian ini dilakukan terhadap 90 subyek overweight (44 pria dan 46 wanita) dan 90
subyek BMI normal (46 pria dan 44 wanita). Subyek yang terlibat rata-rata
berusia 40 tahun. Hasil penelitian menunjukkan rerata hs-CRP kelompok
overweight lebih tinggi dibanding kelompok BMI normal (1,80±1,28 mg/L
vs 1,01±0,96 mg/L; p=0,000). Penelitian ini juga menemukan korelasi
f. The Correlation Between hs C-Reactive Protein and Left Ventricular Mass in
The Obese Women (Alwi, Harun, Sukmoko, Soewondo, Waspadji, dan
Soegondo, 2006). Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang
dilakukan pada 45 wanita obesitas yang rata-rata berusia 37 tahun. Hasil
penelitian menunjukkan kadar hs-CRP berkorelasi secara signifikan dengan
BMI (r=0,46; p=0,002) dan kadar hs-CRP juga berkorelasi dengan visceral
fat (r=0,33; p=0,03).
g. The Relationship between C-Reactive Protein and Other Cardiovascular Risk
Factors in Men and Women (Arena, Arrowood, Fei, Helm, dan Kraft, 2006).
Penelitian ini dilakukan terhadap 90 pria yang rata-rata berusia 51 tahun dan
75 wanita yang rata-rata berusia 50 tahun (34 subyek premenopausal dan 39
subyek postmenopausal) di Richmond Virginia dengan desain penelitian
cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan log hs-CRP pada subyek
wanita secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada subyek pria (0,86 ±
0,67 mg/L vs 0,63 ± 0,44 mg/L, p=0,003). Kadar log hs-CRP berbeda tidak
bermakna antara wanita premenopausal dan wanita postmenopausal (0,81 ±
0,74 mg/L vs 0,84 ± 0,59 mg/L, p=0,88). Pada subyek pria, tidak ditemukan
korelasi antara log hs-CRP dengan variable-variabel yang diteliti. Pada
subyek wanita, log hs-CRP berkorelasi secara signifikan dengan BMI
(r=0,36; p=0,002).
h. Significance of hs-CRP and Oxidative Stress as Early Novel Markers of
Subclinical Atheroslerosis in Young Healthy Obese Males (Nirmitha dan
yang dibagi menjadi kelompok obesitas dan non obesitas. Hasil penelitian
menemukan perbedaan bermakna (p<0,05) antar hs-CRP subyek penelitian
obesitas (8,9±2,9) dan hs-CRP subyek penelitian non obesitas (3,1±1,6).
i. Waist Circumference and BMI in Relation to Serum High Sensitivity
C-Reactive Protein (hs-CRP) in Cuban Americans With and Without Type 2
Diabetes (Huffman, Whisner, Zarini dan Nath, 2010). Penelitian ini dilakukan
pada 355 orang Cuban Amerika (69 pria dan 108 wanita yang menderita
diabetes dengan rata-rata usia 65 tahun dan pada 60 pria dan 118 wanita yang
tidak menderita diabetes dengan rata-rata usia 63 tahun. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat korelasi bermakna antara hs-CRP dengan lingkar
pinggang (r=0,470; p=0,001 dan r=0,406, p=0,001) dan BMI (r =0,387,
p=0,001 dan r=0,395; p=0,001) pada wanita dengan dan tanpa diabetes.
Korelasi bermakna antara hs-CRP dengan lingkar pinggang (r=0,563;
p=0,001) dan BMI (r=0,548; p=0,001) juga ditemukan pada pria yang tidak
menderita diabetes.
j. Anthropometric Indices, Lipid Profile, and HS-CRP Levels in Adults (25-60
Years) in an Urban Setting (Chandorkar, Vaidya dan Patel, 2011). Penelitian
ini dilakukan terhadap 146 pria dan 146 wanita di India dengan desain
penelitian cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan pada wanita
ditemukan korelasi antara hs-CRP dengan BMI (r=0,364; p<0,01) dan pada
pria, korelasi hs-CRP dengan BMI (r=0,388; p<0,01).
k. Association between Inflammatory Markers and Cardiovascular Risk Factors
dilakukan pada 100 wanita umur 35-80 tahun di Kolkata, India dengan desain
penelitian cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan korelasi bermakna
antara BMI dengan hs-CRP (r=0,373; p<0,001).
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai korelasi antara BMI dan AST terhadap kadar hs-CRP
dalam darah pada wanita.
b. Manfaat praktis. Data pengukuran BMI dan AST diharapkan
mampu memberikan gambaran awal kadar hs-CRP sehingga dapat
digunakan oleh responden penelitian untuk deteksi dini faktor risiko
PJK.
B. Tujuan 1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi positif
bermakna antara BMI dan AST terhadap kadar hs-CRP pada staf wanita
Universitas Sanata Dharma.
2. Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui profil
pengukuran BMI, AST dan kadar hs-CRP pada staf wanita Universitas Sanata
10 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Obesitas 1. Definisi
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana terjadi akumulasi
lemak secara berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2011a).
Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan lemak,
namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh. Distribusi lemak dapat
meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai macam penyakit
degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes tipe II, sindrom metabolik,
stroke, kelainan muskulo-skeletal dan kanker (WHO, 2000).
2. Patofisiologi
Penyimpanan lemak yang terdapat di tubuh ternyata bukan merupakan
hasil kebiasaan buruk yang bersifat pasif. Adiposa ternyata berperan pada
pengaturan proses homeostasis energi, yaitu suatu proses yang membutuhkan
keseimbangan antara asupan energi (asupan makanan) dan pengeluaran energi
(metabolisme dan aktifitas fisik) serta jumlah cadangan energi dalam tubuh
(massa lemak). Di otak pada hipotalamus terdapat arcuate nucleus yang berperan
menggabungkan aktivitas leptin dan insulin, memberikan sinyal kepada tubuh
untuk mengatur kesimbangan asupan makanan dan penggunaan energi (Pusparini,
Arcuate nucleus memiliki dua neuron utama dengan aksi yang
berlawanan. Neuron tipe pertama memproduksi neurotransmitter peptida yaitu
Neuropeptide Y (NPY) dan Agouti Related Peptide (AgRP), aktivasi neuron ini
akan menstimulasi selera makan sambil mereduksi metabolisme. Neuron lainnya
yaitu neuron Proopiomelanocortin (POMC) / Cocaine and Amphetamine
Regulated Transcript (CART) yang akan melepaskan α Melanocyte Stimulating
Hormone (α MSH) yang dapat menghambat keinginan untuk makan. Ketika
cadangan lemak dan konsentrasi leptin menurun, neuron NPY dan AgRP
diaktivasi dan neuron POMC diinhibisi sehingga terjadi kenaikan berat badan
(Pusparini, 2007).
Hormon lain yang juga berperan dalam pengaturan berat badan adalah
hormon insulin. Reseptor insulin terdapat di seluruh bagian otak. Penelitian lain
mengatakan bahwa aksi hormon ini untuk menekan selera makan terjadi secara
langsung pada arcuate nucleus. Pemberian insulin ke dalam otak dekat arcuate
nucleus dapat menghambat produksi NPY, yang bekerja menstimulasi selera
makan (Pusparini, 2007).
Pada keadaan obesitas terjadi gangguan keseimbangan adipositokin yang
dilepaskan. Sel adiposit berusaha mempertahankan keseimbangan energi dengan
melepaskan Interleukin-6 (IL-6), Tumor Necorsis Factor-α (TNF-α) dan
Monocyte Chemotatic Protein-1 (MCP-1). Pelepasan sitokin tersebut menandai
awal inflamasi. Obesitas dapat dikatakan merupakan bentuk inflamasi kronik.
terus menerus dapat memperburuk kondisi inflamasi melalui aktivasi kronik
terhadap sel endotel, akibatnya terjadi disfungsi endotel (Pusparini, 2007).
3. Etiologi
Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial dan penyebabnya sangat
kompleks (Hidayati, Irawan dan Hidayat, 2006). Menurut Hidayati et al. (2006)
ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan obesitas yaitu:
a. Faktor genetik
Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila kedua
orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua
obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak
obesitas, prevalensi menjadi 14%.
b. Aktivitas fisik
Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan
berat badan. Penelitian di Jepang menunjukkan risiko obesitas yang rendah
pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga. Penelitian di Amerika
menunjukkan penurunan berat badan dengan adanya aktivitas olahraga
Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama
menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi 5 jam/hari mempunyai
risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang menonton
televisi 2 jam setiap harinya.
c. Faktor nutrisi
Faktor nutrisi yang diperoleh akan menentukan jumlah lemak tubuh.
tinggi mempunyai risiko peningkatan berat badan lebih besar daripada
kelompok asupan lemak rendah. Kelebihan asupan lemak akan disimpan
dalam jaringan lemak sehingga akan terjadi peningkatan berat badan.
d. Faktor sosial-ekonomi
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta
peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan
yang dikonsumsi. Beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya
hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti bermain
komputer/games dan nonton TV atau video. Ketersediaan dan harga dari junk
food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas.
4. Tipe Obesitas
Menurut Wajchenberg (2000) terdapat dua tipe obesitas yaitu obesitas
sentral dan obesitas perifer. Pada obesitas sentral terjadi penimbunan lemak dalam
tubuh yang melebihi nilai normal di daerah abdomen sedangkan pada obesitas
perifer penimbunan lemak yang melebihi nilai normal di daerah gluteo-femoral.
National Institute of Health (2008) membagi obesitas menjadi dua yaitu
apple shape (android) dan pear shape (gynoid). Bentuk tubuh apple shape
biasanya ditemukan pada pria, di mana lemak tertumpuk di sekitar perut. Bentuk
tubuh pear shape biasanya ditemukan pada wanita, dimana lemak disimpan di
sekitar pinggul dan bokong. Obesitas sentral/ apple shape (android) memiliki
risiko PJK lebih tinggi dibandingkan dengan obesitas perifer/ pear shape (gynoid)
B. Jaringan Adiposa
Jaringan adiposa berfungsi sebagai tempat penyimpanan energi dalam
bentuk lipid dan sebagai organ endokrin. Jaringan adiposa terletak dibawah kulit,
tetapi juga dapat ditemukan di sekeliling organ (Permana, 2009). Di dalam
jaringan adiposa terdapat sel adiposa yang dapat ditemukan tunggal atau
berkelompok (Nurtanio dan Wangko, 2007). Sel-sel adiposa dapat melepaskan
sitokin inflamasi seperti IL-6 danTNF-α (Permana, 2009).
TNF-α merupakan sitokin inflamasi yang disekresikan oleh makrofag
dan juga disekresikan oleh sel adiposa (Permana, 2009). TNF-α turut
berpertisipasi dalam menginduksi dan mempertahankan keadaan inflamasi
subakut yang berhubungan dengan obesitas. orang yang mengalami obesitas
mensekresikan 2 sampai 3 kali lebih banyak TNF-α dibanding orang kurus
(Nurtanio dan Wangko, 2007).
IL-6 merupakan proinflamatory sitokin yang disekresi oleh monosit,
makrofag, dan jaringan lemak. IL-6 yang beredar dalam tubuh diperkirakan
sepertiganya berasal dari sel adiposa (Permana, 2009). Peningkatan kadar IL-6
dipengaruhi oleh jumlah atau ukuran sel lemak (Nurtanio dan Wangko, 2007).
IL-6 memiliki peran yang paling besar dalam menstimulasi pengeluaran CRP
(Nakou, Elisaf dan Liberopoulos, 2010). IL-6 dapat memacu reaksi inflamasi
C. Inflamasi, Aterosklerosis dan Penyakit Jantung Koroner
Inflamasi berperan besar dalam proses aterosklerosis (Hansson, 2005;
Spagnoli, Bonano, Sangiorgi dan Mauriello, 2007). Pernyataan American Heart
Association (AHA) dan Centers for Disease Control Prevention (CDC) pada
tahun 2003 tentang penanda inflamasi dan penyakit kardiovaskuler menegaskan
peran inflamasi sebagai kunci daripatogenesis aterosklerosis (AHA, 2011b).
Proses inflamasi berhubungan erat dengan aterosklerosis, yaitu sejak
proses pembentukan plak ateroma, terjadinya ruptur plak sampai terjadinya
komplikasi. Pembentukan plak ateroma dimulai dengan disfungsi endotel dan
masuknya sel monosit ke dalam tunika sub intima pembuluh darah yang
difasilitasi oleh molekul adhesi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan
E selectin. Sel-sel tersebut diproduksi atas stimulasi Interleukin-1 (IL-1), IL-6 dan
TNF-α (Blake dan Ridker, 2001). Monosit yang sudah masuk ke dalam ruang sub
intima, akan berubah menjadi makrofag. CRP menyebabkan Low Density
Lipoprotein (LDL) mudah difagosit oleh makrofag dan membentuk sel busa (fatty
streak). Sel busa yang berlebihan dengan fibrous cap yang tipis menyebabkan
plak menjadi rapuh dan mengalami ruptur (Libby, Ridker dan Maseri, 2002).
Aterosklerosis didefinisikan sebagai penyempitan pembuluh darah arteria
yang disebabkan oleh penumpukan kolesterol dan lemak dalam dinding pembuluh
darah arteria. Penyempitan ini dapat mengenai arteria koronaria (Hansson, 2005).
Aterosklerosis merupakan penyebab utama PJK (Rifai dan Ridker, 2001).
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih
darah (intima) disertai adanya aterosklerosis yang akan mempersempit lumen
arteri koroner dan akhirnya akan mengganggu aliran darah ke otot jantung
sehingga terjadi kerusakan dan gangguan pada otot jantung (Hariadi dan Ali,
2005).
D. High Sensitivity C-Reactive Protein
C-Reactive Protein (CRP) merupakan protein pentraxin, yang terdiri dari
5 subunit polipeptida identik, masing-masing 23 kD terdiri dari 206 asam amino
yang menyusun konfigurasi anular dengan simetri pentametrik siklik (Albert dan
Ridker, 2006). CRP disintesis dengan cepat di hati atas induksi IL-6 dan TNF-α
(Nystrom, 2007). Kadar CRP dapat meningkat hingga 100 kali dalam 24-48 jam
setelah terjadi inflamasi termasuk diantaranya aterogenesis koroner, serebral
maupun arteri perifer (Alam, 2005).
CRP telah diketahui berhubungan dengan lesi aterosklerosis pada
pembuluh arteri koroner manusia. Pada pasien dengan acute coronary syndrome,
CRP ditemukan dalam dinding pembuluh darah dan kadarnya lebih tinggi di
dalam sinus dibandingkan di dalam aorta. CRP akan menginduksi ekspresi
molekul adesi oleh sel endotelia seperti ICAM-1, Vascular Cell Adhesion
Molecule-1 (VCAM-1) and E-selectin yang memainkan peran krusial dalam
migrasi monosit dan leukosit-T ke dalam pembuluh darah dan kemudian
berkembang menjadi atherosclerosis. CRP juga dapat menginduksi ekspresi
Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) dan aktivitas sel endotel yang
menginduksi apoptosis smooth muscle cells vaskular coronary yang menyebabkan
atherogenesis. CRP juga dapat menyebabkan rusaknya sel endothelia akibat sel
yang telah rusak. Mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya ruptur pada plak
(Nakou et al., 2010).
High Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) adalah pemeriksaan CRP
dalam kuantitas kecil dengan metode yang mempunyai sensitivitas tinggi
(American Association for Clinical Chemistry, 2011). Beberapa studi prospektif
menunjukkan bahwa hs-CRP merupakan prediktor kardiovaskular di masa depan.
Pada Physicians Health Study (PHS) ditemukan hubungan positif antara hs-CRP
dengan kejadian koroner di masa depan pada pria yang tampak sehat. Studi ini
menunjukkan bahwa pria dengan kuartil hs-CRP tertinggi memiliki risiko dua
kali lipat mengalami stroke di masa depan (RR=1,9; 95% CI, 1,1-3,3), risiko tiga
kali lipat mengalami Miokard Infark (MI) di masa depan (RR=2,9; 95% CI,
1,8-4,6) dan risiko empat kali lipat mengalami penyakit pembuluh darah perifer di
masa depan (RR=4,1; 95% CI, 1,2-6,0) (Rifai dan Ridker, 2001).
Studi European Monitoring Trends and Determinants in Cardiovascular
Disease Augsburg (MONICA) menunjukkan bahwa peningkatan satu standar
deviasi log hs-CRP berhubungan dengan peningkatan 50% risiko koroner dan
subyek dengan kadar hs-CRP dalam quintile tertinggi memiliki 2,6 kali lipat
berisiko mengalami kejadian koroner di masa depan. Penelitian Helsinki Heart
Study mendukung studi MONICA Augsburg dan hasil penelitian menunjukkan
bahwa subyek dengan kuartil hs-CRP tertinggi memiliki risiko tiga kali lipat
1,93-6,57). Dua laporan dari Women Health Study (WHS) menunjukkan bahwa hs-CRP
merupakan prediktor kuat kardiovaskuler di masa depan pada wanita (RR=4,4;
CI=95%, 2,2-8,9). Dalam analisis bertingkat, hs-CRP terus menjadi prediktor
kuat kejadian kardiovaskular di masa depan bahkan antara sub kelompok wanita
yang tidak memiliki riwayat hiperlipidemia, hipertensi, merokok, diabetes, atau
riwayat PJK dalam keluarga (Rifai dan Ridker, 2001).
Pengukuran hs-CRP merupakan prediktor terbaik untuk mengetahui
risiko penyakit kardiovaskuler (Nyandak, Gogna, Bansal dan Deb, 2007). Data
dari PHS dan WHS menunjukkan bahwa hs-CRP merupakan prediktor terbaik
penyakit kardiovaskular (RR=4,4; 95% CI, 2,2-8,9) dibandingkan dengan
lipoprotein(a), homocysteine, IL-6, kolesterol total, LDL, sICAM-1, SAA, dan
apo B (Rifai dan Ridker, 2001). Marker biokimia penanda risiko penyakit
kardiovaskular dapat dipaparkan pada gambar 1.
American Heart Association (AHA) dan Centers for Disease Control
Prevention (CDC) pada tahun 2003 telah menginterpretasikan nilai hs-CRP nilai
hs-CRP untuk penyakit jantung koroner yaitu < 1 mg/L mempunyai risiko rendah,
1-3 mg/L mempunyai risiko sedang, dan > 3 mg/L mempunyai risiko tinggi.
(AHA, 2011b). CDC juga telah menetapkan nilai rujukan CRP untuk orang sehat
yaitu 0,08-3,1 mg/L (Juwairiyah, Lisyani, Indranila dan Imam, 2009).
E. Body Mass Index dan Abdominal Skinfold Thickness
Body Mass Index (BMI) merupakan angka pengukuran massa tubuh, dan
erat kaitannya dengan kandungan lemak tubuh. Body mass index menggunakan
persamaan matematika berdasarkan tinggi dan berat badan seseorang. Body mass
index merupakan hasil bagi antara berat dalam Kg, dengan tinggi badan dalam m2
(WHO, 2011b).
Pada orang Asia, perhitungan BMI menurut WHO tahun 1998, yang
dihasilkan berdasarkan data populasi di negara barat, menghasilkan angka
prevalensi dan insidensi penderita kelebihan berat badan yang rendah.
Menggunakan rekomendasi WHO tahun 1998, di Jepang angka prevalensi
obesitas pada pria hanya 1,97% dan pada wanita hanya 3%. Persentase lemak
tubuh pada orang Asia pada angka BMI yang sama dengan orang barat
(Caucasian) lebih tinggi 3 sampai 5 persen. Data dari Hong Kong menunjukkan
peningkatan yang signifikan dari insidensi penyakit yang berhubungan dengan
kelebihan berat badan pada penderita dengan BMI melebihi 23 Kg/m2. Oleh
kawasan pasifik barat mengajukan proposal klasifikasi dengan menggunakan BMI
pada orang Asia (Ridjab, Ridwan, dan Hermansjah, 2006). Klasifikasi BMI
dipaparkan pada tabel I.
Tabel I. Klasifikasi BMI menurut WHO untuk Penduduk Dewasa Asia Ridjab et al. (2006).
Klasifikasi BMI (Kg/m2) Risiko Penyakit Penyerta
Underweight < 18,5 Rendah (tetapi risiko terhadap masalah-masalah
Abdominal skinfold thickness (tebal lipatan kulit abdominal) merupakan
salah satu pengukuran skinfold thickness yang dilakukan dengan menarik kulit dan
jaringan subkutan secara vertikal dengan jarak 5 cm dari umbilicus (Norton dan
Olds, 2004). Pengukuran Abdominal skinfold thickness dilakukan pada subyek
dengan posisi berdiri menggunakan skinfold caliper. Skinfold caliper mempunyai
standard atau jangkauan jepitan (20-40 mm2), dengan ketelitian 0,1 mm. Skinfold
thickness tidak tergantung dari tinggi badan, sehingga dapat memberi nilai untuk
tiap umur dan jenis kelamin (Fajar, Bakri dan Supariasa, 2002).
Penelitian mengenai abdominal skinfold thickness telah dilakukan oleh
Demura dan Sato (2007) pada 126 pria dan 77 wanita usia 21-81 tahun di Jepang.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui parameter skinfold thickness mana
yang dapat memberikan tingkat kesalahan paling kecil. Hasil penelitian
skinfold thickness dengan tingkat kesalahan pengukuran yang paling kecil
dibanding parameter skinfold thickness yang lain.
F. Landasan Teori
Ketidakseimbangan energi merupakan penyebab dasar terjadinya
obesitas. Obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya PJK. Skrining obesitas
dapat dilakukan melalui pengukuran antropometri diantaranya BMI dan AST.
Seseorang yang mengalami obesitas cenderung memiliki kadar CRP yang tinggi
karena jaringan adiposa dapat melepaskan IL-6. Peningkatan sekresi sitokin IL-6
akan menimbulkan low grade inflamation yang ditandai dengan tingginya kadar
CRP (Chaikate et al., 2006).
Hs-CRP adalah pemeriksaan kadar CRP dalam jumlah kecil
menggunakan metode yang sangat sensititif. Tingginya kadar hs-CRP dalam
darah dapat dijadikan sebagai prediktor risiko PJK pada seseorang (Blake dan
Ridker, 2001). Pemeriksaan hs-CRP masih tergolong mahal sehingga sebagian
orang tidak dapat melakukan pemeriksaan tersebut.
Korelasi bermakna ditemukan antara BMI dengan hs-CRP (r=0,46;
p=0,002) pada 45 wanita yang berumur rata-rata 36 tahun (Alwi et al., 2006).
Korelasi positif bermakna juga ditemukan antara BMI dengan hs-CRP (r=0,388;
p<0,01 dan r=0,364; p<0,01) pada 146 pria dan 146 wanita dengan rentang usia
25-60 tahun (Chandorkar et al., 2011). Chandalia et al. (2003) menemukan
korelasi bermakna antara truncal skinfold thickness dengan kadar hs-CRP pada 82
(2011) juga menemukan korelasi positif bermakna antara BMI dengan hs-CRP (r=
0,354; p= 0,003) dan triceps skinfold thickness dengan kadar hs-CRP (r=0,318;
p=0,007) pada pria. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, diharapkan
terdapat korelasi positif bermakna antara BMI dan AST dengan kadar hs-CRP
pada staf wanita di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta supaya dapat
digunakan sebagai deteksi dini PJK.
G. Hipotesis
Terdapat korelasi positif bermakna antara body mass index dan
abdominal skinfold thickness terhadap kadar hs-CRP pada staf wanita Universitas
23 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan
pendekatan rancangan secara cross-sectional. Dikatakan observasional analitik
karena pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap variabel subyek
menurut keadaan apa adanya, tanpa adanya intervensi peneliti, kemudian
dilakukan analisis dinamika korelasi antar faktor risiko dengan efek, antar faktor
risiko maupun antar efek (Pratiknya, 2001). Dalam penelitian ini, Body Mass
Index (BMI) dan Abdominal Skinfold Thickness (AST) merupakan faktor risiko
dan kadar High Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) merupakan efek.
Dalam rancangan penelitian secara cross-sectional, pengukuran terhadap
variabel bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung (efek) hanya dilakukan pada
satu saat tertentu. Satu saat berarti setiap subyek hanya diobservasi satu kali dan
pengukuran variabel subyek dilakukan pada saat tersebut (Sastroasmoro dan
Ismael, 2008). Penelitian ini menganalisis korelasi antara BMI dan AST terhadap
kadar hs-CRP. Data yang diperoleh diolah secara statistik untuk mengetahui
korelasi antara BMI dan AST terhadap kadar hs-CRP.
B. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas
2. Variabel tergantung
Kadar high sensitivity C-Reactive Protein (mg/L).
3. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali: jenis kelamin, umur dan kondisi
patologi responden.
b. Variabel pengacau tak terkendali: aktivitas dan gaya hidup responden.
C. Definisi Operasional
1. Responden adalah staf wanita kampus I, II, dan III Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta usia 30-50 tahun yang memenuhi kriteria inklusi penelitian ini.
2. Karakteristik penelitian meliputi demografi, pengukuran antropometri dan
hasil pemeriksaan laboratorium. Karakteristik demografi meliputi jenis
kelamin dan umur responden. Pengukuran antropometri meliputi pengukuran
body mass index dan abdominal skinfold thickness. Hasil pemeriksaan
laboratorium yang diteliti adalah kadar high sensitivity C-Reactive Protein.
3. Body Mass Index (BMI) adalah sebuah ukuran berat badan dalam Kg terhadap
tinggi badan dalam m2 yang umum digunakan untuk menggolongkan orang
dewasa ke dalam kategori underweight (kekurangan berat badan), overweight
(kelebihan berat badan) dan obesitas (kegemukan). Pengukuran BMI
dilakukan dengan cara menimbang berat badan responden, kemudian
mengukur tinggi badan responden menggunakan meteran tinggi badan. Untuk
mendapatkan nilai BMI, hasil penimbangan berat badan (kg) dibagi dengan
Klasifikasi BMI menurut WHO untuk penduduk dewasa Asia digunakan
sebagai acuan dalam menentukan klasifikasi BMI responden.
4. Abdominal Skinfold Thickness (AST) adalah ketebalan subkutan lemak yang
diukur secara vertikal dengan jarak 5 cm dari pusar. Pengukuran AST
dilakukan dengan cara menjepit subkutan lemak yang berada di bagian perut
dengan menggunakan skinfold caliper.
5. High Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) adalah pemeriksaan CRP dalam
kuantitas kecil dengan metode Pureauto S CRP latex (SS-type). Standar kadar
hs-CRP yang digunakan menurut Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) dan American Heart Association (AHA).
D. Responden Penelitian
Responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini memenuhi kriteria
inklusi yaitu wanita premenopause, usia 30-50 tahun, bekerja di Universitas
Sanata Dharma, dan bersedia untuk bekerjasama dalam penelitian ini. Kriteria
eksklusi dalam penelitian ini yaitu memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus,
penyakit jantung koroner, penyakit hati akut maupun kronis, rheumathoid
arthritis, sedang menderita penyakit peradangan akut dan kronis, sedang demam,
hamil, perokok, udema dan menggunakan obat-obatan kontrasepsi.
Responden yang menandatangani informed consent berjumlah 70 orang.
Dari 70 responden tersebut, sebanyak 59 responden yang hadir pada saat
pengukuran antropometri dan pengambilan darah. Setelah hasil pemeriksaan
dikarenakan ada 6 responden yang memiliki kadar hs-CRP diatas 10 mg/L, 1
responden merokok sebelum pengambilan darah, 1 responden baru sembuh dari
sakit typhus, 2 responden mengalami diabetes mellitus, 1 responden mengalami
sinusitis, dan 2 responden mengalami radang pada bagian tenggorokan.
Responden yang memiliki kadar hs-CRP diatas 10 mg/L dihubungi kembali untuk
dimintai persetujuan mengulangi pemeriksaan hs-CRP tetapi responden tidak
bersedia untuk melakukan pemeriksaan ulang.
Menurut Gay, cit. Sevilla, Octave, Punsalan, Regala, dan Uriate (2006)
jumlah minimum sampel untuk penelitian korelasi adalah 30 sampel. Penelitian
Gambar 2. Skema Responden Penelitian
E. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kampus I, II, dan III Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta pada bulan Mei – Agustus 2011. Kampus I dan II terletak di
Mrican, dan kampus III terletak di Paingan. Pengambilan data penelitian tahap
pertama dilaksanakan di kampus I Mrican, Yogyakarta pada 10 Agustus 2011 dan
tahap kedua dilaksanakan di kampus III Paingan, Yogyakarta pada 12 Agustus
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan penelitian payung Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma yang berjudul “Korelasi Parameter Antropometri terhadap Profil
Lipid, Kadar hs-CRP, Glukosa Darah dan Tekanan Darah sebagai Prediktor
Penyakit Kardiovaskular Pada Staf Wanita di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji adanya korelasi antara
parameter antropometri dengan profil lipid, kadar hs-CRP dan glukosa darah serta
tekanan darah. Parameter antropometri meliputi body mass index (BMI),
abdominal skinfold thickness (AST),lingkar pinggang dan rasio lingkar
pinggang-panggul. Profil lipid meliputi rasio HDL/LDL, rasio koleterol total/HDL, dan
trigliserida. Penelitian ini dilakukan oleh 11 orang dengan kajian penelitian yang
berbeda-beda.
Kajian dalam penelitian payung ini meliputi:
1. Korelasi Body Mass Index dan Abdominal Skinfold Thickness terhadap
Kadar Glukosa dalam Darah.
2. Korelasi Body Mass Index dan Abdominal Skinfold Thickness terhadap
kadar hs-CRP dalam Darah.
3. Korelasi Body Mass Index dan Abdominal Skinfold Thickness terhadap
Rasio LDL/HDL dalam Darah.
4. Korelasi Body Mass Index dan Abdominal Skinfold Thickness terhadap
Kadar Trigliserida dalam Darah.
5. Korelasi Body Mass Index dan Abdominal Skinfold Thickness terhadap
6. Korelasi Lingkar Pinggang dan Rasio Lingkar Pinggang Panggul terhadap
Kadar Glukosa dalam Darah.
7. Korelasi Lingkar Pinggang dan Rasio Lingkar Pinggang Panggul terhadap
Kadar hs-CRP dalam Darah.
8. Korelasi Lingkar Pinggang dan Rasio Lingkar Pinggang Panggul terhadap
Rasio LDL/HDL dalam Darah.
9. Korelasi Lingkar Pinggang dan Rasio Lingkar Pinggang Panggul terhadap
Kadar Trigliserida dalam Darah.
10.Korelasi Lingkar Pinggang dan Rasio Lingkar Pinggang Panggul terhadap
Rasio kolesterol total/HDL dalam Darah.
11.Korelasi Body Mass Index, Abdominal Skinfold Thickness, Lingkar
Pinggang, dan Rasio Lingkar Pinggang Panggul terhadap Tekanan Darah.
Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui korelasi body mass index dan
abdominalskinfold thickness terhadap kadar hs-CRP.
G. Teknik Sampling
Teknik sampling dalam penelitian ini dilakukan secara non-randomized
sampling (pengambilan sampel secara non-acak) dengan purposive sampling.
Teknik non-random sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang tidak
seluruh anggota populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel
(Narbuko dan Achmadi, 2007). Teknik sampling dilakukan secara
hanya yang memenuhi kriteria inklusi, sehingga tidak semua orang memiliki
peluang yang sama untuk dijadikan responden.
Purposive sampling merupakan teknik sampling dimana peneliti memilih
responden berdasarkan pada pertimbangan subyektifnya, bahwa responden
tersebut dapat memberikan informasi yang memadai untuk menjawab penelitian
(Sastroasmoro dan Ismael, 2008).
H. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitan ini yaitu timbangan Tanita®
untuk mengukur berat badan, meteran Stature® untuk mengukur tinggi badan,
skinfold caliper Pi Zhi Hou Duji® untuk mengukur tebal lipatan kulit, alat
pengukur kadar hs-CRP di laboratorium Parahita® Yogyakarta, informed consent
dan leaflet.
I. Tata Cara Penelitian 1. Observasi awal
Observasi awal dilakukan dengan mencari informasi mengenai
jumlah staf wanita Universitas Sanata Dharma yang berusia 30-50 tahun di
bagian pelayanan umum Universitas Sanata Dharma.
2. Permohonan izin dan kerja sama
Permohonan izin pelaksanaan penelitian diajukan kepada Wakil
Rektor I Universitas Sanata Dharma dengan tembusan izin kepada para
II, dan III, Kepala Perpustakaan, Kepala BAPSI, Kepala Urusan Rumah
Tangga, dan Kepala BAU Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Permohonan izin mengenai etika penelitian penggunaan sampel biologis
manusia (darah) diajukan kepada Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Permohonan izin
tempat pengukuran antropometri dan pengambilan darah diajukan kepada
Kepala BAU Universitas Sanata Dharma. Permohonan kerja sama diajukan
ke responden dan pihak Laboratorium Parahita.
3. Pencarian responden
Pencarian responden dilakukan setelah mendapatkan surat izin
penelitian dari Wakil Rektor I Universitas Sanata Dharma. Surat izin
penelitian diberikan kepada Dekan Fakultas Kampus I, II, dan III, para
Kepala Program Studi Kampus I, II, dan III, Kepala Perpustakaan, Kepala
BAPSI, Kepala Urusan Rumah Tangga, dan Kepala BAU Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta untuk meminta izin melibatkan staf (dosen dan
karyawan) di dalam penelitian ini.
Pencarian responden dilakukan secara berpasangan dengan
menjelaskan tujuan penelitian serta pentingnya penelitian yang dilakukan
kepada calon responden. Penjelasan yang lebih mendalam mengenai
penelitian melalui pemberian leaflet “Obesitas dan Pemeriksaan
Antropometri: Prediksi kesehatan masa Kini dan Masa Depan” kepada calon
responden. Isi leaflet berupa penjelasan mengenai obesitas, tipe obesitas,
rasio lingkar pinggang panggul) dan pemeriksaan glukosa, profil lipid,
hs-CRP dan tekanan darah.
Calon responden yang bersedia untuk ikut berpartisipasi dalam
penelitian akan menandatangani informed consent sebagai pernyataan
kesediaan untuk ikut dalam penelitian ini secara sukarela. Responden yang
bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian akan mencantumkan nama,
usia, alamat dan nomor telepon pada informed consent serta menandatangani
informed consent setelah mendapatkan kejelasan penuh dari peneliti.
Informed consent yang digunakan dalam penelitian telah memenuhi standar
dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada.
Sehari sebelum pengukuran antropometri dan pengambilan darah
dilakukan, responden kembali diingatkan melalui Short Message System
(SMS) atau via telepon jika responden tidak membalas sms dari peneliti,
mengenai waktu dan tempat pelaksanaan serta persyaratan yang harus
dipenuhi yaitu puasa ±8-10 jam. Responden yang belum hadir pada saat
pengukuran antropometri dan pengambilan darah dikonfirmasi kehadirannya
melalui via telepon. Responden dapat membatalkan kesediaannya untuk ikut
serta dalam penelitian tanpa harus memberikan kejelasan mengenai
pembatalan ikut serta dalam penelitian seperti yang tercantum dalam
4. Validitas dan reliabilitas instrumen penelitian
Pengukuran dikatakan valid apabila pengukuran yang dilakukan
dengan metode dan alat yang dipilih benar-benar mengukur ciri atau variabel
subyek yang dikehendaki (ketepatukuran) dan berlangsung secara teliti
(ketelitian). Ketepatukuran berarti secara tepat mengukur apa yang memang
diukur (sensitivitas) dan tidak terukur hal lain selain yang diukur (spesifitas).
Ketelitian berarti pengukuran yang dilakukan memenuhi syarat reliabilitas.
Reliabilitas meliputi konsistensi, akurasi dan presisi (Pratiknya, 2001).
Instrumen penelitian yang digunakan telah diuji presisinya. Menurut
Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (2008), alat dikatakan memiliki presisi yang baik apabila
coefisien variasi (CV) ≤ 5%. Uji presisi instrumen dilakukan dengan
menghitung hasil pengukuran yang direplikasi sebanyak 5 kali. Coefisien
variasi yang diperoleh hasil uji presisi timbangan Tanita®, meteran Stature®,
skinfold caliperPi Zhi Hou Duji® secara berturut-turut adalah 0,19%; 0,06%
dan 1,56%. Berdasarkan nilai CV yang diperoleh, dikatakan instrumen
penelitian memiliki presisi yang baik
Pengukuran kadar hs-CRP dalam darah menggunakan metode
Pureauto S CRP latex (SS-type). Metode Pureauto S CRP latex (SS-type)
merupakan metode dengan sensitivitas tinggi dan dapat mengukur kadar CRP
dalam jumlah kecil secara akurat. Pengukuran kadar hs-CRP dilakukan di
Yogyakarta telah meraih akreditasi SNI ISO 15189 tahun 2009 tentang mutu
laboratorium dan kompetensi.
5. Pengukuran parameter
Pengukuran parameter dilakukan oleh tim peneliti dan pihak
Laboratorium Parahita. Tim peneliti melakukan pengukuran antropometri
(BMI, AST, lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang panggul) sedangkan
pemeriksaan tekanan darah, pengambilan darah dan pemeriksaan
laboratorium (profil lipid, glukosa dan hs-CRP) dilakukan oleh pihak
Laboratorium Parahita. Parameter yang diukur oleh peneliti adalah BMI, AST
dan kadar hs-CRP responden.
Pengukuran BMI dilakukan dengan menimbang berat badan
responden kemudian dilanjutkan dengan pengukuran tinggi badan. Untuk
pengukuran berat badan, responden diminta untuk melepaskan alas kaki
sebelum naik ke alat timbang. Responden yang naik ke atas alat timbang
diminta berdiri dengan posisi kaki tepat di tengah alat timbang tetapi tidak
menutupi jendela pembacaan skala timbangan. Responden juga diminta
tenang dan memandang lurus kedepan selama berada di atas timbangan agar
jarum timbangan menunjuk tepat pada satu skala sesuai dengan berat
responden.
Pada pengukuran tinggi badan, responden diminta untuk melepaskan
alas kaki. Responden diminta berdiri tegak dengan pandangan lurus kedepan,
persis dibawah alat ukur dengan posisi kepala, bahu bagian belakang, lengan,
Pengukuran berat badan dan tinggi badan hanya dilakukan oleh 1 orang dari
awal penelitian hingga akhir penelitian. Hal ini bertujuan untuk menghindari
terjadinya bias oleh penglihatan.
Pada pengukuran AST, responden diminta untuk membuka pakaian.
Pengukuran AST dilakukan dengan menjepit lemak dibagian perut secara
vertikal dengan jarak 5 cm dari pusar menggunakan skinfold caliper.
Pengukuran AST dilakukan pada perut bagian kiri responden. Seperti halnya
dengan BMI, pengukuran AST hanya dilakukan oleh 1 orang dari awal
hingga akhir penelitian. Timbangan Tanita®, meteran Stature®, skinfold
caliperPi Zhi Hou Duji® dikalibrasi setiap sepuluh kali pengukuran.
6. Pembagian hasil pemeriksaan laboratorium
Pembagian hasil pemeriksaan laboratorium dilakukan tim peneliti
secara berpasangan atau berkelompok kepada responden yang terlibat dalam
penelitian. Tim peneliti menyampaikan hasil pemeriksaan kepada responden
disertai penjelasan terkait dengan pemeriksaan yang dilakukan, interpretasi
hasil pemeriksaan, dan hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah agar
hasil pemerksaan tetap dalam rentang normal. Pada kesempatan ini pula, tim
peneliti melakukan wawancara terkait kondisi responden saat pengukuran
antropometri dan pemeriksaan laboratorium dilakukan. Wawancara ini
bertujuan untuk memastikan apakah responden benar-benar dalam keadaan
sehat (tidak mengalami salah satu dari kriteria eksklusi penelitian) saat
wawancara ini menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan responden
yang memenuhi syarat penelitian.
J. Teknik Analisis Data Statistik
Data yang diperoleh diolah secara komputerisasi. Pertama-tama
dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk untuk melihat distribusi normal suatu data.
Suatu data dikatakan normal bila memiliki nilai p>0,05.
Langkah selanjutnya, dilakukan uji perbandingan rerata hs-CRP antara
responden dengan BMI<23 Kg/m2 dan BMI≥23 Kg/m2 dan rerata hs-CRP antara
responden dengan AST<14,5 mm dan AST≥14,5 mm. Apabila data terdistribusi
normal, uji perbandingan rerata dilakukan dengan uji Independent-Sample t.
Apabila data terdistribusi tidak normal, uji perbandingan rerata dilakukan dengan
uji Mann-Whitney.
Pengujian data dilanjutkan dengan uji korelasi antara BMI dengan hs-CRP
dan korelasi antara AST dengan hs-CRP. Apabila data terdistribusi normal, uji
korelasi menggunakan analisis Pearson. Apabila data terdistribusi tidak normal,
uji korelasi menggunakan analisis Spearman. Taraf kepercayaan yang digunakan
dalam penelitian ini sebesar 95%. Panduan interpretasi uji korelasi dipaparkan
Tabel II. Panduan Interpretasi Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan Kekuatan Korelasi, Nilai p, dan Arah Korelasi (Dahlan, 2009)
No. Parameter Nilai Interpretasi
1. Kekuatan Korelasi (r) 0,00-0,199 0,20-0,399
Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.
Berlawanan arah. Semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil nilai variabel lainnya.
K. Kesulitan Penelitian
Kesulitan penelitian ditemui saat pencarian calon responden yang
bersedia mengikuti penelitian ini karena harus ada persetujuan dari pihak yang
bersangkutan. Kesulitan lain yang ditemui adalah saat konfirmasi kedua, awalnya
calon responden bersedia tetapi karena ada kesibukan pekerjaan dan beberapa
calon responden hamil sehingga mereka tidak dapat terlibat dalam penelitian ini.
Kesulitan lain yaitu saat mengkonfirmasi kehadiran responden yang telah bersedia
terlibat dalam penelitian. Permasalahan ini diatasi dengan mengirim SMS atau