• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sindrom ovarium polikistik: permasalahan dan penatalaksanaannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sindrom ovarium polikistik: permasalahan dan penatalaksanaannya"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Sindrom ovarium polikistik:

permasalahan dan penatalaksanaannya

Laksmi Maharani, Raditya Wratsangka

Bagian Obstetri – Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

ABSTRACT

Polycystic ovary syndrome is one of the most common endocrine disorder in women of reproductive age that is associated with hormonal disturbance and influencing general health. Clinical and biochemical features or other examination have varied results. The reason that cause a patients to see the physician were menstrual cycle disturbance, infertility, obese, hirsute, and other complication such as hypertension, hypercholesterolemia and diabetes. The polycystic ovary syndrome is not only caused of gynaecological problems, but is also related to other metabolic disturbance, such as insulin resistance with for long – term health implications. Women with this syndrome have an increased risk of diabetes mellitus, coronary disease and endometrial carcinoma. Insulin sensitizing agent can help the patients to improve hormonal disturbance as basis of problems in this syndrome.

Key words : Polycystic ovary syndrome, hyperandrogenism, women, reproductive ABSTRAK

Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu masalah endokrinologi pada wanita masa reproduksi yang berhubungan dengan kelainan hormonal dan dapat mempengaruhi kesehatan wanita tersebut secara umum. Pada kenyataannya, baik gejala klinik, pemeriksaan biokimiawi maupun pemeriksaan penunjangnya dapat memberikan hasil yang bervariasi. Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindrom ini datang ke dokter ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi dan infertilitas, masalah obesitas dan pertumbuhan rambut yang berlebihan serta kelainan lainnya seperti hipertensi, kadar lemak darah dan gula darah yang meningkat. Saat ini sudah terbukti bahwa sindrom ovarium polikistik tidak hanya menyebabkan kelainan pada bidang ginekologi saja tetapi juga berkaitan dengan kelainan metabolisme lain, yaitu adanya resistensi insulin yang berimplikasi pada kesehatan jangka panjang pasien. Wanita dengan kelainan ini mempunyai risiko lebih besar untuk mendapat penyakit diabetes melitus, penyakit jantung koroner dan karsinoma endometrium. Adanya terapi berupa senyawa sensitisasi insulin diharapkan dapat membantu pasien memperbaiki kelainan hormonal yang mendasari kelainan pada sindrom ini.

Kata kunci : Sindrom ovarium polikistik, hiperandrogenisme, wanita, reproduksi

PENDAHULUAN

Definisi klinis dari sindrom ovarium polikistik yang diterima secara luas adalah suatu kelainan pada wanita yang ditandai dengan adanya hiperandrogenisme dengan anovulasi kronik yang saling berhubungan dan tidak disertai dengan kelainan pada kelenjar adrenal maupun kelenjar hipofisis.(1-3) Hiperandrogenisme merupakan suatu

keadaan di mana secara klinis didapatkan adanya hirsutisme, jerawat dan kebotakan dengan disertai peningkatan konsentrasi androgen terutama

testosteron dan androstenedion. Obesitas juga dijumpai pada 50-60% penderita sindrom ini. Pengukuran obesitas dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT), yaitu berat badan/(tinggi badan)2 >25 kg/m2.(4) Ciri-ciri ini berhubungan

dengan hipersekresi dari luteinizing hormone (LH) dan androgen dengan konsentrasi serum follicle stimulating hormone (FSH) yang rendah atau normal.(2) Penyebab sindrom ini tidak jelas, akan

(2)

kemungkinan diwariskan oleh ibu atau ayah, atau mungkin keduanya. Gen tersebut bertanggung jawab atas terjadinya resistensi insulin dan hiperandrogenisme pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik.(1,5-7)

Gambaran klinis sindrom ovarium polikistik sangat bervariasi, tetapi secara umum dapat dijumpai gangguan menstruasi dan gejala hiperandrogenisme. Akantosis nigrikans juga merupakan keadaan klinis pada kulit yang menandakan adanya hiperinsulinemia.(2,6,8)

Secara makroskopis, ovarium pasien dengan sindrom ini 2-5 kali lebih besar dari ukuran normal. Permukaan ovarium tampak putih, korteksnya menebal dengan kista multipel yang diameternya kurang dari 1 cm. Secara mikroskopis, bagian superfisial dari korteks fibrotik dan hiposeluler, mengandung pembuluh darah yang jelas.(9)

Diagnosis sindrom ovarium polikistik dilakukan dengan 3 cara yang merupakan kombinasi dari kelainan klinis, keadaan hormonal dan gambaran ultrasonografi.(1,2,7-10) Keadaan klinis yang dijumpai

adalah gangguan menstruasi di mana siklus menstruasi tidak teratur atau tidak menstruasi sama sekali, terkadang dengan disertai terjadinya perdarahan uterus disfungsional. Sedangkan gejala hiperandrogenisme berupa hirsutisme, kelainan seboroik pada kulit dan rambut serta kebotakan dengan pola seperti yang ditemukan pada pria. Tes laboratorium yang dilakukan berupa tes hormonal, tidak saja penting untuk diagnosis tetapi juga sangat penting untuk melihat kelainan secara keseluruhan. Kelainan endokrin yang ditemukan adalah peningkatan konsentrasi LH dan peningkatan aktivitas androgen yaitu testosteron dan androstenedion.(10) Hiperinsulinemia juga

ditemukan akibat adanya resistensi insulin. Resistensi insulin dapat ditentukan dengan mengetahui nisbah gula darah puasa/insulin puasa. Bila kadar insulin puasa >10 µU/ml dan kadar akumulasi insulin (area di bawah kurva pada uji toleransi glukosa oral (UTGO)) >8000 U menit/ml [luas area kurva dihitung berdasarkan (kadar insulin puasa + kadar insulin UTGO) x 0,5 x 120 menit] dengan kadar gula darah UTGO >140 mg/dl dan <200 mg/dl.(4) Dari pemeriksaan ultrasonografi

transvaginal didapatkan gambaran lebih dari 10 kista pada salah satu ovarium dengan besar kurang dari

1 cm, disertai besar ovarium 1,5 - 3 kali dari ukuran normal.(8) Hasil pemeriksaan ini dapat memberikan

gambaran pasti jika secara klinis terdapat dugaan sindrom ovarium polikistik. National Institute of Health - National Institute of Child Health and Human Development (NIH-NICHD) menyatakan diagnosis sindrom ovarium polikistik ditegakkan bila paling sedikit ditemukan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria mayor terdiri dari anovulasi dan hiperandrogenisme, sedangkan kriteria minor berupa resistensi insulin, hirsutisme, obesitas, LH/ FSH >2,5 dan pada USG terdapat gambaran ovarium polikistik.(11) Gejala klasik yang ada pada

sindrom ini adalah gangguan siklus menstruasi, hirsutisme dan obesitas. Biasanya pasien mencari bantuan karena adanya siklus menstruasi yang tidak teratur, infertilitas dan masalah penampilan akibat obesitas dan hirsutisme.(7,8)

Sindrom ovarium polikistik sangat mungkin menjadi faktor risiko untuk menderita hipertensi dan penyakit jantung koroner karena hiperkolesterolemia, diabetes serta kanker endometrial. Karena itu diagnosis yang tepat disertai pemilihan penatalaksanaan yang efektif sangat penting untuk mencegah komplikasi di masa mendatang.

PATOFISIOLOGI

Sindrom ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan umpan balik antara pusat (hipotalamus-hipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu tinggi yang mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang cukup adekuat.(1,3,8,9,12)

Fisiologi ovulasi harus dimengerti lebih dahulu untuk dapat mengetahui mengapa sindrom ovarium polikistik ini dapat menyebabkan infertilitas. Secara normal, kadar estrogen mencapai titik terendah pada saat seorang wanita dalam keadaan menstruasi. Pada waktu yang bersamaan, kadar LH dan FSH mulai meningkat dan merangsang pembentukan folikel ovarium yang mengandung ovum. Folikel yang matang memproduksi hormon androgen seperti testosteron dan androstenedion yang akan dilepaskan ke sirkulasi darah. Beberapa dari hormon androgen tersebut akan berikatan

(3)

dengan sex hormone binding globulin (SHBG) di dalam darah. Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan tidak memberikan efek pada tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan berubah menjadi hormon estrogen di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini menyebabkan kadar estrogen meningkat, yang mengakibatkan kadar LH dan FSH menurun. Selain itu kadar estrogen yang terus meningkat akhirnya menyebabkan lonjakan LH yang merangsang ovum lepas dari folikel sehingga terjadi ovulasi. Setelah ovulasi terjadi luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam kadar progesteron yang diikuti penurunan kadar estrogen, LH dan FSH. Progesteron akan mencapai puncak pada hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun sampai terjadi menstruasi berikutnya.(3)

Pada sindrom ovarium polikistik siklus ini terganggu. Karena adanya peningkatan aktivitas sitokrom p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk pembentukan androgen ovarium) dan terjadi juga peningkatan kadar LH yang tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing hormone(GnRH) yang meningkat. Hal ini sehingga menyebabkan sekresi androgen dari ovarium bertambah karena ovarium pada penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap stimulasi gonadotropin. Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya perkembangan folikel sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan tidak adanya lonjakan LH yang memicu terjadinya ovulasi.(8) Selain itu

adanya resistensi insulin menyebabkan keadaan hiperinsulinemia yang mengarah pada keadaan hiperandrogen, karena insulin merangsang sekresi androgen dan menghambat sekresi SHBG hati sehingga androgen bebas meningkat. Pada sebagian kasus diikuti dengan tanda klinis akantosis nigrikans dan obesitas tipe android.

DAMPAK KLINIS Infertilitas

Infertilitas pada sindrom ovarium polikistik berkaitan dengan dua hal. Pertama karena adanya oligoovulasi/anovulasi. Keadaan ini berkaitan dengan hiperinsulinemia di mana terdapat resistensi insulin karena sel-sel jaringan perifer khususnya otot

dan jaringan lemak tidak dapat menggunakan insulin sehingga banyak dijumpai pada sirkulasi darah. Makin tinggi kadar insulin seorang wanita, makin jarang wanita tersebut mengalami menstruasi.(3)

Penyebab yang kedua adalah adanya kadar LH yang tinggi sehingga merangsang sintesa androgen. Testosteron menekan sekresi SHBG oleh hati sehingga kadar testosteron dan estradiol bebas meningkat. Kenaikan kadar estradiol memberi umpan balik positif terhadap LH sehingga kadar LH makin meningkat lagi sedangkan kadar FSH tetap rendah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan folikel terhambat, tidak pernah menjadi matang apalagi terjadi ovulasi.(9)

Hipertensi dan penyakit jantung koroner

Diketahui bahwa obesitas sering diderita oleh pasien sindrom ovarium polikistik. Lemak tubuh yang berlebihan ini memberi konsekuensi terjadinya resistensi insulin. Obesitas dan resistensi insulin mengarah pada perubahan respons sel-sel lemak terhadap insulin, di mana terjadi gangguan supresi pengeluaran lemak bebas dari jaringan lemak. Peningkatan lemak bebas yang masuk ke dalam sirkulasi portal meningkatkan produksi trigliserida, selain itu juga terdapat peningkatan aktivitas enzim lipase yang bertugas mengubah partikel lipoprotein yang besar menjadi lebih kecil. Akibatnya ditemukan penurunan konsentrasi kolesterol high density lipoprotein (HDL) dan peningkatan kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL) yang bersifat aterogenik sehingga mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah dengan akibat berkurangnya kelenturan yang berhubungan dengan terjadinya hipertensi. Kombinasi trigliserida yang tinggi dan kolesterol HDL yang rendah berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskuler, yang pada pasien sindrom ovarium polikistik muncul di usia yang relatif lebih muda.

Diabetes melitus

Sindrom ovarium polikistik berkaitan erat dengan masalah insulin. Adanya resistensi sel-sel tubuh terhadap insulin menyebabkan organ tubuh tidak dapat menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen sehingga kadarnya meningkat di dalam darah.

(4)

Masalah kulit dan hirsutisme

Keadaan ini berkaitan dengan hiperandrogenisme. Kadar androgen yang tinggi menyebabkan pengeluaran sebum yang berlebihan sehingga menyebabkan masalah pada kulit dan rambut. Pasien mengeluhkan seringnya terjadi peradangan pada kulit akibat penyumbatan pori serta pertumbuhan rambut pada tubuh yang berlebihan. Kelainan yang biasanya timbul adalah dermatitis seboroik, hidradenitis supuratif, akantosis nigrikans dan kebotakan. Akantosis nigrikans selain berhubungan dengan keadaan hiperandrogen juga terkait dengan adanya hiperinsulinemia.(2,7,9)

Obesitas

Obesitas pada sindrom ovarium polikistik dideskripsikan sebagai obesitas sentripetal, di mana distribusi lemak ada di bagian sentral tubuh terutama di punggung dan paha. Wanita dengan sindrom ini sangat mudah bertambah berat tubuhnya. Obesitas tipe ini berkaitan dengan peningkatan risiko menderita hipertensi dan diabetes.

Kanker endometrium

Risiko lain yang dihadapi wanita dengan sindrom ini adalah meningkatnya insiden kejadian kanker endometrium. Hal ini berhubungan dengan kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga endometrium selalu terpapar oleh estrogen ditambah adanya defisiensi progesteron. Kanker ini biasanya berdiferensiasi baik, angka kesembuhan lesi tingkat I mencapai angka >90%. Kadar estrogen yang tinggi kemungkinan juga meningkatkan terjadinya kanker payudara.(9)

PENATALAKSANAAN

Pada sindrom ovarium polikistik, perkembangan folikel dan ovulasi terganggu sehingga terjadi infertilitas. Antiestrogen - dalam hal ini klomifen sitrat paling banyak dipakai -merupakan pilihan pertama untuk mengindukasi ovulasi.(1-3,10,12,13) Strukturnya yang mirip dengan

estrogen menyebabkan klomifen sitrat mampu berikatan dengan reseptor estrogen dan mempengaruhi aktivitas hipotalamus, sehingga meskipun kadar estrogen dalam darah meningkat, tetapi karena kapasitas reseptor estrogen menurun

maka sekresi GnRH meningkat. Rangsangan GnRH dalam lingkungan estrogen yang tinggi menyebabkan kelenjar hipofise lebih peka terurama dalam mensekresi FSH. Kebanyakan wanita infertil dengan sindrom ini (63%-95%) mengalami ovulasi dengan klomifen sitrat. Persentase yang tinggi ini tergantung pada penggunaan dosis progresif sampai terjadinya ovulasi.(13) Jangka waktu pemberiannya

tidak boleh lebih dari 6 bulan karena berpotensi meningkatkan risiko kanker ovarium. Walaupun pemberian klomifen sitrat dapat menyebabkan ovulasi tetapi tidak memperbesar kemungkinan terjadinya konsepsi. Sehingga apabila pasien gagal hamil dengan terapi ini maka dicoba terapi dengan menggunakan human menopausal gonadotropine (hMG) atau human follicle stimulating hormone (hFSH) yang telah dimurnikan. Hormon-hormon ini merangsang ovarium untuk menghasilkan ovum. Tetapi pemberiannya membutuhkan monitoring yang intensif untuk mengurangi angka kejadian kehamilan multipel dan sindrom hiperstimulasi ovarium. Kecenderungan tersebut menyebabkan preparat ini diberikan dalam dosis rendah dengan akibat pencapaian angka kehamilan juga lebih rendah yaitu hanya 36% setiap siklus.(2,13)

Penatalaksanaan infertilitas untuk dapat mengembalikan fungsi reproduksi pada wanita ini juga dapat dilakukan secara operatif. Prosedur reseksi baji pada ovarium efektif menurunkan produksi LH dan androgen. Menstruasi yang teratur didapatkan pada 75% pasien dengan angka kehamilan mencapai 60%. Tetapi prosedur ini menyebabkan komplikasi berupa perlekatan di sekitar daerah pelvis pada sekitar 30% pasien,(7,8)

sehingga sekarang dilakukan dengan teknik elektrokauter secara laparoskopik yang tidak terlalu invasif. Meskipun dapat membantu regulasi menstruasi dan terjadinya ovulasi, komplikasi perlekatan harus dipertimbangkan karena kemungkinan untuk menjadi hamil berkurang di samping efek dari prosedur ini hanya jangka pendek.(1,13)

Untuk pasien yang tidak ingin hamil dapat menggunakan pil kontrasepsi kombinasi untuk mengatur siklus menstruasi. Keuntungan dari terapi ini adalah adanya komponen progesteron yang dapat menyebabkan supresi sekresi LH sehingga

(5)

berkurangnya produksi androgen dari ovarium dan komponen estrogen yang meningkatkan produksi SHBG sehingga konsentrasi testosteron bebas dapat menurun dan akhirnya dapat juga memperbaiki hirsutisme dan masalah kulit yang disebabkan oleh hiperandrogenisme. Selain itu dapat mengurangi keluhan dismenorea, perdarahan uterus disfungsional dan angka kejadian penyakit radang panggul serta menurunkan kemungkinan terkena kanker endometrium dan kanker ovarium.(9)

Meskipun demikian pil kontrasepsi kombinasi dapat menyebabkan eksaserbasi resistensi insulin dan meningkatkan kadar trigliserida sehingga dapat memperbesar risiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes.(12)

Pada keadaan hiperandrogenisme, hirsutisme merupakan masalah yang sering dikeluhkan oleh pasien. Jika tidak terlalu banyak dan terlokalisasi, maka dapat lebih mudah dihilangkan secara mekanik. Tetapi jika cara tersebut tidak efektif, dapat diberikan terapi antiandrogen. Yang banyak dipakai adalah siprosteron asetat, yang merupakan progestin sintetik. Jika dikombinasikan dengan etinilestradiol dapat dipakai sebagai kontrasepsi dan memperbaiki siklus mestruasi. Alternatif lain adalah spironolakton dengan mekanisme kerja meningkatkan katabolisme androgen di mana testosteron diubah menjadi estradiol. Tetapi spironolakton sering menyebabkan siklus menstruasi yang tidak teratur sehingga harus dikombinasi dengan kontrasepsi oral dosis rendah. Semua terapi untuk hirsutisme membutuhkan waktu 8-18 bulan sebelum responnya dapat terlihat, yaitu pertumbuhan rambut menjadi labih lambat.(10) Saat

ini dengan elektrolisis, rambut yang tumbuh berlebihan dapat dihilangkan secara permanen. Untuk kelainan kulit seperti dermatitis seboroik, hidradenitis supuratif dan peradangan kulit lain dapat diobati dengan antibiotika spektrum luas atau dengan kombinasi antiandrogen dan derivat asam retinoid.

Penurunan berat badan juga perlu dilakukan oleh pasien sindrom ovarium polikistik yang sebagian besar memang mengalami obesitas. Faktor obesitas ini menjadi penyebab kegagalan pemicuan ovulasi dengan klomifen sitrat. Makin tinggi berat badan

penderita maka diperlukan dosis klomifen sitrat yang lebih tinggi. Dengan penurunan berat badan maka siklus menstruasi menjadi teratur, ovulasi dapat terjadi secara spontan dan dapat mengurangi kejadian resistensi insulin.(6) Cara yang dipakai

biasanya kombinasi diet, olahraga dan pemberian obat-obat yang memperbaiki sensitifitas jaringan terhadap insulin seperti metformin dan troglitazon. Jadi sebaiknya usaha ini dilakukan bersamaan dengan terapi yang lain karena dapat memperbaiki kelainan metabolik pada sindrom ini.

Pada saat ini terapi alternatif yang lebih sering digunakan untuk sindrom ovarium polikistik adalah dengan senyawa sensitisasi insulin yaitu metformin dan troglitazon. Dengan terapi ini diharapkan sensitifitas tubuh terhadap insulin meningkat, sehingga dapat memperbaiki kelainan hormonal yang berhubungan dengan sindrom ini. Selain itu juga dapat menurunkan berat badan dengan cara memperbaiki metabolisme gula di perifer, meningkatkan penggunaan glukosa oleh usus dan menekan oksidasi asam lemak.(11) Pada percobaan,

diberikan metformin dan plasebo selama 4 sampai 8 minggu pada pasien sindrom ovarium polikistik dengan obesitas dan hiperinsulinemia. Pada 2 bulan pertama pemakaian metformin, pemulihan sudah terlihat jelas. Didapatkan penurunan sekresi insulin pada pasien yang menggunakan metformin. Konsentrasi testosteron bebas menurun sebagai akibat berkurangnya produksi testosteron dan meningkatnya SHBG.(14) Metformin paling sering

digunakan pada pasien non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) karena tidak menyebabkan hipoglikemi. Beberapa pasien dapat menurunkan berat badan dan perbaikan tekanan darah serta kadar lemak darahnya. Selain itu pasien dapat menstruasi dan menjadi hamil pada saat menggunakannya. Efek samping yang paling sering adalah keluhan gastrointestinal.(5,8,12,14,15) Obat lain

yang dapat dipakai adalah troglitazon, tetapi pemakaiannya harus diikuti dengan tes fungsi hati secara berkala karena berpotensi menyebabkan kerusakan hati. Keunggulan dari terapi ini adalah dapat mencegah perkembangan penyakit yang dapat menyerang penderita seperti diabetes melitus, hipertensi dan penyakit jantung koroner.

(6)

KESIMPULAN

Penampakan klinis yang menonjol pada pasien sindrom ovarium polikistik dengan gangguan siklus haid dan anovulasi kronik adalah infertilitas di samping gambaran klinis lainnya seperti hiperandrogenisme dan obesitas. Adanya resistensi insulin yang mendasari kelainan hormonal pada sindrom ini menyebabkan pemeriksaan nisbah gula puasa dan insulin puasa dapat mendukung diagnosisnya. Pemakaian klomifen sitrat merupakan pilihan utama untuk mengatasi infertilitas, dengan pemantauan selama waktu pemberian lebih kurang 6 bulan untuk mencegah meningkatnya risiko kanker ovarium. Pemberian hormon yang merangsang ovarium untuk menghasilkan ovum dan penatalaksanaan secara operatif kurang disukai karena efek dari prosedur ini tidak sebanding dengan hasil yang diinginkan. Pemberian senyawa sensitisasi insulin pada kasus gangguan infertilitas yang terbukti mempunyai gambaran ovarium polikistik pada ultrasonografi juga dapat dianjurkan untuk meningkatkan sensitifitas tubuh terhadap insulin. Selain dapat memperbaiki kelainan hormonal yang berhubungan dengan sindrom ini, juga dapat membantu menurunkan berat badan dengan cara memperbaiki metabolisme gula di perifer, menekan oksidasi asam lemak dan meningkatkan penggunaan glukosa oleh usus.

Daftar Pustaka

1. Hopkinson ZEC, Sattar N, Fleming R, Greer IA.

Polycystic ovarian syndrome: the metabolic syndrome comes to gynaecology. BMJ 1998;317:329-32.

2. Franks S. Medical progress: polycystic ovary

syndrome. N Engl J Med 1995; 333: 853-61. 3. Samsulhadi. Ovarium polikistik dan

permasalahannya. Maj Obstet Ginekol 1999; 8:9-13.

4. Jacoeb TZ, Muharam R, Kadarusman Y, Benarto J.

Pemakaian metformin pada penyakit ovarium polikistik resisten insulin. Simposium penanganan SOPK terkini. KOGI XI; 4 Juli 2000; Denpasar, Bali.1-17.

5. Dunaif A, Thomas A. Current concepts in the

polycystic ovary syndrome. Annu Rev Med 2001; 52: 401-19.

6. Barbieri RL. Induction of ovulation in infertile

women with hyperandrogenism and insulin resistance. Am J Obstet Gynecol 2000; 183: 1412-8.

7. Thatcher SS. What is polycystic ovarian

syndrome?. The Center For Applied Reproductive Science. Available from: URL: http://www.ivf-et.com/pcosstate.html.

8. Peris A. General information about PCOS 2000 May.

Available from: URL: http://pcos.freeservers.com/ general.html.

9. Hershlag A, Peterson CM. Endocrine disorders.

In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA, editors. Novak’s gynecology. 12th ed. Baltimore: Williams & Wilkins;

1996. p 837-45.

10. Nestler JE. Polycystic ovary syndrome: a disorder

for the generalist. Fertil Steril 1998; 70: 811-12.

11. Muharam R, Benarto J, Kadarusman Y, Hestiantoro

A, Jacoeb TZ. Sindrom ovarium polikistik: diagnosis dan penatalaksanaannya. Maj Obstet Ginekol Indones 2000; 24: 219-23.

12. Guzick D. Polycystic ovary syndrome:

symptomatology, pathophysiology, and epidemiology. Am J Obstet Gynecol 1998; 179: S89-S93.

13. Gibson M. Reproductive health and polycystic

ovarian syndrome. Am J Med 1995; 98: 67S-75S.

14. Utiger RD. Insulin and the polycystic ovarian

syndrome. N Engl J Med 1996; 335: 657-8.

15. European Society of Human Reproduction and

Embryology. Should patients with polycystic ovarian syndrome be treated with metformin?. Human Reproduction 2002; 17: 853-56.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ada atau tidak korelasi antara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi terhadap sikap menghadapi sindrom pre-menstruasi

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Tidak terdapat hubungan antara asupan gizi vitamin B6 terhadap kejadian pra menstruasi Sindrom

Dari fenomena diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “hubungan antara status gizi dan stres dengan gangguan siklus menstruasi pada Mahasiswi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara faktor risiko sindrom metabolik yang lain, asupan serat pada remaja obesitas memiliki hubungan bermakna dengan kadar

Secara parsial menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kestabilan emosi pada remaja yang mengalami sindrom pra menstruasi di SMA Negeri

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai pengetahuan dan sikap remaja putri tentang sindrom pra menstruasi di SMA Negeri 2 Kejuruan Muda tahun 2015 yang

Hal ini menunjukkan pola makan subjek obesitas dalam penelitian ini yang bersifat asam berkaitan dengan peningkatan skor sindrom metabolik dan tingkat kecemasan dan berkaitan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: (1) tidak terdapat hubungan antara asupan gizi vitamin B6 terhadap kejadian pra menstruasi sindrom pada siswi SMA