• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TINGKAT PENERAPAN DAN MANFAAT TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA USAHATANI LADA DI PROVINSI BANGKA BELITUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS TINGKAT PENERAPAN DAN MANFAAT TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA USAHATANI LADA DI PROVINSI BANGKA BELITUNG"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TINGKAT PENERAPAN DAN MANFAAT TEKNOLOGI PENGENDALIAN

HAMA TERPADU (PHT) PADA USAHATANI LADA

DI PROVINSI BANGKA BELITUNG

Adang Agustian dan Budiman Hutabarat

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. Jend. A. Yani No. 70 Bogor 16161

Abstract

This paper is aimed to analyze the adoption and benefit of pepper farming in terms of production and income increase. The research was conducted in 2004 in main production area of pepper, Bangka Belitung Province, at which the IPM farmer school had been practiced. Data collection was done by interviewing farmers, pepper middlemen and Agricultural and Forestry officials. Secondary data related to pepper market were also compiled and all data were analyzed quantitatively and qualitatively. Some conclusions derived from the study are: (1) Around 75 to 95 percent of farmers who have passed IPM Farmer School have adapted various types of IPM approach, namely regular pruning of host plants, appropriate use of pesticide, conservation of natural enemies and regular monitoring of plant pest and diseases. However, the application of natural pesticide and cover crop that were also elements of IPM was only adapted by 5 to 10 percent of the farmers; (2) As could be expected, the adoption of IPM technique among farmers who had not attended the IPM Farmer School was very low, between 2.5 to 27.5 percent of the farmers. The highest percentage was found in the application of regular pruning and regular monitoring of pest and diseases; (3) Pepper production of farmers who applied IPM technologies was higher on average than those who did not, that is 1,148.75 kg/ha of the first group compared to 825.0 kg/ha of the second group; and (4) The IPM farmers have improved their technological efficiency after attending the IPM Farmer School starting from 0.66 to 0.72. The improvement might come from better management of farming upon graduating from the IPM Farmer School program.

Key words : IPM/Integrated Pest Management, pepper farm, Bangka Belitung

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat penerapan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada kegiatan usahatani lada dan manfaat yang diperoleh petani terutama dalam hal peningkatan produksi dan pendapatan usahatani lada. Penelitian dilakukan pada tahun 2004, di daerah sentra produksi lada nasional sekaligus lokasi Sekolah Lapang PHT (SLPHT) lada yaitu di Provinsi Bangka Belitung (Babel). Data yang dikumpulkan merupakan data primer (hasil wawancara dengan petani alumni SLPHT dan non SLPHT, pedagang lada dan aparat Dinas Pertanian dan Kehutanan Babel) dan data sekunder. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil kajian diperoleh hasil sebagai berikut: (1) Tingkat penerapan ragam teknologi PHT pada petani alumni SLPHT seperti pemangkasan tanaman pelindung secara teratur, penggunaan pestisida tidak berlebihan, mengupayakan pelestarian musuh alami dan pengamatan Hama Penyakit Tanaman (HPT) teratur telah dilakukan oleh sekitar 75-95 persen petani. Sedangkan, penerapan teknologi PHT seperti pengendalian HPT dengan pestisida nabati dan menanam tanaman penutup tanah (Arachis pintoi ) hanya dilakukan oleh sekitar 5-10 persen petani; (2) Tingkat penerapan teknologi PHT tersebut bagi non SLPHT tampaknya relatif kecil. Hal ini berarti bahwa imbas penerapan teknologi PHT masih relatif sangat terbatas dikalangan petani secara umum (diluar peserta) yang berkisar antara 2,5–27,5 persen. Persentase tertinggi dalam hal penerapan teknologi pemangkasan teratur serta dalam hal pengamatan HPT usahatani yang dilakukan secara teratur; (3) Manfaat penerapan teknologi PHT diperoleh cukup signifikan dalam hal peningkatan produksi lada. Tingkat produksi lada per hektar pada petani alumni SLPHT terpaut 39 persen di atas produksi lada yang diraih petani non SLPHT (1.148,75 kg/ha vs. 825,0 kg/ha); dan (4) Pada petani alumni SLPHT, TE usahatani lada mengalami peningkatan dibandingkan saat sebelum mengikuti SLPHT yaitu meningkat TE nya dari 0,66 menjadi 0,72. Peningkatan ini dapat disebabkan karena manajemen pengelolaan usahatani yang lebih baik.

Kata kunci : PHT, usahatani lada, Bangka Belitung

PENDAHULUAN

Program PHT lahir sejak tahun 1986 yaitu dengan keluarnya Inpres No.3 tahun

1986. Esensi lahirnya program tersebut yaitu dalam rangka menciptakan sistem pertanian yang berwawasan lingkungan. Pendekatan yang digunakan dalam PHT adalah

(2)

pende-katan komprehensif yang menekankan pada ekosistem yang ada dalam lingkungan tertentu, mengusahakan pengintegrasian berbagai tek-nik pengendalian yang kompatibel satu sama lain sedemikian rupa sehingga populasi hama dan penyakit tanaman dapat dipertahankan di bawah ambang yang secara ekonomis tidak merugikan, serta melestarikan lingkungan dan menguntungkan bagi petani.

Implementasi PHT pada tanaman per-kebunan telah dilakukan sejak tahun 1997/ 1998. Pengembangan PHT telah dilakukan pada beberapa komoditas perkebunan rakyat seperti: kakao, lada, teh, kapas, jambu mete, dan kopi. Tujuan penerapan PHT di subsektor perkebunan adalah untuk mendorong pende-katan pengendalian OPT yang dinamis dan aman terhadap lingkungan oleh petani perke-bunan rakyat melalui pemberdayaan perangkat pemerintah yang terkait dan kelompok tani. Kegiatan proyek ini pada akhirnya diharapkan berpengaruh terhadap: (1) meningkatnya hasil dan mutu produk serta pendapatan petani; (2) berkurangnya penggunaan pestisida karena diterapkannya PHT; (3) meningkatnya mutu dan bebas residu pestisida pada produk ekspor komoditi seperti lada, kopi, kakao dan teh; dan (4) mempertahankan dan melindungi kelesta-rian lingkungan.

Secara umum, para petani komoditas perkebunan rakyat termasuk komoditas lada menghadapi masalah antara lain, skala pemi-likan lahan yang relatif sempit dan daya dukung yang rendah, lokasi usahatani yang terpencar dan kurang didukung sarana/prasarana yang baik, modal dan pengetahuan serta keteram-pilan yang terbatas, terutama merespons per-kembangan pasar. Akibatnya, produktivitas ko-moditas kurang optimal dan mutu produk di bawah baku mutu. Masalah yang tidak kalah pentingnya dan bahkan mungkin paling utama dalam peningkatan produktivitas bagi petani adalah adanya serangan organisme penggang-gu tanaman (OPT) dan belum berkembangnya kelembagaan petani dan kemitraan.

Sesuai dengan UU No.12 tahun 1992, tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan de-ngan menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu yang pelaksanaannya menjadi tang-gungjawab petani dengan bimbingan Pemerin-tah. Dalam upaya mendukung

penyelenggara-an PHT tersebut, pemerintah menyelenggara-kan pelatihan Sekolah Lapang PHT (SLPHT) bagi Petugas dan Petani. Menurut Direktorat Perlindungan Perkebunan (2001), tujuan ke-giatan pelatihan tersebut adalah agar petugas dan petani memiliki pengetahuan dan keteram-pilan dalam menerapkan 4 prinsip PHT yaitu: (a) budidaya tanaman sehat, (b) pelestarian musuh alami, (c) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan (d) petani menjadi ahli PHT dan manajer di kebunnya.

Selepas mengikuti SLPHT, diharapkan petani dapat menerapkan pengetahuan PHT di kebunnya sendiri. Dengan asumsi petani mam-pu melakukannya, maka tingkat kehilangan hasil dapat dicegah atau dikurangi kadarnya sehingga senjang produktivitas tanaman dapat diperkecil. Selain itu mutu produk yang diha-silkan petani menjadi relatif lebih baik, sehing-ga petani akan mendapat produksi yang lebih tinggi sehingga menerima pendapatan usaha-tani yang relatif lebih tinggi lagi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendes-kripsikan sekaligus menganalisis tingkat pene-rapan teknologi PHT pada kegiatan usahatani lada dan bagaimana manfaat yang diperoleh petani khususnya dalam hal peningkatan pro-duksi dan pendapatan usahatani lada.

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Pengendalian Hama Terpadu merupa-kan suatu sistem pengelolaan populasi hama yang memanfaatkan semua teknik pengenda-lian yang sesuai dan seserasi mungkin untuk mengurangi populasi hama dan memperta-hankannya pada suatu aras yang berada di ba-wah aras populasi hama yang dapat menga-kibatkan kerusakan ekonomi (Untung, 1997).

Definisi tersebut diatas tampaknya menjadi acuan dalam mengembangkan PHT sebelum terselenggaranya SLPHT. Hal ini tercermin pada pengertian PHT yang dikemu-kakan Yusdja (1992) bahwa PHT adalah suatu sistem pengelolaan hama (dalam arti yang luas) dengan menggabungkan berbagai teknik pengendalian yang serasi dengan sasaran menjadi satu program, agar populasi hama se-lalu berada pada tingkat yang tidak menimbul-kan kerugian ekonomis (ekologis dan sosial

(3)

diterima), sehingga menghasilkan keuntungan ekonomis yang maksimal bagi produsen, kon-sumen dan melestarikan lingkungan. Dengan demikian sumberdaya pertanian dapat diman-faatkan sepanjang masa oleh generasi-gene-rasi yang akan datang.

Pada perkebunan rakyat, kegiatan so-sialisasi PHT melalui SLPHT telah dimulai semenjak tahun 1997 melalui beberapa ta-hapan yaitu: (a) pelatihan untuk Pemandu La-pang (PL); (b) Petani Try out dan Murni, dan (c) Petani tindak lanjut (petani alumni SLPHT). Materi dasar dalam pelatihan itu sama yaitu memotivasi petani untuk melaksanakan 4 prin-sip PHT, yakni: (a) budidaya tanaman sehat, (b) pelestarian dan pemanfaatan musuh alami, (c) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan (d) petani menjadi ahli PHT dan manajer di kebunnya. Untuk menerapkan prinsip dasar tersebut petani dibekali berbagai materi yang meliputi: (a) pembibitan, (b) pemupukan, (c) pemangkasan, (d) pemetikan dan lain-lain, (e) analisis agroekosistem (OPT, musuh alami, ta-naman utama, tata-naman disekitarnya, abiotik/ cuaca); (f) produksi agensi pengendalian hayati, (g) panen dan (h) kelembagaan petani.

Keberhasilan mengimplementasikan PHT akan berdampak positif pada penyela-matan produksi dan peningkatan kualitas lada, yang pada akhirnya dapat memberikan nilai tambah bagi usahatani lada. Berdasarkan eva-luasi yang dilakukan Untung (2002) terhadap pelaksanaan PHT nasional, menunjukkan bah-wa hasil nyata kegiatan PHT terjadi pada : (1) Perubahan persepsi, pengetahuan dan perilaku petani mengenai berbagai aspek pengelolaan usaha kebun untuk peningkatan produksi dan penghasilannya; (2) Perubahan dalam rasa percaya diri dan ekspresi diri terhadap kemam-puannya; (3) Kesadaran dan pengertian ten-tang agroekosistem kebun dan pemanfaatan berbagai komponen ekosistem untuk pengen-dalian OPT; (4) Penurunan nyata penggunaan pestisida kimia dan peningkatan penggunaan pestisida nabati dan agensia hayati; (5) Penu-runan populasi dan serangan hama dan pe-nyakit utama di kebun petani alumni SLPHT; (6) Peningkatan produksi dan mutu hasil kebun dibandingkan sebelum PHT, dilaporkan terjadi pada komoditas teh di Jawa Barat, kopi di Malang dan kakao di Sumatera Utara; (7) Peningkatan pendapatan petani, dilaporkan terjadi di Jawa Barat pada komoditas teh.

Di dalam prakteknya, penerapan teori yang diperoleh dari SLPHT itu tidak sepenuh-nya dapat dilakukan petani. Basepenuh-nyak faktor in-ternal maupun eksin-ternal yang mempengaruhi penerapan PHT. Hal ini tidak berbeda dengan kasus-kasus penerapan teknologi baru dalam program pembangunan pertanian yang lain. Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa dalam program pembangunan pertanian dapat diidentifikasi sejumlah petani yang hanya mengadopsi komponen-komponen tertentu dari paket teknologi yang direkomendasikan, bah-kan ada indikasi bahwa sebagian petani yang semula telah melaksanakan paket teknologi baru kemudian kembali lagi pada teknologi usahatani lama.

Di samping itu, mengingat kondisi la-han perkebunan dan petani pekebun yang berskala kecil (perkebunan rakyat) maka peng-organisasian diantara petani dalam penerapan PHT merupakan salah satu faktor yang mem-pengaruhi keberhasilan penerapan PHT. Pe-ngelolaan ekosistem perkebunan dalam mene-kan populasi hama serta penggunaan pestisida tidak mungkin dilakukan oleh petani yang bekerja sendiri. Dengan demikian maka penge-lompokkan petani dalam organisasi kelompok tani yang kompak dan bekerja secara kontinyu tentu akan lebih efisien dalam mencapai tujuan penerapan PHT.

Berdasarkan uraian di atas, dalam pe-nelitian ini indikator penerapan PHT berpe-doman pada 4 prinsip PHT, dan dibatasi pada kegiatan dalam hal: (1) pemberian pupuk, (2) pemangkasan tajar dan tanaman pelindung lada, (3) penanaman penutup tanah, (4) peng-gunaan pestisida kimia, (5) pelestarian musuh alami; (6) pengamatan hama penyakit secara teratur; dan (7) penggunaan pestisida nabati.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Bangka Belitung (Babel), dimana wilayah ini merupakan sentra produksi lada terbesar di Indonesia dan merupakan lokasi kegiatan SLPHT. Penelitian dilakukan pada tahun 2004. Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap petani sampel dan peda-gang sampel yang membeli lada dari petani. Total petani sampel sebanyak 80 petani, yang mencakup 40 petani alumni SLPHT dan 40 petani non SLPHT. Sedangkan data sekunder

(4)

diperoleh dari instansi dinas seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut), Dinas Perdagangan, dan lainnya. Disamping itu, juga menggunakan informasi pendukung dari hasil-hasil penelitian sebelumnya.

Analisis Data

Analisis data dan informasi yang di-kumpulkan diarahkan untuk memberikan jawa-ban terhadap tujuan yang telah dikemukakan di atas dengan menggunakan berbagai metode kuantitatif dan deskriptif kualitatif.

Untuk menjawab tujuan yaitu menge-tahui tingkat penerapan teknologi PHT akan dilihat bobot persentase dalam setiap unsur yang merupakan bagian dari teknologi PHT. Dengan demikian, seorang petani yang mene-rapkan seluruh unsur teknologi PHT akan me-miliki bobot persentase tertinggi, dan sebalik-nya petani yang tidak menerapkan salah satu unsur pun memiliki skor terendah. Untuk meng-hitung tingkat penerapan (TP) digunakan ru-mus aljabar berikut:

TP1 = (S ui / U) * 100 %, dan TP2 = (S S uij / n * U) * 100 %, dimana:

TP = tingkat penerapan, yaitu nisbah jumlah skor teknologi PHT yang diterapkan oleh responden terhadap total petani contoh, ui = unsur teknologi-i yang diterapkan

se-orang responden,

uij = unsur teknologi-i yang diterapkan respon-den-j,

U = total unsur teknologi yang ada bagi tek-nologi PHT,

n = jumlah responden yang menerapkan PHT.

Untuk mengkaji manfaat dalam hal pe-ningkatan produksi akan dilihat output produksi dari hasil usahatani dan tingkat penerimaan yang diraih petani sebelum dan setelah me-ngikuti SLPHT. Disamping itu, juga akan dilihat seberapa jauh terdapat peningkatan efisiensi teknis pada kegiatan usahatani lada yang dila-kukan sebelum dan setelah mengikuti SLPHT. Tingkat efisiensi teknis akan diidentifikasi me-lalui penggunaan model ekonometrik fungsi produksi “frontier” sebagai berikut:

y = f(βj Xji )e ei

di mana

y = produksi yang dihasilkan petani-i,

Xi = jumlah masukan produksi yang digunakan petani-i,

βj = koefisien masukan produksi,

ei = galat regresi untuk petani-i yang terdiri atas dua komponen, yakni vi - µi, yang mempunyai sebaran yang berbeda.

Galat v menangkap ragam galat yang disebabkan faktor-faktor yang berada di dalam produsen sendiri dan galat u merepresentasikan galat yang betul-betul berada di luar penga-wasan atau pengaruh produsen. Sebaran v di asumsikan tidak simetris dan setengah normal, sehingga ragam total galat adalah:

se2 = sv2 + sµ2

dengan demikian efisiensi teknis dapat diukur dari rumus berikut:

ET = exp (-E[ µi / ei ]) di mana

E[ µi / ei ] = (sv sµ) / se { f (ei ? / se )/[1-F(ei ? / se )] – (ei ? ) / sµ

2 }

dan ? = sµ / sv dan ragam total keluaran aktual terhadap frontiernya adalah ? = sv

2 / se

2 , sedangkan f(*) adalah fungsi kepekatan normal baku F(*) adalah fungsi sebaran normal baku. ET ini bernilai antara 0 dan 1 untuk setiap petani,

ETi = E (yi * | µi, x i) / E (yi* | µi= 0, xi).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Usahatani Lada di Lokasi Penelitian

Lada di Bangka Belitung secara umum ditanam secara monokultur, dan sebagian kecil petani ada yang menanam lada ditumpang-sarikan dengan tanaman lain yang rindang (seperti buah-buahan). Populasi tanaman lada per hektarnya bervariasi antara 1.100 – 2.000 pohon per hektar. Kepadatan tanaman lada ini tergantung kemampuan petani dari segi per-modalan untuk penyediaan bibit dan input lain-nya serta biaya pemeliharaanlain-nya.

Pada tanaman lada, alat perambatan (tajar) yang digunakan sebagian besar petani adalah tajar mati yang berasal dari kayu atau bambu. Sebagian kecil petani telah ada yang menggunakan tajar hidup yaitu menggunakan

(5)

tanaman dadap dan gamal. Harga tajar mati termurah Rp 3.000/batang, harga tajar yang

berasal dari kayu dengan kualitas bagus dapat mencapai Rp 10.000/batang. Umur tajar dapat berkisar 2-3 tahun, dan selanjutnya harus di-ganti karena dapat keropos dan tumbang.

Rataan luas lahan analisis usahatani (persil dominan) pada penelitian ini di Provinsi Babel seluas 0,82 pada petani alumni SLPHT dan 0,79 ha pada petani non SLPHT. Rataan populasi lada per hektar di wilayah ini masing-masing 1414 dan 1108 pohon dengan umur tanaman rata-rata sekitar 4 tahun pada petani alumni SLPHT dan 3,5 tahun pada petani non SLPHT. Lada di Babel umumnya berumur pendek sekitar 6-7 tahun. Setelah umur itu, secara umum tanaman lada akan mati dan di-bongkar petani serta selanjutnya akan diselingi dulu oleh tanaman pangan sebelum ditanami lada kembali. Varietas lada yang ditanam peta-ni adalah LDL (lampung daun lebar). Dari jum-lah populasi lada yang ditanam di Babel,

ternyata hanya sekitar 90,71 persen (pada petani alumni SLPHT) dan 92,42 persen (pada

petani non SLPHT) jumlah pohon yang produk-tif. Artinya, tidak seluruh populasi tanaman yang ada bisa produktif, karena sebagian tana-man ada yang rusak akibat serangan OPT dan ada juga tanamannya berupa hasil sulaman baru.

Pada petani alumni SLPHT tampak bahwa sebagian besar petani (92,50%) meng-gunakan tajar mati pada tanaman lada, dan sekitar 5 persen petani telah menggunakan tajar hidup. Pada petani non SLPHT, tajar mati digunakan oleh sekitar 87,50 persen petani, dan penggunaan tajar hidup hanya dilakukan oleh sekitar 2,5 persen petani serta sekitar 10 persen petani menggunakan campuran tajar mati dan tajar hidup. Tajar yang dianjurkan adalah tajar hidup, karena tajar akan berfungsi di samping sebagai wahana/alat perambatan tanaman lada juga dapat berfungsi sebagai pelindung tanaman lada. Tajar mati yang biasa Tabel 1. Deskripsi Aspek Teknis pada Usahatani Lada di Lokasi Penelitian Provinsi Babel, 2004

Krakteristik Petani alumni SLPHT Petani non SLPHT Rataan luas lahan

analisis (ha)

0,82 0,71

Rataan umur tanaman dominan lada yang diusahakan (th)

4 3,5

Jumlah populasi tanaman per luas lahan analisis (pohon)

1414 1108

Varietas yang digunakan (%) a. LDL b. LDK c. Merapin 100,00 0,00 0,00 100,00 0,00 0,00

Jenis tajar yang digunakan (%): a. Tajar hidup b. Tajar mati c. Campuran 5,00 92,50 2,50 2,50 87,50 10,00 Pemangkasan tanaman (%): a. Setahun sekali b. Setahun 2 kali c. Setiap bulan sekali

25,00 65,00 10,00 90,00 10,00 0,00 Pemetikan lada (%): a. Petik tua b. Petik muda c. Petik pilih 95,00 0,00 5,00 95,00 0,00 5,00

(6)

189 digunakan adalah kayu, bambu atau berupa

tongkat dari adukan semen, sementara untuk tajar hidup yang digunakan adalah tanaman dadap dan gamal (Gliricidae). Kelemahan tajar hidup adalah adanya unsur persaingan/pere-butan hara tanaman terutama saat pemupukan tanaman.

Selanjutnya, pada petani alumni SLPHT secara umum mereka cenderung rutin melakukan pemangkasan pemeliharaan terha-dap ranting-ranting pohonnya setahun dua kali. Pada petani non SLPHT, pemangkasan terse-but hanya dilakukan setahun sekali. Kegiatan terkait usahatani lainnya yaitu pemetikan lada (panen), baik pada petani alumni SLPHT mau-pun non SLPHT telah melakukan petik tua ter-hadap buah lada yang diusahakannya. Pema-nenan dengan melakukan petik tua dimaksud-kan agar kualitas lada yang dihasildimaksud-kan dapat lebih baik.

Analisis Tingkat Penerapan Komponen Teknologi PHT Pada Usahatani Lada

Bila dilihat dari tingkat penerapan kom-ponen teknologi PHT oleh petani seperti: (1) pemberian pupuk secara optimal (sesuai kebu-tuhan), (2) melakukan pemangkasan tanaman pelindung secara teratur, (3) menanam tana-man penutup tanah, (4) menggunakan pestisi-da kimiawi tipestisi-dak berlebihan, (5) mengupayakan pelestarian musuh alami, (6) melakukan penga-matan HPT pada usahatani secara teratur, serta (7) pernah melakukan pengendalian HPT dengan pestisida nabati diperoleh persentase penerapan secara rataan yaitu 56,07 persen pada petani alumni SLPHT dan hanya sekitar 10,36 persen pada petani non SLPHT (Tabel 5.22). Bila dilihat per ragam teknologi yang di-terapkan petani alumni SLPHT, kegiatan seper-ti pemangkasan tanaman pelindung secara teratur, penggunaan pestisida tak berlebihan, mengupayakan pelestarian musuh alami dan pengamatan HPT teratur telah dilaksanakan oleh sekitar 75 - 95 persen petani. Sedangkan, penerapan teknologi PHT seperti pengendalian HPT dengan pestisida nabati dan menanam

Tabel 2. Ragam Teknologi PHT yang Diterapkan oleh Responden Sampel Petani Lada di Lokasi Penelitian Provinsi Babel, 2004 (persen)

Ragam teknologi Petani alumni SLPHT

Petani non

SLPHT Rataan Melakukan pemupukan secara optimal (sesuai kebutuhan) 40,00 12,50 26,25 Melakukan pemangkasan tanaman pelindung secara teratur 95,00 27,50 61,25

Menanam tanaman penutup tanah 10,00 0,00 5,00

Menggunakan pestisida kimiawi tak berlebihan 75,00 2,50 38,75 Mengupayakan pelestarian musuh alami 80,00 5,00 42,50 Melakukan pengamatan HPT pada usahatani secara teratur 87,50 22,50 55,0 Pernah melakukan pengendalian HPT dengan pestisida

nabati 5,00 2,5 3,75

Rata-rata 56,07 10,36 33,21

Tabel 3. Persentase Ragam Penerapan Teknologi PHT Berdasarkan Jumlahnya pada Petani Lada di Lokasi Penelitian, 2004 (persen) Ragam teknologi Petani alumni SLPHT Petani non SLPHT Rataan 0 jenis teknologi 1 jenis teknologi 2 jenis teknologi 3 jenis teknologi 4 jenis teknologi 5 jenis teknologi 6 jenis teknologi 7 jenis 0,00 2,50 10,00 20,00 40,00 22,50 5,00 0,00 45,00 37,50 17,50 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 22,50 20,00 18,75 10,00 20,00 11,25 2,50 0,00

(7)

tanaman penutup tanah (Arachis pintoi) hanya dilakukan oleh sekitar 0-2,5 persen petani. Rendahnya penerapan ini disebabkan oleh sulitnya memperoleh bahan untuk pestisida nabati (seperti akar tuba atau gadung), serta sulitnya memperoleh tanaman Arachis pintoi di lokasi penelitian.

Sementara itu, tingkat penerapan tek-nologi PHT pada petani non SLPHT tampaknya relatif kecil. Hal ini berarti bahwa imbas pene-rapan teknologi PHT masih relatif sangat ter-batas dikalangan petani secara umum (diluar peserta). Persentase penerapan teknologi dari setiap ragam teknologi tersebut berkisar antara 2,5 – 27,5 persen. Persentase tertinggi dalam hal penerapan teknologi pemangkasan teratur serta dalam hal pengamatan HPT usahatani secara teratur.

Bila dilihat dari jumlah setiap jenis

tek-nologi yang diterapkan, terlihat pada petani alumni SLPHT sekitar 67,5 persen telah mene-rapkan mimimal 4 jenis ragam teknologi PHT serta sisanya di bawah 4 jenis ragam teknologi. Sebaliknya pada petani non SLPHT, terlihat jumlah jenis teknologi PHT tersebut yang dite-rapkan maksimal 2 jenis. Bahkan pada petani

non SLPHT ini tampak 45 persen petani tidak menerapkan jenis teknologi PHT tersebut sama sekali.

Manfaat Dalam Hal Peningkatan Produksi dan Pendapatan Usahatani Lada

Hasil penelitian analisis menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi PHT pada petani peserta (termasuk penerapan prinsip PHT) ternyata memperoleh manfaat yang cukup signifikan dalam peningkatan produksi lada usahataninya. Tampak bahwa tingkat produksi lada per hektar pada petani alumni SLPHT terpaut 39 persen di atas produksi lada yang diraih petani non SLPHT (1.148,75 kg/ha vs. 825,0 kg/ha). Oleh karena itu, tingkat pendapatan yang diperoleh pada petani alumni SLPHT pun jauh lebih tinggi dibanding petani non SLPHT. Tingginya produksi yang

dihasil-kan pada petani peserta dikarenadihasil-kan lebih ting-ginya curahan perhatian (pemeliharaan) dan input pada usahatani lada. Petani lada setelah memperoleh pengetahuan dari pelatihan SLPHT lebih mengetahui tentang praktek budi-daya tanaman lada menurut anjuran dan juga dalam hal pengamatan organisme pengganggu Tabel 4. Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Lada per Hektar di Lokasi Penelitian Provinsi Babel, 2004

Petani alumni SLPHT Petani non SLPHT Sebelum ikut SLPHT Setelah ikut

SLPHT Uraian

Nilai Persen Nilai Pesen

Nilai Per- Sen Penerimaan: 1. Produksi (kg) 2. Nilai (Rp) 732 14.738.975 XXX XXX 1.148,75 21.197.291,67 XXX XXX 825,0 15.015.000,00 XXX XXX Biaya: 1. Bibit 2. Urea 3. TSP 4. KCl 5. ZA 6. NPK 7. P.Kandang 8. Pestisida padat 9. Pestisida cair 10.Herbisida 11.Tajar & tali

1.643.190,48 333.900 418.917 69.833 0,0 38.536 18.921 10.167 160.225,52 112.217 2.800.817,15 19,32 3,93 4,93 0,82 0,00 0,45 0,22 0,12 1,88 1,32 32,93 1.611.190 688.300 871.583 432.500 0,00 141.286 80.138 20.700 53.760 173.292 2.437.324 15,01 6,41 8,12 4,03 0,00 1,32 0,75 0,19 0,50 1,61 22,71 1.963.125 524.667 605.250 163.750 0,00 43.833 46.333 55.317 100.792 140.625 2.760.125 21,18 5,66 6,53 1,77 0,00 0,47 0,50 0,60 1,09 1,52 29,78 12. TK Dalam Keluarga 1.144.370 13,46 2.592.200 24,16 988.750 10,67 13. TK Luar Keluarga 1.753.933 20,62 1.613.134 15,04 1.845.075 19,90 14. Biaya lain 8.442 0,10 15.733 0,15 32.292 0,33 Total Biaya 8.505.027,5 100,00 10.731.140 100,00 9.269.934 100,00 Pendapatan 6.233.947,5 XXX 10.466.151,67 XXX 5.745.066 XXX R/C 1,73 XXX 1,98 XXX 1,62 XXX

(8)

tanaman lada. Di lain pihak, petani non SLPHT dalam praktek budidaya umumnya lebih me-ngandalkan pengetahuan alami yang diperoleh secara turun-temurun. Sehingga dengan ada-nya introduksi teknologi PHT tersebut, terdapat pengaruh signifikan dalam penerapannya dan pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi usahatani. Secara lengkap struktur biaya dan pendapatan usahatani lada per hektar per ta-hun dari hasil penelitian disajikan pada Tabel 4.

Manfaat Terhadap Peningkatan Efisiensi Teknis Usahatani Lada

Efisiensi teknis merupakan ukuran tek-nis usahatani yang dilaksanakan petani dengan ditunjukkan oleh perbandingan produksi aktual dan produksi estimasi potensial (Widodo, 1996). Efisiensi teknis bisa diukur dengan menggunakan fungsi produksi frontier. Fungsi produksi frontier adalah merupakan suatu fung-si yang menunjukkan kemungkinan produkfung-si tertinggi yang dapat dicapai oleh petani dengan kondisi yang ada di lapangan, di mana pro-duksi secara teknis telah efisien dan tidak ada cara lain untuk memperoleh produksi yang lebih tinggi tanpa penggunaan faktor produksi yang lebih banyak dikuasai petani. Dengan istilah lain bahwa fungsi produksi frontier dapat menunjukkan tingkat produksi potensial yang mungkin dapat dicapai oleh petani dengan manajemen yang baik. Penghitungan tingkat efisiensi teknis dalam analisis ini dilakukan dengan komputer Program Coeli Ver 4.1.

Hasil analisis tingkat efisiensi teknis seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Pada petani alumni SLPHT tampak bahwa TE usahatani lada mengalami peningkatan pada saat petani sebelum mengikuti SLPHT dibandingkan de-ngan setelah mengikuti SLPHT yaitu meningkat TE nya dari 0,66 menjadi 0,72. Peningkatan ini dapat disebabkan karena manajemen penge-lolaan usahatani yang lebih baik. Pada petani alumni SLPHT, setelah mengikuti SLPHT mem-peroleh tambahan pengetahuan dalam penge-lolaan usahatani seperti dalam hal pemberian dosis pupuk optimal, pemeliharaan tanaman, pengamatan HPT, pemanenan dan lainnya. Dari pengetahuan yang diperoleh tersebut ke-mudian diterapkan dalam praktek usahataninya sehingga memperoleh hasil yang lebih baik lagi dibanding periode usahatani sebelumnya.

Tabel 5. Tingkat Efisiensi Teknis pada Usahatani Lada Petani Alumni SLPHT dan Non SLPHT di Lokasi Penelitian Provinsi Bang-ka Belitung, 2004

Jenis petani Tingkat efisiensi teknis Petani alumni SLPHT

a. Sebelum ikut SLPHT 0,66 b. Setelah ikut SLPLHT 0,72 Petani non SLPHT 0,68

Selanjutnya, bila dilihat TE pada petani non SLPHT yaitu sebesar 0,68, yang juga lebih rendah dibanding petani alumni SLPHT. Hal ini mengindikasikan bahwa petani yang belum me-ngikuti pelatihan (SLPHT) memiliki TE yang le-bih rendah dibanding petani yang telah mengi-kuti pelatihan SLPHT. Selisih TE tersebut me-rupakan perubahan pengetahuan dan perilaku petani yang mengarah pada pengelolaan (ma-najemen) usahatani yang lebih baik (antara lain teratur dalam pemeliharaan, penggunaan input sesuai anjuran/teknologi).

KESIMPULAN DAN SARAN

Lada di Bangka Belitung secara umum ditanam secara monokultur, dan sebagian kecil petani ada yang menanam lada ditumpangsari-kan dengan tanaman lain yang rindang (seperti buah-buahan). Alat perambatan (tajar) yang di-gunakan sebagian besar petani adalah tajar mati yang berasal dari kayu atau bambu. Seba-gian kecil petani telah ada yang menggunakan tajar hidup seperti tanaman dadap dan gamal. Varietas lada yang digunakan petani adalah LDL (Lampung Daun Lebar). Rataan luas lahan analisis usahatani (persil dominan) pada pene-litian ini di Provinsi Babel seluas 0,82 pada petani alumni SLPHT dan 0,79 ha pada petani non SLPHT. Rataan populasi lada per ha di wi-layah ini masing-masing 1414 dan 1108 pohon. Tingkat penerapan komponen tekno-logi PHT pada petani secara rataan yaitu 56,07 persen pada petani alumni SLPHT dan hanya sekitar 10,36 persen pada petani non SLPHT. Dalam hal ragam teknologi yang diterapkan petani alumni SLPHT seperti pemangkasan tanaman pelindung secara teratur, penggunaan pestisida tak berlebihan, mengupayakan peles-tarian musuh alami dan pengamatan HPT ter-atur telah dilaksanakan oleh sekitar 75 - 95 persen petani. Sedangkan, penerapan

(9)

tekno-logi PHT pengendalian HPT dengan pestisida nabati dan menanam tanaman penutup tanah (Arachis pintoi )hanya dilakukan oleh sekitar 5-10 persen petani. Rendahnya penerapan ini disebabkan oleh sulitnya memperoleh bahan untuk pestisida nabati (seperti akar tuba atau gadung), serta sulitnya memperoleh tanaman Arachis pintoi di lokasi penelitian.

Tingkat penerapan teknologi PHT ter-sebut bagi non SLPHT tampaknya relatif kecil. Hal ini berarti bahwa imbas penerapan tekno-logi PHT masih relatif sangat terbatas dikala-ngan petani secara umum (diluar peserta). Persentase penerapan teknologi dari setiap ragam teknologi tersebut berkisar antara 2,5 – 27,5 persen. Persentase tertinggi dalam hal penerapan teknologi pemangkasan teratur ser-ta dalam hal pengamaser-tan HPT usahaser-tani yang dilakukan secara teratur.

Manfaat dalam penerapan teknologi PHT diperoleh cukup signifikan dalam pening-katan produksi lada usahataninya. Tingkat pro-duksi lada per hektar pada petani alumni SLPHT terpaut 39 persen di atas produksi lada yang diraih petani non SLPHT (1.148,75 kg/ha vs. 825,0 kg/ha). Oleh karena itu, tingkat pen-dapatan yang diperoleh pada petani alumni SLPHT pun jauh lebih tinggi dibanding petani non SLPHT.

Hasil analisis tingkat efisiensi teknis juga diperoleh bahwa pada petani alumni SLPHT, TE usahatani lada mengalami pening-katan dibandingkan saat sebelum mengikuti SLPHT yaitu meningkat TE nya dari 0,66 men-jadi 0,72. Peningkatan ini dapat disebabkan ka-rena manajemen pengelolaan usahatani yang lebih baik. Pada petani alumni SLPHT, setelah mengikuti SLPHT memperoleh tambahan pe-ngetahuan dalam pengelolaan usahatani se-perti dalam hal pemberian dosis pupuk optimal, pemeliharaan tanaman, pengamatan HPT, pe-manenan dan lainnya. TE pada petani non SLPHT yaitu sebesar 0,68, yang juga lebih rendah dibanding petani alumni SLPHT. Hal ini mengindikasikan bahwa petani yang belum mengikuti pelatihan (SLPHT) memiliki TE yang lebih rendah dibanding petani yang telah me-ngikuti pelatihan SLPHT. Selisih TE tersebut merupakan perubahan pengetahuan dan peri-laku petani yang mengarah pada pengelolaan (manajemen) usahatani yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Perkebunan Belitung. 1997-2004. Lapor-an TahunLapor-an. TLapor-anjung PLapor-andLapor-an.

Dinas Pertanian dan Kehutanan Babel. 2002 dan 2003. Laporan Dinas. Pangkal Pinang.

Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2003. Peng-gunaan Tegakan Hidup Pada Tanaman Lada. Materi Sekolah Lapang Pengen-dalian (SLPHT-PR) Bangka Belitung. Bagian Proyek Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat (PHT-PR/IPM-SECP). Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Subagyo. 1997. Program Penelitian dan Pe-ngembangan dan Mekanisme Perenca-naan Program Penelitian. Makalah di-sampaikan pada Rapat Apresiasi Pro-yek Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. APPI Bogor: 15-16 Mei 1997. Bogor.

Untung, K. 1997. Penerapan Prinsip-prinsip PHT pada Subsektor Perkebunan. Ba-han Ceramah pada Apresiasi Proyek PHT Tanaman Perkebunan Rakyat. Cipanas, Jawa Barat. Maret 1997. Wahyudi, A., 2003. Risalah Simposium

Nasio-nal. Penelitian PHT Perkebunan Rak-yat. Pengembangan dan Implementasi PHT Perkebunan Rakyat Berbasis Agribisnis. Bogor, 17 – 18 September 2002.

Widodo, S. 1996. Ekonomi Mikro. Hand out Kuliah Pascasarjana Ekonomi Pertani-an, UGM-Yogyakarta.

Yusdja Y., Rosmijati S., Supriyati, dan Winarso B. 2003. Analisis Dampak Sosial Ekonomi Terhadap Adopsi Teknologi PHT Perkebunan Teh Rakyat; Proyek Penelitian PHT Tanaman Perkebunan. Badan Litbang Pertanian.

Yusdja, Y. et al. 1992. Studi Base Line Aspek Sosek PHT Kerjasama PSE Badan Litbang Pertanian – Bappenas. Bogor.

Gambar

Tabel 2.  Ragam Teknologi PHT yang Diterapkan oleh Responden Sampel Petani Lada di Lokasi Penelitian  Provinsi Babel, 2004 (persen)
Tabel 5.  Tingkat Efisiensi Teknis pada Usahatani  Lada  Petani  Alumni  SLPHT  dan Non  SLPHT di Lokasi Penelitian Provinsi  Bang-ka Belitung, 2004

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis tanah (Tabel 1) yang di- ambil dari habitat nipah menunjukkan bahwa lokasi tersebut memiliki kandungan kapasitas tukar kation (KTK), C/N rasio dan kandungan P

Hipotesis dasar teori kultivasi adalah menonton televisi secara berlebihan dapat berdampak pada adanya kecenderungan untuk terlibat terhadap gambaran yang disajikan

Penelitian kemampuan serbuk kulit salak (Salacca Zalacca) dalam menurunkan kadar fe pada inlet limbah cair rumah tangga ipal sewon bantul dapat dilakukan

Hasil penelitian Optimalisasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan oleh UPTD Dinas Pendapatan Daerah Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis masuk

Berdasarkan hasil analisis disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) pelapisan silika secara in-situ dalam sintesis magnetite secara elektrokimia mampu menstabilkan partikel

Dari hasil penelitian didapatkan pengaruh edukasi kesehatan berbasis Theory of Planned Behavior terhadap penurunan nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG) dan

Penyidikan adalah “ serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta. mengumpulkan bukti yang dengan bukti

Data yang diperoleh dari hasil, tes dianalisis dengan menggunakan statistik inferensial. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada peningkatan terhadap