PELAKSANAAN AKAD MUDHARABAH DI BMT
TARUNA SEJAHTERA GUNUNG PATI
(ANALISA FATWA DSN-MUI NO.07/DSN-MUI/IV/2000
TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Lilis Setiyowati
NIM: 21411011
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
MOTO PENULIS
“Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan,
selama ia menjadi lebih
bijaksana daripada sebelumnya.”
(Alexander Pope)
“Teman sejati adalah ia yang meraih tangan anda dan menyentuh hati
anda.”
(Heather Pryor)
“Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan
bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah keberanian dan kenyakinan
yang teguh.”
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan dengan cinta dan ketulusan hati karya ilmiah berupa skripsi ini
kepada :
1. Kedua orang tuaku Bapak Memeng Karsimin dan Ibu Khotimah tercinta,
yang telahmendoakan dan memberi kasih sayang serta pengorbanan
selama ini.
2. Adikku Muhammad Feriyanto dan Ahmad Fatkhurroziqin, yang telah
mendoakan agar selalu tetap semangat dalam menuntut ilmu dan
menjalani kehidupan di dunia ini.
3. Para guru sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi yang
penulissayangi dan hormati dalam memberikan ilmu dan membimbing
dengan penuhkesabaran.
4. Almamater Tercinta Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena
berkatrahmat-Nya Penulisan Skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan
yang diharapkan.Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan
yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyusun penulisan
skripsiini.
Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi, Kekasih,
Spirit Perubahan, Rasullah Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat-sahabatnya, syafa‟at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan nanti.
Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana dalam Hukum Islam, Fakultas Syari‟ah, Jurusan
S1 Hukum Ekonomi Syari‟ah yang berjudul:“Pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati (Analisa Fatwa DSN-MUI
No.07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah)”.Penulis mengakui
bahwa dalam menyusun Penulisan Skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa
adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah penulis mengucapkan
penghargaan yang setinggi-tingginya, ungkapan terima kasih kadang tak bisa
mewakili kata-kata, namun perlu kiranya penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga
3. BapakIlya Muhsin, S.H.I., M.Si, selaku Wakil Dekan Fakultas Syari‟ah Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama yang selalu memberikan ilmunya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar
dan baik.
4. Ibu Evi Ariyani, SH.,M.H, selaku Ketua Jurusan S1 Hukum Ekonomi
Syari‟ahdi IAIN Salatiga dan selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan saran, pengarahan dan masukan berkaitan penulisan skripsi
sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuaiyang diharapkan.
5. Ibu Lutfiana Zahriani, M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang memberikan pemahaman, arahan dalam penulisan skripsi
sehingga penulisan skripsi ini bisa saya selesaikan.
6. Bapak Arbain, selaku Manager BMT Taruna Sejahtera cabang Gunung
Pati yang telah berkenan memberikan izin penelitian diBMT Taruna
Sejahtera Gunung Pati serta jajaran pegawai yang telah memberikan
informasi berkaitan penulisan skripsi.
7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi
Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
tanpa halangan apapun.
8. Sahabat-sahabatku Yessi Widhi Astuti, Tri Subiyanti yang selalu
9. Teman-teman Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari‟ahangkatan 2011 di IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh
pendidikan di IAIN Salatiga.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan
balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa
mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amiin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun
analisanya, sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapan demi enaknya penulisan skripsiini dibaca dan dipahami.
Akhirnya, penulis berharap semoga skrispi ini bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.
Salatiga,01 September 2015
ASBTRAK
Setiyowati, Lilis. 2015.Pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna Sejahtera
Gunung Pati (Analisa Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah). Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan. S1 Hukum
Ekonomi Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani, SH.,M.H.
Kata Kunci : Pembiayaan, Mudharabah, Fatwa DSN-MUI
BMT Taruna Sejahtera merupakan salah satu lembaga keuangan syari‟ah dalam
bentuk perbankan syari‟ah yang banyak mengeluarkan produk penghimpunan dana. Salah satunya yaitu penghimpunan dana dengan produk simpanann berkah plus yang menggunakan akad mudharabah. Salah satu syarat mudharabah adalah keuntungan harus diketahui kadarnya. Tujuannya diadakannya akad mudharabah adalah untuk memperoleh keuntungan, apabila keuntungannya tidak jelas maka akibatnya akad mudharabah menjadi fasid, karena tujuan akad yaitu keuntungan tidak tercapai. Dalam hal ini penulis mengkaji tentang analisisfatwa DSN-MUI no.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah pada produk simpanan berkah plus di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1)Bagaimanakah pelaksanaan
Akad mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati? (2) Apakah pelaksanaan akad mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati sesuai dengan fatwa DSN-MUI no.07/DSN-MUI/IV/2000?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan normatif yang bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan akad mudharabah dalam BMT sudah sesuai apa belum sesuai dengan
fatwa DSN-MUI. Temuan penelitian ini menunjukan bahwa,pertama:Pelaksanaan
DAFTAR ISI
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 11
2. Kehadiran Peneliti... 11
3. Lokasi Penelitian... 11
4. Sumber Data... 12
5. Prosedur Pengumpulan Data... 12
H. Sistematika Penulisan... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Mudharabah dalam Perspektif Fiqih... 16
1. Pengertian Mudharabah... 16
2. Dasar Hukum Mudharabah... 19
3. Rukun dan Syarat Mudharabah... 23
4. Jenis-Jenis Mudharabah... 25
5. Sifat Akad Mudharabah... 25
6. Hukum Pelaksanaan Mudharabah... 26
7. Kedudukan Mudharabah... 27
8. Biaya pengelolaan Mudharabah... 28
9. Tindakan setelah Pemilik modal Meninggal... 29
10.Pembatalan Mudharabah... 30
11.Dampak Sosial Ekonomi Mudharabah... 32
B. Mudharabah dalam Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/ IV/2000 ... 33
1. Ketentuan Pembiayaan... 33
2. Rukun dan Syarat Pembiayaan... 34
3. Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan... 37
BAB III HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum BMT Taruna Sejahtera... 38
1. Sejarah BMT Taruna Sejahtera... 38
2. Visi dan Misi BMT Taruna Sejahtera... 41
3. Produk-produk BMT Taruna Sejahtera... 44
a. Simpanan Amanah... 44
b. Simpanan Berkah... 45
c. Pembiayaan Manfaat... 47
d. Simpanan Berkah Plus... 48
B. Hasil Penelitian... 52
1. Pelaksanaan Produk Simpanan Berkah Plus... 52
a. Ketentuan yang Berlaku... 55
b. Pengelolaan Dana... 57
c. Praktek Pembagian Keuntungan... 58
BAB IV ANALISIS A. Analisis Pelaksanaan Produk Simpanan Berkah Plus... 63
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 73
B. Saran... 74
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dunia perbankan di Indonesia mulai menunjukkan kemajuan dan
perkembangan yang sangat pesat setelah diberlakukannya Paket Kebijakan
Oktober 1998 (Pakto 1998), yang memberikan kesempatan yang luas
kepada masyarakat untuk mendirikan bank-bank yang telah ada untuk
membuka kantor-kantor cabang, sehingga banyak berdiri bank-bank baru
maupun bank-bank lama yang membuka cabang di seluruh Indonesia.
Kehadiran lembaga keuangan Syariah di Indonesia tidak terlepas
dari kebutuhan masyarakat yang tidak menghendaki adanya bunga
traksaksi perbankan. Indonesia dewasa ini dapat dikatakan sudah
memasuki era ekonomi syariah yang ditandai dengan bermunculnya
berbagai lembaga bisnis dan keuangan yang memakai prinsip berkeadilan
yang bebas bunga.
Kehadiran Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992,
telah memberikan inspirasi untuk membangun kembali sistem keuangan
yang lebih mampu menyentuh kalangan bawah. Meskipun misi keumatan
cukup tinggi, namun realitas dilapangannya mengalami banyak hambatan,
baik dari sisi prosedur, plafon pembiayaan maupun lingkungan bisnisnya.
Di dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan,
Untuk memberikan pelanyanan yang lebih luas kepada masyarakat
bawah, dibentuklah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Harapan
kepada BPRS untuk mampu menjangkau ekonomi kecil sangat besar,
meningkat cakupan bisnis bank ini lebih kecil. Nama perkreditan menjadi
kendala, karena nama tersebut sesungguhnya tidak tepat, karena banyak
bank islam tidak melanyani perkreditan tetapi pembiayaan, sehingga
penggunaan nama perlu dipertimbangkan. Istilah perkreditan menjadikan
makna pembiayaan menjadi kabur.
Kendala lain dalam realitanya sistem bisnis BPRS juga terjebak
pada pemusatan kekayaan hanya pada segelintir orang, yakni para pemilik
modal. Komitmen untuk membantu meningkatkan derajat hidup
masyarakat bawah mengalami kendala baik dari sisi hukum maupun
teknis. Dari sisi hukum, prosedur peminjaman bank umum dengan BPRS
sama, begitu juga dari sisi teknis. Padahal disinilah kendala utama
pengusaha kecil. Sehingga harapan besar pada BPRS hanya menjadi
idealita.
Dari persoalan diatas mendorong munculnya lembaga keuangan
syariah alternatif. Yakni sebuah lembaga yang tidak saja berorientasi
bisnis tetapi juga sosial. Lembaga yang tidak melakukan pemusatan
kekayaan pada sebagian kecil orang pemilik modal (pendiri) dengan
anggota yang meminjam mayoritas usaha kecil dan mikro serta
kekayaannya terdistribusi secara adil dan merata. Lembaga yang tidak
membangun kebersamaan untuk mencapai kemakmuran bersama yaitu
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).
BMT sebagai lembaga keuangan yang ditumbuhkan dari peran
masyarakat luas, tidak ada batasan ekonomi, sosial bahkan agama. Semua
komponen masyarakat dapat berperan aktif dalam membangun sebuah
sistem keuangan yang lebih adil dan yang lebih penting mampu
menjangkau lapisan pengusaha yang kecil sekalipun.
Peran BMT dalam menumbuhkembangkan usaha mikro dan kecil
dilingkungannya merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi
pembangunan nasional. Bank yang diharapkan mampu menjadi perantara
keuangan ternyata hanya mampu bermain pada lefel menengah keatas.
Sementara lembaga keuangan non formal yang mampu menjangkau
pengusaha mikro, tidak mampu meningkatkan kapitalisasi usaha kecil.
Maka BMT diharapkan tidak terjebak pada dua kutup ekonomi yang
berlawanan tersebut.
BMT tidak digerakkan dengan motif laba semata, tetapi juga motif
sosial. Karena beroperasi dengan pola syariah, sudah barang tentu
mekanisme kontrolnya tidak saja dari aspek ekonomi saja atau kontrol dari
luar tetapi agamanya menjadi faktor pengontrol dari dalam yang lebih
dominan.
Untuk dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan, BMT
perlu melakukan kegiatan penghimpunan dana, istilah penghimpunan dana
masyarakat dalam rangka melakukan kegiatan pembiayaan di bidang
ekonomi. Untuk dapat melakukan kegiatan penghimpunan dana secara
syar‟i, harus ada akad-akad syariah yang perlu ditetapkan dalam
produknya. Yaitu akad Wadi‟ah, akad Mudharabah, akad Musyarakah dan
seterusnya.
Pengertian akad secara etimologi berarti perikatan, perjanjian.
Sedangkan secara terminologi akad adalah suatu perikatan yang ditetapkan
dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya. Sedangkan mudharabah berasal dari kata
dharaba yang berarti memukul atau berjalan. Yang dimaksud memukul
atau berjalan yaitu seseorang yang memukulkan tangannya untuk berjalan
dimuka bumi dalam mencari karunia Allah SWT. Jadi akad mudharabah
merupakan akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan
pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan
nisbah bagi hasil (keuntungan atau kerugian) menurut kesepakatan.
Kemudian apabila terjadi kerugian, resiko dana akan ditanggung oleh
pemilik modal selama bukan karena kelalaian pihak pengelola. Namun,
apabila kerugian disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian pihak
pengelola, maka mereka harus mempertanggung jawabkan atas kerugian
tersebut.
Salah satu syarat mudharabah yaitu keuntungan harus diketahui
kadarnya. Tujuannya diadakannya akad mudharabah adalah untuk
akibatnya akad mudharabah bisa menjadi fasid. Apabila seseorang
menyerahkan modal kepada pengelola sebesar Rp 10.000.000 dengan
ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan, maka akad semacam ini
hukumnya sah, dan keuntungan dibagi rata setengah-setengah. Hal
tersebut dikarenakan syirkah atau persekutuan menghendaki persamaan
(Muslich,2010:375).
Apabila dibuat syarat yang menyebabkan ketidakjelasan dalam
keuntungan maka mudharabah menjadi fasid, karena tujuan akad yaitu
keuntungan tidak tercapai. Akan tetapi, jika syarat tersebut tidak
menyebabkan keuntungan menjadi tidak jelas maka syarat tersebut batal,
tetapi akadnya tetap sah. Misalnya, pemilik modal mensyaratkan kerugian
ditanggung oleh mudharib atau oleh mereka berdua maka syarat tersebut
batal, tetapi akad mudharabah tetap sah, sedangkan kerugian tetap
ditanggung oleh pemilik modal. Apabila disyaratkan dalam akad
mudharabah bahwa keuntungan semuanya untuk mudharib, maka menurut
Hanafiah dan Hanabilah, akad berubah menjadi qardh (utang piutang)
bukan mudharabah. Sedangkan menurut Syafi‟iyah mudharabah semacam itu adalah mudharabah yang fasid. Dalam hal ini amil diberi upah atau
imbalan sesuai dengan pekerjaannya. Menurut Malikiyah, apabila
disyaratkan keuntungan semuanya untuk mudharib atau untuk pemilik
Keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama
dengan pembagian secara nisbah atau presentase, misalnya
setengah-setengah, sepertiga dan dua pertiga atau 40% : 60%, 35% : 65% dan
seterusnya. Apabila keuntungan dibagi dengan ketentuan yang pasti,
seperti pemilik mendapat Rp 100.000 dan sisanya untuk pengelola
(mudharib), maka syarat tersebut tidak sah, dan mudharabah menjadi
fasid. Hal ini oleh karena karakter mudharabah menghendaki keuntungan
dimiliki bersama, sedangkan penentuan syarat dengan pembagian yang
pasti menghalangi kepemilikan bersama tersebut (Muslich,2010:376).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan mengungkap
tentang pelaksanaan akad mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung
Pati.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna
Sejahtera Gunung Pati?
2. Apakah pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna Sejahtera
Gunung Pati sesuai dengan fatwa DSN-MUI
No.07/DSN-MUI/IV/2000 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna
2. Untuk mengetahui pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati itu sudah sesuai dengan fatwa DSN-MUI No.
07/DSN-MUI/IV/2000.
D. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang
berguna bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya. Kegunaan
yang diharapkan dapat dipetik adalah:
1. Manfaat Bagi Penulis
Dengan melakukan penelitian tentang pelaksanaan akad di BMT
Taruna Sejahtera, penulis akan mengetahui bagaimana pelaksanaan
akad mudharabah di BMT Taruna Sejahtera.
2. Manfaat Bagi BMT Taruna Sejahtera
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi pihak lembaga BMT Taruna Sejahtera sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil kebijakan dan sebagai masukan dalam
meningkatkan pelayanan kepada anggotanya agar sesuai dengan
syariah.
3. Manfaat Bagi Pihak Lain
Sedangkan bagi pihak lain, penelitian ini diharapkan dapat
menambah ilmu pengetahuan baik secara teori maupun secara praktis
dan bisa dijadikan sebagai salah satu bahan referensi dan rujukan
E. Penegasan Istilah
Agar terdapat kejelasan tentang judul skripsi di atas, dan tidak
terjadi beda penafsiran kata-kata dalam judul, maka perlu penulis
menjelaskan makna yang terdapat pada judul.
Menurut Muhammad Abu Zahrah pengertian akad menurut bahasa
adalah untuk menggabungkan antara ujung sesuatu dan mengikatnya.
Sedangkan menurut istilah ada dua pengertian yaitu arti umum dan arti
khusus. Pengertian umum akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh
seseorang untuk dikerjakan, baik timbul karena satu kehendak, seperti
wakaf, pembebasan, talak dan sumpah, maupun yang memerlukan kepada
dua kehendak didalam menimbulkannya, seperti jual beli, sewa-menyewa,
pemberian kuasa dan gadai. Menurut Muslich (2010:111) yang mengutip
dari Wahbah Zuhaili arti khusus akad adalah pertalian antara ijab dngan
qabul menurut ketentuan syara‟ yang menimbulkan akibat hukum pada
obyeknya atau dengan redaksi yang lain, Keterkaitan antara pembicaraan
salah seorang yang melakukan akad dengan yang lainnya menurut syara‟
pada segi yang tampak pengaruhnya pada obyek.
Mudharabah adalah akad antara dua belah pihak (orang ) saling
menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain
untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari
keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang akad mudharabah sebenarnya banyak dilakukan.
Penelitian tentang akad mudharabah ini pernah dilakukan oleh Ngatirin
dengan judul “Analisis Implementasi Prinsip-prinsip Perjanjian Akad Mudharabah Pada Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Tumang Boyolali”. Penetian ini memfokuskan pada terjadinya ingkar janji atau wanprestasi
dalam akad mudharabah di BMT Tumang Boyolali karena pelanggaran isi
perjanjian yang telah disepakati dan kurang adanya sifat kejujuran dan
kelalaian dari nasabah dalam menjalankan usaha dan pengelolaannya.
(Ngatirin,tt:nn)
Skripsi Alexander Leo Mandala Putra dengan judul “Pelaksanaan Jaminan Fidusia Pada Akad Mudharabah Di Bank Nagari Syariah
Padang”. Penelitian ini menjelaskan tentang peraturan bank indonesia (PBI) adalah peraturan yang di keluarkan oleh bank indonesia untuk
mengawasi dan membina semua Bank yang berbadan hukum indonesia
atau beroperasi di indonesia (Putra,2011:nn).
Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Akad Mudharabah pada Produk di Bank Nagari Syariah Cabang Padang Panjang”.Penelitian ini berisi akibat hukum bagi para pihak baik itu dari nasabah maupun bank
dalam pelaksanaan akad mudharabah pada Bank Nagari Syariah cabang
Padang Panjang yaitu pembagian keuntungan dan kerugian serta hak dan
kewajiban para pihak, serta mengenai sanksi terhadap pelanggaran yang
2008 tentang perbankan syariah pasal 63 dan juga yang telah diatur dalam
akad tersebut yaitu pembayaran ganti kerugian (Andra,2010:nn).
Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Pembiayaan Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil (Mudharabah) pada BMT Agam Madani Nagari Sungai
Pua Kabupaten Agam”.Penelitian ini berisi pelaksanaan pembiayaan di BMT tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku , yaitu UU
No.21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan pasal 6 Peraturan Bank
Indonesia No:7/46/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana
bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
namun ada beberapa kendala, yaitu dalam pengelolaan usaha adanya
anggota yang belum mampu mengelola usahanya secara baik. Kondisi
ekonomi yang tidak stabil pada saat ini (Sani,2011:nn).
Skripsi dengan judul “Analisa Pelaksanaan Akad Mudharabah Terhadap Investasi Dinar”.Yang berisi praktik pembiayaan mudharabah yang dilakukan BMT Artha Kencana Mulia Semarang belumlah sempurna
dengan aturan hukum islam. Hal-hal ini dikarenakan dalam proses
penentuan bagi hasil , pihak BMT tidak diperkenankan menjanjikan
pemberian keuntungan tetap perbulan dalam jumlah tertentu dengan sistem
persentase sebagaimana lazim berlaku dalam tatanan perbankan
konvensional (Fumiaty,2012:93).
Dari telaah pustaka yang deperoleh penulis, maka mengenai
Pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati
untuk dikaji, dan memang belum secara khusus dibahas dalam
referensi-referensi tersebut.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan
metode deskriptif analitis dengan pendekatan normatif yang bersifat
deskriftif analitis. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan dan perilaku yang
dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. Penelitian
deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat
fakta dan karakteristik mengenai bidang tertentu. Pendekatan normatif
digunakan untuk mengetahui hukum dari pelaksanaan akad
mudharabah dalam perbankan syariah sesuai dengan fatwa DSN-MUI.
2. Kehadiran Peneliti
Peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpul data
yang mana penulis langsung mewawancarai masyarakat yang sudah
menjadi nasabah di perbankan syariah. Kehadiran penelitian diketahui
pelaksanaannya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Ungaran dan di daerah gunung
pati yaitu BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati. Karena tempat BMT
Taruna Sejahtera tersebut sangat strategis. Jadi mudah untuk di
4. Sumber Data
Adapun jenis data yang penulis pergunakan dalam penulisan
skripsi ini meliputi:
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan mengenakan alat pengukur atau alat
pengambilan data langsung dari subyek sebagai sumber
informasi yang dicari. Dalam hal ini keterangan diperoleh dari
karyawan-karyawan yang bekerja di BMT Taruna Sejahtera
dan nasabah yang melakukan transaksi dan pihak BMT Taruna
Sejahtera.
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari fihak lain, tidak
langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya.
Data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau data
laporan yang tersedia. Peneliti menggunakan buku-buku, jurnal
serta fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000.
5. Prosedur Pengumpula Data
a. Metode wawancara
Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari
terwawancara. Adapun metode wawancara yang dilakukan dengan
tanya jawab lisan mengenai masalah-masalah yang ada dengan
dirumuskan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan terhadap
nasabah yang melakukan transaksi di perbankan syariah.
b. Metode Observasi
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan
jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian.
Metode ini penulis gunakan sebagai awal untuk mengetahui
kondisi objektif mengenai obyek penelitian.
c. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal
atau variable yang berupa catatan, transkrip , buku,surat kabar,
majalah dan sebagainya. Metode ini sumber datanya masih tetap,
dan belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati
bukan benda hidup tetapi benda mati.
Dokumentasi dapat dianggap sebagai materi tertulis atau
sesuatu yang menyediakan informasi tentang suatu subyek.
Dokumentasi dapat berisi tentang deskripsi-deskripsi,
penjelasan-penjelasan, daftar-daftar, cetakan hasil komputer, contoh-contoh
obyek dari sistem informasi. Adapun yang digunakan oleh peneliti
yaitu perjanjian antara nasabah dengan perbankan syariah.
6. Analisis Data
Analisis data merupakan hal yang penting dalam metode ilmiah
karena dengan analisa data tersebut dapat diberi arti dan makna yang
dalam analisa ini yaitu Reduksi. Reduksi adalah memilih atau
memisahkan data, dari data yang telah didapatkan. Menyajikan data
adalah menyajikan data yang telah pilih tadi. Yang terakhir adalah
menyimpulkan yaitu menyimpulkan data yang telah disajikan untuk
dimasukkan de dalam analisis tersebut. Dalam analisa ini penulis
menggunakan analisis deskriptif yang mendeskripsikan fatwa
DSN-MUI No.07/DSN-DSN-MUI/IV/2000.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang
lebih lanjut dan lebih jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah
sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:
Bab I pendahuluan : Bab ini berisi Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah,
Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian yang berisi tentang Pendekatan dan
Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data,
Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, dan Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Umum Tentang Akad Mudharabah. Bab II berisi
pembahasan tentang: Pengertian mudharabah, dasar hukum
mudharabah,rukun dan syarat mudharabah, jenis-jenis mudharabah, sifat
akad mudharabah, hukum pelaksanaan akad mudharabah, kedudukan
mudharabah, biaya pelaksanaan mudharabah, tindakan setelah pemilik
meninggal, pembatalan mudharabah, dampak sosial ekonomi mudharabah
Bab III Gambaran umum tentang BMT Taruna Sejahtera.. Bab ini
berisi tentang sejarah BMT Taruna Sejahtera, Visi dan Misi BMT Taruna
Sejahtera, produk-produk BMT Taruna Sejahtera, dan Operasional
Produk Simpanan Berkah Plus (Deposito Mudharabah) di BMT Taruna
Sejahtera.
Bab IV Analisis. Bab ini berisi tentang analisis strategi pemasaran
produk simpanan berkah plus menurut fatwa No.07/DSN-MUI/IV/2000
dan menurut Hukum Islam, analisis pengelolaan dana produk simpanan
berkah plus menurut fatwa No.07/DSN-MUI/IV/2000 dan menurut
Hukum Islam, analisis prosedur pembagian keuntungan prodk simpanan
berkah plus menurut fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 dan menurut
Hukum Islam.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. MUDHARABAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH
1. Pengertian Mudharabah
Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan qirahd atau
muqaradhah bahasa penduduk Hijaz. Namun, pengertian qiradh dan
mudharabah adalah satu makna. Mudharabah berasal dari kata al-dharb,
yang berarti secara harfiah adalah berpergian atau berjalan (Hendi,
2010:135). Sebagaimana firman Allah:
artinya: “Dan yang lainnya, berpergian di muka bumi mencari karunia Allah” ( Al Muzamil:20).
Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu,
berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuangannya (Azzam,
2010: 245). Ada pula yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan
muamalah. Jadi, menurut bahasa mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u
(potongan), berjalan dan berpergian.
Para fuqaha dan sebagian para sejarahwan muslim secara umum
mendefinisikan mudharabah sebagai kerja sama antar dua pihak, yaitu
pihak pertama memberikan fasilitas modal dan pihak kedua memberikan
tenaga atau kerja. Perhitungan labanya akan dibagi dua dan kerugiannya
disimpulkan bahwa kerja sama model mudharabah ini muncul ketika
terdapat dalam sebuah masyarakat keinginan untuk bekerja sama antara
anggotanya dalam rangka meningkatkan taraf hidup ekonomi
(Muhammad, 2008: 27).
Menurut istilah, mudharabah dikemukakan oleh para ulama
sebagai berikut:
a. Menurut Zuhaily mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua
pihak. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal)
yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua sebagai pengelola
dana (mudharib). Keuntungan yang didapatkan dari akad mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dan
biasanya dalam bentuk presentase (nisbah) (Nawawi, 2012: 141).
b. Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak
(orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya
kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah
ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan.
c. Menurut Harfiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak
yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta
diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta
itu.
d. Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah ialah akad perwakilan, di
diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan
perak).
e. Imam Hanabillah berpendapat bahwa mudharabah ialah ibarat pemilik
harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang
yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.
f. Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk
ditijarahkan.
g. Syaikh Syihab al-din al-qalyubi dan Umarah berpendapat bahwa
mudharabah ialah seseorang menyerahkan harta kepada yang lain
untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama.
h. Al-bakri Ibn al-arif Billah al-sayyid Muhammad syata berpendapat
bahwa mudharabah ialah seseorang memberikan masalahnya kepada
yang lain dan didalamnya diterima penggatian.
i. Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah
pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk
diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan
perjanjian.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa mudharabah adalah
suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih, di mana pihak
pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan
tenaga dan keahlian, dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi di antara
Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa mudharabah adalah
kerja sama antara modal dengan tenaga atau keahlian. Dengan demikian,
dalam mudharabah ada unsur syirkah atau kerja sama, hanya saja bukan
kerja sama antara harta dengan harta atau tenaga dengan tenaga, melainkan
antara harta dengan tenaga. Di samping itu, juga terdapat unsur syirkah
(kepemilikan bersama) dalam keuntungan. Namun apabila terjadi kerugian
maka kerugian tersebut ditanggung pemilik modal, sedangkan pengelola
tidak dibebani kerugian, karena ia telah rugi tenaga tanpa keuntungan
(Muslich, 2010: 366-367).
Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para
ulama di atas, kiranya dapat difahami bahwa mudharabah atau qiradh
adalah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut,
dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah
kesepakatan (Hendi, 2010:136-138).
2. Dasar Hukum Mudharabah
Melakukan mudharabah hukumnya jaiz (boleh) dengan ijma‟
(Sabiq,1987:31).
Dalam al-qur‟an: QS. al-Jumu‟ah: 10 mendorong umat Muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha atau mencari karunia
Allah yang tersebar di bumi.
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Al-Jumuah:10).
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. (QS.Al-maidah:1)
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (Al-Baqarah: 198)
Landasan dasar penerapan sistem mudharabah pada prinsipnya
terbagi kepada dua landasan hukum, yaitu landasan berdasarkan hukum
Islam (Alqur‟an, hadis, ijma‟ dan qiyas) dan landasan berdasarkan
Undang-Undang perbankan yang berlaku di Indonesia (Sahrani dan
Abdullah, 2011: 190).
Ijma‟
Diriwayatkan oleh sejumlah sahabat menyerahkan (kepada
orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak
seorangpun mengingkari mereka. Karenannya, hal itu dipandang
sebagai ijma‟ (Zuhaily, 1989: 838). Qiyas
Transaksi mudharabah diqiyaskan dengan transaksi musaqah
(mengambil upah untuk menyiram tanaman). Ditinjau dari segi
miskin, terkadang sebagian orang memiliki harta tetapi tidak
berkemampuan memproduktifkannya dan ada juga orang yang tidak
mempunyai harta tetapi mempunyai kemampuan memproduktifkannya.
Karena itu, syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak
dapat mengambil manfaatnya (Zuhaily, 1989: 838).
Dasar hukum mudharabah ialah sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a., bahwasanya Rasulullah saw. telah
bersabda:
“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi
modal dan mencampur gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk
dijual”.
Zuhaily mengemukakan kesepakatan ulama tentang bolehnya
mudharabah. Diriwayatkan sejumlah sahabat melakukan mudharabah
dengan menggunakan harta anak yatim sebagai modal dan tidak ada
seorang pun dari mereka menyanggah atau menolak. Jika praktik para
sahabat dalam suatu praktik amalan tertentu yang disaksikan sahabat yang
lain tidak ada satu pun yang menyanggah maka hal itu merupakan ijma‟. Ketentuan ijma‟ ini secara sharih mengakui keabsahan praktik pembiayaan
mudharabah dalam sebuah perniagaan. Di samping mengemukakan dalil
ijma‟ ulama juga mengemukakan qiyas mudharabah dengan analogi
terhadap transaksi musaqat, yaitu bagi hasil yang umum dilakukan dalam
bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun bekerja sama dengan
perkebunan, mendapat bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan dari
hasil perkebunan (Nawawi, 2012: 142).
Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila
memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan: “harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan
dibawa menyeberangi sungai. Apabila kamu melakukan salah satu
larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku” (Hendi, 2010:138).
Menurut Rasyid yang saya kutip dalam (Hendi, 2010:139)
mengatakan dalam al-Muthawaththa’ Imam Mali, dari al-A‟la Ibn Abd al
-Rahman Ibn Ya‟qub, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia pernah
mengerjakan harta Utsman r.a. sedangkan keuntungannya dibagi dua.
Qiradh atau mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman
Rasulullah, beliau tahu dan mengakuinya, bahkan sebelum diangkat
menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan qiradh.Rasulullah pernah
melakukan mudharabah dengan Khadijah , dengan modal daripadanya
(Khadijah). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk
diperdagangkan. Ini sebelum beliau diangkat sebagai Rasul. Pada zaman
jahilliyah, mudharabah telah ada dan setelah datang agama islam.
Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan: Mudharabah telah terjadi pada
demikian (terlarang) tentu Rasulullah tidak membiarkannya (Sabiq,
1987:31-32).
3. Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut ulama Syafi‟iyah rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:
a. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
b. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari
pemilik barang.
c. Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
d. Mal, yaitu harta pokok atau modal.
e. Amal, yaitu pekerjaan pengelola harta sehingga menghasilkan laba.
f. Keuntungan.
Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul
yang keluar dari orang yang memiliki keahlian.Syarat-syarat sah
mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri.
Syarat-syarat mudharabah adalah:
a. Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila
barang itu berbentuk emas atau perak batangan, mas hiasan atau
barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal.
b. Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan
tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang
gila dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.
c. Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal
tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
d. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal
harus jelas persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga atau
seperempat.
e. Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini
kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan
qabul dari pengelola.
f. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola
harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan
barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara di waktu lain
tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari
tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah
ada persyaratan-persyaratan maka mudharabah tersebut menjadi rusak
(fasid) menurut pendapat al-Syafi‟i dan Malik. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal, mudharabah tersebut sah (Hendi,
2010:140).
4. Jenis-jenis mudharabah
Pembiayaan mudharabah terbagi menjadi dua jenis berdasarkan tujuan
alokasi pembiayaan kepada nasabah. Kedua jenis pembiayaan mudharabah
a. Mudharabah mutlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul mal
dengan mudharib dimana tidak ada batasan tertentu mengenai usaha
yang akan dilakukan oleh mudharib.
b. Mudharabah muqayyadah adalah bentuk kerja sama antara shahibul
maal dengan mudharib dimana shahibul maal menentukan batasan
usaha yang akan dilakukan oleh mudharib baik dari segi jenis, waktu
dan tempat usaha (Karim, 2006: 212-213).
5. Sifat Akad Mudharabah
Para ulama telah sepakat bahwa sebelum dilakukannya kegiatan
usaha oleh pengelola, akad mudharabah sifatnya tidak mengikat (ghair
lazim), dan masing-masing pihak boleh membatalkannya. Akan tetapi,
mereka (para ulama) berbeda pendapat apabila pengelola (mudharib) telah
memulai kegiatan usahanya. Menurut Imam Malik, akad mudharabah
menjadi akad yang mengikat (lazim) setelah pengelola memulai kegiatan
usahanya. Dengan demikian, akad tersebut tidak bisa dibatalkan sampai
barang-barang dagangan berubah menjadi uang. Di samping itu akad
tersebut juga bisa diwaris. Dengan demikian apabila mudharib memiliki
anak-anak yang dapat dipercaya, mereka bisa bekerja dalam kerangka
mudharabah seperti bapaknya. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah,
Syafi‟i dan Ahmad, meskipun mudharib telah memulai kegiatan usahanya
akad tersebut tetap tidak mengikat (ghair lazim) sehingga setiap saat bisa
dibatalkan. Di samping itu akad mudharabah tersebut tidak bisa
6. Hukum Pelaksanaan Mudharabah
Hukum-hukum dalam mudharabah adalah sebagai berikut:
a. Mudharabah harus dilakukakan sesama kaum Muslimin yang
diperbolehkan bertindak. Mudharabah juga boleh dilakukan antara
kedua orang Muslim dengan orang kafir dengan syarat modalnya dari
orang kafir dan yang bekerja adalah orang Muslim, karena orang kafir
tidak bisa dijamin meninggalkan interaksi dengan riba atau mengambil
harta dengan haram.
b. Modalnya harus diketahui.
c. Bagian dari pekerja terhadap keuntungan harus ditentukan. Jika tidak
ditentukan ia berhak mendapatkan uang atas kerjanya dan pemilik
modal berhak atas seluruh keuntungan. Tapi jika keduanya berkata “
keuntungan menjadi milik kita bersama”, keuntungannya dibagi dua
untuk keduanya.
d. Jika kedua belah pihak tidak sepakat tentang bagian yang disyaratkan
apakah seperempat atau setengah, ucapan yang diterima ialah ucapan
pemodal dengan disuruh bersumpah.
e. Pekerja (peminjam) tidak boleh melakukan mudharabah dengan orang
lain jika merugikan harta orang pertama, kecuali jika orang pertama
mengizinkannya, karena menimpakan kerugian kepada sesama kaum
f. Keuntungan tidak dibagi selama akad masih berlangsung, kecuali jika
kedua belah pihak rela dan sepakat melakukan pembagian keuntungan
(Hirsanuddin, 2008: 25).
g. Modal itu selamanya diambilkan (dipotong) dari keuntungan. Jadi
pekerja tidak berhak sedikit pun atas keuntungan kecuali setelah modal
diambil dari keuntungan. Ini jika keuntungan belum dibagi.
h. Jika mudharabah telah selesai, sedang sebagian harta berbentuk barang
atau utang di orang, kemudian pemodal meminta penjualan barang
tersebut agar menjadi uang kontan dan meminta pelunasan utang maka
pekerja harus melakukannya.
i. Jika pekerja mengaku modal habis dan mengalami kerugian,
ucapannya diterima jika tidak ada bukti yang membatalkan
pengakuannya. Jika ia mengaku modal habis, mengalami kerugian dan
mengajukan bukti-buktinya, ia bersumpah dan pengakuannya diterima
(Nawawi, 2012: 143-144).
7. Kedudukan Mudharabah
Hukum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan
keadaan. Maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah
juga tergantung pada keadaan. Karena pengelola modal perdagangan
mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal
merupakan wakil pemilik barang dalam pengelolaannya dan kedudukan
Ketika harta ditasharrufkan oleh pengelola, harta tersebut berada
dibawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya.
Sehingga harta tersebut berkedudukan sebagai amanat (titipan). Apabila
harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak wajib
menggantinya. Bila kerusakan timbul karena kalalaian pengelola, ia wajib
menanggungnya.
Ditinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada
keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan
persentase yang telah disepakati. Karena bersama-sama dalam keuntungan,
maka mudharabah juga sebagai syirkah. Ditinjau dari segi keuntungan
yang diterima oleh pengelola harta, pengelola mengambil upah sebagai
bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap
sebagai ijarah (upah-mengupah atau sewa menyewa) (Hendi, 2010:141).
Apabila pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan
mudharabah yang telah disepakati kedua belah pihak. Maka telah terjadi
kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang terjadi menyebabkan
pengelolan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab.
8. Biaya Pengelolaan Mudharabah
Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri selama ia
tinggal di lingkungannya sendiri, demikian juga bila ia mengadakan
perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah
memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut
sama besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan.
Namun jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk
membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya di tengah
perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan,
maka ia boleh menggunakan modalnya. Imam Malik berpendapat bahwa
biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya
cukup besar sehingga masih memungkinkan mendatangkan
keuntungan-keuntungan (Hendi, 2010:142).
Kiranya dapat dipahami bahwa biaya pengelolaan mudharabah
pada dasarnya dibebankan kepada pengelola modal. Namun tidak masalah
biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya.
Menurut Imam Malik menggunakan modal pun boleh apabila modalnya
besar sehingga memungkinkan memperoleh keuntungan berikutnya
(Hendi, 2010:142).
9. Tindakan setelah Pemilik Modal Meninggal
Menurut Sabiq (1987: 41) jika pemilik modal menginggal dunia,
mudharabah menjadi fasakh (batal). Bila mudharabah telah batal pengelola
modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola
bertindak menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa
pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin para ahli warisnya. Maka
perbuatan ini dianggap sebagai ghasab. Ia wajib mengembalikannya
Jika mudharabah telah batal, sedangkan modal berbentuk barang
dagangan, pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya
karena yang demikian itu adalah hak kedua belah pihak. Jika pelaksana
setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, pemilik
modal dipaksa menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam
keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya,
demikian pendapat Mazhab Syafi‟i dan Hanbali (Hendi, 2010:142).
10.Pembatalan Mudharabah
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:
a. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan
modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan.
Maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagi upah,
karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas
berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan
tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian, kerugian tersebut
menjadi tanggung jawab pemilik modal. Karena pengelola adalah
sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak
bertanggung jawab sesuatu apapun, kecuali atas kelalaiannya.
b. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola
modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung
c. Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah
seorang pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal
(Hendi, 2010:143).
d. Salah satu pihak terserang penyakit gila
Menurut jumhur ulama selain Syafi‟iyah, apabila salah satu pihak
terserang penyakit gila yang terus- menerus. Maka mudharabah
menjadi batal. Hal ini dikarenakan gila menghilangkan kecakapan
(ahliyah).
e. Pemilik modal murtad
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari Islam), lalu ia
meninggal atau dihukum mati karena riddah atau ia berpindah ke
negeri bukan Islam (dar al-harb) maka mudharabah menjadi batal, semenjak hari ia keluar dari Islam menurut Abu Hanifah. Akan tetapi,
apabila mudharib yang murtad maka akaf mudharabah tetap berlaku
karena ia memiliki kecakapan (ahliyah).
f. Harta mudharabah rusak di tangan mudharib
Apabila modal rusak atau hilang di tangan mudharib sebelum ia
membeli sesuatu maka mudharabah menjadi batal. Hal tersebut
dikarenakan sudah jelas modal telah diterima oleh mdharib untuk
kepentingan akad mudharabah. Dengan demikian, akad mudharabah
menjadi batal karena modalnya hilang atau rusak. Demikian pula
orang lain atau dihabiskan sehingga tidak ada sedikit pun untuk
dibelanjakan (Muslich, 2010: 389-390).
Kemudian jika modal itu menguntungkan, maka keuntungannya
dibagi dua. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Dengan cara inilah Amirulmukminin Umar Ibnu Al Khaththab menghukumkan kasus
harta yang diambil oleh kedua putranya dari baitul mal, mereka
memperdangkannya sebelum terlebih dahulu meminta hak, maka
kemudian Umar menjadikannya sebagai mudharabah” (Sabiq,
1987:36-37).
11.Dampak sosial ekonomi mudharabah
Dari kerja sama permodalam, ada dua manfaat bagi pemilik modal, yaitu:
a. Mendapatkan pahala besar dari Allah SWT. Karena ia adalah
penyebab lenyapnya kemiskinan dari orang-orang miskin. Karena
kalau tanpa Dia orang-orang miskin tersebut akan tetap dalam
kemiskinan. Tetapi orang miskin tersebut harus pandai bekerja agar
keduanya saling bisa tukar menukar kepentingan.
b. Berkembangnya harta dan semakin benyaknya kekayaan akibat dari
pengembangan bisnis yang dilakukan sesuai dengan bidangnya
B. MUDHARABAH DALAM FATWA DSN-MUI NO.07/DSN-MUI/IV/2000
Menurut fatwa DSN-MUI yang ditandatangani oleh K.H. Ali Yafie
(ketua) dan Nazim Adlani (sekretaris) pada tanggal 1 April 2000 tentang
bagi hasil dengan cara mudharabah adalah akad kerjasama suatu usaha
antara dua pihak. Pihak pertama (malk, shabib,al-mal, LKS) menyediakan
seluruh modal sedangkan pihak kedua („amil, mudharib, nasabah)
bertindak selaku pengelola dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka
sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
1. Ketentuan Pembiayaan
a. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh
LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
b. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana)
membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha) sedangkan
pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola
usaha.
c. Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana dan pembagian
keuntungan ditentukan berdasarkan kesempatan kedua belah pihak
(LKS dengan pengusaha).
d. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah
disepakati bersama dan sesuai dengan syariah dan LKS tidak ikut
serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai
e. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam
bentuk tunai bukan piutang.
f. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat
dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan
kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
g. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada
jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan,
LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga.
Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti
melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati
bersama dalam akad.
h. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan dan mekanisme
pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan
fatwa DSN.
i. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
j. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban
atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib
berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan
(Anshori,2007:91).
2. Rukun dan Syarat Pembiayaan
a. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus
b. Pernyataan ijab qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit
menunjukkan tujuan kontrak (akad).
2) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi
atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
c. Modal adalah sejumlah uang dan atau aset yang diberikan oleh
penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat
sebagai berikut:
1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
2) Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika
modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut
harus dinilai pada waktu akad.
3) Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan
kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak,
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
d. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai
kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus
dipenuhi:
1) Harus diperuntukan bagi kedua pihak dan tidak boleh
2) Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus
diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati
dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus
berdasarkan kesepakatan.
3) Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah dan pengelola tidak boleh menanggung
kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan
desengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan.
e. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib) sebagi perimbangan
modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan
hal-hal berikut:
1) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa
campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak
untuk melalukan pengawasan.
2) Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan
pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi
tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
3) Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah islam
dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,
dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas
3. Beberapa ketentuan hukum pembiayaan
a. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
b. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu‟allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
c. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena
pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali
akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran
kesepakatan.
d. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum BMT Taruna Sejahtera 1. Sejarah BMT Taruna Sejahtera
Krisis Moneter tahun 1997-1998 yang mengakibatkan
fluktiatif harga bahan makanan dan input pertanian sejak
pertengahan tahun 1997. Selama periode puncak harga krisis
pangan di pasar ritel meningkat pada tingkat yang lebih tinggi
hingga 3-25 kali lipat pertumbuhan harga sebelum krisis, telah
mendorong sekelompok pemuda kota Ungaran untuk membentuk
lembaga usaha yang bertujuan untuk meringankan beban rakyat
kecil akibat himpitan ekonomi dampak krisis moneter. Sehingga
pada tanggal 24 Agustus 1998 setelah peringatan kemerdekaan RI
ke 53 telah berdiri Lembaga Usaha yang diberi nama Koperasi
Warung Taruna Sejahtera dengan kegiatan usaha penyaluran
sembako khususnya penjualan beras murah dan telah mendapatkan
pengesahan badan hukum dari Kementrian Koperasi Pengusaha
kecil dan Menengah Kabupaten Semarang No.:
007/BH/KWK.11.1/IX/1998 tanggal 23 September 1998.
Tetapi pada perkembangannya usaha tersebut tidak dapat
berjalan dengan baik dan mengalami kerugian terus menerus.
Sehingga pada tahun 2000 koperasi menutup usaha penyaluran
sistem syariah. Yang bertujan untuk memberikan pelayanan
penguatan modal usaha mikro dan kecil yang diberi nama BMT
Taruna Sejahtera yang mendapatkan pengesahan Akte perubahan
Badan Hukum No.:019/BH/PAD/KDK/11.1/II/2000 tanggal 18
Febuari 2000.
Usaha Simpan Pinjam dengan pola syariah diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan Koperasi. Tetapi
usaha tersebut belum dapat beroperasi dengan baik dan Koperasi
tidak mengalami pertumbuhan. Sehingga pada awal tahun 2011
Koperasi melakukan perubahan besar yang meliputi perubahan
Manajemen kepegawaian dengan menerapkan IMS (Incentive
Manajemen System). Perubahan sistem Akuntasi dengan
mengimplemasikan Aplikasi Core Banking IBS Realtime serta
memperluas jaringan kerja dengan membuka Kantor Kas diseluruh
wilayah Kabupaten Semarang.
Pada saat yang bersamaan diterbitkan pula produk-produk
baru BMT seperti Simpanan Amanah yang berhadiah menarik,
Simpanan Berkah dengan bagi hasil yang kompetitif, Simpanan
Berkah bonus berupa Kendaraan baik Sepeda Motor maupun
Mobil dan Pembiayaan Manfaat.
Perubahan dari Pola Operasional lama ke Pola Operasional
dapat dilihat dari pertumbuhan Asset yang semula pada awal tahun
2011 sebesar 1 Milyar menjadi 14 Milyar di akhir bulan Mei 2013.
Disamping perubahan Pola Operasional, pada RAT tahun
2012 pada tanggal 27 April 2013 dalam rangka menyesuaikan
dengan Undang-Undang No 17 tahun 2012 BMT yang semula
bernama Koperasi Warung Taruna Sejahtera di Li. HOS
Cokroaminoto di rubah menjadi Koperasi Jasa Keuangan Syariah
BMT Taruna Sejahtera dan alamatnya pindah di Jl. Gatot Subroto
No.133 Mutiara Ungaran Square Kav.3 Ungaran.
BMT Taruna Sejahtera sudah memiliki banyak kantor
cabang. Pada tahun 2014, BMT Taruna Sejahtera telah memiliki
18 kantor cabang. Salah satu cabang BMT Taruna Sejahtera
dengan alamat Jl. Pasarsari No.72 Gunung Pati- Semarang.
Berikut adalah nama-nama pengelola, pengawas dan
pengelola BMT Taruna Sejahtera berdasarkan hasil RAT tahun
tutup buku 2013 adalah sebagai berikut:
a. Pengawas BMT Taruna Sejahtera meliputi:
Ketua : Munawar, Spd.
Tabel 3.1 Struktur Organisasi
Sumber: buku rapat anggota tahunan 2014 BMT Taruna Sejahtera
b. Pengurus BMT Taruna Sejahtera meliputi:
Ketua : Yahsun, S.E.
Sekretaris : Jaka Santosa
Bendahara : Supriyadi
c. Pengelola BMT Taruna Sejahtera Cabang Gunung Pati
meliputi:
General Manager : Yahsun, SE
Manager Cabang : M. Arbain
Kepala kas Boja : Agus Marwanto
Account officer (AO): M.Yumroni, Ubaidillah, Misbakhul
Munir
Kasir atau Teller : Yohana Prahesti General Manager
Kasir/Teller Account
Kepala Kas Boja Manager
2. Visi dan Misi BMT Taruna Sejahtera
Visi BMT Taruna Sejahtera
Mewujudkan BMT Taruna Sejahtera sebagai Lembaga
Keuangan Syariah yang mampu melayani kebutuhan Modal usaha
bagi Anggota guna menunjang kesejahteraan bersama yang
diridhoi Allah SWT.
Misi BMT Taruna Sejahtera
a. Pemberdayaan Usaha ummat di wilayah Jawa Tengah, khususnya
di Kabupaten Semarang.
b. Menyelenggarakan usaha Simpan Pinjam untuk melayani Anggota
sesuai prinsip-prinsip Koperasi.
c. Menjalankan Usaha Simpan Pinjam yang sesuai prinsip syariah
dengan effektif, effisien dan transparan.
Adapun keuntungan menjadi anggota BMT Taruna
Sejahtera, yaitu:
a. Kenyamanan dan ketentraman hati, karena Operasional BMT
Taruna Sejahtera berdasarkan Syariah dengan sistem bagi hasil.
b. Kemudahan dalam pelayanan, karena penyetoan, penarikan dan
angsuran dapat dilayani ditempat (Rumah, Toko atau pasar).
c. Anggota bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan (pinjaman) untuk
memperkuat modal usaha.
d. Anggota dapat memperoleh informasi saldo pada setiap hari kerja
Berdasarkan data BMT Taruna Sejahtera per 31
Desember 2013 keanggotaan BMT Taruna Sejahtera mengalami
kenaikan sebagai berikut:
Tabel 3.2: Jumlah Keanggotaan BMT Taruna Sejahtera
Jumlah Anggota Tahun 2012 Tahun 2013
Anggota 791 3.288
Calon Anggota 1.060 -
Sumber: buku rapat anggota tahunan 2014 BMT Taruna Sejahtera
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa jumlah
anggota BMT Taruna Sejahtera mengalami kenaikan yang
sangat signifikan. Hal ini terlihat dari jumlah anggota di tahun
2012 sebanyak 791, kemudian di tahun 2013 menjadi 3.288
anggota kerena jumlah anggota bertambah 2.497 di tahun 2013.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa BMT Taruna Sejahtera
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan
perubahan operasional dari pola lama ke pola baru yang dikelola
berdasarkan prinsip syariah. Selain itu, jumlah keanggotaan BMT
Taruna Sejahtera juga mengalami kenaikan yang sangat signifikan
karena BMT Taruna Sejahtera memberikan banyak keuntungan
kepada nasabah berupa kenyamanan dan kemudahan dalam