• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN AKAD MUDHARABAH DI BMT TARUNA SEJAHTERA GUNUNG PATI (ANALISA FATWA DSN-MUI NO.07DSN-MUIIV2000 TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PELAKSANAAN AKAD MUDHARABAH DI BMT TARUNA SEJAHTERA GUNUNG PATI (ANALISA FATWA DSN-MUI NO.07DSN-MUIIV2000 TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN AKAD MUDHARABAH DI BMT

TARUNA SEJAHTERA GUNUNG PATI

(ANALISA FATWA DSN-MUI NO.07/DSN-MUI/IV/2000

TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Lilis Setiyowati

NIM: 21411011

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTO PENULIS

“Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan,

selama ia menjadi lebih

bijaksana daripada sebelumnya.”

(Alexander Pope)

“Teman sejati adalah ia yang meraih tangan anda dan menyentuh hati

anda.”

(Heather Pryor)

“Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan

bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah keberanian dan kenyakinan

yang teguh.”

(6)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan dengan cinta dan ketulusan hati karya ilmiah berupa skripsi ini

kepada :

1. Kedua orang tuaku Bapak Memeng Karsimin dan Ibu Khotimah tercinta,

yang telahmendoakan dan memberi kasih sayang serta pengorbanan

selama ini.

2. Adikku Muhammad Feriyanto dan Ahmad Fatkhurroziqin, yang telah

mendoakan agar selalu tetap semangat dalam menuntut ilmu dan

menjalani kehidupan di dunia ini.

3. Para guru sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi yang

penulissayangi dan hormati dalam memberikan ilmu dan membimbing

dengan penuhkesabaran.

4. Almamater Tercinta Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang

(7)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena

berkatrahmat-Nya Penulisan Skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan

yang diharapkan.Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan

yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyusun penulisan

skripsiini.

Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi, Kekasih,

Spirit Perubahan, Rasullah Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat-sahabatnya, syafa‟at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan nanti.

Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan

guna memperoleh gelar Sarjana dalam Hukum Islam, Fakultas Syari‟ah, Jurusan

S1 Hukum Ekonomi Syari‟ah yang berjudul:Pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati (Analisa Fatwa DSN-MUI

No.07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah)”.Penulis mengakui

bahwa dalam menyusun Penulisan Skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa

adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah penulis mengucapkan

penghargaan yang setinggi-tingginya, ungkapan terima kasih kadang tak bisa

mewakili kata-kata, namun perlu kiranya penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga

(8)

3. BapakIlya Muhsin, S.H.I., M.Si, selaku Wakil Dekan Fakultas Syari‟ah Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama yang selalu memberikan ilmunya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar

dan baik.

4. Ibu Evi Ariyani, SH.,M.H, selaku Ketua Jurusan S1 Hukum Ekonomi

Syari‟ahdi IAIN Salatiga dan selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan saran, pengarahan dan masukan berkaitan penulisan skripsi

sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuaiyang diharapkan.

5. Ibu Lutfiana Zahriani, M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang memberikan pemahaman, arahan dalam penulisan skripsi

sehingga penulisan skripsi ini bisa saya selesaikan.

6. Bapak Arbain, selaku Manager BMT Taruna Sejahtera cabang Gunung

Pati yang telah berkenan memberikan izin penelitian diBMT Taruna

Sejahtera Gunung Pati serta jajaran pegawai yang telah memberikan

informasi berkaitan penulisan skripsi.

7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi

Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

tanpa halangan apapun.

8. Sahabat-sahabatku Yessi Widhi Astuti, Tri Subiyanti yang selalu

(9)

9. Teman-teman Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari‟ahangkatan 2011 di IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh

pendidikan di IAIN Salatiga.

Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan

balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa

mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amiin.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh

dari sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun

analisanya, sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapan demi enaknya penulisan skripsiini dibaca dan dipahami.

Akhirnya, penulis berharap semoga skrispi ini bermanfaat khususnya bagi

penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.

Salatiga,01 September 2015

(10)

ASBTRAK

Setiyowati, Lilis. 2015.Pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna Sejahtera

Gunung Pati (Analisa Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah). Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan. S1 Hukum

Ekonomi Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani, SH.,M.H.

Kata Kunci : Pembiayaan, Mudharabah, Fatwa DSN-MUI

BMT Taruna Sejahtera merupakan salah satu lembaga keuangan syari‟ah dalam

bentuk perbankan syari‟ah yang banyak mengeluarkan produk penghimpunan dana. Salah satunya yaitu penghimpunan dana dengan produk simpanann berkah plus yang menggunakan akad mudharabah. Salah satu syarat mudharabah adalah keuntungan harus diketahui kadarnya. Tujuannya diadakannya akad mudharabah adalah untuk memperoleh keuntungan, apabila keuntungannya tidak jelas maka akibatnya akad mudharabah menjadi fasid, karena tujuan akad yaitu keuntungan tidak tercapai. Dalam hal ini penulis mengkaji tentang analisisfatwa DSN-MUI no.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah pada produk simpanan berkah plus di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1)Bagaimanakah pelaksanaan

Akad mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati? (2) Apakah pelaksanaan akad mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati sesuai dengan fatwa DSN-MUI no.07/DSN-MUI/IV/2000?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan normatif yang bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan akad mudharabah dalam BMT sudah sesuai apa belum sesuai dengan

fatwa DSN-MUI. Temuan penelitian ini menunjukan bahwa,pertama:Pelaksanaan

(11)

DAFTAR ISI

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 11

2. Kehadiran Peneliti... 11

3. Lokasi Penelitian... 11

4. Sumber Data... 12

5. Prosedur Pengumpulan Data... 12

(12)

H. Sistematika Penulisan... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Mudharabah dalam Perspektif Fiqih... 16

1. Pengertian Mudharabah... 16

2. Dasar Hukum Mudharabah... 19

3. Rukun dan Syarat Mudharabah... 23

4. Jenis-Jenis Mudharabah... 25

5. Sifat Akad Mudharabah... 25

6. Hukum Pelaksanaan Mudharabah... 26

7. Kedudukan Mudharabah... 27

8. Biaya pengelolaan Mudharabah... 28

9. Tindakan setelah Pemilik modal Meninggal... 29

10.Pembatalan Mudharabah... 30

11.Dampak Sosial Ekonomi Mudharabah... 32

B. Mudharabah dalam Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/ IV/2000 ... 33

1. Ketentuan Pembiayaan... 33

2. Rukun dan Syarat Pembiayaan... 34

3. Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan... 37

BAB III HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum BMT Taruna Sejahtera... 38

1. Sejarah BMT Taruna Sejahtera... 38

2. Visi dan Misi BMT Taruna Sejahtera... 41

3. Produk-produk BMT Taruna Sejahtera... 44

a. Simpanan Amanah... 44

b. Simpanan Berkah... 45

c. Pembiayaan Manfaat... 47

d. Simpanan Berkah Plus... 48

(13)

B. Hasil Penelitian... 52

1. Pelaksanaan Produk Simpanan Berkah Plus... 52

a. Ketentuan yang Berlaku... 55

b. Pengelolaan Dana... 57

c. Praktek Pembagian Keuntungan... 58

BAB IV ANALISIS A. Analisis Pelaksanaan Produk Simpanan Berkah Plus... 63

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 73

B. Saran... 74

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(14)

DAFTAR GAMBAR

(15)

DAFTAR GAMBAR

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dunia perbankan di Indonesia mulai menunjukkan kemajuan dan

perkembangan yang sangat pesat setelah diberlakukannya Paket Kebijakan

Oktober 1998 (Pakto 1998), yang memberikan kesempatan yang luas

kepada masyarakat untuk mendirikan bank-bank yang telah ada untuk

membuka kantor-kantor cabang, sehingga banyak berdiri bank-bank baru

maupun bank-bank lama yang membuka cabang di seluruh Indonesia.

Kehadiran lembaga keuangan Syariah di Indonesia tidak terlepas

dari kebutuhan masyarakat yang tidak menghendaki adanya bunga

traksaksi perbankan. Indonesia dewasa ini dapat dikatakan sudah

memasuki era ekonomi syariah yang ditandai dengan bermunculnya

berbagai lembaga bisnis dan keuangan yang memakai prinsip berkeadilan

yang bebas bunga.

Kehadiran Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992,

telah memberikan inspirasi untuk membangun kembali sistem keuangan

yang lebih mampu menyentuh kalangan bawah. Meskipun misi keumatan

cukup tinggi, namun realitas dilapangannya mengalami banyak hambatan,

baik dari sisi prosedur, plafon pembiayaan maupun lingkungan bisnisnya.

Di dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan,

(17)

Untuk memberikan pelanyanan yang lebih luas kepada masyarakat

bawah, dibentuklah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Harapan

kepada BPRS untuk mampu menjangkau ekonomi kecil sangat besar,

meningkat cakupan bisnis bank ini lebih kecil. Nama perkreditan menjadi

kendala, karena nama tersebut sesungguhnya tidak tepat, karena banyak

bank islam tidak melanyani perkreditan tetapi pembiayaan, sehingga

penggunaan nama perlu dipertimbangkan. Istilah perkreditan menjadikan

makna pembiayaan menjadi kabur.

Kendala lain dalam realitanya sistem bisnis BPRS juga terjebak

pada pemusatan kekayaan hanya pada segelintir orang, yakni para pemilik

modal. Komitmen untuk membantu meningkatkan derajat hidup

masyarakat bawah mengalami kendala baik dari sisi hukum maupun

teknis. Dari sisi hukum, prosedur peminjaman bank umum dengan BPRS

sama, begitu juga dari sisi teknis. Padahal disinilah kendala utama

pengusaha kecil. Sehingga harapan besar pada BPRS hanya menjadi

idealita.

Dari persoalan diatas mendorong munculnya lembaga keuangan

syariah alternatif. Yakni sebuah lembaga yang tidak saja berorientasi

bisnis tetapi juga sosial. Lembaga yang tidak melakukan pemusatan

kekayaan pada sebagian kecil orang pemilik modal (pendiri) dengan

anggota yang meminjam mayoritas usaha kecil dan mikro serta

kekayaannya terdistribusi secara adil dan merata. Lembaga yang tidak

(18)

membangun kebersamaan untuk mencapai kemakmuran bersama yaitu

Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).

BMT sebagai lembaga keuangan yang ditumbuhkan dari peran

masyarakat luas, tidak ada batasan ekonomi, sosial bahkan agama. Semua

komponen masyarakat dapat berperan aktif dalam membangun sebuah

sistem keuangan yang lebih adil dan yang lebih penting mampu

menjangkau lapisan pengusaha yang kecil sekalipun.

Peran BMT dalam menumbuhkembangkan usaha mikro dan kecil

dilingkungannya merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi

pembangunan nasional. Bank yang diharapkan mampu menjadi perantara

keuangan ternyata hanya mampu bermain pada lefel menengah keatas.

Sementara lembaga keuangan non formal yang mampu menjangkau

pengusaha mikro, tidak mampu meningkatkan kapitalisasi usaha kecil.

Maka BMT diharapkan tidak terjebak pada dua kutup ekonomi yang

berlawanan tersebut.

BMT tidak digerakkan dengan motif laba semata, tetapi juga motif

sosial. Karena beroperasi dengan pola syariah, sudah barang tentu

mekanisme kontrolnya tidak saja dari aspek ekonomi saja atau kontrol dari

luar tetapi agamanya menjadi faktor pengontrol dari dalam yang lebih

dominan.

Untuk dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan, BMT

perlu melakukan kegiatan penghimpunan dana, istilah penghimpunan dana

(19)

masyarakat dalam rangka melakukan kegiatan pembiayaan di bidang

ekonomi. Untuk dapat melakukan kegiatan penghimpunan dana secara

syar‟i, harus ada akad-akad syariah yang perlu ditetapkan dalam

produknya. Yaitu akad Wadi‟ah, akad Mudharabah, akad Musyarakah dan

seterusnya.

Pengertian akad secara etimologi berarti perikatan, perjanjian.

Sedangkan secara terminologi akad adalah suatu perikatan yang ditetapkan

dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya. Sedangkan mudharabah berasal dari kata

dharaba yang berarti memukul atau berjalan. Yang dimaksud memukul

atau berjalan yaitu seseorang yang memukulkan tangannya untuk berjalan

dimuka bumi dalam mencari karunia Allah SWT. Jadi akad mudharabah

merupakan akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan

pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan

nisbah bagi hasil (keuntungan atau kerugian) menurut kesepakatan.

Kemudian apabila terjadi kerugian, resiko dana akan ditanggung oleh

pemilik modal selama bukan karena kelalaian pihak pengelola. Namun,

apabila kerugian disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian pihak

pengelola, maka mereka harus mempertanggung jawabkan atas kerugian

tersebut.

Salah satu syarat mudharabah yaitu keuntungan harus diketahui

kadarnya. Tujuannya diadakannya akad mudharabah adalah untuk

(20)

akibatnya akad mudharabah bisa menjadi fasid. Apabila seseorang

menyerahkan modal kepada pengelola sebesar Rp 10.000.000 dengan

ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan, maka akad semacam ini

hukumnya sah, dan keuntungan dibagi rata setengah-setengah. Hal

tersebut dikarenakan syirkah atau persekutuan menghendaki persamaan

(Muslich,2010:375).

Apabila dibuat syarat yang menyebabkan ketidakjelasan dalam

keuntungan maka mudharabah menjadi fasid, karena tujuan akad yaitu

keuntungan tidak tercapai. Akan tetapi, jika syarat tersebut tidak

menyebabkan keuntungan menjadi tidak jelas maka syarat tersebut batal,

tetapi akadnya tetap sah. Misalnya, pemilik modal mensyaratkan kerugian

ditanggung oleh mudharib atau oleh mereka berdua maka syarat tersebut

batal, tetapi akad mudharabah tetap sah, sedangkan kerugian tetap

ditanggung oleh pemilik modal. Apabila disyaratkan dalam akad

mudharabah bahwa keuntungan semuanya untuk mudharib, maka menurut

Hanafiah dan Hanabilah, akad berubah menjadi qardh (utang piutang)

bukan mudharabah. Sedangkan menurut Syafi‟iyah mudharabah semacam itu adalah mudharabah yang fasid. Dalam hal ini amil diberi upah atau

imbalan sesuai dengan pekerjaannya. Menurut Malikiyah, apabila

disyaratkan keuntungan semuanya untuk mudharib atau untuk pemilik

(21)

Keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama

dengan pembagian secara nisbah atau presentase, misalnya

setengah-setengah, sepertiga dan dua pertiga atau 40% : 60%, 35% : 65% dan

seterusnya. Apabila keuntungan dibagi dengan ketentuan yang pasti,

seperti pemilik mendapat Rp 100.000 dan sisanya untuk pengelola

(mudharib), maka syarat tersebut tidak sah, dan mudharabah menjadi

fasid. Hal ini oleh karena karakter mudharabah menghendaki keuntungan

dimiliki bersama, sedangkan penentuan syarat dengan pembagian yang

pasti menghalangi kepemilikan bersama tersebut (Muslich,2010:376).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan mengungkap

tentang pelaksanaan akad mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung

Pati.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna

Sejahtera Gunung Pati?

2. Apakah pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna Sejahtera

Gunung Pati sesuai dengan fatwa DSN-MUI

No.07/DSN-MUI/IV/2000 ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna

(22)

2. Untuk mengetahui pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati itu sudah sesuai dengan fatwa DSN-MUI No.

07/DSN-MUI/IV/2000.

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang

berguna bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya. Kegunaan

yang diharapkan dapat dipetik adalah:

1. Manfaat Bagi Penulis

Dengan melakukan penelitian tentang pelaksanaan akad di BMT

Taruna Sejahtera, penulis akan mengetahui bagaimana pelaksanaan

akad mudharabah di BMT Taruna Sejahtera.

2. Manfaat Bagi BMT Taruna Sejahtera

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran bagi pihak lembaga BMT Taruna Sejahtera sebagai bahan

pertimbangan dalam mengambil kebijakan dan sebagai masukan dalam

meningkatkan pelayanan kepada anggotanya agar sesuai dengan

syariah.

3. Manfaat Bagi Pihak Lain

Sedangkan bagi pihak lain, penelitian ini diharapkan dapat

menambah ilmu pengetahuan baik secara teori maupun secara praktis

dan bisa dijadikan sebagai salah satu bahan referensi dan rujukan

(23)

E. Penegasan Istilah

Agar terdapat kejelasan tentang judul skripsi di atas, dan tidak

terjadi beda penafsiran kata-kata dalam judul, maka perlu penulis

menjelaskan makna yang terdapat pada judul.

Menurut Muhammad Abu Zahrah pengertian akad menurut bahasa

adalah untuk menggabungkan antara ujung sesuatu dan mengikatnya.

Sedangkan menurut istilah ada dua pengertian yaitu arti umum dan arti

khusus. Pengertian umum akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh

seseorang untuk dikerjakan, baik timbul karena satu kehendak, seperti

wakaf, pembebasan, talak dan sumpah, maupun yang memerlukan kepada

dua kehendak didalam menimbulkannya, seperti jual beli, sewa-menyewa,

pemberian kuasa dan gadai. Menurut Muslich (2010:111) yang mengutip

dari Wahbah Zuhaili arti khusus akad adalah pertalian antara ijab dngan

qabul menurut ketentuan syara‟ yang menimbulkan akibat hukum pada

obyeknya atau dengan redaksi yang lain, Keterkaitan antara pembicaraan

salah seorang yang melakukan akad dengan yang lainnya menurut syara‟

pada segi yang tampak pengaruhnya pada obyek.

Mudharabah adalah akad antara dua belah pihak (orang ) saling

menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain

untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari

keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang

(24)

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang akad mudharabah sebenarnya banyak dilakukan.

Penelitian tentang akad mudharabah ini pernah dilakukan oleh Ngatirin

dengan judul “Analisis Implementasi Prinsip-prinsip Perjanjian Akad Mudharabah Pada Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Tumang Boyolali”. Penetian ini memfokuskan pada terjadinya ingkar janji atau wanprestasi

dalam akad mudharabah di BMT Tumang Boyolali karena pelanggaran isi

perjanjian yang telah disepakati dan kurang adanya sifat kejujuran dan

kelalaian dari nasabah dalam menjalankan usaha dan pengelolaannya.

(Ngatirin,tt:nn)

Skripsi Alexander Leo Mandala Putra dengan judul “Pelaksanaan Jaminan Fidusia Pada Akad Mudharabah Di Bank Nagari Syariah

Padang”. Penelitian ini menjelaskan tentang peraturan bank indonesia (PBI) adalah peraturan yang di keluarkan oleh bank indonesia untuk

mengawasi dan membina semua Bank yang berbadan hukum indonesia

atau beroperasi di indonesia (Putra,2011:nn).

Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Akad Mudharabah pada Produk di Bank Nagari Syariah Cabang Padang Panjang”.Penelitian ini berisi akibat hukum bagi para pihak baik itu dari nasabah maupun bank

dalam pelaksanaan akad mudharabah pada Bank Nagari Syariah cabang

Padang Panjang yaitu pembagian keuntungan dan kerugian serta hak dan

kewajiban para pihak, serta mengenai sanksi terhadap pelanggaran yang

(25)

2008 tentang perbankan syariah pasal 63 dan juga yang telah diatur dalam

akad tersebut yaitu pembayaran ganti kerugian (Andra,2010:nn).

Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Pembiayaan Berdasarkan

Prinsip Bagi Hasil (Mudharabah) pada BMT Agam Madani Nagari Sungai

Pua Kabupaten Agam”.Penelitian ini berisi pelaksanaan pembiayaan di BMT tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku , yaitu UU

No.21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan pasal 6 Peraturan Bank

Indonesia No:7/46/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana

bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,

namun ada beberapa kendala, yaitu dalam pengelolaan usaha adanya

anggota yang belum mampu mengelola usahanya secara baik. Kondisi

ekonomi yang tidak stabil pada saat ini (Sani,2011:nn).

Skripsi dengan judul “Analisa Pelaksanaan Akad Mudharabah Terhadap Investasi Dinar”.Yang berisi praktik pembiayaan mudharabah yang dilakukan BMT Artha Kencana Mulia Semarang belumlah sempurna

dengan aturan hukum islam. Hal-hal ini dikarenakan dalam proses

penentuan bagi hasil , pihak BMT tidak diperkenankan menjanjikan

pemberian keuntungan tetap perbulan dalam jumlah tertentu dengan sistem

persentase sebagaimana lazim berlaku dalam tatanan perbankan

konvensional (Fumiaty,2012:93).

Dari telaah pustaka yang deperoleh penulis, maka mengenai

Pelaksanaan Akad Mudharabah di BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati

(26)

untuk dikaji, dan memang belum secara khusus dibahas dalam

referensi-referensi tersebut.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan

metode deskriptif analitis dengan pendekatan normatif yang bersifat

deskriftif analitis. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan dan perilaku yang

dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. Penelitian

deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat

fakta dan karakteristik mengenai bidang tertentu. Pendekatan normatif

digunakan untuk mengetahui hukum dari pelaksanaan akad

mudharabah dalam perbankan syariah sesuai dengan fatwa DSN-MUI.

2. Kehadiran Peneliti

Peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpul data

yang mana penulis langsung mewawancarai masyarakat yang sudah

menjadi nasabah di perbankan syariah. Kehadiran penelitian diketahui

pelaksanaannya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Ungaran dan di daerah gunung

pati yaitu BMT Taruna Sejahtera Gunung Pati. Karena tempat BMT

Taruna Sejahtera tersebut sangat strategis. Jadi mudah untuk di

(27)

4. Sumber Data

Adapun jenis data yang penulis pergunakan dalam penulisan

skripsi ini meliputi:

a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek

penelitian dengan mengenakan alat pengukur atau alat

pengambilan data langsung dari subyek sebagai sumber

informasi yang dicari. Dalam hal ini keterangan diperoleh dari

karyawan-karyawan yang bekerja di BMT Taruna Sejahtera

dan nasabah yang melakukan transaksi dan pihak BMT Taruna

Sejahtera.

b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari fihak lain, tidak

langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya.

Data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau data

laporan yang tersedia. Peneliti menggunakan buku-buku, jurnal

serta fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000.

5. Prosedur Pengumpula Data

a. Metode wawancara

Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan

oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari

terwawancara. Adapun metode wawancara yang dilakukan dengan

tanya jawab lisan mengenai masalah-masalah yang ada dengan

(28)

dirumuskan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan terhadap

nasabah yang melakukan transaksi di perbankan syariah.

b. Metode Observasi

Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan

jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian.

Metode ini penulis gunakan sebagai awal untuk mengetahui

kondisi objektif mengenai obyek penelitian.

c. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal

atau variable yang berupa catatan, transkrip , buku,surat kabar,

majalah dan sebagainya. Metode ini sumber datanya masih tetap,

dan belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati

bukan benda hidup tetapi benda mati.

Dokumentasi dapat dianggap sebagai materi tertulis atau

sesuatu yang menyediakan informasi tentang suatu subyek.

Dokumentasi dapat berisi tentang deskripsi-deskripsi,

penjelasan-penjelasan, daftar-daftar, cetakan hasil komputer, contoh-contoh

obyek dari sistem informasi. Adapun yang digunakan oleh peneliti

yaitu perjanjian antara nasabah dengan perbankan syariah.

6. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang penting dalam metode ilmiah

karena dengan analisa data tersebut dapat diberi arti dan makna yang

(29)

dalam analisa ini yaitu Reduksi. Reduksi adalah memilih atau

memisahkan data, dari data yang telah didapatkan. Menyajikan data

adalah menyajikan data yang telah pilih tadi. Yang terakhir adalah

menyimpulkan yaitu menyimpulkan data yang telah disajikan untuk

dimasukkan de dalam analisis tersebut. Dalam analisa ini penulis

menggunakan analisis deskriptif yang mendeskripsikan fatwa

DSN-MUI No.07/DSN-DSN-MUI/IV/2000.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang

lebih lanjut dan lebih jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah

sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:

Bab I pendahuluan : Bab ini berisi Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah,

Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian yang berisi tentang Pendekatan dan

Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data,

Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, dan Sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Umum Tentang Akad Mudharabah. Bab II berisi

pembahasan tentang: Pengertian mudharabah, dasar hukum

mudharabah,rukun dan syarat mudharabah, jenis-jenis mudharabah, sifat

akad mudharabah, hukum pelaksanaan akad mudharabah, kedudukan

mudharabah, biaya pelaksanaan mudharabah, tindakan setelah pemilik

meninggal, pembatalan mudharabah, dampak sosial ekonomi mudharabah

(30)

Bab III Gambaran umum tentang BMT Taruna Sejahtera.. Bab ini

berisi tentang sejarah BMT Taruna Sejahtera, Visi dan Misi BMT Taruna

Sejahtera, produk-produk BMT Taruna Sejahtera, dan Operasional

Produk Simpanan Berkah Plus (Deposito Mudharabah) di BMT Taruna

Sejahtera.

Bab IV Analisis. Bab ini berisi tentang analisis strategi pemasaran

produk simpanan berkah plus menurut fatwa No.07/DSN-MUI/IV/2000

dan menurut Hukum Islam, analisis pengelolaan dana produk simpanan

berkah plus menurut fatwa No.07/DSN-MUI/IV/2000 dan menurut

Hukum Islam, analisis prosedur pembagian keuntungan prodk simpanan

berkah plus menurut fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 dan menurut

Hukum Islam.

(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. MUDHARABAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH

1. Pengertian Mudharabah

Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan qirahd atau

muqaradhah bahasa penduduk Hijaz. Namun, pengertian qiradh dan

mudharabah adalah satu makna. Mudharabah berasal dari kata al-dharb,

yang berarti secara harfiah adalah berpergian atau berjalan (Hendi,

2010:135). Sebagaimana firman Allah:















artinya: “Dan yang lainnya, berpergian di muka bumi mencari karunia Allah” ( Al Muzamil:20).

Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu,

berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuangannya (Azzam,

2010: 245). Ada pula yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan

muamalah. Jadi, menurut bahasa mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u

(potongan), berjalan dan berpergian.

Para fuqaha dan sebagian para sejarahwan muslim secara umum

mendefinisikan mudharabah sebagai kerja sama antar dua pihak, yaitu

pihak pertama memberikan fasilitas modal dan pihak kedua memberikan

tenaga atau kerja. Perhitungan labanya akan dibagi dua dan kerugiannya

(32)

disimpulkan bahwa kerja sama model mudharabah ini muncul ketika

terdapat dalam sebuah masyarakat keinginan untuk bekerja sama antara

anggotanya dalam rangka meningkatkan taraf hidup ekonomi

(Muhammad, 2008: 27).

Menurut istilah, mudharabah dikemukakan oleh para ulama

sebagai berikut:

a. Menurut Zuhaily mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua

pihak. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal)

yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua sebagai pengelola

dana (mudharib). Keuntungan yang didapatkan dari akad mudharabah

dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dan

biasanya dalam bentuk presentase (nisbah) (Nawawi, 2012: 141).

b. Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak

(orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya

kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah

ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan

syarat-syarat yang telah ditentukan.

c. Menurut Harfiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak

yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta

diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta

itu.

d. Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah ialah akad perwakilan, di

(33)

diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan

perak).

e. Imam Hanabillah berpendapat bahwa mudharabah ialah ibarat pemilik

harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang

yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.

f. Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk

ditijarahkan.

g. Syaikh Syihab al-din al-qalyubi dan Umarah berpendapat bahwa

mudharabah ialah seseorang menyerahkan harta kepada yang lain

untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama.

h. Al-bakri Ibn al-arif Billah al-sayyid Muhammad syata berpendapat

bahwa mudharabah ialah seseorang memberikan masalahnya kepada

yang lain dan didalamnya diterima penggatian.

i. Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah

pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk

diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan

perjanjian.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa mudharabah adalah

suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih, di mana pihak

pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan

tenaga dan keahlian, dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi di antara

(34)

Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa mudharabah adalah

kerja sama antara modal dengan tenaga atau keahlian. Dengan demikian,

dalam mudharabah ada unsur syirkah atau kerja sama, hanya saja bukan

kerja sama antara harta dengan harta atau tenaga dengan tenaga, melainkan

antara harta dengan tenaga. Di samping itu, juga terdapat unsur syirkah

(kepemilikan bersama) dalam keuntungan. Namun apabila terjadi kerugian

maka kerugian tersebut ditanggung pemilik modal, sedangkan pengelola

tidak dibebani kerugian, karena ia telah rugi tenaga tanpa keuntungan

(Muslich, 2010: 366-367).

Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para

ulama di atas, kiranya dapat difahami bahwa mudharabah atau qiradh

adalah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut,

dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah

kesepakatan (Hendi, 2010:136-138).

2. Dasar Hukum Mudharabah

Melakukan mudharabah hukumnya jaiz (boleh) dengan ijma‟

(Sabiq,1987:31).

Dalam al-qur‟an: QS. al-Jumu‟ah: 10 mendorong umat Muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha atau mencari karunia

Allah yang tersebar di bumi.





















(35)

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Al-Jumuah:10).

















Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. (QS.Al-maidah:1)

















Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (Al-Baqarah: 198)

Landasan dasar penerapan sistem mudharabah pada prinsipnya

terbagi kepada dua landasan hukum, yaitu landasan berdasarkan hukum

Islam (Alqur‟an, hadis, ijma‟ dan qiyas) dan landasan berdasarkan

Undang-Undang perbankan yang berlaku di Indonesia (Sahrani dan

Abdullah, 2011: 190).

Ijma‟

Diriwayatkan oleh sejumlah sahabat menyerahkan (kepada

orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak

seorangpun mengingkari mereka. Karenannya, hal itu dipandang

sebagai ijma‟ (Zuhaily, 1989: 838). Qiyas

Transaksi mudharabah diqiyaskan dengan transaksi musaqah

(mengambil upah untuk menyiram tanaman). Ditinjau dari segi

(36)

miskin, terkadang sebagian orang memiliki harta tetapi tidak

berkemampuan memproduktifkannya dan ada juga orang yang tidak

mempunyai harta tetapi mempunyai kemampuan memproduktifkannya.

Karena itu, syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak

dapat mengambil manfaatnya (Zuhaily, 1989: 838).

Dasar hukum mudharabah ialah sebuah hadis yang diriwayatkan

oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a., bahwasanya Rasulullah saw. telah

bersabda:

“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi

modal dan mencampur gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk

dijual”.

Zuhaily mengemukakan kesepakatan ulama tentang bolehnya

mudharabah. Diriwayatkan sejumlah sahabat melakukan mudharabah

dengan menggunakan harta anak yatim sebagai modal dan tidak ada

seorang pun dari mereka menyanggah atau menolak. Jika praktik para

sahabat dalam suatu praktik amalan tertentu yang disaksikan sahabat yang

lain tidak ada satu pun yang menyanggah maka hal itu merupakan ijma‟. Ketentuan ijma‟ ini secara sharih mengakui keabsahan praktik pembiayaan

mudharabah dalam sebuah perniagaan. Di samping mengemukakan dalil

ijma‟ ulama juga mengemukakan qiyas mudharabah dengan analogi

terhadap transaksi musaqat, yaitu bagi hasil yang umum dilakukan dalam

bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun bekerja sama dengan

(37)

perkebunan, mendapat bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan dari

hasil perkebunan (Nawawi, 2012: 142).

Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila

memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan: “harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan

dibawa menyeberangi sungai. Apabila kamu melakukan salah satu

larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku” (Hendi, 2010:138).

Menurut Rasyid yang saya kutip dalam (Hendi, 2010:139)

mengatakan dalam al-Muthawaththa’ Imam Mali, dari al-A‟la Ibn Abd al

-Rahman Ibn Ya‟qub, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia pernah

mengerjakan harta Utsman r.a. sedangkan keuntungannya dibagi dua.

Qiradh atau mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman

Rasulullah, beliau tahu dan mengakuinya, bahkan sebelum diangkat

menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan qiradh.Rasulullah pernah

melakukan mudharabah dengan Khadijah , dengan modal daripadanya

(Khadijah). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk

diperdagangkan. Ini sebelum beliau diangkat sebagai Rasul. Pada zaman

jahilliyah, mudharabah telah ada dan setelah datang agama islam.

Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan: Mudharabah telah terjadi pada

(38)

demikian (terlarang) tentu Rasulullah tidak membiarkannya (Sabiq,

1987:31-32).

3. Rukun dan Syarat Mudharabah

Menurut ulama Syafi‟iyah rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:

a. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.

b. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari

pemilik barang.

c. Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.

d. Mal, yaitu harta pokok atau modal.

e. Amal, yaitu pekerjaan pengelola harta sehingga menghasilkan laba.

f. Keuntungan.

Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul

yang keluar dari orang yang memiliki keahlian.Syarat-syarat sah

mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri.

Syarat-syarat mudharabah adalah:

a. Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila

barang itu berbentuk emas atau perak batangan, mas hiasan atau

barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal.

b. Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan

tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang

gila dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.

c. Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal

(39)

tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan

perjanjian yang telah disepakati.

d. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal

harus jelas persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga atau

seperempat.

e. Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini

kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan

qabul dari pengelola.

f. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola

harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan

barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara di waktu lain

tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari

tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah

ada persyaratan-persyaratan maka mudharabah tersebut menjadi rusak

(fasid) menurut pendapat al-Syafi‟i dan Malik. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal, mudharabah tersebut sah (Hendi,

2010:140).

4. Jenis-jenis mudharabah

Pembiayaan mudharabah terbagi menjadi dua jenis berdasarkan tujuan

alokasi pembiayaan kepada nasabah. Kedua jenis pembiayaan mudharabah

(40)

a. Mudharabah mutlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul mal

dengan mudharib dimana tidak ada batasan tertentu mengenai usaha

yang akan dilakukan oleh mudharib.

b. Mudharabah muqayyadah adalah bentuk kerja sama antara shahibul

maal dengan mudharib dimana shahibul maal menentukan batasan

usaha yang akan dilakukan oleh mudharib baik dari segi jenis, waktu

dan tempat usaha (Karim, 2006: 212-213).

5. Sifat Akad Mudharabah

Para ulama telah sepakat bahwa sebelum dilakukannya kegiatan

usaha oleh pengelola, akad mudharabah sifatnya tidak mengikat (ghair

lazim), dan masing-masing pihak boleh membatalkannya. Akan tetapi,

mereka (para ulama) berbeda pendapat apabila pengelola (mudharib) telah

memulai kegiatan usahanya. Menurut Imam Malik, akad mudharabah

menjadi akad yang mengikat (lazim) setelah pengelola memulai kegiatan

usahanya. Dengan demikian, akad tersebut tidak bisa dibatalkan sampai

barang-barang dagangan berubah menjadi uang. Di samping itu akad

tersebut juga bisa diwaris. Dengan demikian apabila mudharib memiliki

anak-anak yang dapat dipercaya, mereka bisa bekerja dalam kerangka

mudharabah seperti bapaknya. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah,

Syafi‟i dan Ahmad, meskipun mudharib telah memulai kegiatan usahanya

akad tersebut tetap tidak mengikat (ghair lazim) sehingga setiap saat bisa

dibatalkan. Di samping itu akad mudharabah tersebut tidak bisa

(41)

6. Hukum Pelaksanaan Mudharabah

Hukum-hukum dalam mudharabah adalah sebagai berikut:

a. Mudharabah harus dilakukakan sesama kaum Muslimin yang

diperbolehkan bertindak. Mudharabah juga boleh dilakukan antara

kedua orang Muslim dengan orang kafir dengan syarat modalnya dari

orang kafir dan yang bekerja adalah orang Muslim, karena orang kafir

tidak bisa dijamin meninggalkan interaksi dengan riba atau mengambil

harta dengan haram.

b. Modalnya harus diketahui.

c. Bagian dari pekerja terhadap keuntungan harus ditentukan. Jika tidak

ditentukan ia berhak mendapatkan uang atas kerjanya dan pemilik

modal berhak atas seluruh keuntungan. Tapi jika keduanya berkata “

keuntungan menjadi milik kita bersama”, keuntungannya dibagi dua

untuk keduanya.

d. Jika kedua belah pihak tidak sepakat tentang bagian yang disyaratkan

apakah seperempat atau setengah, ucapan yang diterima ialah ucapan

pemodal dengan disuruh bersumpah.

e. Pekerja (peminjam) tidak boleh melakukan mudharabah dengan orang

lain jika merugikan harta orang pertama, kecuali jika orang pertama

mengizinkannya, karena menimpakan kerugian kepada sesama kaum

(42)

f. Keuntungan tidak dibagi selama akad masih berlangsung, kecuali jika

kedua belah pihak rela dan sepakat melakukan pembagian keuntungan

(Hirsanuddin, 2008: 25).

g. Modal itu selamanya diambilkan (dipotong) dari keuntungan. Jadi

pekerja tidak berhak sedikit pun atas keuntungan kecuali setelah modal

diambil dari keuntungan. Ini jika keuntungan belum dibagi.

h. Jika mudharabah telah selesai, sedang sebagian harta berbentuk barang

atau utang di orang, kemudian pemodal meminta penjualan barang

tersebut agar menjadi uang kontan dan meminta pelunasan utang maka

pekerja harus melakukannya.

i. Jika pekerja mengaku modal habis dan mengalami kerugian,

ucapannya diterima jika tidak ada bukti yang membatalkan

pengakuannya. Jika ia mengaku modal habis, mengalami kerugian dan

mengajukan bukti-buktinya, ia bersumpah dan pengakuannya diterima

(Nawawi, 2012: 143-144).

7. Kedudukan Mudharabah

Hukum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan

keadaan. Maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah

juga tergantung pada keadaan. Karena pengelola modal perdagangan

mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal

merupakan wakil pemilik barang dalam pengelolaannya dan kedudukan

(43)

Ketika harta ditasharrufkan oleh pengelola, harta tersebut berada

dibawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya.

Sehingga harta tersebut berkedudukan sebagai amanat (titipan). Apabila

harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak wajib

menggantinya. Bila kerusakan timbul karena kalalaian pengelola, ia wajib

menanggungnya.

Ditinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada

keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan

persentase yang telah disepakati. Karena bersama-sama dalam keuntungan,

maka mudharabah juga sebagai syirkah. Ditinjau dari segi keuntungan

yang diterima oleh pengelola harta, pengelola mengambil upah sebagai

bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap

sebagai ijarah (upah-mengupah atau sewa menyewa) (Hendi, 2010:141).

Apabila pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan

mudharabah yang telah disepakati kedua belah pihak. Maka telah terjadi

kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang terjadi menyebabkan

pengelolan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab.

8. Biaya Pengelolaan Mudharabah

Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri selama ia

tinggal di lingkungannya sendiri, demikian juga bila ia mengadakan

perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah

(44)

memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut

sama besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan.

Namun jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk

membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya di tengah

perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan,

maka ia boleh menggunakan modalnya. Imam Malik berpendapat bahwa

biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya

cukup besar sehingga masih memungkinkan mendatangkan

keuntungan-keuntungan (Hendi, 2010:142).

Kiranya dapat dipahami bahwa biaya pengelolaan mudharabah

pada dasarnya dibebankan kepada pengelola modal. Namun tidak masalah

biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya.

Menurut Imam Malik menggunakan modal pun boleh apabila modalnya

besar sehingga memungkinkan memperoleh keuntungan berikutnya

(Hendi, 2010:142).

9. Tindakan setelah Pemilik Modal Meninggal

Menurut Sabiq (1987: 41) jika pemilik modal menginggal dunia,

mudharabah menjadi fasakh (batal). Bila mudharabah telah batal pengelola

modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola

bertindak menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa

pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin para ahli warisnya. Maka

perbuatan ini dianggap sebagai ghasab. Ia wajib mengembalikannya

(45)

Jika mudharabah telah batal, sedangkan modal berbentuk barang

dagangan, pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya

karena yang demikian itu adalah hak kedua belah pihak. Jika pelaksana

setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, pemilik

modal dipaksa menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam

keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya,

demikian pendapat Mazhab Syafi‟i dan Hanbali (Hendi, 2010:142).

10.Pembatalan Mudharabah

Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:

a. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.

Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan

modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan.

Maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagi upah,

karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas

berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan

tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian, kerugian tersebut

menjadi tanggung jawab pemilik modal. Karena pengelola adalah

sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak

bertanggung jawab sesuatu apapun, kecuali atas kelalaiannya.

b. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola

modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan

tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung

(46)

c. Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah

seorang pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal

(Hendi, 2010:143).

d. Salah satu pihak terserang penyakit gila

Menurut jumhur ulama selain Syafi‟iyah, apabila salah satu pihak

terserang penyakit gila yang terus- menerus. Maka mudharabah

menjadi batal. Hal ini dikarenakan gila menghilangkan kecakapan

(ahliyah).

e. Pemilik modal murtad

Apabila pemilik modal murtad (keluar dari Islam), lalu ia

meninggal atau dihukum mati karena riddah atau ia berpindah ke

negeri bukan Islam (dar al-harb) maka mudharabah menjadi batal, semenjak hari ia keluar dari Islam menurut Abu Hanifah. Akan tetapi,

apabila mudharib yang murtad maka akaf mudharabah tetap berlaku

karena ia memiliki kecakapan (ahliyah).

f. Harta mudharabah rusak di tangan mudharib

Apabila modal rusak atau hilang di tangan mudharib sebelum ia

membeli sesuatu maka mudharabah menjadi batal. Hal tersebut

dikarenakan sudah jelas modal telah diterima oleh mdharib untuk

kepentingan akad mudharabah. Dengan demikian, akad mudharabah

menjadi batal karena modalnya hilang atau rusak. Demikian pula

(47)

orang lain atau dihabiskan sehingga tidak ada sedikit pun untuk

dibelanjakan (Muslich, 2010: 389-390).

Kemudian jika modal itu menguntungkan, maka keuntungannya

dibagi dua. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Dengan cara inilah Amirulmukminin Umar Ibnu Al Khaththab menghukumkan kasus

harta yang diambil oleh kedua putranya dari baitul mal, mereka

memperdangkannya sebelum terlebih dahulu meminta hak, maka

kemudian Umar menjadikannya sebagai mudharabah” (Sabiq,

1987:36-37).

11.Dampak sosial ekonomi mudharabah

Dari kerja sama permodalam, ada dua manfaat bagi pemilik modal, yaitu:

a. Mendapatkan pahala besar dari Allah SWT. Karena ia adalah

penyebab lenyapnya kemiskinan dari orang-orang miskin. Karena

kalau tanpa Dia orang-orang miskin tersebut akan tetap dalam

kemiskinan. Tetapi orang miskin tersebut harus pandai bekerja agar

keduanya saling bisa tukar menukar kepentingan.

b. Berkembangnya harta dan semakin benyaknya kekayaan akibat dari

pengembangan bisnis yang dilakukan sesuai dengan bidangnya

(48)

B. MUDHARABAH DALAM FATWA DSN-MUI NO.07/DSN-MUI/IV/2000

Menurut fatwa DSN-MUI yang ditandatangani oleh K.H. Ali Yafie

(ketua) dan Nazim Adlani (sekretaris) pada tanggal 1 April 2000 tentang

bagi hasil dengan cara mudharabah adalah akad kerjasama suatu usaha

antara dua pihak. Pihak pertama (malk, shabib,al-mal, LKS) menyediakan

seluruh modal sedangkan pihak kedua („amil, mudharib, nasabah)

bertindak selaku pengelola dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka

sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

1. Ketentuan Pembiayaan

a. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh

LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.

b. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana)

membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha) sedangkan

pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola

usaha.

c. Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana dan pembagian

keuntungan ditentukan berdasarkan kesempatan kedua belah pihak

(LKS dengan pengusaha).

d. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah

disepakati bersama dan sesuai dengan syariah dan LKS tidak ikut

serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai

(49)

e. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam

bentuk tunai bukan piutang.

f. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat

dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan

kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

g. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada

jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan,

LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga.

Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti

melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati

bersama dalam akad.

h. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan dan mekanisme

pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan

fatwa DSN.

i. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.

j. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban

atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib

berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan

(Anshori,2007:91).

2. Rukun dan Syarat Pembiayaan

a. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus

(50)

b. Pernyataan ijab qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak

(akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

1) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit

menunjukkan tujuan kontrak (akad).

2) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi

atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

c. Modal adalah sejumlah uang dan atau aset yang diberikan oleh

penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat

sebagai berikut:

1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

2) Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika

modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut

harus dinilai pada waktu akad.

3) Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan

kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak,

sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

d. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai

kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus

dipenuhi:

1) Harus diperuntukan bagi kedua pihak dan tidak boleh

(51)

2) Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus

diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati

dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari

keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus

berdasarkan kesepakatan.

3) Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari

mudharabah dan pengelola tidak boleh menanggung

kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan

desengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan.

e. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib) sebagi perimbangan

modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan

hal-hal berikut:

1) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa

campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak

untuk melalukan pengawasan.

2) Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan

pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi

tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.

3) Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah islam

dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,

dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas

(52)

3. Beberapa ketentuan hukum pembiayaan

a. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.

b. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu‟allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.

c. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena

pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali

akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran

kesepakatan.

d. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika

terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah

(53)

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum BMT Taruna Sejahtera 1. Sejarah BMT Taruna Sejahtera

Krisis Moneter tahun 1997-1998 yang mengakibatkan

fluktiatif harga bahan makanan dan input pertanian sejak

pertengahan tahun 1997. Selama periode puncak harga krisis

pangan di pasar ritel meningkat pada tingkat yang lebih tinggi

hingga 3-25 kali lipat pertumbuhan harga sebelum krisis, telah

mendorong sekelompok pemuda kota Ungaran untuk membentuk

lembaga usaha yang bertujuan untuk meringankan beban rakyat

kecil akibat himpitan ekonomi dampak krisis moneter. Sehingga

pada tanggal 24 Agustus 1998 setelah peringatan kemerdekaan RI

ke 53 telah berdiri Lembaga Usaha yang diberi nama Koperasi

Warung Taruna Sejahtera dengan kegiatan usaha penyaluran

sembako khususnya penjualan beras murah dan telah mendapatkan

pengesahan badan hukum dari Kementrian Koperasi Pengusaha

kecil dan Menengah Kabupaten Semarang No.:

007/BH/KWK.11.1/IX/1998 tanggal 23 September 1998.

Tetapi pada perkembangannya usaha tersebut tidak dapat

berjalan dengan baik dan mengalami kerugian terus menerus.

Sehingga pada tahun 2000 koperasi menutup usaha penyaluran

(54)

sistem syariah. Yang bertujan untuk memberikan pelayanan

penguatan modal usaha mikro dan kecil yang diberi nama BMT

Taruna Sejahtera yang mendapatkan pengesahan Akte perubahan

Badan Hukum No.:019/BH/PAD/KDK/11.1/II/2000 tanggal 18

Febuari 2000.

Usaha Simpan Pinjam dengan pola syariah diharapkan

dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan Koperasi. Tetapi

usaha tersebut belum dapat beroperasi dengan baik dan Koperasi

tidak mengalami pertumbuhan. Sehingga pada awal tahun 2011

Koperasi melakukan perubahan besar yang meliputi perubahan

Manajemen kepegawaian dengan menerapkan IMS (Incentive

Manajemen System). Perubahan sistem Akuntasi dengan

mengimplemasikan Aplikasi Core Banking IBS Realtime serta

memperluas jaringan kerja dengan membuka Kantor Kas diseluruh

wilayah Kabupaten Semarang.

Pada saat yang bersamaan diterbitkan pula produk-produk

baru BMT seperti Simpanan Amanah yang berhadiah menarik,

Simpanan Berkah dengan bagi hasil yang kompetitif, Simpanan

Berkah bonus berupa Kendaraan baik Sepeda Motor maupun

Mobil dan Pembiayaan Manfaat.

Perubahan dari Pola Operasional lama ke Pola Operasional

(55)

dapat dilihat dari pertumbuhan Asset yang semula pada awal tahun

2011 sebesar 1 Milyar menjadi 14 Milyar di akhir bulan Mei 2013.

Disamping perubahan Pola Operasional, pada RAT tahun

2012 pada tanggal 27 April 2013 dalam rangka menyesuaikan

dengan Undang-Undang No 17 tahun 2012 BMT yang semula

bernama Koperasi Warung Taruna Sejahtera di Li. HOS

Cokroaminoto di rubah menjadi Koperasi Jasa Keuangan Syariah

BMT Taruna Sejahtera dan alamatnya pindah di Jl. Gatot Subroto

No.133 Mutiara Ungaran Square Kav.3 Ungaran.

BMT Taruna Sejahtera sudah memiliki banyak kantor

cabang. Pada tahun 2014, BMT Taruna Sejahtera telah memiliki

18 kantor cabang. Salah satu cabang BMT Taruna Sejahtera

dengan alamat Jl. Pasarsari No.72 Gunung Pati- Semarang.

Berikut adalah nama-nama pengelola, pengawas dan

pengelola BMT Taruna Sejahtera berdasarkan hasil RAT tahun

tutup buku 2013 adalah sebagai berikut:

a. Pengawas BMT Taruna Sejahtera meliputi:

Ketua : Munawar, Spd.

(56)

Tabel 3.1 Struktur Organisasi

Sumber: buku rapat anggota tahunan 2014 BMT Taruna Sejahtera

b. Pengurus BMT Taruna Sejahtera meliputi:

Ketua : Yahsun, S.E.

Sekretaris : Jaka Santosa

Bendahara : Supriyadi

c. Pengelola BMT Taruna Sejahtera Cabang Gunung Pati

meliputi:

General Manager : Yahsun, SE

Manager Cabang : M. Arbain

Kepala kas Boja : Agus Marwanto

Account officer (AO): M.Yumroni, Ubaidillah, Misbakhul

Munir

Kasir atau Teller : Yohana Prahesti General Manager

Kasir/Teller Account

Kepala Kas Boja Manager

(57)

2. Visi dan Misi BMT Taruna Sejahtera

Visi BMT Taruna Sejahtera

Mewujudkan BMT Taruna Sejahtera sebagai Lembaga

Keuangan Syariah yang mampu melayani kebutuhan Modal usaha

bagi Anggota guna menunjang kesejahteraan bersama yang

diridhoi Allah SWT.

Misi BMT Taruna Sejahtera

a. Pemberdayaan Usaha ummat di wilayah Jawa Tengah, khususnya

di Kabupaten Semarang.

b. Menyelenggarakan usaha Simpan Pinjam untuk melayani Anggota

sesuai prinsip-prinsip Koperasi.

c. Menjalankan Usaha Simpan Pinjam yang sesuai prinsip syariah

dengan effektif, effisien dan transparan.

Adapun keuntungan menjadi anggota BMT Taruna

Sejahtera, yaitu:

a. Kenyamanan dan ketentraman hati, karena Operasional BMT

Taruna Sejahtera berdasarkan Syariah dengan sistem bagi hasil.

b. Kemudahan dalam pelayanan, karena penyetoan, penarikan dan

angsuran dapat dilayani ditempat (Rumah, Toko atau pasar).

c. Anggota bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan (pinjaman) untuk

memperkuat modal usaha.

d. Anggota dapat memperoleh informasi saldo pada setiap hari kerja

(58)

Berdasarkan data BMT Taruna Sejahtera per 31

Desember 2013 keanggotaan BMT Taruna Sejahtera mengalami

kenaikan sebagai berikut:

Tabel 3.2: Jumlah Keanggotaan BMT Taruna Sejahtera

Jumlah Anggota Tahun 2012 Tahun 2013

Anggota 791 3.288

Calon Anggota 1.060 -

Sumber: buku rapat anggota tahunan 2014 BMT Taruna Sejahtera

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa jumlah

anggota BMT Taruna Sejahtera mengalami kenaikan yang

sangat signifikan. Hal ini terlihat dari jumlah anggota di tahun

2012 sebanyak 791, kemudian di tahun 2013 menjadi 3.288

anggota kerena jumlah anggota bertambah 2.497 di tahun 2013.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa BMT Taruna Sejahtera

mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan

perubahan operasional dari pola lama ke pola baru yang dikelola

berdasarkan prinsip syariah. Selain itu, jumlah keanggotaan BMT

Taruna Sejahtera juga mengalami kenaikan yang sangat signifikan

karena BMT Taruna Sejahtera memberikan banyak keuntungan

kepada nasabah berupa kenyamanan dan kemudahan dalam

Gambar

Tabel 3.2: Jumlah Keanggotaan BMT Taruna Sejahtera

Referensi

Dokumen terkait

Tidak seperti pembangunan gedung swasta dimana nilai pendapatan per tahun dari gedung yang bersangkutan dapat dihitung, sedangkan pada gedung Negara nilai

Penelitian ini diawali dengan melakukan pemeriksaan mastitis pada kambing Peranakan Etawa dengan kriteria seperti terjadi pembengkakan pada ambing seperti yang

Berdasarkan pengertian Self Assessment dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan membangun Sendiri ini , menuntut

Hal lain yang dipandang penting sebagai karakteristik pemaafan dalam konteks budaya Jawa adalah adalah terjalinnya kembali komunikasi dan relasi yang terganggu

Studi yang dilakukan oleh Emmons (2007) telah membuktikan bahwa metode dalam pelatihan yang digagasnya dapat meningkatkan gratitude pada individu dengan usia yang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Kegiatan pembelajaran menyimak pada sisiwa kelas VI.B SD Negeri 020

Permasalahan anak jalanan masih harus mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan untuk menyelesaikan beberapa masalah seperti: banyak anak jalanan yang masih duduk di bangku

Pada strategi pemasaran 1, produsen memasarkan produksinya kepada konsumen akhir yang pada umumnya adalah masyarakat atau tetangga yang berdomisili dekat perusahaan