BAB VII
DAMPAK
LANDREFORM
DARI BAWAH
(
BY LEVERAGE
) DAN
ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM
PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL
7.1. Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Banjaranyar II
7.1.1. Dampak Sosial
Pemberian sertifikat ini memberikan dampak bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Banjaranyar. Dampak sosial yang dimaksud adalah perubahan pada kehidupan sosial masyarakat disini maksudnya adalah perubahan sikap masyarakat terhadap perjuangan akan lahan serta perubahan sikap mereka akan organisasi SPP itu sendiri. Berkembang pandangan di SPP Ciamis bahwa OTL Banjaranyar II mengalami penurunan partisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan SPP. Opini yang beredar bahwa setelah mendapatkan rakyat maka OTL Banjaranyar II tidak memiliki minat lagi dalam perjuangan-perjuangan SPP lainnya. Sebagai contoh, mereka tidak aktif mengirimkan anggotanya jika ada aksi-aksi yang diprakarsai SPP, begitupun dengan rapat-rapatnya.
Gambar 7.1. Sertifikat Hak Milik
Menurut koordinator OTL setempat, masyarakat anggota OTL Banjaranyar ini merasa perjuangan mereka dalam memperjuangankan hak atas tanah ini selesai setelah
mereka mendapat sertifikat. Di samping itu, masyarakat merasa tertekan dengan banyaknya pungutan yang dibebankan pada mereka. Mereka menganggap SPP tidak adil dalam memberlakukan sumbangan-sumbangan. Sebagai contoh, masyarakat mengeluhkan besarnya sumbangan untuk melakukan aksi yang biasanya dipukul rata. Menurut masyarakat, pungutan yang diminta oleh SPP itu seharusnya jangan ditetapkan berdasarkan jumlah anggota di OTL, tetapi harus berdasarkan luasan tanah yang dikuasai dalam satu OTL. Hal ini kemudian menimbulkan semacam kecemburuan. Menurut beberapa responden, beban mereka yang berupa sumbangan tersebut bisa dari beberapa sumber, antara lain pajak desa, organisasi desa, pajak sertifikat, dan iuran SPP jika sewaktu-waktu ada kegiatan. Hal ini sangat membebani masyarakat, selain luas tanah yang tidak seberapa serta pengeluaran yang juga terus meningkat. Apalagi jika tanaman mereka mulai diserang hama. Tanah yang tidak seberapa tersebut menjadi benar-benar tidak menghasilkan. Implikasinya, masyarakat menjadi ”jenuh” untuk terus bergabung dengan SPP.
Setelah pemberian sertifikat, terjadi konsentrasi pemilikan tanah. Artinya, terkumpulnya tanah dalam jumlah yang sangat luas di satu orang. Hal ini terjadi akibat adanya transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh masyarakat anggota OTL Banjaranyar II. Konsentrasi tanah ini biasanya terjadi di kalangan elit, baik elit SPP maupun elit desa. Namun, hal ini bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak karena ada juga masyarakat non-elit yang menguasai tanah dalam jumlah yang banyak. Setelah ditelusuri, konsentrasi tanah ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang orang tersebut sebelum bergabung dengan SPP. Jika orang itu sebelumnya memiliki tanah, maka peluang untuk mengakumulasi tanah semakin besar. Dan ini yang terjadi di OTL Banjaranyar II.
Kondisi ini turut mendorong rumah tangga petani lainnya, ketika mereka terdesak secara ekonomi, maka sertifikat pun menjadi jalan keluar, yakni dijual atau di gadai. Kondisi ini menyebabkan penumpukan kekayaan terjadi hanya di sebagian elit dan pemilik modal. Di sisi yang lain, tingkat partispasi anggota menjadi menurun karena kehilangan kepercayaan terhadap cita-cita perjuangan organisasi.
Sebenarnya sebelum sertifikasi dibagikan kepada masyarakat, transaksi jual beli lahan garapan sudah terjadi di desa Banjaranyar, saat sertifikasi sudah dibagikan hal ini memperlancar proses transaksi tersebut, jika dahulu polanya tanah plus tanamannya, saat ini disertai dengan sertifikat sah, hal ini tentunya menambah nilai jual pada tanah tersebut (lihat lampiran 8 dan 9). Hal ini dapat dimaklum i terjadi saat, masyarakat mendapatkan tanah pada kondisi perekonomian mereka yang masih terpuruk, belum ada penataan produksi, akses jalan yang belum mendukung sehingga ketika tanah didapat, kondisi nya petani tidak serta merta berangsur jauh lebih baik dalam seketika, bahkan ketika sertifikat didapatkan, tidak banyak yang bisa dilakukan pada penataan produksi, karena proses acces reform yang seharusnya berfungsi sebagai penguatan pasca pengakuan tanah tidak berjalan. Di sisi lain, melambungnya harga barang-barang konsumsi yang harus dibeli tidak terimbangi dengan hasil produksi yang dihasilkan, sehingga setiap panen, petani selalu mengalami minus (persoalan tata produksi yang tak selesai), hal ini yang menyebabkan masyarakat tidak menikmati kesejahteraan yang seharusnya didapatkan dari legalisasi tanah.
Perubahan yang begitu dirasakan masyarakat adalah adanya rasa tenang dalam menggarap tanah serta masyarakat merasa sepenuhnya sebagai warga Negara. Rasa tenang dirasakan warga karena sebelum adanya sertifikat ini, masyarakat merasa ada pihak-pihak yang “mengganggu” mereka dalam menggarap tanah guna memenuhi kebutuhan hidupnya serta tanaman yang akan ditanam terbatas pada tanaman-tanaman
yang sudah ditentukan oleh perkebunan. Sekarang, tidak ada pihak yang mengganggu mereka dalam menggarap tanah karena tanah tersebut sudah sah secara hukum menjadi milik mereka. Begitu juga dengan tanaman yang akan ditanam, mereka bebas menanam apa yang mereka inginkan yang tentu saja disesuaikan dengan keadaan tanahnya.
Selain itu, masyarakat benar-benar merasa sebagai warga Negara karena ikut membangun Negara melalui pembayaran pajak. Sebelumnya masyarakat hanya menggarap tanah tanpa ada kontribusi apapun terhadap Negara. Sekarang, dengan sudah membayar pajak, mereka merasa memberikan kontribusi atas tanah yang mereka garap. Berikut pengakuan salah seorang responden:
“…anu nyata pisan mah, tina ayana satupikat urang ngarasa tenang dina ngagarap lahan. Moal aya deui nu ngaganggu, urang bebas melak naon wae. Terus, urang ngarasa dianggep sebagai warga Negara sabab mayar pajak, jadi ikut membangun nagara lah..”
(…yang paling nyata, dengan adanya sertifikat kita merasa tenang dalam menggarap lahan. Tidak aka nada lagi yang mengganggu, kita bebas menanam apa saja. Terus, kami merasa dianggap sebagai warga Negara sebab bayar pajak, ikut membangun Negara lah…)
7.1.2. Dampak Terhadap Perubahan Struktur Pemilikan dan Penguasaan Tanah
Perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah di OTL Banjaranyar dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase pertama (Pra SPP), fase kedua (Pasca Reklaiming) dan fase ketiga (Pasca Sertifikasi). Luasan tanah di masing-masing fase dibagi atas tiga kategori, yaitu kategori sempit (tanah < 0,5 hektar), kategori sedang (tanah antara 0,5-1,5 hektar), dan kategori luas (tanah > 0,5-1,5 hektar).
Fase pertama adalah fase ketika sebagian besar masyarakat belum tergabung dalam SPP. Ketika itu banyak dari mereka yang tidak memiliki tanah atau memiliki
tanah yang berada di luar tanah HGU. Pemilikan tanah pada fase ini, dapat dijelaskan melalui tabel berikut ini:
Tabel 7.1. Luas Pemilikan Tanah Sebelum Bergabung dengan SPP (Pra SPP) di OTL Banjaranyar II
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Sempit 20 66.7 66.7 66.7 Sedang 8 26.7 26.7 93.3 Luas 2 6.7 6.7 100.0 Total 30 100.0 100.0
Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebaran pemilikan tanah pra SPP ini didominasi pada kategori tanah yang sempit yaitu sebanyak 20 orang responden (66,7 persen). Sedangkan untuk pemilikan tanah kategori sedang sebanyak delapan orang responden (26,7 persen) dan untuk kategori luas hanya sebanyak dua orang responden (6,7 persen).
Fase kedua adalah pasca bergabungnya masyarakat dengan SPP. Pada fase ini masyarakat melakukan reklaiming terhadap tanah perkebunan yang ketika itu sudah habis masa berlaku HGU-nya. Disini, tanah yang dimiliki masyarakat belum diatur. Artinya luasan tanah yang dimiliki tergantung dari kemampuan yang dimiliki orang tersebut dalam menggarap tanah di tambah luas tanah yang mereka miliki di luar tanah HGU. Karena jumlah tanah yang tersedia tidak begitu luas, maka luasan tanah pada fase ini juga terbatas, biasanya tidak lebih dari 250 bata. Luas kepemilikan tanah pada fase ini dapat dilihat dari tabel 7.2. berikut ini:
Tabel 7.2. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Banjaranyar II
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Sempit 21 70.0 70.0 70.0 Sedang 4 13.3 13.3 83.3 Luas 5 16.7 16.7 100.0 Total 30 100.0 100.0
Berdasarkan data di atas, terjadi peningkatan jumlah responden pada kategori tanah sempit dan luas. Jumlah responden yang mempunyai luas tanah dengan kategori sempit meningkat dari sebelumnya 20 orang responden (66,7 persen) menjadi 21 orang responden (70 persen). Jumlah responden yang memiliki tanah dengan kategori luas juga meningkat dari sebelumnya dua orang responden (6,7 persen) menjadi lima orang responden (16,7 persen). Sedangkan jumlah responden yang memiliki tanah dengan kategori sedang justru menurun hingga setengahnya dari sebelumnya delapan orang responden (26,7 persen) menjadi empat orang responden (13,3 persen). Hal ini terjadi akibat pada fase ini luas tanah yang dimiliki petani tergantung dari luas tanah yang digarapnya. Dalam kasus ini, terjadi pergeseran luas pemilikan tanah dari yang berkategori sedang menjadi luas karena tanah yang sebelumnya dimiliki (di luar tanah HGU) diakumulasi dengan tanah yang mereka dapatkan dari hasil reklaiming. Sedangkan bertambahnya jumlah responden yang memiliki kategori sempit disebabkan oleh alasan jual beli. Artinya, tanah yang ia miliki di luar tanah reklaiming ia jual dan akhirnya ia hanya memiliki tanah hasil reklaiming saja.
Fase ketiga adalah fase di mana sertifikat hak milik sudah diberikan melalui PPAN. Pada fase ini adalah luas pemilikan tanah diatur oleh kelembagaan di dalam OTL itu sendiri yang kemudian dilegalkan oleh BPN. Luas tanah pada fase ini adalah akumulasi dari luas tanah pada fase Pra SPP, Pasca Reklaiming dan proses jual beli
yang terjadi di kalangan masyarakat petani. Hal ini menyebabkan terjadinya konsentrasi kepemilikan tanah di antara masyarakat sendiri. Ada yang memiliki tanah sangat luas dan bahkan yang tidak memiliki tanah sama sekali (kembali menjadi
landless). Lebih lanjut sebaran pemilikan tanah pada fase ini dapat dijelaskan melalui tabel 7.3. berikut ini:
Tabel 7.3. Luas Pemilikan Tanah Pasca Sertifikasi di OTL Banjaranyar II Frequency Percent Valid
Percent Cumulative Percent Valid Sempit 16 53.3 53.3 53.3 Sedang 8 26.7 26.7 80.0 Luas 6 20.0 20.0 100.0 Total 30 100.0 100.0
Dari data di atas, jumlah responden yang memiliki tanah dengan kategori sempit jauh berkurang dari sebelumnya menjadi 16 orang responden (53,3 persen). Sedangkan jumlah responden dengan kategori tanah sedang dan luas meningkat dengan angka berturut-turut delapan orang responden (16,7 persen) dan enam orang responden (20 persen). Dapat dilihat bahwa dengan adanya sertifikat hak milik ini, memberi perubahan terhadap struktur pemilikan dan penguasaan tanah meskipun tidak terlalu besar. Hal ini terjadi karena pada saat penelitian dilakukan telah terjadi proses jual beli sehingga jumlah responden yang memiliki tanah pasca sertifikasi ini kembali berkurang setelah mereka menjual kembali tanahnya. Sedangkan untuk responden yang bertambah, ia membeli tanah bersertifikat pada sesama anggota OTL. Lama kelamaan hal ini akan mengakibatkan konsentrasi tanah pada seseorang/kelompok menjadi sangat tinggi. Mekanisme jual beli tanah yang dilakukan di OTL Banjaranyar II ada jual beli “di bawah tangan”, artinya jual beli tersebut tidak di sahkan secara hukum. Untuk bisa melakukan jual beli, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan melapor pada koordinator OTL, walaupun tidak semua melakukannya, hal ini dilakukan agar tidak
terjadi perselisihan di kemudian hari. Setelah itu koordinator membuatkan surat perjanjian jual beli tanah, dapat juga dilakukan hanya oleh pihak penjual dan pembeli tanpa melalui koordinator OTL.
Gambar 7.2. Surat Perjanjian Jual Beli Tanah
7.1.3. Dampak Terhadap Kesejahteraan
Pemberian sertifikat di OTL Banjaranyar II ini memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat. Memang, terdapat dua pendapat berkaitan dengan dampak yang timbul setelah adanya pemberian sertifikat dari BPN ini. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pemberian sertifikat ini memberikan pengaruh nyata terhadap kesejahteraan masyarakat desa. Peningkatan kesejahteraan masyarakat disini dapat dilihat dengan adanya perbaikan kondisi ekonomi masyarakat desa setelah mendapatkan sertifikat. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari bangunan rumah yang mulai permanen dan masyarakat yang sudah mempunyai kendaraan bermotor. Masyarakat yang menyatakan bahwa pemberian sertifikat ini mempunyai dampak terhadap peningkatan kesejahteraan justru merupakan masyarakat yang mampu mengakumulasi lahannya dengan cara membeli lahan dari masyarakat lain yang justru kesulitan dalam mengusahakan lahan yang telah disertifikasi itu. Pak N misalnya, ia menjual satu bidang lahannya (15 bata) untuk membangun rumah karena sebelumnya
rumah yang ia tempati tidak memiliki dinding dan hampir roboh. Namun kini keadaan rumahnya tidak seperti itu lagi.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa pemberian sertifikat ini sebenarnya tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di sini, meskipun sebagian besar tanah garapan masyarakat sudah bersertifikat, namun tetap saja dengan kondisi tanah yang ada, masyarakat hanya bisa mengusahakan tanahnya dengan sedikit intensif pada musim penghujan. Dengan keterbatasan ini, ada kecenderungan masyarakat hidup seadanya mengandalkan hasil dari alam yang ada terutama tanah. Dari sejumlah 365 bidang tanah yang sudah bersertifikat, sekitar 30 bidang tanah sama sekali tidak bisa diusahakan karena tanahnya berbatu-batu sehingga hanya tumbuhan alam yang bisa tumbuh diatasnya. Artinya, tanah tersebut tidak bisa dibudidayakan. Bahkan menurut keterangan salah satu warga, tanah yang disertifikasi ini bukanlah tanah yang benar-benar diinginkan warga yang memperjuangkan tanah.
Akhirnya, meskipun tanah tersebut sudah bersertifikat, tetap saja kehidupan petani masih belum bisa tercukupi dengan layak. Adapun di lokasi lainnya, masyarakat bisa berusaha tani khususnya usaha tani pertanian tanah kering pada musim kemarau, dan berusaha tani tanaman semusim pada saat musim penghujan. Dengan berusaha tani seperti itulah satu-satunya penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya tentu saja juga adanya faktor produksi yaitu tanah. Selain berusaha tani tersebut, sebagian penduduk juga menanam pohon albasia yang mempunyai nilai ekonomis yang agak tinggi termasuk mudah dalam pemasarannya karena hasilnya bisa dijual di tempat.
Saat ini, kondisi di OTL Banjaranyar II tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tanaman-tanaman jangka panjang yang tadinya memiliki peran penting bagi
masyarakat Desa Banjaranyar karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi mulai mengalami kerusakan akibat mulai menjamurnya hama “Ulat Gantung” yang menghambat pertumbuhan tanaman albasia mereka. Dengan demikian, masyarakat yang awalnya berharap pada hasil penjualan albasia maka mereka harus mulai berfikir untuk mencari sumber pendapatan lainnya. Tanaman yang terkena hama ini sebagian besar di diamkan begitu saja oleh para petani. Seperti diungkapkan salah satu warga berikut ini:
“Nya diantepkeun we, da rek dikumahakeun deui (Ya dibiarkan saja, mau diapakan lagi)”.
Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya jual-beli lahan oleh masyarakat penerima sertifikat. Jual-beli ini dilakukan terhadap sesama masyarakat SPP ataupun terhadap masyarakat lain yang bukan merupakan anggota SPP. Jual-beli lahan ini sebenarnya tidak diizinkan dan tidak dibenarkan oleh organisasi (SPP). Namun SPP tidak bisa juga menghalangi masyarakat pemilik sertifikat menjual lahannya.
Alasan masyarakat menjual lahan yang bersertifikat kepada orang lain. Faktor ekonomi merupakan alasan yang paling sering mengemuka. Menurut masyarakat, sulit mengusahakan lahan ketika terjadi serangan hama yang melanda akhir-akhir ini. Mereka juga tidak mendapatkan pelatihan-pelatihan atau penyuluhan dari pihak terkait untuk membantu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Namun, bukan faktor ekonomi semata yang menyebabkan masyarakat menjual lahannya. Ada juga masyarakat yang menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan sekundernya, misalnya mereka yang menjual lahan untuk membelikan anaknya sepeda motor. Lahan yang tidak subur dan masyarakat yang berpindah tempat juga menjadi salah satu alasan mereka mau menjual lahan yang sudah susah payah mereka usahakan. Berikut hasil wawancara dengan Kepala Desa Banjaranyar yang juga menjadi tokoh di OTL Banjaranyar II:
“……ada beberapa alasan masyarakat menjual lahannya. Ada faktor ekonomi, lahan nu teu subur, pindah tempat. Tapi nu paling teu resep mah jalma nu ngajual lahan demi untuk memenuhi kemewahan pribadi…”
(...ada beberapa alasan masyarakat menjual lahannya. Ada faktor ekonomi, lahan yang tidak subur, pindah tempat. Tapi yang paling tida (saya) sukai itu orang yang menjual lahan demi untuk memenuhi kemewahan pribadi...”
Berdasarkan indikator-indikator yang sudah disusun sebelumnya, dapat dilihat bagaimana tingkat kesejahteraan di OTL Banjaranyar II ini. Kesejahteraan masyarakat di OTL Banjaranyar II dapat dijelaskan melalui tabel 7.4. berikut ini:
Tabel 7.4. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Banjaranyar II
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Rendah 17 56.7 56.7 56.7 Sedang 10 33.3 33.3 90.0 Sejahtera 3 10.0 10.0 100.0 Total 30 100.0 100.0
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan indikator yang ditentukan oleh masyarakat sendiri, ternyata sebanyak 56,7 persen responden justru berada dalam tingkat kesejahteraan yang rendah, 33,3 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan sedang dan hanya 10 persen responden saja yang berada pada tingkat kesejahteraan yang tinggi (tergolong sejahtera). Hal ini dapat dipahami, karena dengan indikator yang mereka buat, tidak memungkinkan seluruhnya terpenuhi. Misalnya, ketika ada responden dengan tanah yang luas, belum tentu ia tergolong sejahtera. Hal ini terjadi karena indikator lainnya tidak dipenuhi secara maksimal karena ia merasa itu bukanlah sesuatu yang penting untuk ia penuhi.
7.2. Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Rencana Penerapan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Pasawahan II 7.2.1. Dampak Sosial
Rencana penerapan Program Pembaruan Agraria Nasional ini memberikan dampak sosial terhadap masyarakat OTL Pasawahan II. Dampak itu adalah masyarakat merasa sangat senang karena apa yang mereka tunggu selama ini akan terwujud, dalam hal ini perjuangan mereka terhadap tanah akan segera dilegalkan. Disamping suka cita tersebut, ternyata muncul dampak lainnya. Seperti sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, rencana pemberian sertifikat ini menimbulkan ketegangan antara masyarakat OTL dengan para pendamping SPP. Ketegangan ini dilatarbelakangi oleh bentuk sertifikat yang akan mereka terima. Pendamping menginginkan sertifikat yang diberikan berupa sertifikat kolektif. Mereka khawatir kejadian di OTL Banjaranyar II terulang kembali di sini. Namun sebagian masyarakat tetap ingin sertifikat tersebut diberikan pada masing-masing individu. Mereka beralasan, apa yang dikhawatirkan pendamping sangat tidak beralasan karena bubar atau tidaknya SPP di suatu tempat tergantung manajemen dan kemauan masyarakat itu sendiri. Ketegangan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi karena diantara keduanya hanya terjadi salah paham. Dengan komunikasi yang baik dan pemberian pemahaman yang lebih mendalam, ketegangan tersebut kana segera terselesaikan.
7.2.2. Dampak Terhadap Perubahan Struktur Kepemilikan dan Penguasaan Tanah
Berbeda dengan kasus di OTL Banjaranyar II, perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah di OTL Pasawahan II hanya dibagi menjadi dua fase. Fase pertama (Pra SPP) dan fase kedua (pasca reklaiming). Fase pertama adalah fase di mana masyarakat belum tergabung dengan SPP. Tanah yang mereka miliki berupa tanah
warisan maupun tanah yang mereka beli dan berada di luar tanah reklaiming. Frekuensi pemilikan tanah yang dibedakan dalam tiga kategori (sempit, sedang, luas) dapat dijelaskan melalui tabel 7.5. berikut ini:
Tabel 7.5. Luas Pemilikan Tanah Pra SPP di OTL Pasawahan II Frequency Percent Valid
Percent Cumulative Percent Valid Sempit 25 83.3 83.3 83.3 Sedang 5 16.7 16.7 100.0 Total 30 100.0 100.0
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebelum bergabung dengan SPP sebanyak 25 dari 30 orang responden (83,3 persen) memiliki tanah dengan kategori sempit. Sisanya sebanyak lima orang responden (16,7 persen). Disini sama sekali tidak terdapat responden yang memiliki tanah dengan kategori luas.
Fase kedua adalah fase di mana masyarakat sudah tergabung dengan SPP (OTL Pasawahan II). Pada fase ini masyarakat SPP secara bersama-sama melakukan reklaiming terhadap tanah perkebunan yang pada dasarnya sudah habis masa berlakunya. Setelah melakukan reklaiming ini, terjadi peningkatan yang signifikan dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari tabel 7.6. berikut ini:
Tabel 7.6. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Pasawahan II Frequency Percent Valid
Percent Cumulative Percent
Valid
Sempit 8 26.7 26.7 26.7
Sedang 15 50.0 50.0 76.7
Luas 7 23.3 23.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
Berdasarkan data yang disajikan Tabel 7.6. di atas. Perubahan signifikan dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah terjadi pada kategori tanah yang luas dari sebelumnya tidak ada satu orang respondenpun menjadi tujuh orang responden (23,3 persen). Peningkatan juga terjadi pada golongan responden dengan kategori tanah sedang menjadi 15 orang responden (50 persen). Sedangkan jumlah responden yang memiliki tanah berkategori sempit turun menjadi delapan orang responden (25,7 persen). Dari sini terlihat bahwa upaya reklaiming yang dilakukan masyarakat terbukti tepat sasaran.
7.2.3. Dampak Kesejahteraan
Membandingkan kesejahteraan masyarakat antara OTL Pasawahan II dengan OTL Banjaranyar II sebenarnya kurang begitu relevan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, dari luasan tanah yang dimiliki dan dikuasainya berbeda jauh. Di OTL Banjaranyar II, luas tanah yang dimiliki rata-rata hanya berkisar 70-350 bata. Artinya, kebanyakan masyarakat OTL Banjaranyar II hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar. Sedangkan di OTL Pasawahan II per-kepala mendapatkan tanah sebanyak 75 atau 175 bata – tergantung keinginan menggarap tanah bagian “dalam” bagian atau “luar". Jika dalam satu keluarga ada 3-4 orang dan semuanya memilih tanah bagian dalam, maka dalam satu keluarga itu akan menguasai tanah sebanyak 600 bata. Kedua,
kondisi tanah yang ada di kedua tersebut. Kondisi tanah di OTL Pasawahan II relatif lebih subur sehingga apa yang akan ditanam masayarakat kemungkinan besar bisa
tumbuh seperti yang diharapkan. Terbukti dengan berhasilnya mereka menikmati hasil panen tanaman jangka panjangnya. Sedangkan di OTL Banjaranyar II, selain tanahnya yang sempit, kondisi tanahnya tidak subur dan banyak berupa cadas. Ketiga, selain pengeluaran bahan pokok (yang dianggap relatif sama), di OTL Pasawahan II pengeluaran untuk pertanian akan lebih sedikit karena mereka tidak menggunakan pupuk untuk tanah darat mereka, sesuai dengan pengakuan salah satu responden:
“….da tara di gemuk, keun we kitu..” (..tidak pernah (diberi) pupuk, diarkan begitu saja)
Berbeda dengan yang terjadi di OTL Banjaranyar II yang harus mengeluarkan biaya pupuk untuk bisa menggarap di tanah darat mereka.
Berdasarkan indikator-indikator yang sudah disusun sebelumnya, dapat dilihat bagaimana tingkat kesejahteraan di OTL Pasawahan II ini. Kesejahteraan masyarakat di OTL Banjaranyar II dapat dijelaskan melalui Tabel 7.7. berikut ini:
Tabel 7.7. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Pasawahan II
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Rendah 5 16.7 16.7 16.7 Sedang 19 63.3 63.3 80.0 Sejahtera 6 20.0 20.0 100.0 Total 30 100.0 100.0
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan indikator yang ditentukan oleh masyarakat sendiri, ternyata sebanyak 16,7 persen responden berada dalam tingkat kesejahteraan yang rendah, 63,3 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan sedang dan hanya 20 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan yang tinggi (tergolong sejahtera). Hal ini dapat dipahami, karena dengan indikator yang mereka buat, tidak memungkinkan seluruhnya terpenuhi. Misalnya, ketika ada responden dengan tanah yang luas, belum tentu ia tergolong sejahtera. Hal ini terjadi karena
indikator lainnya tidak dipenuhi secara maksimal karena ia merasa itu bukanlah sesuatu yang penting untuk ia penuhi. Secara umum, jika hendak dibandingkan, kesejahteraan masyarakat di OTL Pasawahan II lebih tinggi daripada masyarakat di OTL Banjaranyar II.
7.3. Arah Transfer Manfaat
Aksi reklaiming yang dilakukan kedua OTL, OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II, ditujukan agar masyarakat anggotanya memperoleh akses terhadap tanah. Dengan adanya tanah garapan, diharapkan terjadi perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat anggota masing-masing OTL tersebut. Muara dari ini semua dapat dilihat dari bagaimana sebenarnya rute transformasi dapat ditimbulkan dari pembaruan kebijakan.
Mengacu pada Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010), arah transformasi yang ditimbulkan oleh kebijakan landreform dapat dibedakan menjadi empat kemungkinan, yaitu (1) redistribusi, (2) distribusi, (3) non-(re)distribusi, dan (4) (re)konsentrasi. Empat arah ini bisa diadaptasi untuk menyediakan kerangka bagi kebijakan pertanahan, khususnya untuk memastikan sejauh mana transfer kesejahteraan dan kekuasaan politik berbasis tanah benar-benar dapat mewujudkan dampak redistribusi atau distribusi dan bukannya non-(re)distribusi, atau (re)konsentrasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat kerangka umum pelaksanaan kebijakan yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II. Mengacu pada arah transfer yang dikemukakan Borras dan Franco (2008) di atas, arah transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah di kedua OTL termasuk arah redistribusi. Di sini, terjadi transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah dari kelas tuan tanah atau negara atau komunitas kepada petani miskin gurem atau tuna kisma. Dalam konteks OTL
Banjaranyar II, transfer ini terjadi dari PT. Mulya Asli pada petani anggota OTL tersebut. Sedangkan untuk OTL Pasawahan II, anggota OTL ini menerima transfer dari negara karena perusahaan pemegang HGU sudah tidak beroperasi lagi.
Ditinjau dari segi dinamika perubahan dan pembaruan dari arah transformasi redistribusi, pembaruan di kedua OTL terjadi di tanah private dan tanah negara. Dalam kasus Banjaranyar, transfer kepemilikannya sebagian yaitu hanya tanah HGU yang dilepas oleh pihak perkebunan dan diterima oleh masyarakat secara individu. Hal ini terlihat dari sertifikat hak milik yang berasal dari PPAN. Untuk kasus Pasawahan, transfer kepemilikannya penuh walaupun belum secara resmi di legalkan dengan sertifikat hak milik. Dikatakan penuh, karena tanah yang direklaim dan dimohon oleh anggota OTL Pasawahan II adalah seluruh tanah eks HGU PT. Cipicung yang beroperasi di Desa Pasawahan. Rencana terkait pembagian tanah ini masih dalam perdebatan apakah akan diberikan secara kolektif atau individu.
Mengingat sulitnya melarang masyarakat melakukan jual beli tanah, maka paya perbaikan kelembagaan yang mungkin dilakukan antara lain. Pertama, dalam jual beli tanah harus dibuat suatu kelembagaan kolektif (seperti koperasi) sehingga ketika masyarakat membutuhkan modal untuk usaha pertanian, mereka dapat menjual atau menggadaikan tanahnya pada badan kolektif tersebut, bukan pada individu. Kedua,
perlunya di buat mekanisme pembatasan tanah sehingga tanah hasil reklaiming tidak dikuasai oleh satu orang saja. Jadi, sebisa mungkin sistem jual beli tanah tidak terjadi dan digantikan sistem gadai.
Selain mekanisme kelambagaan yang perlu diperbaiki, untuk mencegah rekonsentrasi tanah ini, perlu juga perubahan paradigma SPP itu sendiri. Jika dilihat dari sudut pandang orang luar SPP, akan terlihat bahwa target atau tujuan SPP ini hanya
sebatas memperoleh tanah, meskipun sebenarnya tidak demikian. Oleh karena itu, setelah dilakukannya reklaiming, SPP maupun masyarakat harus langsung merancang targetan mereka selanjutnya. Misalnya, ”menguasai” pemerintahan daerah hingga sampai tingkat kecamatan. Tujuannya agar keberpihakan pemerintahan lokal terhadap perjuangan masyarakat tetap terjaga. Kemudian, perlu juga diadakan pelatihan-pelatihan yang terkait dengan perbaikan sistem pertanian di kedua tempat tersebut. Yang terakhir adalah mengembangkan model penjualan hasil pertanian yang dapat meningkatkan nilai jual produk pertanian tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, secara umum perbandingan antara OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II dilihat dari inisiatif lokal untuk akses tanah, respon kebijakan dan arah dampak yang ditimbulkannya dapat dilihat dari tabel 7.8 berikut ini: Tabel 7.8. Perbandingan Inisiatif Lokal untuk Akses Tanah, Respon Kebijakan, dan Arah
Dampak yang Ditimbulkannya
Lokasi
OTL Banjaranyar II OTL Pasawahan II
Tipe Inisiatif Lokal Integrasi di lokasi
reklaiming
Aneksasi di wilayah eks HGU PT. Cipicung
Respon Kebijakan PPAN Belum ada (Rencana
PPAN)
Arah Dampak Redistribusi Redistribusi
Arah transfer manfaat kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah yang terjadi di kedua OTL tersebut tidak mutlak, artinya masih bisa berubah menjadi distribusi, non-(re) distribusi maupun non-(re) konsentrasi. Jika terjadi non-(re) konsentrasi, maka apa yang
sudah dilakukan selama ini oleh masyarakat maupun pemerintah akan sia-sia saja. Untuk itu, perlu dilakukan beberapa usaha agar tidak terjadi rekonsentrasi kepemilikan dan penguasaan tanah di kedua OTL tersebut, usaha tersebut antara lain ada upaya dalam membentuk kelembagaan masyarakat yang kuat serta perubahan paradigma perjuangan yang dilakukan SPP.
Perubahan arah transfer manfaat di kedua OTL tersebut dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain jika: jual beli tanah terus berlanjut, petani kehilangan tanahnya lagi dan menjadi ”landless” lagi, tanah dikuasai oleh pemodal, tidak ada upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di kedua tempat tersebut – khususnya OTL Banjaranyar II – dapat dijelaskan dalam gmabar berikut ini:
Gambar 7.3. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di OTL Banjaranyar II
Perubahan arah transfer manfaat di OTL Banjaranyar II akan berbeda dengan yang terjadi di OTL Pasawahan II. Hal ini terjadi karena kondisi yang terjadi di OTL Pasahawan II berbeda dengan kondisi yang terjadi di OTL Banjaranyar II. Ilustrasi
Arah transfer saat ini:
redistribusi Rekonsentrasi Akan menjadi
Jika
a. Jual beli tanah terus berlanjut
b. Petani kehilangan tanah dan menjadi “landless” lagi c. Tanah dikuasai oleh pemodal
d. Tidak ada upaya untuk mensejahterakan masyarakat
Untuk mencegahnya
a. SPP harus kembali “mendekati” OTL Banjaranyar II melalui program-program pemberdayaan
b. BPN segera merealisasikan access reform di OTL Banjaranyar II
c. Kolaborasi para pihak/instansi terkait dalam upaya mensejahterakan masyarakat OTL Banjaranyar II
perubahan arah transfer manfaat di OTL Pasawahan II dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 7.4. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di OTL Pasawahan II Arah transfer saat ini:
redistribusi Rekonsentrasi Akan menjadi
Jika
Untuk mencegahnya
a. Ada jual beli tanah baik sesama ataupun di luar OTL b. SPP melepas control terhadap OTL Pasawahan II c. Jika disertifikasi, BPN tidak segera melakukan access
reform di OTL tersebut
a. Peran aktif SPP dalam mencegah jual beli tanah b. Tetap menjaga control terhadap OTL tanpa adanya
pengekangan
c. Lakukan access reform segera setelah asset reform
dilakukan
d. Koordinasi dengan para pihak terkait dengan upaya-upaya pemberdayaan di TL Pasawahan II