DAMPAK LANDREFORM
DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN
PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA
(Studi Kasus: Organisasi Tani Lokal
Organisasi Tani Lokal Pasawahan II Desa Pasawahan Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
HENDRA HADIYATNA DJATNIKA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE)
DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN
PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL
(Studi Kasus: Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Desa Banjaranyar danPasawahan II Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
Oleh:
HENDRA HADIYATNA DJATNIKA I34061903
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
)
DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN
Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti
Disanalah aku berdiri, ‘njaga ibu sejati
Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji, Indonesia abadi
S’lamatlah rakyatnya, s’lamatlah putranya
Pulaunya, lautnya semuanya
Majulah negrinya, majulah pandunya
Untuk Indonesia Raya
HENDRA HADIYATNA DJ. The Impact Of Landreform By Leverage and
Trajectories Of Change and Reform In National Agrarian Reform (Case OTL Banjaranyar II Desa Banjaranyar and OTL Pasawahan II Desa Pasawahan, Subdistric Banjarsari, Ciamis Regency, Jawa Barat). Supervised by Endriatmo Soetarto.
To create an equity land structure, it’s necessary to change the agrarian structure to increase community wealth. It called landreform. The purpose of this research was to identification land conflict, processes in implementation landreform by leverage, implementation of National Agrarian Reform Program (PPAN), and trajectories of change and reform in land policies in OTL Banjaranyar II and OTL Pasawahan II. The number of respondents in this research were 30 people for each OTL with stratified random sampling.
In general, the implementation of land occupation at these place called landreform by leverage integration (at OTL Banjaranyar II) and annexation (at OTL Pasawahan II) type. National Agrarian Reform Program was implemented at Banjaranyar, whereas at Pasawahan it still on process. Impelentation of landreform by leverage and the National Agrarian Reform Program gave social impact, the change of agrarian structure and wealth for people at these place. The trajectories of change and reform in land policies is redistribution.
Keywords: Landreform by leverage, agrarian reform, trajectories of land policies PPAN
HENDRA HADIYATNA DJ. DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY
LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN
PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL. Studi Kasus: Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Desa Pasawahan dan Organisasi Tani Lokal Pasawahan II Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO)
Tanah sebagai salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. Penguasaan tanah tidak hanya menyangkut hubungan manusia dengan tanah tapi juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia terutama menyangkut hubungan antara pemilik tanah dan penggarap (buruh tani). Oleh karena itu perlu adanya suatu upaya untuk merubah kembali struktur penguasaan tanah guna mencapai keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat yaitu berupa pengaturan atau perombakan penguasaan tanah, yang dikenal dengan landrefom. Reforma Agraria harus meninggalkan filsafat paternalisme. Untuk mewujudkan peran sebagai pendongkrak (by leverage), organisasi tani/rakyat haruslah kuat, bukan saja secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengidentifikasi sejarah penguasaan tanah dan konflik pertanahan yang terjadi, perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage), pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat/tidak dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) dan apa saja faktor penyebabnya serta Mengidentifikasi dampak pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan arah transfer manfaat dalam kebijakan PPAN di antara para petani anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II.
Populasi dari penelitian ini adalah masyarakat anggota Organisasi Tani Lokal (OTL) di Pasawahan II dan Banjaranyar II. Jumlah responden yang diambil adalah 30 orang dari masing-masing OTL. Responden sejumlah 30 orang ini diambil dengan
adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil kuesioner, data sekunder diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan hasil penelitian sebelumnya. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Microsoft
Excel 2007 tipe 12.0.4518.1014, tabel frekuensi, tabulasi silang, dengan menggunakan SPSS 17.
Aksi reklaiming yang dilakukan masyarakat di kedua OTL tersebut sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan dengan berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya. Sepanjang perjalanan sering terjadi konflik dan perlawanan yang dilakukan petani dengan aktor-aktor berkepentingan yang terlibat dalam proses reklaiming ini. Pelaksanaan reklaiming di kedua tempat ini dikenal dengan landreform dari bawah (by
leverage) dengan tipe integrasi (OTL Banjaranyar II) dan tipe aneksasi (OTL
Pasawahan II). Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) baru terlaksana di OTL Banjaranyar II sedangkan di OTL Pasawahan II masih dalam proses. Faktor-faktor yang menyebabkan PPAN dilaksanakan di OTL Banjaranyar terlebih dahulu antara lain: tanah tersebut sudah digarap, kemudian tanah tersebut dimohon oleh penggarap, serta perusahaan karet (PT. Mulya Asli) bersedia melepaskan sebagian HGU-nya. Pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN memberikan dampak sosial, perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta dampak kesejahteraan bagi masyarakat di kedua OTL tersebut. Arah transfer manfaat perubahan dan pembaruan dalam kebijakan pertanahan di OTL ini adalah arah dampak redistribusi
DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE), DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN
AGRARIA NASIONAL
(Studi Kasus Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Desa Banjaranyar dan Organisasi Tani Lokal Pasawahan II Desa Pasawahan Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis,
Jawa Barat)
Oleh:
HENDRA HADIYATNA DJ I34061903
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN
AGRARIA NASIONAL (STUDI KASUS ORGANISASI TANI LOKAL
BANJARANYAR II DESA BANJARANYAR DAN ORGANISASI TANI LOKAL
PASAWAHAN II DESA PASAWAHAN KECAMATAN BANJARSARI,
KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juli 2010
HENDRA HADIYATNA DJ I34061903
Penulis dilahirkan di Subang, pada tanggal 17 Februari 1988. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Nandang dan Ibu Nining. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2000 di SDN Langensari. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP Negeri 1 Subang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 1 Subang. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada tahun 2006 melalui jalur PMDK di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, disamping kegiatan asistensi. Penulis menjadi Asisten M.K. Sosiologi Umum selama dua semester pada tahun 2009. Penulis menjadi anggota di Divisi Pengambangan Masyarakat HIMASIERA KPM IPB periode 2008-2009. Penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan Indonesian Ecology Expo 2008 (INDEX 2008) dan kepanitian-kepanitian lainnya.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Arah Transfer Manfaat dalam Kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (Studi Kasus: Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II Desa Banjaranyar dan Organisasi Tani Lokal Pasawahan II Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
Penulisan skripsi ini merupakan syarat kelulusan mata kuliah KPM 499. Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengidentifikasi sejarah penguasaan tanah dan konflik pertanahan yang terjadi, perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage), pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat/tidak dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) dan apa saja faktor penyebabnya serta Mengidentifikasi dampak pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan arah transfer manfaat dalam kebijakan PPAN di antara para petani anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing, serta pihak-pihak yang membantu penulis, baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan penulisan usulan penelitian. Khusus kepada Sajogjo Institut (SAINS), penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala pengetahuan dan pengalamannya selama ini. Dalam pembuatan skripsi ini, penulis juga menggunakan hasil penelitian SAINS sehingga pada beberapa bagian akan terlihat mirip. Penulis berusaha memberikan sumber rujukan pada setiap bagian yang penulis
dengan tidak memasukkan rujukan di beberapa bagian dari skripsi ini. Oleh karena itu penulis meminta maaf dan sekaligus menegaskan bahwa hal tersebut bukanlah suatu kesengajaan. Demikian skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai dosen pembimbing studi pustaka dan skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta kesabarannya selama ini. 2. M. Shohibuddin, S.Ag. M,Si atas bimbingan dan bantuannya selama penulis
mengerjakan studi pustaka hingga selesainya skripsi ini.
3. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional atas ketersediaannya memberikan beasiswa penulisan skripsi kepada penulis sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
4. Keluarga tercinta, mama, papa, kakak dan kakak iparku, adikku Silvy Angelia, yang selalu memberikan dukungan, doa, kasih sayang dan motivasi.
5. Prima Yustitia dan keluarga yang selalu memberikan dorongan, doa, semangat kepada penulis.
6. Bapak Martua, Ibu Heru, dan Mas Anton yang sudah bersedia memberikan gagasannya dalam proses penyelesaian skripsi ini
7. Teman-teman dari Sajogyo Institute (SAINS) yaitu Mbak Laksmi, Mas Eko, Mas Didi, Mas Cupi, Mas Saluang, Mbak Dian dan Mbak Dewi yang telah menjadi “guru lapangan” dan menjadi tempat bertukar pikiran.
informasi-informasi berharga dan menjadi tempat bertukar pikiran jika mengalami hambatan dalam penulisan.
9. Seluruh teman-teman dari Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 43 (Cecep dkk) yang telah sama-sama berjuang dan berbagai berbagai informasi. 10. Kepala Desa Banjaranyar (Pak Tata), Pak Jahman, Abah Sa’ud, Pak Ahmad dan
seluruh anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II yang telah bersedia menjadi responden dan informan dalam penelitian ini.
Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait.
Bogor, Juli 2010
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR TABEL ... vi BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Pendahuluan... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan Penelitian ... 5 1.4. Kegunaan Penelitian ... 6BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Lingkup Agraria ... 7
2.2. Reforma Agraria ... 8
2.2.1. Prasyarat Reforma Agraria ... 9
2.2.2. Perspektif Reforma Agraria ... 10
2.3. Gerakan Reforma Agraria... 12
2.3.1. Landreform By Leverage ... 12
2.3.2. Arah Transfer Kesejahteraan dan Kekuasaan Berbasis Tanah ... 13
2.4. Kerangka Pemikiran ... 15
2.5. Hipotesis Pengarah ... 17
2.6. Definisi Konseptual ... 18
2.7. Definisi Operasional ... 19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 22
3.1. Pendekatan Penelitian ... 22
3.2. Strategi Penelitian ... 23
3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 24
3.3.1. Metode Triangulasi ... 24
3.3.2. Metode Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah) ... 25
3.3.3. Participatory Poverty Assesment (PPA) ... 25
3.3.4. Metode Survey dengan Kuesioner ... 26
3.4. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26
3.5. Teknik Pemilihan Resonden dan Informan ... 26
3.7. Analisis Data ... 29
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PROFIL ORGANISASI TANI LOKAL ... 31
4.1. Konteks Umum Kabupaten Ciamis ... 31
4.1.1. Kecamatan Banjarasari ... 34
4.2. Desa Banjaranyar ... 39
4.2.1. Letak dan Keadaan Fisik ... 39
4.2.2. Keadaan Penduduk dan Penguasaan Lahan ... 41
4.2.3. Mata Pencaharian Penduduk ... 43
4.2.4. Tingkat Pendidikan ... 44
4.2.5. Aspek Sosial Budaya Pertanian ... 45
4.3. Desa Pasawahan ... 46
4.3.1. Letak dan Keadaan Fisik ... 46
4.3.2. Keadaan Penduduk dan Penguasaan Lahan ... 48
4.3.3. Mata Pencaharian Penduduk ... 50
4.3.4. Tingkat Pendidikan ... 51
4.3.5. Aspek Sosial dan Budaya Pertanian ... 52
4.4. Profil Organisasi Tani Lokal (OTL) ... 53
4.4.1. Profil OTL Banjaranyar II ... 56
4.4.2. Profil OTL Pasawahan II ... 57
BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE) ... 58
5.1. Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Banjaranyar II ... 58
5.1.1. Sejarah Penguasaan Tanah Skala Luas Oleh Perkebunan ... 59
5.1.2. Awal Mula Penguasaan Petani atas Lahan Perkebunan ... 61
5.1.3. Konflik dan Aksi Perlawanan ... 62
5.2. Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Pasawahan II ... 65
5.2.1. Sejarah Penguasaan Tanah Skala Luas Oleh Perkebunan ... 66
5.2.2. Awal Mula Penguasaan Petani atas Lahan Perkebunan ... 67
5.2.3. Konflik dan Aksi Perlawanan ... 68
5.3. Pelaksanaan Landreform dari Bawah (By Leverage) di OTL Banjaranyar II... 69
5.3.1. Pengorganisasian Petani ... 69
5.3.2. Upaya dalam Pengaturan, Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan ... 70
5.3.4. Upaya Kolektif Lainnya ... 75
5.4. Pelaksanaan Landreform dari Bawah (By Leverage) di OTL Pasawahan II ... 76
5.4.1. Pengorganisasian Petani dalam Reklaiming dan Pembagian Lahan ... 76
5.4.2. Upaya-upaya Untuk Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan ... 77
5.4.3. Upaya-upaya Bersama Untuk Memperoleh Pengakuan dan Legalisasi ... 80
5.5. Analisis dan Perbandingan ... 80
5.6. Peran Aktor-aktor Lain ... 83
BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS ... 85
6.1. Landasan Hukum ... 85
6.2. Konsepsi PPAN ... 87
6.2.1. Makna dan Tujuan ... 87
6.2.2. Lingkup Kegiatan ... 88
6.2.3. Obyek Reforma Agraria ... 89
6.2.4. Proses Penetapan Subyek Reforma Agraria ... 90
6.2.5. Mekanisme dan Delivery System Reforma Agraria ... 91
6.3. Pelaksanaan PPAN di Kabupaten Ciamis ... 92
6.3.1. Penetapan Lokasi PPAN ... 94
6.3.2. Mekanisme Pelaksanaan PPAN di Banjaranyar ... 94
6.3.3. Program-program Pasca Pemberian Hak di Bajaranyar ... 98
6.3.4. Rencana Penyelesaian Kasus di Pasawahan ... 99
6.4. Analisis Perbandingan ... 100
BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE), DAN ARAH TRANSFER MANFAAT DALAM KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL ... 103
7.1. Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Banjaranyar II ... 103
7.1.1. Dampak Sosial ... 103
7.1.2. Dampak Terhadap Perubahan Struktur Pemilikan dan Penguasaan Tanah ... 106
7.1.3. Dampak Terhadap Kesejahteraan ... 110
7.2. Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Rencana Penerapan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Pasawahan II ... 114
7.2.1. Dampak Sosial ... 114
7.2.2. Dampak Terhadap Perubahan Struktur Kepemilikan dan Penguasaan Tanah ... 114
7.3. Arah Transfer Manfaat ... 118
BAB VIII PENUTUP ... 123
8.1. Kesimpulan ... 123
8.2. Saran ... 123
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sitorus, 2002) ... 8
Gambar 3.1. Suasana FGD dengan Masyarakat ... 25
Gambar 4.1. Peta Kabupaten Ciamis ... 31
Gambar 4.2. Struktur Organisasi Serikat Petani Pasundan ... 56
Gambar 5.1. Lingkup Hubungan Agraria di OTL Banjaranyar II ... 59
Gambar 5.2. Lingkup Hubungan Agraria di OTL Banjaranyar II ... 66
Gambar 6.1. Bagan Alir Penetapan Obyek, Penetapan Subyek dan Mekanisme & Delivery System Reforma Agraria ... 89
Gambar 6.2. Kriteria Umum Subyek Reforma Agraria Berdasarkan Prioritas ... 91
Gambar 6.3. Mekanisme dan Delivery System Reforma Agraria ... 92
Gambar 7.1. Sertifikat Hak Milik ... 103
Gambar 7.2. Surat Perjanjian Jual Beli Tanah ... 110
Gambar 7.3. Ilustrasi perubahan arah transfer manfaat di OTL Banjaranyar II ... 121
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Fitur Kunci Beragam Perspektif dalam Reforma Agraria ... 11 Tabel 2.2. Dinamika Perubahan dan Pembaruan dalam Kebijakan Pertanahan ... 14 Tabel 4.1. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Ciamis Tahun 2001-2003 Atas Dasar Harga
Berlaku, Menurut Lapangan Usaha (Persen) ... 33 Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Ciamis Tahun 2001-2003 Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 1993, Menurut Lapangan Usaha (Persen) ... 34 Tabel 4.3. Luas Wilayah Desa Banjaranyar Berdasarkan Tataguna Tanah tahun Desa
Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 ... 40 Tabel 4.4. Jumlah Penduduk menurut Golongan Usia, Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008. ... 42 Tabel 4.5. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Kepemilikan Lahan di Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, 2008. ... 43 Tabel 4.6. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama di Desa Banjaranyar, Kecamatan
Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 ... 44 Tabel 4.7. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008. ... 45 Tabel 4.8. Luas Wilayah Desa Pasawahan Berdasarkan Tataguna Tanah tahun Desa Pasawahan,
Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 ... 47 Tabel 4.9. Jumlah Penduduk menurut Golongan Usia, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari,
Kabupaten Ciamis, tahun 2008. ... 49 Tabel 4.10. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Kepemilikan Lahan di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, 2008. ... 50 Tabel 4.11. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Desa Pasawahan,
Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008 ... 51 Tabel 4.12. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Berdasarkan Umur dan Jenis
Kelamin di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, tahun 2008. 52
Tabel 5.1. Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reklaiming Lahan di OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar ... 73 Tabel 5.2. Pembagian Luasan Tanah Berdasarkan Jabatan dalam Organisasi Tani Lokal
Banjaranyar II ... 74 Tabel 5.3. Harga Jual Albasia Berdasarkan Ukuran dan Harga ... 77 Tabel 5.4. Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reklaiming Lahan di
OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar ... 79 Tabel 6.1. Hubungan Antara Obyek dan Tujuan Reforma Agraria ... 90
Tabel 6.2. Perbandingan Proses Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional di OTL
Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II ... 102
Tabel 7.1. Luas Pemilikan Tanah Sebelum Bergabung dengan SPP (Pra SPP) di OTL Banjaranyar II ... 107
Tabel 7.2. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Banjaranyar II... 108
Tabel 7.3. Luas Pemilikan Tanah Pasca Sertifikasi di OTL Banjaranyar II ... 109
Tabel 7.4. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Banjaranyar II... 113
Tabel 7.5. Luas Pemilikan Tanah Pra SPP di OTL Pasawahan II ... 115
Tabel 7.6. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Pasawahan II ... 116
Tabel 7.7. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Pasawahan II ... 117
Tabel 7.8. Perbandingan Inisiatif Lokal untuk Akses Tanah, Respon Kebijakan, dan Arah Dampak yang Ditimbulkannya ... 120
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara agraris, oleh karena itu bagi Indonesia – dan juga bagi negara-negara agraris lainnya – masalah sumber-sumber agraria khususnya tanah adalah masalah yang sangat penting karena kebanyakan masyarakatnya menggantungkan hidup pada tanah, mulai dari bercocok tanam (sebagai faktor produksi utama) hingga menjadikannya sebagai tempat tinggal. Dalam hal ini, sebagai aset sosial, tanah memiliki dua fungsi krusial yaitu untuk memungkinkan dilakukannya produksi pertanian dan untuk memberikan lapangan kerja yang menghasilkan bagi sebagian besar masyarakat (White dan Wiradi, 1984).
Tanah sebagai salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. Di satu sisi kompleksitas masalah tanah terjadi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan tanah untuk keperluan berbagai kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang cepat dengan penyebaran yang tidak merata antar wilayah. Di sisi lain, kompleksitas ini muncul karena luas tanah relatif tidak bertambah. Kebutuhan tanah yang terus meningkat berdampak pada terjadinya kompetisi di bidang pertanahan baik secara vertikal maupun horizontal, antara perseorangan (warga masyarakat atau masyarakat hukum adat) maupun badan hukum (pemerintah atau swasta).
Penguasaan tanah tidak hanya menyangkut hubungan manusia dengan tanah tapi juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia terutama menyangkut hubungan antara pemilik tanah dan penggarap (buruh tani). Dengan berlangsungnya waktu, dalam masyarakat tumbuh pembagian kerja. Namun justru mereka yang masih menggarap
tanah dan menghasilkan bahan pangan bagi seluruh manusialah yang sering mengalami kekurangan pangan (Wiradi, 2009a). Hal ini terjadi karena sistem sosial ekonomi yang kurang menguntungkan bagi anggota termiskin masyarakat tersebut (Spitz dalam Wiradi, 2009a).
Data index gini-rasio memperlihatkan peningkatan ketimpangan pemilikan tanah yang besar. Bila tahun 1973 index gini rasio untuk Jawa 0,43 maka pada tahun 2003 telah meningkat menjadi 0,72. Ketimpangan pemilikan tanah ini tercermin juga pada peningkatan persentase petani gurem (pemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar) dari 10,8 juta pada 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun 2003. Serta perubahan dari rata-rata pemilikan tanah pertanian, dari 0,23 hektar tahun 1995 menjadi 0,19 pada tahun 1999 dan turun lagi menjadi 0,009 pada tahun 2003 (BPS, 2003)
Data-data tersebut mengindikasikan fragmentasi tanah yang progresif. terutama dikalangan petani miskin. Dilain pihak data-data memperlihatkan konsentrasi tanah pertanian yang nyata. Data tahun 1999 memperlihatkan bahwa 4 persen yang digolongkan sebagai petani kaya menguasai 33 persen dari tanah pertanian. Artinya fragmentasi lahan terutama terjadi pada petani kecil atau miskin yang berdampak pada terus bertambah rentannya kedudukan golongan petani ini. Fakta-fakta di atas sejalan dengan angka kemiskinan yang memperlihatkan mayoritas penduduk miskin berada di pedesaan. Data tahun 1999 memperlihatkan bahwa 58 persen penduduk miskin berada pada sektor pertanian (BPS, 2003).
Masyarakat kecil kesulitan untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber agraria terutama dalam pemanfaatan lahan pertanian (tanah). Setiap tahunnya penguasaan tanah oleh petani kecil semakin menurun dan konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh para pemilik modal semakin mencuat.
Oleh karena itu perlu adanya suatu upaya untuk merubah kembali struktur penguasaan tanah guna mencapai keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat yaitu berupa pengaturan atau perombakan penguasaan tanah, yang dikenal dengan
landreform. Namun berdasarkan pengalaman landreform yang hanya berupa redistribusi
tanah ternyata kurang berhasil karena banyak petani yang telah memperoleh tanah namun tidak mampu mengusahakannya karena kekurangan modal, sehingga tanah tersebut akhirnya dijual. Akhirnya, landreform ini perlu didukung oleh program-program penunjangnya. Inilah yang dinamakan Reforma Agraria.
Pada tahun 2006, Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional RI (BPN-RI) mulai menjalankan Reforma Agraria dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”. Agenda pemerintah ini dikenal dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Secara garis besar mekanisme penyelenggaraan Reforma Agraria mencakup empat lingkup kegiatan utama, yaitu: penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme dan delivery system Reforma Agraria serta Access Reform.
Reforma Agraria harus meninggalkan filsafat paternalisme (Wiradi, 2009a) dimana pelaksanaan Reforma Agraria ini dilakukan atas dasar kedermawanan pemerintah, sehingga dalam pelaksanaannya sering dipengaruhi oleh “pasar politik”(Hayami dalam Wiradi, 2009a). Dengan demikian, yang diperlukan adalah pembaruan yang didasarkan atas pemberdayaan rakyat dimana ketika rakyat mempunyai posisi tawar yang kuat, maka dalam kondisi “pasar politik” yang bagaimanapun, hasil-hasil pembaruan sebelumnya tidak begitu saja mudah dibalikkan.
Untuk mewujudkan peran sebagai pendongkrak (by leverage), organisasi tani/rakyat haruslah kuat, bukan saja secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif. Artinya, secara kuantitatif jumlah massa petani harus cukup besar dan secara kualitatif
organisasi itu harus cukup solid. Agar peran sebagai dongkrak dan pendorong itu dapat lebih efektif, maka diperlukan langkah-langkah konkret, antara lain dengan menjajaki kemungkinan berkembangnya inisiatif lokal.
Salah satu contoh pelaksanaan Reforma Agraria adalah pelaksanaan Reforma Agraria di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis terutama pelaksanaan Reforma Agraria di desa Banjaranyar, khususnya Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II (OTL Banjaranyar II) dan di desa Pasawahan, khususnya Organisasi Tani Lokal Pasawahan II (OTL Pasawahan II). Pelaksanaan Reforma Agraria di kedua desa ini dimulai dengan upaya reklaiming terhadap lahan perkebunan oleh masyarakat Serikat Petani Pasundan (SPP) sekitar tahun 2000. Dalam pelaksanaannya perjuangan SPP ini juga dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya. Namun, khusus di desa Banjaranyar, selain dukungan dari pihak-pihak tersebut, terdapat juga dukungan dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) berupa legalisasi kepemilikan lahan (sertifikat) pada tahun 2007.
Pada akhirnya pelaksanaan kebijakan PPAN ini harus dapat menjawab dua tantangan dasar untuk dapat mewujudkan amanat konstitusi, yaitu pertama sejauh mana kebijakan itu memihak kepada rakyat miskin (pro-poor) dan kedua sejauh mana kebijakan itu bisa menciptakan tata kepengurusan yang demokratis dan adil (democratic
governance) (Shohibuddin, 2010).
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, masyarakat OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II telah melakukan reklaiming terhadap lahan perkebunan. Upaya melakukan reklaiming ini dilakukan melalui gerakan petani yaitu melalui organisasi SPP. Pada tahun 2007 OTL Banjaranyar II mendapatkan sertifikat hak kepemilkan
lahan dari BPN melalui PPAN-nya. Pemberian sertifikat ini tentunya memberikan dampak yang berbeda terhadap masyarakat di dua desa tersebut terutama dalam struktur pemilikan dan penguasaan lahan serta kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah penguasaan tanah dan konflik pertanahan yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II?
2. Bagaimana perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II?
3. Bagaimana pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat/tidak dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II, serta apa saja faktor-faktor penyebabnya?
4. Bagaimana dampak pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN terhadap distribusi manfaat di antara para petani anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan yang hendak dicapai adalah:
1. Mengidentifikasi sejarah penguasaan tanah dan konflik pertanahan yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
2. Mengidentifikasi perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
3. Mengidentifikasi pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat/tidak dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II, serta apa saja faktor-faktor penyebabnya;
4. Mengidentifikasi dampak pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN terhadap distribusi manfaat di antara para petani anggota OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di lapangan. Diharapkan pula penelitian ini dapat menjadi sarana evaluasi dan informasi data baik bagi pemerintah, swasta, LSM, akademisi maupun masyarakat setempat. Di samping itu, penelitian ini mencoba untuk mencari solusi terbaik terhadap permasalahan terkait dengan pelaksanaan landreform by leverage dan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lingkup Agraria
Seperti kita ketahui bahwa konsep agraria tidak hanya sebatas pada tanah atau tanah pertanian saja. Secara etimologis, istilah “agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, “ager” yang artinya: (a) lapangan; (b) wilayah; (c) tanah negara. Dari pengertian-pengertian tersebut nampak jelas bahwa yang dicakup oleh istilah “agraria” itu bukanlah sekedar “tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata “wilayah”, “tanah negara” itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Kata “tanah negara”, misalnya, di situ ada tumbuh-tumbuhan, ada air, ada sungai, mungkin ada tambang, ada hewan, dan sudah barang tentu ada
masyarakat manusia (Wiradi, 2009a).
Menurut Sitorus (2002), subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam perjalanannya, hubungan ini akan menimbulkan bentuk-bentuk dari kepentingan sosial-ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan pengusaaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria tersebut.
Gambar 2.1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sitorus, 2002) Keterangan:
Hubungan Teknis Agraria Hubungan Sosio Agraria 2.2. Reforma Agraria
Menurut Wiradi (2009a) makna reforma agraria merupakan penataan kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/ wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruhtani tak bertanah. Dalam hal ini reforma agraria memiliki dua tujuan utama, yaitu: pertama, mengusahakan terjadinya transformasi sosial, dan kedua, menangani konflik sosial serta mengurangi peluang konflik di masa depan.
Oleh karena itu, Soetarto dan Shohibuddin (2006) menyatakan bahwa inti dari reforma agraria adalah upaya politik sistematis untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dan yang diikuti pula oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur lainnya.
Agenda landreform (digunakan secara bergantian dengan Reforma Agraria) di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang. Secara umum, program pelaksanaan
landreform di Indonesia meliputi ketentuan: (a) larangan menguasai tanah pertanian
Pemerintah
Masyarakat Swasta
yang melampaui batas; (b) larangan pemilikan tanah absentee; (c) redistribusi tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum serta tanah-tanah-tanah-tanah yang terkena larangan absentee; (d) pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan; (e) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan; (f) penerapan batas minimum pemilikan tanah pertanian dengan disertai larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan tanah menjadi bagian-bagian yang terlalu kecil1.
2.2.1. Prasyarat Reforma Agraria
Menurut Wiradi (2009a), berdasar pengamatan berbagai pakar dari FAO yang melakukan studi tentang Reforma Agraria di berbagai negara di dunia, agar suatu program Reforma Agraria mempunyai peluang untuk berhasil, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Kemauan politik dari elit penguasa
2. Elit pemerintahan/birokrasi harus terpisah dari elit bisnis
3. Partisipasi aktif dari semua kelompok sosial harus ada. Organisasi Rakyat/Tani yang pro-reform harus ada
4. Data dasar masalah agraria yang lengkap dan teliti harus ada
Seperti tertulis di atas, salah satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah partisipasi aktif dari semua kelompok sosial, yaitu organisasi rakyat/tani yang pro-reform. Organisasi rakyat ini merupakan organisasi rakyat (tani) yang kuat dan mandiri, dipacu cita-cita luhur-jelas, diarahkan oleh program nyata-terukur, ditopang oleh kader terdidik yang militan, dan didukung massa sadar-luas. Organisasi inilah yang menjadi
1
Harsono dalam Andi Achdian. 2009. Tanah Bagi yang Tak Bertanah; Landreform Pada Masa
Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Bogor: KEKAL PRESS bekerjasama dengan Sekolah Tinggi
pendorong perubahan sosial yang maha dahsyat. Oleh karena itu, organisasi rakyat, terutama yang menghimpun petani kecil, buruh tani, dan petani penggarap yang sudah menduduki dan menggarap tanah-tanah (bekas) perkebunan, hendaknya berperan dalam (Setiawan dalam Alfurqon, 2006):
1. Melakukan pendataan (ulang) tanah-tanah yang sudah diduduki, digarap dan dijadikan sumber penghidupan penduduk setempat.
2. Mendaftar nama-nama dan jumlah penduduk yang menduduki, menggarap, dan menjadikan tanah tersebut sebagai sumber penghidupan.
3. Menyiapkan aturan main internal organisasi untuk memastikan terhindarnya konflik horizontal dan untuk memastikan legalisasi ini tepat sasaran kepada mereka yang paling membutuhkan.
4. Memastikan adanya komunikasi dan koordinasi yang baik dengan kalangan Ornop “pendamping” untuk mendapatkan masukan-masukan dalam memperkuat organisasi maupun kelancaran proses legalisasi.
5. Menyiapkan diri untuk siap bernegosiasi dan lobby dalam rangka meyakinkan pejabat dan aparat yang terkait dengan pelaksanaan legalisasi hak atas tanah maupun proses produksi, distribusi, dan penyediaan berbagai sarana pendukung.
2.2.2. Perspektif Reforma Agraria
Dalam model implementasinya berdasarkan cara bagaimana landreform dijalankan, umumnya telah dibedakan pelaksanaan landreform tiga tipe ideal berdasar pelaku utama yang melakukannya, yakni: StateLed Land Reform, MarketLed Land Reform, dan PeasantLed Land Reform. Namun, dengan sangat menarik, setelah menyelidiki secara empiris praktek-praktek ketiga model itu, Borras dan Mckinley (2007) dalam Fauzi (2008) mengemukakan model keempat yang merupakan suatu
upaya mewujudkan ProPoor Landreform yang realistis dengan 4 (empat) pilar pokok (lihat Tabel 2.1), yakni:
Tabel 2.1. Fitur Kunci Beragam Perspektif dalam Reforma Agraria
Perspektif Fitur
Market-Led Landreform Pertimbangan utamanya adalah pencapaian efisiensi/produktivitas secara ekonomis; Memberi peran sekunder pada negara; Petani yang seharusnya menjadi ‘supir’ dalam reforma pada kenyataannya
berada di bawah dominasi aktor-aktor pasar; Pada kenyataannya, ‘terpusat pada dasar’ artinya ‘terpusat pada tuan tanah/pedagang/TNC’ di banyak penataan agraria masa kini.
State-Led Landreform Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan mengamankan/menjaga legitimasi politik, meskipun agendaagenda pembangunan juga penting; ‘Kehendak politik yang kuat’ sangat dibutuhkan untuk membawa agenda land reform; Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang dibutuhkan secara administratif; Aktor-aktor pasar tingkat rendah, atau yang terpilih berhubungan dengan aktor-aktor pasar bergantung pada aktor-aktor mana yang lebih memiliki pengaruh dalam negara.
Peasant-Led Landreform Asumsi utamanya adalah bahwa ‘negara terlalu terbelenggu oleh kepentingan elit secara sosial’, sementara kekuatan pasar secara mendasar didominasi oleh kepentingan elit = dengan demikian, satu-satunya cara untuk mencapai reforma-agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil insiatif untuk menerapkan reforma agraria.
Pro-Poor Landreform Asumsi utama: tidak meromantisasi ‘kemahakuasaan’ petani dan organisasi mereka; Tidak menetapkan peran pemerintah pada negara; Tidak mementingkan isu peningkatan produktivitas secara ekonomis = meskipun mengenali keberkaitan antara perspektifperspektif tersebut; Menganalisa negara, gerakan-gerakan petani dan kekuatan pasar bukan sebagai kelompok-kelompok yang terpisah-pisah, namun sebagai aktor yang secara inheren
terhubung satu sama lain oleh penyatuan mereka pada sumberdaya tanah secara politis dan ekonomis; Memiliki tiga ciri kunci: ‘terpusat pada petani’, ‘didorong oleh negara’, dan ‘meningkatkan produktivitas secara ekonomis’.
2.3. Gerakan Reforma Agraria
Dilihat dari sudat pandang ilmu sosial, yang dimaksud dengan gerakan (movement) adalah gerakan sosial (social movement), yaitu suatu usaha, upaya, dan langkah kolektif untuk menciptakan perubahan keadaan tertentu yang ada dalam masyarkat (Hoult, 1969)2. Dari uraian tersebut, Wiradi (2009a) merumuskan bahwa gerakan agraria adalah sebagai berikut:
“suatu usaha, upaya, dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat”
2.3.1. Landreform By Leverage
Gagasan mengenai reforma agraria ini sudah banyak dibahas oleh para ahli. Beberapa menyebutnya sebagai land governance, semuanya ditujukan untuk mewujudkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. Ada beberapa macam tipe reforma agraria, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu mobilisasi massa dari atas (by
grace), dari tengah, dan dari bawah (by leverage)3.
Konsep landreform dari bawah (by leverage) ini untuk pertama kalinya ditawarkan pada Munas Pertama Konsorsium Pembaruan Agraria, pada Desember 1995, dengan menerjemahkannya sebagai “Pembaruan Agraria Berbasis Rakyat” (PABR). PABR ini merupakan gerakan pembaruan agraria yang didasarkan atas kekuatan dan kemampuan kaum tani atau rakyat pedesaan sendiri. Namun ini sama sekali tidak berarti melawan wewenang pemerintah ataupun hendak menghilangkan
2
Hoult dalam Gunawan Wiradi. 2009. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Bandung, Jakarta, Bogor: AKATIGA, KPA, SAINS., hal 142
3 Lihat Saturnino M. Borras Jr dan Jennifer C. Franco tentang Demokra c Land Gor ver nance and Some
peran negara. Dalam hal ini kekuatan dan kemampuan kaum tani justru befungsi sebagai “dongkrak”, sebagai pendorong yang kuat, untuk menggerakkan peran aktif dari pemerintah (Wiradi, 2009b).
Berdasar moda gerakan reklaim tanah yang dilakukan masyarakat petani, Sitorus (2006) mengembangkan tipologi landreform dari bawah ini menjadi tiga tipe, yaitu tipe aneksasi, tipe kultivasi, dan tipe integrasi. Tipe Aneksasi adalah tipe reforma agraria dari bawah yang merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan illegal membuka, bercocok tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan Negara. Tipe integrasi merupakan kebalikan dari tipe aneksasi, yaitu tipe reforma agraria yang merujuk pada kolaborasi Negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya agraria. Sedangkan tipe kultivasi merujuk pada ambiguitas status tanah yang direklaim; di satu sisi ia di reklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk, tetapi di sisi lain ia masih di klaim dan juga secara faktual dikelola oleh pihak lain.
2.3.2. Arah Transfer Kesejahteraan dan Kekuasaan Berbasis Tanah
Mengacu pada Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010) mengenai kualifikasi pro-poor policy menjadi penting untuk diperhatikan dalam kaitan dengan diferensiasi agraria. Kebijakan transfer kemakmuran dan transfer kekuasaan politik berbasis tanah harus didasari atas kesadaran pelapisan kelas serta sensitif terhadap perbedaan gender dan etnis, historical dalam arti memiliki perspektif mengenai penciptaan kemakmuran, transfer kekuasaan politik, dan penentuan penerima manfaat dalam suatu tinjauan historis sehingga kerangka “keadilan sosial” yang utuh dapat dikembangkan.
Aliran Struktur Agraria juga menekankan pentingnya rute transformasi. Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010), misalnya, membedakan kemungkinan empat arah transformasi yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan land reform, yaitu (1) redistribusi, (2) distribusi, (3) non-(re)distribusi, dan (4) (re)konsentrasi (lihat tabel di bawah). Empat arah ini bisa diadaptasi untuk menyediakan kerangka bagi kebijakan pertanahan, khususnya dalam memastikan sejauh mana transfer kesejahteraan dan kekuasaan politik berbasis tanah benar-benar dapat mewujudkan dampak redistribusi atau distribusi dan bukannya non-(re)distribusi, atau apalagi (re)konsentrasi4.
Tabel 2.2. Dinamika Perubahan dan Pembaruan dalam Kebijakan Pertanahan
Trajectory Arah Transfer Kesejahteraan dan
Kekuasaan Berbasis Tanah Dinamika Perubahan dan Pembaruan
Redistribusi Transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah dari kelas tuan tanah atau negara atau komunitas kepada petani miskin gurem atau tuna kisma
Pembaruan dapat terjadi di tanah private atau tanah negara; dapat mencakup transfer kepemilikan penuh maupun dak; dapat diterima oleh individu ataupun kelompok
Distribusi Kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah diterima oleh petani miskin gurem atau tuna kisma, namun kelas tuan tanah dak kehi langan apapun dalam proses ini; transfer oleh negara
Pembaruan biasanya terjadi di tanah milik negara; dapat mencakup transfer hak untuk mengalienasi ataupun dak; dapat di ter ima oleh individu maupun kelompok
Non-(Re)Distribusi Kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah tetap berada di tangan segelin r kelas tuan tanah atau negara atau komunitas; yaitu tetap bertahannya status quo yang bersifat mengeksklusi petani miskin
“Tiadanya kebijakan pertanahan adalah satu kebijakan”; termasuk di sini juga kebijakan-kebijakan pertanahan yang melegalisasikan klaim-klaim/hak-hak yang mengeksklusi dari kelas tuan tanah atau elit kaya, termasuk negara atau kelompok-kelompok komunitas (Re)konsentrasi Transfer kesejahteraan dan kekuasaan
berbasis tanah dari negara, komunitas atau petani gurem kepada tuan tanah, badan-badan perusahaan, negara atau kelompok-kelompok komunitas
Dinamika perubahan dapat terjadi dalam tanah private atau tanah negara; dapat mencakup transfer sepenuhnya maupun kepemilikan penuh atau dak; d apat diterima oleh individu, kelompok atau badan-badan perusahaan
Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010)
4 Lihat juga Saturnino M. Borras Jr. and Jennifer C. Franco (2008). How Land Policies Impact
2.4. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: Proses
: Mempengaruhi : Aktor yang berperan
: Proses yang belum terlaksana
Arah Transfer Manfaat (Land-Based Wealth and Power) antar Anggota
Organisasi Tani Lokal
Perubahan Struktur Pemilikan dan Penguasaan Tanah Kesejahteraan Kesejahteraan Program Pemberdayaan Pasca Reklaiming Program Pemberdayaan Pasca Reklaiming Access Reforn PPAN BPN
Struktur Agraria Sebelum Landreform di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II
Reklaiming OTL Pasawahan
II di tanah perkebunan
Reklaiming OTL Banjaranyar
II di tanah perkebunan OTL Pasawahan II OTL Banjaranyar II SPP Aktor Lainnya Aktor Lainnya
Permasalahan utama dalam bidang agraria di Indonesia adalah adanya ketimpangan struktur agraria diantara subyek-subyeknya. Ketimpangan ini menimbulkan efek yang sangat luas diantaranya adalah ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah serta timbulnya masalah kesejahteraan bagi masyarakat tani yang tidak mempunyai tanah. Masalah ini dapat dilihat secara umum pada struktur agrarianya.
Upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan landreform. Terdapat dua tipe landreform yang dikenal secara luas, keduanya yaitu landreform by
grace dan landreform dari bawah (by leverage). Tipe yang pertama secara umum
dikenal dengan landreform yang diinisiasi oleh pemerintah. Dalam hal ini landreform dapat dilaksanakan atas dasar ”kedermawanan” pemerintah. Sedangkan tipe kedua merupakan landreform yang diinisiasi oleh masyarakat tani sendiri. Di sini, petani berperan sebagai dongkrak agar pemerintah melaksanakan landreform.
Salah satu contoh pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) adalah pelaksanaan reklaiming yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan (SPP). Dalam penelitian ini, gerakan yang menjadi sorotan utama adalah gerakan yang terjadi di Kabupaten Ciamis khususnya yang dilakukan oleh Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar II, Desa Banjaranyar, dan OTL Pasawahan II, Desa Pasawahan. Di kedua tempat tersebut petani melakukan upaya reklaiming (landreform) pada kisaran tahun 2000-2002. Pelaksanaan landreform ini tidak dapat dilepaskan dari peran aktor-aktor yang berkepentingan. Antara lain, SPP dan OTL itu sendiri juga aktor-aktor lainnya.
Proses selanjutnya setelah pelaksanaan landreform by leverage (reklaiming) ini adalah program-program pemberdayaan. Kemudian, baik landreform by leverage maupun program-program pemberdayaan setelahnya akan memberikan pengaruh
terhadap struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta kesejahteraan masyarakat di kedua OTL tersebut. Selain program pemberdayaan pasca landreform, setelah pelaksanaan landreform by leverage adalah adanya PPAN. Di OTL Banjaranyar II PPAN ini sudah dilaksanakan sedangkan di OTL Pasawahan II PPAN masih dalam proses.
Peran SPP sangat dominan dalam upaya mendampingi OTL dalam melakukan
landreform, sehingga peran SPP ini terus melekat dalam proses-proses selanjutnya
seperti upaya untuk memperoleh pengakuan hak atas tanah melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) serta upaya untuk melakukan program pemberdayaan pasca
landreform di kedua tempat tersebut, walaupun program pemberdayaan ini belum
berhasil dilakukan. Begitu juga dengan aktor-aktor lain seperti pendamping LBH, SAINS dan lainnya dalam membantu proses pelaksanaan landreform di kedua tempat tersebut.
2.5. Hipotesis Pengarah
Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini akan memfokuskan pada pengaruh partisipasi gerakan tani dalam pelaksanaan Reforma Agraria. Untuk memandu penggalian data mengenai fokus penelitian tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Diduga terdapat konflik pertanahan sepanjang sejarah penguasaan tanah yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
2. Diduga perbedaan perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
3. Diduga pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
4. Diduga terdapat faktor-faktor yang melatarbelakangi pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Banjaranyar II dan tidak di OTL Pasawahan II;
5. Diduga terdapat perbedaan dampak antara pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN terhadap perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan kesejahteraan di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
2.6. Definisi Konseptual
1. Landreform dari bawah (landreform by leverage) adalah gerakan pembaruan agraria yang berfungsi sebagai dorongan dari petani untuk menggugah peran aktif pemerintah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif melalui penelusuran alur sejarah.
a. People/peasant led landreform adalah pandangan yang menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai Reforma Agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil inisiatif untuk menerapkan Reforma Agraria.
2. Landasan hukum adalah perangkat aturan-aturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar pemberian sertifikat melalui Program Pembaruan Agraria Nasional. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. 3. Pemberdayaan pasca landreform oleh berbagai pihak adalah usaha-usaha yang
Proses ini mencakup kegiatan access reform. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
4. Reklaiming adalah proses perebutan kembali tanah oleh masyarakat dari pihak-pihak yang dianggap sebagai ”lawan” oleh organisasi SPP
a. Pra Reklaim adalah fase di mana masyarakat belum melakukan proses reklaiming lahan.
b. Pasca Reklaim adalah fase di mana masyarakat sudah melakukan proses reklaiming lahan sampai sebelum proses sertifikasi dilakukan.
5. Okupasi adalah proses perebutan tanah perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat petani dari pihak perkebunan.
a. Pra Okupasi adalah fase di mana masyarakat belum melakukan proses okupasi lahan.
b. Pasca Okupasi adalah fase di mana masyarakat sudah melakukan proses okupasi lahan sampai sebelum proses sertifikasi dilakukan.
2.7. Definisi Operasional
1. Struktur pemilikan dan penguasaan lahan adalah besarnya luasan lahan yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing individu petani. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif melalui metode survey rumahtangga. Dengan kategori:
1. Sempit: < 0,5 Ha (Skor = 1) 2. Sedang: 0,5 – 1,5 Ha (Skor = 2) 3. Luas: > 1,5 Ha (Skor = 3)
2. Kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material berdasarkan indikator yang ditentukan oleh masyarakat di masing-masing OTL.
Pendekatan yang digunakan adalah metode kuantitatif melalui metode survey rumahtangga. Indikator yang digunakan dalam penentuan kesejahteraan selain tanah (nilai 8) adalah rumah (nilai 7), kendaraan bermotor (nilai 6), penghasilan (nilai 5), pekerjaan (nilai 4), pola makan (nilai 3), elektronik (nilai 2) dan sanitasi (nilai 1)5.
a. Rumah: Bangunan yang ditempati untuk tinggal, dikategorikan menjadi: 1. Sangat sederhana: lantai tanah, bilik dan belum ditembok, tanpa
sanitasi (skor = 1)
2. Sederhana: Semi permanen, tegel, atap dengan genteng, ada sanitasi di luar rumah (skor = 2)
3. Bagus: Permanen, luas sanitasi lengkap (skor = 3)
b. Kendaraan Bermotor: Jumlah kendaraan bermesin yang digunakan sebagai sarana transportasi (motor). Dengan kategori
1. Miskin: Tidak punya (skor = 1)
2. Sedang: Punya, hanya satu unit (skor = 2) 3. Kaya: Punya, lebih dari dua unit (skor = 3)
c. Penghasilan: jumlah uang yang didapatkan dalam satu rumah tangga per hari baik dari hasil usaha tani maupun di luar usaha tani. Dikategorikan menjadi: 1. Miskin: < Rp. 11.000 (skor = 1) 2. Sedang: Rp. 11.000-Rp. 20.000 (skor = 2) 3. Kaya: > Rp. 20.000 (skor = 3) 5
d. Pekerjaan: Mata pencaharian yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dikategorikan menjadi:
1. Miskin: Buruh musiman (skor = 1)
2. Sedang: Mengarap lahan sendiri, memiliki upah lainnya (skor = 2) 3. Kaya: Ada penghasilan tetap, memiliki usaha sampingan (skor = 3) e. Pola Makan: Sajian menu yang dikonsumsi dalam satu hari.
Dikategorikan menjadi:
1. Miskin: Makan 2 X sehari, dapat Raskin, jarang makan lauk-pauk (skor = 1)
2. Sedang: Makan 3 X sehari, dengan lauk-pauk (skor = 2) 3. Kaya: Makan 3 X sehari, dengan menu lengkap (skor = 3)
f. Elektronik: Pemilikan benda elektronik lainnya diluar kebutuhan pangan. Dikategorikan menjadi:
1. Miskin: Maksimal Hanya Hp atau TV Hitam Putih, 1 macam (skor = 1)
2. Sedang: Minimal tv 24 inch warna dan Hp, 2 macam (skor = 2) 3. Kaya: Serba ada, lebih dari 3 macam (skor = 3)
g. Sanitasi: Fasilitas MCK yang dimiliki oleh satu rumah tangga. Dikategorikan menjadi:
1. Miskin: tidak ada, Ke sungai, atau MCK umum (skor = 1) 2. Sedang: Memiliki MCK sendiri, tapi di luar rumah (skor = 2) 3. Kaya: Memiliki MCK di dalam rumah m (skor = 3)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif (survey). Pendekatan kualitatif menekankan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas, ataupun frekuensi (Denzin dan Lincoln, 2000). Penelitian kualitatif ini memiliki ciri khas yaitu menekankan pada pumpunan inter-subyektivitas realitas sosial yang dihasilkan dari interaksi antara peneliti dan tineliti (Sitorus, 1998). Pendekatan kualitatif dipilih karena mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagai realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang tentang pelaksanaan reforma agraria dan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional. Peneliti berusaha memahami interpretasi dari subjek penelitiannya untuk kemudian digabungkan dengan interpretasi dari peneliti sendiri.
Metode survey adalah metoda penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan dengan cara mengambil contoh (sampel) dari sebuah populasi menurut prosedur tertentu, dengan alat berupa daftar pertanyaan yang terstruktur (Shohibuddin, 2009)6. Dalam penelitian ini akan dipergunakan survey sampel. Hal ini dilakukan atas pertimbangan derajat keseragaman data, kesesuaian dengan rencana analisa, presisi penelitian yang dikehendaki sekaligus efisiensi serta efektivitas tenaga, waktu dan biaya.
6
Shohibuddin, Moh (ed), Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi, 2009, Sajogyo Institute, Bogor
3.2. Strategi Penelitian
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Hal ini karena studi kasus merupakan studi aras mikro (menyoroti satu atau beberapa kasus) dan studi kasus merupakan strategi penelitian yang bersifat multi-metode (wawancara, observasi dan analisis dokumen). Dalam hal ini, beberapa kasus pada aras mikro (komunitas lokal) akan dipilih adalah masyarakat OTL Banjaranyar dan OTL Pasawahan (Sitorus, 1999)
Metode studi kasus yang digunakan adalah bersifat eksplanasi. Artinya penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana peran organisasi tani dalam hal ini adalah Serikat Petani Pasundan (OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II), menjelaskan adanya ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan lahan serta menjelaskan bagaimana pelaksanaan PPAN dilihat dari sudut pandang BPN dan masyarakat penerima program tersebut. Keduanya mempunyai perbedaan pandangan terhadap pelaksanaan program tersebut. Serta melihat perbedaan kesejahteraan antara masyarakat penerima PPAN (OTL Banjaranyar II) dan masyarakat yang tidak menerima PPAN (OTL Pasawahan II).
Strategi studi kasus ini diharapkan mampu menggali informasi mendalam mengenai kesenjangan dalam pemilikan dan penguasaan lahan serta menjelaskan bagaimana pelaksanaan PPAN dilihat dari sudut pandang BPN dan masyarakat penerima program tersebut sebagai gejala sosial yang banyak ditemukan di pedesaan pada saat ini. Selain itu, juga menghindari terbatasnya pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan hanya berdasarkan penafsiran peneliti pribadi (Sitorus. 1999)
3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. Metode Triangulasi
Metode triangulasi merupakan model pengumpulan data di lapangan dengan menggunakan kombinasi beberapa metode yaitu obervasi lapang, wawancara (wawancara terstruktur dan wawancara mendalam) dan studi dokumen. Ketiga metode tersebut dikombinasikan dengan tujuan untuk saling melengkapi kelemahan masing-masing metode. Observasi lapang dilakukan dengan mengamati sejumlah realitas sosial atau kasus di lapangan berkaitan dengan kondisi kehidupan petani, baik aspek penguasaan lahan, sistem pola nafkah dan pola perubahan yang terjadi di dalamnya. Kegiatan ini dapat dilakukan secara mandiri (sendiri oleh peneliti) atau dengan model observasi berpartisipasi, yaitu dengan melibatkan subyek penelitian (petani atau rumahtangga petani).
Wawancara mendalam dilakukan dengan responden penelitian yang dipilih secara sengaja baik yang berada di lokasi penelitian, maupun di luar lokasi penelitian (umumnya di desa-desa sekitar lokasi penelitian). Kegiatan wawancara ditujukan untuk mengetahui dan memahami realitas sosial atau kasus tertentu berdasarkan pemahaman subyek penelitian, seperti kondisi rumahtangga, sistem pola nafkah, model-model kelembagaan penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian, makna tanah serta peran kekuatan eksternal (pemerintah dan NGO’s). Kegiatan ini dapat dilakukan kepada sejumlah responden penelitian dan tokoh masyarakat atau petani. Penetapan responden dalam wawancara melalui metode snowballing, yaitu berdasarkan informasi antar responden di lokasi penelitian.
Studi dokumen dilakukan melalui strategi penelusuran sejumlah dokumen tertulis. Dokumen yang ditelusuri dapat berupa dokumen sejarah dan lainnya yang
bersifat formal maupun informal, seperti cerita
penelitian). Studi dokumen dapat dilakukan di wilayah lokasi penelitian (misalnya, BPS, Perpustakaan Pemda, BPN, Dokumen NGO mitra, Perguruan Tinggi Lokal dan intansi lainnya) dan di luar lokasi penelitian (instansi
internet).
3.3.2. Metode Focus Group Discussion
Metode FGD ditujukan untuk mendapatkan data mengenai aspek tertentu. FGD dilakukan dalam bentuk diskusi kelompok terarah yang melibatkan sejumlah orang (10 15 orang) dengan peneliti sebagai fasilitator. FGD dapat
baik karena pertimbangan topik data yang hendak dikumpulkan maupun luasan dari peserta yang terlibat (covarage area
pada tingakatan rumahtangga petani khususnya petani yang Tani Lokal (OTL) Banjaranyar II
Gambar 3.1. Suasana FGD dengan Masyarakat 3.3.3. Participatory Poverty Assesment
Participatory Poverty Assesment
ukuran lokal tentang tingkat kesejahteraan menurut masyarakat sendiri. PPA sendiri akan dilakukan di OTL setelah diketahui ukuran untuk masyarakat golongan
sedang dan rendah. Hal ini dilakukan untuk meng
dilakukan masyarakat mampu meningkatkan kesejahteraan
bersifat formal maupun informal, seperti cerita-cerita mengenai sejarah lokal (desa i dokumen dapat dilakukan di wilayah lokasi penelitian (misalnya, BPS, Perpustakaan Pemda, BPN, Dokumen NGO mitra, Perguruan Tinggi Lokal dan intansi lainnya) dan di luar lokasi penelitian (instansi –instansi terkait, termasuk dari
Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah)
Metode FGD ditujukan untuk mendapatkan data mengenai aspek tertentu. FGD dilakukan dalam bentuk diskusi kelompok terarah yang melibatkan sejumlah orang (10 15 orang) dengan peneliti sebagai fasilitator. FGD dapat dilakukan lebih dari satu kali, baik karena pertimbangan topik data yang hendak dikumpulkan maupun luasan dari
covarage area). Dalam kegiatan ini, kegiatan FGD akan dilakukan
pada tingakatan rumahtangga petani khususnya petani yang tergabung dalam Organisasi Banjaranyar II dan Pasawahan II.
Gambar 3.1. Suasana FGD dengan Masyarakat
Participatory Poverty Assesment (PPA)
Participatory Poverty Assesment (PPA) dilakukan untuk mengetahui ukuran
ukuran lokal tentang tingkat kesejahteraan menurut masyarakat sendiri. PPA sendiri akan dilakukan di OTL setelah diketahui ukuran untuk masyarakat golongan sejahtera
. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah reklaiming tanah yang dilakukan masyarakat mampu meningkatkan kesejahteraan (lihat Lampiran 7).
cerita mengenai sejarah lokal (desa i dokumen dapat dilakukan di wilayah lokasi penelitian (misalnya, BPS, Perpustakaan Pemda, BPN, Dokumen NGO mitra, Perguruan Tinggi Lokal dan instansi terkait, termasuk dari
Metode FGD ditujukan untuk mendapatkan data mengenai aspek tertentu. FGD dilakukan dalam bentuk diskusi kelompok terarah yang melibatkan sejumlah orang
(10-dilakukan lebih dari satu kali, baik karena pertimbangan topik data yang hendak dikumpulkan maupun luasan dari ). Dalam kegiatan ini, kegiatan FGD akan dilakukan tergabung dalam Organisasi
(PPA) dilakukan untuk mengetahui ukuran-ukuran lokal tentang tingkat kesejahteraan menurut masyarakat sendiri. PPA sendiri
sejahtera, tanah yang
3.3.4. Metode Survey dengan Kuesioner
Kuesioner, selain digunakan sebagai panduan pertanyaan ketika melakukan indepth interview, juga diharapkan nantinya dapat meng-cover untuk menampilkan pengaruh sertifikasi terhadap perubahan struktur pemilikan dan penguasaan lahan serta peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani yang menggarap, karena didalam kuesioner yang dipakai, lokus dominannya memang ditujukan untuk melakukan analisis Usaha Tani Rumah Tangga.
3.4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di OTL Banjaranyar II Desa Banjaranyar dan OTL Pasawahan II Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pemilihan ini didasarkan pada kenyataan bahwa kedua desa telah melakukan reklaiming lahan dengan perbedaan mendasar; yaitu bahwa OTL Banjaranyar II sudah memperoleh sertifikat, sedangkan OTL Pasawahan sampai saat ini belum mendapatkan sertifikat. Perbedaan paska reklaiming ini (sertifikat dan belum sertifikat) dianggap sebagai faktor penting dalam menganalisis struktur kepemilikan dan penguasaan lahan serta kesejahteraan masyarakatnya.
Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan selama lima bulan mulai Bulan Maret 2010 hingga bulan Juli 2010. Kegiatan yang dilakukan selama rentang waktu penelitian meliputi (1) Pra-studi lapang (penyusunan instrumen penelitian), (2) Kegiatan
studi-lapang (survey, obrservasi, wawancara mendalam, studi dokumen, dan focus group
discussion-FGD) dan (3) Pasca studi-lapang (penulisan laporan penelitian).
3.5. Teknik Pemilihan Resonden dan Informan
Salah satu teknik pengambilan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan terhadap responden dan
informan; responden adalah sumber data tentang keragaman dalam gejala-gejala, berkaitan dengan perasaan, kebiasaan, sikap, motif, dan persepsi; sedangkan informan adalah sumber data yang berhubungan dengan pihak ketiga dan data tentang hal-hal yang melembaga atau gejala umum (Sitorus, 1998). Dalam penelitian ini, pemilahan antara informan dan responden tidak dilakukan secara ketat, subyek yang diwawancara diundang untuk membicarakan apa yang mereka pahami mewakili diri mereka sendiri sebagai pribadi yang unik dan juga untuk membicarakan kondisi yang terjadi di sekitar kehidupan mereka.
Pemilihan informan dan responden dalam melakukan wawancara mendalam dilakukan dengan teknik bola salju (snowball). Dalam teknik ini, peneliti berusaha untuk mengenal beberapa informan kunci dan meminta mereka memperkenalkan peneliti kepada informan lain. Wawancara dilakukan terhadap sebanyak mungkin subyek penelitian sampai pada titik jenuh informasi, di mana tambahan responden/ informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru.
Merujuk kepada kepentingan penelitian ini yang akan melihat tingkat kesejahteraan rumahtangga petani di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II. Maka pemilihan sampel dilakukan dengan pengambilan sampel acak distratifikasi (Stratified
Random Sampling) yaitu populasi yang bersangkutan di bagi-bagi dalam lapisan-lapisan
(strata) yang seragam, dan setiap lapisan dapat diambil secara acak (Singarimbun dan Effendi, 2006).
1. Pemilihan Kabupaten dan Kecamatan dilakukan secara sengaja karena lokasi ini menjadi salah-satu basis gerakan tani yang sering disebut SPP (Serikat Petani Pasundan).