• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Rencana Penerapan Program

BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE), DAN ARAH TRANSFER

7.2. Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Rencana Penerapan Program

7.2.1. Dampak Sosial

Rencana penerapan Program Pembaruan Agraria Nasional ini memberikan dampak sosial terhadap masyarakat OTL Pasawahan II. Dampak itu adalah masyarakat merasa sangat senang karena apa yang mereka tunggu selama ini akan terwujud, dalam hal ini perjuangan mereka terhadap tanah akan segera dilegalkan. Disamping suka cita tersebut, ternyata muncul dampak lainnya. Seperti sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, rencana pemberian sertifikat ini menimbulkan ketegangan antara masyarakat OTL dengan para pendamping SPP. Ketegangan ini dilatarbelakangi oleh bentuk sertifikat yang akan mereka terima. Pendamping menginginkan sertifikat yang diberikan berupa sertifikat kolektif. Mereka khawatir kejadian di OTL Banjaranyar II terulang kembali di sini. Namun sebagian masyarakat tetap ingin sertifikat tersebut diberikan pada masing-masing individu. Mereka beralasan, apa yang dikhawatirkan pendamping sangat tidak beralasan karena bubar atau tidaknya SPP di suatu tempat tergantung manajemen dan kemauan masyarakat itu sendiri. Ketegangan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi karena diantara keduanya hanya terjadi salah paham. Dengan komunikasi yang baik dan pemberian pemahaman yang lebih mendalam, ketegangan tersebut kana segera terselesaikan.

7.2.2. Dampak Terhadap Perubahan Struktur Kepemilikan dan Penguasaan Tanah

Berbeda dengan kasus di OTL Banjaranyar II, perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah di OTL Pasawahan II hanya dibagi menjadi dua fase. Fase pertama (Pra SPP) dan fase kedua (pasca reklaiming). Fase pertama adalah fase di mana masyarakat belum tergabung dengan SPP. Tanah yang mereka miliki berupa tanah

warisan maupun tanah yang mereka beli dan berada di luar tanah reklaiming. Frekuensi pemilikan tanah yang dibedakan dalam tiga kategori (sempit, sedang, luas) dapat dijelaskan melalui tabel 7.5. berikut ini:

Tabel 7.5. Luas Pemilikan Tanah Pra SPP di OTL Pasawahan II Frequency Percent Valid

Percent Cumulative Percent Valid Sempit 25 83.3 83.3 83.3 Sedang 5 16.7 16.7 100.0 Total 30 100.0 100.0

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebelum bergabung dengan SPP sebanyak 25 dari 30 orang responden (83,3 persen) memiliki tanah dengan kategori sempit. Sisanya sebanyak lima orang responden (16,7 persen). Disini sama sekali tidak terdapat responden yang memiliki tanah dengan kategori luas.

Fase kedua adalah fase di mana masyarakat sudah tergabung dengan SPP (OTL Pasawahan II). Pada fase ini masyarakat SPP secara bersama-sama melakukan reklaiming terhadap tanah perkebunan yang pada dasarnya sudah habis masa berlakunya. Setelah melakukan reklaiming ini, terjadi peningkatan yang signifikan dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari tabel 7.6. berikut ini:

Tabel 7.6. Luas Pemilikan Tanah Pasca Reklaiming di OTL Pasawahan II Frequency Percent Valid

Percent Cumulative Percent

Valid

Sempit 8 26.7 26.7 26.7

Sedang 15 50.0 50.0 76.7

Luas 7 23.3 23.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Berdasarkan data yang disajikan Tabel 7.6. di atas. Perubahan signifikan dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah terjadi pada kategori tanah yang luas dari sebelumnya tidak ada satu orang respondenpun menjadi tujuh orang responden (23,3 persen). Peningkatan juga terjadi pada golongan responden dengan kategori tanah sedang menjadi 15 orang responden (50 persen). Sedangkan jumlah responden yang memiliki tanah berkategori sempit turun menjadi delapan orang responden (25,7 persen). Dari sini terlihat bahwa upaya reklaiming yang dilakukan masyarakat terbukti tepat sasaran.

7.2.3. Dampak Kesejahteraan

Membandingkan kesejahteraan masyarakat antara OTL Pasawahan II dengan OTL Banjaranyar II sebenarnya kurang begitu relevan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, dari luasan tanah yang dimiliki dan dikuasainya berbeda jauh. Di OTL Banjaranyar II, luas tanah yang dimiliki rata-rata hanya berkisar 70-350 bata. Artinya, kebanyakan masyarakat OTL Banjaranyar II hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar. Sedangkan di OTL Pasawahan II per-kepala mendapatkan tanah sebanyak 75 atau 175 bata – tergantung keinginan menggarap tanah bagian “dalam” bagian atau “luar". Jika dalam satu keluarga ada 3-4 orang dan semuanya memilih tanah bagian dalam, maka dalam satu keluarga itu akan menguasai tanah sebanyak 600 bata. Kedua, kondisi tanah yang ada di kedua tersebut. Kondisi tanah di OTL Pasawahan II relatif lebih subur sehingga apa yang akan ditanam masayarakat kemungkinan besar bisa

tumbuh seperti yang diharapkan. Terbukti dengan berhasilnya mereka menikmati hasil panen tanaman jangka panjangnya. Sedangkan di OTL Banjaranyar II, selain tanahnya yang sempit, kondisi tanahnya tidak subur dan banyak berupa cadas. Ketiga, selain pengeluaran bahan pokok (yang dianggap relatif sama), di OTL Pasawahan II pengeluaran untuk pertanian akan lebih sedikit karena mereka tidak menggunakan pupuk untuk tanah darat mereka, sesuai dengan pengakuan salah satu responden:

“….da tara di gemuk, keun we kitu..” (..tidak pernah (diberi) pupuk, diarkan begitu saja)

Berbeda dengan yang terjadi di OTL Banjaranyar II yang harus mengeluarkan biaya pupuk untuk bisa menggarap di tanah darat mereka.

Berdasarkan indikator-indikator yang sudah disusun sebelumnya, dapat dilihat bagaimana tingkat kesejahteraan di OTL Pasawahan II ini. Kesejahteraan masyarakat di OTL Banjaranyar II dapat dijelaskan melalui Tabel 7.7. berikut ini:

Tabel 7.7. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di OTL Pasawahan II

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Rendah 5 16.7 16.7 16.7 Sedang 19 63.3 63.3 80.0 Sejahtera 6 20.0 20.0 100.0 Total 30 100.0 100.0

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan indikator yang ditentukan oleh masyarakat sendiri, ternyata sebanyak 16,7 persen responden berada dalam tingkat kesejahteraan yang rendah, 63,3 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan sedang dan hanya 20 persen responden berada pada tingkat kesejahteraan yang tinggi (tergolong sejahtera). Hal ini dapat dipahami, karena dengan indikator yang mereka buat, tidak memungkinkan seluruhnya terpenuhi. Misalnya, ketika ada responden dengan tanah yang luas, belum tentu ia tergolong sejahtera. Hal ini terjadi karena

indikator lainnya tidak dipenuhi secara maksimal karena ia merasa itu bukanlah sesuatu yang penting untuk ia penuhi. Secara umum, jika hendak dibandingkan, kesejahteraan masyarakat di OTL Pasawahan II lebih tinggi daripada masyarakat di OTL Banjaranyar II.