• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM,

6.3. Pelaksanaan PPAN di Kabupaten Ciamis

6.3.2. Mekanisme Pelaksanaan PPAN di Banjaranyar

Di kasus Banjaranyar, yang terjadi disana bukanlah “legalisasi” tanah melainkan berupa penyelesaian sengketa antara Mulya Asli dengan masyarakat. Prosesnya dimulai ketika ada permohonan perpanjangan HGU oleh PT. Mulya Asli namun setelah dilakukan penelitian terhadapnya ternyata tanah HGU tersebut sudah ada masyarakat yang menggarapa lahannya. Oleh karena itu BPN meminta PT. Mulya Asli untuk melepaskan + 70 hektar lahan yang kemudian dibagikan pada sekitar 556 penggarap.

Lama penyelesaian sengketa + 1 tahun melalui proses mediasi. Prosesnya pertama, diberikan dulu kebebasan PT. Mulya Asli untuk menyelesaikan sengketa sendiri dengan masyarakat. Namun mereka tidak mampu menyelesaikannya, sehingga BPN turun tangan. Hal ini bisa berhasil karena jika PT. Mulya Asli tidak mau melepaskan lahannya maka HGUnya tidak akan diperpanjang (prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan persengketaan dengan Kehutanan). Luas lahan PT. Mulya Asli ini sekitar 369 hektar. Hal ini dapat dilihat dari keterangan salah satu birokrat Kanwil BPN Jawa Barat yaitu Bapak J, berikut ini:

“…Proses penyelesaian sengketa dilakukan melalui proses mediasi dengan cara mengundang pihak-pihak yang bersengketa – dalam hal ini masyarakat dengan PT. Mulya Asli – untuk duduk berdampingan dan berusaha menyesaikan masalahnya secara kekeluargaan..”

Pernyataan ini berbeda dengan apa yang disampaikan warga, mereka tidak pernah merasa bertemu dengan pihak perkebunan. Yang mereka lakukan hanyalah upaya melalui aksi-aksi yang mereka lakukan. Sedangkan dengan pihak perkebunan sendiri tidak pernah ada pertemuan yang membahas pelepasan tanah tersebut. Mereka hanya dihubungi oleh pihak BPN bahwa mereka termasuk daerah yang mendapatkan program PPAN yang kemudian mereka dimintai data nominatifnya.

6.3.2.2. Penetapan Obyek

Status tanah di Kabupaten Ciamis, khususnya di Desa Banjaranyar adalah tanah bekas HGU yang terdaftar atas nama PT Mulya Asli dikenal dengan nama Hak Guna Usaha Nomor 2/Cigayam, yang telah berakhir masa berlakunya. Tanah yang dilepaskan oleh PT. Mulya Asli telah ditegaskan menjadi tanah negara berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia c.q. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Nomor : 1281 – 310.3 – D III tanggal 23 April 2007.

Pada areal seluas 69,59 hektar, oleh masyarakat penggarap telah diusahakan menjadi areal pertanian dan permukiman. Oleh pemerintah, tanah tersebut ditegaskan menjadi Tanah Objek Landreform (TOL) dan diredistribusikan kepada masyarakat (para penggarap). Lokasi tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai lokasi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), yang selanjutnya dilakukan sertifikasi dengan pembiayaan melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA).

Lama penyelesaian sengketa lahan eks HGU PT.Mulya Asli kurang lebih memakan waktu satu tahun melalui proses mediasi. Proses mediasi diawali dengan BPN memberikan ruang kepada PT. Mulya Asli untuk menyelesaikan sengketa lahan yang berada di areal klaim HGU dengan masyarakat sebelum SK Perpanjangan HGU dikeluarkan dengan prinsip clean and clear. Namun proses dialog antara PT. Mulya Asli dengan masyarakat tidak mencapai kata mufakat, sehingga mendorong BPN terlibat dalam proses negosiasi. Dengan kondisi belum adanya status clean and clear di areal tersebut, kemudian BPN mendesak agar lahan yang menjadi sengketa untuk dilepaskan dari areal HGU. Menurut penuturan salah seorang aparatur BPN Ciamis, pelaksanaan legalisasi aset tanah untuk masyarakat dan penyelesaian sengketa di areal eks HGU swasta relatif lebih mudah jika dibandingkan di areal garapan perusahaan Kehutanan milik negara. Berdasarkan penuturan Kepala Kantah Ciamis berikut ini:

“Pelaksanaan redistribusi tanah di Banjaranyar ini tidak ada hambatan yang berarti karena tanah tersebut memang telah ditetapkan sebagai tanah untuk redist, jadi BPN Ciamis hanya tinggal meredistribusi saja. Lahan di Banjaranyar ini sebelumnya merupakan tanah yang direklaiming oleh SPP”.

Redistribusi tanah HGU kepada petani Desa Banjaranyar (OTL Banjaranyar II) ini adalah 20 persen dari total luasan HGU yang dikuasai oleh PT. Mulya Asli (348 Ha). Luasan tanah yang dilepaskan dan diberikan haknya kepada petani hanya setengah dari

total luasan yang diusulkan oleh petani OTL Banjaranyar II (150 hektar). Adapun secara kronologis, proses pemberian hak di Banjaranyar dapat dijelaskan berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pegawai Kantor Pertanahan Ciamis (Bapak Kustiawan):

“Ada permohonan dari masyarakat kemudian masyarakat bawa daftar nominatif, masyarakat membawa Surat ke BPN RI (kebetulan ada program PRONA pada saat itu). Selanjutnya ada koordinasi antara PT. Mulya Asli dengan BPN yang kemudian BPN menurunkan 4 tim untuk melakukan penelitian dengan landasan hukum PP 12 tahun 1992 tentang PMNA (saat ini sudah diperbaharui dengan SK BPN RI no. 7 tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah. Terakhir, keluarlah SK Kepala Kantor Pertanahan Ciamis tentang Pemberian Hak Milik berupa Sertifikat.”

6.3.2.3. Penetapan Subyek

Inisiasi awal pemberian sertifikat adalah adanya permohonan dari penggarap, disamping itu juga ada permohonan perpanjangan HGU. Kemudian BPN menindaklanjutinya. Dalam melaksanakan tugasnya, BPN bersifat pasif yang artinya BPN hanya melakukan pemberian hak ketika ada permohonan.

“….BPN itu bersifat aktif [sic!], ketika ada laporan/permohonan baru ditindaklanjuti, kalau gak ada yang daftar mah ya diam aja. Pasif gitu…”

Program PPAN di desa ini merupakan pengembangan model reforma agraria yang tergolong sederhana. Obyek dan subyek reforma agraria telah berada di lokasi yang sama. Dengan mengacu kepada mekanisme asset reform yang dijelaskan pada Bab 2, maka kondisi di desa ini mewakili Model III (S ↔ O). Dalam model ini, maka obyek yang menjadi calon lokasi PPAN pada dasarnya secara de facto sudah dikuasai oleh masyarakat. Dengan demikian, penataan asset reform yang dilakukan sesungguhnya lebih merupakan bentuk penguatan hak masyarakat melalui redistribusi atas tanah yang

statusnya adalah TOL. Meskipun ada penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah, penataan itu dilakukan oleh masyarakat melalui musyawarah di tingkat mereka sendiri (lihat Tabel 5.2.).

Ciamis sudah membentuk Tim Terpadu Penyelesaian Masalah Pertanahan di tingkat Pemda dan Agustiana – Sekjen SPP – ini duduk sebagai wakil ketua, ketuanya Bupati Ciamis dan BPN termasuk di dalamnya sebagai anggota. Berikut potongan wawancara dengan Bapak Mukti mengenai pembentukan Tim Terpadu ini:

“….jadi di Ciamis mah sudah enak, kalo ada masalah apa-apa tinggal duduk bersama. Kalau dulu kan sering sekali demo. Jadi dengan adanya tim ini, apalagi Pak Agus duduk sebagai wakil ketua, Alhamdulillah sudah gak ada masalah lagi…”