• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFORM DARI BAWAH

5.2. Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Pasawahan II

Berbicara soal pola penguasaan tanah yang terjadi di Desa Pasawahan (khususnya OTL Pasawahan II) tidak bisa dilepaskan dengan hubungan antar subyek-subyek agraria yang ada di sana. Hubungan ini kemudian akan mempengaruhi pola penguasaan tanah di sana, seperti sejarah penguasaan tanah di OTL Pasawahan II, sistem produksi dan kelembagaannya, dan juga terkait dengan berbagai pihak yang ada di kedua OTL tersebut serta kepentingan-kepentingan yang dibawanya.

Menurut Sitorus (2002), subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam perjalanannya, hubungan ini akan menimbulkan bentuk-bentuk dari kepentingan sosial-ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan pengusaaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria tersebut.

Berdasarkan pernyataan di atas, subyek agraria di OTL Pasawahan II dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (masyarakat lokal), pemerintah (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ciamis – BPN Ciamis), dan pihak swasta (PT. Cipicung). Meskipun tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam hubungan ini terdapat pihak lain yang ikut terlibat, antara lain Serikat Petani Pasundan (SPP) sebagai wadah organisasi masyarakat dan lembaga-lembaga lainnya.

Kasus OTL Pasawahan II, hubungan antar subyeknya dimulai ketika masyarakat yang mengetahui bahwa HGU PT. Cipicung telah habis, berusaha untuk memperoleh tanah guna memenuhi kebutuhannya. Peran pemerintah disini meskipun belum ada upaya nyata, namun kasus PT. Cipicung ini sudah mendapatkan perhatian dan

direncanakan akan dilakukan program serupa seperti kasus Banjaranyar. Lingkup hubungannya dapat dilihat pada gambar 5.2 berikut ini:

Gambar 5.2. Lingkup Hubungan Agraria di OTL Banjaranyar II Keterangan:

Hubungan Teknis Agraria Hubungan Sosio Agraria

5.2.1. Sejarah Penguasaan Tanah Skala Luas Oleh Perkebunan

Berbeda dengan kasus di OTL Banjaranyar II, riwayat penguasaan tanah di Desa Pasawahan – khususnya kasus OTL Pasawahan II – belum menemui titik temu. Tanah-tanah yang ada di daerah ini masih berupa Tanah-tanah sengketa. Di OTL Pasawahan II ini sengketa tanah terjadi antara masyarakat anggota OTL Pasawahan II dengan PT. Cipicung. Permasalahan muncul ketika HGU yang dikuasai oleh PT. Cipicung habis pada tahun 1993 namun pihak perusahaan masih menggarap tanah tersebut. Sedangkan masyarakat juga membutuhkan tanah untuk menopang kehidupannya. Riwayat penguasaan tanahnya12 adalah bahwa:

12 Diambil dari laporan sistema s: Di nami ka Tat a Kuasa, Tat a Kel ol a dan Tat a Pr oduksi di DAS Ci tanduy: Inisia f Rakyat dal am Pemb angunan Sumb er -Sumb er Penghi dupan Ber kel anj ut an. Saj ogj o Ins tute dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional tahun 2009. Halaman 26.

Pemerintah

Masyarakat PT. Cipicung

1. HGU Nomor 1 bekas erfpacht Nomor 158 Desa Pasawahan dan HGU bekas erfpacht Nomor 165 Desa Kersaratu, atas nama Mohammad Suleman, dikuasai dan dimiliki oleh PT. Cipicung Pasawahan.

2. Penguasaan tanah tersebut berdasarkan Jual Beli dari NV. Tambaksari pada Tanggal 6-12-1956 Nomor 31 yang telah berakhir sampai Tanggal 15-8-1986, 17-7-1993 dan 8-9-1990.

Permohonan perpanjangan HGU nya dilakukan pada Tanggal 11-3-1998 Nomor 060/CP/III/1998 dan diperbaharui permohonannya pada Tanggal 3-4-1998 berdasarkan Rekomendasi Bupati Tanggal 10-01-1992 dan Rekomendasi Dinas Perkebunan Tanggal 30-7-1998, serta Fatwa dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat Tanggal 19-3-1998 Nomor 540-2593 (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009).

5.2.2. Awal Mula Penguasaan Petani atas Lahan Perkebunan

Sebelum pelaksanaan reklaiming oleh masyarakat, tanah di Desa Pasawahan dikuasai oleh pihak perkebunan swasta. Terdapat dua perkebunan yang beroperasi di Desa Pasawahan ini, yaitu PT. RSI dan PT. Cipicung. PT. Cipicung pada awalnya merupakan perusahaan perkebunan yang dimiliki oleh pengusaha pemerintah kolonial. Disini pekerja perkebunan diambil dari masyarakat yang tinggal disekitar areal perkebunan.

Setelah peristiwa bumi hangus, berakhirlah penguasaan oleh pihak kolonial. Kemudian PT. Cipicung diambil alih oleh pengusaha lokal dari Tasikmalaya yaitu Eman Dollar. Berbeda dengan penguasaan oleh pemerintah kolonial, pada masa ini masyarakat lokal sudah mulai jarang bekerja sebagai tenaga kerja perkebunan. Sebagian dari mereka lebih banyak memilih bekerja di tanah sendiri, menjadi buruh di tanah

orang lain atau bekerja di luar desa. Tenaga kerja perkebunan justru lebih banyak di datangkan dari luar desa (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009).

Luas tanah yang dikuasai oleh PT. Cipicung yang berada di Desa Pasawahan adalah sebanyak 200 hektar13. Komoditas utama yang diusahakan PT. Cipicung adalah tanaman karet. PT. Cipicung sebenarnya memberikan kebebasan kepada masyarakat di sekitar areal perkebunan untuk menggarap di sela-sela pohon karet. Tanaman yang boleh di tanam disana adalah semua jenis tanaman yang tidak mengganggu tanaman karet dan diutamakan tanaman-tanaman jangka pendek seperti umbi-umbian. Hal ini dilakukan karena jika masyarakat menanam tanaman jangka panjang, pihak perkebunan khawatir tanah tersebut kemudian diklaim oleh masyarakat sebagai tanah miliknya. Mengacu pada hasil Riset Sistematis SAINS-STPN tahun 2009, sistem yang diberlakukan untuk petani yang melakukan penggarapan di tanah HGU PT. Cipicung adalah sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah 80:20, petani mendapatkan bagian 80 persen dari hasil panen sedangkan 20 persen diserahkan kepada perusahaan. Hal ini juga didukung oleh pengakuan salah seorang informan sebagai berikut:

“…ari tangkal kalapa mah ulah, bisi dijadikeun ciri ku anak cucu maneh engkena. Kitu cenah ceuk pa Mandor basa itu….”

(jangan pohon kelapa, takutnya dijadikan tanda – pemilikan tanah – oleh anak-cucumu nantinya. Begitu kata Pa Mandor waktu itu)

5.2.3. Konflik dan Aksi Perlawanan

Tahun 2002 mulailah perjuangan me-reklaim tanah kasus PT. Cipicung ini. Perjuangan dimulai dengan melakukan pengukuran-pengukuran di tanah perkebunan14

13 Data Nominatif Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, SPP, tahun 2009 14

Pada tahun ini produksi karet masih berlangsung walaupun HGU PT. CIpicung sudah habis pada tahun 1993. Hal inilah yang – mungkin – dimaksud Agustiana bahwa kasus CIpicung ini akan sangat mudah

dan melakukan pengkaplingan terhadap tanah-tanah perkebunan serta melakukan penebangan pohon karet milik perkebunan. Para pekerja perkebunan terheran-heran dengan apa yang dilakukan warga. Proses pengkaplingan ini dilakukan secara bersama-sama oleh warga dan kemudian membaginya kepada 200 orang petani anggota OTL. Pada tahun 2003 jumlah petani yang melakukan pengkaplingan bertambah menjadi sekitar 400 orang.

Penebangan yang dilakukan petani ini kemudian diadukan pihak perkebunan ke kecamatan dan kemudian pihak kecamatan yang didampingi pihak kepolisian datang untuk menyelidiki apa yang terjadi. Namun petani membantah telah melakukan penebangan, mereka hanya melakukan pengukuran-pengukuran tanah untuk melakukan sistem tumpang sari dengan pihak perkebunan.

5.3. Pelaksanaan Landreform dari Bawah (By Leverage) di OTL Banjaranyar II