BAB VII DAMPAK LANDREFORM DARI BAWAH (BY LEVERAGE), DAN ARAH TRANSFER
7.1. Dampak Landreform Dari Bawah (By Leverage) dan Program Pembaruan Agraria
7.1.1. Dampak Sosial
Pemberian sertifikat ini memberikan dampak bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Banjaranyar. Dampak sosial yang dimaksud adalah perubahan pada kehidupan sosial masyarakat disini maksudnya adalah perubahan sikap masyarakat terhadap perjuangan akan lahan serta perubahan sikap mereka akan organisasi SPP itu sendiri. Berkembang pandangan di SPP Ciamis bahwa OTL Banjaranyar II mengalami penurunan partisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan SPP. Opini yang beredar bahwa setelah mendapatkan rakyat maka OTL Banjaranyar II tidak memiliki minat lagi dalam perjuangan-perjuangan SPP lainnya. Sebagai contoh, mereka tidak aktif mengirimkan anggotanya jika ada aksi-aksi yang diprakarsai SPP, begitupun dengan rapat-rapatnya.
Gambar 7.1. Sertifikat Hak Milik
Menurut koordinator OTL setempat, masyarakat anggota OTL Banjaranyar ini merasa perjuangan mereka dalam memperjuangankan hak atas tanah ini selesai setelah
mereka mendapat sertifikat. Di samping itu, masyarakat merasa tertekan dengan banyaknya pungutan yang dibebankan pada mereka. Mereka menganggap SPP tidak adil dalam memberlakukan sumbangan-sumbangan. Sebagai contoh, masyarakat mengeluhkan besarnya sumbangan untuk melakukan aksi yang biasanya dipukul rata. Menurut masyarakat, pungutan yang diminta oleh SPP itu seharusnya jangan ditetapkan berdasarkan jumlah anggota di OTL, tetapi harus berdasarkan luasan tanah yang dikuasai dalam satu OTL. Hal ini kemudian menimbulkan semacam kecemburuan. Menurut beberapa responden, beban mereka yang berupa sumbangan tersebut bisa dari beberapa sumber, antara lain pajak desa, organisasi desa, pajak sertifikat, dan iuran SPP jika sewaktu-waktu ada kegiatan. Hal ini sangat membebani masyarakat, selain luas tanah yang tidak seberapa serta pengeluaran yang juga terus meningkat. Apalagi jika tanaman mereka mulai diserang hama. Tanah yang tidak seberapa tersebut menjadi benar-benar tidak menghasilkan. Implikasinya, masyarakat menjadi ”jenuh” untuk terus bergabung dengan SPP.
Setelah pemberian sertifikat, terjadi konsentrasi pemilikan tanah. Artinya, terkumpulnya tanah dalam jumlah yang sangat luas di satu orang. Hal ini terjadi akibat adanya transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh masyarakat anggota OTL Banjaranyar II. Konsentrasi tanah ini biasanya terjadi di kalangan elit, baik elit SPP maupun elit desa. Namun, hal ini bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak karena ada juga masyarakat non-elit yang menguasai tanah dalam jumlah yang banyak. Setelah ditelusuri, konsentrasi tanah ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang orang tersebut sebelum bergabung dengan SPP. Jika orang itu sebelumnya memiliki tanah, maka peluang untuk mengakumulasi tanah semakin besar. Dan ini yang terjadi di OTL Banjaranyar II.
Kondisi ini turut mendorong rumah tangga petani lainnya, ketika mereka terdesak secara ekonomi, maka sertifikat pun menjadi jalan keluar, yakni dijual atau di gadai. Kondisi ini menyebabkan penumpukan kekayaan terjadi hanya di sebagian elit dan pemilik modal. Di sisi yang lain, tingkat partispasi anggota menjadi menurun karena kehilangan kepercayaan terhadap cita-cita perjuangan organisasi.
Sebenarnya sebelum sertifikasi dibagikan kepada masyarakat, transaksi jual beli lahan garapan sudah terjadi di desa Banjaranyar, saat sertifikasi sudah dibagikan hal ini memperlancar proses transaksi tersebut, jika dahulu polanya tanah plus tanamannya, saat ini disertai dengan sertifikat sah, hal ini tentunya menambah nilai jual pada tanah tersebut (lihat lampiran 8 dan 9). Hal ini dapat dimaklum i terjadi saat, masyarakat mendapatkan tanah pada kondisi perekonomian mereka yang masih terpuruk, belum ada penataan produksi, akses jalan yang belum mendukung sehingga ketika tanah didapat, kondisi nya petani tidak serta merta berangsur jauh lebih baik dalam seketika, bahkan ketika sertifikat didapatkan, tidak banyak yang bisa dilakukan pada penataan produksi, karena proses acces reform yang seharusnya berfungsi sebagai penguatan pasca pengakuan tanah tidak berjalan. Di sisi lain, melambungnya harga barang-barang konsumsi yang harus dibeli tidak terimbangi dengan hasil produksi yang dihasilkan, sehingga setiap panen, petani selalu mengalami minus (persoalan tata produksi yang tak selesai), hal ini yang menyebabkan masyarakat tidak menikmati kesejahteraan yang seharusnya didapatkan dari legalisasi tanah.
Perubahan yang begitu dirasakan masyarakat adalah adanya rasa tenang dalam menggarap tanah serta masyarakat merasa sepenuhnya sebagai warga Negara. Rasa tenang dirasakan warga karena sebelum adanya sertifikat ini, masyarakat merasa ada pihak-pihak yang “mengganggu” mereka dalam menggarap tanah guna memenuhi kebutuhan hidupnya serta tanaman yang akan ditanam terbatas pada tanaman-tanaman
yang sudah ditentukan oleh perkebunan. Sekarang, tidak ada pihak yang mengganggu mereka dalam menggarap tanah karena tanah tersebut sudah sah secara hukum menjadi milik mereka. Begitu juga dengan tanaman yang akan ditanam, mereka bebas menanam apa yang mereka inginkan yang tentu saja disesuaikan dengan keadaan tanahnya.
Selain itu, masyarakat benar-benar merasa sebagai warga Negara karena ikut membangun Negara melalui pembayaran pajak. Sebelumnya masyarakat hanya menggarap tanah tanpa ada kontribusi apapun terhadap Negara. Sekarang, dengan sudah membayar pajak, mereka merasa memberikan kontribusi atas tanah yang mereka garap. Berikut pengakuan salah seorang responden:
“…anu nyata pisan mah, tina ayana satupikat urang ngarasa tenang dina ngagarap lahan. Moal aya deui nu ngaganggu, urang bebas melak naon wae. Terus, urang ngarasa dianggep sebagai warga Negara sabab mayar pajak, jadi ikut membangun nagara lah..”
(…yang paling nyata, dengan adanya sertifikat kita merasa tenang
dalam menggarap lahan. Tidak aka nada lagi yang mengganggu, kita bebas menanam apa saja. Terus, kami merasa dianggap sebagai warga Negara sebab bayar pajak, ikut membangun Negara lah…)