• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sotong (sepia sp) Reproduksi dan Ekologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sotong (sepia sp) Reproduksi dan Ekologi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Sotong (sepia sp)

Reproduksi dan Ekologi

ILHAM ZULFAHMI C251110091

PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERAIRAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Reproduksi dan Ekologi Sotong (sepia sp)

1.Latar belakang

Cephalopoda merupakan salah satu kelas dari beberapa kelas pada filum Moluska. Kelompok ini antara lain terdiri dari cumi- cumi, sotong, nautilus dan kerabatnya. Beberapa jenis Cephalopoda memiliki nilai ekonomis penting dan merupakan salah satu sumber daya hayati penting dalam sektor perikanan laut. Cephalopoda yang hidup di perairan indonesia yang telah berhasil diiden-tifikasi mencapai 100 jenis, namun barus 24 jenis diantaranya yang memiliki nilai komersial, salah satunya adalah sotong (Sepia sp).

Ada sejumlah perbedaan yang membedakan antara sotong dan cumi cumi. Sotong (Sepia sp)

umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dengan kerangka dalamnya berbentuk pipih, dan sirip sampingnya sampai ke bagian pangkal dari kepala. Sedangkan cumi cumi umumnya memiliki bentuk yang lebih ramping dengan kerangka dalam menyerupai lidi, mempunyai sepas-ang tentakel panjsepas-ang dan sirip sampingnya cuma ada di sekitar bagian ujung ekornya. Cumi-cumi memiliki cangkang atau rangka dalam yang tersusun dari zat kitin dan tidak tajam di ujungnya, sedangkan pada sotong, cangkang atau rangka dalamnya tersusun dari zat kapur dan bagian ujungnya sangat tajam (Chikuni, 1983).

Sepia sp atau sotong mengandung nilai gizi yang cukup tinggi, mudah dicerna dan juga relatif di-gemari oleh masyarakat untuk dikonsumsi (Chikuni, 1983). Distribusinya di dunia meliputi daerah asia tenggara asia bagian utara. Di indonesia sendiri distribusi dari sotong meliputi seluruh pesisir laut indonesia dan memiliki potensi yang cukup besar.

Gambar 1. Distribusi sotong (Sepioteuthis lessoniana) di dunia

(3)

Sotong, sebagaimana Cephalopoda lainnya diduga juga memiliki komponen gizi yang besar. Le-mak yang terdapat pada sotong kaya akan asam leLe-mak tidak jenuh yang baik bagi kesehatan ma-nusia. Protein yang terkandung di dalam sotong mencapai 18 -23 %, lemak 1,0% - 2,74%, air 76,6% - 79,0% dan kandungan lysin sebesar 560 mg per gram nitrogen total ( Sudjoko, 1988).

Sotong memiliki warna yang bervariasi, tetapi biasanya sotong berwarna hitam atau coklat dan memiliki bintik-bintik pada kulitnya. Perubahan warna pada sotong mungkin saja terjadi karena pada kulit sotong terdapat tiga jenis pigmen, yaitu kromatofor, leukofor, dan iridofor. Pigmen ini berfungsi sebagai alat komunikasi sesama sotong dan sebagai kamuflase agar tidak dapat ditemu-kan oleh predator dengan cara berubah warna atau merubah tekstur kulit mereka (Jereb dan Roper 2005).

2. Reproduksi Sotong (Sepia sp) 2.1 Determinasi Seksual

Sistem reproduksi pada Sepia sp terpisah antara jantan dan betina. Selanjutnya disebutkan bahwa sistem reproduksi betina relatif sederhana yang terdiri dari ovari yang terletak pada posterior. Andy Omar (1999) menjelaskan bahwa kelas Cephalopoda betina hanya memiliki sebuah ovar-ium. Gonad dalam kantung telur dihubungkan oleh saluran kelenjar yang memproduksi kelen-jar putih telur. Telur terletak di dekat dusar ctenidia dan dibumgkus oleb semacam jelly yang dihasi1kan oleh kelenjar nidarnental . Jelly ini berfungsi untuk melindungi telur ketika diletak-kan di substrat.

Pada sistem reproduksi jantan karakteristiknya lebih kompleks, terdiri atas sebuah testis, vas deferens, organ sperrnatophora, kelenjar aksesori (prostata), kantong sperrnatopbora (kantong Needham) dan penis. Testis betbentuk seperti cerutu, terletak pada bngian posterior mantel Sperma terbentuk di dalam testis dan dilepaskan ke vas defurens yang berliku-liku, menuju ke arah anterior vesicula seminalis. Kelenjar aksesori membantu mempersiapkan sperrna menjadi spermatophore yang selanjutoya disimpan da1am ksntong Needham. Dari kantung ini spermato-phore di1epaskan ke dalam rongga mantel rnelalui sa1uran sperrna dan penis. Spermatospermato-phore

Sepia sp memiliki panjang 4.5 mm dan Iebar 0.15 mm, dimana rnassa sperrna mengisi 3/4 dari panjang total spermatophora. Semen mengalami penyempitan di bagian tengah sebingga

(4)

narn-pak terbagi dua, dimana bagian aboral lebih besar daripada bagian oral. Aparatus ejakulasi mengandung beberapa gulungan besar yang rapat sekali pada ujung oral sperrnatophora (Na-teewathana,1997).

Gambar 2. Morfologi alat reproduksi kelas Cephalopoda

2.2 Fertilisasi dan Pemijahan

Sebuah ciri utama dari cepahalopoda adalah produksi spermatophora yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar saluran kelamin jantan. Sperrnatophora ini mengandung spermatozoid yang akan disimpan untuk beberapa waktu sebelum sperma tersebut digunakan pada saat fer-tilisasi.

Pada Sotong (Sepia sp) , spermatophora dimasukkan ke dalam saluran telur, tempat terjadi fertilisasi secara internal (Andy Omar, 1999). Menurut Yuli (1998) bahwa pemijahan Sepioteuthis lessoniana pada perairan dangkal pada kedalaman 10 m sampai 25 m, kemudian melakukan migrasi kembali ke tengah laut pada akhir musim panas dan awal musim gugur.

(5)

Pemijahan Sotong (Sepia sp) menurut Yuli (2008) adalah bentuk perikanan yang didasarkan pada kelompok pemijahan dimana mereka akan beruaya ke arah pantai untuk memijah. Daerah memijah Sotong (Sepia sp) adalah teluk semi terlindung, biasanya pada perairan berpasir dengan campuran pecahan karang karang kecil. Pada umumnya setiap induk Sotong (Sepia sp) akan mati setelah memijah, namun ada beberapa yang mampu bertelur 2-3 kali (Danakusumah et al. 1995). Ditambahkan pula Sotong (Sepia sp) memijah sepanjang tahun, namun puncak pemijahan terjadi antara bulan Juni dan Juli.

Sotong (Sepia sp) umumnya meletakkan telur-telurnya dalam turnpukan­ tumpukan yang dibungkus dengan massa jelly atau kapsul yang berbentuk gulungan spiral yang tidak pernah berubah menjadi kasar atau kaku.

2.3

Fekunditas

dan Kapsul

Telur

Menurut Segawa (1987) telur-telur tersimpan dalam kapsul, dan jumlah telur yang terdapat setiap kapsul dapat mencapai 9 butir telur. Kapsul-kapsul tersebut berwama putih, lunak, mempunyai gelatin, tipis dan ternbus cahaya Kapsul-kapsul biasanya diletakkan pada substrat horizontal, terbaring di dalam air seperti ''sapu", melekat pada langit-langit batu­ batuan yang tergantung atau organisme sessile yang bercabang, atau tergantung melayang di dalam air.

Gambar 3. peletakan telur sotong pada subtrat

Jumlah kapsul dan telur yang terdapat di dalam setiap kapsul telur yang dihasilkan oleh in-duk Sotong (Sepia sp) sangat bervariasi sesuai dengan ukuran berat. Segawa (1987) mempero-leh basil penelitian terhadap Sotong Buluh (Sepioteuthis lessoniana) dimana setiap kapsul rata­

rata berisi 4,8 - 6,3 butir telur, pada setiap untaian terdapat 1 0 - 275 kapsul, dan jumlah telur yang dihasilkan dari setiap untaian berkisar 38- 1734 butir.

(6)

2.4 Perkembangan Embrio dan Penetasan

Hamzah (1997) menjelaskan tentang perkembangan ernbrio Sepioteuthis, mula-mula untaian kapsul telur herwama putih susu dan nampak bulatan yang menyerupai gelembung air. Pada hari kedua, pembentukan tunas embrio dan sekat-sekat antar telur dalam kapsul mulai tampak. Embrio dalam wujud tunas mantel mulai nampak dan dapat dilihat dengan mata telanjang pada bari keempat. Hari keenam mantel (organ) embrio dan organ kepala mulai terbentuk. Pemben-tukan jari-jari dan tentakel terjadi pada bari kedelapan dan pada bari kesepulub tentakel mulai tampak jelas. Pada hari kedua belas organ mata tampak jelas, hari keempat jelas bintik-bintik hitam mulai menyebar pada organ morfologi sebagai salah satu indikator penentuan jenisya, kemudian sirip mulai tampak jelas pada hari keenam belas. Selanjutnya pada hari kedelapan belas organ morfologi telah berkembang penuh. Ditambahkan bahwa ukuran kuning masih ter-libat besar pada saat terbentuk mantel dan kepala, namun pada saat tentakel mulai tampak jelas, ukuran kuning telur mengecil.

Gambar 4.Telur dan Juvenil Sepia sp

3.1 Ekologi Sotong (Sepia sp) 3.1.1 Habitat dan Persebaran

Menurut Nabithabhata (1996) Sotong hidup di daerahlepas pantai, terumbu karang, daerah dekat pantai dan estuaria. Roper et al (1980) menyatakan bahwa Sotong (Sepia sp) merupakan he-wan di daerah neritik yang senantiasa hidup bergerombol dan terkonsentrasi pada perairan dangkal yang mempunyai ekosistem terumbu karang dengan daerah sebaran dari permukaan sampai dengan kedalaman 100 m.

Sotong (Sepia sp) umumnya melakukan pergerakan diurnal yang berkelompok dekat dengan dasar perairan pada saat siang hari dan akan menyebar pada malam hari. Bersifat fototaksis

(7)

tif (tertarik pada cahaya), oleh karena itu sering ditangkap dengan menggunakan alat bantu ca-haya (Roper et. al, 1984).

Menurut Roper et al (1984), meskipun tidak seluruh spesies melakukan migrasi musiman, tetapi banyak spesies yang melakukannya karena reaksi terhadap perubahan suhu, terutama didaerah subtropis. Selama musim dingin biasanyaterdapat diperairan lepas pantai yang lebih dalam dan akan melakukan imigrasi kearah pantai berdasarkan kelompok ukuran yaitu individu yang beru-kuran besar berimigrasi pada permulaan musim semi, lalu diikuti individu yang uberu-kurannya lebih kecil pada musim panas, dan pada musim gugur akan kembali kearah perairan yang lebih dalam.

3.1.2 Kebiasaan Makan

Cephalopoda adalah predator yang karnivor dan berhasil dalam bersaing ! dengan ikan untuk mendapatkan makanannya. Dengan menggunakan kemampuan geraknya, kebanyakan cephalopoda memburu dan menangkap mangsa yang aktif. Pada beberapa kejadian, saat mangsa tertangkap dan dipegang dengan lengan-lengannya, cephalopoda menggigit dengan menggunakan paruh yang berbentuk tanduk dan menyuntikkan zat neuro-toxin dari kelenjar air ludah yang termodifikasi (Brusca dan Brusca, 1990).

Makanan Sotong (Sepia sp) sangat bergantung diman mereka hidup. Umunnya sotong yang berenang di dasar laut memakan hewan avertebrata yang hidup di dasar khususnya udang, keong dan kepiting. Sotong (Sepia sp) menggunakan tentakel nya untuk menangkap mangsa yang berada di perairan. Umumnya semua Cephalopoda adalah karnivora, dan mempunyai penglihatan yang tajam untuk mencari mangsa, serta menggunakan tangan atau tentakelnya untuk menangkap mangsa.

(8)

Gambar 5 . Kebiasaan Makan Sotong (Sepia sp)

3.1.3 Pertumbuhan

Pertumbuhan organisme dapat diartikan sebagai pertambahan, sedangkan perkembangan ada-lah besarnya pertumbuhan dan diferensiasi ( Forsythe dan Van Heukelem, 1987). Menurut For-sythe dan Van Heukelem (1987), pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik.

Faktor biotik yang memepengaruhi pertumbuhan : Umur

Secara umum, pada masa juvenil Sotong (Sepia sp) pertumbuhan cepat. Pada saat dewasa hanya mempertahankan berat atau tumbuh dengan lambat pada periode yang singkat karena dipengaruhi oleh reproduksi atau siklus musiman lainnya.

Jenis kelamin

Cephalopoda adalah dioecius dan pengaruh yang paling nyata dari jenis kelamin terhadap per-tumbuhan adalah dimorfisme seksual. Perbedaan ukuran jantan dan betina menjadi menyolok pada masa pertengahan hidup atau masa setelah itu hingga mendekati masa matang seksual, kemudian memijah sekali dan mati, hal ini terjadi pada betina tetapi tidak pada jantan. Jantan matang seksual lebih dulu dibanding betina dan turus mengalami pertumbuhan hingga ukuran menjadi dua kali atau tiga kali ukuran semula. Berbeda dengan jantan, betina menyelesaikan seluruh pertumbuhan sebelum matang seksual.

Makanan

Tanpa makanan tidak akan ada pertumbuhan. Baik jumlah maupun kualitas dapat mempenga-ruhi kecepetan pertumbuhan suatu organisme. Makanan yang dikonsumsi harus dalam jumlah

(9)

cukup untuk mensuplay energi dan bahan bahan untuk pemeliharan (metabolisme dan perbai-kan). kelebihan jumlah makanan yang tersedia untuk pemeliharaan digunakan untuk pertum-buhan. Makanan yang tersedia untuk pertumbuhan tergantung metabolisme hewan tersebut yang dipengaruhi oleh suhu, ukuran, energi yang digunakan untuk memproses makanan dan untuk melakukan aktifitas.

Aktivitas

Tingkat aktivitas normal Sotong (Sepia sp) yang masih muda dan berukuran kecil cenderung lebih tinggi dibandingkan hewan yang berukuran besar dan tua. Suhu yang lebih tinggi juga cenderung menghasilkan tingkat aktifitas lebih tinggi. Terdapat hubungan antara energi yang digunakan untuk metabolisme dengan aktivitas, dan harus digantikan oleh sejumlah makanan yang dikonsumsi untuk pertumbuhan.

Faktor abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan : Suhu

Suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan Sotong (Sepia sp) pada beberapa ukuran dan umur sebelum kematangan seksual. Suhu bervariasi den-gan musim, lintang dan kedalaman air. Dalam selang biokinetik suatu spesies tertentu, suhu lebih tinggi maka kecepatan pertumbuhan lebih tinggi. Agar tumbuh lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi, Sotong (Sepia sp) harus mengkonsumsi makanan relatif lebih banyak untuk mengimbangi peningkatan energi pada saat metabolisme akibat suhu tinggi. Tingkat aktivitas hewan juga cenderung meningkat dengan meningkatnya suhu se-hingga meningkatkan kebutuhan energi.

Cahaya

Di alam, cahaya memperlambat pematangan seksual Sotong (Sepia sp) atau cephalopoda den-gan menghambat sekresi kelenjar optik pada gonadotropin yang bertanggungjawab dalam pematangan gonad. Intensitas cahaya, panjang gelombang dan durasinya merupakan vari-abel penting yang menentukan seberapa lama pematangan gonad dan .reproduksi tertunda. cahaya tidak ·menentukan waktu reproduksi pada suatu musim, sehingga cahaya mem-buat pertumbuhan terus berlangsung akibat penundaan pematangan seksual.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Andy

Omar,

S. Bin. 1999. Biologi Reproduksi dan Upaya Budidaya Cephalopoda.

Maka-lah

Masalah

Khusus Reproduksi

Program

Studi Biologl Reprodukst Institut

Perta-nian B o g o r.

Brusca, R.C and G.J. Brusca. 1990. Invertebrates. Sinauer Associates. Massachusset. 922p

Chikuni, S. 1983. Cephalopod Resources in the Indo-Pacific Region. Dalam J.F Caddy (ed.). Advances in Assessment of World Cephalopod Resources. FAO Fisheries Technical Paper 231 : 264-305.

Danakusumah, E., A Mansyur, dan S. Martinus. 1995. Studi Mengeoai Aspek-aspek Biologi dan Budidaya Sepioteuthis kssoniana. L Musim Pemijaban. Prosiding Seminar Ke-lautan Nasional, 15 - 16 November 1995 di Jakarta

Forsythe, J.W and W.F. Van Heukelem. 1987. Growth. P: 135 -156. Dalam : P.R. Boyle (ed). Cepha-lopod Life Cycle. Volume II. Comparative reviews Academic Press, Inc. London.

Hamzah, M.S. 1997. Studi Perkemhsngan Embrio dsn Daya Tetas Telur Sotong Buluh Sepio-teuthisis lessoniana Lesson pada Kondisi Snbu dsn Salinitas yang Berbeda.. Ujung pan-dang. Universitas Hasanuddin.

Jereb P, Roper CFE. 2005. Cephalopods of the world. FAO Species Catalogue for Fishery Purpose

4(1):114-115.

Nabhitabhata, J. 1996. life Cycle of Cultured Big Fin Squid, Sepioteuthisis lessoniana Lesson. Phuket Marine Biological Centre Special Publication 16:83-95.

Nateewathana, A. 1997. Systematic of Cephalopoda (Mollusca) of the Andaman Sea, Thsiland, [Ph.D. dissertation). Aarhus, Denmark: University of Aarhus, Faculty of Natu-ral Science, Institute of Biological Science.

Segawa, S. 1987. Life History of the Oval Squid, Sepioteuthisis lessoniana in Kominato and Ad-jacent Water Central Honshu, Japan. Journal of the Tokyo University of Fisheries 74 (2): 67- 105.

Sudjoko, B. 1988. Cumi Cumi (Cephalopoda, Moluska) sebagai Salah Satu Bahan Makanan dari Laut. Oseana XIII (3): 97-107

Roper, C.E.F, M.J. Sweeney, and C.E. Nauen. 1984. Cephalopoda of the World: An Annotated and illustrated Catalogue of Species of Interest to Fisheries. FAO Fisheries Synopsis No. 125 Volume 3.

(11)

Gambar

Gambar 1. Distribusi  sotong (Sepioteuthis lessoniana) di dunia
Gambar 2. Morfologi alat reproduksi kelas Cephalopoda
Gambar 3. peletakan telur sotong pada subtrat
Gambar 4.Telur dan Juvenil Sepia sp
+2

Referensi

Dokumen terkait