• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN (RESEARCH FINAL REPORT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR PENELITIAN (RESEARCH FINAL REPORT)"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

(RESEARCH FINAL REPORT)

KEHADIRAN DAN KETIDAK HADIRAN PEMILIH DI

TPS (VOTER TURN-OUT) DALAM PELAKSANAAN

PEMILIHAN UMUM

Studi Pada Pileg 2014 dan Pilpres 2014 di Kota Malang

Disusun Oleh

Dr Suyitno, Drs., M.Pd

&

Team

Bekerja sama dengan

KOMISI PEMILIHAN UMUM

KOTA MALANG

(2)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

(RESEARCH FINAL REPORT)

KEHADIRANDAN KETIDAKHADIRANPEMILIH DI

TPS (VOTER TURN-OUT) DALAM PELAKSANAAN

PEMILIHAN UMUM

Studi Pada Pileg 2014 dan Pilpres 2014 di Kota Malang

Disusun Oleh:

Tim Peneliti

Nama

Jabatan

Dr. Drs. Suyitno, M.Pd.

Ketua

1. Arie Ambarwati, SP., MPd.

Anggota

2. Dian Ferriswara, SE., MM.

Anggota

Bekerja sama dengan

KOMISI PEMILIHAN UMUM

KOTA MALANG

(3)

i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas kerunia, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan akhir penelitian “Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS (Voter Turn-Out) Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum Studi Pada Pileg dan Pilpres Tahun 2014 di Kota Malang”.Laporan penelitian ini menyajikan Informasi seluruh hasil penelitian yang dilakukan.

Penulisan hasil riset ini merupakan bentuk tanggung jawab dan komitmen dari kami selaku peneliti. Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung dan memperlancar pelaksanaan seluruh kegiatan riset selama ini.

Demikian laporan penelitian ini kami sampaikan, semoga bermanfaat.Terimakasih.

Malang, Agustus 2015

(4)

ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 6 C. Tujuan Penelitian ... 6 D. Manfaat Penelitian ... 7 BAB II ... 8 TINJAUAN PUSTAKA ... 8 A. Partisipasi Politik ... 8 B. Masalah Golput ... 10

C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golput ... 13

D. Perilaku Golongan Putih (Golput) ... 15

BAB III ... 18

METODE PENELITIAN ... 18

A. Jenis Penelitian ... 18

B. Lokasi Penelitian ... 18

C. Populasi dan Sampel ... 18

D. Teknik Pengumpulan Data ... 20

E. Teknik Analisa Data ... 20

F. Sistematika Penulisan ... 20

BAB IV ... 22

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 22

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 22

(5)

iii

C. Perbandingan Tingkat Kehadiran Pemilih Pileg dan Pilpres Tahun 2009

dengan Tahun 2014 ... 31

D. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kehadiran Pemilih Pada Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden di Kota Malang ... 32

BAB V ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

A. Kesimpulan ... 41

B. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(6)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 - 1 Rekapitulasi Pemilih Pemilu Legislative tahun 2014 di Kota Malang ... 5

Tabel 1 - 2 Rekapitulasi Pemilih Pemilu Presiden Tahun 2014 di Kota Malang ... 5

Tabel 3 - 1 Sebaran Sampel Penelitian Tahun 2014 ... 19

Tabel 4 - 1 Luas Wilayah Kota Malang ... 23

Tabel 4 - 2 Jumlah Penduduk Kota Malang ... 26

Tabel 4 - 3 Sebaran dan Kepadatan Penduduk ... 26

Tabel 4 - 4 Rekapitulasi Hasil pelaksanaan pemilihan legislative tahun 2009 ... 27

Tabel 4 - 5 Rekapitulasi Hasil Pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden Tahun 2009 ... 28

Tabel 4 - 6 Rekapitulasi Kehadiran Pemilih Pada Pileg Tahun 2014 ... 30

Tabel 4 - 7 Rekapitulasi Tingkat Kehadiran Pemilih Pilpres Tahun 2014 di Kota Malang ... 31

Tabel 4 - 8 Perbandingan Angka Kehadiran Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden di Kota Malang ... 32

Tabel 4 - 9 Rekapitulasi Faktor-Faktor Ketidakhadiran Pemilih pada Pileg dan Pilpres Tahun 2014 ... 34

Tabel 4 - 10 Rekapitulasi Faktor-Faktor Ketidakhadiran Pemilih pada Pileg dan Pilpres Tahun 2009 ... 34

(7)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4 - 1 Peta Wilayah Administrasi Kota Malang ... 24

Gambar 4 - 2 Pertumbuhan Penduduk Kota Malang 1998 – 2003 ... 25

Gambar 4 - 3 Prosentase Faktor-Faktor Ketidakhadiran Pemilih ... 33

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi menyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu).Semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan.Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan.Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu.

Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi.

Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia, Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa

(9)

2

sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%. Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan Anthony Giddens (1999) dalam bukunya

Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives. “haruskah kita

menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Tentunya potensi Golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas.Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik.Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik.Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi politik sebagai:

By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective. (partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.)

Definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan

(10)

3

politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science menyatakan bahwa:

The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy (partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.)

Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai partisipasi politik adalah:

Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy).Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.

Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut diatas, secara eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core political activity yang bersifat personal dari setiap warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik.

(11)

4

Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia. Salah satu yang terjadi dari Pemilihan Umum hingga saat ini adalah tingginya angka pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan.

Tingkat partisipasi poitik pemilih dalam Pemilu di Indonesia pada Pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 % dan jumlah Golput mencapai 8,6%, pada Pemilu 1971 tingkat partisipasi politik pemilih 96,6% dan jumlah Golput mencapai 3,4 %, Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat partisipasi politik pemilih 96,5% dan jumlah Golput mencapai 3,5%, pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput 3,6%, pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1% dan jumlah Golput mencapai 4,9%, pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 93,6% dan jumlah Golput mencapai 6,4%, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 92,6% dan jumlah Golput 7,3%, pada Pemilu Legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 84,1% dan jumlah Golput 15,9%, pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2% dan jumlah Golput 21,8%, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6% dan jumlah Golput 23,4%. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah Golput semakin meningkat yaitu 29,1% dan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7% dan jumlah Golput mencapai 28,3%.

Pada pelaksanaan pemilihan umum legislative tahun 2014 di Kota Malang seperti terlihat dalam table 1-1.

Berdasarkan rekapitulasi pelaksanaan pemilihan legislative tahun 2014 di wilayah kota Malang tersebut pada Table 1-1, dapat digambarkan bahwa secara umum rata-rata tingkat keberhasilan kegiatan tersebut adalah 68%. Hal ini berarti ada 32% potensi suara yang hilang atau terbuang dengan sia-sia.

(12)

5

Tabel 1 - 1 Rekapitulasi Pemilih Pemilu Legislative tahun 2014 di Kota Malang

Uraian Pemilih Klojen Sukun Kedungkandang Lowokwaru Blimbing

DP Lk 39.637 70.634 68.591 59.660 67.191 Pr 42.788 72.339 90.712 61.268 68.753 Hasil Suara Lk 24.612 46.488 46.422 38.658 42.917 Pr 28.680 51.956 51,017 43.372 48.536 Jumlah DP 82.425 142.973 139.303 120.928 135.944 Hasil Suara 53.592 98.444 97.439 82.030 91.453 Capaian (%) 65% 68,8% 69,95% 67,8% 67,3%

Sedangkan pelaksanaan pemilihan Presiden tahun 2014 di Kota Malang seperti terlihat dalam Tabel 1-2 berikut:

Tabel 1 - 2 Rekapitulasi Pemilih Pemilu Presiden Tahun 2014 di Kota Malang

Uraian Pemilih Klojen Sukun Kedungkandang Lowokwaru Blimbing

DP Lk 40.488 72.062 69.376 59.548 67.665 Pr 44.022 74.063 71.523 61.640 69.704 Hasil Suara Lk 27.719 51.007 47.195 43.001 47.020 Pr 32.405 56.833 52.939 47.967 53.420 Jumlah DP 84.504 146.125 140.899 121.188 137.369 HasilSuara 60.124 107.840 100.134 90.968 100.440 Capaian (%) 71,1% 73,8% 71% 75,1% 73,1%

Berdasarkan rekapitulasi pelaksanaan pemilihan Presiden tahun 2014 di wilayah kota Malang tersebut di atas, dapat digambarkan bahwa secara umum rata-rata tingkat keberhasilan kegiatan tersebut adalah 73,4%. Hal ini berarti ada 26,6% potensi suara yang hilang atau terbuang dengan sia-sia. Potensi hak pilih yang tidak dimanfaatkan tersebut bisa dikategorikan pilihan golput (golongan putih).

Banyak pandangan tentang pilihan Golput tersebut dan semakin banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau

(13)

6

biasa disebut sebagai kelompok golput. Setidak-tidaknya ada beberapa hal penting tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya dengan baik.Pertama, pilihan untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja Negara (untuk pemilu) dan APB daerah (untuk pilkada). Padahal, dalam momentum pemilu maupun pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Kedua, golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai. Artinya, calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang golput. Ini mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa bahwa ia pilihan “rakyat” dan bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Justru hal ini menjadi bumerang bagi golput.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan meneliti masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu di Kota Malang. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu.

B. Rumusan Masalah

a. Mengapa angka partisipasi pemilu legislative(Pileg) tahun 2014ditinjau dari aspek kehadiran dan ketidakhadiran pemilih di TPS pada wilayah Kota Malang mengalami kenaikan dibandingkan Pileg sebelumnya?

b. Mengapa angka partisipasi pemilu Presiden (PilPres) tahun 2014ditinjau dari aspek kehadiran dan ketidakhadiran pemilih di TPS pada wilayah Kota Malang mengalami penurunan dibandingkan Pilpres sebelumnya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum:

a. Mentradisikan kebijakan berbasis riset atas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan manajemen pemilu.

(14)

7

b. Bahan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan dan memperkuat partisipasi warga dalam pemilu dan setelahnya.

Tujuan Khusus:

a. Menemukan akar masalah atas persoalan-persoalan yang terkait dengan partisipasi dalam pemilu ditinjau dari aspek kehadiran dan ketidakhadiran pemilih di TPS di wilayah Kota Malang pada Pemilu legislative (Pileg) tahun 2014.

b. Menemukan akar masalah atas persoalan-persoalan yang terkait dengan partisipasi dalam pemilu ditinjau dari aspek kehadiran dan ketidakhadiran pemilih di TPS di wilayah Kota Malang pada Pilpres tahun 2014.

c.Terumuskannya rekomendasi kebijakan atas permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan partisipasi dalam pemilu.

D. Manfaat Penelitian

Bagi internal KPU yaitu sebagai bahan/sarana untuk evaluasi dalam pengambilan keputusan khususnya yang terkait dengan kebijakan untuk menjawab akar masalah atas persoalan-persoalan yang terkait dengan partisipasi dalam pemilu utamanya dalam meningkatkan kehadiran pemilih di TPS dan menekan semaksimal mungkin angka Golput.

(15)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. Wahyudi Kumorotomo mengatakan, “Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dan warganya.”

Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.” Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah (citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung.

Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.

(16)

9

2. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.

Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie.

1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala. 2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai kecurigaan yang busuk dari

manusia, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.

3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang lain tidak adil.

4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.

Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya.Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai

(17)

10

suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.

B. Masalah Golput

Menjelang pemilihan umum tahun 1977 timbul suatu gerakan di antara beberapa kelompok generasi muda, terutama mahasiswa, untuk memboikot pemilihan umum karena dianggap kurang memenuhi syarat yang diperlukan untuk melaksanakan pemilihan umum secara demokratis. Yang disebut antara lain ialah kurang adanya kebebasan-kebebasan (civil liberties) yang merupakan prasyarat bagi suatu pemilihan yang jujur dan adil.Untuk melaksanakan sikap ini mereka bertekad untuk mengunjungi masing-masing tempat pemilihan umum (TPS).Mereka menamakan dirinya Golongan Putih atau Golput.

Banyak media massa kemudian mempunyai keinginan untuk mengukur pengaruh dari Golput ini atas pemilihan umum. Perlu diperhatikan bahwa ada beberapa kategori pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah.Diantaranya ada dua kategori yang relevan, yaitu kategori suara tak sah dan kategori yang tak menggunakan hak pilih. Dalam banyak media massa dua kategori ini dijadikan satu, dan Golput dinyatakan termasuk didalamnya. Pengelompokan itu memang menghasilkan angka yang cukup tinggi yaitu 6,6% (1971), 9,1% (1977), 8,5% (1982), 8,7% (1987), dan 9,1% (1992).

Pandangan ini dapat diragukan kebenarannya karena secara teoritis Golput tidak termasuk kategori suara tidak sah, kecuali diantara mereka ada yang dengan sengaja merusak kertas pemilihan.Lebih besar kemungkinan Golput termasuk kategori yang tak menggunakan hak pilih. Jumlah kategori ini (termasuk golput) adalah 0,7% (1971), 3,5% (1977), 4,8% (1982), 3,8% (1987), dan 4,9% (1992) jelas lebih rendah.

Dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik

(18)

11

sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh;2007).

Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra ;2003 ; 104). Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman).Sedangkan Arbi Sanit mengatakan bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu.Mengenai golput alm.KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “kalau tidak ada yang bisa dipercaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa” (Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009; 1).

Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan.Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai.Kedua,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih.Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu (Arbi Sanit ; 1992)

Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari

(19)

12

pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas.Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.

Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan.

Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah).

Sedangkan menurut Novel Ali(1999;22)., di Indonesia terdapat dua kelompok golput Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya.Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.Kedua, adalah kelompok golput pilihan.Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik.Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya.Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan golput

(20)

13

awam.Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.

C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golput

1. Faktor Sosial Ekonomi

Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan perilaku non-voting selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi, variabel status sosial ekonomi memang dapat diletakkan sebagai variabel independen untuk menjelaskan perilaku non-voting tersebut.

Namun, pada sisi lain, variabel tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur karakteristik pemilih non-voting itu sendiri. Setidaknya ada empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel status sosial ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan dan pengaruh keluarga. Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku non-voting. Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih.

Ada beberapa alasan mengapa tingkat status sosial-ekonomi berkorelasi dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih, yaitu :

a. Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih menghargai partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang bekerja pada lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Para pegawai negeri atau pensiunan, menunjukkan tingkat kehadiran memilih lebih tinggi dibanding dengan yang lain.

(21)

14 b. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan dapat dikatakan turut mempengaruhi perilaku pemilih masyarakat.Faktor pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, sebab pendidikan sebagai suatu kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menganalisa teori serta mampu untuk menentukan keputusan dalam persoalan-persoalan untuk mencapai tujuan menjadi faktor yang penting bagi masyarakat sebagai pelaku partisipasi aktif dalam pemilihan.

c. Pengaruh Keluarga

Keluarga juga memberikan pengaruh yang cukup besar pada masyarakat.Kuatnya pengaruh pimpinan keluarga (ayah) dalam menentukan pilihan politik keluarga. Secara umum apabila kepala keluarga (ayah) tidak ikut memilih akan memberikan pengaruh kepada anggota keluarga lainnya untuk tidak ikut memilih.

2. Faktor Psikologis

Penjelasan non-voting dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian. Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku non-voting disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan peroragan secara langsung, betapapun mungkin hal itu menyangkut kepentingan umum yang lebih luas. Dalam konteks semacam ini, para pemilih yang mempunyai kepribadian tidak toleran atau tak acuh cenderung menarik diri dari percaturan politik langsung, karena tidak berhubungan dengan kepentingannya. Ciri-ciri kepribadian ini umumnya diperoleh sejak lahir bahkan lebih bersifat keturunan dan muncul secara konsisten dalam setiap perilaku.

(22)

15 3. Faktor Pilihan Rasional

Faktor pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah.Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai dan kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih. Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang.Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu.Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu yang aktif.

D. Perilaku Golongan Putih (Golput)

Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak.Bukan hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok putih yang tidak memilih, mereka bahkan mengajukan tanda gambar segilima hitam dengan dasar putih.Namun pemilu 1971 menurut versi pemerintahan, diikuti oleh 95 persen pemilih.

Satu hal yang mencuat dari kemunculan fenomena golput adalah merebaknya protes atau ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu terhadap tidak tegaknya prinsip-prinsip demokrasi atau penentangan langsung terhadap eksistensi rezim Orde

(23)

16

Baru pimpinan Soeharto.Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, di samping PPP, Golkar dan PDI.Namunn jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi pemerintah, di atas 90 persen, persisnya 91 persen.Sepekan menjelang Pemilu 29 Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak menggunakan hak politiknya untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap sebagai kampanye terselubung kepada massa pendukungnya untuk memboikot pemilu, meski hal itu dibantah Megawati. Meski ada aksi PDI Perjuangan itu, jumlah pemilih pada Pemilu 1997 dilaporkan mencapai 90,58 persen.Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih.

Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan.Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai.Kedua,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih.Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak.Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara Angka 90 persen itu memang diakui merupakan angka semu.Karena pemilu-pemilu zaman Soeharto-disebut banyak pihak-identik dengan kecurangan demi untuk memenangkan Golkar. Angka adalah bagian dari rekayasa yang sangat menentukan dan bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu.

Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas

(24)

17

ke TPS tanpa maksud yang jelas.Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.

Menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok golput.Pertama, adalah kelompok golput awam.Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya.Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik dan berbagai alasan lainnya.Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi dibanding golput awam.Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.

(25)

18

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif kuantitatif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Kota Malang.

C. Populasi dan Sampel

1) Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terdaftar di Data Pemilih Tetap pada Pemilihan Presiden 2014.

2) Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah masyarakat yang tidak menggunakan Hak Pilihnya dalam pileg dan Pilpres 2014 di Kota Malang. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis menggunakan rumus Slovin, sebagai berikut:

(26)

19 n = Keterangan: n : Jumlah sampel N : Jumlah populasi

D : Presisi 5% dengan tingkat kepercayaan 95%

Perhitungan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Banyaknya sampel pada pemilu legislative Tahun 2014:

( )( )

Sedangkan jumlah sampel pada pemilu Presiden Tahun 2014:

( )( )

Berdasarkan rumus Slovin diatas maka didapatkan sebaran jumlah sampel pada masing – masing Kecamatan di Kota Malang sebagai berikut:

Tabel 3 - 1 Sebaran Sampel Penelitian Tahun 2014

No Kecamatan Pileg Pilpres

1. Klojen 58 57 2. Sukun 90 90 3. Kedungkandang 84 96 4. Lowokwaru 78 70 5. Blimbing 89 86 Total 399 399

(27)

20

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan oleh penulis dilakukan dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1). Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan datang langsung ke lokasi penelitian dengan cara menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan.

2). Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

E. Teknik Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

F. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Kajian Pustaka

Kajian Pustaka dalam penelitian kuantitatif menyajikan teori-teori yang berkaitan dengan demokrasi partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum yang digunakan sebagai perspektif baik dalam membantu merumuskan fokus kajian penelitian maupun dalam melakukan analisis data atau membahas temuan-temuan penelitian.

BAB III: Metode Penelitian

Untuk penelitian diskriptif kuantitatif memuat tentang: (a) penetapan lokasi dan waktu penelitian, (b) pendekatan dan jenis penelitian, (c) teknik

(28)

21

pengumpulan data, (d) data dan sumber data, (e) teknik analisis data, dan (f) Keabsahan data.

BAB IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan

a. Deskripsi hasil penelitian berupa temuan umum dan temuan khusus yang diperoleh di lapangan , disajikan dengan topik sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian dan hasil analisis data.

b. Pembahasan memuat gagasan peneliti, keterkaitan kategori-kategori dan dimensi-dimensi posisi temuan terhadap teori dan temuan-temuan sebelumnya serta akan dijelaskan hasil temuannya berdasarkan sudut pandang subjek penelitian yang disandingkan dengan sudut pandang teoritis

BAB V. Penutup

(29)

22

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

1.Letak Geografis dan Luas Wilayah

Kota Malang adalah salah satu daerah otonom dan kota terbesar kedua di Propinsi Jawa Timur setelah ibukota propinsi Surabaya. Kota yang pernah dianggap mempunyai tata kota yang terbaik di antara kota-kota Hindia Belanda ini, kini banyak dikeluhkan warganya seperti kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas, suhu udara yang mulai panas sering dengan berkurangnya ruang hijau, sampah yang berserakan atau relokasi pedagang kaki lima. Namun terlepas dari berbagai permasalahan tata kotanya, sector pariwisata Kota Malang mampu menarik perhatian tersendiri.

Secara geografi wilayah kota Malang berada antara 070 46’ 48” – 080 46’ 42” Lintang Selatan dan 1120 31’ 42” – 112048’ 48” Bujur Timur, dengan luas wilayah 110,06 km2, dengan batas – batas wilayah sebagai berikut:

 Batas Utara : Kecamatan Singosari dan Kecamatan Karangploso Kab. Malang

 Batas Timur : Kecamatan Pakis dan Kecamatan Tumpang Kab. Malang

 Batas Selatan : Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Pakisaji Kab. Malang

 Batas Barat : Kecamatan Wagir dan Kecamatan Dau Kab, Malang Kota Malang terdiri atas 5 Kecamatan, yaitu Kedungkandang, Klojen, Blimbing, Lowokwaru, dan Sukun, serta terdiri atas 57 Kelurahan. Luas Wilayah Kota Malang sebagaiman Tabel 4-1 berikut ini:

(30)

23

Tabel 4 - 1Luas Wilayah Kota Malang

No Kecamatan Luas (Km2) 1. Kedungkandang 36,89 2. Klojen 8,83 3. Blimbing 17,77 4. Lowokwaru 22,60 5. Sukun 20,97 Total 110,06

Sumber: Litbang Kompas diolah dari BPS Kota Malang 2001

Kecamatan Kedungkadang mendominasi luas sebagaian besar Kota Malang dengan luas wilayah 33,5%, Kecamatan Lowokwaru 20,5%, Kecamatan Sukun 19,1%, Kecamatan Blimbing 16,1% serta Kecamatan Klojen 10,8% dari luas wilayah Kota Malang.

Kondisi iklim Kota Malang selama tahun 2001 tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara 22,2 °C - 24,5 °C. Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,3 °C dan suhu minimum 17,8 °C . Rata kelembaban udara berkisar 74% - 82%. dengan kelembaban maksimum 97% dan minimum mencapai 37%. Seperti umumnya daerah lain di Indonesia, Kota Malang mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan, dan musim kemarau. Dari hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Karangploso curah hujan yang relatif tinggi terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, dan Desember. Sedangkan pada bulan Juni, Agustus, dan November curah hujan relatif rendah. Kecepatan angin maksimum terjadi di bulan Mei, September, dan Juli.

Topografi Kota Malang yang dilingkupi oleh beberapa pegunungan besar, di antaranya adalah pegunungan Bromo-Tengger (berkisar 2.700 m dpl); Gunung Semeru (3.676 m dpl); Gunung Arjuno (3.339 m dpl); Gunung Butak (2.868 m dpl); Gunung Kawi (2.551 m dpl); Gunung Anjasmoro (2.277 m dpl); serta Gunung Panderman (2.045 m dpl). Gunung Semeru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Selain itu, kota Malang juga dilalui salah satu sungai terpanjang di Indonesia serta terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo, yaitu Sungai Brantas yang mata airnya terletak di lereng Gunung Arjuno di sebelah barat laut kota. Kota

(31)

24

Malang terletak pada 300 – 1.694 m di atas permukaan air laut termasuk dalam dataran tinggi dengan morfologi terbagi menjadi 3 (tiga) satuan morfologi, yaitu: (1) bagian tengah dan selatan dengan morfologi dataran, (2) bagian timur dan utara bermorfologi pebukitan bergelombang serta (3) bagian barat, utara dan timur bermorfologi pegunungan.

Gambar 4 - 1 Peta Wilayah Administrasi Kota Malang

Jenis tanah di wilayah Kota Malang terdiri atas 4 macam, antara lain: (1) Alluvial kelabu kehitaman dengan luas 6.930.267 Ha; (2) Mediteran coklat dengan

(32)

25

luas 1.225.160 Ha; (3) Asosiasi Latosol coklat kemerahan abu-abu coklat dengan luas 1.942.160 Ha; (4) Asosiasi Andosol coklat dan abu-abu humus dengan luas 1.765.160 Ha. Struktur tanah pada umumnya relative baik, akan tetapi yang perlu mendapatkan perhatian adalah penggunaan jenis tanah andosol yang sangat peka dengan erosi. Jenis tanah Andosol ini banyak ditemui di Kecamatan Lowokwaru dengan tingkat kemiringan 15%. Penggunaan lahan di wilayah Kota Malang terbagi sebagai lahan pertanian pada bagian utara, industri bagian selatan, bagian barat didominasi oleh daerah pemukiman dan pendidikan, sedangkan bebatuan yang kurang subur terletak di daerah timur.

2. Jumlah Penduduk

Penduduk sebagai subyek maupun objek pembangunan merupakan variabel dependen yang utama, karenanya informasi mengenai kependudukan menjadi sesuatu yang penting untuk dicermati.Dalam kurun waktu 6 tahun dari tahun 1998 sampai tahun 2003, jumlah penduduk Kota Malang tidak mengalami kenaikan yang cukup nyata. Pada tahun 1998, penduduk Kota Malang berjumlah 708.907 jiwa dan menjadi 763.465 jiwa pada akhir tahun 2003. Pertumbuhan penduduk rata-rata adalah 0,17%, tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 0,33% sedangkan tingkat pertumbuhan terendah sebesar 0,01% terjadi pada tahun 2002.

Sumber: Basis Data 2003 Pemkot Malang

(33)

26

Jumlah penduduk Kota Malang mengalami peningkatan yang sangat signifikan dimana terjadi dalam kurun waktu 2003 – 2013. Tercatat bahwa jumlah penduduk Kota Malang per 12 September 2013 adalah 836.373 jiwa dibandingkan pada tahun 2003 hanya berjumlah 763.465 jiwa, sehingga terjadi penambahan jumlah penduduk sebesar 72.908 jiwa selama kurun waktu 10 tahun. Adapun jumlah penduduk berdasarkan jenis kelaminnya dapat dilihat pada tabel di bawah berikut:

Tabel 4 - 2 Jumlah Penduduk Kota Malang

No Kecamatan Jumlah Penduduk Laki-Laki Perempuan 1. Blimbing 185.187 92.745 92,442 2. Klojen 107.212 52.605 54.607 3. Kedungkandang 191.851 96.343 95.508 4. Sukun 191.229 95.988 95.241 5. Lowokwaru 160.894 80.419 80.475 Jumlah 836.373 418.100 418.273

Sumber: Dispenduk Kota Malang 2013

Seperti kondisi kota pada umumnya, bahwa hunian terpadat berada di pusat kota yaitu Kecamatan Klojen dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 12.142 jiwa per km persegi. Sedangkan Kecamatan Kedungkandang dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 5.201 jiwa per Km persegi. Untuk sebaran dan tingkat kepadatan penduduk dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4 - 3 Sebaran dan Kepadatan Penduduk

No Kecamatan Luas (Km2) Penduduk

Jumlah Kepadatan 1. Blimbing 17,77 185.187 10.422 2. Klojen 8,83 107.212 12.142 3. Kedungkandang 36,89 191.851 5.201 4. Sukun 20,97 191.229 9.119 5. Lowokwaru 22,60 160.894 7.119 Total 110.06 836.373 7.599

(34)

27

B. Tingkat Kehadiran Pemilih dalam Pileg dan Pilpres

1. Tingkat Kehadiran Pemilih Pileg dan Pilpres Tahun 2009

Partisipasi pemilih dalam memutuskan pilihannya sangatlah penting dalam pelaksanaan Pileg dan Pilpres di Kota Malang. Tingkat kehadiran pemilih merupakan indicator bahwa masyarakat sudah sadar akan haknya untuk berpolitik, dan keberlangsungan proses demokrasi di negaranya. Pada Pemilihan umum legislative tahun 2009, jumlah pemilih yang menggunakan hak suara di Kota Malang seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel 4 - 4 Rekapitulasi Hasil pelaksanaan pemilihan legislative tahun 2009

Uraian Pemilih Klojen Sukun Kedungkandang Lowokwaru Blimbing

DP Lk 40.613 66.072 60.911 52.320 59.817 Pr 43.830 66.665 63.272 54.918 64.928 Hasil Suara Lk 24.102 50.402 40.786 34.125 36.317 Pr 28.115 39.560 42.257 37.940 43.718 Jumlah DP 84.443 132.737 124.183 107.238 124,745 HasilSuara 52.217 89.962 83.043 72.065 80.035 Capaian (%) 61,8% 67,8% 66,8% 67,2% 64,2%

Sumber: KPU Kota Malang

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa tingkat kehadiran pada 5 (lima) kecamatan yang ada di Kota Malang berkisar antara 61,8% sampai dengan 67,8% hal ini menunjukkan bahwa warga Kota Malang masih memberikan respon yang baik terhadap pesta demokrasi dalam memilih wakil mereka sebagai anggota legislative. Diantara ke-5 Kecamatan yang ada di Kota Malang, Kecamatan Klojen mempunyai tingkat partisipasi paling rendah yaitu 61,8% hal ini menunjukkan bahwa 38,2% penduduk kecamatan Klojen yang mempunyai hak pilih tidak menggunakan suaranya dalam pemilihan umum legislative tahun 2009.

Warga Kecamatan Sukun, berdasarkan tabel diatas dengan tingkat partisipasi paling tinggi diantara ke-5 Kecamatan yang ada di Kota Malang. Kecamatan Sukun

(35)

28

pada pemilu legislative tahun 2009 tercatat sebanyak 67,8% penduduk yang mempunyai hak suara menggunakan hak pilihnya, sedangkan 32,2% tidak hadir dan dianggap tidak menggunakan hak pilihnya. Selanjutnya Kecamatan Lowokwaru dengan tingkat kehadiran atau partisipasi sebesar 67,2%, disusul Kecamatan Kedungkandang sebesar 66,8% dan Kecamatan Blimbing sebesar 64,2% dari jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan yang mempunyai hak pilih.

Pesta demokrasi rakyat di Indonesia tidak hanya memilih anggota legislative pada tingkat daerah Kota, Propinsi, dan Pusat tetapi sejak tahun 2004 rakyat Indonesia dapat langsung memilih Presiden dan Wakil Presiden melalui sistem Pemilihan Umum Presiden disingkat Pilpres. Data pelaksanaan pemilihan umum presiden tahun 2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4 - 5Rekapitulasi Hasil Pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden Tahun 2009

Uraian Pemilih Klojen Sukun Kedungkandang Lowokwaru Blimbing

DP Lk 41.687 72.127 63.856 54.621 63.126 Pr 44.987 62.233 63.950 56.739 66.608 Hasil Suara Lk 31.265 49.358 45.759 39.858 44.453 Pr 33.740 52.427 49.236 49.898 54.404 Jumlah DP 86.674 134.360 127.806 111.360 129.734 Hasil Suara 65.005 101.785 94.995 89.756 98.857 Capaian (%) 75% 75,8% 74,3% 80,6% 76,2%

Sumber: KPU Kota Malang 2009

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa Kecamatan Lowokwaru mempunyai angka kehadiran atau partisipasi paling tinggi pada pemilihan umum presiden tahun 2009 yakni sebesar 80,6% dari jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih. Sedangkan secara umum tingkat kehadiran atau partisipasi pemilih untuk daerah pemilihan Kota Malang rata-rata 76,32% penduduk Kota Malang yang menggunakan hak pilihnya. Penduduk Kota Malang yang tidak menggunakan hak

(36)

29

pilihnya dalam pemilihan umum presiden adalah 23,68% dari seluruh penduduk Kota Malang yang memiliki hak pilih.

Kecamatan Kedungkadang pada pemilihan umum presiden tahun 2009 merupakan kecamatan di Kota Malang yang mempunyai tingkat kehadiran atau partisipasi yang paling rendah, yaitu 74,3%, disusul Kecamatan Klojen dengan tingkat kehadiran 75%, Kecamatan Sukun sebesar 75,8% serta Kecamatan Blimbing dengan tingkat kehadiran pemilih sebesar 76,2%. Hal tersebut menjelaskan bahwa pesta demokrasi pemilihan umum presiden tahun 2009 masih mendapatkan respon yang baik dari warga Kota Malang.

2. Tingkat Kehadiran Pemilih Pileg dan Pilpres Tahun 2014

Pemilihan Umum sebagai pesta demokrasi rakyat dilaksanakan setiap (lima) tahun sekali guna memilih anggota legislative sebagai wakil rakyat yang duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota/Kabupaten, Propinsi dan Pusat serta memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berkedudukan di pusat pemerintahan Republik Indonesia. Sama halnya dengan pemilihan umum tahun 2009, pemilihan umum tahun 2014 juga bertujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Indikator keberhasilan pelaksanaan pemilihan umum baik legislative maupun presiden dapat dilihat dari tingkat kehadiran atau partisipasi pemilih dalam menggunkan hak pilihnya.

Berdasarkan tabel 4-6 dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat kehadiran pemilih dalam pemilihan anggota legislative di Kota Malang sebesar 67,77%. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Kota Malang yang mempunyai hak pilih memberikan respon yang baik dalam pelaksanaan pemilihan umum legislative, sedang penduduk Kota Malang yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 32,23% dengan berbagai macam faktor yang menghambat mereka untuk dating dan menggunakan hak pilihnya.

Tingkat kehadiran pemilih pada pemilihan umum legislative tahun 2014 di Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4-6 berikut ini:

(37)

30

Tabel 4 - 6Rekapitulasi Kehadiran Pemilih Pada Pileg Tahun 2014

Uraian Pemilih Klojen Sukun Kedungkandang Lowokwaru Blimbing

DP Lk 39.637 70.634 68.591 59.660 67.191 Pr 42.788 72.339 90.712 61.268 68.753 Hasil Suara Lk 24.612 46.488 46.422 38.658 42.917 Pr 28.680 51.956 51,017 43.372 48.536 Jumlah DP 82.425 142.973 139.303 120.928 135.944 Hasil Suara 53.592 98.444 97.439 82.030 91.453 Capaian (%) 65% 68,8% 69,95% 67,8% 67,3%

Sumber: KPU Kota Malang 2014

Warga Kecamatan Kedungkadang memberikan respon yang baik terhadap pelaksanaan pileg tahun 2014, hal ini tercermin pada besarnya animo mereka untuk hadir dan berpartisipasi melalui penggunaan hak pilih mereka sebesar 69,95% penduduk yang mempunyai hak pilih. Sebanyak 30,05% penduduk Kecamatan Kedungkandang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum legislative 2014. Disusul warga Kecamatan Sukun sebanyak 68,8% yang menggunakan hak pilihnya, Kecamatan Lowokwaru sebesar 67,8%; selanjutnya Kecamatan Blimbing dengan tingkat kehadiran atau pertisipasi pemilih sebesar 67,3% dan terakhir warga Kecamatan Klojen, dimana hanya 65% warganya untuk hadir dan berpartisipasi dalam pemilihan umum legislative tahun 2014.

Sebagaimana telah tersebut diatas bahwa, pemilihan umum tidak hanya memilih anggota legislative tetapi juga memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Adapun hasil rekapitulasi pelaksanaan pemilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 4-7.

Berdasar tabel 4-7 dapat diketahui bahwa tingkat kehadiran pemilih pada pemilihan umum presiden tahun 2014 di Kota Malang rata-rata sebesar 72,66% hal ini menunjukkan bahwa warga atau penduduk Kota Malang memberikan respon yang baik dalam pelaksanaan pemilihan umum presiden tahun 2014.

(38)

31

Tabel 4 - 7 Rekapitulasi Tingkat Kehadiran Pemilih Pilpres Tahun 2014 di Kota Malang

Uraian Pemilih Klojen Sukun Kedungkandang Lowokwaru Blimbing

DP Lk 40.488 72.062 69.376 59.548 67.665 Pr 44.022 74.063 71.523 61.640 69.704 Hasil Suara Lk 27.719 51.007 47.195 43.001 47.020 Pr 32.405 56.833 52.939 47.967 53.420 Jumlah DP 84.504 146.125 140.899 121.188 137.369 HasilSuara 60.124 107.840 100.134 90.968 100.440 Capaian (%) 71,1% 73,8% 71% 75,1% 73,1%

Sumber: KPU Kota Malang 2014

C. Perbandingan Tingkat Kehadiran Pemilih Pileg dan Pilpres Tahun 2009 dengan Tahun 2014

Hasil penelitian dengan membandingkan dua periode pemilihan umum legislative dan presiden pada tahun 2009 dan 2014 terdapat fenomena yang cukup menarik untuk dicermati dan digunakan sebagai bahan analisis dalam meneliti tingkat kehadiran dan angka partisipasi para pemilih pada pemilihan umum di Kota Malang. Berdasarkan hasil data tentang tingkat kehadiran dan partisipasi pemilih pada pelaksanaan pemilihan umum yang di dapat oleh tim penelitian menunjukkan perubahan-perubahan yang signifikan. Hasil temuan dapat dilihat pada tabel 4 – 8.

Berdasarkan tabel 4-8 dapat diketahui bahwa angka kehadiran atau partisipasi warga dalam pemilihan legislative tahun 2009 lebih rendah dibandingkan pada pemilihan legislative tahun 2014. Pada pemilu legislative tahun 2014 terdapat peningkatan prosentase kehadiran dan partisipasi dari pemilih untuk menggunakan hak pilihnya sebanyak rata-rata 2,21% dibandingkan pada pemilu legislative Tahun 2009.

(39)

32

Tabel 4 - 8 Perbandingan Angka Kehadiran Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden di Kota Malang No Kecamatan 2009 2014 Prosentase Kehadiran (%) Prosentase Kehadiran (%)

Pileg Pilpres Pileg Pilpres

1. Klojen 61,80 75,00 65,00 71,10

2. Sukun 67,80 75,80 68,80 73,80

3. Kedungkandang 66,80 74,30 69,95 71,00

4. Lowokwaru 67,20 80,60 67,80 75,10

5. Blimbing 64,20 76,20 67,30 73,10

Sumber: KPU Kota Malang 2014

Namun pada pemilihan umum untuk memilih calon presiden dan wakil presiden Tahun 2014 angka kehadiran atau partisipasi pemilih menunjukkan penurunan yang signifikan dibanding dengan pemilu presiden pada Tahun 2009. Pada pemilu presiden Tahun 2014 rata – rata terjadi penurunan prosentase kehadiran atau partisipasi pemilih sebesar 3,56% dari lima kecamatan yang ada di Kota Malang. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ada faktor – faktor yang mempengaruhi angka tingkat kehadiran atau angka partisipasi dalam pemilu legislative dan pemilu presiden selama dua periode pelaksanaan pemilu di Kota Malang.

D. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kehadiran Pemilih Pada Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden di Kota Malang

Tidak seperti pada pemilihan umum pada masa orde baru dimana partisipasi pemilih tetap stabil di atas angka 90%, terlepas apakah ada intimidasi atau tidak oleh pemerintah pada waktu itu. Pemilihan umum yang dilaksanakan di Kota Malang semenjak tahun 2004 memiliki fluktuasi yang disebabkan oleh berbagai macam factor. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh peneliti dan tim pada pemilih yang ada di ke-5 Kecamatan yang ada di Kota Malang ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kehadiran pemilih dalam pelaksanaan pemilu Tahun 2009 dan Tahun 2014. Dengan melakukan wawancara secara langsung dan

(40)

33

menyebarkan kuisioner kepada para pemilih di ke-5 Kecamatan di Kota Malang pada pileg dan pilpres Tahun 2014, hasil temuan tim peneliti dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Sumber: Data yang diolah

Gambar 4 - 3Prosentase Faktor-Faktor Ketidakhadiran Pemilih

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode Linier Systematic Sampling pada seluruh populasi pemilih yang ada pada ke-5 Kecamatan di Kota Malang pada pileg dan pilpres Tahun 2014. Dengan menggunakan rumus Slovin dalam menentukan besarnya sampel penelitian, maka didapatkan sampel sebanyak 399 orang pemilih dari 198.615 orang pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pileg tahun 2014. Sedangkan pada pilpres tahun 2014, peneliti dan tim melakukan survey kepada 399 orang pemilih dari 170.579 orang pemilih yang tidak hadir dan menggunakan hak pilih di Kota Malang. Hasil rekapitulasi responden dapat dilihat pada tabel 4-9.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%

Pekerjaan Kandidat letak TPS alasan lain

Rekapitulasi Faktor-Faktor Ketidakhadiran

(41)

34

Tabel 4 - 9 Rekapitulasi Faktor-Faktor Ketidakhadiran Pemilih pada Pileg dan Pilpres Tahun 2014 No Faktor-Faktor Ketidakhadiran Pemilih Jumlah Responden Prosentase (%) Pileg Pilpres 1. Pekerjaan 88 88 22 2. Kandidat Caleg /

Capres & Cawapres 279 279 70

3. Letak TPS 12 12 3

4. Lain-lainnya 20 20 5

Total 399 399 100

Sumber: Data diolah

Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Malang, pada pemilihan umum tahun 2009 baik untuk pemilu legislative maupun pemilu presiden didapat respon ketidakhadiran pemilih pada TPS sebagai berikut:

Tabel 4 - 10 Rekapitulasi Faktor-Faktor Ketidakhadiran Pemilih pada Pileg dan Pilpres Tahun 2009 No Faktor-Faktor Ketidakhadiran Pemilih Jumlah Responden Prosentase (%) Pileg Pilpres 1. Pekerjaan 40 40 10 2. Kandidat Caleg /

Capres & Cawapres 259 259 65

3. Letak TPS 88 88 22

4. Lain-lainnya 12 12 3

Total 399 399 100

Sumber: Data diolah KPU Kota Malang

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih untuk hadir di TPS untuk menggunakan hak pilihnya yaitu antara lain:

1) Faktor Pekerjaan

Faktor pekerjaan mendominasi ketidakhadiran pemilih untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pemilih di Kota Malang mempunyai pertimbangan – pertimbangan tertentu dalam menggunakan hak pilihnya. Mayoritas

(42)

35

penduduk Kota Malang yang mempunyai hak pilih mempunyai profesi sebagai pedagang, pengusaha kecil dan menengah, pengrajin, petani, pekerja di bidang jasa perhotelan dan pariwisata, buruh pabrik, dan ibu rumah tangga.Pertimbangan faktor pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan merupakan alasan yang sangat kuat bagi pemilih untuk tidak hadir dan menggunakan hak pilihnya. Data Prosentase Kegiatan Ekonomi Kota Malang dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Sumber: Litbang Pemkot Malang, 2000

Gambar 4 - 4Distribusi Persentase Kegiatan Ekonomi Kota Malang

Sebagian pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan pekerjaan lebih penting daripada menghadiri proses pemilihan umum sebanyak 22% pada pemilu tahun 2014 dari jumlah pemilih yang tidak hadir di TPS. Hal ini dapat dilihat dari hasil survey yang dilakukan oleh tim peneliti pada responden di lima kecamatan yang ada di Kota Malang dengan menggunakan kuesioner. Beberapa alasan yang diberikan oleh responden adalah jadwal masuk kerja yang tidak dapat ditinggalkan karena mendapatkan giliran masuk (shif) pagi, sehingga tidak dapat

(43)

36

hadir di TPS, seperti pernyataan hasil wawancara dari salah satu responden sebagai berikut:

“…iya mbak, saat pemilu presiden kemarin saya tidak ikut walaupun sudah dapat surat panggilan milih. Karena kebarengan dengan saya harus kerja kena sift pagi-memang sih diberi kesempatan untuk bisa datang milih di TPS tapi ya gak nutut waktunya, kerja saya kan di Pandaan mbak” (WW-R3/Lw/25/7/2015).

Hal senada juga disampaikan oleh informan lain yang menyatakan:

“maaf mbak…saya memang tidak datang ke TPS saat pemilu presiden waktu itu, karena mengantar juragan ke Sragen. Kebetulan ada saudaranya yang meninggal di sana” (WW-R29/Kk/28/7/2015).

Penyebab lain masih dalam lingkup yang berkaitan dengan pekerjaan adalah tidak mendapatkan ijin libur penuh sehari dari perusahaan juga mengakibatkan pemilih yang mempunyai hak pilih tidak hadir di TPS. Hal ini terjadi pada para pekerja baru yang belum diangkat sebagai karyawan tetap, sehingga harus mematuhi persyaratan yang telah disepakati dalam kontrak kerja sebelumnya. Berdasarkan hasil kuesioner dari beberapa responden memberikan alasan sebagaimana hal tersebut diatas. Letak tempat kerja yang jauh dari tempat tinggal juga menyebabkan mereka lebih mementingkan pekerjaan mereka daripada datang untuk menggunakan hak pilihnya ke TPS yang telah ditentukan.

2) Faktor Kandidat

Kandidat calon anggota legislative dan pasangan calon presiden dan wakil presiden juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pemilih enggan datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Banyak faktor yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya disebabkan karena ketidaktahuan mereka pada calon anggota legislative (kandidat) yang akan mewakili mereka dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan temuan peneliti diatas, pada pileg tahun 2009 tingkat kehadiran pemilih lebih rendah dibandingkan dengan pileg tahun 2014. Hal ini dikarenakan para pemilih mayoritas adalah pemilih pemula dan pemilih tidak mengenal para kandidat yang harus dipilihnya. Pada pemilihan umum legislative tahun 2009 partai peserta pemilu juga banyak, sehingga membuat bingung para

(44)

37

pemilih untuk menentukan pilihannya. Sedangkan pada pileg tahun 2014 para pemilih sudah mengetahui kinerja calon anggota legislative sehingga para pemilih sudah bias menentukan pilihannya.

Pada pemilihan presiden tahun 2009 angka kehadiran pemilih pada TPS di kota Malang lebih signifikan dibandingkan pada pemilu presiden tahun 2014. Hal ini terjadi karena pemilih sudah mengenal dengan baik kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta pemilu. Tingkat kehadiran pemilih pada pemilu presiden tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 5% dibandingkan pada tahun 2009. Pada pemilu presiden tahun 2009, terdapat kandidat calon presiden dan wakil presiden yang sudah menjabat pada periode sebelumnya, sehingga pemilih bisa menilai kinerja para kandidat.

Pemilu presiden tahun 2014, tidak terdapat pasangan calon presiden dan wakil presiden yang telah menjabat pada periode sebelumnya, sehingga pemilih masih ragu – ragu untuk menentukan pilihannya. Dengan adanya amandemen pada Undang – Undang Dasar 1945 tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dibatasi selama 2 (dua) periode berturut – turut memungkinkan terjadinya calon – calon pasangan presiden dan wakil presiden yang belum pernah mempunyai pengalaman sebagai presiden dan wakil presiden. Pemilih lebih banyak tidak menggunakan hak pilihnya karena tidak mempunyai kepercayaan dan keyakinan pada calon pasangan presiden dan wakil presidenyang dicalonkan oleh partai – partai pemenang pemilu legislative.

Faktor kandidat peserta pemilu sangat besar pengaruhnya dalam menentukan tingkat kehadiran pemilih untuk hadir di TPS. Hasil wawancara dengan beberapa responden mengatakan bahwa mereka sedikit banyak mengenal para kandidat caleg yang ikut pada pemilu 2014, sedangkan kandidat calon pasangan presiden dan wakil presiden pada pilpres 2014 kebanyakan responden tidak yakin dengan kemampuan dan kompetensi dalam memimpin Negara. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya calon petahana yang sudah bisa dinilai kinerjanya oleh pemilih dalam pemilu. Sebagaimana pernyataan hasil wawancara dari salah seorang responden berikut ini:

Gambar

Tabel 1 - 1 Rekapitulasi Pemilih Pemilu Legislative tahun 2014 di Kota Malang
Tabel 3 - 1 Sebaran Sampel Penelitian Tahun 2014  No  Kecamatan  Pileg  Pilpres
Tabel 4 - 1Luas Wilayah Kota Malang
Gambar 4 - 1 Peta Wilayah Administrasi Kota Malang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kajian mendapati cabaran yang dinyatakan oleh responden untuk mengurangkan tingkahlaku berisiko ialah (1) kesulitan apabila berhadapan dengan sindrom tarikan,

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Studi Kepustakaan (Library Research) yang dilakukan adalah mempelajari dan membaca buku-buku, media cetak yang mengulas mengenai

Penelitian dengan judul Jenis-jenis Makna Istilah Bidang Ekonomi Makro- Mikro pada Rubik “Ekonomi” Majalah Tempo Edisi Bulan Maret 2016bertujuan untuk mendeskripsikan jenis-jenis

72 RIENNY SIHOMBING 11010113140459 HTN Analisis Yuridis terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta

Hasil skor total untuk tanggapan responden mengenai petugas cepat dalam menangani pengajuan pemasangan listrik prabayar mendapat 607 atau 80.93% berada pada

diajukan, maka diharapkan tetap mempertahankannya. b) Pada rasio IPR diharapkan lebih meningkatkan pemenuhan kewajiban dengan menggunakan surat berharga agar

UKM Heystarticmenginginkan adanya pengujian bahan baku kertas bekas semen, hal ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan terhadap beban maksimal yang bisa dibawa

fiethano senyawa kmia yang tedapat pada bawang liwai dapat dilarik oeh pereaksimethano. sehinloa persen antoks dannya ebh besar diband ngkan dengan petarut a r