• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN RERATA AMBANG DENGAR ANTARA TENAGA KERJA YANG MENDAPAT PAPARAN BISING TINGGI DAN RENDAH DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII UNIT BEKRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN RERATA AMBANG DENGAR ANTARA TENAGA KERJA YANG MENDAPAT PAPARAN BISING TINGGI DAN RENDAH DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII UNIT BEKRI"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN RERATA AMBANG DENGAR ANTARA TENAGA KERJA YANG MENDAPAT PAPARAN BISING TINGGI DAN RENDAH

DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII UNIT BEKRI

(Skripsi)

Oleh

Fidelis Dani Purnawan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG

(2)

PERBANDINGAN RERATA AMBANG DENGAR ANTARA TENAGA KERJA YANG MENDAPAT PAPARAN BISING TINGGI DAN RENDAH

DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII UNIT BEKRI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG

2017 Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S-1

Sarjana Kedokteran Fidelis Dani Purnawan

(3)

ABSTRACT

COMPARISON OF AVERAGE HEARING THRESHOLD BETWEEN WORKERS WHO GOT HIGH AND LOW NOISE EXPOSURE IN PT. PERKEBUNAN

NUSANTARA VII UNIT BEKRI

By

FIDELIS DANI PURNAWAN

Background: Noise Induced Hearing Loss is the hearing loss caused by exposure to loud noise in the long term. Multi Center Study (MCS) said that Indonesia is one of countries in Southeast Asia where the prevalence of hearing loss was as high as 4.6%. The National Survey of Health Sense of Sight and Hearing in seven provinces, the rate of hearing loss in Indonesia amounted to 16.8% with one of the causes is the noise. In The purpose of this research is to know the difference between the labor hearing threshold that gets high and low noise exposure.

Methods: The study design was an observational analytic cross sectional sampling technique stratified random sampling. The research sample required is 50 people. Data acquired through direct measurement. Test analysis using statistical Mann Whitney test.

Result: The results of measurements of the average hearing threshold of the workers earned the average of 20.19 dB threshold of hearing left ear and 19.71 dB right ear in the lower exposure to noise, while at a high of noise exposure the average hearing threshold 22.22 dB left ear and 22.76 dB right ear. The results of the analysis of the Mann-Whitney test p value = 0.023 left ear and p=0,072 right ear which mean there are differences between the mean hearing threshold in workers who got high and low noise exposure.

Conclusion: The average hearing threshold of workers who work in noisy environments higher have a hearing threshold higher than the average hearing threshold of workers who work in noisy environments is low.

(4)

ABSTRAK

PERBANDINGAN RERATA AMBANG DENGAR ANTARA TENAGA KERJA YANG MENDAPAT PAPARAN BISING TINGGI DAN RENDAH DI PT.

PERKEBUNAN NUSANTARA VII UNIT BEKRI

Oleh

FIDELIS DANI PURNAWAN

Latar belakang: Gangguan pendengaran akibat bising adalah gangguan pendengaran yang disebabkan paparan bising tinggi dalam jangka waktu yang lama. Survei Multi Center Study (MCS), Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran cukup tinggi, yakni 4,6%. Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran di 7 provinsi, angka gangguan pendengaran di Indonesia sebesar 16,8% dengan salah satu penyebabnya adalah kebisingan. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui perbedaan ambang dengar antara tenaga kerja yang mendapat paparan bising tinggi dan rendah.

Metode Penelitian: Desain penelitian menggunakan observasional analitik cross sectional, dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Sampel penelitian membutuhkan 50 responden. Data didapatkan melalui pengukuran langsung. Uji analisis menggunakan uji statistik Mann Whitney.

Hasil penelitian: Hasil pengukuran rerata ambang dengar para pekerja di tempat rendah paparan bising yaitu sebesar 20,19 dB telinga kiri dan 19,71 dB telinga kanan, sedangkan rerata ambang dengar di tempat tinggi paparan bising sebesar 22,22 dB telinga kiri dan 22,76 dB telinga kanan. Hasil analisis uji Mann-Whitney didapatkan nilai p=0,023 telinga kiri dan p=0,072 telinga kanan yang artinya terdapat perbedaan rerata ambang dengar pada pekerja yang mendapat paparan bising tinggi dan rendah.

Simpulan: Rerata ambang dengar pekerja yang bekerja di lingkungan bising tinggi memiliki ambang dengar yang lebih tinggi dibandingkan dengan rerata ambang dengar pekerja yang bekerja di lingkungan bising rendah.

(5)

Judul Skripsi : PERBANDINGAN RERATA AMBANG DENGAR ANTARA TENAGA KERJA YANG MENDAPAT PAPARAN TINGGI DAN RENDAH DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII UNIT BEKRI Nama Mahasiswa : Fedelis Dani Purnawan

Nomor Pokok Mahasiswa : 1318011072 Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

dr. Mukhlis Imanto, M. Kes., Sp.THT-KL Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S. Ked., M. Kes NIP 197802272003121001 NIP 197608312003121003

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp. PA NIP 197012082001121001

(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Mukhlis Imanto, M.Kes., Sp. THT –KL __________

Sekretaris : Dr. dr. Jhons Fatriyadi S., S.Ked., M.Kes __________

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Diana Mayasari, S.Ked., M.K.K __________

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp. PA NIP 197012082001121001

(7)
(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Fidelis Dani Purnawan, dengan nama panggilan Dani. Bertempat lahir di Pringsewu pada tanggal 27 April 1996. Penulis adalah putra terakhir dari bapak Supriyono dan ibu Yuniarti. Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanak – Kanak Fransiskus pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SDN 03 Segala Mider 2001 – 2007, pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Xaverius Pringsewu pada tahun 2007 – 2010, pendidikan sekolah menengah atas di SMA Fransiskus Bandarlampung 2010 – 2013. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan Sarjana (S1) di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung pada tahun 2013 – sekarang. Penulis bertempat tinggal asli di Desa Nyukangharjo, Kecamatan Selagai Lingga, Kabupaten Lampung Tengah.

(9)

Persembahan

“Firman-Mu itu pelita bagi

kakiku dan terang bagi

jalanku,”

-Mazmur 119:105(TB)-

Psalms 119:105 (TB)

“Your word is a lamp to my feet

(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai tepat waktu.

Skripsi dengan judul “Perbandingan Rerata Ambang Dengar Antara Tenaga Kerja Yang Mendapat Paparan Bising Tinggi dan Rendah Di PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung; 2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes, Sp.PA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung;

3. dr.Mukhlis Imanto, M.Kes., Sp. THT-KL., selaku Pembimbing I yang telah memberikan nasihat, bimbingan, saran, dan kritik yang bemanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini;

(11)

4. Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S. Ked., M. Kes., selaku Pembimbing II yang telah memberikan nasihat, bimbingan, saran, dan kritik yang bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. dr. Diana Mayasari, M.K.K., selaku Penguji Utama pada Ujian Skripsi. Terima kasih atas waktu, ilmu dan saran-saran yang telah diberikan;

6. dr. Ratna Dewi Puspita Sari, M. Kes, Sp.OG., selaku Pembimbing Akademik atas motivasi, arahan, waktu, ilmu, serta saran yang telah diberikan;

7. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung atas ilmu, waktu, dan bimbingan yang telah diberikan dalam proses perkuliahan; 8. Seluruh staf TU, Administrasi dan Akademik FK Unila yang turut membantu

dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;

9. Direksi PT. Perkebunan Nusantara VII, Bagian SDM PT. Perkebunan Nusantara VII,Bapak Otoiskandardinata, Bapak Jurahman selaku pembimbing selama melakukan penelitian dan seluruh staf karyawan PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri yang telah memberikan waktu, tenaga, dan ilmunya dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;

10. Terima kasih khususnya untuk para karyawan yang bersedia menjadi responden penelitian, yang telah mendukung penelitian ini sampai selesai, yang telah memberikan waktu, tenaga dan kesediaannya dalam proses penelitian ini.

11. Terima kasih yang tiada akhir untuk bapakku Supriyono, ibuku Yuniarti dan kakakku Nita, Ardi, dan Lia serta Asteria Kirana Sari yang teramat sangat aku sayangi atas doa, perhatian, semangat, kesabaran, kasih sayang, dan dukungan yang selalu mengalir setiap saat. Terima kasih untuk perjuangannya

(12)

memberikanku pendidikan yang terbaik, baik pendidikan akademis maupun nonakademis yang dapat digunakan penulis untuk bekal masa depannya;

12. Terima kasih untuk teman seperjuangan, Agus Fathul, Bisart Benedicto, Fadel Muhamad, Fuad Iqbal, Firza Syaleindra, I Made Afriyan, Iqbal Reza, M Agung Yudistira, M Hidayatulah, Marco Manza, Rafian Novaldy, Satya Agusmansyah, Setiawan Prayogi, dan Tito Tri Saputra atas doa, dukungan, dan semangat yang telah diberikan bagi penulis;

13. Teman – teman seperjuangan skripsi, Edgar Sigarlaki dan Yulia yang selalu berjuang bersama – sama dalam menyelesaikan skripsi, saling memberikan semangat satu sama lain;

14. Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 atas kebersamaannya selama ini. Semoga kita menjadi dokter-dokter yang sukses;

15. Adik-adik angkatan 2014, 2015, 2016 terima kasih atas dukungan dan doanya, semoga bisa menjadi dokter yang sukses kedepannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bandar Lampung, Februari 2017 Penulis

(13)

v

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.3.1 Tujuan Umum ... 4 1.3.2 Tujuan Khusus ... 5 1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Telinga ... 6

2.3.1 Telinga Luar... 7

2.3.2 TelingaTengah ... 8

2.3.3 Telinga Dalam ... 10

2.2 Fisiologi Pendengaran ... 10

2.3 Gangguan Fisiologi Telinga ... 14

2.4 Kebisingan ... 14

2.4.1 Jenis – jenis kebisingan ... 15

2.5 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan ... 16

(14)

vi

2.7 Noise Induced Hearing Loss (NIHL) ... 18

2.7.1 Karakteristik Noise Induced Hearing Loss (NIHL)... 19

2.7.2 Patologi Noise Induced Hearing Loss (NIHL) ... 20

2.8 Kerangka Teori ... 23

2.9 Konsep Penelitian ... 24

2.10 Hipotesis Penelitian ... 24

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 25

3.2 Lokasi Penelitian ... 25

3.3 Populasi dan Sampel ... 26

3.3.1 Populasi Penelitian... 26

3.3.2 Sampel Penelitian ... 26

3.4 Kriteria Inklusi ... 27

3.5 Kriteria Ekslusi ... 27

3.6 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ... 28

3.6.1 Variabel Penelitian... 28

3.6.2 Definisi Operasional Variabel ... 28

3.7 Prosedur Penelitian ... 29

3.8 Pengumpulan Data ... 29

3.8.1 Sumber Data ... 29

3.8.2 Alur Pengambilan Data... 29

3.9 Pengolahan Data ... 30

3.10 Analisi Data ... 30

3.10.1 Analisis Univariat ... 30

3.10.2 Analisis Bivariat ... 31

3.11 Etika Penelitian ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Penelitian ... 32

4.2 Hasil Penelitian ... 32

4.2.1 Karakteristik Responden ... 32

(15)

vii

4.2.3 Analisis Univariat ... 34 4.2.3.1 Nilai Ambang Dengar Tenaga Kerja Yang Terpapar Bising

Rendah dan Tinggi... 34 4.2.4 Analisi Bivariat ... 38 4.3 Pembahasan ... 39

4.3.1 Rerata Ambang Dengar Tenaga Kerja Yang Mendapat Paparan

Bising Rendah ... 39 4.3.2 Rerata Ambang Dengar Tenaga Kerja Yang Mendapat Paparan

Bising Tinggi ... 42 4.3.3 Perbedaan Rerata Ambang Dengar Tenaga Kerja Yang Mendapat

Paparan Bising Tinggi dan Rendah ... 44 BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 50 5.2 Saran ... 50 DAFTAR PUSTAKA ... 52 LAMPIRAN

(16)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Skala Intensitas Kebisingan dan Sumbernya ... 16

2. Nilai Ambang Batas Kebisingan ... 17

3. WHO Grades of Hearing Impairment. ... 19

4. Definisi Operasional... 27

5. Karakteristik Responden Penelitian ... 33

6. Intensitas Kebisingan ... 34

7. Nilai Ambang Dengar Tenaga Kerja yang Mendapat Paparan Bising Rendah .... 35

8. Klasifikasi Derajat Ketulian Telinga Kiri dan Kanan Berdasarkan Nilai Ambang Dengar Pekerja yang Mendapat Paparan Bising Rendah... 36

9. Nilai Ambang Dengar Tenaga Kerja yang Mendapat Paparan Bising Tinggi ... 36

10. Klasifikasi Derajat Ketulian Telinga Kiri dan Kanan Berdasarkan Nilai Ambang Dengar Pekerja yang Mendapat Paparan Bising Tinggi ... 37

11. Perbedaan Nilai Ambang Dengar Antara Tenaga Kerja yang Mendapat Paparan Bising Tinggi dan Rendah... 38

(17)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Anatomi Pendengaran ... 7 2. Kerangka Teori... 22

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di zaman modern, risiko penyakit yang timbul akibat kerja mengalami peningkatan menurut pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja di setiap tempat kerja. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan upaya pencegahan dalam menekan faktor risiko penyakit yang timbul akibat pekerjaan atau lingkungan kerja. Risiko yang timbul bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat bergantung jenis pekerjaannya (Rahmawati, 2016).

Kesehatan dan keselamatan kerja bertujuan agar pekerja/masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang baik, meliputi kesehatan fisik, mental, emosional maupun sosial dengan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum. Masih banyak perusahaan yang berorientasi pada kegiatan produksi sehingga mengabaikan kesehatan kerja. Perusahaan tidak menyadari dampak kegiatan produksi dapat mengakibatkan penurunan derajat kesehatan tenaga kerja, pemakaian mesin menimbulkan suara atau bunyi cukup besar (kebisingan) yang

(19)

2

dapat memberikan dampak kesulitan berkomunikasi, penurunan konsentrasi, dangangguan pendengaran ( Rahmawati, 2016).

Kebisingan (noise exposure) merupakan salah satu risiko yang dihasilkan oleh mesin atau alat dalam suatu proses produksi. Mesin atau alat tersebut menghasilkan suara yang melampaui nilai ambang batas (NAB) yang telah ditetapkan. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 13/Men/X/2011 bahwa nilai ambang batas untuk kebisingan adalah 85 dB (A) dalam waktu pemaparan 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (Arini, 2005).

Kebisingan yang sangat kuat lebih besar dari 90 dB dapat menyebabkan gangguan fisik pada organ telinga. Terdapat 2 jenis kelainan yang berhubungan dengan pemaparan bising yaitu trauma akustik dan gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss/NIHL). Keduanya mengakibatkan kerusakan pendengaran dengan menyebabkan beberapa kerusakan pada telinga. Kerusakan telinga sangat bervariasi dari kerusakan ringan pada sel rambut sampai kerusakan total organ korti. Paparan bising pada fase akut dengan intensitas paparan 140 dB atau lebih menyebabkan trauma akustik dan terjadi penurunan pendengaran secara mendadak (Manoppo et al., 2014).

Seseorang yang bekerja di lingkungan bising terutama yang telah bekerja lebih dari lima tahun, kemungkinan besar dapat terkena penyakit tuli syaraf koklea yang tidak dapat disembuhkan. Hubungan antara kebisingan dengan kemungkinan timbulnya gangguan terhadap kesehatan sangat dipengarui oleh dua faktor, yaitu intensitas kebisingan dan lamanya seseorang berada di tempat bising (Soepardi et al., 2007).

(20)

3

Gangguan pendengaran akibat bising/ GPAB (Noise Induced Hearing Loss/NIHL) adalah gangguan pendengaran yang disebabkan oleh terpapar bising yang keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Awal studi epidemiologi gangguan pendengaran yang disebabkan oleh bising mengeksplorasi adanya hubungan atau faktor risiko antara pekerjaan, paparan tingkat kebisingan dan derajat gangguan pendengaran (Soepardi et al., 2007).

Di Amerika Serikat, sekitar 10 juta orang dewasa dan 5,2 juta anak sudah menderita gangguan pendengaran akibat bising dan 30 juta lebih lainnya dapat terkena dampak bising yang berbahaya setiap harinya. Survei terakhir dari Multi Center Study (MCS) juga menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran cukup tinggi, yakni 4,6% sementara tiga negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Menurut studi tersebut, prevalensi 4,6% sudah bisa menjadi referensi bahwa gangguan pendengaran memiliki andil besar dalam menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat (Timang, Danes, & Lintong, 2016).

Berdasarkan hasil Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran yang dilaksanakan di 7 provinsi, prevalensi ketulian di Indonesia adalah 0,4% dan gangguan pendengaran 16,8%, dengan penyebab utama gangguan pendengaran adalah: Infeksi telinga tengah (3,1%), presbikusis (2,6%), tuli akibat obat ototoksik (0,3%), tuli sejak lahir/kongenital (0,1%) dan tuli akibat pemaparan bising (Rahmawati, 2016).

(21)

4

Dalam suatu kegiatan industri, paparan dan risiko bahaya kebisingan di tempat kerja tidak dapat dihindari. Di PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri tingkat kebisingan mencapai 93 dB dan para pekerja jarang memakai alat pelindung diri. Maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang: “Perbedaan Rerata Ambang Dengar Antara Tenaga Kerja yang Mendapat Paparan Bising Tinggi dan Rendah Di PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri”.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Berapakah rerata ambang dengar pada tenaga kerja yang mendapat paparan bising tinggi?

2. Berapakah rerata ambang dengar pada tenaga kerja yang mendapat paparan bising rendah?

3. Adakah perbedaan ambang dengar antara tenaga kerja yang mendapat paparan bising tinggi dan rendah?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan rerata ambang dengar antara tenaga kerja yang mendapat paparan bising tinggi dan rendah.

(22)

5

1.3.2 Tujuan Khusus

a) Mengetahui rerata ambang dengar tenaga kerja yang mendapat paparan bising tinggi.

b) Mengetahui rerata ambang dengar tenaga kerja yang mendapat paparan bising rendah.

c) Mengetahui perbedaan rerata ambang dengar tenaga kerja yang mendapat paparan bising tinggi dan rendah.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada :

1. Bagi pengusaha, dapat dijadikan bahan masukan untuk melakukan upaya pencegahan terhadap terjadinya gangguan pendengaran pada tenaga kerja yang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas kerja.

2. Bagi tenaga kerja, meningkatnya kesadaran akan pemakaian alat pelindung diri pendengaran untuk mengurangi dampak dari paparan bising (noise exposure).

3. Bagi mahasiswa, untuk mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh guna pengembangan pengetahuan khususnya dibidang ilmu kesehatan.

4. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya permasalahan mengenai faktor risiko yang berhubungan terhadap penurunan daya pendengaran, digunakan sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut.

(23)

27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Telinga dibedakan atas bagian luar, tengah, dan dalam (Gambar 2). Telinga berfungsi ganda yaitu untuk fungsi pendengaran dan keseimbangan. Membran timpani memisahkan telinga luar dan telinga tengah (cavum tympanica). Tuba auditorius menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring (Moore & Agur, 2012).

Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang telinga, dan membran timpani. Daun telinga tersusun atas tulang rawan (kartilago) sedangkan 1/3 bagian luar liang telinga tersusun atas tulang rawan dan 2/3 bagian dalam tersusun atas tulang sejati.

Telinga tengah adalah suatu ruang yang berbentuk kubus dengan membran timpani sebagai batas luar dan promontorium sebagai batas dalam. Telinga dalam disebut juga sebagai labirin terletak di dalam pars petrosa, salah satu bagian tulang temporal. Bagian dalam membentuk suatu rongga tertutup disebut

labirin membranasea yang berisi endolimfe, yang terbungkus dalam labyrinthus membranaceus dikelilingi oleh cairan perilimfe terbenam di dalam labyrinthus osseus yaitu labirin tulang (Moore & Agur, 2012). Labirin tulang memiliki

(24)

7

bagian vestibuler dan koklear. Bagian vertibuler yaitu vestibulum dan kanalis semisirkularis berhubungan dengan fungsi keseimbangan, sedangkan bagian koklear yaitu koklea berhubungan dengan fungsi pendengaran (Tantana, 2014).

Gambar 2. Anatomi Pendengaran

2.3.1 Telinga Luar

Telinga mentransmisikan gelombang suara ke membran timpani. Telinga bagian luar yang berfungsi menangkap gelombang suara disebut

Pinna. Pinna merupakan bagian yang menonjol dari sisi tengkorak, terbuat dari tulang rawan ditutupi oleh kulit, yang berfungsi mengumpulkan suara

(25)

8

dan menghantarkan suara ke dalam saluran telinga (meatus acusticus externus) (Alberti, 2001).

Meatus acusticus externus merupakan saluran telinga yang berfungsi menghantarkan gelombang suara ke membran timpani. Membran timpani (membrane tympanica atau gendang telinga) memisahkan telinga luar dan dalam yang akan bergetar dalam menanggapi gelombang suara yang dihantarkan (Moore & Agur, 2012).

Membran timpani yang berdiameter lebih kurang 1 cm adalah selaput yang tipis, jorong, dan setengah tembus pandang. Selaput ini merupakan pembatas antara luar telinga dengan bagian tengah telinga. Di bagian luar membran timpani dilapisi kulit yang tipis dan di bagian dalam dilapisi membran mukosa. Membran timpani berbentuk cekung dengan bagian tengah yang lebih rendah, dikenal sebagai umbo membranae tympanicae. Dari bagian tersebut terdapat daerah yang cerah ke antero-inferior, yaitu kerucut cahaya (Eryani, 2016).

Permukaan luar membran timpani dipersarafi oleh nervus auriculotemporalis, cabang dari N. Mandibularis. Permukaan dalam membran timpani dipersarafi oleh nervus glossopharyngeus (N. Cranialis IX) (Moore & Agur, 2012).

2.3.2 TelingaTengah

Telinga tengah terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis yang terdiri dari kavitas timpani, yakni di rongga yang terisi udara berbentuk

(26)

9

menyerupai suatu kotak dengan enam sisi yang dilapisi oleh membran mukosa (Dina, 2013). Dinding luar dari telinga tengah adalah membran timpani, dinding bagian dalam adalah koklea (Alberti, 2001).

Pada ruang tengah telinga terdapat membran timpani, tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (tulang martil), incus (tulang landasan) dan stapes (tulang sanggurdi), dan tuba eustachius (Eryani, 2016).

Tulang-tulang pendengaran membentuk suatu sistem pengungkit dan batang yang meneruskan suatu energi mekanis getar ke cairan periotik. Sistem tersebut terdiri dari maleus (landasan) dan stapes (sanggurdi). Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan respon rotasi terhadap gerakan membran timpani melalui suatu aksis yang merupakan suatu garis antara ligamentum maleus anterior dan ligamen inkus pada ujung prosesus brevis (D. Rahmawati, 2015).

Terdapat dua otot di telinga tengah yaitu muskulus tensor timpani berfungsi sebagai pengatur membran timpani dan muskulus stapedius berfungsi sebagai pengatur gerak stapes (Tantana, 2014). Telinga bagian tengah dipersarafi oleh chorda tympanica, cabang N. Cranialis VII (nervus facialis) dan plexus tympanicus pada promontorium (Moore & Agur, 2012).

(27)

10

2.3.3 Telinga Dalam

Telinga bagian dalam atau organum vestibulocochleare berhubungan dengan penerimaan bunyi dan pemeliharaan keseimbangan (Moore & Agur, 2012). Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran, vestibuler yang terdiri dari tiga buah kanalis yang menghubungkan perilimfe skala timpani dengan skala vestibuli, dan

canalis semicirculares; ductus semicirculares. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe, sedangkan skala media berisi endolimfe.

Dasar skala vestibuli (membran Reissner) dan dasar skala media (membran basalis) terdapat organ korti yang merupakan organ reseptor yang membangkitkan impuls saraf sebagai respons terhadap getaran membran basilaris (Akbar, 2014). Telinga dalam dipersarafi oleh nervus facialis (N. Cranialis VII), cabang – cabang nervus vestibulochoclearis (N. Cranialis VIII). Di dekat ujung lateral meatus acusticus internus, nervus vestibulochoclearis bercabang dua menjadi nervus choclearis dan nervus vestibularis (Moore & Agur, 2012).

2.2 Fisiologi Pendengaran

Telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, tengah dan dalam. Bagian luar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara telinga dalam yang berisi cairan, di mana energi suara mengalami penguatan dalam proses ini. Telinga dalam berisi dua sistem sensorik yang berbeda: koklea, yang mengandung reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf

(28)

11

sehingga kita dapat mendengar; dan aparatus vestibulare, yang berperan penting bagi sensasi keseimbangan.

Pendengaran adalah persepsi energi suara oleh saraf.Pendengaran terdiri dari dua aspek: identifikasi suara “apa” dan lokasinya “dimana” (Sherwood, 2011). Ketika gelombang suara ditangkap oleh pinna kemudian masuk ke dalam telinga melalui meatus acusticus externus dan menggetarkan membran timpani, gelombang suara akan diteruskan ke telinga tengah. Tulang – tulang telinga tengah mengubah getaran membran timpani menjadi gerakan cairan di telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh adanya rantai tiga tulang pendengaran, atau osikulus (maleus, inkus, dan stapes), yang dapat bergerak dan membentang di telinga tengah (Guyton & Hall, 2008).

Tulang pertama, maleus, melekat pada membrane timpani, dan tulang terakhir, stapes, melekat pada jendela oval, pintu masuk ke dalam koklea yang berisi cairan. Membran timpani bergetar sebagai respon terhadap gelombang suara, rangkaian tulang – tulang pendengaran tersebut ikut bergerak dengan frekuensi yang sama menghantarkan suara ke jendela oval. Tekanan yang terjadi di jendela oval akan menimbulkan gerakan cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama seperti gelombang suara asal. Untuk dapat menggetarkan cairan telinga dalam diperlukan tekanan yang lebih besar. Oleh karena itu, sistem osikulus memperkuat tekanan yang ditimbulkan oleh gelombang suara di udara melalui dua mekanisme agar cairan di dalam koklea bergetar (Sherwood, 2011).

Pertama, karena luas permukaan membran timpani jauh lebih besar daripada luas jendela oval maka terjadi peningkatan tekanan tekanan ketika gaya

(29)

12

yang bekerja pada membran timpani disalurkan oleh osikulus ke jendela oval (tekanan=gaya/luas).

Kedua, efek tuas osikulus juga menimbulkan penguatan. Kedua mekanisme ini meningkatkan gaya yang bekerja pada jendela oval sebesar 20 kali dibandingkan dengan jika gelombang suara langsung mengenai jendela oval. Penambahan tekanan ini sudah cukup untuk menggetarkan cairan di koklea (Sherwood, 2011).

Koklea adalah suatu sistem tuba yang melingkar seperti “rumah siput”. Koklea terdiri dari tiga kompartemen yaitu: (1) skala vestibuli; (2) skala media; dan (3) skala timpani. Diantara skala vestibuli dan skala media dipisahkan oleh

membrane Reissner (membrane vestibularis), sedangkan skala timpani dan skala media dipisahkan oleh membrane basiler. Pada permukaan membran basiler terletak organ korti yang mengandung serangkaian sel yang sensitif secara elektromekanik, yaitu sel – sel rambut. Sel ini merupakan organ reseptif akhir yang membangkitkan impuls saraf sebagai respon terhadap getaran suara (Guyton & Hall, 2008).

Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan jendela oval sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran vestibularis (Reissner’s membranae). Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel – sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik

(30)

13

dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut yang melepaskan neurotransmiter ke dalam sinaps dan akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, kemudian dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 – 40) di lobus temporalis (Soepardi et al., 2007).

Pada saat suara keras ditransmisikan melalui sistem tulang pendengaran ke dalam sistem saraf pusat setelah periode laten yang hanya selama 40 sampai 80 milidetik (mdet) akan timbul refleks untuk menyebabkan kontraksi musculus stapedius dan sedikit lebih lemah pada musculus tensor timpani. Muskulus tensor timpani akan menarik tangkai maleus ke arah dalam, sedangkan muskulus stapedius menarik stapes keluar. Dua tenaga ini berlawanan satu sama lain, sehingga menyebabkan seluruh sistem tulang pendengaran meningkatkan rigiditasnya, dan sangat mengurangi konduksi tulang pendengaran dari suara yang berfrekuensi rendah, terutama frekuensi dibawah 1000 siklus per detik.

Refleks penguatan dapat mengurangi intensitas transmisi suara berfrekuensi rendah sebanyak 30 sampai 40 desibel (dB), yang lebih kurang merupakan perbedaan yang sama seperti antara suara keras dan suara bisikan. Fungsi dari mekanisme tersebut diduga meningkat dua kali lipat: (1) untuk melindungi koklea dari getaran merusak yang disebabkan oleh suara yang sangat keras; dan (2) untuk menutupi suara berfrekuensi rendah pada lingkungan suara keras. Hal ini biasanya menghilangkan sebagian besar suara lingkungan, sehingga seseorang dapat berfokus pada suara diatas 1000 siklus per detik. Fungsi lain dari muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius adalah

(31)

14

menurun kan sensitivitas pendengaran pada suara orang itu sendiri. Pengaruh tersebut diaktivasikan oleh sinyal - sinyal saraf kolateral yang di transmisikan ke otot – otot tersebut pada saat yang bersamaan dengan otak mengaktivasi mekanisme suara (Guyton & Hall, 2008).

2.3 Gangguan Fisiologi Telinga

Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan gangguan pada telinga dalam menyebabkan tuli sensorinural, yang terbagi atas tuli kokla dan tuli retrokoklea. Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafness) dan tuli campuran (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara akibat kelainan atau penyakit di telinga luar atau telinga tengah.

Tuli sensorineral terjadi kelainan pada telinga dalam (koklea), nervus vestibulokoklearis atau di pusat pendengaran (lobus temporal), sedangkan tuli campur disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural (Soepardi et al., 2007).

2.4 Kebisingan

Kebisingan adalah suara berasal dari alat atau mesin pada tingkat intensitas tertentu yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran (Fallis, 2013). Dalam medis, kebisingan didefinisikan sebagai suara dengan intensitas tinggi yang terus menerus menyebabkan gangguan pada fungsi pendengaran (Schink, Kreutz et al., 2014).

(32)

15

Definisi lain tentang kebisingan menurut para ahli: (1) Denis, kebisingan adalah suara yang timbul dari getaran – getaran yang tidak teratur dan periodik; (2) Spooner, kebisingan adalah suara yang tidak mengandung kualitas musik; (3) Hiers and Ward, kebisingan adalah suara yang kompleks dimana mempunyai sedikit/tidak punya periodik dan bentuk gelombang yang tidak beraturan dalam waktu tertentu; (4) Born and Littler, kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki oleh pendengar; dan (5) Wall, kebisingan adalah suara yang mengganggu (Arini, 2005).

2.4.1 Jenis – jenis kebisingan

Ada beberapa perbedaan mengenai definisi bising, diantaranya yang paling sederhana adalah bising atau kebisingan merupakan sesuatu hal yang tidak diinginkan yang dipengaruhi oleh frekuensi dan intensitas suara. Berikut adalah jenis – jenis bising menurut Soeripto, 2009:

1. Kebisingan yang kontinu dengan frekuensi spektrum luas (steady state, wide band noise), misalnya mesin dan alat elektronik.

2. Kebisingan yang kontinu dengan frekuensi spektrum sempit (steady state, narrow band noise), misalnya gergaji.

3. Kebisingan dengan frekuensi terputus – putus (intermitten), misalnya lalu lintas dan pesawat.

4. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti pukulan, meriam atau tembakan, ledakan, dan kebisingan impulsif berulang, misalnya mesin – mesin yang ada di perusahaan (Fallis, 2013).

(33)

16

Sedangkan frekuensi ialah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion)

yang dinyatakan dalam Hertz (Hz) (Soepardi et al., 2007). Tabel 2. Skala Intensitas Kebisingan dan Sumbernya

SKALA INTENSITAS

(dB)

SUMBER KEBISINGAN Kerusakan alat

pendengaran

120 Batas dengar tertinggi

Menyebabkan Tuli 100 – 110 Halilintar, meriam, mesin uap, mesin turbin pesawat udara di Bandara Sangat Kuat 80 – 90 Suara Bising jalan raya, perusahaan

sangat gaduh, peluit polisi.

Kuat 60 – 70 Kantor bising, jalanan pada umumnya, radio, perusahaan.

Sedang 40 – 50 Rumah gaduh, kantor pada umumnya, percakapan kuat, radio perlahan. Tenang 20 – 30 Rumah tenang, kantor perorangan,

Auditorium, percakapan. Sangat Tenang 10 – 20 Suara berbisik.

Sumber : Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Fallis, 2013)

2.5 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Nilai ambang batas (NAB) kebisingan 85 dB(A), diatur oleh Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 13/Men/X/2011 Peraturan Perundangan yang berkaitan dengan kebisingan di tempat kerja. Nilai Ambang Batas (NAB) ialah suatu kriteria atau angka yang diperbolehkan untuk kebisingan 85 dB(A) dengan waktu kerja selama 8 jam/hari dan pekerja tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB(A) walau sesaat. Baku mutu dan nilai ambang batas kebisingan dapat dilihat pada Tabel 3.

(34)

17

Tabel 3. Nilai Ambang Batas Kebisingan

Lama Paparan per Hari Intensitas Kebisingan (dBA)

8 Jam 85 4 88 2 91 1 94 30 Menit 97 15 100 7,50 103 3,75 106 1,88 109 0,94 112 28,12 Detik 115 14,06 118 7,03 121 3,52 124 1,76 127 0,88 130 0,44 133 0,22 136 0,11 139

2.6 Gangguan Pendengaran Akibat Kebisingan

Gangguan yang ditimbulkan oleh kebisingan pada fungsi pendengaran dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu: (1) Trauma akustik, hilangnya pendengaran yang umumnya dikarenakan pengaruh paparan/eksposur tunggal atau beberapa eksposur dari kebisingan dengan intensitas yang sangat tinggi dalam waktu yang singkat, seperti ledakan (Eryani, 2016). Suara yang sangat keras seperti ledakan meriam dapat memecahkan gendang telinga, merusakkan sel sensoris saraf pendengaran, akibat terasa mendadak dan dramatis, jadi tenaga kerja dapat mengetahui penyebabnya; (2) Temporary Treshold Shiff (Ketulian sementara), bila tenaga kerja memasuki ruang yang sangat bising

(35)

18

pendengarannya akan berkurang. Berkurangnya pendengaran ini tidak berlangsung terus-menerus dan akan kembali lagi seperti biasa setelah beberapa lama (Soepardi et al., 2007).

Waktu kembalinya pendengaran bisa terjadi beberapa menit sampai beberapa jam bahkan hari tergantung dari tingginya intensitas semula dibutuhkan waktu 3 x 24 jam s/d 7 x 24 jam. Apabila tenaga kerja sudah terpapar kembali sebelum pemulihan sempurna mengakibatkan adanya sisa-sisa ketulian, sementara apabila terpapar secara terus-menerus selama bertahun-tahun akan berubah menjadi ketulian yang menetap; (3) Permanent Treshold Shiff (Ketulian menetap) ketulian ini juga sering disebut Noise Permanent Treshold Shift

(NPTS) atau Noise Induced Hearing Loss (NIHL), yaitu hilangnya pendengaran secara perlahan-lahan karena kerusakan sensorineural akibat dari pemaparan kebisingan yang lama dengan intensitas yang tinggi. Sifat dari ketulian tersebut

irreversible dan tidak dapat sembuh kembali. Penurunan berlangsung secara perlahan-lahan dan membutuhkan waktu yang lama.

Lokasi dari kerusakan terjadi pada organ corti dan koklea dimana terdapat reseptor serabut yang berupa hair cells (Eryani, 2016).

2.7 Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Gangguan pendengaran akibat bising atau noise induced hearing loss

(NIHL) adalah gangguan pendengaran tipe sensorineural yang disebabkan oleh pajanan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang lama, biasanya akibat bising lingkungan kerja.

(36)

19

Tabel 4. WHO Grades of Hearing Impairment (S.W.A,2010).

Grade Ambang Dengar (dBA) Kerusakan

0 < 20 dB Tidak ada, dapat mendengar suara bisikan.

1 26 dB – 40 dB Sedikit, dapat mendengar kata-kata dengan suara normal.

2 41 dB – 60 dB Sedang, dapat mendengar kata-kata dengan suara yang keras.

3 61 dB – 90 dB Berat, dapat mendengar kata-kata jika berteriak ke telinga

4 > 90 dB Sangat berat, tidak dapat mendengar kata teriakan.

Gejala dari gangguan pendengaran akibat bising adalah terjadinya kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging di telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih berat percakapan yang keraspun sulit dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar menetap (permanent threshold shift) (Rahmawati, D., 2015).

2.7.1 Karakteristik Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Menurut Departemen Kesehatan pada tahun 1998, Komite Nasional Kebisingan dan Konservasi Mendengar didefinisikan karakteristik sebagai berikut: (1) Biasanya tuli tipe sensorineural dan organ corti di telinga bagian dalam telah rusak; (2) Biasanya bilateral, dengan pola yang sama di setiap telinga. Dalam beberapa situasi, tingkat gangguan pendengaran berbeda antara telinga; (3) Biasanya tidak menghasilkan gangguan

(37)

20

pendengaran lebih besar dari 40dB (NA) pada frekuensi rendah dan 75dB (NA) di frekuensi yang tinggi. Gangguan akan mulai hilang pada saat intensitas paparan kebisingan berkurang; (4) Adanya NIHL tidak membuat telinga lebih sensitif terhadap suara melainkan nilai ambang dengar meningkat menyebabkan penurunan tingkat sensitif telinga terhadap suara; (5) Hilangnya pendengaran dimulai dari frekuensi 3, 4, dan 6 kHz dan berkembang semakin berat pada frekuensi 8, 2, 1, 0,5, dan 0,25 kHz; (6) Dengan kondisi eksposur yang stabil, penurunan pendengaran berkisaran 3, 4, dan 6 kHz pada umumnya setelah 10 sampai 15 tahun terpapar; dan (7) Pekerja dengan NIHL meningkatnya intoleransi terhadap suara keras, mengeluh tinitus dan mengurangi kejelasan ucapan yang menghambat komunikasi lisan (Metidieri et al., 2013).

2.7.2 Patologi Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Paparan kebisingan yang berlebihan terhadap pendengaran baik jangka panjang, paparan berulang, dan paparan tunggal yang sangat terus - menerus menyebabkan kerusakan pada sistem pendengaran dan hasil dalam gangguan pendengaran, disebut gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss). Gangguan pendengaran biasanya berlangsung lambat tetapi berlangsung secara terus menerus. Efek bahaya dari paparan bising dapat terjadi meskipun paparan kebisingan telah berhenti dan biasanya bersifat sementara.

(38)

21

Kerusakan yang terjadi pada rumah siput dengan suara keras terjadi dengan dua cara: (1) kehancuran mekanik, paparan suara keras secara terus – menerus menyebabkan sel – sel rambut kehilangan kelenturannya sehingga terjadi penurunan fungsi sel – sel tersebut. Perubahan ini terjadi dari waktu ke waktu sampai sel sensorik pada akhirnya hancur dan tidak lagi mampu melaksanakan fungsinya; dan (2) aktivitas metabolik di tingkat sel, sebuah tingkat yang lebih tinggi dari energi yang dibutuhkan oleh sel-sel rambut selama periode paparan untuk suara keras (Fallis, 2013).

Peningkatan konsumsi oksigen mengakibatkan peningkatan radikal bebas di dalam koklea. Mekanisme pertahanan antioksidan di dalam telingatidak mampu mengatasi radikal bebas yang tinggi sehingga terjadi kematian sel.

Perubahan fisiologis telinga terlihat dalam perubahan sensitivitas pendengaran dan/atau terjadi tinnitus (berdenging di telinga). Gangguan pendengaran dapat bersifat sementara atau permanen dan biasanya bilateral (Gregory et al., 2015).

Paparan suara keras untuk waktu yang lama menyebabkan kelelahan sel sensorik telinga, mengakibatkan gangguaan sementara pada pendengaran atau tinitus (sensasi denging di telinga). Hal ini disebut pergeseran ambang batas sementara. Misalnya, orang yang menghadiri konser keras yang merasa sedikit tuli atau mengalami tinitus. Gejala ini biasanya pulih dalam beberapa jam atau hari. Paparan kebisingan secara

(39)

22

terus – menerus atau tidak dapat menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel sensorik dan struktur lainnya, yang mengarah ke pergeseran ambang batas permanen (gangguan pendengaran permanen).

Akibat kebisingan, gangguan pendengaran awalnya melibatkan sel-sel sensorik yang menanggapi frekuensi tinggi (bernada tinggi) suara, khususnya 4 kHz. Namun, paparan secara intermiten mengakibatkan peningkatan kerusakan di frekuensi dan perkembangan gangguan pendengaran yang mulai mengganggu kegiatan sehari-hari individu lainnya. Kehilangan pendengaran merugikan mempengaruhi percakapan dan komunikasi, terutama pada suara dengan intensitas frekuensi yang rendah (Akbar, 2014).

Dalam studi penelitian, telah menunjukkan bahwa penggunaan terus-menerus dari perangkat audio pribadi selama atau lebih dari lima tahun dapat menyebabkan perubahan dalam pendengaran frekuensi tinggi (4 kHz). Gangguan pendengaran ini dapat dideteksi pada pengujian audiologi melalui Audiometri Nada Murni. Audiogram menampilkan penurunan tajam dalam mendengar pada frekuensi antara 3 dan 6 kHz. Dengan paparan lanjutan hilangnya pendengaran meluas ke frekuensi yang lebih tinggi (Gregory et al., 2015).

(40)

23

2.8 Kerangka Teori

Gambar 2. Kerangka Teori (Arini EY, 2005; Khakim, 2011; Eryani, 2016) Gangguan Nilai Ambang Dengar Mesin Produksi Trauma akustik Intensitas Kebisingin PT. Perkebunan Nusantara 7 Unit Bekri

Treshold Temporary Shiff (Ketulian

sementara)

Noise Permanent Treshold Shift (NPTS)

atau Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Permanent Treshold Shiff (Ketulian menetap) kerusakan organ corti dan

koklea (reseptor hair cells)

(41)

24

2.9 Konsep Penelitian

2.10 Hipotesis Penelitian

1 : Tidak ada perbedaan rerata ambang dengar antara tenaga kerja yang mendapat paparan bising tinggi dan rendah.

2 : Ada perbedaan rerata ambang dengar antara tenaga kerja yang mendapat paparan bising tinggi dan rendah.

Nilai Ambang Dengar Tingkat Kebisingan

>NAB dan <NAB

(42)

25

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian dilakukan secara observasional dengan rancangan cross sectional, yaitu melakukan pengukuran terhadap ambang dengar tenaga kerja yang berisiko tinggi dan tenaga kerja yang tidak berisiko tinggi paparan kebisingan, setiap subyek hanya dilakukan obervasi satu kali dan pengukuran dilakukan terhadap sampel pada saat pemeriksaan. Penelitian ini untuk mengetahui perbedaan rerata ambang dengar pada tenaga kerja yang terpapar bising tinggi dan rendah di PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri (Tantana, 2014).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian di PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri, Sinar Banten, Bekri, Central Lampung Regency, Lampung 34162 merupakan agribisnis perkebunan dengan komoditas karet, kelapa sawit, teh dan tebu. Perusahaan ini dibentuk pada 11 Maret 1996, bernama PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) dan 17 September 2014, PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) menjadi PT. Perkebunan Nusantara VII. Dipilihnya PT. Perkebunan

(43)

26

Nusantara VII Unit Bekri sebagai lokasi penelitian dengan alasan adanya tingkat bising di tempat kerja mencapai 93 dB. Penelitian dilakukan pada Selasa, 17 Januari 2017.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan elemen/subjek riset. Populasi penelitian adalah tenaga kerja PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.3.2 Sampel Penelitian

Dalam pengambilan sampel digunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi, yaitu:

n = { √ } √ ) ) )

n = Besar sampel

Z1-α = derajat kepercayaan yaitu 95 %, jadi Z = 1,96 Z1-β= 0,84 pada kekuatan uji 80 %

P1= 0,396 (Proporsi pekerja yang mendapat paparan bising tinggi di PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri) (Akbar, 2014).

P2= 0,053 (Proporsi pekerja yangmendapatpaparan bising rendah di PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri) (Akbar, 2014).

(44)

27

n= { √ ) √ ) )} ) = 25 n= 25x2= 50 pekerja

Untuk menghindari drop out apabila ada pekerja yang tidak menjadi sampel maka sampel ditambahkan 10% dari sampel yang ada menjadi 55 responden. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan Consecutive Sampling.

3.4 Kriteria Inklusi

Sampel penelitian sebanyak 50 responden adalah sebagian dari populasi yang ditentukan dengan kriteria inklusi sebagai berikut:

1. Tenaga Kerja PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri. 2. Bersedia mengikuti penelitian.

3. Tenaga Kerja yang bekerja ≥5 tahun.

4. Tenaga kerja terpapar bising tinggi danrendah.

3.5 Kriteria Ekslusi

Sampel penelitian sebanyak 50 responden disesuaikan dengan kriteria eksklusi dalam penelitian ini. Kriteria ekslusi yang diajukan adalah:

1. Tenaga kerja yang berusia >55 tahun.

2. Tenaga kerja yang tidak mengikuti jalannya penelitian.

(45)

28

3.6 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 3.6.1 Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : Tingkat Kebisingan >NAB dan <NAB . 2. Variabel Terikat : Ambang dengar.

3.6.2 Definisi Operasional Variabel

Tabel 4.Definisi Operasional. (Akbar, 2014) No Variabel Definisi Alat

Ukur

Cara Ukur Hasil Ukur Skala

1 Tingkat Bising> NAB dan < NAB Kebisingan diatas 85dB(A) dan kebisingan dibawah 85dB(A). Sound Level Meter Alat di hidupkan kemudian diletakkan di ruangan atau sumber suara yang akan diukur, dicatat selama 10-15 detik. Lalu ukur di beberapa titik setiap 5-10 menit. 1. ≤85 dB 2. >85 dB Nominal 2 Ambang Dengar Ambang pendengaran merupakan kemampuan seseorang dalam menerima suara terendah oleh telinga (mendengar) dari nada murni. Audiom etri Air Conducti on(AC) dan bone conducti on (BC). Permasangan headphone, lakukan pengenalan bunyi. Stimulus diberikan pada frekuensi 1000 Hz, 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz dan 8000 Hz. Lalu ulang pada frekuensi 1000 Hz dilanjutkan frekuensi 500 Hz dan 250 Hz. Ambil ambang yang paling terendah. 1. Peningkatan ambang dengar (> 25 dB) 2. Normal (≤ 25 dB) (ISO, dalam Istantyo 2011). Numerik

(46)

29

3.7 Prosedur Penelitian

3.8 Pengumpulan Data 3.8.1 Sumber Data

Sumber data merupakan subjek dari mana data diperoleh. Dalam penelitian ini data yang digunakan data primer yang merupakan data yang didapatkan dari pengukuran ambang dengar tenaga kerja dan pengambilan data tenaga kerja PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri.

3.8.2 Alur Pengambilan Data

Alur pengambilan data dalam penelitian ini yaitu pengumpulan data penelitian dengan pengukuran sebagai berikut:

- Surat pengantar pada FK Unila untuk melakukan penelitian setelah proposal disetujui oleh pembimbing.

Pembuatan Proposal Penelitian

Seminar Proposal Pengambilan data dan

melakukan pemeriksaan.

Permohonan izin untuk pengambilan data dan pemeriksaan pada tenaga

kerja.

Meminta Izin penelitian ke

PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri

Menentukan sampel sesuai kriteria inklusi dan ekslusi.

Pengolahan Data dan Analisis Data

(47)

30

- Mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri.

- Meminta izin untuk melakukan pengukuran ambang dengar tenaga kerja PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri.

- Mengajukan surat permohonan izin kepada calon responden terkait penelitian.

- Melakukan pengambilan data dan pengukuran ambang dengar tenaga kerja PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri. Pertama, responden diberi penjelasan mengenai manfaat penelitian, tujuan penelitian dan kerahasiaan informasi serta menyetujui atau menandatangani lembar

Informed consent. Kedua, melakukan pemeriksaan ambang dengar pada responden dengan alat audiometri.

- Melakukan pengolahan dan analisis data.

3.9 Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh akan diubah ke dalam bentuk tabel yang kemudian data tersebut akan diolah menggunakan aplikasi program statistik.

3.10 Analisi Data

3.10.1 Analisis Univariat

Analisis univariat (deskriptif) bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik tiap variabel penelitian. Pada penelitian ini analisis yang

(48)

31

digunakan adalah nilai mean jumlah nilai ambang dengar dan gambaran dari masing- masing variabel.

3.10.2 Analisis Bivariat

Uji normalitas data yang digunakan adalah uji saphiro-wilk. Distribusi data didapatkan nilai p=0,00 atau p<0,05 yang artinya data tidak normal sehingga analisis data menggunakan uji statistik Mann Whitney U Test (Eryani, 2013).

Analisis bivariat yang digunakan untuk melihat perbedaan nilai ambang dengar antara pekerja yang mendapat paparan bising tinggi dan rendah.

3.11 Etika Penelitian

Penelitian ini sudah mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor 788/UN26.8/DL/2017. Adapun ketentuan etik yang telah ditetapkan adalah persetujuan riset yang berisi pemberian informasi kepada subjek penelitian mengenai keikutsertaan subjek penelitian dalam penelitian.

(49)

27

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Rerata ambang dengar tenaga kerja yang mendapat paparan bising rendah sebesar 20,19 dB telinga kiri dan 19,71 dB telinga kanan.

2. Rerata ambang dengar tenaga kerja yang mendapat paparan bising tinggi sebesar 22,22 dB telinga kiri dan 22,76 dB telinga kanan.

3. Terdapat perbedaan rerata ambang dengar antara tenaga kerja yang mendapat paparan bising tingi dan rendah.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagi seluruh pekerja PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri untuk melakukan upaya pencegahan terhadap terjadinya gangguan pendengaran dengan melakukan pembinaan tentang bahaya potensial ditempat kerja, pemeriksaan kesehatan secara berkala pada tenaga kerja yang memiliki risiko terjadinya gangguan pendengaran sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun sesuai dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.02/MEN/1980

(50)

51 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dan penyelenggaraan keselamatan kerja.

2. Diharapkan mengadakan Program Konservasi Pendengaran bagi seluruh staff PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Bekri.

3. Bagi tenaga kerja, diharapkan untuk menggunakan alat pelindung diri pendengaran berupa ear plug atau ear muff untuk mengurangi dampak dari paparan bising.

4. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya permasalahan mengenai faktor risiko yang berhubungan terhadap penurunan daya pendengaran, diharapkan untuk melakukan penelitian yang lebih luas dan spesifik terhadap faktor-faktor penyebab penurunan daya pendengaran.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar R. 2014. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu. [Disertasi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri.

Alberti PW. 2001. The Anatomy and Physiology of the Ear and Hearing. Occupational Exposure to Noise: Evaluation, Prevention and Control, 53 – 62. http://www.who.int/occupational_health/publications/noise2.pdf

Andriani S, Subhi M, Suprijanto D, Handayani WD, Chodir A, Sukma F, Indahwati L. 2013. Prevalensi dan Faktor Risiko Tuli Akibat Bising pada Operator Mesin Kapal Feri (Prevalence and Risk Factors Noise Induced Hearing Loss on the Ferry Machine Operator), 7(12), 545–550.

Anonim. 2012. Perbedaan Nilai Ambang Dengar Antara Tenaga Kerja Ground Handling Dengan Pegawai Administrasi di Bandar Udara Sam Ratulangi Manado. Fakultas Kesehatan Masyarakat, 17–22.

Anonim. 2009. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Gangguan Pendengaran. Universitas Sumatra Utara, 10–11.

Arini EY. 2005. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Tipe Sensorineural Tenaga Kerja Unit Produksi di PT. Kurnia Jati Utama Semarang.[Disertasi]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Dina L. 2013. Prevalensi Presbikusis dan Faktor Risiko yang Mempengaruhi Lanjut Usia di Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten. [Disertasi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah.

Eryani YM. 2013. Hubungan Intensitas Kebisingan, Durasi Paparan dan Penggunaan Alat Pelindung Diri Dengan Gangguan Pendengaran Akibat Bising Pada Karyawan PT. Bukit Asam (Persero) Tbk Bandarlampung. [Skripsi] Journal of Chemical Information and Modeling. Universitas Lampung.

Fallis A. 2013. Hubungan Antara Kebisingan dengan Fungsi Pendengaran. Journal of Chemical Information and Modeling. 53(9). 1689-1699

(52)

53

Gregory MC, Atkins CL, Barker DF. 2015. Hearing Loss. The New England Journal of Medicine, 330(10), 714.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical Physiology). (L.Y. Rachman, H. Hartanto, A. Novrianti, & N. Wulandari, Eds.) (11th ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Khakim UI. 2011. Hubungan Masa Kerja Dengan Nilai Ambang Dengar Tenaga Kerja yang Terpapar Bising Pada Bagian Weaving di PT. Triangga Dewi Surakarta. [Disertasi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Manoppo FN, Supit W, Danes VR. 2014. Hubungan Antara Kebisingan dan Fungsi Pendengaran Pada Petugas PT. Gapura Angkasa di Bandar Udara Sam Ratulangi Manado.1.

Metidieri MM, Santos Rodrigues HF, De Oliveira Filho FJMB, Ferraz DP, De Almeida Neto AF, Torres S. 2013. Noise-Induced Hearing Loss (NIHL): Literature review with a focus on occupational medicine. International Archives of Otorhinolaryngology, 17(2), 208–212. http://doi.org/10.7162/S1809-97772013000200015

Moore KL, Agur AMR. 2012. Anatomi Klinis Dasar (Essensial Clinical Anatomy). (V. Sadikin & V. Saputra, Eds.). Jakarta: Hipokrates.

Rahmawati D. 2015. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero)Tahun 2015. [Disertasi]. Jakarta: Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatulah.

Rahmawati FN. 2016. Hubungan Intensitas Kebisingan Dengan Penurunan Daya dengar Tenaga Kerja Bagian Produksi Di PT Wijaya Karya Beton Tbk ppb Majalengka. Publikasi Ilmiah, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2, 16.

Schink T, Kreutz G, Busch V, Pigeot I, Ahrens W. 2014. Incidence and relative risk of hearing disorders in professional musicians. Occupational and Environmental Medicine, 71(7), 472–6. http://doi.org/10.1136/oemed-2014-102172

Sherwood L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke sistem (Human Physiology : from Cells to Systems). (N. Yesdelina, Ed.) (6th ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

(53)

54 Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. (EA Soepardi, N Iskandar, J Bashiruddin, and R Dwi Restuti, Eds.) (6th ed.). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tantana O. 2014. Hubungan Antara Jenis Kelamin, Intensitas Bising, Dan Masa Paparan Dengan Risiko Terjadinya Gangguan Pendengaran Akibat Bising Gamelan Bali Pada Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan. TESIS. Denpasar: Universitas Udayana.

Timang RPI, Danes VR, Lintong F. 2016. Hubungan Kebisingan Terhadap Fungsi Pendengaran Pekerja Mesin Pembangkit Listrik Tenaga Diesel di PLTD Suluttenggo Kota Manado, 4.

Dewi YA, Agustian RA. 2012. Skrining Gangguan Dengar pada Pekerja Salah Satu Pabrik Tekstil di Bandung (Hearing Test Screening at One of the Textile Factory Workers in Bandung). MKB, 44(2), 96–100.

Gambar

Gambar  2. Anatomi  Pendengaran
Tabel 2. Skala  Intensitas  Kebisingan  dan Sumbernya
Tabel 3. Nilai  Ambang  Batas  Kebisingan
Tabel 4. WHO Grades  of Hearing  Impairment  (S.W.A,2010).
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk meningkatkan kinerja karyawan di lembaga medis otonom, pemerintah harus fokus menghadapi semua faktor- faktor kepuasan kerja dan tidak hanya fokus pada salah

Padi hibrida galur mandul jantan dengan dua sumber sitoplasma perlu diuji lebih lanjut pada skala yang lebih besar untuk mengetahui genotipe yang resisten terhadap

Merumuskan bahan kebijakan teknis, strategi, perencanaan strategis dibidang Keagamaan, Pendidikan, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga, serta Bagian Kesejahteraan Sosial

The results demonstrate analytically, for the ®rst time, that the moving boundary induces interactions between the two primary tidal oscillations, generating a slowly damped water

(3) Rincian tugas dan fungsi Biro Pemerintahan sesuai Susunan Organisasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIa yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Pengembangan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang berupa Desain Hypermedia Berbasis WEB ini dilaksanakan dengan pendekatan engineering dimana tahapannya

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa walaupun pembayaran itu dilakukan oleh para Tergugat melebihi waktu yang

Ibu bekerja,sehingga pemberian susu formula menjadi jalan satu – satunya untuk pemberian makanan pada bayi,perilaku sikap ibu rendah seperti membuang kolostrum