401
Formulasi
Sediaan
Mikroemulsi
Flukonazol
dengan
Menggunakan Isopropil Miristat sebagai Fase Minyak
(Formulation of Fluconazole Microemulsion with Isopropyl Mirystat as Oil Phase)
Rini Agustin
1*, Hestiary Ratih
2, Aisah Hadiati
2 1Fakultas Farmasi, Universitas Andalas Padang
2
Fakultas Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani Bandung
Corresponding email: riniagustin74@ffarmasi.unand.ac.id
ABSTRAK
Flukonazol adalah obat jamur golongan triazol yang digunakan untuk pengobatan infeksi jamur superfisial dan sistemik. Efek samping yang kurang menyenangkan dari flukonazol dan belum tersedianya produk flukonazol secara topikal menjadi alasan mengapa obat ini perlu dibuat dengan sistem penghantaran obat baru yaitu melalui rute pemberian topikal. Dengan kelarutan flukonazol yang rendah dalam air yaitu 8mg/ml, maka formulasi dalam bentuk mikroemulsi akan menjadi keuntungan tersendiri pada sediaan ini, karena mikroemulsi memiliki kemampuan untuk meningkatkan kelarutan senyawa yang sukar larut.
Pada penelitian ini dikembangkan flukonazol topikal dalam bentuk mikroemulsi menggunakan isopropil miristat sebagai fase minyak, Tween 80 dan propilenglikol sebagai surfaktan dan ko-surfaktan. Formulasi yang berbeda dibuat untuk mengevaluasi pengaruh jumlah minyak, konsentrasi surfaktan/ko-surfaktan terhadap laju permeasi flukonazol secara in-vitro. Evaluasi mikroemulsi meliputi pengamatan organoleptis, pengukuran pH, pengukuran viskositas selama 28 hari, uji freeze and thaw selama 6 siklus, uji stabilitas dipercepat dengan sentrifugasi, penentuan kadar dan uji difusi. Formulasi terbaik yang diperoleh untuk mikroemulsi flukonazol adalah 5,24% isopropil miristat, Tween 80/propilenglikol 47,13% (2:1) dan air 47,13% dengan tingkat permeasi mencapai 80,58% pada menit 180.
Kata Kunci: Flukonazol, mikroemulsi topikal, tingkat permeasi
PENDAHULUAN
Pemberian obat topikal didefinisikan sebagai aplikasi formulasi obat pada kulit yang ditujukan langsung untuk mengobati gangguan kulit Kulit merupakan target yang penting pada aplikasi pengobatan Salah satu obat yang cara pemberiannya melalui rute pemberian topikal selain obat-obat untuk analgesik adalah obat antijamur. (Mantri, S.,et al., 2013; Salimi, A., et al., 2013).
Flukonazol adalah obat jamur golongan triazol yang digunakan untuk pengobatan
infeksi jamur superfisial dan sistemik, seperti pada kandidiasis vagina, orofaringeal dan kandidiasis esofagus serta meningitis kriptokokus. Selain itu efektif juga untuk pengobatan candida pada infeksi saluran kemih, peritonitis, dan infeksi kandida sistemik termasuk candidema, dan pneumonia. Obat antijamur triazole ini memiliki efek samping yang kurang menyenangkan berupa rasa mual, muntah, diare dan sakit perut (Chandrakant, M.S., et al., 2009).
402
Saat ini flukonazol yang banyak tersedia di pasaran adalah dalam bentuk tablet, suspensi oral dan larutan steril untuk infus. Efek samping yang kurang menyenangkan dari flukonazol dan belum tersedianya produk flukonazol secara topikal menjadi alasan mengapa obat ini perlu dibuat dengan sistem penghantaran obat baru yaitu melalui rute pemberian topikal. Flukonazol mempunyai kelarutan yang rendah dalam air yaitu 8mg/ml, maka formulasi dalam bentuk mikroemulsi akan menjadi keuntungan tersendiri pada sediaan ini, karena mikroemulsi memiliki kemampuan untuk meningkatkan kelarutan senyawa yang sukar larut ( Chandrakant, M.S., et al. 2009; Glujoy M. et al., 2014).
Sediaan topikal dalam bentuk
mikroemulsi telah banyak dibuat terutama pada produk kosmetik dan obat-obatan, karena selain
dapat meningkatkan kelarutan, sediaan ini dapat meningkatkan penetrasi obat ke dalam kulit dikarenakan dalam mikroemulsi terjadi penggabungan bagian hidrofilik dan lipofilik (Shah, R.R. et al., 2009; Laksmi J., et al.,2013).
Pada penelitian ini dilakukan percobaan pembuatan sediaan mikroemulsi tipe minyak dalam air (m/a), air dalam minyak (a/m), dan tipe bikontinyus menggunakan isopropil miristat sebagai fase minyak. Percobaan dilakukan dengan variasi jumlah minyak isopropil miristat, hal ini bertujuan untuk untuk mengetahui konsentrasi minyak terbaik dalam mempengaruhi tingkat permeasi dari obat flukonazol ke dalam kulit.
Penggunaan surfaktan dan ko-surfaktan yaitu Tween 80 dan propilen glikol memiliki interaksi positif, dimana terbukti bahwa dengan penambahan propilenglikol pada mikroemulsi dapat meningkatkan tingkat Konsentrasi Misel Kritis (KMK) dari surfaktan non-ionik seperti
Tween 80, hal ini menjadi efek sinergis dari Tween 80 dan propilenglikol dalam tingkat penetrasi (Pandey A., et al., 2014).
Selama percobaan, karakteristik dan kestabilan mikroemulsi diperhatikan, hal-hal tersebut meliputi pengamatan organoleptis, pengukuran pH, pengukuran viskositas selama 28 hari, uji freeze and thaw selama 6 siklus, uji stabilitas dipercepat dengan sentrifugasi, penentuan kadar dan uji difusi.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan dengan sistem penghantaran baru pada flukonazol yaitu melalui rute pemberian secara topikal, yang diharapkan dengan formulasi mikroemulsi ini dapat meningkatkan kelarutan flukonazol, sehingga menghasilkan sediaan topikal yang baik dalam penetrasi, stabil secara fisik dan kimia serta dapat bermanfaat.
METODE PENELITIAN
1. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari alat-alat gelas yang biasa digunakan di Laboratorium Teknologi Farmasi, alat uji pelepasan modifikasi dari sel difusi (modifikasi sel difusi franz), pH meter (Meter Taledo), timbangan analitik (Sartorius BL 2105), pemutar dan pemanas magnetik (Thermolyne), spektrofotometer UV-sinar
tampak (Shimadzu UV-1601 PC), alat
sentrifugasi, viskometer (Brookfield RVT), XRPD (X-Ray Powder Difraction).
Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari flukonazol yang diperoleh melalui PT.Kimia Farma dengan produsen berasal dari Chermo-Switzerland, isopropil miristat, tween 80, propilen glikol dan air suling
403
2. CARA KERJA
a. Pemeriksaan Bahan Baku
Pemeriksaan flukonazol dilakukan untuk mengidentifikasi bahan baku flukonazol, meliputi pemerian, kelarutan, dan penetapan kemurnian flukonazol.
b. Pembuatan Diagram Fasa Terner
Diagram fasa terner dibuat untuk menentukan komposisi-komposisi yang tepat dari fase air, minyak dan surfaktan/kosurfaktan
yang akan membentuk suatu sistem
mikroemulsi dengan menggunakan Prosim
Ternary Diagram.
c. Pemilihan Pembawa Sediaan
Mikroemulsi
Orientasi pembawa sediaan
mikroemulsi bertujuan untuk mencari formula mikroemulsi yang terbaik, yaitu transparan, stabil, dan jernih dengan mengevaluasi kestabilan sediaan selama 1 minggu.
Penangas air dipanaskan dengan sampai suhu 70°C dengan pemanas thermolyne, Tween 80 dan propilenglikol dicampurkan dan
diaduk sampai homogen menggunakan
homogenizer dengan kecepatan 1000 putaran
per menit di penangas air. Isopropil miristat sebagai fasa minyak kemudian didispersikan sedikit demi sedikit kedalam campuran tersebut, diaduk sampai didapat campuran yang homogen. Tambahkan air sedikit demi sedikit dengan spuit (metode titrasi) sampai diperoleh larutan yang jernih, dan transparan. Kemudian dicatat jumlah air yang digunakan.
d. Formulasi Sediaan Mikroemulsi
Flukonazol
Formula sediaan mikroemulsi
flukonazol diambil dari hasil orientasi, kemudian dari hasil orientasi dipilih 3 formula yang dilihat berdasarkan tingkat kejernihan dan kestabilannya. Kemudian dibuat formula
mikroemulsi flukonazol 100 gram dan setiap formula masing-masing ditambahkan flukonazol 0,5 gram.
Tabel 1. Formula Mikroemulsi Flukonazol
e. Evaluasi Sediaan Mikroemulsi Flukonazol
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan organoleptis (bau, warna dan kejernihan), pemeriksaan pH dan viskositas.
Uji stabilitas sediaan mikroemulsi dengan sentrifugasi
Pengujian sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 3000 putaran per menit selama 30 menit
Uji stabilitas sediaan mikroemulsi dengan metode freeze and thaw
Pengujian dilakukan dengan
memasukkan sediaan mikroemulsi ke dalam vial yang ditempatkan pada suhu rendah ± 4°C selama 24 jam. Lalu sediaan dipindahkan pada suhu tinggi ± 40°C selama 24 jam, dilakukan selama 6 siklus.
Penetapan kadar flukonazol dalam sediaan mikroemulsi
Sampel diekstraksi dan sentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan 4000 putaran per menit, fase jernihnya dipipet kemudian diukur serapannya pada panjang
Bahan Formulasi (gram) % b/b
FA FB FC Flukonazol 0,5 0,5 0,5 Isopropil miristat 5,24 20,45 33,17 Tween 80- Propilenglikol 47,13 61,34 59,7 Air suling 47,13 17,72 6,63
404
gelombang maksimum flukonazol dalam air 260,6 nm.
Pengujian Laju Difusi Sediaan Mikroemulsi Flukonazol
Uji difusi flukonazol dilakukan dengan menggunakan metode flow-through yang dimodifikasi dari sel difusi Franz. Sediaan ditempatkan pada membran selulosa asetat yang telah diimpregnasi dengan cairan spangler dan dibiarkan terjadi proses difusi selama 3 jam. Suhu sistem 37 ± 1°C dengan cairan reseptor 330 ml. Selama proses difusi, diambil sebanyak 3 ml sampel pada selang waktu tertentu dan setiap pengambilan dilakukan penggantian cairan dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 3 ml. Pengambilan cuplikan dilakukan pada menit ke 10, 15, 20, 30, 60, 90, 120, 150 dan 180. Setelah itu serapan sampel diukur dengan spektrofotometri UV-Visible pada panjang gelombang 260,80 nm dengan menggunakan blanko dapar fosfat pH 7,4.
HASIL DAN DISKUSI
Flukonazol merupakan obat yang memiliki kelarutan rendah dalam air yaitu 8mg/ml (Chandrakant M.S. et al., 2009).Banyak tersedia dalam bentuk tablet, suspensi oral dan sebagai larutan steril untuk infus. Pembuatan mikroemulsi flukonazol ini bertujuan untuk membuat sediaan dengan sistem pengahantaran obat baru yaitu melalui topikal dimana kelarutan flukonazol dapat meningkat dan dapat berpenetrasi baik pada lapisan kulit sehingga diharapkan dapat memberikan efek sistemik. Pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan pembuatan fasa terner antara isopropil miristat, Tween 80-Propilen glikol dan air.
Gambar 1. Diagram fasa terner mikroemulsi flukonazol
Keterangan: Titik yang dilewati garis adalah daerah mikroemulsi
Formula mikroemulsi yang diperoleh adalah formula 1 (47,37 % : 5,26 %), formula 2 (62,5 % : 13,88 %), formula 3 (62,07 % : 17,24 %), formula 4 (61,64 % : 20,55%), formula 5 (60 % : 33,33 %). Pengamatan basis mikroemulsi dilakukan pengamatan secara organoleptis baik warna, bentuk dan baunya untuk mengetahui kestabilan dari basis. Formula 1 termasuk ke dalam tipe minyak dalam air (m/a) dengan fraksi air > 25% b/b, formula 2, formula 3, dan formula 4 termasuk kedalam fase bicontinous dengan fraksi air 15-25 % b/b, sedangkan untuk formula 5 termasuk ke dalam tipe air dalam minyak (a/m) dengan fraksi air <25% b/b (Basheer, S.H., et al., 2013). Kelima orientasi yang dibuat diagram fasa terner hasil spotnya berada pada rentang mikroemulsi yang stabil.
Hasil organoleptis dari orientasi basis mikroemulsi yang disimpan dalam waktu 1 minggu memperlihatkan bahwa dari 5 perbandingan orientasi basis menghasilkan kestabilan yang sama yaitu kelima basis tersebut memiliki warna kuning transparan, bau yang khas, dan tidak adanya pemisahan. Hal ini dikarenakan dalam kelima basis tersebut terdapat surfaktan dan kosurfaktan yang dapat
405
menurunkan tegangan permukaan antara fase minyak dan fase air, selain itu fase air yang ditambahkan tepat pada titik dimana untuk membentuk mikroemulsi. Nilai keseimbangan lipofilik hidrofilik (HLB) juga telah terbukti sangat berguna dalam memilih jenis surfaktan terbaik yang diperlukan untuk pembentukan langsung tetesan (droplet) dari tipe m/a atau dengan cepat terjadi penyebaran sediaan dalam lingkungan yang berair, serta memberikan hasil yang baik dan transparan. Surfaktan yang tepat nilai HLBnya adalah faktor kunci untuk pembentukan emulsi dengan tetesan kecil. Kemudian dari kelima orientasi basis dipilih tiga formula yang akan dibuat menjadi sediaan
mikroemulsi FA, FB dan FC dengan
perbandingan berturut-turut dari formula 1 (47,37 % :5,26 %), formula 4 (61,64 % : 20,55 %), dan formula 5 (60 % : 33,33 %). Formula tersebut dipilih berdasarkan kejernihan, kestabilan dan perbedaan jumlah fase minyak yang berat selisih tiap formulanya sama.
Hasil ketiga formula mikroemulsi dengan kandungan flukonazol 0,5% tidak menunjukan kekeruhan, hal tersebut terjadi karena flukonazol terlarut pada komponen
mikroemulsi, seperti minyak. dan
surfaktan/kosurfaktannya. Pengadukan selama proses penambahan minyak dapat memperkecil ukuran partikel minyak. Ketika minyak ditambahkan ke dalam campuran fase air, minyak lebih memilih larut di dalam misel karena sifatnya hidrofobik. Misel-misel ini melarutkan tetesan-tetesan minyak yang ukurannya sangat kecil sehingga campuran menjadi jernih. Lapisan pelindung misel cukup kuat untuk menghalangi penggabungan misel-misel atau fase dalam ke dalam bentuk yang lebih besar (Jufri, M., dkk., 2009).
Selama penyimpanan 28 hari menunjukkan pH sediaan tidak berubah besar walaupun terjadi peningkatan dan penurunan pH selama penyimpanan, tetapi pH tersebut masih berada pada kisaran rentang 5 – 10 yang merupakan persyaratan pH sediaan topikal, dari data yang diperoleh bahwa FC memperoleh nilai pH tertinggi dibandingkan dengan FB dan FA. Sampel dengan tipe mikroemulsi a/m akan memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan mikroemulsi tipe m/a dan tipe bicontinyus. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari fase minyak sebagai fase eksternal yang bersifat alkali, sehingga dapat
meningkatkan nilai pH dari sediaan
mikroemulsi. (Basheer S.H., et al., 2013)
Nilai viskositas dari ketiga formula berbeda-beda, FB memiliki nilai viskositas tertinggi kemudian diikuti dengan FA dan FC. Hal ini dikarenakan adanya interaksi antara
viskositas dengan jumlah dari %
surfaktan/kosurfaktan serta air yang
ditambahkan, semakin banyak komponen
surfaktan/kosurfaktan dan air yang
ditambahkan maka akan semakin tinggi viskositas dari sediaan mikroemulsi tersebut. Jumlah % minyak tidak berpengaruh terhadap hasil viskositas (Moghimipur, E., et al., 2013, hal ini dapat terlihat bahwa semakin besar jumlah minyak yang ditambahkan dalam formulasi, viskositas dari sediaan mikroemulsi tidak mengalami kenaikan.
406 Tabel 2. Hasil Pengukuran pH dan Viskositas Sediaan Mikroemulsi Flukonazol
Hari ke- pH Viskositas (cP) FA FB FC FA FA FA 0 6,878±0,0 67 8,149±0,10 3 8,211±0,0 19 6,878±0,0 67 6,878±0,0 67 6,878±0,0 67 7 6,893±0,2 41 7,965±0,27 1 7,993±0,0 27 6,893±0,2 41 6,893±0,2 41 6,893±0,2 41 14 7,047±0,1 21 7,722±0,28 0 8,085±0,0 91 7,047±0,1 21 7,047±0,1 21 7,047±0,1 21 21 7,073±0,0 16 7,618±0,13 7 7,830±0,0 56 7,073±0,016 7,073±0,016 7,073±0,016 28 7,044±0,1 05 7,637±0,07 3 7,727±0,0 27 7,044±0,105 7,044±0,105 7,044±0,105
Pada uji difusi penelitian ini hasil yang diperoleh hanya terlihat pada menit 30 sampai menit 180, hal ini dikarenakan pada menit 10 sampai 20 hasil serapan menggunakan spektrofotometri UV-Visible yang diperoleh sangatlah kecil sehingga memberikan nilai negatif pada persentase jumlah flukonazol yang terpemeasi. Berdasarkan jurnal penelitian yang ada, bahwa pengukuran hasil uji difusi untuk
mikroemulsi flukonazol yaitu dengan
menggunakan High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) dan untuk pengukuran
hasil uji difusi yang menggunakan
spektrofotometri UV-Visible dilakukan pada menit 30 sampai dengan jam ke-6 (Salerno, C., et.al., 2010). Pada penelitian ini, data yang diperoleh pada menit 30 sampai 180 menunjukan bahwa FA memiliki laju difusi yang lebih baik dibandingkan dengan FB dan FC. Hal tersebut diduga karena dalam FA memiliki komponen isopropil miristat yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan FB dan FC. Jumlah minyak yang besar sebagai fase
pembawa pada FB dan FC diduga
mempengaruhi hasil difusi yang menyebabkan
flukonazol banyak terlarut dalam minyak sebagai fase pembawa dibandingkan dalam lapisan tanduk.
Jumlah isopropil miristat sebagai fase minyak yang sedikit dan jumlah air yang cukup banyak, maka bagian hidrofilik dari mikroemulsi dapat menghidrasi stratum korneum dengan jumlah yang lebih besar, yang bersifat melembabkan sehingga senyawa aktif dapat lebih mudah menyerap melalui jalur dari subkutan(12). Hal ini pula yang terjadi pada FA
sediaan mikroemulsi flukonazol. Selain dari jumlah minyak yang sedikit, penggunaan surfaktan dan ko-surfaktan yaitu Tween 80 dan propilen glikol memiliki interaksi positif, dimana terbukti bahwa dengan penambahan propilenglikol pada mikroemulsi dapat meningkatkan tingkat Konsentrasi Misel Kritis (KMK) dari surfaktan non-ionik seperti Tween 80, hal ini menjadi efek sinergis dari Tween 80 dan propilenglikol dalam tingkat penetrasi (Pandey A. et al., 2014).
407 Gambar 2. Profil laju difusi sediaan mikroemulsi
flukonazol
KESIMPULAN
Mikroemulsi yang mengandung
flukonazol diformulasikan untuk penggunaan topikal. Dengan beberapa komponen dan jumlahnya yang diformulasikan pada diagram fase terner. Kemudian dievaluasi secara in-vitro besar permeasi dari flukonazolnya. Formulasi terbaik yang diperoleh untuk mikroemulsi flukonazol adalah 5,24% IPM, Tween 80/PPG 47,13 % (2:1) dan air 47,13%.
DAFTAR PUSTAKA
Chandrakant, M.S., Nilofar N., & Rohit R.S. (2009). Preparation and Evaluation of Fluconazole Topical Microemulsion. Journal of Pharmacy Research. 2(3), 557-562
Glujoy, M., Salerno C., Bregni C., & Garlucci A.M. (2014). Percutaneous Drug Delivery Systems for Improving Antifungal Therapy Effectiveness: A Review. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences, 6(6), 8-16
Jufri, M., Djadjadisastra J. & Maya L. (2009). Pembuatan Mikroemulsi dari Minyak Buah Merah. Majalah Ilmu
Kefarmasian, 6(1), 18-27
Laksmi, J., Kumar B.A., & Gupta S. Investigation of Microemulsion as a Potential Carrier for Advanced Transdermal Delivery: An Overview. Int. J. Pharm.
Sci. Rev. Res., 20(2), 51-59
Mantry, S., Patnaik A., Sriram N., Raju B.V. (2013). Formulation and Evaluation of Bifonazole Organogel as A Novel Topical Drug Delivery System. Ijpjournal, 3(10), 393-409
Moghimipour. E., Salimi A., & Eftekhari S. (2013). Design and Characterization of Microemulsion Systems for Naproxen. Advanced Pharmaceutical Bulletin, 3(1), 63-71
Pandey, A., Mitlal A., Chaucan N., & Alam S. (2014). Role of Surfactants as Penetration Enhancer in Transdermal Drug Delivery System. Molecular
Pharmaceutics & Organic Process Research, 2(2),
2-10
Shah R.R., Magdum C.S., Wadkar K. A., & Naikwade N.S. Fluconazole Topical Microemulsion:
Preparation and Evaluation. Research J. Pharm.
and Tech., 2(2), 353-357
Basheer. H.S., Noordin M.I., & Ghareeb M.M. (2013). Characterization of Microemulsion Prepared using Isopropyl Palmitate with various Surfactants and Cosurfactants. Tropical Journal of Pharmacetical
Research, 12(3), 305-310
Salerno, C., Carluci A.M., & Bregni C. (2010). Study of In Vitro Drug Release and Percutaneous Absorption of Fluconazole from Topical Dosage Forms. AAPS
PharmSciTech. 11(2), 986-993
Salimi, A., Zadeh B.S.M., Savavi G. (2013). Effect of Formulation Components on the In Vitro Skin Permeation of Microemulsion Drug Delivery System of Piroxicam. Int. Res J Pharm. App Sci., 3(4), 152-160
Maggie, S. Langlois, J.A. & Minicuci, N. 1998. Sleep Complaints in Community Dwelling Older Persons: Prevalance Associated Factors and Reported Causes. J. Am. Geriatry, 46(2): 161-168.
May, R.J. 1997. Pharmacotherapy Apathophysiologic
Approach. Adverse Drug Reactions and
Interactions. Stamford, CT: Appleton and Lange
Paradiso, S. & Robinson, R.G. 1998. Gender Differences in Poststroke Depression. The Journal of
Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, 10:
41-47.
Quinn D.I & Day R.O. 1997. Clinically Important Drug Interactions, in Avery’s Drug Treatment,4th Edition.
408
Rianjani, E. 2010. Kejadian Insomnia Berdasarkan
Karakteristik dan Tingkat Kecemasan pada Lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang.
Semarang: Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah.
Zhan, C. Sangael, J. Bierman, A.S. Miler, M.R. Friedman, B. Wickizer, S.W. & Meyer, G.S. 2001. Potentially Inappropriate Medication Use in The Community-Dwelling Elderly. JAMA, 286(22): 2823-2829.