• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME WIDYAISWARA PASCA PERMENPAN NOMOR 14 TAHUN Penulis : Adang Karyana S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN PROFESIONALISME WIDYAISWARA PASCA PERMENPAN NOMOR 14 TAHUN Penulis : Adang Karyana S"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENGEMBANGAN PROFESIONALISME

WIDYAISWARA PASCA PERMENPAN NOMOR 14 TAHUN 2009 Penulis : Adang Karyana S

Widyaiswara Madya pada Pusdiklat Bea dan Cukai

I. PENDAHULUAN

Pengertian Widyaiswara berasal dari bahasa sangsekerta, yaitu dari kata Vidya yang berarti ilmu pengetahuan, kata Ish yang berarti memiliki, dan kata Vara berarti terpilih. Sehingga secara sederhana Widyaiswara dapat diartikan sebagai seorang yang berilmu dan telah terpilih berdasarkan ketentuan atau standar kompetensi tertentu. Dari pengertian tersebut, maka seorang widyaiswara harus memiliki kompetensi yang mumpuni dan oleh karenanya kualitas yang dipersyaratkan untuk menjadi Widyaiswara bukanlah hal yang ringan. Hal inilah yang membuat tidak semua orang dapat lolos dalam babak kualifikasi untuk menjadi Widyaiswara.

Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 14 Tahun 2009 Tentang Jabatan Widyaiswara dan Angka Kreditnya, menyebutkan Widyaiswara adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk mendidik, mengajar dan/atau melatih Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Lembaga Diklat Pemerintah. Jabatan Fungsional Widyaiswara adalah jabatan yang diduduki oleh PNS dengan hak dan kewajiban yang diberikan secara penuh oleh pejabat yang berwenang.

Untuk terpilih menjadi Widyaiswara harus memenuhi beberapa persyaratan seperti diatur didalam Permenpan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 25, 26, dan 27. Secara ideal, Permenpan Nomor 14 Tahun 2009

(2)

2 harus kita maknai sebagai ketentuan dan standar kompetensi bagi pejabat fungsional Widyaiswara yang berkecimpung dalam dunia kediklatan agar Widyaiswara dapat lebih professional dalam bekerja sesuai dengan spesialisasinya.

Walaupun dalam tatanan praktis Widyaiswara telah bergerak ke arah profesionalisme, namun kenyataannya percepatan profesionalitasnya belum menuju ke arah yang ideal yang diharapkan oleh lembaga diklat. Permasalahan tersebut diduga berasal dari internal dan eksternal Widyaiswara. Di satu sisi, beban Widyaiswara yang begitu menumpuk dengan segudang tugas mandiri telah membuat banyak waktu tersita. Di sisi lain, Widyaiswara juga dituntut melakukan pengembangan kapasitas dan profesionalisme sendiri.

Sejak diberlakukannya Permenpan nomor 14 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya ada beberapa perubahan yang perlu dicermati oleh para Widyaiswara, khususnya bagi mereka yang harus melakukan orasi ilmiah karena ingin menaikkan jabatannya menjadi Widyaiswara utama atau perubahan dari pangkat IV/c ke IV/d.

Selain itu, dalam rangka untuk kenaikan pangkat Widyaiswara juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi angka kredit pada bidang pengembangan profesi yang terdiri atas: pembuatan karya tulis ilmiah, penerjemahan atau penyaduran buku, pembuatan peraturan/panduan dalam lingkup kediklatan dan orasi ilmiah. Oleh karena itu, semua hal tersebut harus mendapat perhatian bagi Widyaiswara untuk waktu kedepan, artinya setiap Widyaiswara dituntut untuk mengumpulkan angka kredit dalam bidang pengembangan profesi melalui penulisan karya tulis ilmiah, dan karenanya suka atau tidak suka Widyaiswara dituntut untuk melakukan penelitian, penulisan

(3)

3 ilmiah dan ikut serta dalam penyusunan peraturan yang berkaitan dengan kediklatan. Lalu bagaimana pengembangan profesionalisme tersebut ?

II. PROFESIONALISME WIDYAISWARA A. Peranan Widyaiswara Di BPPK

Dalam era globalisasi, Widyaiswara di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan dituntut memiliki keahlian di bidang Keuangan Negara di samping paradigma yang baru dalam mentransfer pengetahuan, melalui proses pendidikan, pengajaran dan pelatihan sumber daya manusia di lingkungan Kementerian Keuangan. Hal ini untuk menjawab adanya kondisi dimana aparat di lingkungan Kementerian Keuangan banyak dikeluhkan oleh masyarakat sebagai akibat layanan yang diberikan kurang didukung oleh aparat yang kompeten dan profesional. Keluhan tidak profesionalnya pelayanan publik yang muncul dari masyarakat seringkali diperburuk oleh rendahnya kompetensi aparat. Disini lah peran lembaga pendidikan, khusunya Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) menjadi strategis dalam menghasilkan SDM Kementerian Keuangan yang profesional dengan kinerja yang baik. Ke depan, BPPK diharapkan akan menjadi center of excellence yang mampu menghasilkan SDM yang kompeten di bidang pengetahuan dan juga attitude. BPPK juga diharapkan memiliki komitmen untuk mengembangkan SDM yang merupakan kunci dari setiap keberhasilan kinerja suatu instansi.

Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) merupakan suatu proses pencerahan dan pemperdayaan. Bukan lagi proses doktrinisasi terstruktur transfer pengetahuan secara tradisional. Relasi Widyaiswara dengan peserta Diklat dan pihak-pihak lain merupakan relasi humanis yaitu memanusiakan manusia.

(4)

4 Diperlukan Widyaiswara yang kreatif, yang berdimensi melayani peserta dan pihak lain agar tercipta proses kediklatan yang partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan, bukan sebaliknya. Semua pihak mengakui, bahwa Widyaiswara memegang posisi strategis dan kunci utama sukses tidaknya proses kediklatan.

Tugas utama Diklat adalah menciptakan ruang agar ruang untuk proses pembelajaran secara kritis dan systemik. Diklat harus menciptakan manusia unggul dan handal dengan cara yang profesional. Dalam kerangka tersebut maka diperlukan suatu usaha yang bertujuan meletakan diklat dalam proses trasformasi dalam keseluruhan system pelatihan yang profesional. Setiap usaha diklat harus melakukan transformasi hubungan antara Widyaiswara dan peserta diklat. Sehingga posisi diklat lebih pada menyiapkan sumber daya manusia untuk memberikan pelayanan yang lebih tepat, lebih cepat, dan lebih murah kepada masyarakat.

Untuk mensuksekan tujuan tersebut di atas maka perlu membangun komunikasi yang harmonis dengan berbagai pihak yang terlibat dalam proses kediklatan. Juga diperlukan koordinasi terpadu diantara berbagai pihak yang terlibat dalam proses kediklatan, hasil evaluasi dan peran masing-masing agar penyelengaraan diklat lebih baik, bermutu, dan bermakna bagi peserta diklat, dan utamanya pengguna atau user diklat.

B. Standar Kompotensi

Standar kompetensi Widyaiswara adalah kemampuan minimal yang secara umum dimiliki oleh Widyaiswara dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS, yang

(5)

5 terdiri atas kompetensi pengelolaan pembelajaran, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi substantif.

Menjadi Widyaiswara adalah pilihan mulia, karena Widyaiswara adalah orang yang akan digugu dan ditiru dan menjadi sosok panutan bagi para peserta diklatnya. Oleh karena itu, bagi yang menyandang profesi tersebut seyogyanya harus memiliki pengetahuan, terpercaya dan professional dalam menjalankan tugasnya. Selanjutnya, ke arah manakah kompetensi Widyaiswara akan dibawa? Bila kita mengkaji apa yang ada dalam Permenpan No.14 Tahun 2009, maka paling tidak seorang Widyaiswara harus memiliki kompetensi atau kemampuan sebagai berikut:

1. Menganalisis kebutuhan diklat; 2. Menyusun kurikulum diklat;

3. Menyusun bahan diklat sesuai spesialisasinya;

4. Melaksanakan tatap muka di depan kelas sesuai spesialisasinya; 5. Memeriksa ujian diklat sesuai spesialisasinya;

6. Membimbing peserta diklat pada diklat struktural sesuai spesialisasinya; 7. Mengelola program diklat di instansinya;

8. Mengevaluasi program diklat;

9. Membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang terkait lingkup kediklatan dan/atau pengembangan spesialisasinya;

10. Menerjemahkan/menyadur buku dan bahan ilmiah lainnya selain buku yang terkait lingkup kediklatan dan/atau pengembangan spesialisasinya;

11. Membuat peraturan/panduan dalam lingkup kediklatan; dan 12. Melaksanakan orasi ilmiah sesuai spesialisasinya.

(6)

6 III. WIDYAISWARA DAN PENGEMBANGAN PROFESI SESUAI PERMENPAN

NOMOR 14 TAHUN 2009

Kesuksesan suatu program pengajaran diklat juga akan sangat ditentukan oleh profesionalisme yang dimiliki oleh Widyaiswara. Widyaiswara yang profesional akan memiliki kompetensi atau kemampuan mengajar dan kemampuan memfasilitasi secara unggul dalam suatu proses pembelajaran. Widyaiswara yang kompeten akan lebih mampu membawa dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif serta akan lebih mampu mengelola kelasnya dan membawa peserta diklat pada pencapaian hasil belajar yang optimal.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah sudah profesionalkah kita sebagai Widyaiswara ? Dengan kata lain, apakah kita sebagai Widyaiswara telah menjadi akar yang kuat bagi lembaga diklat ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Widyaiswara juga perlu menjawab pertanyaan berikut, yaitu sudahkah kita sebagai Widyaiswara mau dan mampu untuk meningkatkan profesionalisme dimana didalamnya terdapat upaya untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi profesi ?

A. Membangun Kapasitas untuk Pengembangan Profesi

Membangun kapasitas diri sesuai yang dibutuhkan dalam mengemban jabatan khususnya dalam pengembangan profesi sesuai Permenpan adalah dalam hal pembuatan Karya Tulis Ilmiah, penerjemahan atau penyaduran buku dan bahan ilmiah lainnya. Pengembangan kapasitas Widyaiswara dapat melalui program diklat atau secara otodidak dalam rangka meningkatkan keahlian

(7)

7 pengembangan profesi seperti : penterjemahan, penyaduran, penelitian dan penulisan karya ilmiah. Setiap individu Widyaiswara hendaknya menyadari bahwa Permenpan nomor 14 tahun 2009 menuntut Widyaiswara agar dapat secara mandiri mengembangkan dirinya dalam pengembangan profesi tersebut diatas. Permenpan tersebut menuntut agar Widyaiswara selalu belajar terus menerus dan berusaha agar dirinya dapat mencapai derajat profesionalisme khususnya dibidang penulisan karya ilmiah mengingat tuntutan dan tantangan pekerjaan serta harapan masyarakat yang semakin meningkat.

B. Menjadi Ilmuwan

Agar memiliki kemampuan pengembangan profesi dalam meneliti, menulis dan mempresentasikannya, maka seorang Widyaiswara harus menjadi seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan akan memiliki ilmu yang mumpuni. Ilmuwan harus memiliki kemampuan untuk merancang gagasan ilmu, melakukan pembelajaran, penelitian, penulisan, presentasi, dan penilaian hasil karya keilmuan yang baik. Salah satu wujud pengetahuan yang dimiliki manusia adalah pengetahuan ilmiah yang lazim dikatakan sebagai “ilmu”. Ilmu adalah pengetahuan yang didasari oleh dua teori kebenaran yaitu koherensi dan korespondensi. Koherensi menyatakan bahwa sesuatu pernyataan dikatakan benar jika pernyataan tersebut konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Koherensi dalam pengetahuan diperoleh melalui pendekatan logis atau berpikir secara rasional.

Salah satu cara untuk mendapatkan ilmu adalah melalui penelitian ilmiah. Banyak definisi tentang penelitian tergantung sudut pandang masing-masing. Penelitian ilmiah dapat didefinisikan sebagai upaya mencari jawaban yang benar

(8)

8 atas suatu masalah berdasarkan logika dan didukung oleh fakta empirik. Dapat pula dikatakan bahwa penelitian ilmiah adalah kegiatan yang dilakukan secara sistematis melalui proses pengumpulan data, pengolah data, serta menarik kesimpulan berdasarkan data dengan menggunakan metode dan teknik tertentu.

Pengertian tersebut di atas menyiratkan bahwa penelitian adalah langkah sistematis dalam upaya memecahkan masalah. Penelitian merupakan penelaahan terkendali yang mengandung dua hal pokok yaitu logika berpikir dan data atau informasi yang dikumpulkan secara empiris. Logika berpikir tampak dalam langkah-langkah sistematis mulai dari pengumpulan, pengolahan, analisis, penafsiran dan pengujian data sampai diperolehnya suatu kesimpulan. Informasi dikatakan empiris jika sumber data mengambarkan fakta yang terjadi bukan sekedar pemikiran atau rekayasa peneliti. Penelitian menggabungkan cara berpikir rasional yang didasari oleh logika/penalaran dan cara berpikir empiris yang didasari oleh fakta/realita.

Penelitian sebagai upaya untuk memperoleh kebenaran harus didasari oleh proses berpikir ilmiah yang dituangka dalam metode ilmiah. Metode ilmiah adalah kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode ilmiah mengandung dua unsur penting yakni pengamatan (observation) dan penalaran (reasoning). Metode ilmiah didasari oleh pemikiran bahwa apabila suatu pernyataan ingin diterima sebagai suatu kebenaran maka pernyataan tersebut harus dapat diverifikasi atau diuji kebenarannya secara empirik.

(9)

9 C. Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah

Penelitian karya tulis ilmiah adalah penelitian yang beranjak dari teori yang sudah ada dan dengan menggunakan teori sebagai landasan penyusunan struktur pertanyaan penelitian, konstruk yang dibangun, hipotesis yang diajukan, ataupun pembahasan terhadap hasil yang didapat.

Langkah penelitian meliputi: mendefinisikan dan merumuskan masalah; menyusun landasan teori atau melakukan studi kepustakaan; memformulasikan hipotesis, mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data; menganalisis dan membuat kesimpulan serta laporan.

Seorang penulis harus mampu mengekpresikan suatu ide sesuai dengan kaidah penulisan. Jadi dapat dikatakan bahwa seorang penulis harus mampu menghidupkan dunia subyek melalui ekspresinya, dan menuangkannya sesuai kaidah penulisan. Karya tulis ilmiah umumnya serius, akrab, dan mudah dicerna. Bahasa penulisan yang dibuat juga harus sesuai dengan azas penelitian ilmiah yang baik, yaitu menghasilkan penulisan atau bacaan sehat, informasi jujur, jelas dan jernih.

Sayangnya, dalam kenyataannya banyak Widyaiswara yang belum mampu melakukan hal tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir banyak Widyaiswara yang telah dibebas tugaskan, karena tidak mampu memenuhi angka kredit yang telah ditetapkan, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan profesi yang di dalamnya meliputi penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI).

IV. PENUTUP

Widyaiswara dalam proses kediklatan memegang posisi yang strategis, apa yang terjadi kalau Widyaiswara tidak ada dalam lembaga diklat ?. Tentu

(10)

10 akan sulit menemukan suatu keprofesionalan dalam pelatihan karena profesionalisme perlu kesungguhan, bidang yang khusus dan memerlukan proses. Disatu sisi pengembangan profesionalisme secara menyeluruh perlu dilakukan, khususnya pengembangan profesi sesuai Kepmenpan nomor 14 yang terdiri dari pembuatan karya tulis ilmiah, penerjemahan dan penyaduran buku atau bahan ilmiah. Peran Widyaiswara mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman, maka spesialisasi bidang ilmu pengetahuan harus diwujudkan agar Widyaiswara menjadi lebih berkualitas dan profesional.

Dalam hal membuat karya tulis ilmiah, menerjemahkan atau menyadur buku dan orasi ilmiah merupakan tantangan dan peluang Widyaiswara ke depan. Apabila masing-masing Widyaiswara mau dan mampu membangun kapasitas khususnya dalam pengembangan profesi sesuai Permenpan tersebut bukan tak mungkin akan meningkatkan kualitas atau mutu profesionalisme Widyaiswara itu sendiri.

Referensi:

1. Abu Samman Lubis, Tantangan dan Peluang Widyaiswara. 2000

2. Keputusan Menteri Penertiaban Aparatur Negara nomor 14 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya.

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Kendali Terdistribusi atau yang lebih dikenal dengan nama Distributed Control System (DCS) mengacu pada sistem kontrol yang biasa digunakan pada sistem manufaktur,

Kuesioner pengujian beta merupakan media yang digunakan pengguna aplikasi Informasi Jurusan Teknik Informatika UIN Sunan Gunung Djati Bandung Berbasis Android

Menurut standar ANSI/TIA/EIA-568-B, berasumsi bahwa arsitektur jaringan yang menggunakan topologi bintang pada konfigurasi fisiknya, jika sebuah node dalam topologi

Pemikiran terpenting dari teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern, audience menjadi tergan- tung pada media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang dan

Berdasarkan kutipan wawancara siklus II diperoleh informasi bahwa siswa ZM dapat mengerjakan soal tersebut namun kurang teliti karena tidak menuliskan satuan pada

3) Apabila Surat Tanda Registrasi (STR) dan Asli Surat Izin Praktik Psikolog (SIPP) belum diperoleh, maka pelamar dapat melampirkan dengan cara mengupload Surat

Hasil penelitian Arson Abdul Rasyid Nunu (2015) menyatakan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) tidak mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.Kinerja keuangan

peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan dari satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)