• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ungkapan Perumpamaan Bermedia... (Azwardi & Muhammad Iqbal) UNGKAPAN PERUMPAMAAN BERMEDIA BINATANG DALAM BAHASA ACEH * (Azwardi dan Muhammad Iqbal)**

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ungkapan Perumpamaan Bermedia... (Azwardi & Muhammad Iqbal) UNGKAPAN PERUMPAMAAN BERMEDIA BINATANG DALAM BAHASA ACEH * (Azwardi dan Muhammad Iqbal)**"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

UNGKAPAN PERUMPAMAAN BERMEDIA BINATANG DALAM BAHASA ACEH *

(Azwardi dan Muhammad Iqbal)** ABSTRAK

Penelitian yang berjudul “Ungkapan Bermedia Binatang dalam Bahasa Aceh” secara umum bertujuan mendeskripsikan sejumlah fakta yang berhubungan dengan (1) makna, maksud, dan amanat yang terkandung dalam ungkapan referen binatang dalam BA, dan (2) pemakaian ungkapan referen binatang BA dalam konteks pemakaian bahasa masyarakat Aceh. Sumber data penelitian ini adalah masyarakat penutur asli BA yang tersebar di wilayah kabupaten/ kota di Aceh. Berdasarkan data yang terkumpul, terlihat bahwa ungkapan bereferen binatang dalam BA secara umum dapat dibedakan atas ungkapan bereferen binatang yang menyatakan perumpamaan dan ungkapan bereferen binatang yang tidak menyatakan perumpamaan. Selain itu, berdasarkan data teranalisis, terlihat bahwa ada kecenderungan orang Aceh memosisikan orang-orang yang memiliki moral tercela setara dengan binatang. Jenis binatang yang direpresentasikan sesuai dengan tingkat tabiat atau sifat cela yang dimiliki manusia tersebut. Kemudian, Meskipun deskripsi tentang penggunaan bahasa sebagai bentuk ungkapan emosi sudah banyak dilakukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, deskripsi seperti itu sama sekali belum tersedia dalam BA. Oleh karena itu, deskripsi yang komprehensif tentang ungkapan-ungkapan emosi dengan menggunakan referen binatang dalam bahasa perlu dilakukan secara khusus secara berkelanjutan karena hal tersebut sangat banyak digunakan masyarakat pada saat berkomunikasi, baik di kalangan remaja, dewasa, maupun orang tua.

Kata Kunci: ungkapan, perumpamaan, bahasa Aceh ABSTRACT

The study, entitled “Animals mediated expression in the Acehnese language” generally aims to describe a number of facts related to (1) the meaning, intent, and the mandate contained in the phrase referents animals in BA, and (2) the use of the phrase referents in the context of the use of animal BA language of the people of Aceh. The data source of this research is the native communities scattered BA districts/cities in Aceh. Based on the data collected , it appears that expression in BA bereferen animals in general can be distinguished on the phrase stating bereferen animal imagery and expression bereferen animals that do not express the parable. In addition, based on data unanalyzed, it appears that there is a tendency to position Acehnese people who have the equivalent of an animal morally reprehensible. Type of animal that is represented according to the character or nature of the flaw of human beings. Then, Although

*(Dibiayai oleh Dirjen Dikti Kemendikbus Nomor Kontrak: 384/UN11/A.01/APBN-P2T/2013 Tanggal 29 April 2013 ** Dosen pada Prodi PBSI FKIP Unsyiah

(2)

Pendahuluan

Dalam ungkapan BA, penggunaan simbol-simbol verbal yang disandarkan tamsilannya pada referen binatang dimaksudkan untuk memperlancar komunikasi dan memperkuat makna suatu konteks. Tanpa menggunakan bentuk-bentuk tersebut rasanya akan mengurangi kelancaran komunikasi. Sebagai contoh, seseorang yang berbicara mengenai profesional dan proporsional dalam bekerja tidak lupa menambahkan sebuah ungkapan untuk memperkuat tentang apa yang telah dikemukakannya. Ungkapan tersebut adalah, “Geutanyo bèk lagèee bue drop daruet!” Artinya, ‘Kita jangan seperti monyet menangkap belalang’. Maksudnya, dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti ini, yaitu orang yang serakah atau tamak terhadap suatu materi. Yang sudah ada belum sempat ia nikmati, yang lain terus dicari, bahkan dengan cara-cara yang salah. Satu urusan belum sempat ia kerjakan pekerjaan lain ia tangani. Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang tidak fokus terhadap suatu pekerjaan; banyak pekerjaan ditangani, namun satu pun tak ada yang selesai dikerjakan. Ibarat monyet yang sedang menangkap belalang, ditangkapnya satu belalang, dijepitnya di ketiak kiri; lalu ditangkapnya belalang kedua, dijepitnya di ketiak kanan; kemudian ditangkapnya lagi belalang ketiga dengan tangan kiri sehingga belalang pertama lepas, dan seterusnya. Monyet tersebut tetap lapar tanpa dapat memakan seekor belalang pun, padahal jika satu dapat satu dimakan, monyet tersebut sudah kenyang.

Berdasarkan teori memetik dan sosiolinguistik, bahasa (dan sastra) mencerminkan masyarakatnya. Karakter, tabiat, perangai, dan prototipe suatu bangsa, antara lain, dapat ditelusuri melalui rekaman kebahasaan atau kesastraan yang dimiliki bangsa tersebut. Rekaman tersebut merupakan kristalan pengalaman yang terjadi

secara berulang-ulang sehingga terformulasi dalam rangkaian kata, frasa, klausa, atau kalimat yang secara bentuk dan makna mengikat sebuah gagasan yang memiliki nuansa makna yang sangat kuat. Rangkaian kata, frasa, klausa, atau kalimat yang sarat akan makna itu, antara lain, disebut ungkapan.

Secara leksikal, ungkapan dapat diartikan sebagai rangkaian simbol-simbol verbal untuk merujuk kepada pendeskripsian, penganalogian, dan pengumpamaan suatu karakter, tabiat, perangai, dan prototipe manusia. Jika dikaitkan dengan sastra, ungkapan ini berkongruen dengan majas, yaitu ungkapan yang mengandung makna tambahan atau mengandung makna berbagai perasaan tertentu, dan nilai rasa tertentu yang lazim disebut dengan makna konotatif; makna tersebut merupakan makna sebaliknya dari makna denotatif. Fungsinya adalah sebagai penguat nilai rasa komunikasi dalam suatu wacana, baik wacana lisan maupun wacana tulis.

Dalam masyarakat Aceh, para penyampai pesan, baik lisan maupun tulisan sering membumbui pesan-pesannya itu dengan berbagai ungkapan yang sesuai dengan konteks pembicaraan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memantapkan pemahaman tentang apa yang disampaikannya. Sebagai penguat rasa atau makna komunikasi tentang suatu konteks sering digunakan ungkapan yang relevan, sebagai “bumbu penyedap”, terutama ungkapan-ungkapan yang disandarkan tamsilannya pada berbagai referen, seperti binatang, manusia, dan benda-benda alam lainnya. Ungkapan-ungkapan tersebut umumnya digunakan untuk mendeskripsikan, menganalogikan, dan mengumpamakan karakter, tabiat, perangai, dan prototipe atau tindakan seseorang yang dipandang positif yang harus dianut, atau yang dipandang negatif yang harus dijauhkan.

Dalam tradisi komunikasi masyarakat Aceh penggunaan simbol-simbol verbal yang the description of the use of language as a form of emotional expression has been widely applied in Indonesian and local languages in Indonesia, such a description is not yet available in the BA. Therefore, a comprehensive description of the emotional expressions by using animal referents in language specifically needs to be done on an ongoing basis because it is so widely used when people communicate, both among adolescents, adults, and the elderly.

(3)

tamsilannya disandarkan pada referen binatang dimaksudkan untuk mempertegas dan memperkuat makna komunikasi. Beberapa ungkapan dapat disebutkan sebagai berikut: lagèee tareupah aneuk jôk bak abah bui, lagèe keuleudèe, lagèe keubiri jikap lé asèe, lagèe bue drop daruet, lagèee bieng bak abah bubèe, lagèe bacé, lagèe mie prèh panggang, lagèe mie keueueng, lagèe mie teukoh iku, lagèe mie ngön tikôh, lagèe mie pajôh aneuk, dan mie agam. Dalam ungkapan tersebut, unsur kata nama binatang dikombinasi dengan unsur-unsur kata lain. Di pihak lain, ada juga yang tidak dikombinasikan dengan unsur kata lain, misalnya bui, leumo, keuleudèe, uleue, buya, tikoh, dan mie. Masing-masing ungkapan tersebut memiliki makna berbeda. Oleh karena itu, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana makna, maksud, dan amanat yang terkandung dalam ungkapan bermedia binatang dalam BA dan Bagaimana pemakaian ungkapan bermedia binatang BA dalam konteks pemakaian

bahasa masyarakat Aceh? Metode Penelitian

Secara umum penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif. Penggunaan rancangan atau pendekatan kualitatif dalam penelitian ini berkaitan dengan jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik pengolahan data. Pengumpulan atau penyediaan data dilakukan dengan menggunakan metode cakap dengan teknik pancing, sadap, catat, dan rekam serta kaji dokumen (Sudaryanto, 1992:7-9). Pengumpulan atau penyediaan data dilakukan dalam situasi nonformal.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan hasil pengumpulan data, secara umum data penelitian ini dapat disajikan dalam Eksplisit Perumpamaan dan Inplisit Perumpamaan. Berikut adalah tiga belas belas analisis Ungkapan dengan Media Binatang Eksplisit Perumpamaan.

Ungkapan 1 : lagè keubiri jikap lé asèe Arti : ‘seperti domba digigit anjing’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang pasrah dengan penganiayaan yang menimpa dirinya.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti binatang ini, yaitu cuek atas kemungkaran yang terjadi di depan matanya; pasrah atas penganiayaan yang menimpa dirinya; tak berani memperjuangkan atau mempertahankan hak-haknya, dan sebagainya. Ibarat seekor domba yang diburu oleh anjing, tanpa perlawanan, sang domba langsung terpojok, takluk, dan membiarkan tubuhnya dimangsa, dicabik-cabik anjing sampai akhirnya sang domba mati. Berbeda dengan tabiat kambing, yang berontak sekuat tenaga jika mengalami nasib seperti domba tersebut meskipun akhirnya ia juga menemukan ajalnya tersebab keberingasan anjing. Matinya domba termasuk mati konyol, sedangkan matinya kambing tergolong “mati syahid”. Orang-orang yang berjiwa seperti ini dipandang sangat hina; seperti binatang digigit oleh binatang bernajis.

Amanat : Janganlah kita tergolong orang yang bertabiat seperti domba, cegahlah setiap kemungkaran yang terjadi di sekitar kita sesuai dengan kemampuan, perjuangkan/pertahankan hak-hak yang kita miliki .

Ungkapan 2 : lagè leumo kap situek

Arti : ‘seperti lembu gigit/makan upih pinang’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada manusia yang suka ikut-ikutan dalam mengerjakan sesuatu tanpa dilandasi dengan ilmu.

(4)

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti perilaku binatang ini, yaitu suka mencoba-coba suatu pekerjaan yang bukan bidang keahliannya, suka berspekulasi atas sesuatu yang belum tentu manfaatnya, dan sebagainya. Ibarat lembu yang sedang menggigit (makan) situek (upih pinang) yang baru jatuh dari pohon pinang, dilihat oleh lembu lain, dan lembu lain tersebut juga ingin ikut memakannya, padahal situek tersebut tidak enak, sepat, dan alot sehingga segera ditinggalkan setelah terbukti benda tersebut bukan makanannya. Manusia bertipe seperti ini melakukan perbuatan bukan berasaskan ilmu yang dimiliki, melainkan hanya berdasarkan perasaan dan ikut-ikutan karena terpengaruh dengan apa yang dilakukan orang lain sehingga akhirnya apa yang dilakukannya merugikan dirinya dan juga orang lain karena kebodohannya.

Amanat : Landasi setiap pekerjaan dengan ilmu, bukan dengan perasaan karena perasaan tidak menjamin bahwa apa yang kita kerjakan itu benar. Bergurulah terlebih dahulu sebelum mengerjakan suatu.

Ungkapan 3 : lagè bieng bak abah bubèe Arti : ‘seperti kepiting di mulut bubu’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang menghalang-halangi jalan orang lain.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti binatang ini, yaitu suka menghalang-halangi peluang bagi orang lain untuk melakukan sesuatu. Ibarat kepiting yang bertengger di mulut bubu dengan capit yang menantang, meyebabkan udang atau ikan-ikan lain tak bisa masuk ke dalam bubu. Pemasang bubu apes, kepiting tak masuk, ikan-ikan lain pun menjauh. Dia tidak mau atau tidak mampu melakukan sesuatu dan orang lain pun tidak diberikan kesempatan untuk melakukannaya. Orang seperti ini memiliki perangai, jika dia tidak bisa mendapatkan sesuatu, orang lain pun tak boleh mendapatkannya. Ini merupakan salah satu penyakit hati.

Amanat : Janganlah kita tergolong orang yang bertabiat seperti kepiting tersebut. Berilah peluang kepada orang lain untuk melakukan sesuatu jika kita tidak mampu melakukannya. Sportiflah dalam bertindak!

Ungkapan 4 : lagè tareupah aneuk jôk bak abah bui

Arti : ‘seperti merebut kolangkaling dari mulut babi’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang sangat kikir.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti ini, yaitu memiliki sifat negatif sangat kikir. Ibarat biji kolangkaling yang sudah berada di mulut babi, mustahil dapat kita ambil, apalagi kolang-kaling merupakan makanan kesukaan babi, tak mungkin dilepaskannya. Apa yang telah berada dalam genggamannya sangat sulit dilepaskannya. Apa yang dimilikinya sangat berat dibagikan untuk orang lain. Dari orang seperti ini sangat sulit permintaan kita terkabul.

Amanat : Janganlah kita tergolong orang yang bertabiat seperti babi tersebut. Berbagilah sesama dari sesuatu yang diberikan Tuhan kepada kita, Bantulah orang-orang yang membutuhkan sesuatu dari kita jika kita mampu!

(5)

Ungkapan 5 : lage leumo tapeutengöh lam mön Arti : ‘seperti lembu kita angkat dari sumur’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang tidak tahu berterima kasih, tidak bisa membalas budi.

Maksud : Dalam konteks kehidupan sehari-hari terdapat manusia yang wataknya ditamsilkan seperti binatang vetebrata ini, yaitu tidak bisa berterima kasih atas jasa-jasa yang diberikan orang lain kepadanya. Ibarat seekor lembu yang terperosok jatuh ke dalam sumur tua di sebuah hutan, lalu diangkat oleh orang ke permukaan, dan selamatlah ia. Ketika sudah berada di permukaan, dan berdirinya sudah kokoh, orang yang mengangkatnya dari lubang sumur tersebut diseruduknya. Alih-alih memberikan sesuatu kompensasi kepada orang yang telah memberikan untung baik kepadanya, yang terjadi malah sebaliknya, tindakan yang merugikan. Orang seperti ini, dalam ungkapan bahasa Indonesia disebut “orang yang tidak tahu diuntung”.

Amanat : Janganlah kita seperti “kacang lupa akan kulitnya”. Kenanglah jasa-jasa orang lain yang telah membuat kita nyaman, senang, dan bahagia.

Ungkapan 6 : lagè talhat kulét pisang bak takue kaméng Arti : ‘seperti mengikat kulit pisang di leher kambing’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang tidak amanah.

Maksud : Dalam konteks kehidupan sehari-hari terdapat manusia yang ditamsilkan seperti hewan pengembek ini, yaitu orang yang tidak dapat dipercaya atas suatu hal atau urusan; orang yang tidak dapat dipercaya dapat menjaga dan memelihara sesuatu. Ibarat pada leher kambing kita sangkut-titp kulit pisang, tidak mungkin kambing tersebut membiarkan saja kulit pisang itu, pasti segera dimakannya. Bukankah kulit pisang merupakan makanan kesukaan kambing. Diharapkan dapat menjaga sesuatu, malah dia yang mengabaikannya. Berharap dapat memelihara sesuatu, malah dia yang merusaknya. Berharap dapat membina sesuatu, malah dia yang membinasakannya. Sama halnya ibarat kita menyuruh jaga rumah pada seorang maling, pasti rumah kita dimalinginya. Tamsilan ini senada dengan ungkapan Aceh berikut. Taharap keu pageue keubeue lam padé; taharap keu reusôk jantông nyang thôk até.

Amanat : Serahkan suatu urusan kepada orang yang amanah, orang yang dapat menjaga, memelihara, dan membinanya.

Ungkapan 7 : lagè bue drop daruet

Arti : ‘seperti monyet menangkap belalang’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang tidak fokus terhadap suatu pekerjaan; banyak pekerjaan ditangani, namun satu pun tak ada yang beres dikerjakan.

(6)

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti ini, yaitu orang yang serakah atau tamak terhadap sesuatu materi. Ibarat monyet yang sedang menagkap belalang, ditangkapnya satu belalang, dijepitnya di ketiak kiri; lalu ditangkapnya belalang kedua, dijepitnya di ketiak kanan; kemudian ditangkapnya lagi belalang ketiga dengan tangan kiri sehingga belalang pertama lepas, dan seterusnya. Monyet tersebut tetap lapar tampa dapat memakan seekor belalang pun, padahal jika satu dapat satu dimakan, monyet tersebut sudah kenyang. Yang sudah ada belum sempat ia nikmati, yang lain terus dicari bahkan dengan cara-cara yang keji. Satu urusan belum sempat ia kerjakan pekerjaan lain ia tangani. Amanat : Sempurnakan suatu urusan sebelum beranjak kepada urusan yang lain.

Kerjakan sesuatu secara profesional dan proporsional sesuai dengan kemampuan kita.

Ungkapan 8 : lagè leumo éh di yub trieng

Arti : ‘seperti lembu tidur di bawah rumpun bambu’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang bermalas-malas dalam bekerja.

Maksud : Dalam konteks kehidupan sehari-hari terdapat manusia yang berperangai seperti binatang berlenguh dan pemamah biak ini, yaitu orang yang beretos kerja rendah. Waktunya lebih banyak digunakan untuk istirahat santai-santai ketimbang bekerja. Ibarat lembu yang sudah kenyang merumput, lalu mencari tempat berteduh, biasanya di bawah rumpun bambu karena di tempat teduh tersebut suasana adem dan berangin sepoi-sepoi (reului dan dirui). Lembu betah berlama-lama di tempat itu sambil memamah biak.Orang-orang seperti ini, kalau belum habis apa yang diperolehnya kemarin, belum mau mencari yang lain lagi hari ini.

Amanat : Jangan sampai kita tergolong ke dalam orang yang bertabiat seperti lembu ini. Janganlah bersantai-santai dan cepat puas dengan suatu perolehan sementara. Bekerjalah dengan giat dan sungguh-sungguh demi produktivitas.

Ungkapan 9 : lagè cangguek di yub bruek

Arti : ‘seperti katak di bawah tempurung’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang berpandangan picik, berwawasan sempit, dan berpengalaman kurang. Orang yang kurang pergaulan dalam hidupnya. Orang yang tidak pernah hijrah sehingga pengalamannya sangat terbatas pada lingkungan lokalnya. Ibarat katak di bawah tempurung. Yang dia pikirkan bahwa dunia adalah selebar tempurung tempat ia bernaung.

Maksud : Dalam konteks kehidupan sehari-hari terdapat manusia yang bermental seperti binatang pelompat ini, yaitu orang merasa hebat di lingkungan lokalnya. Dia tidak pernah mengalami sesuatu secara global. Orang-orang seperti ini cenderung bangga dengan sesuatu yang ia miliki meskipun apa yang ia miliki itu sangat tidak berarti dibandingkan dengan yang dimiliki orang lain.

Amanat : Janganlah kita berwatak seperti katak di bawah tempurung. Perluas wawasan dengan berbagai pengetahuan, pengalaman, dan pergaulan. Ungkapan 10 : lagè keuleudèe

(7)

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang sangat bodoh dan orang yang hanya fokus pada nafsu.

Maksud : Dalam konteks kehidupan sehari-hari terdapat manusia yang berwatak seperti binatang gurun ini. Orang yang berwatak seperti binatang ini tidak pernah cerdas dengan berbagai pelajaran yang pernah ia terima. Dia selalu terperosok dan terjerembab pada kesalahan yang sama. Selain itu, orang yang berjiwa seperti ini hanya mau bersuara jika ada kepentingan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan perut dan syahwatnya. Jika tidak, ia akan diam seribu bahasa. Ibarat keledai; binatang yang berpostur jelek, pendek, lambat, kerdil, kecil, dan bodoh itu, rela menanggung beban berat majikannya. Meskipun sering dipecut karena salah arah, ia tetap berjalan, tak ada aksi protes, tak ada tindakan bantahan, tak ada keluh dan kesah, ia menurut saya. Akan tetapi, ia hanya bersuara pada saat lapar dan ingin kawin. Makanya, dikatakan bahwa sejelek-jelek suara adalah suara keledai. Jadi, orang yang hanya mau mengeluarkan suara demi makan dan birahi tidak lebih dari seekor keledai.

Amanat : Mari mengingat lebih lama tentang apa saja yang pernah kita pelajari dan pahami dalam hidup ini. Bersuaralah yang lantang demi memperjuangkan berbagai ketimpangan sosial yang terjadi di depan mata kita dengan cara-cara yang santun.

Ungkapan 1 : abô udép dua pat Arti : ‘siput hidup dua tempat’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang bermuka dua.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti binatang ini, yaitu orang yang palsu; balik belakang lain bicaranya, orang yang mengambil keuntungan antara dua orang yang bertentangan atau bermusuhan; ke sana dekat kemari rapat. Orang seperti ini di hadapan teman berpihak kepada teman, di hadapan musuh berpihak pada musuh sehingga dia mendapatkan laba/nama dari kedua belah pihak. Orang-orang yang memiliki sifat seperti ini diibaratkan seekor siput yang hidup dua tempat. Siput yang hidup pada dua tempat selalu berbuat baik saat ia berada pada tempat tersebut. Jika ia pidah ke tempat yang lain ia akan berbuat baik pula dan melecehkan tempat yang lainnya. Hal ini dia lakukan untuk mengharapkan kebajikan bagi dirinya sendiri sehingga dari kedua tempat medapatkan laba.

Amanat : Janganlah kita tergolong orang yang bertabiat seperti siput, berbuat baiklah untuk memperbaiki hubungan dua golongan yang sedang bermusuhan, bukan mencari muka untuk mendapatkan pujian dari kedua belah pihak.

Ungkapan 2 : aneuk gajah jak bumoe han leungö, aneuk tulô po meuhayak dônya Arti : ‘anak gajah berjalan bumi tidak terasa, anak burung pipit terbang

berguncang dunia.’ Dalam berkomunikasi, untuk menggambarkan sesuatu secara konkret, masyarakat Aceh, selain suka menggunakan kohesi perumpamaan, juga cederung menggunakan kohesi yang bukan perumpamaan, yaitu analogi atau suka menganalogikan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang berkaitan dengan

substansi komunikasi. Hal ini semata-mata untuk menciptakan efek komunikatif. Analogi yang diciptakan biasanya cenderung negatif atau bernada sinis. Hal ini digunakan untuk melemahkan posisi atau eksistensi atau kredibilitas orang lain. Misalnya, Perhatikan penggunaannya dalam konteks berikut.

(8)

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang pintar yang menguasai banyak ilmu hanya lebih banyak diam dan tidak berbicara berlebihan sementara orang yang berbicara berlebihan itu adalah orang yang ilmunya terbatas saja.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti dua binatang ini. Orang yang banyak ilmu biasanya lebih banyak diam sehingga orang lain tidak tau bahwa dia punya ilmu. Akan tetapi, yang tidak punya ilmu, dia yang lebih banyak berbicara. Ibarat aneuk gajah jak bumoe han leungö yang menggambarkan bahwa jika gajah yang berjalan bumi ini tidak terasa sedikit pun. Padahal dia itu memiliki badan yang besar. Namun, aneuk tulô po meuhayak dônya menggambarkan bahwa burug pipit berjalan berguncang dunia. Padahal dia memiliki badan yang cukup kecil.

Amanat : Jadilah orang yang selalu rendah hati. Jangan suka berbicara berlebihan jika kita tidak mengetahui tetang hal tersebut.

Ungkapan 3 : aneuk kamèng hanjeut keu aneuk rimueng Arti : ‘anak kambing tidak akan jadi anak harimau’

Makna : Ungkapan ini mengiaskan anak orang bodoh biasanya tidak mungkin menjadi pandai, dikatakan juga kepada orang yang hina tidak mungkin menjadi bangsawan.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat anak manusia yang ditamsilkan seperti dua binatang ini, yaitu anak kambing dan anak harimau yang dianggap sebagai anak orang pandai atau bangsawan. Orang hina dikatakan tidak akan menjadi bangsawan. Ibarat anak kambing yang tidak akan mungkin menjadi anak harimau. Hal ini disebabkan anak kambing dan anak harimau memiliki banyak perbedaan.

Amanat : Meskipun dikatakan anak orang bodoh tidak akan menjadi pandai, tetapi kita wajib berusaha agar kita mendapatkan yang terbaik.

Ungkapan 4 : aneuk iték hanjeuet jipeulara lé manok Arti : ‘anak itik tidak dapat dipelihara oleh ayam’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada suatu golongan yang tidak mau bercampur dengan golongan lain.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti dua binatang ini. Aneuk iték dan manok diibaratkan dua golongan yang tentunya memiliki perbedaan. Biasanya golongan yang berbeda ini tidak mau bercampur dengan golongan yang lain. Ibaratnya Anak itik tidak mau bercampur dengan ayam. Dalam hal lain, umpamanya terjadi sebuah perselisihan, suatu golongan tidak akan berpihak pada golongan lain, dia akan selalu berpihak pada golongannya sendiri. Amanat : Jadilah orang yang selalu menghargai dan menghormati perbedaan. Ungkapan 5 : aneuk keubeue han jimom bak leumo

Arti : ‘anak kerbau tidak menyusui pada lembu’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada suatu golongan yang tidak mau bercampur dengan golongan lain.

(9)

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti dua binatang ini. Aneuk keubeue dan leumo diibaratkan dua golongan yang tentunya memiliki perbedaan. Biasanya golongan yang berbeda ini tidak mau bercampur dengan golongan yang lain. Ibaratnya anak kerbau tidak mau minum susu pada lembu. Dalam hal lain, umpamanya terjadi sebuah perselisihan, suatu golongan tidak akan berpihak pada golongan lain, dia akan selalu berpihak pada golongannya sendiri. Amanat : Jadilah orang yang selalu menghargai dan menghormati perbedaan. Ungkapan 6 : aneuk rimueng han jiboh kuréng, aneuk gajah han jiboh gadéng Arti : ‘anak harimau tidak membuang kuring, anak gajah tidak membuang

gading’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada suatu kaum yang biasanya sukar meninggalkan adat kebiasaannya.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat kaum/golongan manusia yang ditamsilkan seperti binatang tersebut yaitu sukar membuang kebiasaannya. Terkadang yang menjadi kebiasaan suatu kaum/ golongan tersebut adalah kebiasaan yang tidak baik. Namun, golongan orang seperti ini tetap mempertahankan kebiasaan tidak baik itu. Ibarat harimau yang tidak mau membuang kuréng dan gajah yang tidak mau membuang gadéng. Hal ini disebabkan kuréng dan gadéng merupakan salah satu tanda atau simbol yang dimiliki oleh kedua binatang ini. Amanat : Janganlah kita memiliki sikap seperti kuréng dan gadéng yang tidak

bisa dibuang oleh harimau dan gajah. Berusahalah untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik dengan membuang kebiasaan yang tidak baik pada diri kita.

Ungkapan 7 : aneuk rimueng han jiböh kuréng, aneuk kléng han jibh sukla Arti : ‘anak harimau tidak membuang kuring, anak keling tidak membuang

hitam begam’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada suatu kaum yang biasanya sukar meninggalkan adat kebiasaannya.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat kaum/golongan manusia yang ditamsilkan seperti binatang tersebut yaitu sukar membuang kebiasaannya. Terkadang yang menjadi kebiasaan suatu kaum/ golongan tersebut adalah kebiasaan yang tidak baik. Namun golongan orang seperti ini tetap mempertahankan kebiasaan tidak baik itu. Ibarat anak harimau yang tidak mau membuang kuréng dan aneuk kléng han jiboh sukla karena hal ini sudah terdapat pada dirinya.

Amanat : Berusahalah untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik dengan membuang kebiasaan yang tidak baik dan menjadikan kebiasaan yang baik menjadi lebih baik lagi.

Ungkapan 8 : asèe beuthalat pawôn bak takue, nyangjih asèe cit

Arti : ‘anjing walaupun kita sangkutkan medali emas di leher, dia itu anjing juga’

(10)

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang berbudi rendah itu enggan menerima ajaran yang baik.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti binatang ini, yaitu enggan menerima ajaran baik; orang yang dasar pembawaannya orang jahat sukar diubah walaupun ada pengetahuannya. Orang seperti ini diibaratkan seekor anjing yang disangkutkan medali emas pada lehernya. Anjing pada dasarnya adalah binatang yang berbudi rendah dan sangat hina, sedangkan medali emas adalah suatu benda yang sangat berharga. Betapapun berharganya emas, jika diberikan kepada anjing tidak ada gunanya. Emas yang disangkut pada leher anjing tersebut tidak akan membuat anjing bernilai yang tinggi. Artinya, dia tetap dipandang hina.

Amanat : Janganlah kita tergolong orang yang bertabiat seperti anjing, terimalah ajaran yang baik yang diberikan oleh orang lain karena itu adalah suatu hal yang sangat berharga bagi hidup kita.

Ungkapan 9 : asèe blang nyang pajôh jagông, asèe gampông nyang keunong geulawa

Arti : ‘anjing sawah yang makan jagung, anjing kampung yang kena lempar’ Makna : Ungkapan ini mengiaskan tentang seseorang yang berbuat kesalahan,

tapi orang lain yang dituduh melakukan kesalahan tersebut sehingga dia harus menanggung resikonya.

Maksud : Dalam konteks kehidupan hal yang wajar adalah orang yang berbuat salah dialah yang mendapat hukuman. Akan tetapi, juga bisa terjadi sebaliknya, yang tidak berbuat salah, dialah yang mendapat hukuman. Terlebih lagi orang yang berbuat salah tersebut pandai bersilat lidah. Ia pandai mengalihkan kesalahan kepada orang lain sehingga ia terbebas dari hukuman. Ibarat anjing sawah yang makan jagung, tapi yang terkena lempar adalah anjing kampung. Hal ini dikarenakan orang yang melempar tidak meneliti terlebih dahulu anjing mana yang berbuat salah. Jadi, ungkapan ini juga merupakan teguran kepada pemberi hukuman.

Amanat : Hukuman yang diberikan kepada seseorang hendaklah dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya atau diteliti terlebih dahulu permasalahan yang sebenarnya agar keputusan yang diambil dapat memuaskan semua pihak.

Ungkapan 10 : asèe panè ék jipeunab bangké

Arti : ‘anjing mana dapat menunggu bangkai’

Makna : Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang tidak dapat membendung keinginanya tentang hal yang menjadi kegemarannya.

Maksud : Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti binatang ini yaitu tidak sanggup membendung keinginan untuk mendapatkan hal yang sudah menjadi kegemaranya. Ibarat anjing yang tak kan sanggup hanya melihat, menunggu, dan membiarkan begitu saja bangkai tersebut. Tentu saja dia akan segera memakannya karena memang dia sangat suka dengan bangkai tersebut.

Amanat : Janganlah kita bertabiat seperti anjing ini, kita harus pandai membendung keinginan jika kita ingin mendapatkan sesuatu.

(11)

Penutup

Berdasarkan data yang terkumpul, terlihat bahwa ungkapan bereferen binatang dalam BA secara umum dapat dibedakan atas ungkapan bereferen binatang yang menyatakan perumpamaan dan ungkapan bereferen binatang yang tidak menyatakan

perumpamaan. Selain itu, berdasarkan data teranalisis, terlihat bahwa ada kecenderungan orang Aceh memosisikan orang-orang yang memiliki moral tercela setara dengan binatang. Jenis binatang yang direpresentasikan sesuai dengan tingkat tabiat atau sifat cela yang dimiliki manusia tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang optimalisasi pemanfaatan bahan baku berupa kayu dalam pembuatan kayu lapis yang didekati melalui perhitungan rendemen,

Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga makhluk sosial. Ketika menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan

Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. 19 Sumber tersebut diperoleh

Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa Customer experience dan brand trust berpengaruh positif dan signifikan terhadap customer loyalty, sehingga hal tersebut berarti

penelitiannya mengenai pemetaan potensi biogas dan pupuk organik menyebutkan bahwa perlu dikembangkan wisata Jeruk Pamelo serta wisata mandiri energi dan pupuk

Seperti cara dalam Bermedia Sosial dalam perkembanganya setiap orang dapat mengakses berbagai macam hal dan berkomunikasi dengan siapapun, sehingga hal

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perputaran persediaan, perputran piutang, perputaran total aktiva pada PT

Hal ini membuktikan bahwa nilai analisis data r hitung lebih tinggi atau lebih besar dari pada nilai r tabel , maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima