• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 1992 TENTANG

USAHA PERASURANSIAN

A. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi

Menurut kamus hukum, asas adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasarkan adanya sesuatu norma hukum.41 Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir.42

Prinsip hukum menurut Sudikno Mertokusumo bukanlah sebagai aturan hukum kongkrit melainkan merupakan pikiran dasar umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari perumusan aturan hukum kongkrit.

Berdasarkan kedua pengertian ini pada hakikatnya asas dan prinsip adalah sama saja tetapi asas lebih tinggi daripada prinsip, misalnya ketika disebut asas legalitas, maka prinsipnya adalah penundukan pada suatu aturan tertentu.

43

Oleh karena itu asas dan prinsip adalah sama, bedanya hanya pada tingkatan penyebutannya saja. Mahadi, mengatakan bahwa “asas atau prinsip merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan”.44

Satjipto Rahardjo, mengatakan, “asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis, sehingga asas-asas tersebut menjadi jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis

Pendangan ini juga mengatakan bahwa asas sama dengan prinsip karena dihubungkannya dengan kata “atau”.

41

M. Marwan dan Jimmy P., Op. cit., hal. 57. 42

Ibid., hal. 514. 43

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), hal. 34.

44

(2)

masyarakatnya, melalui asas hukum peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis”.45

2. Asas-Asas Perjanjian Asuransi

Dari pandangan ini tampaklah bahwa asas itu lebih tinggi daripada prinsip di mana bahwa aspek yang terkandung di dalam asas adalah nilai-nilai etika.

Pengaturan asuransi dalam KUH Perdata terdapat pada Buku III tentang Perikatan yaitu pada Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, Bab V, dan Bab XV. Pengaturan asuransi dalam buku III KUH Perdata tersebut mengandung aturan mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Pengaturan asuransi dalam buku III juga mengandung 4 (empat) asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, dan asas kepribadian.

Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ditentukan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Tetapi asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Konsekuensi asas ini adalah dilarang membuat kontrak yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau kesusilaan atau ketertiban

45

(3)

umum, maka akan mengakibatkan kontrak tersebut menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan.46

Asas konsensualisme terkandung di dalam Pasal 1320 KUH Perdata sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa asas ini menentukan kata sepakat antara para pihak yang berkontrak khususnya dalam perjanjian asuransi. Herlien Budionon mengatakan terkait asas konsensualisme ini bahwa perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formal tetapi cukup melalui konsensus belaka.

47

Asas pacta sunt servanda terkandung di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menentukan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang”. Dalam pasal ini terkandung asas asas

pacta sunt servanda, asas kebebasan berkontrak, dan asas kepastian hukum.

Kepastian hukum dalam pasal ini berarti janji harus ditepati.48

46

Ricardo Simanjuntak, “Asas-Asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 24, Tahun 2008, hal. 44.

47

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Di Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2006), hal. 95.

48

Junaedy Ganie, Op. cit., hal. 60.

Asas itikad baik (good faith) tersurat dengan tegas (eksplisit) di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, menentukan, “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Sependapat dengan Mariam Darus, bahwa asas itikad baik pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata ini sebagai penyeimbang dari asas pacta sunt

servanda yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Sehingga

dengan gabungan kedua asas ini memberikan perlindungan pada pihak yang lebih lemah sehingga kedudukan para pihak dalam perjanjian asuransi yaitu antara penanggung dan tertanggung menjadi seimbang.

(4)

Asas kepribadian terkandung dalam Pasal 1315 KUH Perdata, menentukan, “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Asas yang terkandung dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa perjanjian antara para pihak hanya berlaku mengikat bagi kedua belah pihak saja (mereka saja).

a. Prinsip-Prinsip Itikad Baik (good fait)

Praktik asuransi sebagai suatu sarana pengendalian risiko telah berkembang selama bertahun-tahun, sehingga telah menjadi suatu ilmu pengetahuan yang semakin rumit dan butuh pengkajian lebih dalam. Ilmu asuransi telah dikembangkan melalui berbagai cara, sarana, dan teknis perasuransian yang mencakup bidang-bidang dokumentasi, penjaminan (underwriting), pemasaran, klaim, dan sebagainya.

Agar pengetahuan teoritis maupun kemampuan teknis mengenai perasuransian dan penerapannya bisa dikuasai harus berpedoman pada prinsip-prinsip yang dianut dalam kegiatan perasuransian. Prinsip-prinsip-prinsip dasar tersebut antara lain adalah: prinsip itikad baik (good faith), kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest), prinsip ganti rugi atau pemberian ganti rugi atas kerusakan atau kehilangan (indemmity), prinsip pengaliharn risiko.

Pemahaman itikad baik (good faith) berasal dari basaha Latin uberrimai fides yang dapat diterjemahkan dengan itikad baik, itikad yang amat baik (utmost good

faith) bahkan ada yang menerjemahkannya sebagai kejujuran yang sempurna. Dalam

(5)

penting sekali. Pengertian itikad baik (good faith) adalah sikap batiniah ketika melaksanakan hubungan hukum dengan penuh tanggung jawab dijalankan.49

Subekti menyebutkan itikad baik sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian, sehingga dapat dikatakan sebagai landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya. Itikad baik dapat dilaksanakan pada saat mengadakan hubungan hukum dalam perjanjian dan pada saat melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.50

Itikad baik pada saat melakukan hubungan hukum dalam perjanjian merupakan wujud dari dalam hati sanubari para pihak. Persyaratan yang dilakukan untuk mengadakan hubungan hukum secara sah menurut hukum sudah terpenuhi seluruhnya. Seseorang yang hendak membeli suatu barang, dalam sanubarinya mengira bahwa penjual barang tersebut benar-benar sebagai pemiliknya. Jika kemudian hari ternyata penjual barang tersebut bukan pemilik yang sesungguhnya atas barang yang diperjualbelikan, maka pembeli tersebut merupakan pembeli yang beritikad baik. Oleh karena dilakukan dengan itikad baik, maka pembeli tersebut dilindungi oleh hukum.51

Namun harus dipahami bahwa perkiraan pembeli pada ilustrasi di atas bukanlah perkiraan yang sembarangan. Perkiraan tersebut harus merupakan perkiraan yang benar-benar meyakinkan yaitu perkiraan yang didasarkan pada

49

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 23.

50

Ketut Sendra, Konsep dan Penerapan Asuransi Jiwa Unit Link, Proteksi Sekaligus

Investasi, Buku Penentuan Agen dan Konsultan Keuangan Untuk Sukses Meraih Lisensi, (Yogyakarta:

Bayu Indra Grafika, 2004), hal. 89. 51

(6)

kepantasan dalam masyarakat, dan kepantasan itu harus diukur secara objektif atau kepatuhan dan kepatutan, bukan subjektif.

Itikad baik dilaksanakan pada saat melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum terletak pada hati sanubari manusia. Pelaksanaan perjanjian selalu mengingatkan para pihak untuk mengindahkan norma keputusan dan keadilan, dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.52

Itikad baik erat kaitannya dengan sikap sanubari seseorang dalam melaksanakan suatu hubungan hukum, oleh karena itu, peratnggungjawaban itikad baik secara bathiniah adalah melaksanakan tanggung jawab yang didasarkan kepada tanggung jawab hukum dan moral.53 Itikad baik berarti menempatkan kejujuran pada derajat yang tinggi (high degree).54

Dengan itikad baik tersebut, perusahaan asuransi dalam menjalankan usahanya sebagai penjual polis dilindungi dari kemungkinan adanya kesalahan informasi yang diberikan oleh calon tertanggung mengenai objek pertanggungan yang jika penanggung (perusahaan asuransi) mengetahuinya pada prinsipnya pertanggungan itu tidak pantas diterimanya. Prinsip itikad baik di sini dikenal dengan

caveat vendor yaitu penjual yang harus dilindungi.55

Setiap keterangan yang keliru, atau tidak benar, ataupun setiap orang tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung betapapun itikad Prinsip itikad baik ini ternyata ditemukan dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menentukan:

52

Ibid., hal. 90. 53

Theo Huijbers, Filsafat Hukum., (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 63. 54

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 81.

55

(7)

baik ada padanya. Yang demikian sifatnya, sehingga seandainya sipenanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup, atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.

Prinsip itikad baik tersebut berlainan pula dengan prinsip perdagangan pada umumnya di mana dalam perdagangan pada umumnya berlaku prinsip atau doktrin

caveat emptor (let the buyer beware). Prinsip ini menentukan bahwa pembelilah

yang seharusnya berhati-hati sebelum melakukan pembelian atas suatu barang dan atau jasa. Prinsip ini dapat ditemukan dalam The Sale of Goods Act 1979,

Mispresentation Act 1967, The Supplay of Goods Act 1973, dan The Unfair Contract Act 1977 yang bersumber dari sistim hukum anglo saxion atau common law system

dari Inggris.

Pada hakikatnya, kedua belah pihak tetap bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan setiap hubungan hukum dalam perdagangan. Kewajiban masing-masing pihak baik penjual maupun pembeli dilaksanakan secara bertanggung jawab. KUH Perdata menentukan:

Sipenjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyinya pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian sehingga, seandainya sipembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang…(vide: Pasal 1504 KUH Perdata).

Sipenjual tidak diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh si pembeli. (vide: Pasal 1505 KUH Perdata). Kemudian ditentukan: Ia diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia, sendiri tidak mengetahui tentang adanya cacat itu, kecuali jika ia dalam hal yang demikian, telah meinta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apa. (vide: Pasal 1506 KUH Perdata). Ketentuan tersebut di atas merupakan ketentuan yang bermaksud untuk melindungi kepentingan pembeli atau konsumen. Dengan demikian jelas bahwa

(8)

prinsip dalam perdagangan secara umum mengenai prinsip itikad baik tidak sama dengan prinsip yang dianut dalam perasuransian.

Prinsip itikad baik dalam kegiatan perasuransian, dapat diterapkan dalam praktiknya, seperti penerapan berikut ini:56

1) Perjanjian pertanggungan batal demi huku jika setelah perjanjian pertanggungan ditandatangani ternyata ditemukan ketentuan-ketentuan yang tidak benar, maka si penanggung harus membatalkan perjanjian pertanggungan tersebut kecuali ketentuan yang tidak benar itu terjadi karena tanpa disengaja.

2) Pihak perusahaan asuransi (penanggung) harus menjelaskan secara lengkap dan benar kepada tertanggung mengenai kondisi pertanggungan.

Perjanjian pertanggungan harus dibatalkan (melalui para pihak khususnya perusahaan asuransi) atau dapat dibatalkan (melalui pengadilan) jika terdapat hal-hal seperti tidak mengungkapkan informasi secara benar dan lengkap atau menyembunyikan fakta atau pengingkaran secara keliru ataupun perusahaan asuransi dengan sengaja memberikan informasi yang tidak benar kepada tertanggung.

Informasi yang dimaksud adalah informasi materil yang penting dan dapat menyebabkan ditolaknya suatu permohonan pertanggungan atau diterima tetapi dengan syarat-syarat pertanggungan dengan premi yang berbeda melalui kesepakatan ulang. Tidak semua informasi merupakan informasi materil dan tidak mudah pula menentukan suatu informasi yang materil itu. Hal ini juga menjadi persoalan penting dalam pertanggungan.57 Secara umum bahwa informasi materil itu adalah informasi yang seharusnya diperoleh baik pihak penanggung maupun pihak tertanggung dan dapat berpengaruh terhadap kegiatan pertanggungan.58

b. Prinsip Kepentingan yang dapat Diasuransikan (insurable interest) 56 Ibid., hal. 92. 57 Ibid. 58 Ibid., hal. 94.

(9)

Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) atau lebih tepat disebut kepentingan finansial yang dapat diasuransikan. Jika seseorang memiliki kepentingan atau interest dengan suatu perusahaan asuransi maka secara finansial seseorang tersebut memiliki ketertarikan untuk mengasuransikan terhadap perusahaan tersebut.

Sehingga prinsip ini dapat dipahami bahwa prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) bahwa hak yang sah dimiliki oleh seseorang untuk mempertanggungkan kepentingan keuangannya pada objek pertanggungan. Sehingga jika terjadi suatu peristiwa merugikan yang menimpa objek pertanggungan, tertanggung akan mengalami kerugian keuangan. Mengasuransikan harta benda tanpa didukung dengan insurable interest sama halnya dengan perjudian yang tidak memiliki kekuatan hukum.59

c. Prinsip Pengalihan Risiko

Singkatnya prinsip insurable interest ini sesungguhnya memiliki relevansi dengan prisinp itikad baik yakni harus memiliki keinginan dan keinginan itu harus dilaksanakan dengan kejujuran dan kepatutan.

Risiko adalah suatu kondisi yang mengandung kemungkinan terjadinya penyimpangan yang lebih buruk dari hasil penerapan. Isitilah risiko memiliki berbagai pengertian dalam bisnis dan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tingkatan yang paling umum, istilah risiko dipergunakan untuk menggambarkan keadaan di mana terdapat ketidakpastian tentang hasil apa yang akan timbul.60

Asuransi dilakukan untuk meminimalisasi kerugian, guna untuk menanggulangi ketidakpastian terhadap kerugian yang bersifat spekulatif, yang dapat

59

Ibid., hal. 96-97. 60

(10)

terjadi karena ketidakpastian peristiwa atau tidak terjadinya suatu peristiwa.61

Prinsip pengalihan risiko ini seminimal mungkin risiko didistribusi. Itu sebabnya asuransi sering dianggap sebagai alat atau sarana pembagian risiko (risk

sharing device). Asuransi merupakan suatu bentuk penyebaran risiko yang

kemungkinan akan terjadi atau yang lebih tepat disebut sebagai alat pengalihan risiko.

Pihak yang mengalihkan risiko adalah masyarakat atau pihak tertanggung sedangkan perusahaan asuransi bertindak sebagai penjaminan pengalihan risiko tersebut.

62

Jika dikaitkan dengan tujuan dan fungsi asuransi dalam hal melaksanakan prinsip pengalihan risiko simaksud, maka sesungguhnya terdapat pula sebuah prinsip di sini bahwa tujuan dan fungsi asuransi bagi penanggung dan tertanggung berlaku pula prinsip the losses of a few are borne by a group maksud prinsip ini adalah bahwa dalam bisnis asuransi tidak semua peserta akan mengalami kerugian atau kehilangan pada waktu yang sama maupun pada waktu yang berbeda tetapi klaim

Prinsip ini diilustrasikan misalnya dalam hal perusahaan manufactur (pihak tertanggung) membayar premi kepada untuk jaminan asuransi akan menjadi biaya tetap bagi bisnisnya yang akan diperhitungkan dalam komponen biaya perusahaan, maka dalam hal ini akan tercermin dalam harga yang dikenakan atas barang yang diproduksinya. Biaya klaim lalu dibagi antara semua pembeli barang yang dijualnya yang memungkinkan suatu risiko dapat disebarkan (didistribusikan) secara luas.

61

Sri Rezeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 15.

62

(11)

yang diajukan oleh sebahagian dari peserta asuransi ditanggung oleh seluruh peserta asuransi yang lain.63

Kecuali jika terjadi risiko inti (core risk), sebab core risk ini adalah risko yang terjadi karena kegagalan strategi bisnis dan investasi serta salah kelola (mismanagement) dan kegagalan ini potensial mengakibatkan munculnya tuntutan pihak ketiga untuk mempailitkan perusahaan asuransi. Sedangkan risiko perusahaan asuransi yang diperlukan klaim asuransi adalah terjadi karena risiko bisnis yang murni disebabkan karena peristiwa yang tidak pasti.

Dengan prinsip the losses of a few are borne by a group ini perusahaan asuransi tidak akan dirugikan atau pailit jika ada klaim dari pihak tertanggung, karena dalam suatu kejadian yang dikalim tertanggung tersebut, semua peserta atau tertanggung yang lainnya juga ikut berpartisipasi secara tidak langsung membiayai klaim tersebut. Secara tidak langsung disebut karena tertanggung yang lain telah memberikan premi yang terus-menerus dikumpulkan oleh perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi tersebut dipastikan tetap memperoleh keuntungan dari premi.

64

B. Asuransi sebagai Suatu Perjanjian

Asuransi merupakan satu di antara jenis-jenis perjanjian. Perjanjian asuransi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van

Koophandel voor Indonesie (S. 1847-23). Asuransi sebagai suatu perjanjian, maka

ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUH Perdata berlaku dalam

63

Junaedy Ganie, Op. cit., hal. 46. 64

(12)

perjanjian asuransi. Oleh karena itu, ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syarat-syarat yang diatur dalam KUHD.65

1. Kesepakatan (consensus)

Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menurut ketentuan tersebut terdapat 4 (empat) syarat-syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kuasa yang halal. Suatu perjanjian asuransi dapat dipastikan tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Jika keempat syarat tersebut sudah dipenuhi, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya, khususnya bagi penanggung dan tertanggung.

Penanggung (perusahaan perasuransian) dan tertanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi: benda yang menjadi objek asuransi, pengalihan risiko dan pembayaran premi, evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian, syarat-syarat khusus asuransi, dan polis asuransi.66

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.67

65

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 61.

66

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 49. 67

(13)

Perjanjian asuransi dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung antara pihak penanggung dan pihak tertanggung. dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara sedangkan dilakukan secara tidak langsung artinya dilakukan melalui jasa perantara.68

Dengan adanya kesepakatan (consensus) untuk mengikatkan diri antara penanggung dan tertanggung bahwa kedua belah pihak menyetujui materi atau muatan dalam perjanjian asuransi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau di bawah tekanan pihak manapun. Semua pihak harus bebas menentukan pilihan. Maksud dibolehkannya perjanjian asuransi secara tidak langsung (melalui perantara) bertujuan untuk melindungi pihak tertanggung sebagai pihak yang paling berkepentingan menentukan objek yang diasuransikan.

Penggunaan jasa perantara diperbolehkan dalam Pasal 260 KUHD, jika asuransi dilakukan dengan perantara seorang makelar, maka polis yang sudah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan) hari setelah perjanjian dibuat. Inilah yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 8 UU Usaha Perasuransian sebagai Perusahaan Pialang Asuransi, yaitu perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.

69

2. Kewenangan (authority)

Mengenai kewenangan (authority) yang dimaksud adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Para pihak penanggung dan tertanggung harus mampu dan

68

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 50. 69

(14)

cakap membuat suatu perjanjian asuransi yang berarti kata mampu dalam hal ini adalah bahwa penanggung dan teratnggung telah dewasa, tidak di bawah pengawasan karena prilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.

Kewenangan berbuata tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya para pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada dalam perwalian (trusteeship), atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung memiliki hubungan yang sah dengan objek asuransi karena benda tersebut merupakan kekayaan miliknya sendiri. Sedangkan penanggung merupakan pihak yang berwenang mewakili perusahaan asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Jika asuransi yang diadakan itu untuk pihak ketiga, maka tertanggung yang mengadakan asuransi tersebut mendapat kuasa dari pihak ketiga yang bersangkutan.70

3. Objek tertentu (fixed object)

Mengenai objek tertentu (fixed object) diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah suatu hal tertentu. Maksud suatu hal tertentu bahwa dalam perjanjian asuransi tersebut ada hal yang diperjanjikan memiliki makna suatu perjanjian yang dilakukan menyangkut suatu objek atau hal yang jelas. Objek asuransi ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UU Usaha Perasuransian adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.

Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan dalam hal asuransi kerugian. Objek tertentu berupa jiwa atau raga

70

(15)

manusia dalam hal asuransi jiwa. Objek tertentu harus jelas dan pasti. Jika berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya, di mana letaknya, apa mereknya, buatan mana, berapa nilainya, dan sebagainya. Jika berupa jiwa atau raga, nama siapa, berapa umurnya, apa hubungan kelaurganya, di mana alamatnya, dan sebagainya.

Oleh karena yang mengasuransikan objek tersebut adalah tertanggung, maka tertanggung harus memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi tersebut. Dikatakan ada hubungan langsung jika tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga yang menjadi objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung jika tertanggung hanya memiliki kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa tertanggung lah yang benar sebagai pemilik sah atau memiliki kepentingan atas objek tersebut.

Jika tertanggung tidak dapat membuktikan objek asuransi tersebut, maka akan timbul anggapan bahwa tertanggung tidak memiliki hubungan hukum dengan objek asuransi tersebut, sehingga pertanggungan dapat dibatalkan atau batal demi hukum (null and void). Undang-undang tidak membenarkan dan tidak akan mengakui bagi orang yang melakukan perasuransian jika tidak ada kepentingan (interest).71

4. Kausa yang halal.

Dilakukan atas sebab yang halal atau kausa yang halal maksudnya adalah suatu perjanjian dilakukan dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan. Kausa yang halal dalam perjanjian asuransi mengandung makna bahwa isi atau muatan dalam perjanjian asuransi tersebut benar-benar tidak dilarang oleh ketentuan

71

(16)

perundang-undangan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusialaan. Contohnya tertanggung mengasuransikan benda yang diperoleh dari suatu kajahatan pencucian uang, dan lain-lain adalah dilarang.

Dalam perjanjian asuransi, terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi, antara lain: adanya kaidah hukum, subyek hukum, akibat hukum, kata sepakat, dan adanya prestasi.72

C. Berakhirnya Perjanjian Asuransi

Adanya kaidah hukum jelas diatur dalam KUH Perdata, KUHD, dan UU Usaha Perasuransian. Subyek hukum dimaksud adalah kedua belah pihak yaitu tertanggung dan penanggung maupun kuasanya. Adanya prestasi yaitu tertanggung membayar premi, sedangkan penanggung akan menerima peralihan risiko atas objek yang diasuransikan tertanggung.

Kata sepakat dibuktikan dengan adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak yang dibuktikan dengan penandatanganan di dalam perjanjian asuransi, sehingga akan mengikat secara hukum antar kedua belah pihak dalam pertanggungan. Akibat hukum dari perjanjian asuransi berarti menimbulkan hak dan kewajiban. Jika premi dibayar tertanggung, maka risiko beralih, jika premi tidak dibayar tertanggung, maka risiko tersebut tidak beralih.

Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa dalam asuransi terdapat beberapa prinsip-prinsip asuransi dan asuransi merupakan satu di antara banyak perjanjian. Asuransi dapat berakhir, asuransi tidak bersifat kekal melainkan bergantung pada batas masa tertentu sesuai dengan yang diperjanjikan antara

72

Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 4.

(17)

penanggung dengan tertanggung. Berakhirnya suatu perjanjian asuransi, maka berakhir pula kegiatan perasuransian, disebabkan karena:

1. Jangka waktu berlaku sudah habis

Asuransi biasanya diadakan untuk jangka waktu tertentu misalnya 1 (satu) tahun. Jangka waktu ini biasanya terdapat pada asuransi kebakaran dan asuransi kendaraan bermotor. Ada juga asuransi yang diadakan untuk jangka waktu yang lebih lama misalnya 10 (sepuluh) tahun sampai 20 (dua puluh) tahun atau lebih. Jangka waktu panjang ini biasa terdapat pada asuransi jiwa. Jangka waktu tersebut ditetapkan dalam polis.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengatur secara tegas mengenai jangka waktu asuransi. Jika jangka waktu yang ditentukan dalam polis tersebut habis, maka jangka waktu asuransi berakhir. Lain halnya dengan asuransi di Inggris tidak dibolehkan asuransi sampai 12 (dua belas) bulan atau lebih satu tahun. Asuransi di Inggris untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun adalah batal.73

2. Perjalanan berakhir

Selain ditentukan dengan jangka waktu tertentu, asuransi juga dapat diadakan berdasarkan perjalanan, misalnya asuransi diadakan untuk perjalanan kapal dari pelabuhan A ke Pelabuhan B. Jike perjalanan telah berakhir atau kapal tiba dipelabuhan tujuan (pelabuhan B), maka asuransi tersebut telah berakhir. Asuransi berdasarkan perjalanan ini pada umumnya digunanakan untuk asuransi pengangkutan barang maupun penumpang dari tempat pemberangkatan (embarkasi) ke tempat tujuan tertentu (disembarkasi).

3. Terjadinya evenemen dan diikuti dengan klaim

73

(18)

Dalam perjanjian asuransi dipastikan dibuat berlaku untuk apa saja evenemen asuransi yang dipertanggungkan. Jika sementara asuransi berjalan terjadi evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dimaksud dan menimbulkan kerugian, maka penanggung akan menyelidiki apakah benar tertanggung memiliki kepentingan atas benda yang diasuransikan. Penanggung menyelidiki pula apakah evenemen yang terjadi itubenar-benar karena kesalahan tertanggung dan sesuai dengan evenemen dalam polis asuransi. Jika benar, maka dilakukan pemberesan berdasarkan klaim tertanggung. Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh penanggung berdasarkan asas keseimbangan74

Keseimbangan dimaksud hak pada satu sisi dibatasi oleh kehendak yang dimunculkan oleh pertimbangan atau keadaan yang menguntungkan, dan pada sisi lain, oleh keyakinan akan kemampuan untuk mengejawantahkan hasil atau akibat yang dikehendaki. Dalam batasan kedua sisi ini tercapailah keseimbangan yang dimaknai positif.

dengan pemenuhan ganti kerugian berdasarkan klaim tertanggung, maka asuransi berakhir.

75

4. Asuransi berhenti atau dibatalkan

Asuransi akan berhenti disebabkan karena kesepakatan dalam perjanjian asuransi antara penanggung dan tertanggung telah berakhir, misalnya karena premi

74

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku III, (Bandung: Alumni, 2006), hal. 108-120. Asas keseimbangan adalah suatu asas yang dinyatakan bahwa asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara adil. Asas-asas dalam perjanjian, selain asas keseimbangan dianut pula asas kebebasan mengadakan perjanjian, konsensualisme, kepercayaan, kekuatan mengikat, persamaan hukum, keseimbangan, kepastian hukum, moral, kepatutan, dan kebiasaan. Lihat juga: Tim Naskah Akademis BPHN., Naskah

Akademis Lokakarya Hukum Perikatan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985), hal. 9.

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan suatu perjanjian, dimana kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

75

(19)

tidak dibayar dan ini biasanya diperjanjikan dalam polis. Berhentinya asuransi juga dapat terjadi karena faktor di luar kemauan penanggung dan tertanggung, mislanya terjadi pemberatan risiko setelah asuransi berjalan (Pasal 293 dan Pasal 638 KUHD).

Dalam hal pemberatan risiko setelah asuransi berjalan, seandainya penanggung mengetahui hal itu dari awal, penanggung tersebut tidak akan membuat asuransi itu dengan syarat-syarat atau janji-janji khusus. Oleh karena dirasakan kurang adil, maka undang-undang menentukan, jika terjadi pemberatan risiko, asuransi menjadi berhenti. Pengertian berhenti dapat juga diartikan dibatalkan.

Penanggung atau tertanggung masing-masing berhak sewaktu-waktu menghentikan asuransi itu tanpa diwajibkan memberitahukan alasannya. Dalam hal penanggung yang membatalkannya, maka penanggung wajib mengembalikan premi untuk jangka waktu yang belum habis. Dalam hal tertanggung yang membatalkannya, tertanggung wajib membayar premi untuk jangka waktu yang sudah dijalani.76

5. Asuransi gugur

Asuransi gugur biasanya terdapat dalam asuransi pengangkutan. Jika barang yang diangkut diasuransikan kemudian tidak jadi diangkut, maka asuransi gugur. Tidak jadi diangkut dapat terjadi karena kapal tidak jadi berangkat akan melakukan perjalanan, tetapi dihentikan (Pasal 635 KUHD). Dalam hal ini asuransi bukan dibatalkan atau batal, melinkan gugur (aborted). Perbedaan antara asuransi dibatalkan atau batal dengan asuransi gugur adalah pada bahaya evenemen. Pada

76

(20)

asuransi dibatalkan atau batal, bahaya sedang atau sudah dijalani, sedangkan pada asuransi gugur, bahaya belum dijalani sama sekali.77

6. Perusahaan Asuransi dipailitkan

Selain dari kelima hal di atas yang dapat membuat kegiatan pertanggungan atau asuransi berakhir, ada pula ketentuan yang menentukan berakhirnya asuransi karena perusahaan yang menjalankan kegiatan perasuransian (perusahaan perasuransian) tersebut dipailitkan atau dicabut izin usahanya.

Ditentukan dalam Pasal 20 UU Usaha Perasuransian, adalah:

a. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri, berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit.

b. Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama.

Maksud ketentuan di atas adalah jika suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri Keuangan Republik Indonesia (dalam hal debitornya perusahaan asuransi) diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk meminta pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit.

Tujuan perusahaan asuransi dinyatakan pailit agar kekayaan perusahaan asuransi tersebut tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka

77

(21)

Menteri Keuangan dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan.

Hak utama yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) UU Usaha Perasuransian mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Pengaturan Kegiatan Usaha Perusahaan Asuransi Dalam Menjalankan Kegiatan Perasuransian

Berdasarkan uraian pada sub bab tersebut di atas, telah dijelaskan beberapa prinsip-prinsip yang berlaku dalam perjanjian asuransi dan berakhirnya asuransi atau kegiatan usaha perasuransian, maka dalam sub bab ini dijelaskan mengenai pengaturan kegiatan usaha perasuransian. Dasar hukum pengaturan kegiatan perasuransian telah diatur di dalam KUH Perdata dan KUHD, dan kemudian diatur dalam UU Usaha Perasuransian serta diikuti dengan peraturan teknis melalui PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Perasuransian.

Penegasan Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian menentukan asuransi disamakan dengan pertanggungan. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita

(22)

tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Jenis usaha perasuransian menurut Pasal 3 UU Usaha Perasuransian, meliputi usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk: Perusahaan Perseroan (Persero), Koperasi, dan usaha bersama. Jenis usaha asuransi menurut Pasal 1 huruf a UU Usaha perasuransuan terdiri dari:

1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti;

2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan;

3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.

Usaha penunjang usaha asuransi adalah menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa akturia. Jenis usaha penunjang usaha asuransi menurut Pasal 3 huruf b UU Usaha Perasuransian, terdiri dari:

1. Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung;

2. Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi;

(23)

3. Usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan;

4. Usaha konsultan akturia yang memberikan jasa konsultasi akturia;

5. Usaha Agen Asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.

Pengelompokan jenis usaha perasuransian menjadi usaha asuransi dan usaha penunjang asuransi didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Selain itu, dalam perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi yang kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi.

Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan perusahaan di bidang usaha penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia.

Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat.78

Ruang lingkup kegiatan usaha asuransi ditentukan dalam Pasal 4 UU Usaha Perasuransian, yaitu hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perasuransian, dengan ruang lingkup kegiatan: Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa,

78

(24)

dan Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang.

Perusahaan asuransi kerugian hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi. Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan usaha anuitas, serta menjadi pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku. Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang.

Ditentukan dalam Pasal 8 UU Usaha Perasuransian syarat mutlak pendirian perusahaan perasuransian hanya dapat didirikan oleh Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, atau perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing.

Perusahaan perasuransian yang didirikan tersebut harus merupakan perusahaan perasuransian yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dengan kegiatan usaha dari perusahaan perasuransian yang mendirikan atau memilikinya. Perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan reasuransi, yang para pendiri atau pemilik perusahaan tersebut adalah perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan reasuransi.

Pasal 9 UU Usaha Perasuransian, menentukan kewajiban memperoleh izin usaha dari Kemenkeu. Untuk mendapatkan izin usaha harus dipenuhi persyaratan mengenai:

1. Anggaran dasar; 2. Susunan organisasi;

(25)

3. Permodalan; 4. Kepemilikan;

5. Keahlian di bidang perasuransian; 6. Kelayakan rencana kerja;

7. Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat.

Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing, maka untuk memperoleh izin usaha wajib dipenuhi persyaratan tersebut di atas serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing. Mengenai pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha perasuransian dilakukan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu).

Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan perusahaan perasuransian diatur dengan Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usah Perasuransian kemudian dirubah melalui Peraturan Pemerintah No.39 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, kemudian diubah melalui PP No.81 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (selanjutnya disingkat PP Penyelenggaraan Usaha Perasuransian).

Pasal 2 PP Penyelenggaraan Usaha Perasuransian menenutkan bahwa perusahaan asuransi yang mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan. Pasal 10 PP Penyelenggaraan Usaha Perasuransian menenutkan bahwa izin usaha perusahaan perasuransian dapat dicabut apabila, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung

(26)

sejak tanggal izin usaha ditetapkan, Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatannya.

Pasal 3 PP Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, menentukan bahwa perasuransian dalam melaksanakan kegiatan usahanya harus memenuhi ketentuan dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya untuk menjalankan satu jenis usaha perasuransian. Permodalan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Susunan organisasi perusahaan paling sedikit meliputi fungsi:

1. Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan;

2. Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan;

3. Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang diselenggarakannya.

Perasuransian dalam melaksanakan kegiatan usahanya harus mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah yang cukup untuk mengelola kegiatan usahanya. Untuk perusahaan asuransi, memiliki komisaris independen yang:

1. Tugas pokoknya adalah untuk menyuarakan kepentingan pemegang polis; 2. Bukan merupakan afiliasi dari pemegang saham, direksi, atau komisaris; dan 3. Menjabat sebagai komisaris independen paling banyak pada 2 (dua)

perusahaan asuransi.

Sedangkan untuk perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah, memiliki dewan pengawas syariah. Melaksanakan pengelolaan perusahaan perasuransian berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

(27)

Ketentuan dalam Pasal 3 PP No.39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua PP Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, mempersyaratkan adanya komisaris independen, sebelumnya dalam Pasal 3 PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usah Perasuransian syarat komisaris independen tidak disyaratkan. Tujuan mempersyaratkan adanya komisaris independen pada perusahaan asuransi sebagai perlindungan terhadap pihak tertanggung.

Perlindungan kepada pihak tertanggung dimaksud karena tugas komisaris independen ini adalah untuk menyuarakan kepentingan pemegang polis asuransi yang dalam hal ini yaitu tertanggung, tidak terafiliasi dengan pemegang saham, direksi, atau komisaris dan hanya dapat menjabat paling banyak pada 2 (dua) perusahaan asuransi.79

1. Atas permintaan likuidator dalam hal perusahaan dilikuidasi; atau

Perlindungan atas kepentingan pemegang polis asuransi juga dipersyaratkan bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi harus memiliki 20% (dua puluh per seratus) dari modal disetor yang dipersyaratkan, dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum di Indonesia yang bukan afisial dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang bersangkutan.

Ditentukan dalam Pasal 7 ayat (5) PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usah Perasuransian, deposito tersebut dapat dicairkan atas persetujuan Kemenkeu berdasarkan:

2. Atas permintaan perusahaan yang bersangkutan dalam hal izin usahanya dicabut atas permintaan perusahaan yang bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah diselesaikan.

79

(28)

Ketentuan di atas hanya disyaratkan atas persetujuan atas permintaan likuidator dan atas permintaan perusahaan sendiri yang bersangkutan. Tetapi dalam Pasal 7 ayat (5) PP No.39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua PP Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, mempersyaratkan bahwa dana jaminan tersebut dapat dicairkan atau dijual hanya atas persetujuan Kemenkeu atau pejabat yang mendapat pendelegasian untuk itu berdasarkan permintaan:

1. Likuidator dalam hal perusahaan dilikuidasi;

2. Perusahaan yang bersangkutan dalam hal izin usahanya dicabut atas permintaan perusahaan yang bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah diselesaikan;

3. Perusahaan yang bersangkutan dalam hal jumlah dana jaminan yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan telah melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3); atau

4. Perusahaan yang bersangkutan dalam hal akan melakukan pemindahan atau penggantian dana jaminan, setelah terlebih dahulu menempatkan dana jaminan dalam jumlah yang sekurang-kurangnya sama dengan jumlah dana jaminan yang akan dipindahkan atau diganti.

Persyaratan atas perusahaan yang bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah diselesaikan. Perusahaan yang bersangkutan dalam hal jumlah dana jaminan yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan telah melebihi ketentuan bahwa jaminan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari modal disetor minimum yang dipersyaratkan dalam bentuk deposito berjangka dan/atau surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh Pemerintah. Dana jaminan yang dapat dicairkan adalah deposito berjangka, sedangkan dana jaminan yang dapat dijual adalah surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh Pemerintah.

Persyaratan atas perusahaan yang bersangkutan dengan ketentuan bahwa perusahaan yang bersangkutan dalam hal akan melakukan pemindahan atau penggantian dana jaminan, setelah terlebih dahulu menempatkan dana jaminan dalam

(29)

jumlah yang sekurang-kurangnya sama dengan jumlah dana jaminan yang akan dipindahkan atau diganti.

Persyaratan untuk mempailitkan atau mencabut izin perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) UU Usaha Perasuransian, mempersyaratkan bahwa pencabutan izin usaha perusahaan yang bersangkutan oleh Kemenkeu harus berdasarkan kepentingan umum. Syarat karena pertimbangan kepentingan umum atau kepentingan para kreditor dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit.

Pasal 6G ayat (4) PP Penyelenggaraan Usah Perasuransian menentukan bahwa Menteri Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak menyampaikan rencana kerja dan belum memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B, Pasal 6C, dan Pasal 6E harus menyampaikan rencana kerja untuk memenuhi ketentuan pentahapan permodalan paling lambat tanggal 30 September tahun berjalan. Pencabutan izin usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi dilakukan Menetri Keuangan dengan tetap memperhatikan tahapan pengenaan sanksi.

Referensi

Dokumen terkait

Dongeng adalah cerita rakyat yang secara lisan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, pengarangnya anonim, ada dalam dunia khayal atau tidak benar-benar

program dan kegiatan yang ada dalam RPI2-JM bidang Cipta Karya dapat. dihitung melalui hasil analisis yang

Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 sebagai peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah 04 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah

Menurut Nadia Branon , Business Intelligence merupakan kategori yang umum digunakan untuk aplikasi dan teknologi untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisa, dan menyediakan akses

Dalam skripsi ini dijabarkan tentang pelaksanaan manajemen risiko pada proses pengangkutan asam sulfat yang meliputi kegiatan identifikasi bahaya, penilaian risiko,

Pada program yang telah dipaparkan sebelumnya, selin memuat mengenai program berdasarkan keterpaduan berdasarkan entitas jenis program, regional, Kabupaten Kota,

Diperoleh hasil bahwa perubahan nilai K pada K-Fold Cross Validatio n untuk metode BLOB pun memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai akurasi.. Sama seperti metode

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial memiliki kekhasan jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain, karena Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial tersebut membawa sebuah