• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Unjuk Kerja Menara Pendingin Sistem Tertutup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Karakteristik Unjuk Kerja Menara Pendingin Sistem Tertutup"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Karakteristik Unjuk Kerja

Menara Pendingin Sistem Tertutup

Muhammad Abdullah Hamidi Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Abstrak - Menara pendingin dibutuhkan dalam sistem tata udara pada gedung sebagai pendingin air kondenser. Menara pendingin yang digunakan pada penelitian ini bertipe forced draft - counter flow – indirect/ closed evaporative cooling tower. Penelitian ini berusaha untuk menunjukkan karakteristik performa menara pendingin sistem tertutup berupa nilai efektivitas, NTU (Number of Transfer Unit), kapasitas pendinginan, dan koefisien perpindahan kalor dan massa keseluruhan dari menara pendingin. Eksperimen dilakukan pada penukar kalor berupa koil dengan susunan bersilangan dengan diameter 3/8 inchi, yang memiliki jalur parallel. Hasil eksperimen kemudian dibandingkan dengan korelasi perpindahan kalor dan massa dasar yang ada pada textbook, juga dipadukan dengan simulasi CFD untuk menginvestigasi proses fisik yang terjadi di dalam kolom menara pendingin. Baik eksperimen, perhitungan teoritis, dan simulasi CFD, divariasikan dengan nilai laju massa air hangat, udara dingin, dan air semprot yang berbeda untuk memberikan deskripsi yang jelas tentang karakteristik performa dari menara pendingin sistem tertutup.

(2)

I. PENDAHULUAN

Ada beberapa tipe dari menara pendingin. Menara pendingin basah bekerja secara aliran natural, atau aliran mekanis. Menara pendingin aliran mekanis sendiri bisa berupa aliran tekan, atau aliran induksi. Aliran udara dan air bisa bertipe aliran lawan arah, aliran silang, atau pun keduanya. Masing-masing tipe menara pendingin, punya karakteristik tersendiri. Berdasarkan tipe kontak antara fluida panas dengan udara pendinginnya, maka menara pendingin dibagi dua, yaitu yang kontak secara langsung, dan kontak tidak langsung.

Pada menara pendingin kontak langsung, air dan udara yang bertemu secara langsung menyebabkan adanya evaporasi dari air dan menyebabkan reduksi temperatur secara simultan. Hasilnya yaitu air yang terevaporasi yang berbentuk vapor(air yang berfasa gas) ditambahkan ke udara menyebabkan udara yang amat lembab pada sisi keluaran udara. Air yang terevaporasi harus digantikan dengan air baru untuk menjaga debit dari sirkulasi air pendinginan kondenser, air ini disebut air pelengkap (make-up water). Air pelengkap pada menara pendingin kontak langsung cukup besar, karena debit air dan udara yang saling kontak juga besar untuk menjaga keefektifan dari menara pendingin ini. Untuk daerah perkotaan, konsumsi air pun dibatasi. Gedung yang mengkonsumsi air yang banyak dapat digolongkan dalam jeis gedung boros energy.

Pada tipe kontak langsung juga terjadi pengotoran pada air panas. Terlebih pada daerah perkotaan, udara lingkungan yang digunakan untuk penginginan banyak mengandung debu juga zat asam. Zat dan partikel tersebut akan tercampur pada air panas dan menyembabkan pengotoran pada air. Hal ini dapat penyebabkan pengotoran pada pipa kondenser yang menghambat perpindahan panas dari kondenser ke air sirkulasi. Terlebih juga dapat menyebabkan karat pada pipa kondenser yang terbuat dari tembaga. Pada menara pendingin kontak langsung menghasilkan polusi suara berupa kebisingan yang terjadi akibat air dalam debit yang besar yang jatuh

(3)

langsung dan menumbuk ke permukaan. Meskipun menara pendingin ini terletak di luar gedung, namun faktor ini tetap diperhatikan.

Untuk mengurangi faktor yang telah disebutkan di atas, maka menara pendingin jenis kontak tidak langsung, atau lebih dikenal dengan sistem tertutup, digunakan pada menara pengingin di gedung perkotaan. Pada menara pendingin sistem tertutup, air hangat dan udara dingin dipisahkan dengan jalur pipa tembaga. Saat pengoprasiannya, evaporasi dari air terjadi di sisi luar pipa tembaga yang terbasahi oleh air sekunder. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan secara signifikan perpindahan panas dari air primer ke udara atmosfir.

II. ALAT UJI DAN METODE PENELITIAN

Peralatan pengujian yang dipergunakan adalah “Mass and Heat Transfer Experimental Apparatus”, yakni peralatan penelitian perpindahan kalor dan massa. Kode dari alat ini ialah CT-336 V produksi Jepang.

Pertama dilakukan perhitungan koefisien keseluruhan perpindahan kalor, dengan korelasi-korelasi yang terkait dengan fenomena yang terjadi pada sistem menara pendingin sistem tertutup. Kemudian dilakukan pembuatan model yang meliputi pembuatan geometri kolom, memasukkan persamaan matematis yang sesuai disertai kondisi batas, dan melakukan meshing. Dimensi model disesuaikan dengan alat exsisting untuk memperoleh hasil yang mendekati kondisi actual. Kemudian dilakukan verifikasi model dengan memastikan bahwa simulasi awal/dummy menunjukkan hasil yang dapat diterima(reasonable) dengan berbagai model dan persamaan yang dijalankan saat perhitungan. Setelah melihat hasil simulasi awal, optimasi meshing dapat dilakukan. Kemudian kembali melakukan simulasi dengan berbagai variable masukan. Setelah itu dilakukan eksperimen dimulai dengan instalasi coil penukar kalor pada alat existing. Kemudian dilakukan

(4)

pengujian dengan berbagai variable masukan dengan menjaga temperatur masukan air konstan 380 C.

Gambar 1. skematik menara pendingin system tertutup III. MODEL TEORITIS

Efektivitas dari menara pendingin dihitung dengan ! =!"#$%!!""#$!%!!"#$% (1)

dengan, range = to – ti

approach = ti – twi

Dengan mengintegrasikan persamaan kesetimbangan energi, dari inlet ke outlet menara pendingin dengan ts konstan memberikan persamaan;

!!!!

!!!! = ln

!!,!!!!

(5)

Untuk perpindahan panas antara udara saturasi - air semprot dengan udara keseluruhan, diwakili dengan perubahan entalpi berdasarkan persamaan Merkel, dengan mengintegrasikan persamaan tersebut dari udara inlet ke outlet memberikan;

!!!

!! = ln

!"!!!!,!

!"!!!!,! (3)

Persamaan 2 dan 3 terdapat nilai log-mean dari perbedaan temperatur dan entalpi. Nilai Uo dan K merupakan nilai perpindahan kalor dan massa keseluruhan. Sedangkan untuk nilai Uo teoritis dihitung dengan persamaan

! !!!= ! !!!!!+  !!"##+   ! !!!!! (4)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Simulasi CFD

Simulasi dilakukan dengan kriteria konvergensi persamaan energi sebesar 1e-06, dan 1e-03 untuk persamaan lainnya(kontinuitas, momentum, k, epsilon, h2o), dan simulasi konvergen pada iterasi 130-150.

(6)

Dari vektor kecepatan terlihat bahwa memang kecepatan udara dingin sebagai media perpindahan meningkat saat melewati susunan koil penukar kalor. Meningkatnya kecepatan udara tentunya juga meningkatkan bilangan reynold, nusselt, dan koefisien perpindahan panas konveksinya. Dari vektor kecepatan juga terlihat adanya turbulensi pada daerah sebelum masuk ke susunan koil. Disebabkan karena udara masuk sebelumnya tidak didistribusi merata sebelum masuk kolom. Kecepatan tertinggi justru berada pada daerah drift eliminator akibat perubahan luas yang signifikan.

Kesetimbangan Energi

Gambar 3. kesetimbangan energi antara sisi udara dan sisi air

Nilai kesalahan dari perbandingan kesetimbangan pada eksperimen tidak melebihi 30% dari garis kesetimbangan, artinya eksperimen ini dapat cukup diterima. Dari grafik, dapat menjadi catatan bahwa grafik menunjukkan nilai perubahan energi pada sisi udara cenderung lebih besar dari pada sisi air.

Efektifitas Bola Basah

Nilai efektivitas dari menara pendingin diperoleh dari persamaan (2.44). Grafik (3) dan (4) menunjukkan pengaruh laju alir massa udara dan air terhadap nilai efektivitas dari menara pendingin.

(7)

Gambar 3. Grafik efektivitas dengan variasi laju massa udara

Nilai efektivitas semakin tinggi seiring dengan semakin banyaknya massa udara yang dialirkan. Sebaliknya, nilai efektivitas semakin turun dengan bertambahnya jumlah air hangat yang didinginkan.

Gambar 3. Grafik efektivitas vs laju massa udara (variasi laju massa air semprot) Nilai efektivitas meningkat dengan bertambahnya laju massa air semprot. Nilai efektivitas terbesar ialah dengan mengalirkan secara maksimum massa udara dan massa air semprot.

Pada gambar 5, dapat dilihat efek rasio laju massa air hangat disbanding dengan laju massa udara. Dari grafik tersebut terlihat bahwa, nilai efektivitas memiliki kecendrungan untuk berkurang seiring dengan meningkatknya rasio mw/ma.

(8)

Gambar 5. Grafik Efektivitas vs rasio mw/ma

Nilai efektivitas dipengaruhi oleh besarnya laju alir massa dari air hangat dan udara dingin. Semakin sedikit jumlah air hangat yang didinginkan, maka nilai efektivitas semakin berkurang. Sebaliknya, semakin banyak jumlah udara dingin yang dialirkan maka nilai efektivitas semakin bertambah.

Number of Transfer Unit (NTU)

Nilai NTU merepresentasikan kinerja menara pendingin. Nilai ini akan cenderung konstan dengan berbagai variasi jumlah aliran air dan udara yang terjadi dalam sistem menara pendingin. Dengan persamaan (2.43). nilai NTU diselesaikan secara numeric, dan menghasilkan nilai yang diplot pada Gambar

(9)

Tidak seperti pada nilai efektivitas pada gambar 3, nilai NTU yang sama-sama dijadikan patokan performa dari menara pendingin memiliki kecendrungan yang berbeda. Nilai NTU terlihat tidak memiliki kecendrungan akibat berubahnya variasi udara maupun air hangat.

Gambar 7. Grafik NTU vs laju massa udara (variasi laju massa air semprot) Dengan laju massa air hangat sebesar 300 kg/jam, dengan laju massa air semprot yang besar, nilai NTU berada di angka 0,5 dan mengalami penurunan seiring bertambahnya laju massa udara.

Gambar 5. Grafik nilai NTU vs rasio ms/ma

Kecendrungan nilai NTU dapat dilihat dengan mengeplot grafik perbandingan nilai NTU dengan rasio laju massa air semprot(ms) dengan laju massa udara(ma). dari

grafik menunjukkan bahwa nilai NTU akan semakin besar seiring dengan semakin besarnya rasio ms/ma.

(10)

Garis Operasi Menara Pendingin

Gambar 6. garis operasi menara pendingin pada diagram psychrometric Garis operasi pada menara pendingin dapat di plot pada diagram psychrometric ataupun grafik entalpi-temperatur. Garis operasi menara pendingin pada diagram psychrometric dapat dilihat pada gambar 9.

Pada gambar, diplot salah satu data (yang cukup merepresentasikan data lain) pada diagram psychrometric, akan terlihat kurva actual dari udara yang cenderung lurus. Hal ini menunjukkan bahwa menara pendingin sistem tertutup hanya memanfaatkan panas laten dari evaporasi untuk pembuangan panasnya. Ditandai dengan tidak berubahnya temperature bola kering(bahkan cenderung sedikit turun) dan bertambahnya jumlah grain atau butiran air yang terkandung dalam udara saat keluar dari kolom menara pendingin.

(11)

Gambar 7. Grafik H-T untuk garis operasi menara pendingin

Pengaruh variasi laju massa air semprot(ms) pada garis operasi menara pendingin

dapat dilihat pada grafik 10. Pada eksperimen, temperature inlet yang dimasukkan seragam, yaitu 38 oC, laju massa air hangat konstan sebesar 300 kg/jam, dan laju massa udara sebesar 270 kg/jam. Pada grafik H-T di atas dapat dilihat range menara pendingin atas variasi laju massa air semprot yang menunjukkan bahwa besar range berbanding lurus dengan laju massa air semprot. Sedangkan, gradient kemiringan dari garis operasi cenderung sama untuk setiap variasi.

Gambar 8. Garis operasi pada grafik H-T

Pada grafik 11, terlihat pengaruh variasi laju massa udara(ma) pada garis operasi

menara pendingin pada grafik H-T. Grafik di atas ialah garis operasi pada temperature inlet 38 oC, laju massa air hangat konstan sebesar 300 kg/jam, dan laju massa air semprot 66 kg/jam. Range menara pendingin atas variasi laju massa air semprot yang menunjukkan bahwa besar range berbanding lurus dengan laju massa udara. Gradient kemiringan dari garis operasi berbanding terbalik dengan laju massa udara.

Kapasitas Pendinginan

Grafik 12 Menunjukkan nilai buang panas menara pendingin yang divariasikan dengan jumlah laju alir air hangat. Meskipun dalam grafik 5 menunjukkan bahwa efektivitas pada laju aliran air hangat yang besar, efektivitas semakin kecil. Pada

(12)

grafik 12 Menunjukkan bahwa semakin besar laju massa air hangat, kapasitas pendinginan menara pendingin akan semakin besar.

Gambar 9. Grafik kapasitas pendinginan dengan variasi laju massa air hangat & air semprot

Pada grafik juga diplot nilai prediksi perhitungan dengan menggunakan rasio laju massa air semprot sebesar 1. Nilai eksperimen menunjukkan kapasitas pendinginan yang lebih kecil dari prediksi. Namun dari grafik dapat dilihat bahwa plot garis teoritis(perhitungan) dan eksperimen memiliki kecendrungan yang sama.

Gambar 10. Grafik kapasitas pendinginan vs laju massa air semprot (variasi laju massa udara)

Nilai buang panas menara pendingin yang divariasikan dengan jumlah laju alir air semprot. Pada grafik 13 Menunjukkan bahwa laju massa air semprot dan laju massa

(13)

udara, berbanding lurus dengan nilai kapasitas pendinginan. Hasil prediksi/ teoritis juga menunjukkan nilai yang lebih besar dari data eksperimen.

Gambar 11. Grafik Kapasitas pendinginan vs air tambahan

Grafik di atas menunjukkan bahwa nilai kapasitas pendinginan berbanding lurus dengan besarnya jumlah air tambahan (yang dihitung dengan persamaan 2.45), yang juga merupakan massa air semprot yang terevaporasi. Semakin besar nilai make-up water teoritis, maka akan semakin meningkatkan kapasitas pendinginan akibat kalor laten air yang terevaporasi

Gambar 12. Grafik kalor evaporasi berdasarkan eksperimen dan prediksi kalor laten maksimum

(14)

Pada gambar 15, nilai kapasitas kalor menara pendingin yang diperoleh dari eksperimen, dievaluasi dengan analogi Zukauskas untuk memprediksi besarnya nilai kalor laten maksimum yang terjadi pada permukaan susunan koil penukar kalor.

Nilai kapasitas buang kalor pada eksperimen hanya sebesar 50-60% dari nilai teoritis. Pada nilai teoritis di grafik 15, nilai diplot berdasarkan persamaan (2.27) dengan asumsi bahwa seluruh permukaan koil terbasahi dengan lapisan air yang amat tipis dan terjadi evaporasi pada seluruh permukaannya. Nilai yang menyimpang pada data eksperimen dengan hasil perhitungan teoritis disebabkan tidak terpenuinya asumsi ini. Penyederhanaan yang dipakai pada perhitungan korelasi dan juga karena tidak seluruh permukaan koil yang terlapisi oleh air semprot (seperti yang ditunjukkan pada gambar 16) sehingga evaporasi yang terjadi semakin kecil. Jika nilai kalor evaporasi eksperimen pada grafik 15 dibandingkan dengan nilai kapasitas pendinginan pada grafik 13 dan 4.14, maka terlihat bahwa seharusnya nilai kapasitas pendinginan dapat lebih besar. Penyerapan panas akibat kalor laten evaporasi yang terjadi tidak seluruhnya dimanfaatkan untuk pembuangan panas pada air hangat, namun nyatanya terpakai menjadi pendinginan pada sisi udara.

(15)

Gambar 13. Distribusi dari lapisan air semprot pada pipa[7]

Penelitian ini memang bertujuan untuk memberikan gambaran karakteristik performa dari menara pendingin sistem tertutup, namun dari data eksperimen, dapat dinilai spesifikasi pendinginan dari menara pendingin ini. Dalam satuan refrigerasi ton, nilai buang kalor maksimun dari miniature menara pendingin ini sebesar 0,4 RT. Dengan variasi laju massa udara dan air hangat, nilai RT dapat dilihat pada gambar 17.

Gambar 14. Kapasitas pendinginan dalam RT Peristiwa Perpindahan

Nilai koefisien perpindahan panas dapat diplot pada grafik dengan menggunakan persamaan 2.38, sedangkan persamaan 2.39 untuk menentukan koefisien perpindahan massa.

Pada gambar 18, data hasil eksperimen dibandingkan dengan korelasi pada persamaan(2.40) dan simulasi CFD. Dari grafik terlihat bahwa terjadi penyimpangan data eksperimen dengan prediksi. Nilai K dari persamaan(2.40) mendekati nilai eksperimen. Lain halnya dengan nilai yang ditunjukkan simulasi CFD yang menunjukkan nilai K yang lebih kecil, karena sulit untuk menggambarkan kondisi batas yang sesuai untuk pemodelan evaporasi pada menara pendingin. Pada simulasi CFD, evaporasi akan semakin besar dengan membuat butiran air untuk air semprot

(16)

(pada fase diskrit) menjadi lebih kecil. Pada simulasi yang dilakukan, diameter butiran air semprot sebesar 1 mm.

Gambar 15. Grafik koefisien perpindahan massa

Nilai K berbanding lurus dengan besarnya laju massa udara. Untuk laju massa air semprot yang kecil, gradient kenaikan nilai K cenderung kecil. Gradien kenaikan nilai K juga berbanding lurus dengan besarnya laju massa air semprot.

Gambar 16. Grafik koefisien perpindahan panas vs laju massa air semprot Pada gambar 14, data hasil eksperimen dibandingkan dengan perhitungan teoritis untuk menghitung nilai Uo. Dari grafik terlihat bahwa terjadi penyimpangan data

eksperimen dengan prediksi. Meskipun terlihat trend kenaikan yang sama seiring dengan meningkatnya laju massa air semprot.

(17)

Hilang Tekan

Besarnya hilang ketinggian(head losses) yang disebabkan oleh jalur aliran air pada susunan pipa amat berpengaruh pada daya pompa. Semakin besar hilang ketinggian, maka daya pompa yang dibutuhkan akan semakin besar. Ini mempengaruhi efisiensi dan penghematan energy untuk menara pendingin system tertutup.

Gambar 17. Grafik jatuh tekan dengan variasi laju massa udara pada susunan koil Pada gambar 20, terlihat grafik pengaruh laju massa air hangat terhadapt besarnya nilai hilang ketinggian. Grafik di atas diplot dengan persamaan hilang tekan secara perhitungan/teoritis pada sub bab 3.4, dengan variasi perubahan laju massa udara. Dari grafik tersebut terlihat bahwa besarnya jatuh tekan berbanding lurus dengan besarnya laju massa air hangat yang mengalir pada susunan koil penukar kalor.

Sedangkan untuk hilang tekan yang terjadi pada aliran udara, semakin besar seiring dengan tinggi kolom menara pendingin, dapat dilihat pada hasil kontur tekanan statik yang ditunjukkan pada gambar 20. Hilang tekan juga semakin besar seiring dengan naiknya laju massa udara.

(18)

Gambar 18. Grafik jatuh tekan dengan variasi laju massa udara pada susunan koil Nilai jatuh tekan sesaat sebelum udara memasuki susunan koil penukar kalor, dan sesaat setelah melewati koil yang di dapat dari simulasi CFD dibandingkan dengan hasil perhitungan teoritis pada persamaan(2.49) dengan analogi Zhukauskas. Nilai cenderung berbeda karena pada perhitungan teoritis, kecepatan udara dianggap seragam ketika memasuki susunan koil, padahal pada kenyataannya berbeda karena sisi inlet dari udara terletak di bagian samping menara pendingin.

Gambar 19. Grafik pengaruh nilai jatuh tekan atas laju massa udara pada kolom menara pendingin

Dari data eksperimen untuk hilang tekan yang terjadi, dilakukan komparasi dengan data hilang tekan dari simulasi CFD. Terlihat nilai jatuh tekan pada simulasi CFD hanya sekitar sebesar 50% dari hasil eksperimen. Hal ini disebabkan karena

(19)

simulasi CFD dilakukan dengan domain 2D, sehingga luas permukaan bagian inlet dan outlet pada kolom sama panjang dengan kolom.

Gambar 20. Kontur tekanan statik pada kolom menara pendingin

V. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa peningkatan jumlah massa alir air semprot, menyebabkan naiknya nilai efektivitas, perpindahan panas dan perpindahan massa keseluruhan, dan kapasitas pendinginan dari menara pendingin. Kemudian ada nilai minimum bagi laju alir massa air semprot, dimana di bawah ketinggian tersebut perpindahan panas dan massa menunjukkan nilai yang tidak signifikan.

Pada pendingin evaporative langsung, biasanya panas buang memanfaatkan kalor laten evaporasi sebesar 80%, dan kalor sensible udara sebesar 20%, namun panas buang pada menara pendingin system tertutup ini memanfaatkan 100% kalor laten evaporasi. Untuk Nilai koefisien perpindahan massa, cenderung stabil untuk laju

(20)

massa air semprot yang kecil. Dengan adanya Simulasi CFD sendiri, secara detail menggambarkan fenomena fisik yang terjadi dalam kolom menara pendingin.

DAFTAR PUSTAKA

[1] ASHRAE Handbook, Fundamentals. 2005. American Society of Heating, Refrigeration and Air Conditioning Engineers Inc., Atalanta.

[2] ASHRAE Handbook, HVAC Sistem and Equipment. 2008. American Society of Heating, Refrigeration and Air Conditioning Engineers Inc., Atalanta. [3] Cheremisinoff, N.P., Cheremisinoff, P.N. 1981. Cooling Towers – Selection,

Design, and Practice. Ann Arbor Science: Michigan.

[4] Duan, Z., Zhan, C., Zhang, X. (2012). Indirect Evaporative Cooling: Past, Present And Future Potentials. Renewable and Sustainable Energi Reviews, 16. Pp. 6823–6850.

[5] Facao, J., Oliveira, A. (2004). Heat And Mass Transfer Correlations For The Design Of Small Indirect Contact Cooling Towers. Applied Thermal Engineering, 24. Pp. 1969–1978.

[6] Hasan, Ala Ali. 2005. Performance Analysis Of Heat Transfer Processes From Wet And Dry Surfaces: Cooling Towers And Heat Exchangers. PhD Dissertation, Helsinki University of Technology

[7] Hasan, Ala. Siren, Kai. (2002). Theoritical and Computational Analysis of Closed Wet Cooling Towers and its Aplications in Cooling Buildings. Energy and Buildings, 34. Pp. 477-486

[8] Holman, Jack P., Lyold, John. 2010. HEAT TRANSFER. Mcgraw-Hill: New York.

[9] Incropera, Frank P., Bergman, Theodore L. 2011. Fundamentals of Heat and Mass Transfer. John Wiley & Sons, Inc: New York.

[10] Instruction Manual for Mass and Heat Transfer Experimental Apparatus. 1987. Ogawa Seiki Co., LTD. Tokyo, Japan.

[11] Panjaitan, John R. 1995. Karakteristik dan Unjuk Kerja Kondenser Evaporatif. Skripsi, Universitas Indonesia.

(21)

[12] Shim, G.J., Baek, S.M., Moon, C.G., Lee, H.S. (2008). Performance Characteristics of a Closed Circuit Cooling Tower with Multi Path. Heat Transfer Engineering, 31. Pp. 992-997.

[13] Stabat, P., Marchio D. (2003). Simplified Model For Indirect-Contact Evaporative Cooling-Tower Behavior. Applied Energi, 78. Pp. 433–451. [14] Suardi, Karim. 1990. Karakteristik Fill Menara Pendingin Jenis Tekan Paksa,

Gambar

Gambar 1. skematik menara pendingin system tertutup  III. MODEL TEORITIS
Gambar 2. vektor kecepatan pada menara pendingin
Gambar 3. kesetimbangan energi antara sisi udara dan sisi air
Gambar 3. Grafik efektivitas dengan variasi laju massa udara
+7

Referensi

Dokumen terkait

.HNULWLVDQ GLKLWXQJ GHQJDQ ³ running ´ SURJUDP 0&13 GHQJDQ GDWD input sesuai dengan kondisi teras, yaitu kondisi semua penyerap di atas teras, di dalam teras, dan kondisi

Penerapan kriteria industri minyak sawit berkelanjutan di Indonesia tercermin dengan dibentuknya Indonesian Sustainable Palm Oil System ISPO yang merupakan suatu kebijakan yang

Microsoft visual basic (sering disingkat sebagai vb saja ) merupakan sebuah bahasa pemograman yang menawarkan integrated development environment (ide) visual untuk

Algoritma Agglomerative Hierarchical Clustering dan Bisecting K-Means Serta Pencarian Cerdas Berbasis Semantic Web Pada Studi Kasus Dokumen Tugas Akhir Jurusan Teknik Informatika

SERTIK FELDA KG... KIOL

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang motivasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Parang, kecamatan Parang, kabupaten Magetan dalam pembelajaran PKn

Terdapat hubungan pemberian ASI eksklusif, penggunaan air bersih, mencuci tangan menggunakan air bersih dan sabun, penggunaan jamban sehat, Perilaku Hidup Bersih dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemilikan manajerial dan institusional secara bersama terhadap kebijakan hutang pada perusahaan Manufaktur di Bursa