• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK Eka Nur Oktavia MEKANISME IMPLEMENTASI FUNGSI KOORDINASI KPK DAN KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Konsentra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK Eka Nur Oktavia MEKANISME IMPLEMENTASI FUNGSI KOORDINASI KPK DAN KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Konsentra"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Konsentrasi Kelembagaan

Negara, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.

Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini mengenai Mekanisme Fungsi Koordinasi KPK dan Kepolisian dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi. Permasalahannya adanya dualisme kewenangan KPK dan Kepolisian sebagai penegak hukum sehingga pernah terjadi konflik lembaga antara KPK dan Kepolisian ketika menangani perkara tindak pidana korupsi. Disharmonisasi yang pernah terjadi antara KPK dan Kepolisian salah satunya ketika menangani kasus Simulator SIM yang membuat terhambatnya proses penegakan hukum penanganan perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, perlunya tinjauankembali mengenai implementasi fungsi koordinasi KPK dengan Kepolisian.

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif empiris yaitu penelitian yang dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan, dan juga penelitian yang dikonsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabel-variabel sosial lainnya.Peneliti menggunakan data kepustakaan dan data lapangan untuk memperoleh bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode pendekatan memakai pendekatan perundang-undangan(statute approach) dan pendekatan non-judicial case. Metode analisis data kualitatif, dimana peneliti menganalisis data yang diperoleh dari dokumen-dokumen/perundang-undangan dan dari hasil wawancara dengan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan-temuan.

Temuan dalam penelitian ini koordinasi yang dijalankan KPK dan Kepolisian telah diperkuat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Nota Kesepahaman Kerja Sama Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Terdapat juga bentuk-bentuk koordinasi KPK dan Kepolisian dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi, serta mekanisme koordinasi yang dijalankan KPK dan Kepolisian.

Kata kunci : Koordinasi, Tindak Pidana Korupsi, Komisi

Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pembimbing Skripsi : Fathudin, S.H.I., SH., M.A.Hum., M.H. Daftar Pustaka : Tahun 2004 Sampai 2018

(7)

vi

Puji dan rasa syukur yang pantas kami panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan rahmat, kekuatan, semangat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “MEKANISME IMPLEMENTASI FUNGSI KOORDINASI KPK DAN KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercucur kepada Nabi Besar Muhammad Shallallahu ’Alayhi wa Sallam. Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan umat manusia yang senantiasa mendapatkan kebaikan dan keselamatan. Aamiin.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini tidak akan mungkin bisa terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum UIN SYarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu sabar dan meluangkan waktu, membantu serta mendorongpeneliti untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

4. Fathudin, S.H.I., SH., M.A.Hum., M.H. pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing sehingga membantu peneliti menyelesaikan penelitian ini dengan tepat waktu. 5. Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas yang memadai guna untuk mempercepat menyelesaikan skripsi peneliti ini.

(8)

6. Titik Utami, S.H., M.Kn. JPU KPK di bagian Koordinasi dan Supervisi Penindakan Korupsi yang telah bersedia dan sukarela menjadi narasumber peneliti dalam penelitian ini, sehingga membantu peneliti memperoleh data yang dibutuhkan.

7. Pihak-pihak yang mengenal peneliti sudah banyak memberikan motivasi dan doa untuk peneliti menyelesai skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat membantu orang-orang yang membutuhkan informasi dan bermanfaat bagi pembaca. Sekian dan Terima Kasih.

Jakarta, 19 September 2019

(9)

viii DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah ... 6

1. Identifikasi masalah ... 6

2. Pembatasan Masalah ... 6

3. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1. Tujuan Penelitian ... 7

2. Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian... 8

1. Jenis Penelitian ... 8

2. Pendekatan ... 8

3. Data dan Sumber Data ... 9

4. Metode Pengumpulan Data ... 10

5. Metode Pengelolaan dan Analisis Data ... 10

6. Metode Penulisan ... 10

E. Sistematika Penelitian ... 11

BAB II PERSPEKTIF LAW ENFORCEMENT TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI ... 13

A. Kerangka Konseptual ... 13

B. Kerangka Teori... 15

(10)

ix

BAB III KEWENANGAN KPK DAN KEPOLISIAN DALAM

PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI ... 31

A. Latar Kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi ... 31

B. Tugas dan Wewenang KPK ... 35

C. Peran KPK dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi ... 39

D. Tugas dan Wewenang Kepolisian ... 43

E. Peran Kepolisian dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi .. 49

BAB IV IMPLEMENTASI FUNGSI KOORDINASI KPK DAN KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI ... 54

A. Urgensi Fungsi Koordinasi KPK dan Kepolisian ... 54

B. Mekanisme Implementasi Fungsi Koordinasi KPK dan Kepolisian ... 74

BAB V PENUTUP ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Rekomendasi ... 82

(11)

x

DAFTAR LAMPIRAN

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ...softcopy 2. Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara KPK,

Kejaksaan, dan Kepolisian Nomor SPJ-97/01-55/03/2017,

KEP-087/A/JA/03/2017, B/27/III/2017 Tentang Kerja Sama Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi...softcopy

3. Surat Wawancara Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi ... 79

4. Surat Tanda Terima Wawancara ... 80

5. Surat Keterangan Hasil Wawancara... 81

6. Surat Permohonan Dosen Pembimbing ... 83

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sebelum amandemen UUD 1945, konstitusi atau landasan hukum negara Indonesia pada saat itu belum sempurna, karena di dalamnya masih belum dilengkapi dengan mekanisme atau sistem check and balance (pengawasan dan keseimbangan) antar lembaga negara yang ada, maka tersadarlah bahwa perlunya perubahan terhadap UUD 1945 tersebut. Indonesia sebagai negara yang menggunakan sistem demokrasi konstitusional harus mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sehingga tidak menimbulkan pemerintahan yang bersifat sewenang-wenang dan otoriter.1

Banyak perubahan yang terjadi terhadap susunan ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Adapun perubahan yang terjadi itu diantaranya lahirnya lembaga negara baru maupun dihapusnya lembaga negara yang sebelumnya lahir dari UUD 1945 sebelumnya. Lembaga baru yang terlahir dari perubahan UUD 1945 ini ialah Dewan Perwakilan Daerah sebagai bagian dari lembaga legislatif berdampingan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Di bagian yudikatif terlahir juga lembaga baru diantaranya Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

Penerapan dan hasil atas perubahan UUD 1945 kini membuktikan telah tercapainya harapan masyarakat dalam efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Munculnya lembaga-lembaga negara baru merupakan konsekuensi dari perubahan UUD 1945 ini. Perubahan itu juga meniadakan superioritas lembaga atau lembaga tertinggi pada suatu lembaga terhadap lembaga-lembaga lainnya dari struktur ketatanearaan. Lembaga-lembaga baru itu disebut dengan istilah state auxiliaryorgans atau state auxiliary institutions yang artinya lembaga negara penunjang yang bersifat sebagai penunjang.

1 Pandji Setijo, “Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa”, (Jakarta: PT.

(13)

Salah satu contoh dari lembaga penunjang dan /atau lembaga baru yang lahir di era reformasi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dibentuknya KPK untuk terlaksananya agenda pemberantasan korupsi yang juga termasuk ke dalam agenda pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.2 Secara garis besar tujuan dari terbentuknya KPK ialah memberantas korupsi dengan diberikan kepadanya kewenangan dan tugas khusus untuk menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi.

Pembentukan KPK didasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, sehingga dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari intervensi atau pengaruh dari kekuasaan manapun. Tugas besar dari KPK adalah melakukan koordinasi, penyelidikan, penyidikan, dan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu KPK juga berwenang melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara3 sesuai visi misi KPK yaitu mewujudkan Indonesia Yang Bersih Dari Korupsi.4

Di samping itu, kepolisian juga merupakan lembaga negara yang juga berwenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Mengacu pada Pasal 1 Butir 1, penyidik adalah pejabat kepolisian RI dan pegawai negeri sipil yang diberi kewenangan oleh undang-undang dan pada Pasal 4 KUHAP juga dinyatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.5

Diperkuat dengan Pasal 14 Ayat (1) huruf f dan g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakanbahwa tugas kepolisian adalah koordinasi, pengawasan, dan

2 Fitria, “Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga Negara

Penunjang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, diakses pada 14 Oktober 2018 dari: https://media.neliti.com>publications

3 Sekilas KPK, diakses pada 14 Oktober 2018 dari http://www.kpk.go.id/sekilas-komisi-pemberantasan-korupsi

4 Visi dan Misi KPK, diakses pada tanggal 14 Oktober 2018 dari http://www.kpk.go.id/sekilas-kpk

5

(14)

pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk bentuk pengamanan swakarsa, dan juga di huruf g dijelaskan bahwa kepolisian dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai KUHAP dan perundang-undangan lainnya. dari pasal-pasal tersebut artinya seluruh kasus yang berhubungan dengan tindak pidana pada penanganannya diserahkan kepada kepolisian, tanpa terkecuali tindak pidana korupsi.

Dilihat dari tugas dan wewenang antara KPK dengan Kepolisian hampir sama, bahkan dapat dikatakan telah terjadinya tumpang tindih kewenangan antar dua lembaga tersebut. KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan koordinasi pada kasus tindak pidana korupsi, sama halnya dengan kepolisian sebagai aparatur penegak hukum memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan koordinasi pada seluruh kasus tindak pidana yang berarti kepolisian juga wajib menangani kasus tindak pidana korupsi.

Hal itulah yang mengakibatkan sering terjadinya konflik dan pertentangan antara kedua lembaga tersebut. Terjadinya disharmonisasi yang berkelanjutan antara KPK dengan Kepolisian dikhawatirkan akan berdampak pada praktik penegakan hukum dalam menangani kasus tindak pidana korupsi karena saling berebut untuk mengambil alih kasus tindak pidana korupsi yang sedang berlangsung.

Menurut teori Lawrence Friedmen, permasalahan penegakan hukum dapat dikaji melalui tiga aspek, yakni:6 (1)Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para polisinya, Kejaksaan dengan para jaksanya, Pengadilan dengan para hakimnya; (2) Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan; (3) Kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari

6 Asep A. Sahid, “Konflik KPK VS Polri jilid III: Konsentrasi Kuasa Dalam Penegakan

Hukum di Indonesia”, diakses pada tanggal 14 Oktober 2018 dari:

(15)

para penegak hukum maupun warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Salah satu contoh kasus perseteruan antara KPK dan Kepolisian yang pernah terjadi ialah pada kasus Simulator SIM. Berawal dari KPK yang telah lebih dulu melakukan penyidikan dan menetapkan Irjen Polisi Djoko Susilo sebagai tersangka. Namun tidak lama setalah penetapan tersangka oleh KPK, pihak kepolisian juga ikut menetapkan tiga tersangka lainnya dalam kasus tersebut.7

Dalam melakukan penyidikan tersebut, kepolisian berpendapat tidak melanggar MoU yang telah disepakati bersama oleh Polri, KPK, dan Kejaksaan pada tangga 29 Maret 2012. Yang mana pada Pasal 8 Angka 1 menyebutkan, “Dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untukmenghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyaikewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulumengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK”8.

Kasus simulator SIM menuai bencana karena dikabarkan Mabes Polri tidak memperpanjang masa tugas dua puluh penyidik di KPK dari 48 orang penyidik yang ditempatkan di KPK. Penarikan tersebut disertai dengan surat dari Mabes Polri yang bernomor R/1787/IX/2012/SSDM. Surat tersebut juga sekaligus merupakan surat balasan untuk KPK yang memohon perpanjangan tugas 16 personel Polri yang masa tugasnya sudah habis. Namun dalam surat itu disebutkan tidak hanya 16 penyidik yang waktu dinasnya selesai. Ditambah empat penyidik yang tidak dimintakan perpanjangan masa tugasnya, sehingga totalnya menjadi 20 orang. Adapun alasan dari Mabes Polri menolak perpanjangan personel penyidiknya di KPK adalah untuk pembinaan anggota Polri terkait tour of duty dan tour of area.9

7 Andylala Waluyo, “KPK Tahan Irjen Djoko Susilo Terkait Korupsi Simulator SIM”,

diakses pada 14 Oktober 2018 dari: www.voaindonesia.com/amp/1557420.html 8

Kesepakatan Bersama Antara Kejakasaan RI, Kepolisian RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi Tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2012.

9 Romli Atmasasmita, “Solusi Kasus Simulator SIM”, diakses pada 14 Oktober 2018 dari: http://nasional.sindonews.com/read/672953/18/solusi-kasus-simulator-sim-1347862291

(16)

Kasus simulator SIM merupakan bukti kegagalan fungsi koordinasi dan supervisi KPK terhadap kepolisian. Pidato presiden tanggal 8 Oktober 2012 yang bermaksud menengahi konflik antara Polri dan KPK, telah memperoleh pujian untuk sementara meredam konflik kedua lembaga penegak hukum tersebut. Namun dari aspek hukumnya, pidato tersebut belum dapat menyelesaikan permasalahan secara optimal.10

Pimpinan KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan kembali menandatangani MoU pada tanggal 29 Maret 2017 tentang Kerja Sama Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kerja sama ini disepakati untuk meningkatkan koordinasi setelah ketiganya pernah dilanda konflik terkait penanganan kasus korupsi.11 Polri, KPK, dan Kejagung menekankan bahwa MoU tersebut merupakan pembaharuan dari MoU sebelumnya dan dianggap sebagai bentuk penyempurnaan.12

Dilihat dari bentuk koordinasi yang dilakukan KPK dengan Kepolisian melalui MoU kerja sama pemberantasan korupsi, diharapkan tidak mengganggu kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum tersebut terutama KPK yang memiliki kewenangan khusus menangani tindak pidana korupsi yang telah diatur dalam undang-undang. Perlu juga adanya pengkajian hukum mekanisme pelaksanaan fungsi koordinasi KPK dengan Kepolisian tetap dalam koridor peraturan perundang-undangan.

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, peneliti akan meneliti tentang “MEKANISME IMPLEMENTASI FUNGSI KOORDINASI KPK DAN KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI”. Untuk melakukan penelitian tersebut,

peneliti berpedoman pada UUD 1945, KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

10 Ermania Widjajanti dan Septa Candra, “Pemikiran Romli Atmasasmita”, (Jakarta:

Kencana, 2016), h. 176.

11 BBC Indonesia, “Apakah Kesepakatan KPK-Kepolisian-Kejaksaan, Berbahaya?”, diakses

pada tanggal 13 Maret 2019 dari https://www.bbc.com/indonesia/amp/indonesia-39432933

12 Detiknews, “Ini 15 Pasal MoU „Kulo Nuwun‟ antara KPK-Polri-Kejagung”, diakses pada

tangga; 13 Maret 2019 dari https://m.detik.com/news/berita/d-3459238/ini-15-pasal-mou-kulo-nuwun-anata-kpk-polri-kejaung

(17)

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hubungan dan Kerja Sama Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan KPK Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, dan MoU Tentang Kerja Sama Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah 1. Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan sebelumnya, maka identifikasi masalah penelitian ini terdiri dari:

a. Adanya dualisme atau tumpang tindih kewenangan KPK dan Kepolisian dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia. b. Terjadinya konflik dan pertentangan antara KPK dan Kepolisian

akibat tumpang tindih kewenanangan.

c. Adanya disharmonisasi yang berkelanjutan antara KPK dengan Kepolisian.

d. Penyelesaian sengketa lembaga KPK dan Kepolisian akibat konflik. e. Tidak berjalannya fungsi koordinasi KPK dan Kepolisiandalam

penanganan tindak pidana korupsi..

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan ini, maka peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasan akan lebih rinci, akurat dan terarah sesuai dengan yang diharapkan peneliti. Pembatasan ini bertujuan untuk menghindari ketidakjelasan pembahasan dalam masalah yang ingin dibahas. Dalam membatasi pembahasan masalah ini, peneliti memfokuskan penelitiannya untuk meneliti dan membahas tentangmekanisme pelaksanaan fungsi koordinasi KPK dengan Kepolisian dalam penanganan tindak pidana korupsi.

(18)

Dari latar belakang masalah diatas, peneliti ingin meneliti mengenai peran lembaga KPK dan Kepolisian dalam menangani tindak pidana korupsi. Untuk memudahkan peneliti, maka perumusan masalah dibuat dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Mengapa tidak berjalannya fungsi koordinasi KPK dan Kepolisian dalam penanganan tindak pidana korupsi?

b. Bagaimana mekanisme fungsi koordinasi KPK dan Kepolisian dalam menangani tindak pidana korupsi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui pentingnya fungsi koordinasi KPK dan Kepolisian.

b. Mengetahuimekanisme pelaksanaan fungsi koordinasi KPK dan Kepolisian dalam menangani tindak pidana korupsi.

2. Manfaat Penelitian

Terdapat dua manfaat dari penulisan ini, yaitu dari segi teoritis dan segi praktis. Adapan manfaat dari keduanya adalah sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Secara teoritis hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah ilmu dan wawasan mengenai lembaga penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi khususnya mengenai KPK dan Kepolisian Republik Indonesia. Hasil penulisan ini juga dapat dijadikan penambahan koleksi karya ilmiah tentang lembaga negara.

b. Manfaat praktis

Pembahasan yang dijelaskan secara jelas dan terang pada isi dalam penulisan ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya meminimalisir terjadinya kembali sengketa lembaga antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia, karena penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan baik apabila antar lembaga penegak hukum bersinergi dalam penanganan tindak pidana korupsi.

(19)

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian normatif empiris. Penelitian normatif merupakan penelitian yang dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Penelitian empiris dikonsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variable-variabel sosial lainnya. Keguanaan dari penelitian empiris ialah untuk untuk mengetahui bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk proses penegakan hukum (law enforcement).13

Metode normatif digunakan peneliti dalam mengkaji peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai koordinasi KPK dengan Kepolisian, sedangkan metode penelitian empiris digunakan untuk memperoleh data dari lapangan untuk mendapatkan data tentang mekanisme implementasi fungsi koordinasi KPK dengan Kepolisian. Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah deskriptif. Dari jenis penelitan deskriptif ini bahwa peneliti telah mendapatkan gambaran berupa data awal tentang permasalahannya14 terkait dengan lembaga penyidikan KPK dan Kepolisian RI dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Pendekatan

a. Pendekatan Perundang-Undangan(statute approach)

Pendekatan undang undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dalam praktiknya, peneliti melihatkonsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya.15

13

Amiruddin dan Zainal Asikin, “Pengantar Metodologi Penelitian”, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004, Cet. Pertama), h.134

14

Ermansjah Djaja, “Memberantas Korupsi Bersama KPK”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 9

15 Macam-macam Pendekatan dalam Penelitian Hukum, diakses pada tanggal 19 Juli 2019

(20)

b. Pendekatan Non-Judicial Case Study

Non-Judicial Case Study merupakan pendekatan yang digunakan pada suatu kasus hukum tanpa adanya konflik, sehingga tidak ada campur tangan pengadilan. Meskipun terjadinya konflik, dalam penyelesaiannya tidak melalui pengadilan, tetapi melalui pihak-pihak tertentu.16

3. Data dan Sumber Data

Peneliti menggunakan data primer dan data sekunder. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari:

a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hubungan dan Kerja Sama Kepolisian Negara Republik Indonesia.

f. Peraturan KPK Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi.

g. Memorandum Of Understanding Antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian Tentang Kerja Sama Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2017.

h. Data lapangan berupa wawancara dari narasumber terkait, yaitu Ibu Titik Utami, S.H., M.Kn. menjabat sebagai JPU KPK di bagian Koordinasi dan Supervisi Penindakan Korupsi.

16Metode Penelitian Hukum Empiris dan Normatif, diakses pada tanggal 13 Maret 2019

(21)

Sedangkan data sekunder merupakan sumber data kedua yang digunakan. Bahan hukum sebagai data sekunder dalam penelitian ini berupabahan yang diperoleh dari buku-buku, artikel-artikel, jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini .

4. Metode Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan metode pengumpulan data studi dokumenter dan wawancara. Studi dokumenter merupakan studi yang mengkaji berbagai dokumen-dokumen, baik yang berkaitan dengan perundang-undangan maupun dokumen yang sudah ada. Dari metode pengumpulan data studi dokumenter, peneliti mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Sedangakan wawancara ialah sebuah percakapan antara dua orang atau lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subjek atau kelompok peneliti untuk dijawab.17 Peneliti menggunakan metode wawancara ini juga untuk memperoleh data primer berupa data lapangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

5. Metode Pengelolaan dan Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis kualitatif, dimana peneliti menganalisis data yang diperoleh dari dokumen-dokumen/perundang-undangan dan dari hasil wawancara dengan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan-temuan18, kemudian ditarik kesimpulan terkait masalah yang diteliti.

6. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan peneliti disesuaikan dengan sistematika penulisan yang ada pada buku Pedoman Penulisan Skripsi,

17 Ali Samiun, “Pengertian Wawancara, Tujuan Wawancara, Jenis Wawancara”,

http://www.informasiahli.com/2015/08/pengertian-wawancara-tujuan-wawancara-jenis-wawancara.html, diakses pada tanggal 14 November 2018 pukul 17.30

18 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, “Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis

(22)

Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.

E. Rancangan Sistematika Penelitian

Rancangan Sistematika Penelitian bertujuan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai isi penelitian ini. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang setiap babnya terdiri atas sub bab untuk lebih memperjelas cakupan permasalahan yang diteliti. Diantaranya sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini diuraikan tentang Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Skripsi ini.

BAB II : PERSPEKTIF LAW ENFORCEMENT TENTANG

PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Bab ini akan dibahas mengenai: A. Kerangka Konspetual B. Kerangka Teori

C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

BAB III : KEWENANGAN KPK DAN KEPOLISIAN DALAM

PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Bab ini akan dibahas mengenai:

A. Profil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) B. Tugas dan Wewenang KPK

C. Peran KPK Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi D. Tugas dan Wewenang Kepolisian

E. Peran Kepolisian Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi

(23)

BAB IV : IMPLEMENTASI FUNGSI KOORDINASI KPK DAN KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Bab ini akan dibahas mengenai:

A. Urgensi Fungsi Koordinasi KPK dan Kepolisian.

B. Mekanisme Implementasi Fungsi Koordinasi KPK dan Kepolisian.

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan B. Rekomendasi

(24)

13

BAB II

PERSPEKTIF LAW ENFORCEMENT PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Kerangka Konseptual

Mekanisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai cara kerja suatu organisasi (perkumpulan dan sebagainya).1 Mekanisme adalah interaksi bagian satu dengan bagian lainnya dalam suatu sistem secara keseluruhan untuk menghasilkan fungsi atau kegiatan sesuai dengan tujuan.2

Implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan.3 Menurut Harsono, implementasi adalah sebuah kebijakan yang harus bertransformasi menjadi tindakan dalam pelaksanaannya, kebijakan tersebut harus dilakukan agar dapat menyempurnakan suatu program yang telah ditetapkan.4

Koordinasi adalah penyatuan, integrasi, sinkronisasi upaya anggota kelompok sehingga memberikan kesatuan tindakan dalam mengejar tujuan bersama.Koordinasi menurut Jones G March dan Herben A. Simon, adalah suatu proses untuk mencapai kesatuan tindakan di antara kegiatan yang saling bergantung. Terry berpendapat bahwa koordinasi meliputi tiga hal yaitu: pertama, jumlah usaha baik secara kuantitatif, maupun secara kualitatif; kedua, waktu yang tepat dari usaha-usaha tersebut; ketiga, directing atau penentuan arah usaha-usaha tersebut.5

Koordinasi bukanlah fungsi yang terpisah dari manajemen, karena dalam manajemen berupaya mencapai koordinasi melalui fungsi dasar perencanaan,

1

Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Arti Kata Mekanisme”, diakses pada 31 Maret 2019 dari:

http://kbbi.web.id/mekanisme

2Pengertian Mekanisme, diakses pada 31 Maret 2019 dari:

www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-mekanisme/

3

Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Arti Kata Implementasi”, diakses pada 31 Maret 2019 dari: http://kbbi.web.id/koordinasi

4 Definisi Implementasi Menurut Para Ahli, diakses pada 31 Maret 2019 dari: www.pengertianparaahli.com/pengertian-implementasi-adalah/

5Pengertian Koordinasi Secara Umum dan Menurut Para Ahli, diakses pada 31 Maret 2019

(25)

pengorganisasian, staffing, memimpin dan mengendalikan, yang tujuannya adalah untuk mencapai keselarasan antara usaha-usaha individu, terhadap pencapaian tujuan kelompok.6

KPK dibentuk pada Desember 2003 berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK kerap dijuluki oleh kalangan hukum sebagai lembaga super (superbody) karena wewenang yang dimilikinya luar biasa besar untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut setiap orang, pegawai negeri, penyelenggara negara, dan bahkan korporasi yang diduga telah melakukan tipikor, sehingga menimbulkan kerugian pada keuangan/perekonomian negara.7

Dalam Pasal 3 Undang-Undang KPK dijelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Kepolisian telah disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 30 yang menyatakan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Dijelaskan jugadalam Pasal 1 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian dijelaskan Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tindak pidana dalam bahasa Belanda digunakan istilah straafbaarfeit. Straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan tindak pidana atau straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.8

6Fungsi Koordinasi dalam Manajemen Modern, diakses pada 19 Juli 2019 dari: http://rahmaliarose.blogspot.com/2013/11/fungsi-koordinasi-dalam-manajemen-modern.html

7 Aziz Syamsuddin, “Tindak Pidana Khusus”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Cet. Keempat),

h. 193

8

(26)

Korupsi menurut Fockema Andreae, seperti dikutip dalam Ermansjah Djaja, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus (Webster Studen Dictionary; 1960), yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpete, suatu kata dalam bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptive (korruptie), dapat atau patuh diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia yaitu “korupsi”. Dalam Kamus Umum Belanda Indonesia, seperti dikutip dalam Ermansjah Djaja, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.9

Definisi tindak pidana korupsi (tipikor) tidak ada yang menjelaskannya secara istilah maupun menurut ahli. Secara umum tindak pidana korupsi (tipikor) adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara atau penyelewenangan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi dan orang lain.10

B. Kerangka Teori

1. Teori Penegakan Hukum(Law Enforcement)

Ciri pada sistem hukum sama dengan ciri pada sistem atau proses manapun. Pertama, ada input, bahan-bahan mentah yang masuk pada satu sisi sistem tersebut. Sebuah pengadilan, misalnya, tidak akan mulai bekerja tanpa ada seseorang yang berusaha mengajukan gugatan dan perkara hukum. Lebih awal lagi sebelumnya ada tindakan konkret yang berlaku sebagai pemicu.11

Secara fisik, perkara hukum dimulai dengan lembaran-lembaran kertas, permohonan yang diajukan ke pengadilan. Berikutnya pengadilan, stafnya,

9 Ermansjah Djaja, “Memberantas Korupsi Bersama KPK”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.

6

10

Aziz Syamsuddin, “Tindak Pidana Khusus”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Cet. Keempat), h. 15

11 Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosia”l, (Nusa Media: Bandung,

(27)

dan pihak-pihak yang terlibat mulai memproses bahan-bahan yang masuk. Para hakim dan petugas melakukan sesuatu; mereka mengerjakan bahan-bahan mentah itu dengan cara yang sistematis. Mereka memikirkan, bertukar pikiran, membuat perintah-perintah, memberkas kertas-kertas, dan menyelenggarakan persidangan. Pihak-pihak yang terlibat dan para pengacara juga memainkan peran mereka. Berikutnya, pengadilan menghasilkan suatu output – suatu putusan atau ketetapan.12

Terdapat tiga unsur penegakan hukum dalam teori Lawrance M. Friedman tentang sistem hukum, yaitu meliputi: Pertama,Legal Substance/ Substansi Hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan; Kedua,Legal Structure/ Struktur Hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya. Mencakupi antara lain Kepolisian dengan para Polisinya. Kejaksaan dengan para Jaksanya. Pengadilan dengan para Hakimnya; Ketiga,Legal Culture/ Budaya Hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.13

Struktur adalah elemen dasar dan elemen nyata dari sistem hukum. Sedangkan substansi (peraturan-peraturan) adalah elemen lainnya. Struktur sebuah sistem yudisial terbayang ketika kita berbicara tentang jumlah para hakim, yurisdiksi pengadilan, bagaimana pengadilan yang lebih tinggi berada di atas pengadilan yang lebih rendah, dan orang-orang yang terkait dengan berbagai jenis pengadilan. Sementara substansi tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi-institusi itu berperilaku. Culture merupakan tindakan-tindakan

12 Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum”, (Nusa Media: Bandung, 2009, Cet. Kedua), h.

13

13 Yadyn, dkk., “Problematika Penegakan Hukum di Indonesia Menuju Hukum yang

Responsif Berlandaskan Nilai-Nilai Pancasila”, diakses pada tanggal 10 April 2019 dari: http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/699413c70548c75a4d377b0c9a623d8f.pdf, h. 6

(28)

sosial sebagai pengaruh dalam pembentukan hukum. Individu dan kelompok memiliki kepentingan, bagaimanapun juga, kepentingan harus diproses menjadi tuntutan agar relevan dengan sistem hukum. Ini berarti, perundangan adalah produk dari kekuatan-kekuatan sosial dan hasil dari tekanan, tawar-menawar, dan konflik.14

Banyak penelitian yang menunjukan bahwa tingkat dan rating tindak pidana korupsi di Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia ini. Penegakan dan penerapan hukum yang berkenaan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi disebut-sebut juga sudah sedemikian parah, sudah sampai dititik-titik nadir. Banyak kasus menunjukkan bahwa saat ini korupsi dan suap-menyuap sudah menimpa para penegak hukum itu sendiri. Dipelopori oleh Mochtar Kusumaatmaja dikutip oleh Munir Fuadi, bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembangunan, dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Dengan terbentuknya Komisi Tindak Pidana Korupsi (KPK) sekelumit harapan untuk memerangi korupsi di Indonesia mulai terlihat.15

Jalur hukum pidana dapat dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi.16 Jalur ini pun luas lingkupnya karena seperti diketahui korupsi itu tidak berupa korupsi materiel dan keuangan saja, tetapi juga meliputi korupsi politik, korupsi ilmu, sastra, dan seni. Korupsi politik di Indonesia diancam dengan pidana menurut Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999). Sedangkan korupsi ilmu, sastra, dan seni diancam pidana yang tercantum dalam Undang-Undang Hak Cipta (Undang-Undangn Nomor 6 Tahun 1982 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, kemudian oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997). Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak

14 Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum”, (Nusa Media: Bandung, 2009, Cet. Kedua), h.

254

15 Munir Fuadi, “Dinamika Teori Hukum”, (Ghalia Indonesia: Bogor, 2010), h. 173 16

Andi Hamzah, “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana”, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 24

(29)

Pidana Korupsi hanya diatur tentang Korupsi Material dan Keuangan, ditambahdengan beberapa delik jabatan dan delik lain yang ada kaitannya dengan penyelesaian perkara korupsi.

2. Teori Kewenangan

Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu authority of theory, istilah yang digunakan dalam bahasa Belanda, yaitu theorie van het gezag, sedangkan dalam bahasa Jermannya, yaitu theorie der autoritat. Timbulnya sengketa lembaga disebabkan karena masing-masing lembaga negara menganggap dirinya mempunyai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepadanya, sementara lembaga yang lainnya juga menganggap dirinya mempunyai kewenangan untuk itu. Masing-masing lembaga negara tidak ada yang mau mengalah antara satu dengan yang lainnya.17

Ada dua unsur yang terkandung dalam pengertian konsep kewenangan yang disajikan oleh H.D. Stoud, yaitu: pertama, adanya aturan-aturan hukum; kedua, sifat hubungan hukum. Sebelum kewenangan itu dilimpahkan kepada institusi yang melaksanakannya, maka terlebih dahulu harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Sifat hubungan hukum adalah sifat yang berkaitan dan mempunyai sangkut paut atau ikatan atau pertalian atau berkaitan dengan hukum.

Menurut Philipus Hadjon dalam buku Jum Anggriani, kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan artibusi atau dengan delegasi. Artibusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan, sedangkan delegasi adalah pemindahan atau pengalihan suatu kewenangan yang ada. Maksud dari artibusi dan delegasi ini adalah untuk mengetahui atau memeriksa apakah suatu badan berwenang atau tidak menyelenggarakan suatu kewenangan.18

17

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, “Penerapan Teori Hukum”, (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2014), h. 183

18 Jum Aggriani, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, Cet, Pertama),

(30)

Contoh dari artibusi misalnya artibusi kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UUD 1945 diberikan kepada: (i) MPR dalam menetapkan UUD 1945; (ii) Presiden dan DPR dalam pemberntukan UU; (iii) Presiden dalam membentuk PP dan Perpu. Menurut Indroharto yang dikutip dalam buku Jum Anggriani, pemberian wewenang secara artibusi adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Legislator yang kompeten untuk memberikan artibusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: Pertama, yang berkedudukan sebagai original legislator: di Indonesia tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan Presiden bersama DPR membentuk UU, sedangkan di tingkat daerah adalah DPRD dan pemerintah daerah; Kedua, yang bertindak sebagai delegated legislator: seperti presiden yang berdasar pada ketentuan UU mengeluarkan suatu PP dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu.19

Dalam delegasi kewenangan perlu memperhatikan bahwa suatu kewenangan semula ada pada badan/lembaga/pejabat yang menyerahkan atau melimpahkan wewenang tersebut. Dengan adanya penyerahan tersebut maka kewenangan dan tanggungjawab beralih kepada penerima kewenangan (delegetaris), jadi tidak diciptakan wewenang baru. Contohnya, Mendagri (delegans) memberikan wewenangnya kepada gubernur selaku pimpinan di daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah.

Dalam teori kewenangan, terdapat unsur kewenangan, macam kewenangan, sifat kewenangan, dan batasan kewenangan ialah sebagai berikut:20

19

Jum Anggriani, “Hukum Administrasi Negara”, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, Cet. Pertama), h. 90

20

Sofyan Hadi, “Teori Kewenangan (Theorie Van Bevoegdheid)”, diakses pada 29 Maret 2019 dari: www.academia.edu/5708875

(31)

a. Unsur-unsur kewenangan: a) pengaruh, ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum; b) dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya; c) konformitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

b. Macam-macam kewenangan, yaitu: pertama, atribusi, wewenang yang diberikan atau ditetapkan untuk jabatan tertentu. Dengan demikian wewenangan artibusi merupakan wewenang yang melekat pada suatu jabatan; kedua, pelimpahan yang terdiri dari delegasi dan mandat. Delegasi adalah wewenang yang bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. Mandat ialah wewenang yang bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah.

c. Sifat kewenangan: a) kewenangan terkait, apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana kewenangan tersebut dapat digunakan; b) kewenangan fakultatif, terjadi dalam hal badan tata usaha negara tidak wajib menerapkan wewenanganya atau sedikit banyak masih ada pilihan; c) kewenangan bebas, apabila peratran dasarnya memberikan kebebasan kepada badan tata usaha negara untuk menentukan mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkan.

d. Batasan kewenangan, ialah setiap badan dibatasi oleh materi atau isi, wilayah, waktu. Apabila cacat dalam dalam aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan atau di luar batas batas yangmerupakan suatu tindakan pemerintah tanpa kewenangan (onbevoegdheid).

Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang

(32)

dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Dalam mengukur apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang, haruslah dibuktikan secara faktual bahwa pejabat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Pengalihan tujuan didasarkan atas interest pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.21

3. Teori Kelembagaan Negara

Kelembagaan negara diklasifikasikan dalam beberapa kategori berdasarkan UUD 1945. Pertama, lembaga-lembaga utama yang melaksanakan cabang kekuasaan tertentu. Kedua, lembaga-lembaga negara yang bukan pelaksana salah satu cabang kekuasaan, tetapi keberadaannya diperlukan untuk mendukung salah satu lembaga pelaksana cabang kekuasaan tertentu. Ketiga, lembaga-lembaga yang ditentukan untuk melaksanakan kekuasaan tertentu tanpa mengatur nama dan pembentukan lembaganya. Keempat, lembaga yang ditentukan secara umum dan menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada undang-undang. Kelima, lembaga-lembaga yang berada di bawah presiden untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu. Keenam, lembaga-lembaga di tingkat daerah.22

Istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang

21 Abdul Latif, “Hukum Administrasi Dalam Praktik TIndak Pidana Korupsi”, (Jakarta:

Kencana, 2014, Cet. Pertama), h. 35

22 Zaki Ulya, “Hukum Kelembagaan Negara (Kajian Teoritis Perkembangan Lembaga

Negara Pasca Reformasi)”, diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari:

(33)

biasa disebut Ornop atau Organisasi Non pemerintah yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Government Organizations (NGO’s). Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan staatsorgaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “lembaga” diartikan sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa,wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri atas interaksi sosial yang terstruktur. Oleh sebab itu lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.23

Berdasarkan teori tersebut, lembaga negara dapat dibedakan ke dalam tiga lapis24, yaitu lembaga lapis pertama disebut dengan “lembaga tinggi negara” yaitu lembaga-lembaga negara yang bersifat utama (primer) yang pembentukannya mendapatkan kewenangan dari UUD 1945; lembaga lapis kedua yang disebut dengan “lembaga negara” ada yang mendapat kewenangannya secara eksplisit dari UUD namun ada pula yang mendapat kewenangan dari Undang-Undang; dan lembaga lapis ketiga yang disebut “lembaga daerah”. Ada pula lembaga negara lain yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang atau peraturan yang lebih rendah, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Keputusan Presiden, seperti komisi-komisi independen. Keberadaan badan atau komisi-komisi ini sudah ditentukan dalam undang-undang, akan tetapi pembentukannya biasanya diserahkan sepenuhnya kepada presiden atau kepada menteri atau pejabat yang bertanggung jawab mengenai itu.

Kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga mengenal lembaga negara utama (main state organs) dan lembaga negara bantu (state auxiliary bodies). Lembaga negara utama ialah lembaga yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara

23

Yogi Suhendra, “Organisasi Negara dan Lembaga-Lembaga Negara”, diakses pada 23 Maret 2019 dari: https://www.academia.edu/11924944

24Zaki Ulya, “Hukum Kelembagaan Negara”, diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari: https://www.researchgate.net/publication/330981083, h. 17

(34)

yang utama (main state functions, principal state functions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip check and balances. Lembaga negara utama tersebut terdiri dari cabang-cabang kekuasaan dalam bidang eksekutif, legislatif, yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, BPK, dan Mahkamah Konstitusi.25

Selain lembaga negara utama, ada juga yang disebut dengan lembaga negara bantu (state auxiliary bodies). Menurut Sri Sumantri M yang dikutip Titik Triwulan Tutik, secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peran penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Auxiliary bodies dapat lahir di luar UUD, berdasarkan pendapat Asimov yang dikutip dalam bukunya Titik Triwulan Tutik, komisi negara dapat dibedakan menjadi dua kategori: Pertama, komisi negara independen yaitu organ negara yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, namun mempunyai fungsi campur dari ketiganya; kedua, komisi negara biasa, yaitu komisi negara yang merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting.

Komisi negara independen yang memiliki fungsi yang bersifat constitutional importances atau berkaitan dengan fungsi konstitusional kekuasaan kehakiman (peradilan) sesuai Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 ialah “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman”.26

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai komisi negara independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjalankan fungsi dan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.

KPK dengan Kepolisian memiliki perbedaan pada kedudukan sistem kelembagaan. KPK dibentuk berdasarkan undang-undang yang

25 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD

(35)

membentuknya yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukan langsung karena amanat dari UUD, sehingga posisi KPK dalam sistem kelembagaan di Indonesia hanya sebatas Lembaga Penunjang atau State Auxiliary

Bodies.27

Sedangkan Kepolisian merupakan lembaga negara yang kewenangan konstitusionalnya telah disebutkan dalam UUD yaitu pada Pasal 30 UUD 1945 yang berbunyi: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.UUD 1945 juga telah menegaskan bahwa posisi kelembagaan Kepolisian berada di bawah Presiden. Dalam Pasal 30 Ayat (5) hanya mengatur bahwa kedudukan Kepolisian dan TNI diatur lebih lanjut dengan UU. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang meletakan kedudukan Kepolisian di bawah Presiden. Apalagi jika merujuk pada TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian dan TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, disebutkan bahwa Kepolisian adalah alat negara, dan ditegaskan berada di bawah Presiden.28 Sehingga kedudukan Kepolisian dalam ketatanegaraan Indonesia termasuk dalam Lembaga Negara Utama atauMain State Organ.

4. Teori Koordinasi

Koordinasi memiliki banyak pengertian dari para ahli, salah satunya menurut Handoko bahwa koordinasi adalah proses pengitegrasian tujuan-tujuan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Awaluddin Djamin juga menyatakan bahwa koordinasi merupakan suatu usaha kerja sama antara badan, instansi, unit

27

Marwan Mas, “Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara”, (PT. RajaGrafindo Persada: Depok, Cet. Pertama, 2018), h. 205

28 Kedudukan Polri dan System Kepolisian di Era Demokrasi, diakses pada tanggal 9 Juli

(36)

dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu sehingga terdapat saling mengisi, membantu, dan melengkapi.29

Ciri-ciri koordinasi menurut Manila ialah sebagai berikut:30 (1) Tanggung jawab koordinasi terletak pada pimpinan; (2) Koordinasi adalah suatu usaha kerja sama; (3) Koordinasi adalah proses yang terus menerus; (4) Adanya pengaturan usaha kelompok secara teratur; (5) Koordinasi adalah konsep kesatuan tindakan bersama; (6) Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama.

Terdapat dua macam koordinasi menurut Hasibuan, yaitu:31

a. Koordinasi vertikal, koordinasi ini disebut juga sebagai koordinasi struktural merupakan kegiatan penyatuan pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit. Jadi dapat dikatakan koordinasi ini bersifat hirarkis, karena satu dengan yang lainnya berada pada satu garis komando.

b. Koordinasi Horizontal, koordinasi inimaksudnya ialah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatandalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. Pada koordinasi ini kedudukan antara yang mengkoordinasikan dan yang dikoordinasikan mempunyai kedudukan setingkat eselonnya. Menurut tugas dan fungsinya keduanya mempunyai kaitan satu dengan yang lain sehingga perlu dikooridnasi.

Koordinasi vertikal dan koordinasi horizontal yang telah dijelaskan di atas merupakan koordinasi intern. Selain koordinasi tersebut, terdapat juga koordinasi ekstern yang bersifat horizontal, dan koordinasi ekstern yang bersifat diagonal, yaitu sebagai berikut:

29

Koordinasi Pengelolaan Program Jaminan Sosial, (Kementerian Koordinator Bidang

Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, 2015), hal. 16

30Nefi Fitriana, “Teori Koordinasi”, diakses pada tanggal 30 September 2019 dari:

https://nefifitriana.blogspot.com/2016/07/teori-koordinasi.html

31 Noviana Wahyu Prabandary, “Koordinasi Antar Institusi Dalam Pengelolaan Benda

(37)

a. Koordinasi ekstern yang bersifat horizontal, misalnya koordinasi yang dilakukan oleh Kepala Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Transmigrasi terhadap Kepala Direktorat Penyiapan Tanah Pemukiman Transmigrasi, Direktorat Jenderal Bina Marga.

b. Koordinasi ekstern, yang bersifat diagonal, misalnya koordinasi yang dilakukan oleh Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) terhadap para Kepala Biro Kepegawaian tiap-tiap Departemen.32

Ada berbagai cara untuk melaksanakan koordinasi. Ada cara yang satu lebih formal, ada juga cara yang lebih mendorong kegiatan belajar, diantaranya sebagai berikut: (1) Pertemuan-pertemuan ad-hoc untuk mengkoordinasikan jika muncul masalah; (2) Seminar-seminar pelatihan (menunjang pemahaman); (3) Transfer staf antarbagian; (4) Pembentukan satuan-satuan tugas (koordinasi sementara antara bagian-bagian); (5) Keanggotaan part-time dalam tim/panitia (menjamin adanya pengetahuan tentang bagian-bagian serta kegiatan-kkegiatan lain); (6) Partisipasi dalam pertemuan perencanaan reguler; (7) Pembentukan posisi-posisi penghubung (misalnya peran koordinator); (8) Perjanjian/persetuan kerja secara tertulis; (9) Keanggotaan full-time dalam suatu panitia(misalnya panitian pembangunan); (10) Pengembangan kelompokpenghubung; (11) Partisipasi dalam suatu struktur yang mempunyai hubungan pelapor rangkap.

Koordinasi yang dijalankan oleh KPK dan Kepolisian termasuk dalam jenis koordinasi horizontal atau koordinasi ekstern horizontal, karena koordinasi yang dijalankan KPK dan Kepolisian termasuk dalam tingkat organisasi (aparat), dan juga antar organisasi (aparat) tersebut memiliki tujuan yang sama dalam hal pemberantasan dan penanganan tindak pidana korupsi.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

1. Skripsi “KedudukanLembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Analisis Sengketa Lembaga KPK

32 Nefi Fitriana, “Teori Koordinasi”, diakses pada tanggal 30 September 2019 dari: https://nefifitriana.blogspot.com/2016/07/teori-koordinasi.html

(38)

dengan Kepolisian Republik Indonesia)” yang ditulis oleh Supandri mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditulis pada pada tahun 2015. Skripsi ini membahas mengenai lembaga negara dan KPK yang lahir sebagai lembaga negara bantu dalam system ketatanegaraan di Indonesia serta penyelesaian sengketa lembaga yang terjadi antara KPK dan Kepolisian. Persamaan dengan skripsi penulis membahas lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan membahas tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia. Persamaan juga terlihat pada sumber data perundang-undangan yang digunakan penulis dan metode pengelolaan dan analisis data yang menggunakan kualitatif.33 Perbedaan dengan skripsi penulis memfokuskan membahas tentang mekanisme pelaksanaan fungsi koordinasi KPK dengan Kepolisian dan mengkajinya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur koordinasi tersebut. Perbedaan lain juga terlihat pada jenis metode penelitian hukum yang digunakan penulis yang tidak hanya memakai jenis penelitian normatif saja, tetapi juga menggunakan jenis penelitian empiris.

2. Skripsi “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang” yang ditulis oleh Nurdiansyah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, ditulis pada tahun 2015.34 Skripsi Nurdiansyah membahas tentang kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan jenis penelitian hukum normatif disertai dengan pendekatan perundang-undangan. Persamaan dengan skripsi penulis membahas tentang kewenangan KPK, metode kualitatif dijadikan sebagai metode pengelolaan dan analisis data, dan teknik pengumpulan data dengan cara kepustakaan

33 Supandri, “Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam SIstem Ketatanegaraan Republik

Indonesia (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia)”,

(Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015)

34 Nurdiansyah, “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak

(39)

dan wawancara. Skripsi Nurdiansyah hanya membahas mengenai kewenangan KPK saja, tanpa dihubungkan dengan lembaga lainnya. 3. Skripsi “Urgensi Tugas Koordinasi Dan Supervisi Komisi Pemberantasan

Korupsi Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia” yang ditulis oleh Zul Amirul Haq, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditulis pada tahun 2018.35 Skripsi Zul Amirul Haq ini menjelaskan mengenai perkembangan fungsi koordinasi dan supervise KPK, urgensi tugas koordinasi KPK dengan lembaga penegak hukum lain, serta factor penghambat pelaksanaan fungsi koordinasi tersebut. Persamaan dengan skripsi penulis yaitu sama membahas mengenai fungsi koordinasi KPK dengan lembaga penegak hukum lain. Perbedaan dengan skripsi penulis ialah skripsi Zul Amirul Haq cakupan pembahasan implementasi fungsi koordinasi KPK dengan lembaga penegak hukum lain meliputi Kepolisian dan Kejaksaan, sedangkan penulis hanya fokus membahas peraturan yang mengatur fungsi koordinasi KPK dan Kepolisian, dan mekanisme implementasi fungsi koordinasi KPK dengan Kepolisian.

4. Buku “Tindak Pidana Korupsi” yang ditulis oleh Evi Hartanti, S.H., yang diterbitkan oleh Sinar Grafika, pada tahun 2007.36 Buku ini menjelaskan mengenai tindak pidana korupsi. Dalam buku ini, pengertian korupsi dijelaskan juga secara etimologi, terminologi, dan pendapat para pakar, selain itu buku ini juga menjelaskan pengaturan tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia, mekanisme pemeriksaan tindak pidan korupsi, serta lembaga-lembaga yang berwenang menangani tindak pidana korupsi termasuk KPK, POLRI, dan Jaksa. Persamaan buku ini dengan skripsi saya adalah sama-sama menjelaskan tentang KPK dan Kepolisian. Penjelasan KPK dan Kepolisian dalam buku ini hanya sebatas tugas dan wewenangnya masing-masing yang telah diatur dalam undang-undang.

35

Zul Amirul Haq, “Urgensi Tugas Koordinasi Dan Supervisi Komisi Pembertantasan

Tindak Pidana Korupsi DI Indonesia”, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2018)

36

(40)

Sedangkan dalam skripsi saya meneliti mengenai mekanisme pelaksanaan fungsi koordinasi KPK dengan Kepolisian dan mengkajinya dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai koordnasi tersebut.

5. Jurnal “Efektifitas Fungsi Koordinasi Dan Supervisi Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi” yang ditulis oleh Hibnu Nugroho, diterbitkan dari jurnal Jurnal Dinamika Hukum Volume 13 Nomor 3 Tahun 2013.37 Jurnal ini menjelaskan mengenai pelaksanaan fungsi koordinasi dan supervisi KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan faktor penghambat dalam pelaksanaan koordinasi dan supervisi tersebut. Persamaan jurnal ini dengan skripsi saya ialah menjelaskan fungsi koordinasi KPK sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Metode pendekatan yang digunakannya juga sama yaitu empiris dengan penelitian bersifat deskriptif analitis. Jurnal ini hanya membahas mengenai fungsi koordinasi KPK saja, sedangkan penelitian dalam skripsi saya menjelaskan mekanisme pelaksanaan fungsi koordinasi KPK dengan Kepolisian dan menemukan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai koordinasi tersebut.

37 Hibnu Nugroho, “Efektifitas Fungsi Koordinasi Dan Supervisi Dalam Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”, (Jurnal Dinamika Hukum Volume 13

(41)

30

BAB III

KEWEKANGAN KPK DAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Latar Kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi

Terjadinya dualisme kewenangan penyidikan dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Secara umum undang-undang meletakkan kewenangan penyidikan pada kepolisian sesuai Pasal 6 Ayat (1) KUHAP. Namun undang-undang juga masih mengakui kejaksaan sebagai penyidik terhadap tindak pidana khusus sesuai ketentuan Pasal 284 Ayat (2) KUHAP yang menentukan:1“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Atas dasar pengaturan di dalam undang-undang pidana khusus itu, misalnya undang-undang korupsi, pihak kejaksaan menganggap kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana yang bersangkutan adalah monopoli institusinya.Ketidaksepakatan antara kepolisian dan kejaksaan menyangkut kewenangan penyidikan dapat mengganggu kelancaran tugas sistem peradilan pidana.

Pemerintah pada saat itu memiliki keinginan untuk mengganti undang-undang korupsi 1971 guna mengakhiri masalah yuridis terkait dualisme kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi, sehingga diajukanlah RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999. Saat membahas RUU tersebut, Fraksi-fraksi di DPR memiliki keinginan untuk menempatkan kewenangan penyidikan pada satu pintu (one gate policy) baik terhadap tindak pidana umum maupun khusus. Namun keinginan Fraksi-fraksi DPR tersebut berbeda dengan materi RUU yang diajukan pemerintah tersebut. Pemerintah ingin mengadopsi prinsip ius operatum, yaitu hukum yang secara nyata berlaku saat

1 Elwi Danil, “Korupsi Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya”, (Jakarta:

(42)

ini. Pemerintah ingin mempertemukan kedua lembaga ttersebut sehingga kejaksaan juga masih mempunyai kewenangan melakukan penyidikan.

Akhirnya hasil dari pembahasan pemerintah dengan DPR terhadap RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 adalah, menyerahkan atau menempatkan kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Kesepakatan tersebut tergambar dari bunyi ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang ditegaskan, bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.Itu berarti, bahwa di samping ketentuan KUHAP, maka ketentuan Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga harus dijadikan sebagai dasar untuk meletakkan persoalan kewenangan tindak pidana korupsi, sehingga kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan.2

Terbentuknya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan kemungkinan untuk mempertemukan dua instansi penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) dalam satu wadah penyidikan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Hal tersebut dirumuskan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, bahwa: “dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung”. Tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya menurut Penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut adalah tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka atau di bidang moneter dan keuangan. Itupun hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana korupsi dalam

2 Elwi Danil, “Korupsi Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya”, (Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

Latar Belakang saat ini belajar kurang memerhatiakan peran dan pengaruh emosi pada proses dan hasil belajar yang di capai seseorang, Tetapi sejak orang mulai

[r]

Berdasarkan observasi pada pembelajaran IPA Fisika khususnya materi Pesawat Sedehana di MTsN 1 Pidie Jaya, di temukan bahwa metode guru dalam pembelajaran

Jokowi mengharapkan dari komposisi kurikulum tersebut sumber daya manusia (SDM) yang lahir akan semakin bermartabat dan memiliki daya saing di berbagai belahan

Berdasarkan hasil evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga serta kualifikasi dengan ini Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengumumkan pemenang

Melalui world wide web informasi tersebut ditampilkan dalam bentuk yang menarik, dinamis, dan interaktif, yang biasanya disebut website, sehingga masyarakat berlomba-lomba

Berkembangnya komunikasi antar komputer membuat DARPA menghasilkan teknologi TCP/IP yang dikenal saat ini, TCP/IP yang ada saat ini bukan hanya terdiri atas protokol TCP dan IP

Teknologi Hasil Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, dengan judul “Konsep Cara Produksi Pangan yang Baik dan Benar.. Pada Pembuatan