Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah,
memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk
kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama
penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat
yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work
non-commercially, as long as you credit the origin creator
and license it on your new creations under the identical
terms.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Corporate Video
Ada banyak cara yang dapat dilakukan demi mempromosikan suatu produk, salah satunya ialah dengan corporate video atau iklan. DiZaazzo (2004) menjelaskan bahwa corporate video merupakan sebuah hasil dari perkembangan industri film berbentuk video atau gambar gerak yang menggambarkan atau mempromosikan sebuah perusahaan, baik dalam barang, jasa, atau pelayanan masyarakat (hlm. 4). Mempromosikan sebuah produk dengan menggunakan video akan menjadi lebih menarik bagi konsumen dibandingkan dengan menggunakan iklan fisik (hlm. 6-7). Menurut beliau tujuan dari adanya corporate adalah untuk memperkenalkan sebuah produk atau jasa kepada masyarakat dengan cara yang mudah dan tidak memakan waktu yang lama (hlm. 8).
DiZazzo menyebutkan media platform dalam penyebaran corporate video telah memanfaatkan internet sebagai sistem marketingnya. Menurutnya internet sudah menjadi media yang banyak digunakan untuk menyebarkan informasi di dunia usaha. Para penemu dan teknisi sudah lama menemukan bahwa mereka dapat
“on the air” atau menyiarkan di studio televisi dan menyiarkan pesan mereka
secara langsung melalui satelit. Meskipun metode ini tidak murah, beliau menjelaskan direct broadcast satellite (DBS) ini terbukti menjadi cara yang hemat biaya untuk mendistribusikan pesan atau iklan yang konsisten dengan jumlah pekerja yang lebih sedikit. Untuk mempromosikannya tidak perlu mencetak atau
disebar yang berupa selembaran, namun penyebarannya bisa melalui media sosial ataupun situs web (hlm. 8).
Sweetow (2016) mengatakan media digital dan broadband telah mempengaruhi evolusi produksi video periklanan. Menurut beliau daripada mendistribusikan program di media fisik seperti DVD, sudah tidak lagi menjadi media yang efektif seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan menyebarkan iklannya dengan via live streaming atau VOD (video on
demand) (hlm. 12). Soelistyowati (2018) mengatakan bahwa salah satu media yang
digunakan untuk promosi ialah YouTube. Beliau juga menjelaskan YouTube adalah layanan video hosting online yang berbasis internet untuk memudahkan setiap orang dalam menyebarkan dan menonton video dimanapun dan kapanpun. Menurutnya, YouTube menjadi platform nomor satu untuk masa kini yang dimana setiap orang bisa mempublikasikan apa saja dan hal ini dimanfaatkan untuk menjadi media penyebaran corporate video. Beliau menambahkan dengan menggunakan
YouTube sebagai platform maka setiap orang, tidak dibatasi, dapat mencari atau
menikmati corporate video. Berikut adalah benefit yang didapatkan jika menggunakan YouTube sebagai platform untuk berbisnis menurut artikel
“Menggunakan YouTube untuk Memperluas Pemasaran Bisnis Anda”:
1. Memperlihatkan produk, 2. Membentuk kelompok, 3. Memperlihatkan kelebihan, 4. Menghemat bandwidth,
6. Sebagai bentuk promosi,
7. Membantu customer dalam memenuhi kebutuhan.
Sweetow menegaskan ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum memproduksi sebuah corporate video yaitu memahami masalah, mengetahui tujuan klien, dan menganalisis target seperti apa yang klien inginkan dengan jelas. Hal tersebut dibutuhkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan demi menjaga citra atau image sebuah perusahaan. Citra atau image dibangun agar setiap perusahaan dapat mempertahankan dan memperluas konsumen dengan target tertentu. Oleh karena itu melalui sebuah corporate video, penonton dapat menilai bagaimana kualitas sebuah perusahaan (hlm. 32).
Menurut Pahlevi (2018), pada dasarnya, corporate video memiliki tujuan untuk memberikan informasi mengenai karakteristik produk kepada masyarakat untuk membeli produk dengan target audience yang lebih luas. Menurutnya, karena jangkauan yang cukup luas, corporate video menjadi daya tarik banyak perusahaan, baik untuk menaikkan citra perusahaan atau memikat pelanggan baru. Beliau juga mengatakan persaingan yang terjadi dimana-mana membuat perusahaan juga berlomba-lomba untuk membuat corporate video produk mereka menjadi lebih menarik daripada pesaingnya. Hal ini ternyata membawa dampak yang positif dan berjalan seiring dengan tujuan dari corporate video. Berikut adalah tujuan dari
corporate video (iklan) menurut Pahlevi:
1. Memperkenalkan produk baru, sebuah perusahaan akan menjadi sukses apabila telah mencapai target konsumen. Seperti contoh sebuah
perusahaan x mengeluarkan produknya yang baru dan membutuhkan konsumen agar produk barunya tetap bisa diproduksi.
2. Dengan adanya iklan, penjualan akan bertambah. Pelanggan harus selalu diingatkan tentang produk atau jasa yang akan dijual sehingga mereka akan terdorong untuk membeli. Pelanggan baru akan mendapatkan informasi tentang kualitas produk atau jasa.
3. Menghadapi persaingan, penggunaan iklan akan membantu sebuah perusahaan dalam menaikkan citra brand dan mengembangkan loyalitas kepada konsumen. Dengan adanya persaingan setiap perusahaan akan berlomba-lomba untuk menjadi yang lebih baik satu dengan yang lainnya.
4. Meningkatkan kemungkinan produk diterima di pasar, membantu pasar mengenal produk yang akan diiklankan.
5. Membatasi pesaing baru, ketika sebuah perusahaan berhasil menjaga citranya, maka hal ini akan membantu sebuah perusahaan dalam menjauhkan diri dari pesaing baru.
Dalam menyampaikan sebuah informasi dalam corporate video, tim produksi harus mengetahui apa yang diinginkan oleh klien, dengan cara melakukan riset terlebih dahulu siapa target yang akan dicapai, kemudian penyampaian berupa video yang dilakukan dengan singkat, padat, jelas, dan menarik. Keempat kriteria tersebut memiliki dampak yang besar terhadap video yaitu menentukan apakah penonton akan menyelesaikan menonton video sampai habis atau tidak. Maka dari
itu, 3-5 detik pertama sebuah corporate video adalah kunci untuk memikat para penonton.
2.2. Production Design
Dalam dunia periklanan ada banyak departemen yang bertanggung jawab terhadap visual atau yang sering disebut sebagai departemen kreatif. Dalam departemen kreatif terdapat director, director of photography, dan production designer. Menurut Egan (2011) production design bertanggung jawab menciptakan dunia yang menarik dan meningkatkan cerita melalui style, dengan memainkan permainan waktu dan wujud karakter (hlm. 5). Heisner (seperti dikutip dalam Egan, 2011, hlm. 2), memberi contoh suasana visual dapat meningkatkan emosi yang lebih jauh daripada alur plot dan penampilan aktor.
Sandrayani (2012) menjelaskan ada 4 langkah sebelum mendesain setting dan properti, yaitu:
1. Riset
Pada tahap ini, seorang production designer harus mengumpulkan data terlebih dahulu mengenai klien. Pengumpulan data bisa didapatkan dari banyak sumber, seperti: buku, majalah, tv, radio, ataupun internet. Informasi yang dikumpulkan adalah mengenai sejarah perusahaan atau klien, serta visi dan misi. Tahap ini dilakukan agar production design memiliki gambaran mengenai keinginan klien.
2. Pertemuan dengan klien
Pada saat bertemu dengan klien, production designer akan menggali lebih dalam mengenai keinginan klien, visi dan misi, serta pesan apa yang ingin disampaikan. Hal tersebut akan dituliskan kedalam bentuk
client brief. Seorang production design berperan penting dalam
pembuatan dan pengembangan konsep dari client brief. Client brief merupakan dokumen yang berisikan pertanyaan mendasar untuk menggali mengenai keinginan, visi dan pesan yang dinginkan klien terhadap produk atau jasanya. Client brief akan menjadi landasan dan pedoman bagi production designer untuk mendesain setting dan properti.
3. Analisis
Setelah mendapatkan informasi production designer bersama dengan sutradara mendiskusikan visual apa saja yang akan ada dalam video. Pada tahap ini biasanya menggunakan metode mind maping atau
brainstorming untuk mendapatkan konsep. Hasil analisa dan pemikiran
yang telah didapatkan, kemudian diolah menjadi sebuah konsep yang nanti akan diterapkan ke dalam set, props, ataupun costume.
4. Mendesain
Pada tahap ini, production design akan mulai mendesain sebuah ruangan yang nantinya akan digunakan sebagai latar pembuatan video.
Desain awal dapat dimulai dengan membuat sketsa-sketsa. Setelah itu sketsa-sketsa tersebut akan diperdetail dan dipresentasikan kepada klien hingga klien setuju.
Setelah melakukan empat tahapan di atas, production designer akan bertanggung jawab kepada produser terhadap budgeting terkait dalam hal mendesain. Sedangkan kepada sutradara, production design akan bertanggung jawab secara artistik dalam hal pengembangan naskah secara kreatif (LoBrutto, 2002, hlm. 14). LoBrutto juga mengatakan apa yang akan divisualkan harus sesuai dengan script dan dikembangkan secara narasi. Pembuatan visual merupakan proses penggambaran script kedalam set, props, palet skema warna, dan lokasi (hlm. 29). Menurut Barnwell (2015) setelah mendapatkan lokasi untuk melakukan proses
shooting, barulah production designer memulai pekerjaanya. Pekerjaan production designer merupakan pekerjaan yang detail, seperti pengecatan atau memasang
wallpaper pada tembok dan mengubah tekstur atau material lantai (hlm. 74).
2.3. Set
Menurut Sugiana (2018) set merupakan penggambaran mengenai waktu, lokasi, dan suasana terjadinya peristiwa-peristiwa dalam cerita. Latar waktu menjelaskan mengenai waktu atau masa tertentu saat peristiwa dalam cerita sedang terjadi. Latar tempat adalah lokasi yang menjadi tempat peristiwa tersebut berlangusng. Latar suasana adalah emosi karakter yang dipengaruhi oleh naskah. Beliau juga menjelaskan bahwa latar juga dapat dibedakan menjadi latar sosial dan
latar material. Latar sosial adalah penampakkan kehidupan karakter dalam kurun waktu dan tempat yang telah ditentukan dalam naskah. Sedangkan latar material merupakan gambaran benda-benda yang menunjukkan suatu tempat tanpa harus menjelaskan dimana lokasi tersebut.
Johnson (2009) mengatakan set merupakan hal yang krusial dalam film. Selain untuk menjelaskan waktu dan lokasi, beliau mengatakan set juga mencerminkan atmosfer dan suasana cerita. Set juga dapat dijadikan sebagai jalan untuk memaksa penonton menerima keadaan atau situasi yang mustahil (hlm. 323). Set tidak terbatas pada interior yang terukur, seperti tempat tinggal atau kantor, tapi set dapat meluas hingga ke dunia baru seperti galaksi dan alam semesta yang diciptakan sendiri (Villarejo, 2013, hlm. 33). Seperti contoh beberapa adegan dalam film Star Wars memiliki setting dengan berbagai kecanggihan teknologi yang pada saat ini belum ada. Namun dengan bantuan setting, penonton menjadi percaya bahwa kecanggihan teknologi yang terdapat dalam film Star Wars benar-benar atau akan menjadi ada pada waktu yang akan mendatang. Contoh lainnya adalah film-film yang ber-genrekan sci-fi. Dimana mereka akan menyajikan alat-alat canggih dari setting hingga props untuk mendukung cerita.
Gardez (2015) mengatakan bahwa sebuah set yang telah dibangun dan didesain dapat menjadi aspek yang paling penting dari persepsi dan pandangan awal penonton terhadap cerita. Beliau juga mengatakan bahwa set dapat dijadikan sebagai kesan pertama sebuah film. Ia menambahkan set yang telah diciptakan akan memiliki dampak kepada karakter yang akan dibangun, suasana penonton, dan ketegangan cerita. Seperti contoh, sebuah set kamar yang yang kecil dan terbatas,
koridor dan tangga yang sempit, dinding dan sekitarnya dengan palet skema warna yang suram dan pucat menjelaskan bahwa si karakter sedang menempati daerah yang kurang makmur (hlm. 13). Menurut Gardez, set terbagi menjadi empat tema, yaitu:
1. The Percetion, merupakan persepsi suatu film atau televisi dan
bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi penonton secara kelas sosial.
2. The Realism, bagaimana keaslian sebuah set yang akan menambah
realisme cerita yang akan diceritakan.
3. Illusion, menghubungkan ruang yang tidak ada menjadi ada kepada
penonton sehingga penonton mempercayai keberadaan set buatan. 4. Desire, set memberi cerita naratif secara emosional.
Bordwell & Thomson (2008) menjelaskan setting mengacu pada tempat buatan atau tempat asli dimana adegan peristiwa dalam film terjadi. Biasanya tempat tersebut merupakan set yang dibangun di studio dengan menggabungkan elemen natural dan buatan (hlm.114). Set bukan sekedar wadah peristiwa manusia melainkan untuk menyampaikan cerita narasi secara dinamik. Maka dari itu set tidak hanya diciptakan begitu saja tanpa memiliki arti dan makna tertentu (hlm. 172). Balikapadavu (2018) menambahkan hal yang paling penting adalah setting tidak boleh menjadi elemen yang pasif, namun harus memiliki peran dalam film bernarasi (hlm. 6). Set juga dapat memberi tahu penonton tentang siapa karakter dan peristiwa apa yang mungkin terjadi pada masa lalu mereka.
Bergfelder dan tim (2007) menjelaskan pembangunan set harus disesuaikan dengan naskah, sudut pandang kamera, dan pergerakkan aktor saat adegan berlangsung. Hal ini dilakukan agar setiap set terlihat baik dan tepat saat pengambilan gambar (hlm. 129). Sesuai dengan tujuan awal sebuah corporate
video adalah untuk menaikkan citra barang atau jasa maka setting sebuah set harus
dilakukan dengan benar. Set yang baik dan benar adalah set yang dikonstruksi dengan spesifikasi yang tepat (LoBrutto, 2002, hlm. 48). Gardez (2015) menyatakan bahwa tantangan terbesar dalam pembuatan set adalah membuat set tersebut dapat dipercaya dan meyakinkan penonton baik dalam hal manipulasi waktu dan tempat (hlm. 16).
2.4. Props
Props adalah objek, berupa benda atau barang yang disentuh atau dipegang oleh
aktor saat adegan film (Tomaric, 2008, hlm 189). Selain sebagai objek yang dipegang atau disentuh oleh aktor, props merupakan bagian dari set. Props merupakan ornamen-ornamen yang akan melengkapi set sehingga memiliki makna. Jika set merupakan perpaduan antara elemen yang dibangun, maka props berperan sebagai memperkuat suasana, memberikan makna lebih mengenai set, atau mencari perhatian pada detail dalam adegan yang besar (Villarejo, 2013, hlm. 33). Props dapat mempunyai makna khusus yang sesuai dengan pikiran dan perasaan karakter, kekuatan dan kemampuan mereka di dunia, atau tema film namun makna dan pemikiran tersebut tergantung oleh sudut pandang masing-masing penonton (Corrigan & White, 2012, hlm. 72).
Menurut Carlsson (2018) props sebagai fungsi kegunaannya terbagi menjadi ke dalam beberapa bagian, yaitu:
1. Instrumental props, dimana objek di letakkan dan digunakan oleh aktor sebagai fungsi utama. Contohnya handphone yang digunakan oleh antar karakter untuk berkomunikasi.
2. Metaphorical props, dimana objek memiliki arti yang tak terduga, bahkan memiliki makna lain, dan tujuan yang berbeda dengan wujud aslinya. Perbedaan makna menjadi penting karena jenis prop tersebut dapat mencirikan jenis dunia di sekitar karakter dan kemampuan karakter untuk berinteraksi dengan dunia tersebut.
3. Cultural props, merupakan props yang menunjukkan lingkungan si karakter. Seperti contoh, jenis mobil atau perabotan secara spesifik, memberi makna yang terkait dengan tempat karakter dalam masyarakat tertentu.
4. Contextualized props, selain menjadi fungsi yang umum dalam film, props jenis ini dapat memperoleh arti penting dengan cara yang menonjol. Props yang muncul dalam awal film, seperti uang yang dicuri dalam film Psycho (1960) karya Alfred Hitchcock, atau props yang sering muncul dalam narasi, seperti “the one ring” dalam trilogi Peter Jacksons dalam film Lord of the Rings, adalah props yang memiliki
dimaksudkan untuk menjadi penggerak plot walaupun wujud objek kecil atau besar dan penting untuk narasi. Jadi, contextualized props tidak terukur oleh besar atau kecilnya, melainkan perannya dalam film atau cerita.
Dalam buku Film Art: An Introduction, Broadwell dan Thomson (2008) menjelaskan dalam memanipulasi sebuah shot, film maker dapat menggunakan
props. Komedi sering menggunakan props untuk tujuan lucu. (hlm. 224). Mereka
mengatakan sebuah desain props akan diketuai oleh master properti. Master properti adalah salah satu orang yang bertanggung jawab dalam memsupervisikan segala properti atau objek yang dapat bergerak dalam film. Master properti bertanggung jawab atas desain yang akan didesain dalam sebuah frame kepada
production design (hlm. 68). Props yang ditampilkan harus seirama dengan set
yang telah ditentukan. Sebagai contoh set adegan makan diruang makan dilengkapi dengan properti alat makan. Akan menjadi aneh apabila adegan makan tapi dilengkapi dengan props alat mandi. Maka dari itu props merupakan elemen yang sangat penting dalam membangun narasi serta suasana sebuah film.
Barnwell (2004) mengatakan bahwa props juga bisa didapatkan dengan meminjam, dimana hal ini disebut dengan low-budget productions. Pemiliki barang atau toko akan mendapatkan credit dalam sebuah film sebagai bentuk rasa terima kasih karena telah meminjamkan barangnya. Low-budget productions bukanlah hal yang salah. Dalam mendesain sebuah ruangan dibutuhkan budget yang akan didiskusikan dengan produser. Sebuah setting yang bagus tidak lah harus melulu
mengeluarkan uang, semua kembali lagi kepada budget masing-masing production
house (hlm. 75).
2.5. Narrative to visual
Dalam bukunya, LoBrutto (2002) menjelaskan bahwa penulis naskah menunggu konten dan maksud cerita menjadi terjemahan visual. Ada banyak detail dalam naskah yang dijelaskan dan akan diterapkan kedalam bentuk visual. Terjemahan visual dapat terwujudkan atas berbagai pertimbangan, seperti diskusi dengan sutradara mengenai set dan props dan dengan produser mengenai budgeting. Maka dari itu, beliau menjelaskan beberapa kriteria yang harus diperhatikan sebelum memvisualkan sebuah naskah secara spesifik dan tepat, yaitu:
- Emosi dari cerita dan karakter, melalui lingkungan sekitar, - Menafsirkan maksud sutradara,
- Mendefinisikan ruang,
- Detail dan detail dalam detail.
LoBrutto menekankan bahwa production designer harus memahami karakter terlebih untuk menciptakan lingkungan. Desain bukan hanya representasi fisik. Ia juga mengatakan bahwa setting dapat memiliki dampak pada bagaimana penonton memandang cerita dan karakter. Beliau membagi beberapa aspek mengenai karakter yang harus diperhatikan terlebih dahulu (hlm. 30):
- Berapa umur mereka?
- Apa ras dan latar belakang mereka? - Mereka berada di tingkat kelas sosial apa?
- Apa peran mereka terhadap cerita? - Apa style mereka?
- Bagaimana bentuk fisik mereka?
Beliau juga mengatakan bahwa cerita dapat ditafsirkan secara visual untuk menyampaikan berbagai kondisi dan keadaan yang sedang dialami oleh karakter. Kebanyakan lingkungan yang telah diciptakan merepresentasikan kekuatan dan keadaan karakter pada naskah. Production designer tidak hanya menciptakan bagian interior dan eksterior menjadi indah, melainkan mengenai harmonisasi dan konsistensi yang menjadikan production designer seorang penerjemah naskah kepada penonton (hlm. 31).
Penggambaran visual dan emosi terhadap naskah merupakan titik awal yang diperlukan bagi designer (Barnwell, hlm. 47). Beliau mengatakan bahwa setelah menerima naskah, production designer akan mem-breakdown menjadi ke beberapa bagian, seperti lokasi, interior, eksterior, day and night, periode, dan lain-lain. Dan dari situlah muncul dari satu ide menjadi ratusan ide yang berkemungkinan untuk di desain. Beliau juga menjelaskan bahwa setelah itu barulah dimulai untuk membuat list props atau benda apa saja yang ada dalam naskah di setiap lokasi, dari yang paling kecil ke yang paling besar. Props yang terdapat naskah merupakan key atau kunci dalam sebuah cerita dimana benda tersebut menjadi penggerak dalam cerita (hlm. 47-48).
Dalam bukunya, Fischer (2015) menjelaskan bahwa dalam memvisualkan sebuah naskah harus berhati-hati dan melakukannya step by step. Apabila tidak dikerjakan dengan baik, maka pandangan atau pemikiran penonton terhadap film
akan berubah. Menurut beliau, hal tersebut akan menyebabkan miss-understanding mengenai apa yang ingin sutradara sampaikan kepada penonton. Hal ini dapat menyebabkan pesan yang ingin disampaikan atau tersampaikan tidak dapat di pahami dengan baik oleh audience (hlm. 83).
Beliau juga mengajak pembaca untuk menganggap setiap lokasi sebagai lingkungan untuk mengungkapkan kehidupan karakter dan untuk mengungkapkan cerita. Keadaan lingkungan yang sudah di setting mengelilingi dan menunjukkan karakter. Keadaan-keadaan pun ada banyak macam, seperti bersahabat, menegangkan, mencengkam, menghibur, warm atau cold (hlm. 2Beliau mengatakan bahwa production designer juga harus melakukan beberapa analisa terhadap barang atau benda yang akan dimasukkan kedalam frame. Tujuan analisa ini adalah untuk menyamakan tujuan dari analisa script. Analisa script yang telah ada akan dipelajari oleh production design sehingga dapat menjadi pedoman bagi
production design sebelum memulai mendesain sebuah ruangan (hlm. 130).
Kartika (2014) menjelaskan bahwa desain interior dengan gaya oriental merupakan bawaan dari beberapa budaya timur yang berkembang, seperti Jepang, Korea, Thailand, hingga Vietnam. Liberti () juga mengatakan bahwa konsep interior bergaya oriental memiliki keragaman serta elemen-elemen yang sangat menarik, seperti adanya perabotan ukiran kayu, ornamen-ornamen yang bertemakan oriental seperti guci-guci dan lukisan-lukisan. Beliau menambahkan ciri utama aspek interior oriental adalah penggunaan skema warna kuning kecokelatan (hlm. 19). Beliau juga mengatakan bahwa budaya oriental merupakan budaya yang selalu mengutamakan Ying dan Yang dalam semua aspek kehidupan.
Maka dalam interior terdapat 2 skema warna kontras yang berlawanan, hal ini bertujuan untuk menunjukkan keseimbangan Ying dan Yang. Selain itu, skema warna-skema warna yang berkontrasan lebih kepada skema warna-skema warna natural untuk membuat ruangan memiliki kesan lega, nyaman, dana man (hlm. 20).
2.6. Asimilasi Cina di Indonesia
Dalam jurnalnya, Lestari (2015) mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan multikultur terbesar di dunia. Beliau mengatakan keragaman ini menyebabkan negara Indonesia menjadi negara heterogen dan plural dengan multi-etnis, multi-agama, dan multikultur (hlm. 31). Huda dan Sariyatun (2015) mengatakan ada dua faktor yang menyebabkan etnis Cina di Indonesia mengalami asimilasi. Faktor yang pertama ialah faktor intern, yaitu masyarakat Cina atau Tionghoa berada di tengah mayoritas. Faktor kedua ialah faktor ekstern, yaitu kebijakan orde baru (hlm. 40). Assidiqi (2018) menjelaskan awal mula munculnya kebijakan asimilasi terhadap etnis Cina di Indonesia setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang pada tahun 1946 bahwa masyarakat Cina yang ada di Indonesia berasas ius soli (kewarganegaraan berdasarkan kelahiran) yang menyebabkan etnis Cina memiliki kewarganegaraan ganda. Dalam jurnalnya, pada tahun 1955 Indonesia mencapai persetujuan yang dinamakan sebagai undang-undang Dwi Kewarganegaraan. Isi dari perjanjian tersebut ialah bagi warga negara Indonesia keturunan Cina atau Tionghoa yang masih memiliki dua kewarganegaraan, diwajibkan untuk memilih salah satu kewarganegaraan (hlm. 381).
Assidiqi menjelaskan proses asimilasi bagi keturunan Cina atau Tionghoa sudah dilakukan sejak jaman pemerintahan Soeharto. Pada masa pemerintahannya, Soeharto mengeluarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1961 yang berisikan bahwa setiap warga Cina diharuskan untuk mengganti nama Cina menjadi nama Indonesia. Pergantian nama membuat banyak etnis Cina mengalami kehilangan marga dan identitasnya. Hal ini menyebabkan banyak keturunan etnis Cina mengalami kehilangan identitas juga. Karena secara turun-temurun mengalami kehilangan identitas, sehingga seluruh keturunan kehilangan identitas pula (hlm. 383-386). Dengan melihat perbedaan yang kontras, maka terjadilah asimilasi kebudayaan, baik dalam cara berpakaian sampai bahasa.
Menurut Hendropuspito (seperti yang dikutip oleh jurnal Pratiwi, 2017, hlm. 1) istilah asimisali berasal dari kata Latin yaitu assimilare yang berarti menjadi ‘sama’. Hunt (1990) menjelaskan asimilasi merupakan sebuah proses sosial yang terjadi pada tingkat lanjut. Beliau mengatakan bawha kehidupan sosial merupakan kebutuhan setiap masyarakat, terutama dalam kehidupan masyarakat multikultural. Dalam melakukan proses sosial, maka setiap masyarakat harus dapat menerima perbedaan yang ada. Dalam setiap perbedaan yang ada maka akan menemukan titik tengah atau titik persetujuan antar individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok. Asimilasi merupakan penggabungan budaya antar individu atau kelompok dengan tidak menghilangkan budaya asli dan menghasilkan sebuah budaya baru tanpa mementingkan satu pihak saja (hlm. 625-627).
Assidiqi (2018) menjelaskan asimilasi kebudayaan dapat dilihat dari beberapa aspek yang meliputi perpaduan dua unsur kebudayaan dengan tidak
menghilangkan unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut (hlm. 380). Koentjaraningrat (1980) dalam bukunya mengemukakan pengertian asimilasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau antar kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama kedua belah pihak yang bersangkutan. Beliau menjelaskan asimilasi muncul apabila:
1. Kelompok-kelompok manusia yang memiliki budaya yang berbeda.
2. Individu-individu sebagai anggota kelompok tersebut saling bergaul secara intensif dan langsung dalam jangka waktu yang lama
3. Kebudayaan dari masing-masing individu berubah dan saling menyesuaikan diri.
(Assidiqi, 2018, hlm. 380.)
Beliau menambahkan biasanya golongan-golongan yang dimaksud Gambar 2.1Bagan Asimilasi
dalam suatu proses asimilasi ialah meliputi golongan mayoritas dan golongan minoritas. Gordon (1968) mengemukakan asimilasi budaya atau perilaku (cultural or behavioral assimilation) berhubungan dengan perubahan pola kebudayaan sebuah kelompok atau kelompok-kelompok tertentu guna menyesuaikan diri dengan kelompok mayoritas.
Istilah ‘Cina’ sebenarnya merupakan ‘julukan atau hukuman’ yang diberikan pada jaman pemerintahan Orde Baru yang digunakan untuk menggantikan istilah Tionghoa (Susetyo, 2002, hlm. 1). Beliau membandingkan kehidupan masyarakat Cina yang berada di Indonesia dengan di negara-negara tetangga seperti Philipina dan Thailand. Hasil dari survey beliau, masyarakat Cina atau Tionghoa di negara luar sudah berakulturasi dan menjadi warga pribumi. Dengan begitu beliau mendapat kesimpulan bahwa kedudukan etnis Cina di Indonesia belum menemukan format yang pas. Menurut Lan (seperti yang dikutip Susetyo, hlm. 2, 1998) pencarian jati diri etnis keturunan Cina di Indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan untuk menjadi masyarakat Indonesia. Sehingga hal ini menempatkan masyarakat Cina pada keadaan yang tidak mudah dan tidak tepat. Menurut beliau, pencarian dan penempatan jati diri menjadi sulit karena jumlah masyarakat Cina di Indonesia yang termasuk kedalam golongan minoritas, dengan jumlah tidak lebih dari 1,2 persen penduduk Indonesia (2017).
2.6.1. Desain Interior Budaya Cina-Indonesia
Menurut Ching (1979), desain interior secara keseluruhan memiliki ciri-ciri bentuk, yaitu:
1. Wujud, merupakan hasil konfigurasi bentuk dan permukaan tertentu. 2. Dimensi, meliputi panjang, lebar, dan tinggi.
3. Skema warna, merupakan elemen yang mencolok untuk memperindah sebuah wujud dan dimensi.
4. Tekstur, merupakan karakteristik sebuah permukaan. Tekstur dapat mempengaruhi perasaan seseorang pada saat menyentuhnya. Tekstur juga menentukan pantulan cahaya yang akan dihasilkan.
5. Posisi, letak menjadi hal yang relative sesuai dengan keadaan ruangan dan kebutuhan.
Gambar 2.2 Contoh Interior Cina Sumber: Pinterest.com
Dalam jurnalnya, Rokhani, Salam, dan Adi (2016) menjelaskan bahwa konsep bertemakan Cina bukanlah hal yang rumit. Menurut mereka, konsep tersebut dapat mengacu dengan sendirinya. Hal ini melahirkan berbagai identitas yang menggambarkan tradisi keluarga dan beberapa simbolik. Mereka mengatakan bahwa masyarakat Cina-Indonesia telah menyebar dan melahirkan beberapa budaya yang berbeda sesuai dengan posisi masyarakat itu sendiri. Mereka menjelaskan bahwa kultur Cina di Indonesia telah mengalami peleburan dan percampuran dengan budaya-budaya dengan ada di Indonesia. Menurut mereka, hal ini diakibatkan oleh pada jaman Suharto, masyarakat Tionghoa atau Cina diharuskan untuk melepas atau menghilangkan leluhur. Mereka mengatakan bahwa dengan adanya tuntutan masyarakat Cina berupaya untuk bersikap pragmatis untuk memudahkan mereka beradaptasi dengan segala kebijakan dan kondisi (hlm. 60-62).
Kartika menjelaskan bahwa desain interior dengan gaya oriental merupakan bawaan dari beberapa budaya Timur yang berkembang, seperti Jepang, Korea, Thailand, hingga Vietnam. Liberti juga mengatakan bahwa konsep interior bergaya oriental memiliki keragaman serta elemen-elemen yang sangat menarik, seperti adanya perabotan ukiran kayu, ornamen-ornamen yang bertemakan oriental seperti guci-guci dan lukisan-lukisan. Beliau menambahkan ciri utama aspek interior oriental adalah penggunaan skema warna kuning kecokelatan (hlm. 19). Beliau juga mengatakan bahwa
budaya oriental merupakan budaya yang selalu mengutamakan Ying dan Yang dalam semua aspek kehidupan. Maka dalam interior terdapat 2 skema warna kontras yang berlawanan, hal ini bertujuan untuk menunjukkan keseimbangan Ying dan Yang. Selain itu, skema warna-skema warna yang berkontrasan lebih kepada skema warna-skema warna natural untuk membuat ruangan memiliki kesan lega, nyaman, dana man (hlm. 20).
Setiap golongan baik itu suku atau bangsa memiliki seperangkat kebudayaan yang melekat dan menjadi sebuah identitas yang identik, seperti simbol-simbol yang menunjukkan golongan suku bangsa atau etnik lainnya (Adyanto, 2005). Beliau mengatakan maka dari itu meskipun sebuah kebudayaan telah mengalami asimilasi dan akulturasi, terdapat beberapa simbol yang sudah menjadi ciri khas setiap budaya, dan simbol-simbol tersebut tentu berbeda dengan bentuk, wujud, dan keadaan sebelum terjadinya asimilasi dengan budaya lain (hlm. 2).
Gambar 2.3 Bagan Wu Xing. Sumber: Zhang, 2019
Zhang (2019) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa ada lima elemen skema warna yang mempengaruhi interior maupun ekterior arsitektural di Cina, yaitu hijau, kuning, biru, merah, dan hitam. Kelima elemen terebut sering disebut atau dikenal sebagai Wu Xing (五行) yang juga memiliki arti sebagai Lima Agen, Lima Planet, Lima Pergerakkan, Lima Proses, dan Lima Step. Dalam pengertian sebagai Lima Planet, Jin dan Chao (2014) menyebutkan planet-planet tersebut adalah Mars: 火 , Mercury: 水 , Jupiter: 木, Venus: 金, and Saturn: 土.
Zhang menjelaskan bahwa skema warna kuning merupakan representasi dari kedudukan dan tahta seseorang. Beliau menjelaskan pada jaman kaisar dan kerajaan, atap rumah kediaman seorang kaisar menggunakan atap genteng berskema warna kuning sebagai pedoman akan kejujuran dan representasi akan bumi. Skema warna hijau merupakan karakter dari kayu dan musim semi saat semua makhluk hidup berkembang biak dan bertumbuh. Pada saat musim semi juga berlangsung orientasi bagi penerus tahta. Skema warna putih merupakan karakter dari material ‘metal’ dan representasi dari kesucian, kesedihan, dan kelangkaan. Skema warna hitam merupakan lambang dari air, kemalangan, dan merupakan sebuah representasi dari kebijaksanaan. Sedangkan yang terakhir ialah skema warna merah yang merupakan karakter dari api, selalu mencari kebenranan dan kehormatan (hlm. 11-12).
2.6.2. Bentuk Interior Budaya Cina
Dalam budaya Cina, Yang (2015) menjelaskan dalam thesis-nya bahwa setiap bentuk asli dari Cina memiliki karakter pada setiap wujud dan bentuk yang diciptakan. Dalam hal ini, beliau juga memberikan beberapa contoh pattern dan bentuk asli dari beberapa perabotan yang berasal murni dari Cina. Beliau menjelaskan pada gambar pattern di atas merupakan bentuk dan wujud yang sering dipakai pada perabotan baik interior maupun eksterior. Pattern yang ditampilkan ialah gambar dari seekor naga yang sedang bergerak, api, dan awan. Dalam cerita Cina, naga menjadi tokoh yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena dalam ceritanya, ada seekor naga yang melahirnya 9 ekor bayi naga. Namun, hanya 1 di antara 9 bayi naga tersebut yang tumbuh menjadi pahlawan sejati. Satu naga inilah yang merepresntasikan pahlawan-pahlawan yang ada di Cina. Dalam ukiran atau pattern terdapat jenis gambar secara melingkar yang menggambarkan siklus kehidupan semua makhluk hidup (hlm. 44).
Gambar 2.4 Contoh pattern Sumber: Yang, hlm. 44.
Selain pattern, Yang juga memberi contoh mengenai wujud asli dari perabotan rumah lainnya. Salah satunya ialah meja. Terdapat 3 jenis meja, yaitu Zhuo (桌), An (案), and Ji (几). Setiap jenis memiliki kesamaan dalam bentuk, yaitu kotak, persegi panjang, melingkar, dan setengah lingkaran. Jenis Zhuo dan An memiliki bentuk yang mirip yaitu memiliki 4 buah kaki meja. Sedangkan jenis Ji berbeda dari yang lainnya karena bentuknya yang menyerupai setengah lingkaran (hlm. 54).
Gambar 2.5 Jenis-jenis meja Sumber: Yang, hlm. 54.
Partisi atau penyekat sering digunakan pada jaman kerajaan untuk menjaga privasi raja. Ada terdapat berbagai jenis partisi, yaitu partisi yang berdiri sendiri, partisi melengkung, partisi berdiri di atas meja, dan partisi gantung. Yang menjelaskan bahwa partisi bisa berjumlah genap ataupun ganjil. Partisi berdiri berjumlahkan 3, 5, 7, atau 9 lekukkan, sedangkan partisi gantung berjumlahkan 4, 6, atau 8 lekukkan. Setiap lekukkan panjangnya tidak lebih dari 20 sampai 30 cm. Gambar-gambar yang terdapat pada setiap partisi memiliki tujuan untuk dekorasi ruangan (hlm. 58).
Gambar 2.6 Partisi Cina. Sumber: Yang, hlm. 58.
Khan Academy membahas mengenai guci dari segi pembuatannya
hingga pada skema warna-skema warna yang baru muncul. Pada foto guci diatas merupakan guci pada kerajaan Jin (1115-1234). Pada masa kerajaan Jin, guci-guci yang sudah di gambar akan memasuki tahap pelapisan ganda untuk melindungi skema warna pada guci. Pada kerajaan Jin, skema warna-skema warna guci tidak memiliki banyak varian warna-skema warna, hanya terdapat skema warna hijau, biru, putih, kuning, dan sedikit merah. Skema warna-skema warna tersebut ialah skema warna dasar dari Cina. Bentuk gambar yang terdapat pada guci biasanya merupakan doa atau wujud permohonan pada Dewa.
Gambar 2.7 Guci Cina. Sumber: Khan Academy.
Beberapa tahun berikutnya, muncul skema warna-skema warna baru, salah satu diantaranya ialah skema warna merah muda. Dalam tradisi Cina, kupu-kupu memiliki arti yang sangat indah. Kupu-kupu sering dilambangkan dalam perayaan-perayaan besar, seperti ulang tahun atau naikknya jabatan seseorang ke kasta yang lebih tinggi. Pada awalnya, kerajaan Cina tidak mengijinkan untuk masnyarakatnya menjual guci ke luar daerah Cina. Namun seiring perkembangan teknologi dan waktu, makin banyak peminat asing yang tertarik untuk mengkoleksi guci. Hal ini menyebabkan aturan yang ada menjadi tidak efektif dan hilang. Sehingga sampai detik ini impor dan ekspor guci masih berlanjut.
Gambar 2.8 Guci Cina. Sumber: Khan Academy.
Li (2016) menjelaskan ada dua macam meja yang dikenal sebagai
Wu Deng. Jenis pertama keempat kakinya memiliki bentuk yang lurus dan
tegas. Sedangkan bentuk yang kedua keempat kakinya memiliki bentuk yang sedikit melengkung keluar dan kedalam. Perbedaan kedua meja tersebut ada pada fungsi dan tujuan. Meja dengan kaki siku-siku digunakan untuk keadaan atau ruangan yang formal. Sedangkan meja dengan kaki melengkung digunakan untuk keadaan atau ruangan yang non-formal dan lebih mengarah pada kekeluargaan (hlm. 30-32).
Gambar 2.9 Jenis dan ciri meja. Sumber: Li, hlm. 31.
Li juga menjelaskan bahwa kursi atau sofa yang ada di Cina merupakan kursi dengan multi-fungsi. Kursi tersebut dapat digunakan oleh pemiliknya sebagai tempat tidur sementara atau tidur siang. Kursi dini juga memiliki fungsi sebagai tempat untuk minum teh. Masyarakat cina akan duduk bersamaan di atas kursi kayu untuk minum teh. Maka dari itu luas panjang dari kursi tersebut ialah tidak kurang dari 150 cm. Selain itu beliau juga mengatakan bahwa ukiran yang ada di setiap sisi kanan, kiri, dan belakang merupakan represntasi dari bentuk dua ekor naga yang merupakan hewan suci. Bentuk dari naga tersebut tidak ditampilkan secara sepenuhnya. Banyak pengrajin yang hanya mengukir dari badan hingga ekor sehingga tampak seperti sebuah ukiran abstrak. Awan, api, dan naga merupakan tiga jenis gambar yang sering ada dalam setiap perabotan yang kemudian ketiga bentuk tersebut berubah dari waktu ke waktu mengikuti gaya pada tahun yang ada, contoh mosaic. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan
Gambar 2.10 Sofa kayu Cina. Sumber: Li, hlm. 55.
waktu, kursi yang awalnya merupakan kursi kayu berkembang menjadi sofa yang lebih nyaman (hlm. 55-56).
Lemenkova (2017) menjelaskan bahwa lukisan Cina mendapatkan inspirasi dari kehidupan alam, seperti gunung, burung, ataupun bunga. Pada awalnya lukisan Cina digampar pada kertas tebal yang kemudia Digambar menggunakan tinta beskema warna hitam putih atau tinta beskema warna. Penggunaan tinta menjadi ciri khas dari jenis lukisan Cina. Penggunaan tinta lebih didasari pada media yang akan digambar. Karena media yang akan digambar ialah kertas tebal, maka masyarakat Cina menggunakan tinta. Selain itu tinta merupakan salah satu media mereka untuk menulis, baik untuk menulis surat atau pengumuman. Beliau menjelaskan bahwa
pelukis-Gambar 2.11 Lukisan tinta Cina. Sumber: Lemenkova, 2017.
pelukis memanfaatkan ujung kuas untuk menciptakan bayangan agar lukisan yang bertemakan alam dapat menjadi lebih hidup.
2.7. Interactive Video
Menurut Trautman (2018) interactive video merupakan media baru untuk mengikat
customer dengan harapan dapat menggapai target marketing yang telah ditentukan.
Beliau juga mengatakan bahwa interactive video menjadi inovasi yang baru dan dijadikan sebagai senjata marketing. Menurutnya Interactive video memberikan pengalaman baru bagi setiap penontonnya sehingga penonton terbawa lebih dalam lagi ke dalam cerita. Beliau menjelaskan bahwa penonton juga akan menjalankan cerita sesuai dengan pilihan-pilihan yang telah disediakan dengan konsekuensi dan alur cerita yang berbeda-beda. Pilihan-pilihan tersebut akan membawa penonton kepada ending atau akhir cerita yang berbeda-beda juga.
Trautman (2018) menjelaskan beberapa hal yang membuat interacive video menjadi menarik, yaitu:
1. Interactive video menggunakan interaksi 2 arah.
Interactive video seolah mengajak penonton menjadi penulis cerita. Hal ini
dikarenakan penonton dapat memilih sendiri jalan cerita yang mereka mau. Hal ini juga menyebabkan penonton jadi memiliki intensitas terhadap cerita yang dimana mereka akan mencoba berbagai cara untuk mendapatkan
2. Interactive video menggunakan sistem permainan atau game.
Interactive video memberi penonton sebuah pengalaman yang tidak bisa
dirasakan saat menonton linear video atau video satu arah. Teknik game ini disebut sebagai teknik percabangan, atau membuat beberapa jalur konten bagi penonton untuk menciptakan pengalaman unik yang mereka pilih sendiri. Teknik ini akan menggiring penonton untuk mencoba laig dan lagi.
Interactive video memiliki konsep choose-your-adventure-style.
3. Interactive video menarik dan menghibur.
Pemasaran yang hebat tidak hanya menjual produk melainkan harus menyenangkan dan menghibur penonton. Interactive video membawa hiburan video pemasaran ke tingkat yang lebih baru.
4. Interactive video membiarkan penonton menjadi bagian dalam cerita. Salah satu nilai terbesar dari sebuah video adalah kemampuannya untuk menceritakan sebuah cerita dengan narasi yang kuat. Interactive video membawa cerita kepada level baru yaitu dengan cara membuat para penonton menjadi karakter dalam cerita yang akan membuat keputusan mengenai bagaimana alurnya akan berkembang.
5. Interactive video lebih berkesan.
Kemampuan interactive video dalam melibatkan penonton membuat penonton lebih cenderung mengingat produk atau jasa yang dijual.
Meskipun penonton tidak memainkan permainan dalam video, iklan
interactive video 32% lebih mudah diingat daripada video linear atau 1 arah.
Menurut pakar pemasaran, Heidi Cohen (2018), konten ini merupakan “superglue untuk perhatian pengunjung”. Cohen juga menambahkan bahwa sekitar 50% pemasar menggunakan konten interactive video dalam strategi pemasaran produk barang atau jasa mereka. Dengan melakukan video 2 arah, penonton seakan-akan dapat berinteraksi dengan perusahaan tersebut. Menurutnya, interactive video berbasiskan sistem game ini menjadi lebih menarik dan mudah untuk mempengaruhi penonton untuk membeli produk yang sedang dipromosikan.
Inetractive video dapat meng-engage penonton lebih dalam dibandingkan dengan
video dengan 1 arah atau linear. Survey State of Video Marketing Wyzowl 2017 mengatakan bahwa 92% dari mereka yang pernah mencoba interactive video mengatakan ini adalah alat bisnis yang sangat efektif. Interactive video menciptakan relevansi bagi penonton yang akan berdampak pada perusahaan tersebut.
Pada interactive video penonton akan mendapatkan berbagai sudut pandang yang berbeda (Zeman, 2017, hlm. 29). Perspektif atau sudut pandang pada dasarnya adalah menceritakan kembali cerita apa yang telah didapat. Perspektif membuktikan bahwa suatu peristiwa yang sama memiliki banyak cerita tergantung dari sudut pandang penonton (hlm.30). Beliau mengatakan dalam interactive video, penonton dapat dijadikan sebagai God’s Eye. God’s eye memungkinkan penonton untuk menentukan sifat dan watak dari karakter dengan berbagai pilihan yang telah disediakan. Dengan menggunakan teknik God’s eye, penonton akan merasakan
ketegangan yang lebih besar karena penonton juga yang telah menentukan nasib atau alur cerita si karakter dalam cerita (hlm. 31). Seperti contoh, ada dua sejoli yang sedang duduk di taman, pergerakkan kamera menunjukkan adanya bom di bawah bangku taman, namun satu-satunya yang mengetahui keberadaan bom tersebut hanya penonton.