• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Jambi. Oleh: Nys. Arfa 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Jambi. Oleh: Nys. Arfa 1"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Jambi

Oleh: Nys. Arfa1

Abstrak

Tujuan Perkawinan adalah membentuk dan membina keluarga bahagia oleh suami maupun isteri. Namun kenyataannya bahwa kehidupan rumah tangga yang kelihatannya serasi dan bahagia, ternyata sering terjadi tindak kekerasan di dalamnya. Tindak kekerasan yang terjadi seringkali adalah kekerasan yang menimpa kaum perempuan (isteri) yang disebut hidden crime, karena baik pelaku maupun korban berusaha untuk menutupinya atau domestic violence. Untuk mengukur secara tepat luasnya kekerasan terhadap perempuan sangat sulit karena hal ini berarti harus memasuki wilayah peka kehidupan perempuan, yang mana perempuan sendiri enggan membicarakannya.

Kondisi di Indonesia tidak jauh berbeda. Sekitar 24 juta perempuan Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan.. Tindak kekerasan dominan yang dialami oleh perempuan Indonesia misalnya penganiayaan, perkosaan, pelecehan atau perselingkuhan yang dilakukan oleh suami. Pada tahun 2004 LBH APIK Jakarta telah menerima pengaduan 389 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang 77 diantaranya terjadi dari kekerasan fisik. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi tersebut, merupakan salah satu bukti nyata bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan suatu hal yang baru, untuk itu perlu adanya upaya penanggulangan yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah

sehingga perlindungan terhadap korban dapat terwujud dan

pertanggungjawaban terhadap pelaku kekerasan tersebut dapat dilaksanakan sesuai Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Kata Kunci : Rumah tangga, kekerasan, kaum perempuan

A. Pendahuluan

Pada dasarnya kekerasan terhadap perempuan merupakan refleksi dari kekuasaan laki-laki atau perwujudan kerentanan perempuan dihadapan laki-laki, bahkan gambaran dari ketidak adilan terhadap perempuan. Dilihat dari perspektif feminis, kekerasan terhadap perempuan terjadi karena adanya struktur kekuasaan

1

(2)

yang lebih menguntungkan laki-laki atau karena budaya patrinial yang masih kuat di masyarakat. Pada saat orang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan’ maka dapat dikatakan bahwa perempuan dalam situasi apapun tetap rentan untuk menjadi korban dari struktur atau sistem (sosial, budaya, maupun politik) yang menindas (Press Release Lokakarya WCC,2000). Hal ini diperkuat oleh adanya pendapat bawa posisi perempuan yang lemah membuat keberdayaan mereka untuk melindungi diri juga kurang. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dimana saja termasuk dalam lingkup rumah tangga. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagiah, aman, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Keutuhan dan kerukunan keluarga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhrinya terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidak amanan atau ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Untuk menegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat harus memahami dengan benar faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, sehingga memudahkan melakukan pencegahan, perlindungan dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah pancasila dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada dasarnya pernikahan adalah sama yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal serta membangun, membina dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai di samping untuk memperoleh keturunan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

(3)

Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap isteri yang terjadi pada saat ini mengalami peningkatan baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya. Hal ini tentunya mendapat perhatian dari semua pihak untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan, faktor-faktor penyebabnya dan bagaimana perlindungan hukum bagi isteri yang menjadi korban kekerasan suami.

Kekerasan dalam rumah tangga yang dapat kita lihat melalui kekerasan terhadap isteri bervariasi, seperti kekerasan fisik , phisikis, seksual dan kekerasan berupa penelantaran, hal ini diancam dengan ketentuan pidana yang terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dapat menggunakan aturan-aturan hukum baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga .

Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material. Kemudian dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dapat kita lihat dengan adanya yang menentukan hak dan kewajiban suami isteri, yaitu wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Dari kedua Pasal di atas menggambarkan adanya larangan kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan oleh suami terhadap isteri. Apalagi menurut pandangan bangsa Indonesia bahwa Lembaga Perkawinan adalah lembaga yang sakral. Namun kenyataan membuktikan, bahwa telah terjadi kekerasan yang di alami oleh perempuan.

Berbagai bentuk kekerasan fisik kepada isteri tidak hanya bersifat fisik seperti melempar sesuatu, memukul, menampar, sampai membunuh. Namun juga

(4)

bersifat non fisik seperti menghina, berbicara kasar, ancaman. Kekerasan seperti ini adalah dalam bentuk kekerasan psikologi/kejiwaan.

Dari kasus-kasus seperti di atas, ternyata masih banyak kasus kekerasan terhadap isteri yang tidak di laporkan dengan alasan, bahwa hal ini merupakan urusan intern keluarga. Suatu penomena dalam masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa menceritakan keburukan atau tindak kekerasan yang di lakukan oleh suami sendiri adalah seperti membuka aib keluarga sendiri pada hal kita ketahui bersama bahwa tindakan suami tersebut merupakan suatu tindakan kriminal.

Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah perlindungan hukum bagi perempuan khususnya isteri yang menjadi korban kekerasan suami. Walaupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada beberapa Pasal yang mampu menjerat perlakukan kekerasan ini, namun tindak kekerasan suami terhadap istri masih sering terjadi.

Seringkali tindak kekerasan ini disebut hidden crime (kejahatan yang tersembunyi). Disebut demikian, karena baik pelaku maupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik. Kadang juga disebut domestic violence (kekerasan domestik), karena terjadinya kekerasan di ranah domestik.

Dalam kenyataannya sangatlah sulit untuk mengukur secara tepat luasnya kekerasan terhadap perempuan, karena hal ini berarti harus memasuki wilayah peka kehidupan perempuan, yang mana perempuan sendiri enggan membicarakannya. Namun demikian, terdapat banyak studi yang melaporkan mengenasi jenis kekerasan yang sangat meluas yaitu kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan yang dilakukan oleh suami atau pasangan. Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa di Turki jumlah perempuan yang mengalami kekerasan mencapai 57,9% pada tahun 1998. Di India jumlah tersebut mencapi 49% pada tahun 1999, di Amerika Serikat mencapai 22,1% dan di Bangladesh laporan terakhir menyebutkan pada tahun 2000, 60% perempuan menikah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami. Diperkirakan angka-angka tersebut tidak mencerminkan keadaan yang

(5)

sebenarnya, mengingat masalah kekerasan dalam rumah tangga masih di anggap tabu untuk diungkapkan. Banyak istri yang tidak melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, bahkan cenderung menutup-nutupi masalah ini, karena takut akan cemoohan dari masyarakat maupun keluarga sendiri. Di samping itu, sikap mendiamkan tindak kekerasan yang menimpa diri perempuan merupakan upaya untuk melindungi nama baik keluarga. Perempuan terpaksa bersikap mendiamkan perbuatan tersebut karena adanya budaya yang sudah terpatri berabad-abad bahwa istri harus patuh, mengabdi dan tunduk pada suami. Pengorbanan istri seperti itu seringkali tidak mendapat imbalan berupa penghargaan yang setimpal. Memang ironis bahwa didalam ranah domestik (rumah tangga), dimana perempuan memberikan tenaga dan pikiran untuk mengurus dan merawat anggota keluarga yang lain, justru disitulah jutaan perempuan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tujuan perkawinan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, kadang-kadang terhambat oleh berbagai permasalahan yang terjadi antara suami dan istri. Mereka pada umumnya menganggap bahwa permasalahan rumah tangga merupakan masalah yang sangat pribadi. Selain itu, dianggap sebagai hak laki-laki (suami) atas tubuh istrinya sendiri, yang resmi dinikahi. Di samping ada suatu anggapan bahwa kekerasan tersebut merupakan cara suami mendidik istri. Kemudian juga terdapat anggapan bahwa istri milik suami, sehingga suami dapat memperlakukan istri semaunya. Dengan anggapan demikian sikap suami terhadap istri cenderung menjadikan istri sebagai objek, bukan sebagai subjek atau individu (pribadi) yang mempunyai hak asasi yang patut dihormati. Padahal dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa:

(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat

(2) Masing-masing pihak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

(6)

Disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan saat bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap perempuan. Lahirnya Undang-undang tersebut merupakan bagian dari penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Gagasan mengenai pentingnya sebuah Undang-Undang kekerasan dalam rumah tangga didasarkan atas pengalaman para perempuan korban kekerasan yang terjadi. Para korban tidak saja mengalami kekerasan fisik, tetapi juga bentuk-bentuk lain seperti psikis, seksual maupun ekonomi.

Bagi masyarakat Indonesia sendiri, kekerasan dalam rumah tangga bukanlah fenomena yang baru

.

Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengatakan bahwa 11,4 % dari 217 juta penduduk Indonesia atau 24 juta terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga (Soedjendro, 2005). Menurut catatan Mitra Perempuan, hanya 15,2 % perempuan yang mengalami KDRT menempuh jalur hukum, dan mayoritas (45,2 %) memutuskan pindah rumah dan 10,9 % memilih diam. Berdasarkan studi kasus persoalan Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang masuk di Rifka Annisa Women’s Crisis Center pada tahun 2008, dari 125 kasus KTI, 11 % diantaranya mengakhiri perkawinannya dengan perceraian, 13 % mengambil jalan keluar dengan cara melaporkan suami ke polisi, ke atasan suami, atau mengajak berkonseling, dan mayoritas korban (76 %) mengambil keputusan kembali kepada suami. (Hayati, 2002). Statistik Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre tahun 2009 (hingga 14 Desember) mencatat jumlah layanan pengaduan dan bantuan diberikan kepada 204 orang perempuan dan anak-anak yang mengalami kasus kekerasan terutama KDRT (91,67%).

Meskipun jumlah perempuan yang baru dibantu layanan Hotline & konseling di 3 tempat layanan Mitra Perempuan (Jakarta, Tangerang & Bogor) di tahun ini menurun 26,88% dibandingkan tahun sebelumnya (2008: 279 orang, 2007: 283 orang), tetapi jenis kasus dan dampak kekerasan yang dialami oleh korban cukup serius dan terjadi peningkatan jumlah perempuan yang

(7)

menempuh upaya hukum sebagai implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Data diatas membuktikan bahwa angka korban KDRT di Indonesia cukup besar, dan hanya sedikit korban yang menempuh jalur hukum. Sedangkan sebagian besar korban lebih memilih kembali pada suami dan melanjutkan hidup dengan kekerasan.

Beranjak dari Keadaan di atas maka dapat dirumuskan permasalahannya yaitu :

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri?

2. Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menanggulangi tindak kekerasan dalam rumah tangga ?

B. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT) Sebelum berbicara tentang upaya yang dilakukan untuk meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga maka perlu dilihat faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Maraknya kekerasan erat kaitannya dengan sifat agresif makhluk hidup termasuk manusia untuk mempertahankan diri agar survive, disamping itu terjadinya kekerasan mempunyai akar yang kuat pada pola pikir materialism dan sikap egois, sehingga kekerasan telah menjadi fenomena sosial yang terjadi dimana-mana, baik dalam masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Kekerasan terhadap sesama manusia seakan tidak mengenal batas ruang dan waktu. Kekerasan bukan saja terjadi dalam ruangan publik, tetapi juga terjadi dalam ruang domestik (rumah tangga).

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah yang sulit diatasi, karena pada umumnya masyarakat menganggap bahwa masalah kekerasan ini merupakan masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Padahal dampak yang ditimbulkan dari kekerasan dalam rumah tangga sangat besar dan merupakan masalah social yang harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius agar terwujud kedamaian dalam masyarakat. Perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, mempunyai hak atas

(8)

rasa aman dan mendapatkan perlindungan dari ancaman serta bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di kta Jambi, maka yang pertama harus di lihat adalah gambaran dari hasil penelitian tentang jumlah kekerasan dalam rumah tangga yang di laporkan pada Polisi Resort Polresta Jambi selama 4 tahun terakhir yaitu tahun 2010-2013 dan dapat di lihat pada tabel 1 berikut ini :

Tabel 1.

Jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga dilaporkan tahun 2010-2013

NO Tahun Terjadinya Kekerasan Jumlah Kasus

1. 2010 20

2. 2011 37

3. 2012 41

4. 2013 (Agustus) 27

Sumber: Unit PPA Polresta Jambi

Data di atas menunjukan jumlah kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan kepada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polresta Jambi tahun 2010 yaitu ada 20 kasus, pada tahun 2011 ada 37 kasus, tahun 2012 ada 41 kasus dan tahun 2013 sampai bulan Agustus terdapat 27 kasus. berarti jumlah kasus kekerasan terhadap istri setiap tahun mengalami peningkatan. Dengan demikian jumlah kasus yang di laporkan pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Jambi selama periode 2010-2013 sejumlah 123 kasus yang menunjukkan kasus kekerasan terhadap istri cukup tinggi.

(9)

Untuk mengetahui penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, maka 10 orang responden telah memberikan jawaban yang bervariasi atas pertanyaan ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2

Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga

NO Penyebab Kekerasan Terhadap

Responden

Jumlah Responden

1 Ekonomi 5

2 Selingkuh 3

3 Perilaku 2

Sumber : Data primer diolah dari kuisoner, 2013

Dari data di atas dapat terlihat bahwa ada beberapa hal yang menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga, yaitu :

1. Faktor Ekonomi 2. Faktor Perselingkuhan 3. Faktor perilaku

Menurut Sri Wahyuni (Kanit PPA Polresta Jambi), bahwa korban pada umumnya datang melapor dan mengadu hanya mengaku telah dianiaya tetapi tidak jelas apa penyebabnya sehingga dianiaya. Walaupun ada korban yang mengatakan faktor penyebabnya adalah faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Korban biasanya tidak mau menceritakan hal sebenarnya mengapa ia dianiaya, sehingga polisi hanya memproses pengaduan tersebut tanpa melihat lebih jauh faktor penyebabnya. Faktor ekonomi dimaksud adalah masalah penghasilan suami, sehingga seringkali

(10)

menjadi pemicu pertengkaran yang berakibat terjadinya kekerasan fisik dan penelantaran rumah tangga. Selanjutnya ia mengemukan bahwa selain faktor ekonomi yang dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah faktor perselingkuhan yang dapat menyebakan atau berujung pada kekerasan fisik dan penelantaran ekonomi. Kekerasan fisik dapat terjadi karena antara pelaku dan korban selalu cekcok atau bertengkar karena adanya perselingkuhan dari salah satu atau kedua-duanya masing-masing berselingkuh dengan orang lain. Begitu pula tentang penelantaran memicu adanya pertengkaran yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat dilihat ada tabel berikut rumah tangga yang terjadi karena adanya perselingkuhan yaitu pelaku sering meninggalkan rumah tanpa alasan, sehingga tidak mengurus lagi orang-orang dalam lingkup rumah tangganya. Faktor perilaku yang dapt menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga adalah perilaku buruk seseorang seperti seseorang yang mempunyai sifat tempramen tinggi, gampang marah, kasar berbicara, suka main judi, pemabuk dan mudah tersinggung, pencemburu dan sifat tersebut dapat dengan cepat terpengaruh untuk melakukan kekerasan terhadap orang-orang di sekelilingnya.

Faktor Ekonomi secara umum dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Kasus-kasus yang dilaporkan karena alasan ekonomi memang pada umumnya karena penghasilan kurang yaitu ada tuntutan istri yang selalu minta lebih kepada suami, sedangkan suami tidak mampu memenuhinya. Tetapi ada juga dari yang berpenghasilan cukup atau berlebih yaitu karena korban atau istri tidak bisa mengatur keuangan rumah tangga, sehingga berapapun besarnya uang yang diberikan selalu habis. Faktor ekonomi juga bervariasi bentuknya, misalnya istri selalu minta uang belanja melebihi jumlah penghasilan suaminya. Si suami yang punya tempramen tinggi dan cepat marah setiap istri minta uang belanja selalu dibalas kata-kata kasar bahkan dengan pukulan. Kasus lain dimana pelaku bukan karna kekurangan tetapi berlebih atau cukup sehingga selain memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan cukup, juga memakai untuk membiayai hidup

(11)

perempuan selingkuhnya, sehingga sedikit tersinggung langsung memaki-maki atau memukul istrinya karna untuk menutupi perselingkuhannya.

Kasus yang lain yakni ketika istrinya selalu menghina, selalu mencelanya bahkan memaki-makinya kalau ada masalah di dalam rumah tangga, bukan karena kurang uang bahkan dapat dikatakan berlebih hanya dalam hal ini disebakan karena penghasilan istri yang memenuhi segala keperluan rumah tangga. Kalau suami merasa kesal diperlakukan demikian cekcok maka biasanya berujung pada kekersan fisik.

Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi karena faktor ekonomi relatif dapat di lakukan baik yang berpenghasilan cukup maupun yang berpenghasilan kurang dapat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, hanya bentuknya beda.

Menurut Sri Wahyuni Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Berbagai alasan yang secara umum nyatakan bahwa karena adanya perselingkuhan dari salah satu pihak baik yang dilakuan oleh suami atau istri keduanya dapat menjadi pemicu adanya kekerasan dalam rumah tangga yang bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, psikis dan penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik dapat terjadi apabila suami yang berselingkuh tetapi istri selalu mempersoalkan masalah tersebut, selalu marah-marah, cemburu. Hal ini dapat memicu emosi suami untuk bertindak kasar sampai memukul istri., demikian juga jika istri yang selingkuh apabila suami mengetahui ada yang langsung memukul istrinya ada pula yang tidak langsung seperti memperingati istrinya kalau menurut larangan suami maka dapat terjadi percekcokan berujung pada kekerasan fisik terhadap istri. Hal ini juga dapat terjadi pada anak perempuan, ipar perempuan dan pembantu perempuan yang berpacaran dengan seseorang yang tidak direstui keluarga, tentunya ia dilarang berhubungan tapi apabila mereka tidak mengindahkan larangan tersebut, maka dapat pula berujung pada kekerasan fisik.

(12)

Kekerasan psikis ini terjadi apabila suami selingkuh tetapi istri tidak mau atau tidak mampu untuk mempersoalkan karena alasan takut di pukul, takut diceraikan atau malu pada keluarga, maka ia memilih untuk diam atau dengan perasan sakit hati (psikis). Seperti yang dikemukan oleh ibu Guswati salah satu dari korban kekerasan dalam rumah tangga, bahwa suaminya lebih dari 3 tahun terakhir berhubungan dengan seseorang perempuan yang tidak jelas satusnya apakah telah kawin siri atau belum. Telah membuat saya menderita batin, merasa tertekan, dilarang banyak keluar rumah tanpa izin dan selalu dihantui rasa ketakutan kalau saya bertanya saja misalnya dari mana terlambat pulang suami langsung marah-marah dan merusak barang-barang yang ada di dekatnya. Suami saya tidak pernah melakukan kekerasan fisik terhadap saya karena berusaha menghindari pertengkaran yang dapat berujung pada kekerasan fisik.

Penelantaran rumah tangga, bentuk kekerasan ini dapat pula terjadi karena apabila seorang suami mempunyai selingkuhan, biasanya melakukan hal-hal yang di luar kebiasaannya, seperti mengurangi jatah belanja istrinya, sering meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan istri. Seperti yang dikemukan oleh ibu Sita bahwa selama satu tahun suaminya selingkuh dengan seorang perempuan walau suaminya tidak sampai memukul, tetapi suaminya tidak lagi memperhatikan saya dan anaknya serta uang belanja, sekarang suami yang mengatur dan bahkan berkurang. Suami saya sering keluar rumah bahkan sampai bermalam dan tidak memberitahukan kepada saya seperti biasanya termasuk tidak meninggalkan uang belanja. Berdasarkan gambaran yang dikemukan tersebut, maka faktor perselingkuhan sebenarnya banyak mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Faktor perilaku seseorang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga baik pelaku maupun korban. Faktor perilaku disini adalah kebiasaan buruk yang dimiliki seseorang seperti: gampang marah, pemain judi, pemabuk, pencemburu, cerewet, egois, kikir dan tidak bergaul dengan lingkungan. Perilaku yang demikian sebenarnya dapat menjadi penyebab apabila ada faktor lain yang turut mempengaruhi sehingga seseorang yang berperilaku tersebut dengan lingkungan.

(13)

Bapak Pandu salah seorang pelaku kekerasan terhadap isteri, mengaku ia mempunyai perilaku yang buruk yaitu gampang marah, pencemburu dan suka minum sampai mabuk dan telah dua kali istri saya melapor kepada pihak yang berwajib karena melakukan kekerasan dan keonaran dalam rumah.

Dalam suatu tindak pidana tentulah terdapat faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana tersebut. Hal ini digambarkan dalam peristiwa pasangan suami isteri yang mempunyai pola hidup dengan penuh kekerasan telah mempunyai anak, yang paling merasakan dampaknya adalah anak-anak. Memang dampak secara fisik tidak akan selalu ada akan tetapi dampak secara psikologis itulah yang paling berbahaya sehingga dimungkinkan anak-anak tersebut ketika besar dan telah berkeluarga kelak akan melakukan hal yang sama terhadap isteri atau keluarganya sebagaimana bapak dan ibunya dahulu.

Beberapa kasus yang terjadi, dimana pelaku maupun korban pada umumnya mereka yang mempunyai perilaku kurang baik, seperti pemarah, pencemburu, egois, boros, pemain judi, pemabuk, suka main perempuan dan tidak atau kurang taat menjalankan ibadah sesuai agama yang dianut dan diyakininya, dapat menjadi pemicu terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

C. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Meminimalisir Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isteri telah sedemikian meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini sehingga menjadi masalah sosial yang menuntut perhatian yang serius dari berbagai pihak. Setelah melihat kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang semakin marak terjadi di Indonesia khususnya di kota Jambi, maka hal ini membutuhkan perhatian khusus dari semua kalangan, terkhusus dari kepada pemerintah. Karena dampak yang di timbulkan dari adanya kekerasan dalam rumah tangga dapat berakibat fatal terhadap keharmonisan rumah tangga seseorang.

Dalam upaya penanggulangan dan pencegahan pelaku kekerasan dalam rumah tangga tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi pendekatan sarana penal dan non penal tersebut harus didukung juga dengan

(14)

meningkatnya kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Dikatakan sebagai salah satu bagian, karena selama ini ada persepsi bahwa budaya hukum hanya meliputi kesadaran hukum masyarakat saja.

Upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga dilakukan dengan dua cara, yaitu lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, dan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat akan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan.

Adapun langkah-langkah yang dapat di lakukan apabila istri mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut:

a). Memberikan kesadaran kepada para ibu rumah tangga, sebagai mayoritas korban tentang hak yang dimiliki tentang kesetaraan peran dalam rumah tangga.

b). Memberikan pengertian dan pemahaman tentang payung hukum serta proses hukum yang bisa dijalani, apabila mereka menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

c). Memberikan keyakinan akan adanya perlindungan dari korban kekerasan dalam rumah tangga yang melaporkan masalah KDRT pada pihak yang berwajib, yang dalam hal ini perlindungan akan diberikan UPPA. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak memberikan pelayanan berupa bimbingan konseling yang berupa nasehat-nasehat atau petunjuk tentang cara bagaimana menghadapi masalah atau persoalan rumah tangga yang dialaminya, juga memberikan masukan apakah kasusnya akan dilanjutkan atau diselesaikan secara kekeluargaan.

(15)

Jika korban merasa jiwanya terancam atau diintimidasi dari pihak pelaku, maka wajib diberi perlindungan agar korban merasa aman, bila perlu menempatkan korban disuatu tempat yang tidak diketahui oleh pelaku.

d). Menyadarkan pada para korban, bahwa tidak perlu malu untuk mengekspos atau melaporkan kasus pada pihak yang berwajib, sebab KDRT bukanlah sebuah aib melainkan sebuah tindakan kriminal yang perlu mendapatkan penanganan secara hukum.

e). memberikan kesadaran kepada kaum pria tentang adanya batasan wewenang yang bisa dilakukan terhadap istrinya.

Langkah-langkah tersebut di atas pada dasarnya merupakan upaya bagi seorang istri untuk mencari kebenaran tentang adanya suatu tindak pidana yang di lakukan oleh suami terhadap istri guna memperoleh perlindungan dan keadilan.

Untuk itu diperlukan upaya-upaya meminimalisir sejak dini sebagai bentuk antisipasi terhadap terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga di Kota Jambi.

E. Kesimpulan

Jumlah kekerasan dalam rumah tangga selama tahun 2010 sampai dengan 2013 yang dilaporkan kepada pihak kepolisian Polresta Jambi menunjukkan adanya peningkatan kasus. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di kota Jambi adalah faktor ekonomi, faktor perselingkuhan, dan faktor perilaku. Hal-hal yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yaitu lewat jalur ‘penal’ (hukum pidana) dan lewat jalur ‘non penal’ (bukan/diluar hukum pidana). Upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga di kota Jambi merupakan tanggung jawab bersama oleh pihak kepolisian, pemerintah dan masyarakat yaitu upaya yang bersifat preventif dan upaya represif.

Menyikapi pentingnya upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga tersebut, penulis menyarankan kepada semua pihak yang terkait, untuk dapat memberikan perlindungan terhadap isteri yang menjadi korban kekerasan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

(16)

Dalam Rumah Tangga tetap disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga akan tahu tentang hak dan kewjibannya.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 1996, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung.

Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta

Muladi, 1997, Perlindungan korban dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro.

Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)

Perspektif Eksistensiolisme dan Abolusionisme, Abardin, Bandung.

Peraturan Pemerintah R.I. No.2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan saksi dan Korban

--- R.I. No.4 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI. No.Pol 10 tahun 2007,tentang organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisa keragaman, perbedaan rasio penambahan tepung terigu dan tepung kentang hitam memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa ( hedonic )

39. Terbuka kepada pelajar Perempuan sahaja 40. Terletak 600m dari Politeknik Melaka 42.. Terbuka kepada pelajar lelaki sahaja 45. Terletak 600m dari Politeknik Melaka

Sesuai dengan data hasil belajar serta keaktifan siswa yang meningkat dari kondisi awal ke siklus I kemudian ke siklus II maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran materi

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mencanangkan MP3EI (Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development) untuk melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang

Dalam praktek pembiayaan murabahah dana tambahan pembelian rumah di BPR Syari'ah Artha Surya Barokah nasabah datang untuk mengajukan permohonan pembiayaan

ini adalah anak muda Sidoarjo telah berlomba dalam aksi peduli lingkungan dan melaksanakan kegiatan bersih-bersih lingkungan ( trashmob ) dengan tujuan dari Program

Mengingat bahwa masalah yang dapat terjadi pada sistem ventilasi sangat luas cakupannya, maka pembatasan-pembatasan yang diambil sehubungan dengan tinjauan perawatan sistem

Setelah bahan dan alat tersebut dilakukan pengujian emisi gas buang kendaraan dengan menggunakan Star GAS 898 dengan menggunakan variasi putaran engine untuk