• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Antraknosa pada Tanaman Kakao

Di Indonesia penyakit kakao yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum sudah lama dikenal, penyakit ini tersebar di semua negara penghasil kakao dan dikenal sebagai antraknosa. Di Asia penyakit terdapat di Malaysia, Brunei, Filipina, Sri Lanka, dan India Selatan (Semangun, 2000).

Colletotrichum umumnya menyerang daun muda, dan pengenalan penyakit

antraknosa dapat dilakukan dengan melihat gejala khusus pada bagian tanaman yang terserang. Serangan ringan pada daun muda akan memperlihatkan gejala bintik-bintik nekrosis berwarna cokelat. Setelah daun berkembang, bintik nekrosis akan menjadi bercak berlubang dengan halo berwarna kuning Gambar 1. Pada daun-daun muda yang terserang berat biasanya mudah mengalami kerontokan sehingga menyebabkan ranting gundul dan biasanya diikuti dengan kematian ranting (Wahyudi et al., 2008).

Gambar 1. Gejala penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp.

Colletotrichum mempunyai miselium yang jumlahnya agak banyak, hifa bersepta

tipis (Gambar 2), mula-mula terang kemudian gelap (Mehrotra, 1983). Konidiofor pendek, tidak bercabang, tidak bersepta, dengan ukuran 7-8 x 3-4 μm (Weber, 1973). Pada daun muda yang agak dewasa menghasilkan konidium jamur yang berwarna merah jambu

(2)

(Semangun, 2000). Massa konidia yang berwarna merah jambu ini akhirnya menjadi coklat gelap (Weber, 1973).

Gambar 2. Morfologi hifa (perbesaran 10x100).

Colletotrichum umumnya mempunyai konidium hialin, bersel satu, berukuran 9-24

x 3-6 μm tidak bersekat, jorong memanjang, terbentuk pada ujung konidiofor yang sederhana. Pada saat berkecambah konidium yang bersel satu tadi membentuk sekat. Pembuluh kecambah membentuk apresorium sebelum mengadakan infeksi. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut-rambut (seta) yang kaku dan berwarna coklat tua (Semangun, 2000).

Spora Colletotrichum (Gambar 3) tumbuh baik pada suhu 25-28°C, sedang suhu di bawah 5°C dan diatas 40°C tidak dapat berkecambah. Pada kondisi yang lembab, bercak-bercak pada daun akan menghasilkan kumpulan konidia yang berwarna putih. Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti peneduh yang kurang, kesuburan tanah yang rendah, atau cabang yang menjadi lemah karena adanya kanker batang. Jamur juga dapat menginfeksi melalui bekas tusukan atau gigitan serangga (Semangun, 2000).

(3)

Gambar 3. Spora Colletotrichum sp. (perbesaran 10 x 100).

Jamur Colletotrichum menghasilkan konidia dalam jumlah banyak. Konidia terbentuk pada permukaan bercak pada daun terinfeksi, dan konidia tersebut mudah lepas bila ditiup angin atau bila kena percikan air hujan. Konidia sangat ringan dan dapat menyebar terbawa angin sampai ratusan kilometer sehingga penyakit tersebar luas dalam waktu yang singkat (Soepana, 1995). Konidia mungkin juga disebarkan oleh serangga (Semangun, 2000).

2.2 Penyakit Penting Lainnya pada Tanaman Kakao

Penyakit VSD (Vascular Streak Diseases) disebabkan oleh Oncobasidium

theobromae, yang dapat menyerang di pembibitan sampai tanaman dewasa. Gejala

tanaman terserang, daun-daun menguning lebih awal dari waktu yang sebenarnya dengan bercak berwarna hijau, dan gugur sehingga terdapat ranting tanpa daun (ompong). Bila permukaan bekas menempelnya daun diiris tipis, akan terlihat gejala bintik tiga kecoklatan. Permukaan kulit ranting kasar dan belang, bila diiris memanjang tampak jaringan pembuluh kayu yang rusak berupa garis-garis kecil berwarna kecoklatan.

Penyakit busuk buah disebabkan oleh jamur Phytopthora palmivora yang dapat menyerang buah muda sampai masak. Buah yang terserang nampak bercak bercak coklat kehitaman, biasanya dimulai dari pangkal, tengah atau ujung buah. Penyakit kanker batang (Trunk Cancer) disebabkan oleh jamur yang sama dengan penyebab penyakit busuk buah yaitu Phytopthora palmivora. Gejala kanker diawali dengan adanya bagian

(4)

batang/cabang menggembung berwarna lebih gelap/ kehitam-hitaman dan permukaan kulit retak.

Penyakit jamur akar (Root fungus) disebabkan oleh jamur akar putih Rigidoporus

lignosus, jamur akar merah Ganoderma philippii dan jamur akar coklat Phellinus noxius.

Penyakit ini menular melalui kontak, umumnya terjadi pada pertanaman baru bekas hutan. Pembukaan lahan yang tidak sempurna, karena banyak tunggul dan sisa-sisa akar sakit dari tanaman sebelumnya tertinggal di dalam tanah akan menjadi sumber penyakit.

2.3 Kitin dan Bakteri Kitinolitik

Kitin merupakan homopolimer dari (1,4)-β- N asetil-D-glukosamin. Senyawa ini merupakan salah satu senyawa yang paling melimpah di alam dengan produksi tahunan diperkirakan sebesar 1010-1011 ton. Karena produksi kitin di alam sangat tinggi, maka proses daur ulang merupakan hal yang sangat penting. Degradasi kitin ini terutama dilakukan oleh mikroorganisme, karena kitin merupakan sumber karbon dan nitrogen untuk pertumbuhan mikroorganisme. Distribusi kitin sangat luas karena merupakan komponen struktural berbagai jenis organisme. Kitin dapat dijumpai pada prokariot, protista, dan sangat melimpah pada kapang (Gooday, 1990). Mikroorganisme yang memproduksi kitinase telah dilaporkan sebagai agen biokontrol untuk berbagai jenis jamur penyakit tanaman (Chernin et al., 1995), antara lain Bacillus cereus UW85, yang telah

terbukti menjadi agen biokontrol yang dapat mengendalikan Phytophthora pada penyakit

damping off dan akar busuk pada tanaman kedelai. B. cereus strain 65 memproduksi

kitobiodase juga ditemukan efektif terhadap R. solani dalam kapas (Chien, 2004).

Kitin pada jamur berbentuk mikrofibril yang memiliki panjang yang berbeda tergantung pada spesies dan lokasi selnya. Mikrofibril merupakan struktur utama dari sel jamur yang terdiri atas jalinan rantai polisakarida yang saling bersilangan membentuk anyaman. Kandungan kitin pada jamur bervariasi dari 4-9 % berat kering sel (Rajarathanam et al ., 1998).

(5)

Bakteri kitinolitik sering kali menghasilkan berbagai gen kitinase, berdasarkan cara kerja hidrolisis kitinase dikelompokkan menjadi tiga tipe utama (Pudjihartati, 2006), yaitu: (i) endokitinase yang memotong secara acak polimer kitin secara internal sehingga menghasilkan oligomer pendek, (ii) eksokitinase (1,4-β-ketobiosidase), yang memotong unit trimer ketobiosa pada ujung terminal polimer kitin, dan (iii) N-asetilglukosamidase, yang memotong unit monomer pada ujung terminal polimer kitin. Menurut Oku (1994), peranan kitinase dalam pertahanan tanaman terhadap serangan patogen terjadi melalui dua cara, yaitu: (i) menghambat pertumbuhan cendawan dengan secara langsung menghidrolisis dinding miselia cendawan dan (ii) melalui pengelupasan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian memicu reaksi ketahanan sistemik (systemic

acquired resistance) pada inang.

2.4 Potensi Bakteri Kitinolitik sebagai Pengendali Hayati

Pengendalian hayati khususnya pada penyakit tumbuhan dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 sampai 1930 ketika pertama kali diperkenalkan antibiotik yang dihasilkan mikroorganisme tanah (Khalid et al., 2004). Tetapi beberapa percobaan belum berhasil sampai penelitian mengenai pengendalian hayati terhenti selama kurang lebih 20 tahun (Baker et al., 1985). Sekarang ini sudah menjadi satu pengetahuan bahwa pengendalian hayati memainkan peranan penting dalam pertanian pada masa mendatang. Ini terutama disebabkan kekhawatiran terhadap bahaya penggunaan bahan kimia sebagai pestisida (Hasanuddin, 2003). Kepedulian dalam kesehatan dan lingkungan akibat menggunakan pestisida inilah yang mendorong peneliti dalam mencari alternatif lain untuk mengontrol penyakit dengan menggunakan mikroorganisme sebagai agen biokontrol (Martin & Lopper, 1999). Kesadaran akan bahaya penggunaan pestisida sebagai bahan beracun bagi kelangsungan hidup ekosistem dan mahluk hidup,terutama manusia dan hewan. Merupakan titik awal lahirnya konsep pengendalian hayati (Yodha, 2010).

(6)

Dalam kaitan dengan pengendalian hayati tanaman agen biokontrol, dapat berefek langsung berupa kompetisi untuk nutrisi, produksi antibiotik, enzim litik, inaktivasi patogen,dan parasitisme. Efek tidak langsung mencakup semua aspek yang menghasilkan perubahan morfologi dan biokimia dalam tanaman inang (Gohel et al ., 2005).

Pengendalian hayati merupakan pemanfaatan spesies-spesies mahluk hidup tertentu untuk mengendalikan hama tanaman. Spesies-spesies tersebut mewakili sejumlah hewan invertebrata seperti serangga, tungau dan nematode dan spesies-spesies dari golongan rendah seperti jamur bakteri dan virus. Pemanfaatan spesies tersebut sebagai pengendali hayati disebabkan karena adanya interaksi antara dua spesies mahluk hidup atas keuntungan yang satu karena memangsa dan yang lainnya dirugikan karena dimakan (Nyoman, 1995).

Salah satu bentuk pengendalian hayati yang sudah banyak digunakan adalah dengan menggunakan berbagai jasad mikroorganisme (Duffy, 1995) seperti bakteri kitinolitik. Sejumlah mikroba telah dilaporkan dalam berbagai penelitian efektif sebagai agen pengendalian hayati hama dan penyakit tumbuhan diantaranya adalah genus-genus

Aeromonas, Alteromonas, Chromobacterium, Enterobacter, Ewingella, Pseudoalteromonas, Pseudomonas, Serratia, Vibrio (Chernin et al., 1998), Bacillus

(Pleban et al., 1997) Pyrococcus (Gao et al., 2003), Burkholderia cepacia, Bacillus

subtilis, Enterobacter cloacae, Agrobacterium radiobacter dan Streptomyces griseoviridis.

Bakteri ini sering digunakan sebagai agen pengendali hayati karena di dasarkan atas kemampuan mikroorganisme menghasilkan kitinase dan dalam kontrol fungi patogen enzim kitinase berperan sebagai mikoparasitisme yang dapat melisiskan sel jamur. Kitinase yang diproduksi mikroorganisme dapat menghidrolisis struktur kitin, senyawa utama penyusun dinding sel tabung kecambah spora dan miselia, sehingga jamur tidak mampu menginfeksi tanaman (Priyatno et al., 2000). Mekanisme interaksi antara inang dengan parasit sangat menentukan tingkat ketahanan tanaman terhadap suatu penyakit. Menurut Prell & Day (2001), mekanisme ketahanan tanaman dapat berupa

(7)

hipersensitifitas sel dengan cara pembentukan lignin atau protein struktural, senyawa fitoaleksin dan sintesis protein PR (Pathogenesis related protein) seperti kitinase. Beberapa tanaman menghasilkan kedua enzim ini sebagai bagian dari sistem pertahanan melawan jamur patogen, karena keduanya dapat menghidrolisis komponen dinding sel jamur patogen (Ginnakis et al. 1998, Leubner and Meins, 1999).

Kemampuan bakteri untuk memproduksi kitinase sangat bervariasi. Variasi ini tidak saja terlihat dari jumlah aktifitas kitinase total yang diproduksi setiap spesiesnya, tetapi juga pada jenis kitinase yang dihasilkan (Nugroho et al., 2003).

Gambar

Gambar 1. Gejala  penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp.
Gambar 3. Spora Colletotrichum sp. (perbesaran 10 x 100).

Referensi

Dokumen terkait

dari Sapi Bali Menurut Tingkat Kedewasaan pada Geografis yang Berbeda serta Pola Kepekaannya Terhadap Antibiotika” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Untuk Opportunities dan Threats yang berasal dari luar Iingkungan KBRI Panama City, untuk tahun 2015-2019 diperkirakan Opportunities yang dapat dimanfaatkan oleh KBRI adalah:

Pada sebuah sistem pendingin, selama dalam proses kerja yang teratur, dengan beban refrigerasi yang berat, maka temperatur evaporator akan naik, sehingga dapat

Sesuai dengan hasil analisis FTIR yang telah dilakukan untuk sintesis zeolit LTA dengan variasi rasio SiO2/Al2O3 dapat dikatakan bahwa keempat zeolit tersebut telah

Hasil produksi ikan pelagis pada kuartal II dapat mewakili suhu permukaan laut pada musim pancaroba bulan April dan Mei, sedangkan data bulan Juni masih memiliki pengaruh

Pembelajaran ritmis dengan menggunakan metode latihan dan media audio , diharapkan siswa akan merasa senang dan lebih aktif dalam menerima pelajaran, karena dalam praktik

Penelitian ini juga didukung oleh peneliti terdahulu dari Chirstopher Richie Rahardjo (2016:35) dalam jurnalnya “Faktor-faktor yang menjadi preferensi konsumen dalam

Dari hasil wawancara 10 pengguna di SMP Negeri 4 Manado, dapat diketahui bahwa pengelola perpustakaan telah melakukan perannya seperti yang seharusnya di lakukan oleh