• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007).

Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme dipengaruhi baik oleh faktor genetika (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan itu merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Hereditas atau faktor keturunan adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup itu utnuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning process) (Notoatmodjo, 2007).

(2)

2.1.1 Theory of Reasoned Action (TRA) atau Teori Tindakan Beralasan Theory Of Reasoned Action (TRA) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967 untuk melihat hubungan keyakinan, sikap, niat, dan perilaku. Fishbein, 1967 mengembangkan TRA ini dengan sebuah untuk melihat perubahan hubungan sikap dan perilaku (Glanz, 2002).

Teori ini muncul karena kurang berhasilnya penelitian yang menguji teori sikap, yaitu hubungan antara sikap dan perilaku. Hasil dari penelitian yang menguji teori sikap ini kurang memuaskan karena banyak ditemui hasil hubungan yang lemah antara pengukuran sikap dengan kinerja dari perilaku sukarela yang dikehendaki (Jogiyanto, 2007).

TRA (Theory Of Reasoned Action), merupakan teori perilaku kesehatan yang menggunakan pendekatan psikologi sosial untuk melihat determinan dari perilaku sehat yang dikembangkan oleh Ajzen dan Fishbein menjelang tahun 1970-an. Menurut teori ini, kehendak atau niat seseorang untuk menampilkan sesuatu perilaku tertentu berkaitan erat dengan tingkah laku aktual itu sendiri. Ada dua asumsi pokok yang menjadi dasar teori ini yaitu Bahwa perilaku ada dalam kendali si pelaku dan bahwa manusia adalah makhluk rasional (Diezow, 2010).

Berdasarkan teori tindakan beralasan (Theory Of Reasoned Action), suatu tingkah laku ditentukan oleh niat berperilaku, dan niat berperilaku ini dipengaruhi dua faktor, yang satu bersifat personal yaitu sikap dan yang lain merefleksikan pengaruh sosial yang biasa disebut norma subyektif (Azwar, 2010).

Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukanya perilaku, Ajzen melengkapi

(3)

TRA ini dengan keyakinan (beliefs). Dikemukakanya bahwa sikap berasal dari keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan norma subjektif berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs) (Azwar, 2010).

Secara skematik Theory Reasined Action (TRA) digambarkan seperti pada gambar:

Gambar 2.1 Theory Reasoned Action (Azwar, 2010)

Menurut Hariyono (dalam Fisbein dan Middlestadt, 1989) ada variabel eksternal yang muncul tidak secara langsung dalam Theory Of Reasoned Action seperti variabel demografis, jenis kelamin, usia, variabel seperti ini bukanya kurang penting, tetapi efeknya pada intensi (kehendak) dianggap diperantai oleh sikap, norma subyektif dari komponen-komponen ini.

2.1.2 Teori Lawrence Green

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor dari luar perilaku

(non-Behavioral Belief Subjective Norms Attitude Towards Behavior Normative Belief Intention to Behave Behavior

(4)

behaviour-causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor:

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. 2. Faktor-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia dan tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.

3. Faktor-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Di mana: B = Behavior PF = Predisposing Factors EF = Enabling Factors RF = Reinforcing Factors F = Function

Disimpulkan bahwa perilaku sesorang atau masyrakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan

(5)

perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Notoatmodjo, 2007).

Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya di psoyandu dapat disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya (predisposing factors). Atau barangkali juga karena rumahnya jauh dari posyandu atau puskesmas tempat mengimunisasikan anaknya (enabling factors). Sebab lain, mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat lainnya disekitarnya tidak pernah mengimunisasikan anaknya (reinforcing factors) (Notoatmodjo, 2007).

2.2 Perilaku Buang Air Besar

Buang air besar merupakan bagian yang penting dari ilmu perilaku dan kesehatan masyarakat. Pembuangan tinja yang memenuhi syarat merupakan suatu kebutuhan kesehatan masyarakat, yang selalu bermasalah (setidaknya sampai saat ini), diakibatkan perilaku buang air besar yang tidak sehat. Perilaku buang air besar yang tidak sehat ini misalnya buang air besar di sungai yang menjadi sarana penularan penyakit, buang air besar di pekarangan atau tanah terbuka, buang air besar di parit atau selokan, buang air besar di saluran irigasi sawah, dan buang air besar di pantai atau laut. Tempat-tempat ini adalah tempat yang tidak layak dan tidak sehat untuk buang air besar karena dapat menimbulkan masalah baru yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Kusnoputranto, 2001).

Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokan buang air besar berdasarkan tempat yang digunakan sebagai berikut:

(6)

1. Buang air besar di tangki septic

adalah buang air besar yang sehat dan dianjurkan oleh ahli kesehatan yaitu dengan membuang tinja di tangki septic yang digali di tanah dengan syarat-syarat tertentu. Buang air besar di tangki septic juga digolongkan menjadi: a) Buang air besar dengan jamban leher angsa, adalah buang air besar

menggunakan jamban model leher angsa yang aman dan tidak menimbulkan penularan penyakit akibat tinja karena dengan model leher angsa ini maka tinja akan dibuang secara tertutup dan tidak kontak dengan manusia ataupun udara.

b) Buang air besar dengan jamban plengsengan, adalah buang air besar dengan menggunakan jamban sederhana yang didesain miring sedemikian rupa sehinnga kotoran dapat jatuh menuju tangki septic setelah dikeluarkan. Tetapi tangki septiknya tidak berada langsung dibawah pengguna jamban.

c) Buang air besar dengan jamban model cemplung/cubluk, adalah buang air besar dengan menggunakan jamban yang tangki septiknya langsung berada dibawah jamban. Sehingga tinja yang keluar dapat langsung jatuh kedalam tangki septic. Jamban ini kurang sehat karena dapat menimbulkan kontak antara septic tank dengan manusia yang menggunakannya.

2. Buang air besar tidak di tangki septic atau tidak menggunakan jamban. Buang air besar tidak di tangki septic atau tidak dijamban ini adalah perilaku buang air besar yang tidak sehat. Karena dapat menimbulkan dampak yang

(7)

berbahaya bagi kesehatan manusia. Buang air besar tidak menggunakan jamban dikelompokkan sebagai berikut:

a) Buang air besar di sungai atau dilaut. Buang air besar di sungai atau dilaut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan teracuninya biota atau makhluk hidup yang berekosistem di daerah tersebut. Selain itu, buang air besar di sungai atau di laut dapat memicu penyebaran wabah penyakit yang dapat ditularkan melalui tinja.

b) Buang air besar di sawah atau di kolam. Buang air besar di sawah atau kolam dapat menimbulkan keracunan pada padi karena urea yang panas dari tinja. Hal ini akan menyebakan padi tidak tumbuh dengan baik dan dapat menimbulkan gagal panen.

c) Buang air besar di pantai atau tanah terbuka. Buang air besar di pantai atau tanah terbuka dapat mengundang serangga seperti lalat, kecoa, kaki seribu, yang dapat menyebarkan penyakit akibat tinja. Pembuangan tinja di tempat terbuka juga dapat menjadi pencemaran udara sekitar dan mengganggu estetika lingkungan (Kusnoputranto, 2001).

2.3 Jamban

Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran sehingga kotoran itu tersimpan dalam satu tempat tertentu dan tidak menjadi sarang penyakit (Notoatmodjo, 1996).

Menurut Josep Soemardi (1999) pengertian jamban adalah pengumpulan kotoran manusia disuatu tempat sehingga tidak menyebabkan bibit penyakit yang ada pada kotoran manusia dan mengganggu estetika.

(8)

2.3.1 Teknologi Jamban Secara Sederhana di Daerah Pedesaan

Menurut Notoatmodjo (2007) Teknologi pembuangan kotoran manusia untuk daerah pedesaan sudah tentu berbeda dengan teknologi jamban didaerah perkotaan. Oleh karena itu, teknologi jamban di daerah pedesaan di samping harus memenuhi persyaratan jamban sehat, juga harus didasarkan pada sosial budaya dan ekonomi masyarakat pedesaan. Tipe-tipe jamban yang sesuai dengan teknologi pedesaan antara lain:

1) Jamban Cemplung, Kakus (Pit Latrine)

Jamban cempung ini sering kita jumpai di daerah pedesaan di Jawa. Tetapi sering dijumpai jamban cemplung yang kurang sempurna, misalnya, tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga mudah masuk, dan bau tidak bisa dihindari. Di samping itu, karena tidak ada rumah jamban, bila musim hujan tiba maka jamban itu sendiri penuh oleh air. Skema jamban cemplung adalah:

Sumber: (Notoatmodjo, 2007) Gambar 2.2 Jamban Cemplung, Kakus

(9)

2) Jamban Cemplung Berventilasi (Ventilasi Improved Pit Latrine)

Jamban ini hampir sama dengan jamban cemplung, bedanya lebih lengkap, yakni menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedesaan pipa ventilasi ini dapat bibuat dengan bambu. Skema VIP latrine tersebut adalah sebagai berikut:

Sumber: (Notoatmodjo, 2007)

Gambar 2.3 Jamban Cemplung Berventilasi 3) Jamban Empang (fishpond Latrine)

Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Dalam sistem jamban empang ini disebut daur-ulang (Recycling), yakni tinja dapat langsung dimakan ikan, ikan dimakan orang, dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya.

Jamban empat ini mempunya fungsi, yaitu disamping mencegah tercemarnya lingkungan oleh tinja, juga dapat menambah protein bagi masyarakat (menghasilkan ikan).

(10)

Sumber: (Notoatmodjo, 2007) Gambar 2.4 Jamban Empang 4) Jamban Pupuk (The Compost Privy)

Pada prinsipnya jamban ini seperti kakus cemplungm hanya lebih dangkal galianya. Di samping itu jamban ini juga untuk membuang kotoran binatang dan sampah, daun-daunan. Prosedurnya adalah:

a. Mula-mula membuat jamban cemlung bias.

b. Dilapisan bawah sendiri diaruh sampah daun-daunan.

c. Di atasnya ditaruh kotoran dan kotoran binatang (kalau ada) setiap hari.

d. Setelah ± 20 inchi, ditutup lagi dengan daun-daunan sampah, selanjutnya diratuh kotoran lagi.

e. Demikian selanjutnya sampai penuh.

f. Setelah penuh ditimbun tanah, dan membuat jamban baru.

(11)

Sumber: (Notoatmodjo, 2007) Gambar 2.5 Jamban Pupuk 5) Septic Tank

Latrin jenis septic tank ini merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan, oleh sebab itu, cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Septic tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, dimana tinja dan air buangan masuk dan mengalami dekomposisi. Dalam tanah ini tinja akan berada selama beberapa hari. Selama waktu tersebut tinja akan mengalami 2 proses, yakni:

1. Proses kimiawi

Akibat penghancuran tinja akan direduksi dan sebagian besar (60-70 %) zat-zat padat akan mengendap dalam tanki sebesar ‘sludge’. Zat-zat yang tidak dapat hancur bersama-sama dengan lemak dan busa akan mengapung membentuk lapisan yang menutup permukaan air dalam tanki tersebut. Lapisan ini disebut ‘scum’ yang berfungsi mempertahankan suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan bakteri-bakteri anaerob dan fakultatif anaerob dapat tumbuh subur, yang akan berfungsi pada proses berikutnya.

(12)

2. Proses biologis

Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktifitas bakteri anerob dan fakultatif anerob yang memakan zat-zat organik dalam sludge dan scum. Hasilnya, selain terbentuknya gas dan zat cair lainya, adalah juga penguragan volume sludge, sehingga memungkinkan septic tank tidak cepat penuh. Kemudian cairan ‘enfluent’ sudah tidak mengandung bagian-bagian tinja dan mempunyai BOD yang relatif rendah. Cairan enfluent ini akhirnya dialirkan keluar melalui pipa dan masuk kedalam tempat perembesan.

Sumber: (Notoatmodjo, 2007) Gambar 2.6 Septic Tank 2.3.2 Persyaratan Jamban Keluarga di Daerah Pedesaan

Notoatmodjo (2007: 181) untuk mencegah sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Suatu jamban di sebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

(13)

1. Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut. 2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.

3. Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.

4. Tidak terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa, dan binatang-binatang lainya.

5. Tidak menimbulkan bau.

6. Mudah digunakan dan dipelihara (maintenance). 7. Sederhana desainya.

8. Murah

9. Dapat diterima oleh pemakainya.

Agar persyaratan-persyaratan ini dapat dipenuhi, maka perlu diperhatikan antara lain:

1. Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindung dari panas dan hujan, seranga dan binatang-binatang lain, terlindung dari pandangan orang (pravacy) dan sebagainya.

2. Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak yang kuat, dan sebagainya.

3. Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, dan sebagainya.

4. Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih (Notoatmodjo, 2007).

(14)

2.3.3 Pemeliharaan Jamban

Jamban sebagai sarana pembuangan kotoran manusia (tinja) perlu di pelihara dengan baik. Beberapa kegiatan yang dianjurkan dalam pemeliharaan sarana pembuangan tinja adalah sebagai berikut (Soeparman & Suparmin, 2001) :

1. Pembersihan halaman di sekitar rumah jamban dari sampah dan tumbuhan rumput atau semak yang tidak di kehendaki.

2. Pembersihan lantai, dinding, dan atap rumah jamban secara teratur, minimal satu minggu sekali dari lumut, debu, tanah atau sarang laba-laba. 3. Penggelontoran tinja pada lubang pemasukan tinja atau leher angsa setiap

selesai penggunaan

4. Pemantauan isi lubang pada jamban cubluk, jamban air, jamban bor, dan jamban kompos secara berkala terutama pada akhir periode pemakaian direncanakan.

5. Pemantauan isi tangki pembusukan secara berkala (tiap 12-18 bulan pada tangki pembusukan rumah tangga dan tiap 6 bulan pada tangki pembusukan sekolah dan kantor pelayanan umum) untuk menjaga efisiensi kerjanya. Lakukan pengurasan bila kedalaman busa serta lumpur sudah melebihi batas yang di persyaratkan

6. Hindarkan pemasukan sampah padat yang sukar atau tidak bisa diuraikan (kain bekas, pembalut, logam, gelas dan sebagainya) dan bahan kimia yang beracun bagi bakteri (karbol, lysol, formalin dan sebagainya) ke dalam lubang jamban atau tangki pembusukan.

(15)

2.4 Faktor Determinan Perilaku Buang Air Besar

Faktor determinan yang mempengaruhi perilaku maupun tindakan manusia adalah gabungan dari berbagai faktor yang ada dalam kehidupan seseorang. Manusia sebagai individu membutuhkan unsur yang diperlukan agar bisa melakukan sesuatu. Begitu pula halnya dengan perilaku buang air besar, dimana terdapat beberapa faktor determinan yang mempengaruhi diantaranya yakni pengetahuan (knowledge), sikap (affective), sosial ekonomi dan ketersediaan air bersih.

2.4.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengalamn manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Sikap dasar manusia adalah keingin tahuan tentang sesuatu. Dorongan untuk memenuhi keinginan tersebut akan menyebabkan seseorang melakukan upaya pencarian. Serangkaian pengalaman selama proses interaksi dalam lingkungan akan mengahasilkan sesuatu pengetahuan bagi orang tersebut (Notoatmodjo, 2003)

Pengetahuan adalah kesan didalam fikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan, tahayul, dan penerangan yang keliru (Notoatmodjo, 2003).

Tentang kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi dan masih

(16)

ada kaitannya satu sama lain yang dapat diaplikasikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya) sehingga didalam evaluasi ini akan berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justivikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objektif (Notoatmodjo, 2003).

2.4.2 Sikap

Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan yang nyata. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan yakni:

1. Sikap akan terwujud didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.

2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada pengalaman orang lain.

3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

4. Nilai (value). Di dalam suatu masyarakat apapun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat (Notoatmodjo, 2006).

2.4.3 Ketersediaan Air Bersih

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/MenKes/Per/IX/1990, yang dimaksud air bersih adalah air bersih yang

(17)

digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.

Menurut Slamet (2002) jenis sarana air bersih ada beberapa macam yaitu: 1. Sumur Gali (SGL)

Adalah sarana air bersih yang mengambil atau memanfaatkan air tanah dengan menggali lubang di tanah sampai mendapatkan air.

2. Sumur Pompa Tangan (SPT)

Sumur pompa tangan adalah sarana air bersih yang mengambil atau memanfaatkan air tanah dengan menggunakan alat bor. Untuk pengambilan air tanah tersebut digunakan pompa tangan.

3. Penampungan Air Hujan (PAH)

Penampungan air hujan adalah sarana penyediaan air bersih yang memanfaatkan air hujan untuk pengadaan air rumah tangga. Air hujan yang jatuh di atap rumah, melalui saluran dan ditampung di dalam PAH. 4. Perlindungan Mata Air (PMA)

Perlindungan mata air adalah suatu bangunan penangkap mata air yang menampung/menangkap air dan mata air, mata air yang dimanfaatkan paling sedikit mempunyai debit 0,3 liter/detik.

5. Perpipaan (PP)

Sarana perpipaan adalah bangunan beserta peralatan dan perlengkapannya yang menghasilkan, menyediakan dan membagikan air minum untuk masyarakat melalui jaringan perpipaan / distribusi. Air yang dimanfaatkan adalah air tanah atau air permukaan dengan atau tanpa diolah.

(18)

2.5 Kerangka Teori

Gambar 2.7 Kerangka Teori

Perilaku Buang Air Besar

Perilaku Buang Air Besar Buang Air Besar

Pada Tempat Yang Memenuhi Syarat Jenis Jamban - Jamban Cemplung - Jamban Cemplung Berventilasi - Jamban Empang - Jamban Pupuk - Septic Tank Faktor Determinan Perilaku BAB - Pengetahuan - Sikap - Ketersediaan Air Bersih Normative Belief - Predisposing Factors - Enabling Factors - Renforcing Factors

(19)

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 2.8 Kerangka Konsep Penelitian

Dari kerangka konsep bisa dilihat bahwa faktor-faktor yang yang mempengaruhi perilaku buang air besar pada keluarga yakni pengetahuan keluarga yang berhubungan dengan jamban, sikap terhadap perilaku buang air besar dalam hal ini perilaku buang air besar selain di jamban, serta ketersediaan sarana air bersih yang juga merupakan salah satu syarat dalam membangun jamban keluarga. PERILAKU BUANG AIR BESAR Pengetahuan Ketersediaan sarana air bersih

Gambar

Gambar 2.1 Theory Reasoned Action (Azwar, 2010)
Gambar 2.3 Jamban Cemplung Berventilasi   3)  Jamban Empang (fishpond Latrine)
Gambar 2.7 Kerangka Teori
Gambar 2.8 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Ada beberapa alat untuk menggambarkan rancangan umum dari sebuah sistem yang akan dibangun yaitu: Flowmap, Diagram konteks, Data Flow Diagram(DFD), Entity Relational Diagram

Konsentrasi pada saat menggiring bola kea rah daerah pemain lawab sangat dibutuhkan, serta diiringi dengan kordinasi mata- tangan atau kerja sama antara tangan pada saat

PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DINAS PENDIDIKAN. SMA NEGERI 4

Indikasi yang memerlukan bantuan medis dan tindakan khusus, jika diperlukan Tidak diketahui efek signifikan atau bahaya kritis.. Berbahaya

Pemodelan UML digunakan pada bagian ini untuk menggambarkan perancangan proses yang terjadi dalam penggunaan interface integrasi posting otomatis SLIP penerimaan

Disampaikan kepada Jemaat, bahwa Pelayanan Sakramen Baptisan Kudus dilaksanakan pada tanggal 26 Desember 2017 dalam Ibadah Hari Raya Natal ke-2 pkl. 09.00 WIB.. Pastoral

Penghentian efek alcohol withdrawal pada pasein biasanya adalah dengan mengkonsumsi alkohol itu sendiri, namun jika dalam keadaan yang sulit untuk memperoleh