SKRIPSI
PERILAKU PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN TERKAIT
DETEKSI DINI HIV/AIDS PADA WANITA PENJAJA SEKS DI
KECAMATAN SAWAN KABUPATEN BULELENG
OLEH :
I PUTU YOGA APRIADI 1102105014
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
PERILAKU PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN TERKAIT
DETEKSI DINI HIV/AIDS PADA WANITA PENJAJA SEKS DI
KECAMATAN SAWAN KABUPATEN BULELENG
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH :
I PUTU YOGA APRIADI 1102105014
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : I Putu Yoga Apriadi
NIM : 1102105014
Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana
Program Studi : Ilmu Keperawatan
menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil
karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang
saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan
bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Denpasar, Januari 2015 Yang membuat pernyataan,
iv
LEMBAR PERSETUJUAN
SKRIPSI
PERILAKU PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN TERKAIT
DETEKSI DINI HIV/AIDS PADA WANITA PENJAJA SEKS DI
KECAMATAN SAWAN KABUPATEN BULELENG
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Oleh :
I PUTU YOGA APRIADI 1102105014
TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI
Pembimbing Utama
(Ns. Made Oka Ari Kamayani, S.Kep, M.Kep)
NIP. 198301182008122004
Pembimbing Pendamping
(Ns. Indah Mei Rahajeng, S.Kep)
v
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI DENGAN JUDUL:
PERILAKU PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN TERKAIT DETEKSI DINI
HIV/AIDS PADA WANITA PENJAJA SEKS DI KECAMATAN SAWAN
KABUPATEN BULELENG
Oleh
I Putu Yoga Apriadi
Nim. 1102105014
TELAH DIUJIKAN DIHADAPAN TIM PENGUJI
PADA HARI : Rabu
TANGGAL : 15 Juni 2015
TIM PENGUJI :
1. Ns. Made Oka Ari Kamayani, S.Kep, M.Kep (Ketua)
2. Ns. Indah Mei Rahajeng, S.Kep, (Sekretaris)
3. Ns. Ni Made Dian Sulistyowati, M.kep, Sp.Kep.J (Pembahas)
MENGETAHUI :
DEKAN
FK UNIVERSITAS UDAYANA
Prof. Dr. Dr. Putu Astawa, Sp. OT (K), M.Kes
NIP. 195530131 198003 1 004
KETUA
PSIK FK UNIVERSITAS UDAYANA
Prof. dr. Ketut Tirtayasa,MS. AIF
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Perilaku Pencarian
Pelayanan Kesehatan Terkait Deteksi Dini HIV/AIDS pada Wanita Penjaja Seks di
Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan proposal ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada :
1. Prof.Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes, sebagi Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan menuntut ilmu di PSIK
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
2. Prof.dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF, sebagai ketua PSIK Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam pembuatan
Skripsi.
3. Ns. Made Oka Ari Kamayani, S.Kep, M.Kep, sebagai pembimbing utama yang telah
memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Ns. Made Rini Damayanti S, S.Kep, MNS, sebagai pembimbing pendamping yang
telah memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
5. Ns. Indah Mei Rahajeng, S.Kep, sebagai pembimbing pendamping pengganti yang
telah memberikan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu
6. Staf Puskesmas Sawan I sebagai pembimbing lapangan yang telah memberikan
bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu
7. Bapak dan Ibu, serta keluarga yang secara terus-menerus memberikan dukungan
vii
8. I Kadek Bondan Noviada sebagai partner kerja selama penelitian berlangsung untuk
menyelesaikan skripsi ini
9. Kadek Ikapatria Sandre Putri yang selalu memberikan secara terus menerus dukungan
dan motivasi tak ternilai dalam menyelesaikan skripsi ini
10.Fajar, Alam, Koko, Arya, Jembo, Rama, Eris, Hadi, Sugi, dan Teman-teman PSIK A
angkatan 2011 (Achilesextavortouz) yang secara terus-menerus memberikan
dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
11.Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun.
Denpasar, Januari 2015
viii
ABSTRAK
Apriadi, I Putu Yoga. 2015. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan Terkait Deteksi Dini HIV/AIDS pada Wanita Penjaja Seksual di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Pembimbing (1) Ns. Made Oka Ari Kamayani, S.Kep., M.Kep. (2) Ns. Made Rini Damayanti S. S.Kep., MNS. (3) Ns.Indah Mei Rahajeng, S.Kep.
HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan global saat ini. Hal ini menyebabkan pencegahan penyakit menjadi prioritas utama dalam penanggulangan HIV/AIDS yang berfokus pada populasi kunci seperti WPS. Pengadaan Klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) di fasilitas-fasilitas kesehatan di Indonesia merupakan strategi untuk pencegahan penyebaran HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan mengeksplorasi perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di Sawan, Buleleng. Desain penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik analisis tematik. Prosedur pengumpulan data dilakukan di Sawan (Mei – Juni 2015) menggunakan wawancara mendalam dan observasi lapangan. Teknik sampling menggunakan purposive sampling dengan jumlah 6 partisipan. Hasil penelitian ini menunjukkan pengetahuan WPS tentang HIV/AIDS masih umum dan belum terfokus hal ini berpengaruh terhadap perilaku seksual beresiko yang dilakukan WPS dengan pasangannya seperti seks anal dan seks oral yang tidak menggunakan kondom. Pandangan WPS terhadap pelayanan kesehatan yaitu petugas kesehatan, pelayanan kesehatan, dan klinik khusus cukup baik. Faktor pendorong dalam perilaku WPS dalam mencari pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS adalah kesadaran dan keinginan dari WPS sendiri, dukungan terhadap WPS, dan ajakan dari teman. Faktor penghambat dalam perilaku WPS dalam mencari pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS adalah biaya pelayanan kesehatan, hasil pemeriksaan, kurangnya informasi terkait pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan partner periksa. Berdasarkan hasil penelitian, pemerintah bersama-sama dengan tenaga kesehatan mampu menggencarkan pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS untuk menekan angka kejadian AIDS terutama pada WPS yang memiliki resiko tinggi HIV/AIDS.
ix
ABSTRACT
Apriadi, I Putu Yoga. 2015. Health Seeking Behavior Related on Early Detection of HIV/AIDS Among Female Sex Workers (FSW) at Sawan, Buleleng Regency. Final Project, Nursing Science Program, Faculty of Medicine, Udayana University. Advisers (1) Ns. Made Oka Ari Kamayani, S.Kep., M.Kep. (2) Ns. Made Rini Damayanti S. S.Kep., MNS. (3) Ns. Indah Mei Rahajeng, S.Kep.
HIV/AIDS is an infectious disease that is becoming a global health problem today. This causes disease prevention a top priority in the prevention of HIV/AIDS that focus on key populations such as FSW. Voluntary Counselling and Testing (VCT) at health facilities in Indonesia is a strategy to prevent the spread of HIV / AIDS. This study aims to describe and explore health care seeking behavior related to early detection of HIV/AIDS among FSW in Sawan, Buleleng Regency. This study used a qualitative approach with a thematic analysis technique. The data was collected in Sawan (May - June 2015) using in-depth interviews and field observations. Sampling technique used purposive sampling by the number of six participants. The results showed FSW knowledge about HIV/AIDS are still common and have not focused that influence risky sexual behaviors of FSW such as anal sex and oral sex
don’t use condoms. FSW view to health care such as health care workers, health care, and special clinics is quite good. Motivating factor in the behavior in seeking health care related to the early detection of HIV/AIDS is the awareness and the desire of the FSW itself, support for the FSW, and an invitation from a friend or other parties. FSW inhibiting factor in the behavior in seeking health care related to the early detection of HIV/AIDS is the cost of health care, examination results, the lack of information, health care facilities, and partner check. Based on this research, government and health workers together were able to intensify early detection of health services related to HIV/AIDS to suppress the incidence of AIDS, especially in FSW that have a high risk of HIV/AIDS.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
2.1.3 Patofisiologi ... 12
2.1.4 Cara Penularan ... 14
2.1.5 Manifestasi Klinis ... 15
2.1.6 Penatalaksanaan ... 16
2.2 Wanita Penjaja Seks dan Seksualitas ... 18
2.2.1 Definisi Wanita Penjaja Seks (WPS) ... 18
2.2.2 Seksualitas ... 18
2.2.2.1 Definisi Seks dan Seksualitas ... 18
2.2.2.2 Identitas Seksual ... 19
2.2.2.3 Identitas Gender ... 19
2.2.2.4 Orientasi Seksual ... 20
2.2.2.5 Perilaku Seksual ... 20
2.3 Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan ... 21
2.3.1 Konsep Perilaku Kesehatan ... 21
2.3.1.1 Batasan Perilaku ... 21
2.3.1.2 Perilaku Kesehatan ... 23
2.3.1.3 Domain Perilaku ... 24
2.3.2 Bentuk Perilaku... 26
2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku ... 26
2.3.4 Teori Perilaku Kesehatan ... 29
2.3.4.1 Teori Karr ... 29
2.3.4.2 Teori Green ... 30
2.3.4.3 Teori World Health Organization ... 31
2.3.5 Pelayanan Kesehatan pada WPS ... 32
xi
2.3.5.2 Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) ... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian... 34
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35
3.2.1 Tempat ... 35
3.2.2 Waktu ... 35
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 36
3.4 Instrumen Penelitian ... 36
3.5 Prosedur Pengumpulan Data ... 37
3.5.1 Tahap Persiapan ... 37
3.5.2 Tahap Pelaksanaan ... 38
3.5.3 Tahap Terminasi ... 39
3.6 Analisis Data dan Keabsahan Data ... 39
3.7 Etika Penelitian ... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Proses Penelitian ... 44
4.2 Data Karakteristik Partisipan ... 46
4.2.1 Partisipan 1... 47
4.3.3 Pandangan WPS terhadap Keberadaan Pelayanan Kesehatan ... 60
4.3.4 Respon WPS Pada Saat Pertama Kali Mengunjungi Pelayanan Kesehatan ... 62
4.3.5 Dorongan WPS dalam Mencari Pelayanan Kesehatan ... 63
4.3.6 Hambatan WPS dalam Mencari Pelayanan Kesehatan ... 65
BAB V PEMBAHASAN 5.1 Pengetahuan WPS terhadap HIV/AIDS... 68
5.2 Perilaku Seksual Beresiko yang Dilakukan WPS ... 74
5.3 Pandangan WPS terhadap Pelayanan Kesehatan ... 76
5.4 Faktor Pendorong Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan pada Kalangan WPS ... 81
5.5 Faktor Penghambat Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan pada Kalangan WPS ... 84
5.6 Keterbatasan Penelitian ... 88
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 89
6.2 Saran ... 90
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Infeksi HIV yang Didasarkan pada Patofisiologi Penyakit Seiring
Memburuknya Secara Progresif Fungsi Imun ... 14
Tabel 2.2 Tabel Tingkat Pencegahan HIV/AIDS ... 16
Tabel 3.1 Distribusi Jumlah WPS Disetiap Kecmatan di Kabupaten Buleleng ... 35
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Patofisiologi HIV/AIDS ... 13
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Lampiran 2: Penjelasan Penelitian
Lampiran 3: Surat Persetujuan Menjadi Partisipan
Lampiran 4: Panduan Wawancara
Lampiran 5: Catatan Observasi Lapangan
Lampiran 6: Dana Penelitian
Lampiran 7: Perumusan Tema
Lampiran 8: Surat Ijin Penelitian Program Studi Ilmu Keperawatan FK UNUD
Lampiran 9: Surat Ijin Penelitian Badan Penanaman Modal dan Perizinan
Lampiran 10: Surat Ijin Penelitian KESBANGPOL Kabupaten Buleleng
Lampiran 11: Surat Ijin Penelitian Kecamatan Sawan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi
masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam
Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah
disepakati para pemimpin dunia pada tahun 2000 di Kota New York (Departemen
Kesehatan RI, 2005; Peter, 2008). Menurut World Health Organization (WHO)
tahun 2014, IMS adalah infeksi yang menyebar dari orang ke orang lain melalui
kontak seksual. Terdapat lebih dari 30 bakteri, virus, dan parasit berbeda yang dapat
menularkan infeksi seksual. Penyakit IMS yang paling umum ditemukan
diantaranya gonore, klamidiasis, sifilis, trikomoniasis, chancroid, herpes genital,
kutil kelamin, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) , dan infeksi
hepatitis B. Salah satu penyakit IMS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS) yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Laura, et al.,
2009).
Kasus HIV/AIDS di Indonesia senantiasa meningkat dari tahun ke tahun bahkan
situasi ini menempatkan Indonesia sebagai negara tempat penyebaran HIV/AIDS
tercepat di Asia (UNAIDS, 2009; Syarief, 2011). Sejak pertama kali ditemukan
tahun 1987 sampai dengan Juni 2014, HIV-AIDS tersebar ke 76% kabupaten dari
2
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI (2014) menyatakan bahwa
sampai Juni 2014 jumlah total penderita HIV mencapai 142.950 dan AIDS
sebanyak 56.623 sejak tahun 1987 dengan kasus HIV baru pada tahun 2014 (s/d
Juni 2014) sebanyak 15.534 jiwa dan kasus AIDS baru sebanyak 1.700 jiwa dengan
total jumlah kematian karena AIDS sejak tahun 1987 sebanyak 9.760 jiwa. Jika
dibandingkan dengan tahun 2013 yang merupakan jumlah kasus HIV baru yang
terbanyak sejak periode pencatatan kasus HIV dari tahun 2005 dengan jumlah
29.037 jiwa, pada periode enam bulan (Januari s/d Juni 2014) angka HIV baru di
Indonesia sudah mencapai 15.534 jiwa yang berarti dalam kurun satu tahun penuh
kasus baru HIV bisa mencapai lebih dari 30.000 jiwa pada tahun 2014.
Provinsi di Indonesia dimana pertama kali ditemukan adanya kasus HIV-AIDS
adalah Provinsi Bali (Purwadianto, 2011). Jumlah HIV di Bali pada tahun 2014
mencapai 9.051 kasus dan menempati peringkat ke-5 setelah Papua, Jawa Timur,
Jawa Barat dan DKI Jakarta, namun merupakan provinsi peringkat ketiga dengan
nilai prevalensi tertinggi setelah Papua dan Papua Barat yaitu sebesar 109,52 per
100.000 jumlah penduduk. Menurut Ditjen PP dan PL (2014) Komisi
Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali tahun 2013 diperoleh data kasus
HIV/AIDS di Bali hingga akhir Januari 2012 mencapai 5.902 kasus dengan faktor
risiko heteroseksual menjadi peringkat pertama penularan. Salah satunya, bisa
dilihat 22 - 25% dari 9.000 wanita penjaja seks (WPS) yang ada di Bali positif
terinfeksi HIV sehingga saat ini kasus tersebut sudah memasuki lampu merah atau
zona berbahaya (KPAD Bali, 2013). Buleleng merupakan Kabupaten dengan
3
dengan jumlah 1.992 kasus HIV (KPAD Buleleng, 2013). Peningkatan kasus
HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng rata-rata mencapai 20 kasus per bulan dengan
wilayah yang menjadi kasus HIV/AIDS terbesar sampai bulan Desember 2014
adalah Kecamatan Sawan dengan jumlah 258 jiwa (12,95%).
Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam menanggulangi HIV/AIDS adalah
dengan menyelenggarakan layanan yang komprehensif dan berkesinambungan
yang meliputi semua bentuk layanan HIV/ADIS yang dilakukan secara paripurna
mulai dari rumah, masyarakat, sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan (Permenkes
RI, 2013). Program pemerintah yang sekarang sedang digalakkan melalui Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yakni mengembangkan program yang
komprehensif dan berkesinambungan dalam merespon HIV/AIDS dengan sasaran
pembuat kebijakan, sektor swasta, organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat
melalui National Strategy and Action Plan for HIV and AIDS Response (SRAN)
2010-2014 (KPAN, 2010). Salah satu program SRAN adalah klinik khusus
konseling dan testing sukarela (Voluntary Counseling and Testing) pada tempat
pelayanan kesehatan yang berkualitas, ramah, dan mudah dijangkau (KPAN, 2010).
Saat ini ada tiga puskesmas di Kabupaten Buleleng yang dilengkapi klinik VCT
yaitu Puskesmas Sawan I, Puskesmas Gerokgak II, dan Puskesmas Seririt I (KPAD
Buleleng, 2014). Berdasarkan studi pendahuluan terhadap jangkauan kerja khusus
kalangan WPS dari Puskesmas Sawan I melalui data statistik WPS di Kecamatan
Sawan, didapatkan data bahwa WPS yang dominan berdomisili di Kota Singaraja,
akan tetapi banyak juga diantaranya yang bekerja di luar Kota Singaraja seperti
4
Fokus penanggulangan HIV/AIDS adalah pada masyarakat yang memiliki risiko
tinggi yang disebut dengan populasi kunci (Permenkes, 2013; KPAN, 2013).
Populasi kunci dari kategori WHO adalah heteroseksual, homo-biseksual,
pengguna narkoba suntik (penasun) yang sering disebut Inject Drug User (IDU)
(WHO, 2014). Beberapa populasi yang sudah menderita AIDS berdasarkan data
yang diperoleh sampai dengan Juni 2014 di Indonesia adalah heteroseksual
sebanyak 34.187 jiwa (55%), homo-biseksual sebanyak 1.298 jiwa (17%) dan IDU
8.451 jiwa (6%) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014).
Salah satu populasi kunci penyebaran HIV/AIDS dalam konteks diatas adalah WPS
yang termasuk dalam kategori heteroseksual (WHO, 2014). Menurut American
Foundation Of AIDS Research (AMFAR) (2014) menyimpulkan WPS, baik WPS
langsung (WPSL) maupun WPS tidak langsung (WPSTL), ternyata berisiko 19 kali
lebih besar tertular penyakit HIV dibanding masyarakat umum. Perilaku WPS yang
berisiko seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom melalui anal,
hubungan seksual melalui oral dan berhubungan seksual dengan berganti-ganti
pasangan. Menurut Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 yang
memaparkan prevalensi HIV dan IMS pada WPS (WPSL dan WPSTL) sebanyak
13% dari total populasi kunci di Indonesia (Kemenkes RI, 2014).
Perilaku pencarian pelayanan kesehatan dalam keperawatan komunitas akan
menjadi fokus prioritas dalam upaya pencegahan dini terhadap agen penyakit.
Upaya pencarian pelayanan kesehatan pada kalangan WPS yang masih rendah dan
5
Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Buleleng, jumlah WPS di Buleleng tercatat
hingga 1.035 jiwa yang 20% atau sekitar 200 orang terjangkit HIV/AIDS dan
tercatat hanya 50% atau 577 jiwa yang terdaftar untuk mendapat pelayanan
kesehatan di puskesmas Kabupaten Buleleng yang menyediakan fasilitas klinik
Voluntary Counseling and Testing (VCT) (KPAD Buleleng, 2013).
Berdasarkan grand tour yang telah peneliti lakukan melalui observasi lapangan dan
studi dokumentasi Puskesmas Sawan I di Kecamatan Sawan, didapatkan data:
pertama, jumlah WPS di Kecamatan Sawan yaitu 288 jiwa dengan jumlah
kunjungan WPS di fasilitas klinik VCT Puskesmas Sawan I untuk melakukan
konseling dan cek kesehatan yang tercatat hanya 78 jiwa (27%), hal ini
menunjukkan masih rendahnya kesadaran WPS dalam mencari pelayanan
kesehatan dalam deteksi dini HIV/AIDS; kedua, observasi lapangan yang
menunjukkan aktivitas WPS di lokalisasi prostitusi yang tinggi yaitu satu orang
WPS bisa melayani hingga lima orang pelanggan WPS; ketiga, hasil wawancara
yang dilakukan dengan tokoh masyarakat yang mengatakan bahwa faktor stigma
dan persepsi masyarakat yang menganggap WPS adalah kalangan yang merusak
moral bangsa dan penyebar penyakit yang sangat rentan dan berisiko HIV/AIDS.
Berbagai penelitian telah dilakukan guna melakukan deteksi terhadap penyebab
HIV/AIDS dan faktor risikonya, diantaranya Djumaroh dan Khazanah (2010) yang
melakukan studi fenomenologi terhadap WPS menunjukkan bahwa pengetahuan
WPS tentang HIV/AIDS adalah penyakit yang mematikan, pengetahuan tentang
6
jamu dan antibiotik, sikap WPS adalah menerima positif dalam penggunaan
kondom, namun kendala yang dihadapi WPS dalam pemanfaatan kondom adalah
para pelanggan tidak mau menggunakan kondom. Fadhali, dkk (2012) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa 72,4% WPS di Kabupaten Bulukumba
melakukan praktek pencegahan secara baik, dimana variabel yang berhubungan
dengan praktek pencegahan HIV/AIDS adalah pengetahuan dan sikap, sedangkan
faktor yang tidak berhubungan diantaranya ketersediaan kondom, dukungan
pendidik sebaya, dan dukungan keluarga.
Sianturi (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa 45,4% WPS
menggunakan kondom dengan kategori baik pada saat berhubungan seks dan 54,6%
WPS menggunakan kondom dengan kategori tidak baik. Hasil uji Chi-Square
menunjukkan bahwa terdapat empat variabel yang berhubungan secara signifikan
dengan tindakan penggunaan kondom, yaitu sikap, ketersediaan kondom, dukungan
mucikari, dan dukungan petugas kesehatan dimana variabel dukungan petugas
kesehatan yang paling berhubungan dengan tindakan penggunaan kondom.
Kothimah (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan
WPS tentang pencegahan IMS dan HIV/AIDS tergolong sedang yaitu 62,5%
memiliki sikap yang positif dalam mendukung pencegahan. Pernyataan WPS yang
menyebutkan dukungan yang paling banyak dalam upaya pencegahan IMS dan
HIV/AIDS diberikan oleh tenaga kesehatan, mucikari, Lembaga Swadaya
7
Lokalisasi Gempol Porong dengan persentase 80% adalah baik dalam pemakaian
kondom.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, perilaku pencegahan
WPS dalam melakukan pencegahan HIV/AIDS sudah tergolong baik, namun masih
terdapatnya pelanggan yang tidak kooperatif dalam penggunaan kondom, maka
penyebaran HIV belum dapat dicegah secara optimal. Bagi WPS yang merupakan
populasi kunci sangat penting untuk melakukan pemeriksaan kesehatan ke pusat
pelayanan kesehatan seperti Puskesmas terkait deteksi dini penyakit HIV/AIDS.
Penelitian tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait IMS dan HIV
pada WPS telah dilakukan oleh Ngo, et al (2007) di Vietnam dengan hasil bahwa
pengambilan keputusan untuk mencari pelayanan kesehatan oleh WPS dilakukan
karena tiga hal yaitu persepsi terhadap risiko IMS dan HIV, hubungan sosial dan
pandangan masyarakat. Pengetahuan WPS tentang HIV tergolong cukup namun
pengetahuan tentang IMS terbatas. Mereka mampu menjelaskan tentang risiko
tinggi dari HIV, tetapi menunjukkan perhatian yang kurang tentang IMS. Pencarian
pelayanan kesehatan oleh WPS dilakukan ketika terdapat gejala pada saluran
kencing. Pengambilan keputusan WPS untuk mengakses pelayanan kesehatan dan
melakukan tes HIV dihambat karena biaya perawatan yang mahal, kurangnya sikap
yang baik dari penyedia pelayanan, dan kurangnya informasi tentang pelayanan test
HIV.
Situasi sosial (tempat atau letak geografis, populasi penduduk , dan aktivitas
8
Vietnam dengan di Indonesia terutama di Bali sangatlah berbeda, dengan demikian
perbedaan tersebut merupakan salah satu dasar perlu dilakukannya eksplorasi lebih
mendalam tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini
HIV/AIDS di Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah HIV/AIDS terus meningkat di kalangan WPS. Perilaku hubungan seksual
yang tidak aman menjadi faktor predisposisi terjadinya HIV/AIDS di kalangan
WPS. Dari fenomena yang terjadi di lapangan, masih banyak WPS yang tidak
menggunakan kondom saat berhubungan seksual dan kurang memanfaatkan
pelayanan kesehatan seperti puskesmas yang menyediakan klinik VCT.
Perawat yang merupakan salah satu pelaksana pelayanan kesehatan, tentu harus
mampu menjadi garda terdepan dalam menangani masalah peningkatan kasus HIV
yang akan berdampak pada AIDS. Dalam hal ini, perawat komunitas berperan
untuk menjangkau masyarakat yang berisiko tinggi, serta harus mampu
memberikan asuhan keperawatan yang tepat guna memberikan informasi tentang
deteksi dini HIV/AIDS. Oleh karena itu, pengembangan pengetahuan dan
penelitian mengenai perilaku pencarian pelayanan kesehatan terkait deteksi dini
HIV/AIDS dengan studi kualitatif penting dilaksanakan untuk mengeksplorasi
lebih mendalam mengenai perilaku dari WPS dalam mencari pelayanan kesehatan.
Berdasarkan uraian latar belakang dan pernyataan masalah penelitian, maka timbul
9
pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di
Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng?”
1.3Tujuan
Untuk mengetahui gambaran, menggali, dan mengeksplorasi perilaku pencarian
pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di
Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng.
1.4Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini meliputi:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang keperawatan komunitas mengenai perilaku pencarian
pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS pada kalangan WPS di
Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pemikiran dan evidence
based nursing bagi perawat, khususnya perawat komunitas sebelum melakukan
intervensi asuhan keperawatan kepada kalangan WPS yang memerlukan
pendekatan khusus.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada instansi
pemerintahan dan non pemerintahan dalam upaya promosi kesehatan yang lebih
optimal terutama dalam hal penggunaan akses pelayanan kesehatan bagi
10
c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada populasi kunci
khususnya WPS untuk berupaya mencari pelayanan kesehatan terkait deteksi
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunodeficiency
Sindrom (AIDS)
2.1.1 Definisi
Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala yang
didapat akibat dari penurunan respon sistem kekebalan tubuh akibat infeksi virus
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Human Immunodeficiency Virus (HIV)
adalah virus yang bereplikasi didalam sistem imun tubuh dan merupakan salah satu
retrovirus karena dapat mengubah urutan sistem rantai Deoxyribonucleic Acid
(DNA)
menjadi Ribonucleic Acid (RNA) setelah masuk ke dalam sel inang (Price& Wilson, 2006; Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008).
2.1.2 Etiologi
Penyebab terjadinya AIDS berasal dari infeksi virus HIV. Virus ini dahulu disebut
virus limfotrofik sel T manusia tipe III (Human T Lympotrophic Virus III /
HTLV-III) atau virus limfadenopati, adalah suatu retrovirus manusia dari famili lentivirus
(Price & Wilson, 2006). Terdapat dua tipe virus HIV yang sudah teridentifikasi
berdasarkan susunan genom dan hubungan filogeniknya, yaitu HIV-1 dan HIV-2
yang keduanya memiliki penyebaran epidemiologis yang berbeda. Virus HIV-1
12
sebanyak 90% kejadian infeksi HIV yang terjadi di dunia berasal dari HIV-1
(Phangkawira, dkk., 2009).
2.1.3 Patofisiologi
Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan
sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergolong retrovirus yang
mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster
Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya
(Price & Wilson, 2006; Pasek, dkk., 2008; Wijaya, 2010). Virus HIV cenderung
menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama
limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan
sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel
Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada
alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang
masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi
banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Price & Wilson, 2006;
Departemen Kesehatan RI, 2003).
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau
Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4 dan
peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun
dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5
tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah virus HIV
dalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase akhir penyakit
13
oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis.
Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4
turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun (Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008). Secara
ringkas, perjalanan virus HIV dapat dilihat di bagan berikut:
14
Tabel 2.1 Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologi penyakit seiring
memburuknya secara progresif fungsi imun
Kelas Kriteria
Grup I 1. Infeksi akut HIV
2. Gejala mirip influensa, mereda sempurna
3. Antibodi HIV negatif
HIV asimtomatik
Grup II
1. Antibodi HIV positif
2. Tidak ada indikator klinis atau laboratorium adanya
imunodefisiensi
HIV simtomatik
Grup III
1. Antibodi HIV positif
2. Limfadenopati generalisata persisten
Grup IV-A 1. Antibodi HIV positif
2. Penyakit konstitusional (demam atau diare menetap,
menurunnya BB > 10% dibandingkan berat normal
Grup IV-B 1. Sama seperti grup IV-A
2. Penyakit neurologik (demensia, neuropati,
mielopati)
Grup IV-C 1. Sama seperti grup IV-B
2. Hitung limfosit CD4+ kurang daripada 200/µl
Grup IV-D 1. Sama seperti grup IV-C
2. Tuberkolosis paru, kanker serviks, atau keganasan
lain
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2011
2.1.4 Cara Penularan
Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu
(Wijaya, 2010). Terdapat dua cairan utama dalam transmisi virus HIV yakni,
transmisi seksual dan non seksual. Transmisi seksual melalui hubungan seksual
baik heteroseksual, homoseksual, oral seks maupun anal seks. Transmisi
nonseksual dibedakan menjadi parenteral dan transplasental. Transmisi parenteral
15
tato) yang telah terkontaminasi darah yang terinfeksi virus HIV. Transmisi
transplasental yakni penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak yang
dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui (Siregar, 2004;
Wijaya, 2010).
2.1.5 Manifestasi Klinis
Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) memiliki beragam manifestasi klinis
dalam bentuk keganasan dan infeksi opurtunistik. Jenis keganasan yang paling
sering dijumpai pada keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada pasien
yang terinfeksi HIV adalah myeloma multipel, leukemia limfositik akut sel B,
limfoma limfoblastik T, penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel
skuamosa di lidah, karsinoma adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan
pankreas, kanker serviks, dan kanker testis (Price & Wilson, 2006; Smeltzer &
Bare, 2010).
Pasien AIDS rentan terhadap terhadap infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan virus.
Pneumonia Pnuemocytis Carinii (PPC) adalah infeksi serius yang paling sering
dijumpai dengan gejala panas yang pendek, sesak nafas, batuk, nyeri dada, dan
demam. Hal ini hampir serupa tanda dan gejalanya dengan pasien AIDS yang
disertai Tuberkulosis (TB) karena Mycobacterium tuberculosis. Infeksi lainnya
seperti fungus antara lain kandidiasis, kriptokokosis, dan histoplasmosis. Infeksi
opurtunistik yang disebabkan oleh virus sangat beragam dan merupakan penyebab
semakin parahnya patologi yang terjadi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare,
16
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan infeksi HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga kelas obat
antiviral. Tipe obat yang pertama yang digunakan secara luas adalah analog
nukleotida yang menghambat aktivitas reverse transcriptase yaitu perubahan pada
rantai DNA menjadi RNA pada virus HIV. Obat ini secara signifikan menurunkan
level plasma RNA dari HIV untuk beberapa bulan tetapi tidak menghentikan
progresivitas HIV akibat virus yang berevolusi dan menjadi resisten (Pasek, dkk.,
2008). Melihat hal tersebut, tentunya pencegahan penularan HIV/AIDS menjadi
fokus tindakan yang perlu dilakukan untuk memutus transmisi HIV (Permenkes RI,
2013). Pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan pada tingkat pencegahan yaitu
pencegahan primer, sekunder dan tersier (Murti, 2010). Dalam pencegahan dan
perawatan HIV/AIDS, ketiga program pencegahan tersebut perlu dilakukan secara
optimal. Bagan berikut menyajikan tentang tingkat pencegahan penyakit
HIV/AIDS.
Tabel 2.2 Tabel tingkat pencegahan HIV/AIDS
Tingkat
pencegahan
Jenis intervensi Tujuan intervensi Bentuk intervensi pada
17
18
2.2. Wanita Penjaja Seks dan Seksualitas
2.2.1 Definisi Wanita Penjaja Seks
Menurut Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011, wanita
penjaja seks (WPS) dibagi menjadi dua yaitu wanita penjaja seks langsung (WPSL)
adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial dan
wanita penjaja seks tidak langsung (WPSTL) adalah wanita yang beroperasi secara
terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada
bidang-bidang pekerjaan tertentu seperti bar, panti pijat, dan sebagainya.
2.2.2 Seksualitas
2.2.2.1 Definisi Seks dan Seksualitas
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional tahun 2006 mendefinisikan seks
sebagai perbedaan badani atau biologis jasmani perempuan dan laki-laki yang
sering disebut jenis kelamin, yaitu penis untuk laki-laki dan vagina untuk
perempuan. Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu
dimensi biologis, sosial, perilaku dan kultural. Seksualitas dari dimensi biologis
berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin. Termasuk bagaimana menjaga
kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan
seksual (BKKBN, 2006). Dimensi sosial berkaitan dengan seksualitas muncul
dalam hubungan manusia. Dimensi perilaku menjelaskan bahwa seksualitas
merupakan salah satu bentuk perilaku manusia. Dimensi kultural menerangkan
bahwa seksualitas terkait budaya dalam kehidupan manusia yang beragam
19
2.2.2.2 Identitas Seksual
Identitas seksual merupakan penerimaan seseorang terhadap kategori jenis kelamin
tertentu, apakah seseorang mengaku sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas
seksual ini ada beberapa macam, yang dikenal masyarakat umum adalah identitas
seksual sebagai laki-laki dan perempuan. Namun ada beberapa identitas seksual
menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta tahun
2009, seperti:
1) Transeksual merupakan seseorang yang hidup atau menginginkan hidup
sebagai lawan dari jenis kelamin yang dimilikinya. Biasanya seseorang baru
disebut transeksual ketika sudah berganti kelamin.
2) Questioning merupakan istilah yang digunakan bagi seseorang yang sedang
dalam proses mempertanyakan siapa dirinya, apa identitas seksualnya termasuk
apa orientasi seksualnya.
3) Interseksual merupakan seseorang yang memiliki kelamin ganda atau yang
sering disebut dengan hemaprodit. Penentuan kecondongan dari identitas
seksualnya sangat tergantung dari pandangan dan identifikasi diri seseorang
tersebut.
4) Queer merupakan istilah yang muncul untuk merangkul banyaknya variasi
seksualitas manusia yang tidak bisa ataupun tidak mau dimasukkan dalam suatu
kelompok tertentu
2.2.2.3 Identitas Gender
Identitas gender merupakan definisi kelaki-lakian atau keperempuanan yang
20
anggota gender yang lain dan tidak menginginkan pergantian kelamin dinamakan
transgender atau waria (PKBI DIY, 2009).
2.2.2.4 Orientasi Seksual
Orientasi seksual adalah suatu keadaan emosional dimana seseorang tertarik secara
seksual dengan jenis kelamin tertentu. Orientasi seksual dibedakan menjadi dua
yaitu heteroseksual (orang yang secara seksual tertarik dengan lawan jenis) dan
homoseksual (orang yang secara seksual lebih tertarik dengan orang lain yang
sejenis kelamin) (BKKBN, 2006).
2.2.2.5 Perilaku Seksual
Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual.
Bentuk perilaku seksual bermacam-macam mulai dari bergandengan tangan,
berpelukan, bercumbu, bercumbu berat sampai berhubungan seks (BKKBN, 2006).
Perilaku seksual mencangkup orang-orang yang melakukan keintiman dengan
orang lain maupun dirinya sendiri (autoseksual) dan juga mencangkup perilaku
yang diarahkan untuk memperoleh kenikmatan seksual. Ramadhani (2010)
menyebutkan perilaku seksual terdiri atas hubungan seksual (intercourse) dan
selain hubungan seksual (nonintercourse) diantaranya berpegangan tangan,
berpelukan, berciuman, dan masturbasi. Hubungan seksual (intercourse) terdiri
dari:
1) Orogenital merupakan hubungan seksual dengan melakukan rangsangan
melalui mulut pada organ seks pasangannya dan sering disebut oral seks yang
21
2) Anogenital merupakan hubungan seksual yang dilakukan dengan memasukkan
penis kedalam anus aau anal, sehingga disebut juga anal seks
3) Genitogenital merupakan hubungan seksual yang dilakukan antara kelamin
dengan kelamin yaitu hubungan seksual yang memasukan penis ke dalam
vagina.
2.3. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan
2.3.1. Konsep Perilaku Kesehatan
2.3.1.1Batasan Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang
bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Manusia adalah makhluk individual maupun
sosial, serta sebagai subjek sekaligus objek dalam kehidupan dan tidak bersifat pasif
dalam menerima keadaan hidup. Proses perkembangan perilaku manusia sebagian
ditentukan oleh kehendaknya sendiri dan sebagian bergantung pada alam,
sedangkan makhluk lain sepenuhnya bergantung pada alam (Sunaryo, 2004).
Notoatmodjo (2010) mengelompokkan aktivitas manusia menjadi dua yakni
aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain dan aktivitas yang tidak dapat diamati
oleh orang.
Menurut Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, dan respon, sehingga
22
menjelaskan adanya dua jenis respon, yaitu refleksif (respondent respons) dan
instrumental respon (Operant respon).
Refleksif (respondent respons) adalah respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut electing stimuli, karena menimbulkan
respon-respon yang relatif tetap dan mencangkup perilaku emosional. Instrumental
respon (operant respon), yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian
diikuti oleh stimuli atau rangsangan lain. Perangsang yang terakhir ini disebut
reinforcing stimuli atau reinforce, karena berfungsi untuk memperkuat respon
(Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu:
1) Perilaku Tertutup (Covert Behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat
diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam
bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus
yang bersangkutan. Bentuk unobservable behavior atau covert behavior dapat
diukur dari pengetahuan dan sikap.
2) Perilaku Terbuka (Overt Behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut berupa tindakan,
atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable behavior. Bentuk
23
Gambar 2.2Bagan teori “S-O-R” Skiner
2.3.1.2Perilaku kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme)
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayana
kesehatan, makanan, dan lingkungan (Wawan & Dewi, 2011). Perilaku kesehatan
sama halnya dengan segala aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat
diamati maupun yang tidak dapat diamati dan berkaitan dengan pemeliharaan
kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Oleh karena itu, perilaku kesehatan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1) Perilaku orang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini disebut
perilaku sehat (healthy behavior), yang mencangkup perilaku-perilaku dalam
mencegah atau menghindari suatu penyakit dan penyebab penyakit/masalah,
atau penyebab masalah kesehatan (perilaku preventif), dan perilaku yang
mengupayakan meningkatnya kesehatan (perilaku promotif).
2) Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Perilaku ini
mencangkup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena
masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah STIMULUS ORGANISME RESPON TERTUTUP
Pengetahuan Sikap
RESPON TERBUKA Praktik
24
kesehatan yang dideritanya. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat
atau fasilitas pelayanan kesehatan, baik tradisional maupun modern
Backer (1979) dalam Wawan dan Dewi (2011) mengajukan klasifikasi perilaku
yang berhubungan dengan kesehatan sebagai berikut:
1) Perilaku kesehatan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan
seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga
tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih
tekanan, sanitasi, dan sebagainya.
2) Perilaku sakit, yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseoran
individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan
kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini adalah kemampuan atau
pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit,
serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.
3) Perilaku peran sakit, yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan
individu dan sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku ini
disamping berpengaruh terhadap kesehatan/kesakitannya sendiri, juga
berpengaruh terhadap orang lain.
2.3.1.3Domain Perilaku
Bloom (1908) dalam Notoatmojo tahun 2010 membedakan adanya tiga domain
perilaku, yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan tindakan atau praktik
(practice). Kemudian oleh para ahli pendidikan di Indonesia, ketiga domain ini
25
1) Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap
objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).
Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan
tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran
(telinga), dan penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek
mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi
menjadi enam tingkat pengetahuan, yaitu tahu (know), memahami (comprehention),
aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi
(evaluation).
2) Sikap (Attitude)
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang
sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak
senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap merupakan
suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek,
sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan
yang lain (Notoatmodjo, 2010). Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo
(2010) sikap itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu: (a) kepercayaan atau keyakinan,
ide, dan konsep terhadap objek; (b) kehidupan emosional atau evaluasi orang
terhadap objek; (c) kecenderungan untuk bertindak.
26
Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan
perlu faktor lain, yaitu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik atau
tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut kualitasnya, yaitu:
a. Praktik terpimpin (guided response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung
pada tuntutan atau menggunakan panduan.
b. Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal
secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.
c. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa
yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan
modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.
2.3.2. Bentuk Perilaku
Bentuk perilaku dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Bentuk Pasif
Bentuk pasif adalah respon internal yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak
tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir tanggapan
atau sikap batin, dan pengetahuan (Wawan & Dewi, 2011). Perilaku ini sebatas
sikap dan belum ada tindakan nyata (Sunaryo, 2004).
27
Bentuk aktif apabila perilaku jelas dapat diobservasi secara langsung (Wawan &
Dewi, 2011). Perilaku ini bersifat terbuka dan sudah berupa tindakan yang nyata
(Sunaryo, 2004)
2.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Perilaku manusia dalam melakukan kegiatan atau aktivitas dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Sunaryo (2004) membagi faktor yang memperngaruhi perilaku
manusia ke dalam dua bagian, yaitu:
1) Faktor Genetik atau Faktor Endogen
Faktor genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk
kelanjutan perkembangan perilaku makhluk hidup. Faktor genetik ini dibagi
menjadi beberapa hal yang terkait dari dalam diri individu, antara lain:
a. Jenis ras, setiap ras di dunia memiliki perilaku spesifik dan berbeda satu dengan
yang lainnya.
b. Jenis kelamin, perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara
berpakaian dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Pria berperilaku atas dasar
pertimbangan rasional atau akal, sedangkan wanita atas dasar pertimbangan
emosional atau perasaan.
c. Sifat fisik, perilaku individu jika diamati akan berbeda-beda karena sifat
fisiknya, misalnya perilaku individu yang pendek dan gemuk berbeda dengan
individu yang memiliki fisik yang tinggi kurus.
d. Sifat kepribadian, menurut masyarakat awam adalah bagaimana tampil dan
28
e. Bakat pembawaan, merupakan interaksi dari faktor genetik dan lingkungan
serta bergantung pada adanya kesempatan untuk pengembangan.
f. Intelegensi, sesuatu terkait kemampuan berpikir abstrak dan kemampuan untuk
membuat kombinasi. Maka dikenal tindakan seseorang yang memiliki
intelegensi tinggi akan bertindak cepat dan tepat, sebaliknya seseorang dengan
intelegensi rendah akan bertindak lambat.
2) Faktor Luar Individu atau Faktor Eksogen
Faktor eksogen merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi yang berasal dari luar
individu, antara lain:
a. Faktor lingkungan, menyangkut segala sesuatu yang ada di sekitar individu,
baik fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap
perilaku seseorang karena sebagian besar dari proses perkembangan perilaku
seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
b. Pendidikan, secara luas pendidikan mencangkup seluruh proses kehidupan
individu sejak dari kecil, berupa interaksi individu dengan lingkungannya, baik
secara formal maupun informal.
c. Agama, merupakan tempat mencari makna hidup yang terakhir atau
penghabisan. Agama sebagai suatu keyakinan hidup yang telah masuk ke dalam
kontruksi kepribadian individu dan mempengaruhi proses berpikir, bersikap,
bereaksi, dan berperilaku.
d. Sosial ekonomi, lingkungan seseorang dengan sosial ekonomi akan
berpengaruh terhadap perilaku, sebagai contoh seseorang dengan sosial
29
sebaliknya pada seseorang dengan sosial ekonomi rendah akan menghalalkan
segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidup.
e. Kebudayaan, hasil kebudayaan manusia akan mempengaruhi perilaku manusia
itu sendiri di setiap daerah atau wilayah.
2.3.4. Teori Perilaku Kesehatan
2.3.4.1. Teori Karr
Karr (1983) dalam Notoatmodjo (2010) mengidentifikasi determinan perilaku,
yaitu:
1) Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek
atau stimulus di luar dirinya.
2) Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Apabila perilaku
tersebut bertentangan atau tidak memperoleh dukungan dari masyarakat, maka
ia akan merasa kurang atau tidak nyaman. Demikian pula, untuk berperilaku
kesehatan orang memerlukan dukungan masyarakat sekitarnya.
3) Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya
informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
4) Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil
keputusan. Kebebasan pribadi masih terbatas, khususnya di pedesaan Indonesia.
Contohnya, seorang istri dalam mengambil keputusan masih tergantung kepada
suami.
5) Adanya kondisi atau situasi yang memungkinkan (action situation), kondisi dan
situasi mempunyai pengertian yang luas, baik fasilitas yang tersedia serta
30
apabila kondisi dan situasinya tidak mendukung, maka perilaku tersebut tidak
akan terjadi.
Secara matematik, teori Karr ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
B = Behavior
F = Fungsi
Bi = Behavior Intention
Ss = Social support
Ai = Accessibility Information
Pa = Personal Autonomy
As = Action Situation
2.3.4.2. Teori Green
Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) membedakan adanya suatu determinan
antara faktor perilaku dengan faktor non perilaku. Tiga faktor utama yang dapat
dianalisis mengenai faktor perilaku, yaitu:
1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain
pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.
2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factor), yaitu faktor-faktor yang
memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor
pemungkin yang dimaksud adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit,
dan lain sebagainya.
31
3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor-faktor yang mendorong
atau memperkuat terjadinya perilaku. Seseorang yang tahu dan mampu untuk
berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya.
2.3.4.3. Teori World Health Organization (WHO)
World Health Organization (WHO) merumuskan determinan perilaku ini secara
sederhana dan memiliki alasan pokok (Notoatmodjo, 2010), yaitu:
1) Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), hasil pemikiran-pemikiran dan
perasaan-perasaan atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan
pribadi terhadap objek atau stimulus yang merupakan model awal untuk
bertindak atau berperilaku.
2) Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai
(personal reference), tatanan masyarakat dengan sikap paternalistik masih kuat,
maka perubahan perilaku masyarakat dengan sikap tergantung dari perilaku
acuan yang pada umumnya adalah para tokoh masyarakat setempat.
3) Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat. Jika dibandingkan dengan teori Green,
sumber daya ini sama dengan faktor enabling (sarana dan prasarana atau
fasilitas).
4) Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap
terbentuknya perilaku seseorang. Faktor sosio-budaya merupakan faktor
eksternal untuk terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari
32
masing-masing etnis mempunyai kebudayaan berbeda-beda yang khas (Sutardi,
2007).
Dari uraian tersebut, teori WHO ini dapat dirumuskan secara matematis sebagai
berikut:
B = Behavior
F = Fungsi
Tf = Thoughts and Feeling
Pr = Personal refrences
C = Culture
2.3.5. Pelayanan Kesehatan Pada WPS
2.3.5.1. Klinik Voluntary Counceling and Testing (VCT)
Klinik VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu
masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan berdasarkan prinsip
sukarela dalam melaksanakan testing HIV, saling mempercayai dan terjaminnya
konfidensialitas (Suherman, 2009). Layanan VCT dapat diimplementasikan dalam
berbagai keadaan dan sangat bergantung pada kondisi dan situasi daerah setempat,
kebutuhan masyarakat dan profil klien seperti individual atau pasangan, perempuan
atau laki-laki, dewasa atau anak muda (Depkes RI, 2008). Konseling VCT mampu
memberikan keuntungan, baik bagi mereka yang positif terinveksi virus HIV,
maupun bagi mereka yang negatif (Suherman, 2009). Voluntary Counseling and
33
tentang faktor-faktor risiko infeksi HIV, mengembangkan perilaku, dan dukungan
termasuk akses terapi ART (anti-retro viral) (Dewi, 2008).
2.3.5.2. Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)
Pelayanan VCT dapat dikembangkan di berbagai layanan terkait yang dibutuhkan,
misalnya klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) (Suherman, 2009). Layanan
kesehatan IMS merupakan kegiatan pemeriksaan dan pengobatan bagi pasien yang
mengalami kebutuhan IMS. Layanan kesehatan IMS memiliki fungsi kontrol
terhadap IMS pada populasi berisiko dapat diminimalisir. Pelayanan kesehatan IMS
bertujuan untuk menjalankan fungsi kontrol dan menekan penyebaran IMS pada
laki-laki maupun perempuan (KPAN, 2008).
Standar minimum yang harus dilakukan sebuah klinik IMS menurut Clinical
Services Unit Family Health International Indonesia (2007) adalah sebagai berikut:
1) Kegiatan pencegahan, seperti promosi kondom dan seks yang aman.
2) Pelayanan ditargetkan kepada kelompok berisiko.
3) Pelayanan yang efektif.
4) Program penatalaksanaan mitra seksual.