vii
PROSES PENGAMPUNAN PADA WANITA DENGAN HIV/AIDS YANG TERINFEKSI MELALUI SUAMINYA
Tiffany Chandra ABSTRAK
Studi kasus ini bertujuan untuk memahami proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan prosedur wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap dua orang wanita yang terinfeksi HIV dari suami. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif (AIK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengampunan wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya secara umum sesuai dengan Enright Psychological Process Model of Forgiveness, kecuali pada beberapa bagian. Wanita dengan HIV/AIDS mengenali kesalahan suaminya dan konsekuensi dari kesalahan tersebut, tanpa mampu melakukan konfrontasi kemarahan. Mereka juga memutuskan untuk mengampuni, tetapi tidak terlepas dari konteks agama dan moral dalam pengambilan keputusan tersebut. Selain itu, mereka mengampuni karena suami sakit atau sudah meninggal, bukan karena adanya empati atau belas kasihan sebagai hasil dari perubahan pandangan terhadap suami yang bersalah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dukungan atau sebaliknya, diskriminasi, dari lingkungan sosial mempengaruhi wanita dengan HIV/AIDS dalam mengambil keputusan dan bersikap selama proses pengampunan pada suami yang menjadi sumber infeksi.
viii
PROCESS OF FORGIVENESS IN WOMEN WITH HIV/AIDS WHO INFECTED BY THEIR HUSBANDS
Tiffany Chandra ABSTRACT
This qualitative research aimed to describe how women with HIV/AIDS forgive their husbands as the source of HIV infection. A case study was conducted to fulfill that goal. Researcher used in-depth interview procedure to collect data from two women with HIV/AIDS who infected by their husbands. Qualitative content analysis was applied to analyze the data. Result show that the process of forgiving in women with HIV/AIDS is in accordance with almost all the phases in Enright Psychological Process Model of Forgiveness. Women with HIV/AIDS realize their husbands’ mistake and its negative consequences without showing confrontation of anger. They also make the decision to forgive, but hardly separate themselves from the context of religion and morality in the decision making. Women with HIV/AIDS also forgive because their husbands are sick or died. So, the decision to forgive is not related to the reframing of who the wrongdoer is, and built the empathy and compassion toward their husbands as the offenders. The findings also show that supports or discriminations from the social do influence the women with HIV/AIDS in decision making and their attitudes during the process of forgiving their husbands as the offender.
PROSES PENGAMPUNAN PADA WANITA DENGAN
HIV/AIDS YANG TERINFEKSI MELALUI SUAMINYA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Tiffany Chandra
NIM : 129114007
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
saiki zamane zaman edan,
yen ora edan ora keduman.
nanging sak bejo-bejone wong edan,
isih luwih bejo wong kang eling lan waspada
-Jangka Jayabaya, dipopulerkan R. Ng. RanggaWarsita-WORDS,
in my humble opinion,
are the most INEXHAUSTIBLE source
of MAGIC we have.
-Albus
Dumbledore-Learning is a treasure that will follow
its owner everywhere
-Ancient ChineseProverb-IN ALL LABOR THERE IS PROFIT
23-v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Seluruh jerih payah ini kupersembahkan untuk:
Sang Pokok Anggur
yang menghidupi ranting-rantingnya dengan cinta tak tersangkalkan.
Papa dan Mama
yang menabung peluh dan airmata agar masa depanku bahagia.
Edina Maya Chandra
yang menyimpan kunciku menuju ruangan-ruangan rahasia.
Felix Mikhael Jalung Wirangga Jakti
yang meminjamkan pundak untuk berpijak, hingga jemariku menyentuh angkasa
Guru-gurukudi manapun kalian berada.
Universitas Sanata Dharma, tempat aku dimanusiakan sebagai manusia muda.
Kanca Pait,Anak-Anak Romo, dan semua yang mewarnaiku dengan cinta.
vii
PROSES PENGAMPUNAN PADA WANITA DENGAN HIV/AIDS YANG TERINFEKSI MELALUI SUAMINYA
Tiffany Chandra
ABSTRAK
Studi kasus ini bertujuan untuk memahami proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan prosedur wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap dua orang wanita yang terinfeksi HIV dari suami. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif (AIK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengampunan wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya secara umum sesuai dengan Enright Psychological Process Model of Forgiveness, kecuali pada beberapa bagian. Wanita dengan HIV/AIDS mengenali kesalahan suaminya dan konsekuensi dari kesalahan tersebut, tanpa mampu melakukan konfrontasi kemarahan. Mereka juga memutuskan untuk mengampuni, tetapi tidak terlepas dari konteks agama dan moral dalam pengambilan keputusan tersebut. Selain itu, mereka mengampuni karena suami sakit atau sudah meninggal, bukan karena adanya empati atau belas kasihan sebagai hasil dari perubahan pandangan terhadap suami yang bersalah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dukungan atau sebaliknya, diskriminasi, dari lingkungan sosial mempengaruhi wanita dengan HIV/AIDS dalam mengambil keputusan dan bersikap selama proses pengampunan pada suami yang menjadi sumber infeksi.
viii
PROCESS OF FORGIVENESS IN WOMEN WITH HIV/AIDS WHO INFECTED BY THEIR HUSBANDS
Tiffany Chandra
ABSTRACT
This qualitative research aimed to describe how women with HIV/AIDS forgive their husbands as the source of HIV infection. A case study was conducted to fulfill that goal. Researcher used in-depth interview procedure to collect data from two women with HIV/AIDS who infected by their husbands. Qualitative content analysis was applied to analyze the data. Result show that the process of forgiving in women with HIV/AIDS is in accordance with almost all the phases in Enright Psychological Process Model of Forgiveness. Women with HIV/AIDS realize their husbands’ mistake and its negative consequences without showing confrontation of anger. They also make the decision to forgive, but hardly separate themselves from the context of religion and morality in the decision making. Women with HIV/AIDS also forgive because their husbands are sick or died. So, the decision to forgive is not related to the reframing of who the wrongdoer is, and built the empathy and compassion toward their husbands as the offenders. The findings also show that supports or discriminations from the social do influence the women with HIV/AIDS in decision making and their attitudes during the process of forgiving their husbands as the offender.
x
KATA PENGANTAR
Terpujilah Kristus sebab karena kasih-Nya yang tak terbantahkan, penulis
dimampukan untuk menyelesaikan karya ini. Namun, sebagai manusia yang
bersahabat karib dengan kelemahan dan kesalahan, penulis sangat terbuka
terhadap berbagai kritikan dan masukan yang dapat membantu penulis dalam
karya-karya selanjutnya. Dalam kesempatan ini, penulis juga hendak
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang menyempurnakan penulis
dengan doa dan cinta, terutama:
1. Jehovah Jireh, penyedia dan penyelenggara hidupku.
2. Mama dan Papa yang dalam rapalan doa-doanya terselip namaku.
3. Pungpung dan seluruh keluarga besar yang senantiasa menguatkanku.
4. Dr. Tjipto Susana, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Skripsi, yang
memungkinkan karya ini terwujud, melalui pengorbanan waktu dan kesabaran
mendidik yang tak jemu-jemu.
5. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi USD.
6. P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Kepala Prodi Fakultas Psikologi USD.
7. Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
9. Mbak D dan Mbak T, dua wanita tangguh yang memberiku lebih dari sekedar
data penelitian dan menularkan semangat hidup padaku.
10. Mas Rangga, sahabat dan teman hidup, yang senantiasa ada dalam senja dan
xi
11. Sahabat-sahabatku: Indro, Jessi, Ommo, Pelinski, Ce Agnes, Flo, Paul, Roy,
Titus, Dhesa, dan Cius.
12. Teman seperjuangan di Yogya: geng “Marijajan”.
13. Semua jiwa-jiwa baik yang mengingatku dalam doa dan harapan.
Yogyakarta, 19 Desember 2016
Penulis,
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 16
C. Tujuan Penelitian ... 16
D. Manfaat Penelitian ... 16
1. Manfaat Teoritis ... 16
xiii
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 19
A. Korban Pengalaman Traumatik...19
B. HIV dan AIDS...20
1. HIV... 20
2. AIDS ... 21
3. Prinsip Penularan HIV ... 22
C. Orang dengan HIV/AIDS...23
1. ODHA...23
2. Sikap ODHA ... 23
D. Pengampunan ... 25
1. Definisi Pengampunan...25
2. Proses Pengampunan...29
3. Jenis-Jenis Pengampunan...36
4. Pengampunan dan Wanita dengan HIV/AIDS... 41
E. Kerangka Konseptual ... 44
BAB III. METODE PENELITIAN ... 45
A. Jenis dan Desain Penelitian... 45
1. Jenis Penelitian...45
2. Desain Penelitian... 46
B. Fokus Penelitian ... 46
C. Informan ... 47
D. Peran Peneliti ... 48
xiv
2. Kaitan antara Peneliti, Informan, dan Lokasi Penelitian ... 49
3. Isu-isu Terkait Etika ... 49
E. Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data ... 50
1. Prosedur Pengumpulan Data...50
2. Prosedur Perekaman Data ... 51
F. Metode Analisis Data ... 51
G. Kredibilitas... 52
1. Validitas...52
2. Reliabilitas ... 55
3. Generalisabilitas... 56
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 57
A. Persiapan Peneltian ... 57
B. Pelaksanaan Peneltian ... 59
C. Profil Informan... 61
1. Latar Belakang Informan I ... 62
2. Latar Belakang Informan II... 66
D. Hasil Penelitian ... 68
1. Relasi Informan dengan Suami Sebelum Informan Terkena HIV .... 69
2. Relasi Informan dengan Suami Saat Terkena HIV ... 71
3. Dinamika Informan Pasca Suami Meninggal ... 79
4. Dinamika Informan Terkait Dukungan dari Lingkungan ... 82
5. Proses Informan Mengampuni Suami... 87
xv
E. Pembahasan... 92
1. FaseUncovering... 92
2. FaseDecision... 97
3. FaseWork... 100
4. FaseDeepening... 104
F. Poin Pembelajaran(Learning Points)... 109
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 111
A. Kesimpulan ... 111
B. Keterbatasan Penelitian ... 113
C. Saran... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 118
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ringkasan Kegiatan Pengambilan Data Penelitian ... 61
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.Informed Consent... 124
Lampiran 2. Lembar Persetujuan ... 127
Lampiran 3. Protokol Wawancara... 128
Lampiran 4. Tabel AIK I Informan I...132
Lampiran 5. Tabel AIK I Informan II ... 209
Lampiran 6. Tabel AIK II Informan I...285
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada tahun 1981, dunia pertama kali menambahkan infeksi HIV ke
dalam daftar kondisi kesehatan yang dikenal manusia, setelah ditemukan
warga Amerika Serikat dengan status HIV positif. Sekitar dua dekade
kemudian, para ilmuwan menemukan bahwa HIV berkaitan dengan
SIVcpz, virus yang menyerang sistem imun pada monyet dan kera, di
Republik Demokratis Kongo, Afrika. Dari tempat tersebutlah HIV
diyakini berasal, sebelum akhirnya menyebar ke seluruh dunia, termasuk
Indonesia (“Origin of HIV & AIDS”, 2015).
Sejak permulaan epidemik hingga saat ini, tercatat hampir 78 juta
orang terinfeksi HIV dan 39 juta orang meninggal dunia karenanya
(“Global Health Observatory (GHO) data: HIV/AIDS”, 2016). HIV/AIDS
sendiri menempati urutan ke-6 dalam daftar “Sepuluh Penyebab
Terkemuka Kematian Manusia di Dunia” pada tahun 2012 menurut WHO.
Pada tahun tersebut, HIV/AIDS menjadi penyebab pada 1,5 juta kasus
kematian di dunia, atau setara dengan 2,7% dari seluruh kasus kematian di
dunia (“The top ten causes of death”, 2014). Tahun berikutnya, 2013, 1,5
juta orang dari seluruh dunia meninggal karena HIV/AIDS dan sekitar 35
juta orang hidup dengan HIV/AIDS pada akhir tahun 2013 (“Global
Sementara itu, di Indonesia sendiri, terjadi peningkatan jumlah
kasus HIV sejak pertama kali ditemukan, yakni pada tahun 1987 di
Provinsi Bali, hingga terakhir kali dilakukan pendataan pada September
2014. Pada tahun 1987 hingga 2005, ditemukan sekitar 859 kasus HIV di
Indonesia. Sementara itu, pada September 2014, tercatat sebanyak 22.869
kasus (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Berbeda dengan kasus HIV, kasus AIDS di Indonesia
menunjukkan kecenderungan peningkatan yang lamban dari tahun ke
tahun selama periode 1987 hingga September 2014. Bahkan, sejak tahun
2012, kasus AIDS di Indonesia mulai menurun. Kasus AIDS hingga tahun
2005 tercatat sebanyak 5.184, sementara pada September 2014 tercatat
sebanyak 1.876 kasus. Meskipun mengalami penurunan, tetapi angka
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum bebas AIDS (Kementrian
Kesehatan RI, 2014).
Berdasarkan faktor risiko, pola penularan HIV di Indonesia pada
tahun 2010 hingga 2014 tidak mengalami perubahan. Infeksi HIV
dominan terjadi pada heteroseksual, diikuti kelompok “lain-lain”,
pengguna napza suntik, dan diikuti oleh kelompok “Lelaki berhubungan
Seks dengan Lelaki” (LSL). Sementara itu, berdasarkan faktor risiko,
kasus AIDS di Indonesia dari tahun 1987 hingga September 2014 dominan
terjadi pada kelompok heteroseksual (61,5%), “tidak diketahui” (17,1%),
pengguna napza suntik (15,2%), dan homoseksual (2,4%). Menurut jenis
kelompok ibu rumah tangga, diikuti wiraswasta, dan diikuti oleh tenaga
non profesional (karyawan) (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Sejak tahun 1981 saat istilah HIV pertama kali dikenal, hingga saat
ini di mana HIV dan AIDS telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk 386
kabupaten/kota di Indonesia, belum ditemukan obat yang dapat
menyembuhkan seseorang dari infeksi HIV. Obat yang berhasil ditemukan
sejauh ini hanya dapat memperpanjang hidup dan/atau meningkatkan mutu
hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Green, 2013). Oleh karena itu,
berbagai terapi penunjang, yakni terapi tradisional tanpa obat-obatan
kimiawi, dilakukan untuk meningkatkan mutu hidup ODHA. Terapi
penunjang ini dapat berupa penggunaan ramuan tradisional, penggunaan
suplemen, olahraga, pijat refleksi, hingga terapi psikologis, spiritual, dan
emosional (Murni, Green, Djauzi, Setiyanto & Okta, 2009).
Para peneliti kemudian menemukan bahwa praktik pengampunan
dapat menjadi salah satu bentuk terapi penunjang bagi ODHA, karena
menghilangkan afek-afek negatif dalam diri ODHA. Keberadaan afek-afek
negatif tersebut disinyalir dapat menurunkan kadar CD4, sel darah putih
yang dipakai HIV untuk mereplikasikan diri sebelum kemudian dibunuh
oleh virus tersebut. Dengan demikian, apabila jumlah CD4 rendah, sistem
kekebalan tubuh ODHA akan lemah (Riasnugrahani & Wijayanti, 2011).
Penelitian lainnya juga menemukan bahwa pengampunan kepada orang
lain dapat menjadi sebuah strategi coping dalam menghadapi tekanan
memiliki kelekatan insecure. Sementara itu, pengampunan terhadap diri sendiri akan meningkatkan persepsi tentang kesehatan pada ODHA yang
memiliki kecemasan dalam kelekatan (Martin, Vosvick & Riggs, 2012).
Temoshok dan Wald (2005) dalam penelitian mereka berhipotesis
bahwa konsekuensi emosional dan psikososial dari mengampuni dan
perasaan diampuni, atau sebaliknya tidak mengampuni dan perasaan tidak
diampuni, memiliki konsekuensi psikososial (behavioral) dan
psikoneuroimunologis (biomedis) bagi orang-orang yang terinfeksi HIV.
Mengampuni orang lain diyakini terasosiasi dengan harga diri dan
penghargaan diri, juga banyak dampak positif kesehatan, serta berlawanan
dengan perasaan bersalah, kebencian terhadap diri sendiri, dan perilaku
menyalahkan diri sendiri (Glaser, Rabin, Chesney, Cohen & Natelson,
1999; Moulton, Sweet, Temoshok, 1987 dalam Temoshok & Wald, 2005).
Lebih jauh lagi, Temoshok dan Wald (2005) menjelaskan bahwa harga diri
yang rendah terasosiasi dengan cara-cara maladaptif untuk berdamai
dengan stres, misalnya penggunaan obat-obatan terlarang yang merupakan
kontributor infeksi HIV dan penyakit menular seksual lainnya, juga
penyakit yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan terlarang, secara
khusus jenis obat yang menggunakan jarum suntik sebagai media.
Temoshok dan Wald (2005) mengemukakan pula bahwa ketika
seorang ODHA mampu mengampuni secara interpersonal dan mampu
melepaskan perasaan-perasaan yang tidak produktif terhadap orang lain,
dengan lebih mudah dan efektif. Dukungan sosial terbukti menjadi faktor
kunci dalam mempertahankan kesehatan yang baik dan relevan bagi
ODHA, terutama yang biasanya merasa ditolak. Sementara itu,
ketidakpercayaan dan rasa tidak mengampuni sistem medis, serta
kenyataan bahwa belum ada obat yang dapat menyembuhkan AIDS
menyebabkan ODHA tidak patuh dalam meminum obat. Padahal,
obat-obatan tersebut harus dikonsumsi ODHA secara teratur dengan keakuratan
waktu konsumsi di atas 95%, untuk mencegah perkembangan jenis virus
yang kebal obat. Keadaan tidak mengampuni juga menciptakan
komunikasi yang buruk antara ODHA dengan penyedia layanan
kesehatan, yang dapat berujung pada rasa putusasa dan hilang harapan.
Padahal, rasa memiliki harapan adalah salah satu kunci dalam proses
biomedis yang dapat menuntun pada keberhasilan tritmen dan pemulihan.
Secara biomedis, kemampuan untuk mengampuni dan melupakan
akan memunculkan keadaan yang mampu mengembalikan sistem
psikologis yang hyperaroused pada keadaan homeostatis. Keadaan
relaksasi psikologis dan homeostatis otonomik ini merupakan sebuah pola
psikologis yang terkait dengan long term survival pada ODHA. Namun,
“pengampunan bertopeng” yang menutupi perasaan belum mengampuni
dan berperilaku seolah-olah telah mengampuni, tidak akan mengatasi
peristiwa atau dilema pengampunan, dan malah akan menghasilkan gairah
Pengampunan adalah perilaku yang mencerminkan belas kasihan
berlimpah kepada orang yang telah berperilaku tidak pantas (Holter,
Magnuson & Enright, 2008). Holter dkk. (2008) mengatakan, mudah
untuk mengatakan bahwa “semua orang pantas mendapatkan belas
kasihan”. Namun, dibutuhkan pengorbanan yang tidak kecil untuk
mewujudkannya. Pengampunan bukan hal yang mudah untuk dilakukan
karena menyangkut proses yang panjang, kompleks, bahkan seringkali
menyakitkan (Walton, 2005). Pembahasan mengenai pengampunan itu
sendiri sulit terlepas dari topik mengenai luka/sakit (hurt) dan kebencian
(resentment) (Walton, 2005). Oleh DiBlasion & Proctor (1993 dalam
Walton, 2005), hurt didefinisikan sebagai rasa sakit yang diderita karena
kesalahan orang lain, sementararesentment digambarkan sebagai perasaan
negatif terhadap pelaku kesalahan karena telah menyebabkan luka.
Hurt dapat terjadi pada siapa saja, misalnya korban kekerasan emosional dalam rumah tangga (Reed & Enright, 2006), korban incest (Walton, 2005), dan lain sebagainya. Pengalaman akan rasa sakit (hurt)
tersebut dapat menyebabkan seorang individu mengalami posttraumatic
stress disorder (PTSD). Hal ini diperkuat oleh gagasan yang disampaikan oleh American Psychiatric Association (1994 dalam Bonin, Norton,
Asmundson, Dicurzio & Pidlubney, 2000) bahwa PTSD mungkin muncul
mengikuti peristiwa ketika seorang individu yakin bahwa dirinya dapat
saja terluka atau terbunuh secara serius, ataupun ketika menyaksikan orang
Bentuk trauma itu sendiri dapat bermacam-macam, misalnya:
kematian orang yang dicintai, pengasingan atau pengabaian secara fisik
dan emosional, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau
komunitas, mengalami kecelakaan atau bencana alam yang serius, serta
trauma yang terasosiasi dengan perang dan pertempuran, dan lainnya.
Pengalaman-pengalaman tersebut berpotensi menghasilkan reaksi PTSD
bagi sebagian besar korban. Kendati demikian, belum banyak penelitian
empiris yang memeriksa keterkaitan spesifik antara pengampunan dan
kesembuhan dari trauma, termasuk hubungan PTSD dan tidak memaafkan.
Berdasarkan penjabaran mengenai macam-macam trauma di atas,
dapat dilihat bahwa ada beberapa trauma yang disebabkan oleh perilaku
orang lain dan ada yang tidak. Dalam trauma yang disebabkan oleh orang
lain, beberapa kasus membutuhkan proses pengampunan yang berbeda
dari biasanya, misalnya kasus kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
Pengampunan dalam konteks kekerasan seksual pada masa
kanak-kanak berbeda dengan mengampuni kesalahan lainnya karena beberapa
alasan. Pertama, pelaku kesalahan dalam kekerasan seksual pada masa
kanak-kanak seringkali merupakan individu yang seharusnya
bertanggungjawab atas keselamatan dan kesejahteraan korban dan secara
ekstrim memiliki keintiman emosional dengan korban, sehingga sulit
mengampuni pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diperkeruh oleh
adanya pelanggaran keamanan. Kedua, mengampuni kasus kekerasan
dimulai dan membutuhkan waktu yang signifikan. Terakhir, perubahan
prososial motivasional terhadap pelaku kesalahan mungkin tidak dapat
dijalani dan/atau tidak dianjurkan, berkaitan dengan potensi terulangnya
kekerasan setelah rekonsiliasi. Kendati demikian, penelitian-penelitian
selanjutnya menemukan bahwa pengampunan dapat terjadi tanpa
rekonsiliasi, dan korban dapat mencapai transformasi emosi, kognitif, dan
perilaku terhadap pelaku kesalahan tanpa perlu adanya kedekatan fisik
ataupun kembali berelasi dengan pelaku kesalahan (Noll, 2005).
Meskipun belum banyak studi empiris yang berfokus pada
pengalaman traumatik, termasuk pengampunan pada kasus kekerasan
seksual, beberapa penelitian ternayata mampu menunjukkan efek positif
pengampunan terhadap para korban pengalaman traumatik. Freedman &
Enright (1996 dalam Noll, 2005) menemukan bahwa intervensi
pengampunan menurunkan kecemasan dan depresi, serta meningkatkan
pengampunan dan harapan pada korban incest dalam penelitian yang
mereka lakukan. Sementara itu, penelitian lainnya menemukan bahwa
intervensi pengampunan efektif bagi beberapa korban kekerasan seksual
dan sebagian besar aspek pengampunan memberikan keuntungan pada
proses penyembuhan para korban (Noll, 2003; Noll & McCullough, 2004
dalam Noll. 2005).
Minimnya penelitian mengenai pengampunan pada korban dengan
pengalaman traumatik, serta efek positif praktik pengampunan terhadap
pengampunan pada wanita yang terinfeksi HIV dari suaminya. Para wanita
dengan HIV/AIDS tersebut juga merupakan korban pengalaman traumatik
dan harus menanggung hurt berupa beban secara fisik, psikologis, dan sosial akibat perbuatan suami. Pada kasus wanita dengan HIV/AIDS yang
terinfeksi dari suami, sekalipun tidak terjadi rekonsiliasi atau bahkan
korban putus hubungan dengan pelaku kesalahan, korban tetap akan
menanggung hurt akibat pengalaman traumatiknya, misalnya: kesehatan
fisik yang buruk karena adanya HIV dalam tubuh, dan lain sebagainya.
Ketertarikan untuk meneliti tersebut diperkuat oleh temuan bahwa
ODHA seringkali merasa tidak mampu untuk mengampuni anggota
keluarganya atas keadaan yang menyebabkan mereka memperoleh infeksi
HIV, terutama pada wanita dengan HIV/AIDS. Wanita dengan HIV/AIDS
cenderung menyalahkan keluarga dan tradisi sosial atas kerentanan
mereka. Misalnya, seorang informan mengaku bahwa dirinya tidak mampu
mengampuni kedua orangtuanya yang telah membuatnya menikahi pria
dengan kebiasaan buruk, hingga dirinya terinfeksi HIV/AIDS. Informan
tersebut juga mengatakan bahwa seharusnya orangtuanya mendidik dan
membantunya menjadi mandiri (Temoshok & Chandra, 2000).
Penelitian lainnya yang dilakukan di Thailand menemukan bahwa
ODHA biasanya mengalami kehidupan tidak harmonis yang disebabkan
infeksi HIV dan juga tritmen yang terkait dengan HIV. Keadaan yang
ideal, yaitu keharmonisan, dapat diperoleh, salah satu caranya, dengan
suatu keadaan yang muncul saat seseorang menemukan diri mereka yang
sesungguhnya (real self), yang dapat meningkatkan keharmonisan di
dalam pikiran, tubuh, dan jiwa, serta meningkatkan derajat kesehatan.
Perolehan keharmonisan tersebut telah terbukti memunculkan perasaan
puas atau berhasil, konsep diri yang positif, serta lingkungan yang lebih
menyenangkan. Pada intinya, keharmonisan yang hendak dicapai adalah
keadaan seimbang antara diri seseorang dengan alam semesta.
Adapun pengalaman-pengalaman ketidakharmonisan yang dialami
oleh ODHA biasanya berupa: stres karena menjadi orang yang terinfeksi
HIV; perasaan tidak menentu, merasa putus asa, berpikiran untuk mati;
rasa bersalah dan tidak mengampuni; dan merasa tidak berdaya
(Keawpimon, Songwathana & Chuaprapaisilp, 2010). Sementara itu,
penelitian lainnya juga menemukan bahwa pria yang terinfeksi HIV
sebagai konsekuensi dari perilaku berisiko yang mereka lakukan,
cenderung bergumul dengan isu pengampunan terhadap diri sendiri
(Temoshok & Chandra, 2000).
Pengampunan terutama sulit dilakukan oleh ODHA yang terinfeksi
melalui pasangan. Sebuah studi kasus oleh Riasnugrahani dan Wijayanti
(2011) memunjukkan bahwa wanita yang terinfeksi HIV/AIDS melalui
suami cenderung merasa tidak adil akan keadaan tersebut dan tidak
mengampuni. Penelitian lainnya menemukan bahwa wanita yang terinfeksi
HIV/AIDS melalui pasangan merasa marah, bahkan cenderung tidak lagi
(Keawpimon, Songwathana & Chuaprapaisilp, 2010). Perilaku tidak
mengampuni tersebut terkait dengan beban-beban sosial dan psikologis
yang ditanggung ODHA ketika statusnya terungkap (Hidayah, 2014).
Temoshok dan Chandra (2000) juga menemukan bahwa wanita di
India yang terinfeksi HIV melalui pasangannya cenderung tidak
mengampuni situasi yang membuat mereka rentan terhadap infeksi, serta
merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi yang mereka alami. Para
wanita tersebut kemudian berusaha menerima infeksi HIV mereka sebagai
takdir untuk berekonsiliasi dengan perasaan tidak mengampuni tersebut.
Sementara itu, wanita yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial
(PSK), cenderung tidak mampu mengampuni pria yang membuat mereka
terinfeksi, sebagai bentuk dari amarah, serta terbukti tetap tidak berhasil
mengampuni setelah diberi intervensi berupa pendekatan rohani/agama.
Para wanita yang berprofesi sebagai PSK tersebut juga tidak dapat
mengampuni orang lain dan masyarakat yang mengisolasi mereka dan
meminta mereka bertanggungjawab atas penyebaran infeksi HIV.
Penelitian-penelitian terdahulu memberikan gambaran mengenai
berbagai konsekuensi dari perilaku mengampuni dan tidak mengampuni
pada ODHA (Martin, Vosvick & Riggs, 2012; Riasnugrahani & Wijayanti,
2011; Temoshok & Wald, 2005). Hasil dari penelitian-penelitian tersebut
secara umum menunjukkan bahwa pengampunan pada akhirnya akan
mampu meningkatkan status kesehatan ODHA. Sebaliknya perilaku tidak
menyebabkan kesehatan ODHA semakin memburuk. Beberapa penelitian
lainnya juga menunjukkan bahwa pada umumnya sulit bagi ODHA untuk
melakukan pengampunan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain,
termasuk keluarganya sendiri (Hidayah, 2014; Temoshok & Chandra,
2000). Kesulitan untuk mengampuni tersebut biasanya terjadi pada wanita
dengan HIV/AIDS (Temoshok & Chandra, 2000), terutama yang terinfeksi
melalui pasangannya (Keawpimon, Songwathana, Chuaprapaisilp, 2010;
Riasnugrahani & Wijayanti, 2011; Temoshok & Chandra, 2000).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Riasnugrahani dan
Wijayanti (2011) berusaha mengungkap kaitan pengampunan dengan
tingkat kesehatan pada wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi melalui
suaminya. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha memetakan proses
pengampunan yang dilalui oleh kedua subjeknya. Peneliti mencocokkan
hasil wawancara mengenai proses pengampunan yang dilalui subjek
dengan teori mengenai 20 unit dari proses pengampunan, yang dirangkum
ke dalam empat fase, yakni: uncovering, decision, work, dan deepening (Enright, et. al., 1998 dalam Riasnugrahani & Wijayanti, 2011).
Penelitian tersebut secara umum menjelaskan keadaan-keadaan
yang dialami oleh kedua subjek dalam setiap fase, tetapi tidak secara rinci
membandingkan keadaan-keadaan yang dialami para subjek dengan
tahap-tahap dalam fase pengampunan Enright. Hal ini dilakukan karena
kesehatan subjek sebelum dan sesudah memasuki rangkaian proses
pengampunan.
Dengan mempertimbangkan penelitian-penelitian terdahulu, maka
penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi proses yang dilalui oleh
wanita dengan HIV/AIDS dalam mengampuni pasangan yang menjadi
sumber penularan HIV. Adapun wanita dengan HIV/AIDS yang menjadi
informan dalam penelitian ini adalah wanita yang telah menikah dan
terinfeksi HIV dari suaminya. Latar belakang suami terinfeksi dapat
berupa faktor risiko apa saja, misalnya: hubungan seksual, penggunaan
jarum suntik secara bergantian, dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini, proses yang dilalui informan, dari awal
hingga mencapai tahap mengampuni, dicermati sampai tingkatan unit.
Dengan demikian, penelitian ini akan mampu mengungkap variabel
psikologis yang muncul saat seseorang menjalani proses mengampuni.
Selain itu, hal tersebut juga dapat mengungkap aspek-aspek kognitif,
behavioral, dan afektif dari proses pengampunan (Enright & Coyle, 1996).
Terkait dengan penggunaan teori proses pengampunan Enright,
yang dikenal sebagai Enright Psychological Process Model of
Forgiveness, peneliti berusaha untuk memperhatikan berbagai kritik yang muncul mengenai teori tersebut. Terhadap kritik yang disampaikan oleh
Lamb (2002) bahwa tahapan pengampunan tersebut tidak selalu dialami
oleh orang yang mengampuni, Freedman, Enright & Knutson (2005)
terkadang mereka mengganti beberapa unit guna menyesuaikan dengan
pengalaman aktual orang yang diteliti. Selain itu, mereka juga tetap
berkeyakinan bahwa pengampunan paling baik ditawarkan tanpa paksaan
pada waktu orang yang mengampuni sudah siap, terlepas bagaimana
perilaku dari pelaku kesalahan. Pernyataan tersebut merupakan tanggapan
atas kritik Lamb (2002) yang mengatakan bahwa seharusnya orang yang
mengampuni dan orang yang diampuni saling bergantung, misalnya
dengan cara pelaku kesalahan menunjukkan penyesalannya. Menurut
Freedman, Enright & Knutson (2005), tidak selalu ada kesempatan bagi
relasi antara orang yang mengampuni dan diampuni untuk terjadi.
Murphy (2002, dalam Lamb 2002) juga mengkritik bahwa
pelepasan perasaan negatif dan perasaan ingin membalas dendam, yang
merupakan salah satu unit dalam tahapan pengampunan Enright, terdengar
seperti melepaskan harga diri, pertahanan diri, serta kepatuhan pada
tatanan moral. Sebagai respon atas kritikan tersebut, Freedman, Enright &
Knutson (2005) mengutip diskusi Holmgren (2002, dalam Freedman,
Enright & Knutson, 2005) bahwa tahap pertama menunju pengampunan
adalah orang yang terluka perlu memulihkan harga dirinya dan menyadari
bahwa luka yang diterimanya salah, serta bahwa dirinya adalah orang yang
berharga dan pantas untuk diperlakukan dengan baik, juga bahwa
kesalahan yang terjadi bukan kekeliruannya. Selain itu, Freedman, Enright
& Knutson (2005) juga menegaskan bahwa mereka tidak pernah
terluka secara mendalam, tetapi pengampunan adalah salah satu cara untuk
pulih dan secara efektif mengurangi kemarahan dan sakit hati, sebagai
tanggapan atas kritik bahwa kemungkinan ada pendekatan atau tritmen
lainnya yang lebih efektif daripada praktik pengampunan (Lamb, 2002).
Sementara itu, berkaitan dengan lokasi penelitian yang berada di
Indonesia, sebuah penelitian menemukan bahwa sensitivitas terhadap
situasi dan kerelaan untuk mengampuni, dalam kaitannya dengan
forgivingness-sebuah disposisi keseluruhan untuk mengampuni, cenderung lebih tinggi pada orang Indonesia yang dikenal memiliki budaya
kolektivitas daripada orang Prancis yang diketahui lebih individualistik.
Sementara itu, kebencian yang berkepanjangan memiliki tingkatan yang
lebih rendah pada orang Indonesia dibandingkan orang Perancis.
Penemuan tersebut berkaitan dengan pandangan kolektivitis yang
cenderung menekankan norma kolektif, relasi, serta kesejahteraan
bersama, sehingga pengampunan dipahami sebagai konstruk interpersonal
yang harus dilakukan karena merupakan suatu tugas sosial. Sementara itu,
dalam budaya individualistik, diri dipandang berdikari dan yang
ditekankan adalah tanggungjawab serta kesejahteraan pribadi, sehingga
pengampunan dipahami sebagai sebuah konstruk intrapersonal
(Suwartono, Prawasti & Mullet, 2006).
Selain itu, Sandage & Williamson (2005) menemukan bahwa studi
terkait efek dari konteks dan kultur dalam hubungannya dengan
(non-western sample). Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa penemuan-penemuan
baru mengenai sistem-sistem nilai yang ada di Indonesia dalam kaitannya
dengan pengampunan, sehingga pada akhirnya dapat melihat pula unit-unit
dalam tahapan pengampunan Enright yang sesuai dan tidak sesuai dengan
pengalaman mengampuni pada wanita dengan HIV/AIDS di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita
dengan HIV/AIDS terhadap suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengampunan
yang dilakukan oleh wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya yang
menjadi sumber infeksi HIV.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan gambaran
mengenai proses mengampuni pada wanita yang terinfeksi
HIV/AIDS melalui suaminya, hal-hal yang terkait dengan
proses pengampunan tersebut, serta pentingnya
b. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai pengampunan yang
terjadi dalam konteks kultur Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi panutan bagi orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk mampu melakukan
pengampunan, baik terhadap diri sendiri, orang lain, situasi
yang mereka alami, maupun sistem kesehatan, guna
meningkatkan status kesehatan mereka.
b. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi panduan
bagi praktisi psikologi dalam melakukan pendampingan
terhadap ODHA guna memberikan dukungan psikologis
untuk mencegah terjadinya kesalahan bersikap, misalnya
merencanakan untuk bunuh diri.
c. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan wawasan baru kepada para praktisi kesehatan
guna mendukung mereka dalam memberikan edukasi
terkait isu HIV dan AIDS bagi masyarakat luas dan ODHA
sendiri.
d. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
wawasan baru bagi keluarga ODHA guna mendorong
mereka untuk mendukung ODHA agar mampu bangkit dari
e. Terakhir, penemuan dalam penelitian ini diharapkan pula
dapat mendorong masyarakat luas untuk mencari informasi
yang benar terkait HIV dan AIDS agar terhindar dari
perilaku diskriminasi serta menumbuhkan kesadaran
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KORBAN PENGALAMAN TRAUMATIK
Korban merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang menjadi target dari perilaku kekerasan, diskriminatif, melecehkan, ataupun menyerang dari orang lain. Selain itu, istilah korban juga merujuk pada orang yang mengalami kecelakaan ataupun bencana alam (American Psychological Association, 2015). Para korban tersebut biasanya akan mengalami emosi negatif berupa kecemasan, terluka, kesedihan, kemarahan, dan kebencian dalam tingkatan yang berbeda-beda, juga membangun pola kognisi negatif serta menunjukkan kecenderungan perilaku negatif (Rusbult, Hannon, Stocker & Finkel, 2005). Reaksi yang muncul pada korban setelah mengalami peristiwa traumatik, kekerasan, bencana alam, dan lain sebagainya (Noll, 2005) dapat bervariasi tergantung pada, salah satunya, sifat dari pengalaman traumatik yang terjadi (Rusbult, Hannon, Stocker & Finkel, 2005).
dapat dikendalikan (Rusbult, Hannon, Stocker & Finkel, 2005). Pada trauma-trauma yang terjadi karena perilaku orang lain, korban biasanya akan merasakan hurt, yakni rasa sakit yang diderita karena kesalahan orang lain (Walton, 2005).
Terkait dengan pengalaman traumatik tersebut, peneliti menemukan bahwa praktik pengampunan berpotensi memunculkan efek positif pada korban pengalaman traumatik. Kendati demikian, hasil penelitian menunjukkan pula bahwa dalam trauma akibat perbuatan orang lain, terdapat kasus-kasus yang membutuhkan proses pengampunan yang berbeda karena kondisi-kondisi tertentu (Noll, 2005). Salah satu bentuk trauma yang muncul akibat kesalahan orang lain adalah kasus wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi dari suaminya. Dalam kasus tersebut, sekalipun rekonsiliasi antara pelaku kesalahan dan korban tidak terjadi, atau bahkan terjadi putus hubungan, korban tetap harus menanggung berbagai konsekuensi buruk akibat pelanggaran yang terjadi, misalnya penurunan kesehatan fisik karena virus akan tetap berada di dalam tubuh dan tidak dapat disembuhkan.
B. HIV DAN AIDS
1. HIV
dalam CD4. Setelah itu, HIV akan meninggalkan CD4 dalam keadaan rusak. Padahal, CD4 merupakan sel darah putih yang berfungsi untuk mengatur sistem kekebalan tubuh manusia. Oleh karena itu, ketika sel-sel CD4 hancur, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi tubuh manusia dari serangan berbagai penyakit (Murni dkk., 2009).
2. AIDS
Sementara itu, AIDS (Acquires Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan dari penyakit-penyakit yang muncul setelah HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia (Murni dkk., 2009). Seseorang yang baru terinfeksi HIV biasanya tidak menunjukkan gejala penyakit (AIDS). Orang tersebut akan tampak sehat meski telah terdapat HIV di dalam tubuhnya, yang dapat ditularkan pada orang lain. Masa tanpa gejala tersebut dapat berlangsung selama lima hingga sepuluh tahun, atau bahkan lebih (Green, 2014).
Yogyakarta, t.t.). Biasanya, orang dengan AIDS akan mengalami penurunan kadar CD4, dari yang biasanya berkisar antara 500 hingga 1.500 pada orang sehat. Keadaan kekebalan tubuh orang dengan AIDS yang lemah ini tidak jarang menyebabkan beberapa jenis penyakit menjadi lebih berat daripada biasanya (Murni dkk., 2009).
3. Prinsip Penularan HIV
Pada dasarnya, di dalam tubuh orang yang terinfeksi, HIV dapat ditemukan di dalam darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Oleh karena itu, HIV hanya dapat menular melalui kondisi tertentu, yang biasanya dikenal dengan istilah “perilaku berisiko”. Beberapa kondisi tersebut antara lain:
a. Hubungan seksual yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan vagina dari orang yang dengan HIV masuk ke aliran darah orang yang terinfeksi. Biasanya kondisi ini terjadi pada hubungan seksual tanpa kondom melalui vagina, dubur, ataupun mulut. Dengan demikian, hubungan seksual antara suami dan istri juga berisiko menularkan HIV.
b. Penggunaan jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi HIV.
d. Penularan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi dalam kandungan, saat melahirkan, dan saat menyusui tanpa perantara (Murni dkk., 2009).
C. ORANG DENGAN HIV/AIDS
1. ODHA
Siapapun bisa terinfeksi HIV apabila memiliki riwayat melakukan perilaku berisiko. Perilaku yang berisiko merupakan perbuatan yang meningkatkan kemungkinan terinfeksi, misalnya berhubungan seksual tanpa menggunakan kondom, berhubungan seksual dengan orang yang status HIV-nya tidak diketahui, menggunakan jarum suntik secara bergantian, dan lain sebagainya (Serba-serbi HIV & AIDS, t.t.). Orang dengan HIV positif akan terlihat sehat dan merasa sehat, sehingga orang tersebut tidak akan tahu bahwa dirinya telah terinfeksi HIV apabila belum melakukan tes HIV (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta, t.t.).
2. Sikap ODHA
inkontinensia (tidak dapat menahan keluarnya kotoran), menjadi sangat lemas hingga tidak dapat berjalan tanpa bantuan, menjadi pikun dan pelupa. Selain itu, ODHA juga biasanya mengalami masalah badan bau dan kotor karena adanya penurunan kemampuan fisik yang menyulitkan mereka untuk merawat tubuh mereka.
ODHA juga kerap mendapatkan stigma negatif dari masyarakat karena infeksi HIV tidak dapat diterima di kebanyakan negara. Bahkan, wanita yang terinfeksi HIV/AIDS biasanya dilabeli sebagai wanita yang berzinah. Stigamatisasi semacam ini sangat merusak kepribadian seseorang, dari yang semula merupakan manusia yang utuh, hingga akhirnya menjadi seorang manusia yang terstigmatisasi. ODHA yang terstigma akan kehilangan status sosialnya dan mendapatkan label-label tertentu.
akan diskriminasi dan stigma juga mempengaruhi sikap ODHA dalam mengakses tritmen dan layanan kesehatan, termasuk dalam hal kesediaan untuk melakukan tes HIV, serta menjadi halangan bagi ODHA dalam mencari pertolongan (Saki, Kermanshahi, Mohammadi & Mohraz, 2015).
Keadaan yang dialami oleh ODHA, baik berupa kondisi fisik yang menurun ataupun adanya diskriminasi dan stigmatisasi dari masyarakat, dapat menyebabkan ODHA mengalami kesulitan dalam hal mengampuni. ODHA biasanya sulit untuk mengampuni anggota keluarga dan tradisi sosial, terkait keadaan yang menyebabkan mereka terinfeksi HIV. Misalnya, wanita dengan HIV/AIDS cenderung menyalahkan orangtua yang membuat dirinya menikah dengan pria yang memiliki kebiasaan buruk, hingga dirinya terinfeksi HIV (Temoshok & Chandra, 2000).
D. PENGAMPUNAN
1. Definisi Pengampunan
kepada orang yang telah berperilaku tidak pantas (Holter, Magnuson, & Enright, 2008).
Mudah untuk mengatakan bahwa, “semua orang pantas untuk mendapatkan belas kasihan”. Namun, dibutuhkan pengorbanan yang tidak kecil untuk mewujudkannya. Pengorbanan itulah yang sebenarnya tengah dilakukan oleh orang-orang yang mengampuni, yakni berjuang untuk melihat kepantasan yang inheren bagi orang yang telah berlaku tidak adil, serta pada waktu yang bersamaan melihat diri sendiri juga memiliki kepantasan yang serupa. Maka, dengan mengampuni dan diampuni, orang akan memahami bahwa dirinya dan orang lain sama pantas dan sama berharganya (Holter dkk., 2008).
Pengampunan dimaknai sebagai sebuah rangkaian perubahan prososial motivasional yang muncul pada seseorang setelah orang lain melakukan kesalahan pada orang tersebut. Oleh karena itu, ketika seseorang mengampuni, ia menjadi kurang termotivasi untuk menyakiti orang yang bersalah kepadanya ataupun merusak hubungannya dengan pelaku kesalahan, dan secara stimultan menjadi lebih termotivasi untuk bertindak dalam cara-cara yang akan menguntungkan pelaku kesalahan ataupun hubungannya dengan pelaku kesalahan (McCullough, 2001).
kebencian terhadap seseorang yang telah melakukan sebuah kesalahan, berlaku tidak adil atau menyakiti, ataupun mencelakai orang lain dengan cara tertentu. Pengampunan tidak serupa dengan rekonsiliasi atau menerima alasan orang lain, dan juga bukan berarti serta merta menerima apa yang terjadi dan berhenti menjadi marah. Sebaliknya, pengampunan melibatkan sebuah transformasi yang sukarela dalam hal perasaan, sikap, dan perilaku seseorang terhadap individu yang telah bersalah, sehingga orang tersebut tidak lagi didominasi oleh kebencian dan dapat mengekspresikan belas kasih, kemurahan hati, atau hal-hal serupa lainnya terhadap individu yang bersalah (American Psychological Association, 2015).
Oleh karena pengampunan adalah sebuah kehendak bebas, maka tidak perlu tergantung dari permintaan maaf ataupun gestur pertobatan dari pelaku kesalahan. Hal ini sama halnya dengan mengatakan bahwa kesehatan dan kesejahteraan personal kita tidak tergantung pada persetujuan ataupun keterlibatan dari seseorang yang telah menyakiti kita. Kesadaran akan hal ini akan sangat memberdayakan dan memerdekakan kita (Holter dkk., 2008).
2. Proses Pengampunan
Enright (2008, dalam Holter dkk., 2008) menemukan empat fase dalam proses pengampunan yang dinamakan sebagai Enright Psychological Process Model of Forgiveness. Keempat fase tersebut merupakan fase-fase kognitif, perilaku, dan afektif dalam mengampuni orang lain (Enright & Coyle, 1996). Fase-fase tersebut diharapkan dapat menjadi suatu bentuk panduan bagi orang-orang yang sedang berusaha untuk mengampuni ataupun memperoleh pengampunan, dalam menjalani proses fundamental, manusiawi, dan psikologis dari pengampunan (Sutton, t.t.). Berikut merupakan keempat fase pengampunan tersebut:
a. FaseUncovering
Pada fase ini, orang yang hendak mengampuni mulai mengenali pelanggaran yang dilakukan orang lain atas dirinya. Selain itu, orang yang hendak mengampuni juga harus mengenali apakah pelanggaran tersebut sungguh merugikan dirinya atau tidak. Berikutnya, orang tersebut juga mulai mengenali bagaimana pelanggaran tersebut telah mengganggu kehidupannya.
pikiran menyimpang yang mungkin mengikuti cedera psikologis yang dimilikinya. Pada fase uncovering ini, orang yang hendak mengampuni terkadang perlu diberikan penguatan dengan cara membantunya menyadari hubungan antara tidak mengampuni dan berbagai kesulitan fisik ataupun psikologis yang mungkin dialami sebagai hasil dari kemarahan yang disupresi atau direpresi. Sutton (t.t.) mengatakan bahwa, pada intinya, dalam fase uncovering sesungguhnya terjadi proses penentuan yang seobjektif mungkin mengenai “siapa melakukan apa kepada siapa”.
Adapun unit-unit dalam faseuncoveringini adalah: 1) Pemeriksaan pertahanan-pertahanan psikologis dan
isu-isu yang terkait.
2) Konfrontasi kemarahan; dalam rangka melepaskan dan bukan memendam kemarahan.
3) Pengakuan terhadap rasa malu, ketika pantas untuk dilakukan.
4) Kesadaran akan cathexis (konsentrasi energi mental pada seseorang, suatu ide, atau objek tertentu, terutama pada tingkatan yang tidak sehat).
6) Insight bahwa orang yang tersakiti mungkin akan membandingkan dirinya dengan pihak yang menyakiti.
7) Penyadaran bahwa seseorang dapat secara permanen dan secara merugikan diubah oleh luka yang diderita.
8) Insight mengenai pandangan “just world” yang mungkin untuk berubah.
b. FaseDecision
Adapun unit-unit dalam fasedecisionini adalah: 1) Terjadi perubahan dalam hati/konversi/munculnya
wawasan baru bahwa stratergi resolusi yang lama tidak lagi berfungsi dengan baik.
2) Kesediaan untuk mempertimbangkan pengampunan sebagai sebuah opsi.
3) Munculnya komitmen untuk mengampuni pelaku kesalahan.
c. FaseWork
Sementara itu, pada fase work, orang yang hendak mengampuni mulai memiliki pemahaman kognitif mengenai pelaku kesalahan. Orang tersebut akan mulai melihat pelaku kesalahan dengan perspektif baru yang dapat menghasilkan perubahan positif yang mempengaruhi pelaku kesalahan, diri orang yang mengampuni, dan juga relasi antara kedua orang tersebut.
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku kesalahan. Kesediaan untuk menanggung rasa sakit tersebut akan memunculkan kedermawanan terhadap pelaku kesalahan, hingga akhirnya orang yang hendak mengampuni tersebut mampu memberikan imbalan moral berupa pengampunan kepada pelaku kesalahan.
Adapun unit-unit dalam faseworkini adalah:
1) Menyusun ulang kerangka mengenai pelaku kesalahan dengan melihatnya dalam konteks tertentu, melalui cara pengambilan peran.
2) Munculnya empati dan belas kasihan terhadap pelaku kesalahan.
3) Penerimaan dan penanggunggan rasa sakit.
4) Pemberian imbalan moral kepada pelaku kesalahan. d. FaseDeepening
serta mampu memperbaharui tujuan hidup, bahkan terkadang menyadari adanya kebutuhan untuk memohon pengampunan dari orang lain pula. Kebutuhan akan pengampunan tersebut terutama muncul ketika orang yang telah mengampuni tersebut juga pernah melakukan kesalahan terhadap orang lain di masa lalu yang belum diampuni. Fase terakhir ini memungkinkan orang yang telah mengampuni tersebut untuk memiliki regulasi emosi yang lebih sehat dan penyadaran bahwa dirinya lebih dari seorang korban.
Adapun unit-unit dalam fasedeepeningini adalah: 1) Penemuan makna bagi diri sendiri dan orang lain
dalam kesengsaraan dan dalam proses pengampunan.
2) Penyadaran bahwa diri sendiri juga memerlukan pengampunan dari orang lain di masa lampau. 3) Insight bahwa diri sendiri tidak sendirian, tetapi
berada di dunia yang universal dan penuh dukungan dari orang lain.
5) Kesadaran tentang penurunan afek/emosi negatif, dan mungkin peningkatan afek/emosi positif, jika mulai muncul, terhadap pelaku kesalahan; kesadaran internal, dan pelepasan emosional (Enright & Coyle, 1996; Enright, Knutson, Holter, Knutson & Twomey, 2008; Sutton, t.t.).
Melalui fase uncovering, orang yang mengampuni mengalami baik rasa sakit maupun kenyataan akan luka yang dialami, serta bagaimana hal tersebut mempengaruhi dirinya. Sementara itu, pada fase decision, orang yang mengampuni akan mengeksplorasi ide mengenai pengampunan dan hal-hal yang terkait dengan proses pengampunan, sebelum benar-benar melakukan pengampunan. Pada fase work, orang yang mengampuni melihat pelaku kesalahan dengan pandangan yang baru atau melihat pelaku kesalahan dalam suatu konteks tertentu guna memahami bagaimana cedera tersebut dapat terjadi. Pada fase terakhir, yakni deepening, orang yang mengampuni menyadari bahwa dengan memberikan hadiah berupa pengampunan pada pelaku kesalahan, dirinya telah mengalami pemulihan (Freedman, Enright & Knutson, 2005).
3. Jenis-Jenis Pengampunan
sesungguhnya ia belum mengampuni secara emosional (misalnya marah, merasa sakit, mengalami kepahitan hati). Sementara itu, emotional forgiveness adalah pengalaman internal terkait dengan penggantian emosi negatif dengan emosi positif (misalnya empati, cinta, belas kasih) (Exline, Worthington, Hill & McCullough, 2003 dalam Hook dkk., 2012).
Kedua dimensi pengampunan tersebut dapat dipahami secara ortogonal karena dalam hal prinsip keduanya independen, sehingga dalam hal situasi sosial yang aktual dapat mengandung salah satu, keduanya, atau tidak sama sekali. Hal tersebut kemudian menciptakan sebuah matriks kemungkinan. Matriks tersebut terdiri dari kombinasi dimensi pertama dan kedua yang membentuk empat jenis pengampunan yang berbeda, yaknihollow forgiveness, total forgiveness, silent forgiveness, atau no forgiveness(Baumeister dkk., 1998).
Hollow forgiveness sebagai sebuah bentuk pengampunan yang diberikan secara lisan, tetapi tidak dialami secara psikologis. Jenis pengampunan ini merupakan kombinasi dari adanya tindakan interpersonal dari dimensi kedua, tanpa adanya status intrapsikis dari dimensi pertama. Dalam pengampunan jenis ini, korban menyatakan pengampunan, tetapi tidak merasakan atau mengalami pengampunan tersebut di dalam dirinya. Dengan demikian, korban akan tetap merasakan sakit hati dan sebagainya (Baumeister dkk., 1998).
permulaannya saja (Enright & The Human Development Study Group, 1991; Al-Mabuk, Enright, & Cardis, 1995 dalam Baumeister dkk., 1998). Ketika seseorang membuat komitmen untuk mengampuni, orang tersebut akan menyatakannya kepada pelaku kesalahan, terutama apabila pelaku kesalahan adalah pasangan dalam hubungan yang sangat dekat, seseorang yang sangat sering ditemui, dan orang yang mungkin juga merasa cemas jika tidak mendapatkan pengampunan (Baumeister dkk., 1998).
Sementara itu, silent forgiveness adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan di mana pengampunan intrapsikis dari dimensi pertama telah dilakukan, tetapi tidak diungkapkan (dimensi kedua). Jika ditinjau dari teori dendam, jenis pengampunan ini membuat korban menikmati keuntungan dari pengampunan, yakni terbebas dari afek negatif, dan sebagainya, sekaligus menghindari kerugiannya, yakni kehilangan konsesi atau ganti rugi dari pelaku kesalahan, dan sebagainya. Jenis pengampunan yang semacam ini terkadang diperlukan dalam situasi tertentu, misalnya dalam rumah tangga yang penuh kekerasan, untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah (Baumeister dkk., 1998).
terbebas dari afek negatif, serta memungkinkan pelaku kesalahan untuk terbebas dari perasaan bersalah. Pengampunan jenis ini sangat berpotensi untuk mengembalikan hubungan yang terganggu ke dalam keadaan semula. Di sisi lain, kombinasi dari tidak adanya pengampunan baik dalam dimensi pertama maupun dimensi kedua akan membentuk jenis pengampunan terakhir, yaknino forgiveness yang dikenal dengan sebutan “dendam total” (total grudge). Jenis no forgivenessadalah bentuk yang sangat tidak diharapkan, karena berbagai penelitian telah menunjukkan keuntungan dari pengampunan dan kerugian dari tidak mengampuni (Baumeister dkk., 1998).
hollow forgiveness, total forgiveness, silent forgiveness, serta no forgiveness.
Hollow forgiveness adalah jenis pengampunan yang dinyatakan, tetapi tidak dialami secara psikologis oleh orang yang mengampuni. Sementara itu, total forgiveness adalah pengampunan yang terjadi baik dalam dimensi intrapsikis maupun interpersonal sehingga tidak hanya dinyatakan, tetapi sungguh-sungguh dirasakan oleh orang yang mengampuni. Di sisi lain, silent forgivenessadalah jenis pengampunan yang dirasakan secara psikologis oleh orang yang mengampuni, tetapi tidak diungkapkan kepada pelaku kesalahan. Terakhir, no forgiveness merupakan perpaduan dari tidak adanya pengampunan baik dalam dimensi intrapsikis maupun interpersonal.
4. Pengampunan dan Wanita dengan HIV/AIDS
harga diri yang tinggi dapat menghindarkan ODHA dari cara-cara maladaptif untuk berdamai dengan stress. Adapun cara-cara maladaptif yang dimaksud misalnya penggunaan obat-obatan terlarang yang merupakan salah satu kontributor dari infeksi HIV dan penyakit menular seksual lainnya, yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan terlarang, khususnya jenis yang menggunakan jarum suntik sebagai media (Temoshok & Wald, 2005).
secara langsung atas infeksi yang didapatkannya (Dawar & Anand, 2009).
Adanya beban sosial, psikologis, dan fisik yang menimpa para wanita yang terinfeksi HIV melalui suaminya, membuat mereka memunculkan beberapa sikap yang khas (Hidayah, 2014). Para wanita tersebut biasanya merasa tidak adil akan keadaan yang menimpa dirinya, merasa marah terhadap pasangannya, bahkan cenderung tidak lagi menghormati pasangannya dan memperlakukan pasangannya dengan buruk (Keawpimon, Songwathana & Chuaprapaisilp, 2010; Riasnugrahani & Wijayanti, 2011).
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Perilaku mengampuni sangat penting untuk dilakukan oleh ODHA. Hal ini terkait dengan manfaatnya bagi kesehatan dan kesejahteraan fisik serta psikologis ODHA, yang diyakini dapat meningkatkan mutu hidup ODHA. Selain itu, perilaku tidak mengampuni pada ODHA diketahui dapat memunculkan dampak-dampak negatif.
Namun, ternyata tidak mudah bagi ODHA untuk melakukan pengampunan, terutama pada wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi HIV. Padahal, infeksi HIV serta kasus AIDS berdasarkan faktor resiko di Indonesia dominan terjadi pada kelompok heteroseksual. Sementara itu, penderita AIDS di Indonesia berdasarkan jenis pekerjaan dominan terjadi pada kelompok ibu rumah tangga.
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS DAN DESAIN PENELITIAN 1. Jenis Penelitian
Pendekatan yang hendak digunakan di dalam penelitian
mengenai proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan
HIV/AIDS terhadap suami yang menjadi sumber infeksi HIV ini
adalah jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif
digunakan karena dalam penelitian ini, yang hendak dieksplorasi
dan dipahami adalah proses yang dilalui oleh wanita dengan
HIV/AIDS dalam mengampuni suaminya yang menjadi sumber
infeksi HIV tersebut (Creswell, 2009/2012). Oleh karena itu,
penelitian ini akan dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri
pokok penelitian kualitatif.
Penelitian ini akan dilakukan di lingkungan alamiah
informan, di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat
informan berdomisili. Selain itu, peneliti akan berperan sebagai
instrumen kunci dalam penelitian ini dengan cara turun sendiri ke
lapangan untuk mengumpulkan data yang berasal dari berbagai
sumber, dengan tetap berpedoman pada protokol-protokol yang
telah dibuat. Adapun data-data yang berhasil dikumpulkan oleh
dipengaruhi oleh pandangan peneliti sendiri maupun pemaknaan
dari peneliti-peneliti terdahulu. Dalam proses penelitian tersebut,
peneliti berpedoman pada suatu lensa teoritis (Creswell, 2009).
2. Desain Penelitian
Strategi inkuiri yang hendak digunakan dalam penelitian ini
adalah desain penelitian studi kasus. Desain penelitian studi kasus
dipilih karena penelitian ini hendak mengeksplorasi secara
mendalam proses pengampunan yang dilalui oleh informan
tertentu, yakni wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi melalui
suaminya. Hal ini sesuai dengan faedah dari desain penelitian studi
kasus yakni menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa,
aktivitas, proses, atau sekelompok individu (Stake, 1995 dalam
Creswell, 2012).
B. FOKUS PENELITIAN
Penelitian ini hendak berfokus pada masalah pokok yang telah
ditetapkan di BAB I, yakni eksplorasi mengenai proses pengampunan
yang dilakukan oleh wanita dengan HIV & AIDS terhadap suaminya yang
menjadi sumber infeksi HIV. Dengan demikian, bidang inkuiri dalam
penelitian ini menjadi jelas dan peneliti hanya perlu menentukan informan
yang sesuai dengan kriteria, serta mengumpulkan data yang berkaitan
dengan tahap-tahap pengampunan yang dilakukan oleh informan terhadap
dijamah oleh peneliti kecuali berkaitan dan mendukung data mengenai
proses pengampunan informan terhadap suaminya tersebut. Pengumpulan
data yang sesuai dengan fokus penelitian tersebut dilakukan untuk
menjamin terjadinya pemenuhan kriteria inklusi-eksklusi dalam penelitian
ini (Moleong, 2008).
C. INFORMAN
Informan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan beberapa
kriteria yang sesuai dengan kebutuhan (Herdiansyah, 2014). Berdasarkan
masalah dan tujuan penelitian ini, maka ditentukanlah kriteria informan
yang hendak digunakan, yakni:
1. Wanita dengan HIV/AIDS
Penelitian ini berfokus pada orang dengan HIV/AIDS yang
berjenis kelamin wanita.
2. Sudah menikah dan terinfeksi HIV dari suami.
Sumber infeksi HIV pada informan adalah suami sehingga
informan merupakan wanita yang sudah menikah dan terinfeksi
HIV melalui suami.
3. Telah atau dalam proses mengampuni suami yang menjadi sumber infeksi HIV
Penelitian ini hendak mengeksplorasi proses yang dilalui informan
sehingga partispan harus berada dalam proses pengampunan atau
sudah mengampuni suaminya.
Adapun informan yang akan digunakan dalam penelitian ini
berjumlah 2 orang. Jumlah informan ini dipilih karena calon informan
yang memenuhi seluruh kriteria cukup sulit ditemukan, serta isu yang
dibahas cukup sensitif terkait dengan masih maraknya isu diskriminasi
terhadap ODHA di masyarakat. Selain itu, penentuan jumlah informan
yang terbatas juga terkait dengan penggunaan desain studi kasus dalam
penelitian ini.
D. PERAN PENELITI
Selama berlangsungnya penelitian mengenai proses pengampunan
pada wanita dengan HIV/AIDS terhadap suami yang menjadi sumber
penularan HIV ini, peneliti akan banyak terlibat dalam pengalaman yang
berkelanjutan dan terus-menerus dengan informan dalam rangka
pengambilan data. Keterlibatan tersebut berpotensi untuk memunculkan
serangkaian isu strategis, etis, serta personal dalam proses penelitian ini.
Oleh karena itu, peneliti berusaha untuk mengidentifikasi bias-bias,
nilai-nilai, serta latar belakang pribadinya sendiri (personal issues) secara
reflektif, agar tidak terlalu berpengaruh pada hasil penelitian kelak
(Supratiknya, 2015). Berikut merupakan peran peneliti dalam penelitian
mengenai proses pengampunan wanita dengan HIV/AIDS terhadap suami
1. Latar Belakang Peneliti
Peneliti saat ini merupakan mahasiswa S1 Jurusan
Psikologi di Universitas Sanata Dharma, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Peneliti juga menjabat sebagai Duta HIV/AIDS
Daerah Istimewa Yogyakarta periode tahun 2015-2016. Oleh
karena itu, peneliti mempunyai beberapa koneksi komunitas yang
anggotanya dapat menjadi calon informan dalam penelitian ini.
2. Kaitan antara Peneliti, Informan, dan Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta
karena calon informan berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain itu, peneliti sendiri juga berdomisili di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dengan demikian, penentuan lokasi penelitian ini
diharapkan akan memudahkan proses pengumpulan data yang akan
dilakukan.
3. Isu-isu Terkait Etika
Dalam penelitian ini, peneliti akan bekerja mengumpulkan
data dari dan mengenai orang-orang. Oleh sebab itu, peneliti perlu
melakukan antisipasi terhadap isu-isu terkait etika yang mungkin
muncul selama proses penelitian. Hal ini terutama dilakukan
terhadap kelompok informan yang memiliki kebutuhan khusus,
misalnya informan yang secara mental tidak kompeten,
korban-korban dari suatu peristiwa, informan dengan gangguan neurologis,