BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1981, dunia pertama kali menambahkan infeksi HIV ke dalam daftar kondisi kesehatan yang dikenal manusia, setelah ditemukan warga Amerika Serikat dengan status HIV positif. Sekitar dua dekade kemudian, para ilmuwan menemukan bahwa HIV berkaitan dengan SIVcpz, virus yang menyerang sistem imun pada monyet dan kera, di Republik Demokratis Kongo, Afrika. Dari tempat tersebutlah HIV diyakini berasal, sebelum akhirnya menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (“Origin of HIV & AIDS”, 2015).
Sejak permulaan epidemik hingga saat ini, tercatat hampir 78 juta orang terinfeksi HIV dan 39 juta orang meninggal dunia karenanya (“Global Health Observatory (GHO) data: HIV/AIDS”, 2016). HIV/AIDS sendiri menempati urutan ke-6 dalam daftar “Sepuluh Penyebab Terkemuka Kematian Manusia di Dunia” pada tahun 2012 menurut WHO. Pada tahun tersebut, HIV/AIDS menjadi penyebab pada 1,5 juta kasus kematian di dunia, atau setara dengan 2,7% dari seluruh kasus kematian di dunia (“The top ten causes of death”, 2014). Tahun berikutnya, 2013, 1,5 juta orang dari seluruh dunia meninggal karena HIV/AIDS dan sekitar 35 juta orang hidup dengan HIV/AIDS pada akhir tahun 2013 (“Global Health Observatory (GHO) data: HIV/AIDS”, 2016).
Sementara itu, di Indonesia sendiri, terjadi peningkatan jumlah kasus HIV sejak pertama kali ditemukan, yakni pada tahun 1987 di Provinsi Bali, hingga terakhir kali dilakukan pendataan pada September 2014. Pada tahun 1987 hingga 2005, ditemukan sekitar 859 kasus HIV di Indonesia. Sementara itu, pada September 2014, tercatat sebanyak 22.869 kasus (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Berbeda dengan kasus HIV, kasus AIDS di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan yang lamban dari tahun ke tahun selama periode 1987 hingga September 2014. Bahkan, sejak tahun 2012, kasus AIDS di Indonesia mulai menurun. Kasus AIDS hingga tahun 2005 tercatat sebanyak 5.184, sementara pada September 2014 tercatat sebanyak 1.876 kasus. Meskipun mengalami penurunan, tetapi angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum bebas AIDS (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Berdasarkan faktor risiko, pola penularan HIV di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2014 tidak mengalami perubahan. Infeksi HIV dominan terjadi pada heteroseksual, diikuti kelompok “lain-lain”, pengguna napza suntik, dan diikuti oleh kelompok “Lelaki berhubungan Seks dengan Lelaki” (LSL). Sementara itu, berdasarkan faktor risiko, kasus AIDS di Indonesia dari tahun 1987 hingga September 2014 dominan terjadi pada kelompok heteroseksual (61,5%), “tidak diketahui” (17,1%), pengguna napza suntik (15,2%), dan homoseksual (2,4%). Menurut jenis pekerjaan, penderita AIDS di Indonesia paling banyak berasal dari
kelompok ibu rumah tangga, diikuti wiraswasta, dan diikuti oleh tenaga non profesional (karyawan) (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Sejak tahun 1981 saat istilah HIV pertama kali dikenal, hingga saat ini di mana HIV dan AIDS telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk 386 kabupaten/kota di Indonesia, belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan seseorang dari infeksi HIV. Obat yang berhasil ditemukan sejauh ini hanya dapat memperpanjang hidup dan/atau meningkatkan mutu hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Green, 2013). Oleh karena itu, berbagai terapi penunjang, yakni terapi tradisional tanpa obat-obatan kimiawi, dilakukan untuk meningkatkan mutu hidup ODHA. Terapi penunjang ini dapat berupa penggunaan ramuan tradisional, penggunaan suplemen, olahraga, pijat refleksi, hingga terapi psikologis, spiritual, dan emosional (Murni, Green, Djauzi, Setiyanto & Okta, 2009).
Para peneliti kemudian menemukan bahwa praktik pengampunan dapat menjadi salah satu bentuk terapi penunjang bagi ODHA, karena menghilangkan afek-afek negatif dalam diri ODHA. Keberadaan afek-afek negatif tersebut disinyalir dapat menurunkan kadar CD4, sel darah putih yang dipakai HIV untuk mereplikasikan diri sebelum kemudian dibunuh oleh virus tersebut. Dengan demikian, apabila jumlah CD4 rendah, sistem kekebalan tubuh ODHA akan lemah (Riasnugrahani & Wijayanti, 2011). Penelitian lainnya juga menemukan bahwa pengampunan kepada orang lain dapat menjadi sebuah strategi coping dalam menghadapi tekanan untuk meningkatkan kualitas hidup, khususnya pada ODHA yang
memiliki kelekatan insecure. Sementara itu, pengampunan terhadap diri sendiri akan meningkatkan persepsi tentang kesehatan pada ODHA yang memiliki kecemasan dalam kelekatan (Martin, Vosvick & Riggs, 2012).
Temoshok dan Wald (2005) dalam penelitian mereka berhipotesis bahwa konsekuensi emosional dan psikososial dari mengampuni dan perasaan diampuni, atau sebaliknya tidak mengampuni dan perasaan tidak diampuni, memiliki konsekuensi psikososial (behavioral) dan psikoneuroimunologis (biomedis) bagi orang-orang yang terinfeksi HIV. Mengampuni orang lain diyakini terasosiasi dengan harga diri dan penghargaan diri, juga banyak dampak positif kesehatan, serta berlawanan dengan perasaan bersalah, kebencian terhadap diri sendiri, dan perilaku menyalahkan diri sendiri (Glaser, Rabin, Chesney, Cohen & Natelson, 1999; Moulton, Sweet, Temoshok, 1987 dalam Temoshok & Wald, 2005). Lebih jauh lagi, Temoshok dan Wald (2005) menjelaskan bahwa harga diri yang rendah terasosiasi dengan cara-cara maladaptif untuk berdamai dengan stres, misalnya penggunaan obat-obatan terlarang yang merupakan kontributor infeksi HIV dan penyakit menular seksual lainnya, juga penyakit yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan terlarang, secara khusus jenis obat yang menggunakan jarum suntik sebagai media.
Temoshok dan Wald (2005) mengemukakan pula bahwa ketika seorang ODHA mampu mengampuni secara interpersonal dan mampu melepaskan perasaan-perasaan yang tidak produktif terhadap orang lain, ODHA tersebut akan mampu mencari dan menerima dukungan sosial
dengan lebih mudah dan efektif. Dukungan sosial terbukti menjadi faktor kunci dalam mempertahankan kesehatan yang baik dan relevan bagi ODHA, terutama yang biasanya merasa ditolak. Sementara itu, ketidakpercayaan dan rasa tidak mengampuni sistem medis, serta kenyataan bahwa belum ada obat yang dapat menyembuhkan AIDS menyebabkan ODHA tidak patuh dalam meminum obat. Padahal, obat-obatan tersebut harus dikonsumsi ODHA secara teratur dengan keakuratan waktu konsumsi di atas 95%, untuk mencegah perkembangan jenis virus yang kebal obat. Keadaan tidak mengampuni juga menciptakan komunikasi yang buruk antara ODHA dengan penyedia layanan kesehatan, yang dapat berujung pada rasa putusasa dan hilang harapan. Padahal, rasa memiliki harapan adalah salah satu kunci dalam proses biomedis yang dapat menuntun pada keberhasilan tritmen dan pemulihan.
Secara biomedis, kemampuan untuk mengampuni dan melupakan akan memunculkan keadaan yang mampu mengembalikan sistem psikologis yang hyperaroused pada keadaan homeostatis. Keadaan relaksasi psikologis dan homeostatis otonomik ini merupakan sebuah pola psikologis yang terkait dengan long term survival pada ODHA. Namun, “pengampunan bertopeng” yang menutupi perasaan belum mengampuni dan berperilaku seolah-olah telah mengampuni, tidak akan mengatasi peristiwa atau dilema pengampunan, dan malah akan menghasilkan gairah (arousal) otonomik dan mengaktifkan imunitas yang tidak tepat (Temoshok, 2003a dalam Temoshok dan Wald, 2005).
Pengampunan adalah perilaku yang mencerminkan belas kasihan berlimpah kepada orang yang telah berperilaku tidak pantas (Holter, Magnuson & Enright, 2008). Holter dkk. (2008) mengatakan, mudah untuk mengatakan bahwa “semua orang pantas mendapatkan belas kasihan”. Namun, dibutuhkan pengorbanan yang tidak kecil untuk mewujudkannya. Pengampunan bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena menyangkut proses yang panjang, kompleks, bahkan seringkali menyakitkan (Walton, 2005). Pembahasan mengenai pengampunan itu sendiri sulit terlepas dari topik mengenai luka/sakit (hurt) dan kebencian (resentment) (Walton, 2005). Oleh DiBlasion & Proctor (1993 dalam Walton, 2005), hurt didefinisikan sebagai rasa sakit yang diderita karena kesalahan orang lain, sementararesentment digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap pelaku kesalahan karena telah menyebabkan luka.
Hurt dapat terjadi pada siapa saja, misalnya korban kekerasan emosional dalam rumah tangga (Reed & Enright, 2006), korban incest (Walton, 2005), dan lain sebagainya. Pengalaman akan rasa sakit (hurt) tersebut dapat menyebabkan seorang individu mengalami posttraumatic stress disorder (PTSD). Hal ini diperkuat oleh gagasan yang disampaikan oleh American Psychiatric Association (1994 dalam Bonin, Norton, Asmundson, Dicurzio & Pidlubney, 2000) bahwa PTSD mungkin muncul mengikuti peristiwa ketika seorang individu yakin bahwa dirinya dapat saja terluka atau terbunuh secara serius, ataupun ketika menyaksikan orang lain terluka secara serius atau bahkan terbunuh.
Bentuk trauma itu sendiri dapat bermacam-macam, misalnya: kematian orang yang dicintai, pengasingan atau pengabaian secara fisik dan emosional, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau komunitas, mengalami kecelakaan atau bencana alam yang serius, serta trauma yang terasosiasi dengan perang dan pertempuran, dan lainnya. Pengalaman-pengalaman tersebut berpotensi menghasilkan reaksi PTSD bagi sebagian besar korban. Kendati demikian, belum banyak penelitian empiris yang memeriksa keterkaitan spesifik antara pengampunan dan kesembuhan dari trauma, termasuk hubungan PTSD dan tidak memaafkan. Berdasarkan penjabaran mengenai macam-macam trauma di atas, dapat dilihat bahwa ada beberapa trauma yang disebabkan oleh perilaku orang lain dan ada yang tidak. Dalam trauma yang disebabkan oleh orang lain, beberapa kasus membutuhkan proses pengampunan yang berbeda dari biasanya, misalnya kasus kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
Pengampunan dalam konteks kekerasan seksual pada masa kanak-kanak berbeda dengan mengampuni kesalahan lainnya karena beberapa alasan. Pertama, pelaku kesalahan dalam kekerasan seksual pada masa kanak-kanak seringkali merupakan individu yang seharusnya bertanggungjawab atas keselamatan dan kesejahteraan korban dan secara ekstrim memiliki keintiman emosional dengan korban, sehingga sulit mengampuni pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diperkeruh oleh adanya pelanggaran keamanan. Kedua, mengampuni kasus kekerasan seksual tersebut merupakan proses yang kompleks dan dinamis, sulit untuk
dimulai dan membutuhkan waktu yang signifikan. Terakhir, perubahan prososial motivasional terhadap pelaku kesalahan mungkin tidak dapat dijalani dan/atau tidak dianjurkan, berkaitan dengan potensi terulangnya kekerasan setelah rekonsiliasi. Kendati demikian, penelitian-penelitian selanjutnya menemukan bahwa pengampunan dapat terjadi tanpa rekonsiliasi, dan korban dapat mencapai transformasi emosi, kognitif, dan perilaku terhadap pelaku kesalahan tanpa perlu adanya kedekatan fisik ataupun kembali berelasi dengan pelaku kesalahan (Noll, 2005).
Meskipun belum banyak studi empiris yang berfokus pada pengalaman traumatik, termasuk pengampunan pada kasus kekerasan seksual, beberapa penelitian ternayata mampu menunjukkan efek positif pengampunan terhadap para korban pengalaman traumatik. Freedman & Enright (1996 dalam Noll, 2005) menemukan bahwa intervensi pengampunan menurunkan kecemasan dan depresi, serta meningkatkan pengampunan dan harapan pada korban incest dalam penelitian yang mereka lakukan. Sementara itu, penelitian lainnya menemukan bahwa intervensi pengampunan efektif bagi beberapa korban kekerasan seksual dan sebagian besar aspek pengampunan memberikan keuntungan pada proses penyembuhan para korban (Noll, 2003; Noll & McCullough, 2004 dalam Noll. 2005).
Minimnya penelitian mengenai pengampunan pada korban dengan pengalaman traumatik, serta efek positif praktik pengampunan terhadap para korban, membangkitkan ketertarikan peneliti untuk meneliti tentang
pengampunan pada wanita yang terinfeksi HIV dari suaminya. Para wanita dengan HIV/AIDS tersebut juga merupakan korban pengalaman traumatik dan harus menanggung hurt berupa beban secara fisik, psikologis, dan sosial akibat perbuatan suami. Pada kasus wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi dari suami, sekalipun tidak terjadi rekonsiliasi atau bahkan korban putus hubungan dengan pelaku kesalahan, korban tetap akan menanggung hurt akibat pengalaman traumatiknya, misalnya: kesehatan fisik yang buruk karena adanya HIV dalam tubuh, dan lain sebagainya.
Ketertarikan untuk meneliti tersebut diperkuat oleh temuan bahwa ODHA seringkali merasa tidak mampu untuk mengampuni anggota keluarganya atas keadaan yang menyebabkan mereka memperoleh infeksi HIV, terutama pada wanita dengan HIV/AIDS. Wanita dengan HIV/AIDS cenderung menyalahkan keluarga dan tradisi sosial atas kerentanan mereka. Misalnya, seorang informan mengaku bahwa dirinya tidak mampu mengampuni kedua orangtuanya yang telah membuatnya menikahi pria dengan kebiasaan buruk, hingga dirinya terinfeksi HIV/AIDS. Informan tersebut juga mengatakan bahwa seharusnya orangtuanya mendidik dan membantunya menjadi mandiri (Temoshok & Chandra, 2000).
Penelitian lainnya yang dilakukan di Thailand menemukan bahwa ODHA biasanya mengalami kehidupan tidak harmonis yang disebabkan infeksi HIV dan juga tritmen yang terkait dengan HIV. Keadaan yang ideal, yaitu keharmonisan, dapat diperoleh, salah satu caranya, dengan terapi energik (energetic therapy). Keharmonisan yang dimaksud adalah
suatu keadaan yang muncul saat seseorang menemukan diri mereka yang sesungguhnya (real self), yang dapat meningkatkan keharmonisan di dalam pikiran, tubuh, dan jiwa, serta meningkatkan derajat kesehatan. Perolehan keharmonisan tersebut telah terbukti memunculkan perasaan puas atau berhasil, konsep diri yang positif, serta lingkungan yang lebih menyenangkan. Pada intinya, keharmonisan yang hendak dicapai adalah keadaan seimbang antara diri seseorang dengan alam semesta.
Adapun pengalaman-pengalaman ketidakharmonisan yang dialami oleh ODHA biasanya berupa: stres karena menjadi orang yang terinfeksi HIV; perasaan tidak menentu, merasa putus asa, berpikiran untuk mati; rasa bersalah dan tidak mengampuni; dan merasa tidak berdaya (Keawpimon, Songwathana & Chuaprapaisilp, 2010). Sementara itu, penelitian lainnya juga menemukan bahwa pria yang terinfeksi HIV sebagai konsekuensi dari perilaku berisiko yang mereka lakukan, cenderung bergumul dengan isu pengampunan terhadap diri sendiri (Temoshok & Chandra, 2000).
Pengampunan terutama sulit dilakukan oleh ODHA yang terinfeksi melalui pasangan. Sebuah studi kasus oleh Riasnugrahani dan Wijayanti (2011) memunjukkan bahwa wanita yang terinfeksi HIV/AIDS melalui suami cenderung merasa tidak adil akan keadaan tersebut dan tidak mengampuni. Penelitian lainnya menemukan bahwa wanita yang terinfeksi HIV/AIDS melalui pasangan merasa marah, bahkan cenderung tidak lagi menghormati pasangan dan memperlakukannya dengan buruk
(Keawpimon, Songwathana & Chuaprapaisilp, 2010). Perilaku tidak mengampuni tersebut terkait dengan beban-beban sosial dan psikologis yang ditanggung ODHA ketika statusnya terungkap (Hidayah, 2014).
Temoshok dan Chandra (2000) juga menemukan bahwa wanita di India yang terinfeksi HIV melalui pasangannya cenderung tidak mengampuni situasi yang membuat mereka rentan terhadap infeksi, serta merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi yang mereka alami. Para wanita tersebut kemudian berusaha menerima infeksi HIV mereka sebagai takdir untuk berekonsiliasi dengan perasaan tidak mengampuni tersebut. Sementara itu, wanita yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), cenderung tidak mampu mengampuni pria yang membuat mereka terinfeksi, sebagai bentuk dari amarah, serta terbukti tetap tidak berhasil mengampuni setelah diberi intervensi berupa pendekatan rohani/agama. Para wanita yang berprofesi sebagai PSK tersebut juga tidak dapat mengampuni orang lain dan masyarakat yang mengisolasi mereka dan meminta mereka bertanggungjawab atas penyebaran infeksi HIV.
Penelitian-penelitian terdahulu memberikan gambaran mengenai berbagai konsekuensi dari perilaku mengampuni dan tidak mengampuni pada ODHA (Martin, Vosvick & Riggs, 2012; Riasnugrahani & Wijayanti, 2011; Temoshok & Wald, 2005). Hasil dari penelitian-penelitian tersebut secara umum menunjukkan bahwa pengampunan pada akhirnya akan mampu meningkatkan status kesehatan ODHA. Sebaliknya perilaku tidak mengampuni, baik terhadap diri, orang lain, bahkan sistem pengobatan,
menyebabkan kesehatan ODHA semakin memburuk. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pada umumnya sulit bagi ODHA untuk melakukan pengampunan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, termasuk keluarganya sendiri (Hidayah, 2014; Temoshok & Chandra, 2000). Kesulitan untuk mengampuni tersebut biasanya terjadi pada wanita dengan HIV/AIDS (Temoshok & Chandra, 2000), terutama yang terinfeksi melalui pasangannya (Keawpimon, Songwathana, Chuaprapaisilp, 2010; Riasnugrahani & Wijayanti, 2011; Temoshok & Chandra, 2000).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Riasnugrahani dan Wijayanti (2011) berusaha mengungkap kaitan pengampunan dengan tingkat kesehatan pada wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi melalui suaminya. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha memetakan proses pengampunan yang dilalui oleh kedua subjeknya. Peneliti mencocokkan hasil wawancara mengenai proses pengampunan yang dilalui subjek dengan teori mengenai 20 unit dari proses pengampunan, yang dirangkum ke dalam empat fase, yakni: uncovering, decision, work, dan deepening (Enright, et. al., 1998 dalam Riasnugrahani & Wijayanti, 2011).
Penelitian tersebut secara umum menjelaskan keadaan-keadaan yang dialami oleh kedua subjek dalam setiap fase, tetapi tidak secara rinci membandingkan keadaan-keadaan yang dialami para subjek dengan tahap-tahap dalam fase pengampunan Enright. Hal ini dilakukan karena penelitian tersebut memang berfokus dalam melihat perbedaan kondisi
kesehatan subjek sebelum dan sesudah memasuki rangkaian proses pengampunan.
Dengan mempertimbangkan penelitian-penelitian terdahulu, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi proses yang dilalui oleh wanita dengan HIV/AIDS dalam mengampuni pasangan yang menjadi sumber penularan HIV. Adapun wanita dengan HIV/AIDS yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah wanita yang telah menikah dan terinfeksi HIV dari suaminya. Latar belakang suami terinfeksi dapat berupa faktor risiko apa saja, misalnya: hubungan seksual, penggunaan jarum suntik secara bergantian, dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini, proses yang dilalui informan, dari awal hingga mencapai tahap mengampuni, dicermati sampai tingkatan unit. Dengan demikian, penelitian ini akan mampu mengungkap variabel psikologis yang muncul saat seseorang menjalani proses mengampuni. Selain itu, hal tersebut juga dapat mengungkap aspek-aspek kognitif, behavioral, dan afektif dari proses pengampunan (Enright & Coyle, 1996).
Terkait dengan penggunaan teori proses pengampunan Enright, yang dikenal sebagai Enright Psychological Process Model of Forgiveness, peneliti berusaha untuk memperhatikan berbagai kritik yang muncul mengenai teori tersebut. Terhadap kritik yang disampaikan oleh Lamb (2002) bahwa tahapan pengampunan tersebut tidak selalu dialami oleh orang yang mengampuni, Freedman, Enright & Knutson (2005) menjelaskan bahwa tahapan tersebut bukanlah sesuatu yang kaku. Bahkan,
terkadang mereka mengganti beberapa unit guna menyesuaikan dengan pengalaman aktual orang yang diteliti. Selain itu, mereka juga tetap berkeyakinan bahwa pengampunan paling baik ditawarkan tanpa paksaan pada waktu orang yang mengampuni sudah siap, terlepas bagaimana perilaku dari pelaku kesalahan. Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas kritik Lamb (2002) yang mengatakan bahwa seharusnya orang yang mengampuni dan orang yang diampuni saling bergantung, misalnya dengan cara pelaku kesalahan menunjukkan penyesalannya. Menurut Freedman, Enright & Knutson (2005), tidak selalu ada kesempatan bagi relasi antara orang yang mengampuni dan diampuni untuk terjadi.
Murphy (2002, dalam Lamb 2002) juga mengkritik bahwa pelepasan perasaan negatif dan perasaan ingin membalas dendam, yang merupakan salah satu unit dalam tahapan pengampunan Enright, terdengar seperti melepaskan harga diri, pertahanan diri, serta kepatuhan pada tatanan moral. Sebagai respon atas kritikan tersebut, Freedman, Enright & Knutson (2005) mengutip diskusi Holmgren (2002, dalam Freedman, Enright & Knutson, 2005) bahwa tahap pertama menunju pengampunan adalah orang yang terluka perlu memulihkan harga dirinya dan menyadari bahwa luka yang diterimanya salah, serta bahwa dirinya adalah orang yang berharga dan pantas untuk diperlakukan dengan baik, juga bahwa kesalahan yang terjadi bukan kekeliruannya. Selain itu, Freedman, Enright & Knutson (2005) juga menegaskan bahwa mereka tidak pernah menyatakan pengampunan sebagai cara tunggal untuk sembuh setelah
terluka secara mendalam, tetapi pengampunan adalah salah satu cara untuk pulih dan secara efektif mengurangi kemarahan dan sakit hati, sebagai tanggapan atas kritik bahwa kemungkinan ada pendekatan atau tritmen lainnya yang lebih efektif daripada praktik pengampunan (Lamb, 2002).
Sementara itu, berkaitan dengan lokasi penelitian yang berada di Indonesia, sebuah penelitian menemukan bahwa sensitivitas terhadap situasi dan kerelaan untuk mengampuni, dalam kaitannya dengan forgivingness-sebuah disposisi keseluruhan untuk mengampuni, cenderung lebih tinggi pada orang Indonesia yang dikenal memiliki budaya kolektivitas daripada orang Prancis yang diketahui lebih individualistik. Sementara itu, kebencian yang berkepanjangan memiliki tingkatan yang lebih rendah pada orang Indonesia dibandingkan orang Perancis.
Penemuan tersebut berkaitan dengan pandangan kolektivitis yang cenderung menekankan norma kolektif, relasi, serta kesejahteraan bersama, sehingga pengampunan dipahami sebagai konstruk interpersonal yang harus dilakukan karena merupakan suatu tugas sosial. Sementara itu, dalam budaya individualistik, diri dipandang berdikari dan yang ditekankan adalah tanggungjawab serta kesejahteraan pribadi, sehingga pengampunan dipahami sebagai sebuah konstruk intrapersonal (Suwartono, Prawasti & Mullet, 2006).
Selain itu, Sandage & Williamson (2005) menemukan bahwa studi terkait efek dari konteks dan kultur dalam hubungannya dengan pengampunan masih sangat minim dilakukan dengan sampel non-Barat
(non-western sample). Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa penemuan-penemuan baru mengenai sistem-sistem nilai yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan pengampunan, sehingga pada akhirnya dapat melihat pula unit-unit dalam tahapan pengampunan Enright yang sesuai dan tidak sesuai dengan pengalaman mengampuni pada wanita dengan HIV/AIDS di Indonesia.