• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

E. Pembahasan

4. Fase Deepening

Kedua informan pada akhirnya terbebas dari kungkungan rasa tidak mengampuni, kepahitan, kebencian, dan kemarahan, sebagai hasil dari kemampuan untuk menemukan makna dalam penderitaan yang mereka rasakan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua informan sudah mencapai fase deepening. Pada fase ini, kedua informan mampu menemukan makna bagi diri sendiri dan orang lain dalam kesengsaraan dan dalam proses pengampunan yang dilalui mereka.

Bagi informan I, pasca terkena HIV, hidupnya lebih bermakna dan bermanfaat bagi orang lain dan dirinya sendiri. Informan I yang dahulu hanya mengurus suami dan anak, kini mampu membantu orang-orang yang terpuruk, yang berada dalam keadaan yang pernah dialaminya. Informan II juga merasakan hal yang sama, bahwa peristiwa terinfeksi HIV yang dahulu dipandangnya sebagai musibah, kini berbalik menjadi sebuah anugerah. Informan II bersyukur bahwa saat ini dirinya dapat bekerja dan bermanfaat bagi banyak orang, mendapatkan ilmu, bahkan merasakan naik pesawat karena urusan pekerjaan. Selain itu, informan II juga merasa bahwa hidupnya kini lebih bermakna karena dirinya menjadi lebih memperhatikan kesehatan dan pola hidup, bahkan dapat menikah lagi.

Informan II yang semula berpikir bahwa dirinya akan segera meninggal juga akhirnya mampu memperbaharui tujuan hidupnya. Saat ini, informan II berjuang untuk tetap sehat agar dapat melihat anaknya tumbuh dewasa. Bahkan, informan II berencana untuk mempunyai keturunan lagi. Selain itu, infoman II juga berharap bahwa dirinya dapat melayani lebih banyak orang lagi.

Semua pencapaian kedua informan tentu tidak terlepas dari adanya dukungan dari lingkungan sosial mereka. Hal ini sesuai dengan salah satu unit dari fasedeepening, yaitu bahwa orang yang

mengampuni akan memiliki insightbahwa mereka tidak sendirian, tetapi berada di dunia yang universal dan penuh dukungan dari orang lain. Pada informan I, hal tersebut tampak dari kesadaran informan I mengenai adanya dukungan dari anak, saudara, mertua, dan komunitas pendukungnya. Sementara itu, pada informan II, unit tersebut tampak dari kesadaran informan II akan adanya dukungan dari anak, suami kedua, keluarga besar, tetangga sekitar, hingga komunitas pendukungnya.

Terkait fase ini, hasil penelitian mampu menunjukkan bahwa pengampunan pada wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi melalui suaminya dipengaruhi oleh dukungan sosial, terutama dari anak. Hal ini ditunjukkan oleh pengakuan informan I baru dirinya tidak jadi melakukan bunuh diri karena teringat anaknya, juga merasa didukung oleh anaknya yang ingin menjadi dokter dan tidak malu mengangkat tema HIV saat presentasi di sekolah. Sementara itu, informan II terdorong untuk mengampuni almarhum suaminya karena tergerak oleh anaknya yang selalu mengajak untuk berziarah ke makam almarhum, serta selalu mengingatkan dirinya untuk mengonsumsi obat secara teratur. Enright (2008, dalam Holter dkk., 2008) memang telah menjelaskan bahwa salah satu unit dalam fase deepening adalah orang yang mengampuni menyadari bahwa mereka berada di dalam dunia yang penuh dukungan. Namun, belum ada literatur

yang membahas mengenai dukungan sosial, terutama dari anak, yang ternyata sangat mempengaruhi pengampunan pada wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi dari suaminya.

Pada akhirnya, kemampuan kedua informan dalam menceritakan kembali pengalaman mereka, termasuk mengenali penurunan afek-afek negatif serta peningkatan afek-afek negatif dalam proses pengampunan mereka, menguatkan bukti bahwa keduanya sudah mencapai fase deepening ini. Adapun salah satu unit dalam fase ini adalah kesadaran tentang penurunan afek-afek negatif, dan mungkin peningkatan afek-afek positif jika mulai muncul terhadap orang yang bersalah, serta kesadaran internal dan kesadaran akan pelepasan emosional (Enright & Coyle, 1996; Enright, Knutson, Holter, Knutson & Twomey, 2008; Sutton, t.t.).

Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dilihat bahwa kedua informan sama-sama memiliki pengalaman terinfeksi HIV dari hubungan seksual dengan suami. Namun, pengalaman kedua informan tersebut tidak persis sama.

Informan I baru mengetahui status HIV dirinya dan suami setelah suami jatuh sakit, padahal suami sudah lama mengetahui status HIV-nya sendiri. Setelah suami meninggal, informan I hanya dapat membuka statusnya kepada beberapa anggota keluarganya. Namun, informan I tinggal bersama dengan mertua yang tahu statusnya sehingga tidak hidup

sendirian dan juga mendapatkan dukungan. Selain itu, informan I juga memiliki riwayat pendidikan yang cukup baik sehingga dapat meniti karir yang cukup baik untuk menghidupi anaknya.

Sementara itu, informan II juga mengetahui status suami dan statusnya sendiri saat suami jatuh sakit, tanpa suami sebelumnya sudah mengetahui bahwa dirinya positif HIV. Saat suami meninggal, informan II sempat mengalami diskriminasi terkait status sebagai ODHA. Setelah suami meninggal, informan II dapat membuka statusnya kepada seluruh anggota keluarganya dan mendapatkan dukungan penuh. Namun, informan II tinggal sendiri dan memiliki riwayat pendidikan yang terbatas sehingga tidak langsung dapat meniti karir yang cukup baik untuk menghidupi anaknya. Kendati demikian, informan II menemukan sosok suami kedua yang dapat menerima dirinya yang merupakan ODHA dan mendapatkan dukungan. Meskipun demikian, informan II harus berhadapan dengan kenyataan bahwa keluarga dari suami keduanya tidak mengetahui statusnya dan dapat saja tidak menerima dirinya.

Menurut peneliti, perbedaan-perbedaan dalam pengalaman kedua informan tersebut yang menyebabkan keduanya sama-sama mengalami emosi-emosi negatif terhadap suami mereka, tetapi membutuhkan waktu yang berbeda untuk dapat mencapai tahap mengampuni. Selain itu, mugkin perbedaan-perbedaan tersebut juga yang menyebabkan adanya perbedaan dalam afek-afek kedua informan setelah mengampuni. Apabila informan I kembali merasakan cinta dan sayang pada almarhum suami

setelah mengampuni, informan II tidak lagi memiliki perasaan tertentu terhadap almarhum suaminya.

Dokumen terkait