BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
D. Hasil Penelitian
2. Relasi Informan dengan Suami Saat Terkena HIV
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua informan sama-sama tertular HIV dari suami. Kedua informan juga sama-sama-sama-sama
mengetahui status HIV mereka setelah suami jatuh sakit dan didiagnosa HIV/AIDS. Baik informan I maupun informan II melakukan pemeriksaan terkait status HIV mereka setelah mengetahui status suami.
Informan I mengetahui bahwa suaminya terinfeksi HIV pada Desember 2006, saat suaminya dirawat di rumah sakit. Saat itu, informan I mengira suaminya sakit TBC karena suaminya memang memiliki riwayat penyakit tersebut. Namun, informan I menjadi curiga ketika dirinya selalu diminta keluar dari bangsal tempat suaminya dirawat, saat dokter atau konselor datang berkunjung. Hal tersebut berlangsung hingga informan I tanpa sengaja mendengar pembicaraan dokter dengan suaminya mengenai kesehatan sang suami. Setelah mendesak suaminya, informan I menjadi tahu bahwa suaminya seorang ODHA. Ternyata, suami informan I sudah mengetahui status HIV-nya sejak tahun 2005, tetapi enggan membuka statusnya kepada keluarga dan tidak mau menjalani pengobatan karena takut mendapatkan stigma negatif dan diskriminasi dari keluarga, serta khawatir informan I akan meninggalkannya apabila mengetahui kondisi kesehatannya tersebut.
Saat itu, informan I langsung mempercayai informasi mengenai status HIV suaminya karena kondisinya yang sudah sangat parah, yakni AIDS stadium 4. Menurut informan I, sulit
untuk mengetahui sumber infeksi suaminya mengingat suaminya memiliki 2 faktor risiko, yakni sebagai seorang pecandu narkoba dan dari perilaku berselingkuhnya. Namun, informan I cukup yakin suaminya terkena HIV dari penggunaan jarum suntik secara bergantian dengan teman-teman pecandunya, yang banyak yang telah meninggal.
Kejadian serupa dialami oleh informan II. Informan II mengetahui suaminya terinfeksi HIV pada tahun 2009, saat suaminya sakit hingga sudah tidak mampu bangun. Awalnya, suami informan II didiagnosa sakit tipus dan lambung karena keterbatasan medis. Setelah dipindah ke rumah sakit di Yogyakarta, suami informan II diketahui merupakan seorang ODHA. Informan II mengakui bahwa sebelum menikah, suaminya tersebut sempat menyampaikan pada informan II bahwa dirinya telah melakukan tes HIV dan hasilnya negatif. Peristiwa ini dapat dilihat dalam penggalan verbatim wawancara berikut:
“Terus, dia… dia katanya sih, tapi aku kan nggak tahu juga… katanya dia itu dulu udah pernah periksa, segala macem… cek segala macem. Itu katanya… hasilnya… negatif. Kayak gitu… semua negatif. Tapi kan aku nggak tahu, nggak liat hasilnya juga.” (Informan II, Baris 1533-1541).
Informan II juga langsung percaya saat mendapatkan informasi mengenai status HIV suaminya. Keyakinan terhadap kebenaran informasi tersebut muncul karena informan II terlibat lansung dalam proses pemeriksaan HIV (VCT) suaminya yang
sudah tidak mampu mengikuti sendiri seluruh rangakain proses pemeriksaan. Selain itu, keyakinan informan II juga muncul karena kenyataan bahwa suaminya adalah seorang pecandu narkoba yang tentunya berisiko untuk terkena HIV. Informan II mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui dengan pasti kapan suaminya mulai terinfeksi HIV. Namun, informan II menduga bahwa suaminya terinfeksi sejak sebelum menikah, akibat memakai narkoba dengan jarum suntik secara bergantian.
Setelah mengetahui status HIV suaminya, informan I pasrah dan menerima hal tersebut sebagai takdir dan risiko dari perilaku suaminya. Namun, informan I berpikir bahwa dirinya juga harus mengetahui status HIV-nya sendiri. Kendati demikian, saat itu informan I tidak menyadari risiko dirinya dan berpikir bahwa hasil tesnya pasti negatif. Informan I sempat berpikir demikian:
“Ah aku pasti hasilnya negatif, aku kan nggak berisiko. Kan yang… kan kalau yang berisiko mbak-mbak Pekerja Seks. Aku dulu mikirnya gitu. Aku nggak mungkin, aku nggak berisiko.” (Informan 1, Baris 763-768).
Selama menunggu kesempatan untuk melakukan tes HIV, informan I merasa takut tertular HIV dari suaminya. Oleh karena itu, informan I meminta suaminya untuk membersihkan sendiri luka-lukanya, dan suaminya menurut. Namun, informan I mengaku bahwa dirinya tetap bersikap baik pada suaminya sampai suaminya tersebut meninggal.
Setelah memperoleh hasil tes HIV, dan menemukan bahwa statusnya positif, informan I merasa syok. Namun, informan I hanya diam, tidak menangis. Informan I juga sempat merasa tidak percaya dan menyangkal hasil tesnya tersebut.
“Ndak percaya! Nggak percaya sama hasil tes, jangan-jangan hasil tesnya salah. Namanya juga kan em… petugas lab itu manusia, gitu. Jangan-jangan hasil labnya salah. Atau alatnya rusak, atau… jadi, nggak percaya waktu itu. Nggak mungkin.” (Informan 1, Baris 795-802). Berbeda dengan informan I yang pasrah menerima informasi mengenai status suaminya, informan II terlebih dahulu merasa sedih dan kecewa setelah mengetahui status HIV suaminya. Bahkan, informan II sempat berpikir mengapa dulu dirinya menikah dengan suaminya tersebut. Hal ini dibuktikan dengan penggalan verbatim wawancara berikut ini:
“Ya sedih sih Mbak. Sedih, kayak kecewa, pasti ada. Terus, ‘Kok aku dulu kok bisa ya nikah sama ini. Kok aku dulu nggak tahu…’, waktu itu kan ada pikiran juga kayak gitu.” (Informan II, Baris 915-920).
Informan II juga sempat merasa ingin marah kepada suaminya, tetapi tidak bisa karena suami sakit, sehingga akhirnya informan II pasrah dan menerima peristiwa tersebut sebagai jalan Tuhan dan cobaan yang harus dijalani. Informan II kemudian menjalani tes HIV bersama dengan anaknya sesuai dengan rujukan rumah sakit.
Sebelum tes HIV, informan II merasa takut jika dirinya dan anaknya ternyata positif HIV. Informan II khawatir bahwa jika
dirinya positif kelak, dirinya akan dikucilkan dari masyarakat. Meskipun merasa takut, informan II tidak bisa melakukan apa-apa karena harus bekerja untuk membayar biaya rumah sakit suami.
Setelah menerima hasil pemeriksaan status HIV, dan mendapatkan bahwa dirinya juga positif, informan II stress dan merasa dunia berakhir. Namun, informan II menjadi sedikit lebih bersemangat tatkala mengetahui bahwa anaknya bebas HIV. Informan II tidak percaya dengan statusnya sehingga melakukan tes ulang setelah 3 bulan, dan hasilnya tetap positif. Sebelum melakukan pemeriksaan ulang tersebut, informan II merasa sangat sedih karena kondisinya. Informan II meragukan hasil pemeriksaannya tersebut karena merasa dirinya tidak pernah berbuat macam-macam atau berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari penggalan verbatim wawancara berikut ini:
“Ya karena aku merasa kan… aku tuh nggak pernah yang namanya berhubungan dengan orang lain, terus aku cuma kerjaannya tiap hari di rumah, berladang… kayak gitu kan waktu itu. Terus… kok bisa kena sakit seperti ini. Jadi bayangannya kan kayak gitu Mbak. Kok bisa sih kena sakit seperti ini. Aku loh nggak pernah yang namanya macem-macem, neko-neko, kayak gitu. Tapi kok… kok bisa toh kena sakit seperti ini. Kenapa nggak… nggak yang orang-orang yang… yang sering… sering buat yang neko-neko. Kayak gitu pikirannya. Makanya aku masih… dites ulang lagi, siapa tahu salah” (Informan II, Baris 588-607).
Selain itu, informan II juga berpikir bahwa dirinya akan segera meninggal, dalam waktu kurang dari 1 tahun. Hal tersebut
terjadi karena pada saat itu, pengetahuan informan II mengenai HIV dan AIDS masih sangat awam. Namun, mengingat anaknya yang bebas HIV, informan II berpikir bahwa dirinya harus berjuang meskipun sakit.
Setelah mengetahui statusnya, informan I kemudian memberitahu suaminya mengenai hasil tes tersebut. Suami informan I syok menerima informasi tersebut dan meminta maaf, sebelum akhirnya meninggal karena sakit AIDS. Informan I tidak sempat merasa marah ataupun benci pada suaminya karena rentang waktu antara dirinya mengetahui status HIV dan kematian suaminya terbilang cukup singkat, yakni hanya hitungan jam.
Pada saat itu, informan I hanya berpesan pada suaminya agar mau mengurus dirinya apabila mulai sakit-sakitan nanti. Suami informan I mengiyakan permintaan tersebut dan sempat memuji informan I sebagai perempuan yang luar biasa atas jasa-jasa dalam rumah tangga mereka. Namun, informan I memandang pujian tersebut sebagai sesuatu yang berlebihan. Menurut informan I, apa yang telah dirinya lakukan bagi suaminya adalah semata-mata kewajibannya sebagai seorang istri. Informan I merasa tidak ada perubahan dalam rumah tangganya setelah dirinya dan suami mengetahui status mereka. Kendati demikian, informan I mengaku bahwa pada saat itu dirinya marah dan merasa Tuhan tidak adil karena mengizinkannya terkena HIV.
Tidak berbeda dengan informan I, suami informan II juga meninggal tidak lama setelah informan II mengetahui status HIV-nya sendiri. Saat mengetahui status informan II, suami meminta maaf, tetapi tidak melakukan apa-apa karena kondisi sakit. Informan II menduga bahwa suaminya tersebut menyesal karena setelah mengetahui status informan II, suaminya lebih banyak berdiam.
Informan II mengaku bahwa dirinya merasa marah dan jengkel pada suaminya karena menularkan HIV padanya. Informan II juga merasa dongkol karena dirinya tidak tahu apa-apa dan tiba-tiba harus menanggung sakit. Namun, informan II tidak mengekspresikan kemarahan dan kejengkelannya karena kondisi suaminya yang sakit, bahkan tidak dapat bangun dari tempat tidur, serta informan II memang tidak bisa mendendam. Menurut informan II, apabila kondisi suaminya pada saat itu sehat, dirinya mungkin akan menunjukkan rasa marahnya. Hal ini dapat dilihat dari penggalan-penggalan verbatim berikut:
“Ya pasti ada (rasa marah)… mau marah tapi mau marah gimana, orang saya juga udah terlanjur tertular. Jengkel kayak gitu juga….” (Informan II, Baris 1542-1546).
“Ya cuma dongkol aja di hati. Tapi kan nggak bisa dikeluarin. Cuma dongkol aja di hati, kayak gitu.” (Informan II, Baris 1604-1606).
“Orang suami juga udah kondisi seperti itu kan ndak mungkin aku juga langsung menyalah-nyalahin, “Gara-gara koe (kamu) aku jadi kayak gini.”, itu juga nggak mungkin Nanti dia malah ngedrop lagi.” (Informan II, Baris 976-982).
“Ke suami sih sempet (merasa marah). Tapi kan karena suami saya waktu itu kan kondisinya drop banget, jadi aku nggak ngelihatin, kayak gitu.” (Indorman II, Baris 1568-1571).
Hambatan untuk mengekspresikan kemarahannya pada suami membuat informan II bersikap seperti biasa terhadap suami. Informan menanggapi permintaan maaf suaminya dengan berkata demikian:
“Yaudalah nggak papa, kalau ini udah terlanjur yah mau gimana lagi, nggak boleh saling menyalahkan.”, aku cuma bilang gitu aja. “Mungkin udah jalan hidupnya harus kayak gini.”, aku cuma gituin aja. (Informan II, Baris 792-798).
Informan II bahkan tetap melayani suami dan menyemangati suaminya. Informan II juga berpikir bahwa dirinya tidak boleh hanya suka saat suaminya sehat, dirinya tidak mungkin membenci suami karena mencintai suaminya saat masih sehat.