BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. PENGAMBILAN KEPUTUSAN (DECISION MAKING) A.1. Definisi Pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan menurut George R. Terry adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada.
Sejalan dengan definisi diatas yaitu pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif, pengambilan keputusan menurut S.P. Siagian adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alernatif yang dihadapi dan mengambil tindakan
yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat. Sedangkan, menurut James A.F.Stoner Pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan
untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan masalah (dalam Hasan, 2004)
Menurut Janis & Mann (1977) pengambilan keputusan merupakan
pemecahan konflik dan perilaku menghindarberdasarkanpada faktor situasional: “Decision making as a matter of conflict resolution and avoidance
behaviors due to situational factors” (Janis & Mann, 1977)
Selanjutnya berdasarkan definisi diatas, de Heredia dan kawan – kawan
model deskriptif dari proses pengambilan keputusan, dimana mereka mengedepankan ide bahwa kebutuhan untuk membuat suatu keputusan
melibatkan konflik dari keadaan stress. Tidak adanya stress atau hadirnya stress yang berlebihan dapat menjadi penentu utama kegagalan subjek untuk membuat
suatu keputusan, karena hal tersebut berhubungan dengan pencarian informasi yang tidak produktif, pengukuran serta pola dari pengambilan keputusan tersebut. Penelitian ini menggunakan definisi pengambilan keputusan menurut Janis
dan Mann, yang dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan pemecahan masalah serta perilaku menghindari faktor – faktor situasional.
A.2. Tahapan Pengambilan Keputusan
Gambaran unik proses pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang dapat dilihat dari tahap-tahap yang dilaluinya sebelum sampai pada keputusan
akhir. Hal ini berbeda-beda pada setiap individu dan tergantung pada pola seseorang dalam menghadapi masalahnya. Janis & Mann (1977) memperkenalkan
lima tahapan dalam proses pengambilan keputusan, yang terdiri atas: 1. Menilai Masalah
Tahap pertama adalah menilai masalah. Tahap ini meliputi pengenalan terhadap masalah, mencari informasi atau kejadian yang dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi tindakan yang akan
dilakukan. Informasi yang didapatkan akan menghasilkan krisis sementara. Dengan kondisi tersebut, individu akan memilih untuk menghindari atau
nyaman berada dalam kondisi tertentu dan ia menyadari perubahan perlu dilakukan. Individu mulai memahami mengenai konflik yang dihadapi
merupakan hal yang penting. Hal ini membantu individu agar terhindar dari asumsi – asumsi yang salah atau sikap yang terlalu menggampangkan
masalah yang kompleks (Janis & Mann, 1977). 2. Menilai alternatif-alternatif yang ada
Setelah seseorang merasa yakin terhadap informasi yang berkaitan dengan
masalahnya, dia mulai memusatkan perhatian pada berbagai alternatif pilihan atau tindakan yang ada. Seseorang juga berusaha mencari masukan
dan informasi dari orang lain yang memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan masalahnya. Selain itu, ia juga akan semakin memberikan perhatian pada informasi yang relevan di media massa. Hal
yang paling penting pada tahap ini adalah sikap terbuka dan fleksibilitas. Individu lebih menaruh perhatian pada rekomendasi berupa saran – saran
untuk menyelesaikan permasalahan, meskipun saran tersebut tidak sesuai dengan keyakinannya sekarang ini.
3. Menimbang Alternatif
Pada tahap ini, seorang pengambil keputusan mulai mengevaluasi seluruh pilihan yang ada berdasarkan konsekuensi dan kemungkinan untuk
dilakukan. Mengenai konsekuensi tindakannya, seseorang melihat kemungkinan manfaat dan kerugian yang harus ia terima serta kepraktisan
mencapai tujuan tertentu. Ketika seseorang menyadari bahwa terdapat kemungkinan terjadinya penyesalan di masa mendatang, ia pun menjadi
semakin berhati-hati dalam menimbang alternatif-alternatif yang ada. Karakteristik seseorang yang berada pada tahap ini adalah munculnya
ketidakpuasan atas tindakan yang mungkin telah dilakukan dan ketidakinginan untuk komitmen atas alternatif-alternatif, dapat menjadi stress dan kembali ke tahap dua. Meskipun seseorang mulai merasa yakin
atas pilihan yang terbaik, biasanya ia akan menjadi responsif atas informasi baru yang penting.
4. Membuat Komitmen
Tahap ini ditandai dengan penumpukan tegangan dalam mempertimbangkan banyaknya alternatif. Hal ini hanya dapat diatasi
dengan membuat komitmen terhadap keputusan yang diambil. Setelah membuat komitmen, pengambil keputusan pun mulai mempertimbangkan
untuk merealisasikan komitmennya dan memberitahu orang lain mengenai keputusan yang diambilnya. Pengambil keputusan menyadari bahwa cepat
atau lambat, orang lain dalam jaringan sosialnya akan mengetahui mengenai keputusan yang diambilnya. Ia juga menyadari bahwa ketika ia merealisasikan dan mengungkapkan keputusannya, maka ia akan
memiliki tanggung jawab atas keputusannya. Dengan demikian pada saat pengambilan keputusan, akan mulai mengantisipasi kemungkinan
dibuatnya. Seorang pengambil keputusanakan menjadi lebih termotivasi untuk mendukung dan mengkonsolidasi keputusannya. Individu akan
melakukan cara-cara yang dapat membantunya merealisasikan keputusannya dengan konsekuensi yang paling kecilmengimplementasikan
keputusannya dengan kekuatiran yang paling kecil.
5. Tetap Melakukan Komitmen Meskipun Ada Feedback Negatif
Banyak keputusan memasuki periode honeymoon, dimana pengambil
keputusan sangat bahagia dengan pilihan yang ia ambil dan menggunakannya tanpa rasa cemas. Tetapi setiap keputusan yang diambil
seseorang mengandung risiko yang dapat membangun feedback negatif, menjadi penting untuk tidak bereaksi berlebihan terhadap kritik atau kekecewaan yang mungkin timbul. Dari tahapan-tahapan tersebut dapat
dilihat bahwa seseorang akan sangat berhati-hati dan sangat mempertimbangkan segala keuntungan atau kerugian sebelum mengambil
suatu keputusan yang akan menjadi sebuah komitmen dalam hidupnya. Komitmen tersebut haruslah dilakukan dengan serius dan
sungguh-sungguh meskipun akan memberikan efek yang negatif. Jika komitmen tidak dilakukan, maka itu bukanlah suatu keputusan, tapi hanya sebatas hasrat atau keinginan.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh M. Fand (2011) yang
dinyatakanbahwa dengan memeriksa prosedur yang digunakan oleh pengambil keputusan dalam memilih aksinya dapat membantu memprediksi kualitas dari
keputusan atau aksinya tersebut. Mereka merumuskan kriteria prosedur yang dapat digunakan sebagai penutun proses evaluasi yang ideal yang dapat
membantu untuk mengidentifikasi tahapan pengambilan keputusan yang telah dijabarkan diatas. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara keseluruhan memahami cakupan alternatif dari aksi.
2. Melakukan survei pada cakupan dari objektifitas dan nilai yang harus dipenuhi dari sebuah keputusan.
3. Secara hati – hati menimbang resiko dari konsekuensi negatif dan positif yang dapat tercipta dari tiap alternatif yang ditemukan.
4. Secara intensif mencari informasi baru yang relevan bagi evaluasi yang
akan datang dari alternatif dan secara tepat mengasimilasi informasi yang terpapar baginya, walaupun saat informasi tersebut tidak
mendukung.
5. Memeriksa ulang konsekuensi yang mungkin dari seluruh alternative
sebelum membuat keputusan akhir, termasuk pada yang dianggap tidak dapat diterima.
6. Membuat ketetapan yang detil untuk mengimplementasikan atau
menghilangkan aksi yang telah dipilih, dengan perhatian yang khusus terhadap ketidaktentuan rencana yang diperlukan jika beberapa resiko
A.3. Faktor– faktor yang Mempengaruhi Pengambilan keputusan
Faktor – Faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan oleh
Janis dan Mann (1977) ini berbeda – beda sesuai dengan tahapan yang dilalui. Faktor – faktor tersebut mempengaruhi proses pengambilan keputusan seseorang
mulai dari tahapan pertama sampai pada tahapan keempat, yaitu membuat komitmen. Faktor – faktor dalam setiap tahapan adalah sebagai berikut:
a. Menilai Masalah
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penilaian masalah pada tahap ini yaitu, sumber masalah untuk dapat dipercaya, kejelasan masalah,
dan kepribadian serta mood seseorang waktu menilai permasalahan yang ada.
b. Menilai alternatif-alternatif yang ada
Faktor yang mempengaruhi jalannya tahap kedua ini adalah mengumpulkan seluruh kemungkinan alternatif, dan efisiensi pencarian
keterangan mengenai alternatif yang ada. c. Menimbang Alternatif
Tahap ini dipengaruhi oleh adanya keahlian/keterampilan yang dimiliki
d. Membuat Komitmen
Tahap ini sangat dipengaruhi oleh orang-orang atau kelompok yang
dianggap penting oleh pengambil keputusan.
Janis & Mann (1977) mengemukakan, pada umumnya individu akan menghadapi konflik dalam mengambil suatu keputusan yang sangat penting. Munculnya konflik membuat pengambil keputusan akan sangat berhati-hati dalam
mengambil keputusan untuk menghadapi resiko yang akan muncul. Konflik-konflik tersebut juga akan mempengaruhi individu untuk menerima atau menolak
tindakan yang harus dilakukan sesuai keputusan yang dibuat. Simptom yang dominan muncul adalah keragu-raguan, kebimbangan, ketidakpastian, dan tanda-tanda stres ketika keputusan ditetapkan. Sesuai dengan hal tersebut, metode yang
efektif dalam pengambilan keputusan adalah metode yang menggunakan conflict-theory model, dapat melihat segala konsekuensi yang mungkin terjadi ketika
mengambil satu keputusan tertentu. Hal ini tergantung dari jawaban individu yang mengambil keputusan tersebut terhadap empat pertanyaan dasar dalam metode ini.
B. PERNIKAHAN B.1. Definisi Pernikahan
Pernikahan merupakan persatuan yang terikat secara sosial, legal dan atau religius antara laki – laki dan perempuan dengan harapan bahwa mereka akan
melakukan peran secara mutual (menguntungkan) atau timbal balik, serta saling mendukung sebagai sepasang suami dan istri (dalam Crandell;Crandell, 2009).
Pernikahan juga diartikan sebagai ikatan dari pasangan menikah yang
tinggal bersama, dimana beberapa negara menetapkan bahwa pernikahan yang legal hanya dapat terjadi diantara wanita dan pria.Tetapi negara lainnya telah
membolehkan pernikahan antara sesama jenis, dan yang lainnya membuat suatu konstitusi untuk mencegah pernikahan sesama jenis terjadi. Hal ini menyebabkan definisi legal dari pernikahan akan tetap menjadi kontroversi untuk tahun – tahun
mendatang (dalam DeGenova, 2008).
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan salah
satu bentuk hubungan antara laki – laki dan wanita yang diakui oleh masyarakat, yang memiliki tugas masing – masing sebagai suami istri dan membawa nilai –
nilai dari budaya mereka, yang pengakuan legalnya masih menjadi kontroversi sampai sekarang.
B.2. Manfaat dari Pernikahan
Orang yang memutuskan untuk menikah mungkin mempertimbangkan tentang manfaat dari pernikahan yang akan mereka jalani. Menurut Ferraro (2006)
unit yang stabil untuk regulasi reproduksi, menyediakan pembagian tugas, memiliki anak, dan menyediakan materi, kebutuhan psikologis serta emosi dari
pasangan dan anak yang dimiliki kelak (dalam Crandell;Crandell, 2009). Hal tersebut juga sejalan dengan manfaat dari pernikahan menurut Olson dan Olson,
2000 (dalam Lestari, 2012), yaitu antara lain:
1. Orang yang menikah memiliki gaya hidup yang lebih sehat. Orang yang menikah cenderung menghindari perilaku yang berbahaya daripada lajang,
bercerai, atau duda. Misalnya orang yang menikah lebih sedikit memiliki masalah minuman keras, yang sering kali terkait dengan masalah
kecelakaan, konflik antarpribadi dan depresi.
2. Orang yang menikah hidup lebih lama. Hal ini dapat terjadi karena mereka memiliki dukungan emosi dari pasangan dan akses terhadap sumber daya
ekonomi.
3. Orang yang menikah memiliki kepuasan relasi seksual yang lebih baik.
Sekitar 54% dari laki – laki yang menikah dan 43% dari perempuan yang menikah merasa sangat puas dengan relasi seksualnya. Angka ini lebih
tinggi bila dibandingkan dengan pelaku kohabitasi, dengan angka 44% laki – laki dan 35% perempuan. Angka – angka tersebut merupakan temuan di
Amerika, sayangnya angka – angka yang berlaku di Indonesia belum
4. Orang yang menikah lebih sejahtera secara ekonomi. Orang yang menikah dapat menggabungkan pendapatannya sehingga dapat meningkatkan
kemampuan ekonominya.
5. Anak – anak pada umunya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh orang tua
lengkap. Anak – anak dengan kedua orangtua yang tinggal serumah cenderung lebih baik secara emosi dan akademik. Sebagai remaja, mereka lebih sedikit mengalami hamil sebelum menikah. Anak – anak dapat
memperoleh perhatian yang lebih dari kedua orang tua, misalnya dalam hal pendampingan, bantuan untuk menyelesaikan tugas sekolah, dan
kualitas kebersamaan.
C. REMARRIAGE
C.1. Definisi Remarriage
Remarriage mungkin terjadi karena kematian salah satu dari pasangan
tersebut atau perceraian (dalam Hurlock, 1999). Keluarga remarried dapat dikelompokkan ke dalam kategori menurut susunan keluarga. Pasangan dengan
salah satu yang menikah kembali termasuk keluarga dengan 1) tidak memiliki anak 2) anak bawaan pernikahan sebelumnya dari pihak istri 3) anak bawaan pernikahan sebelumnya dari pihak suami 4) anak dari hasil pernikahan yang kedua
5) hasil dari pernikahan kedua ditambah anak dari pihak suami 6) hasil dari pernikahan kedua ditambah anak dari pihak istri 7) anak dari pihak istri dan
kembali termasuk keluarga dengan 1) tidak memiliki anak 2) anak bawaan pernikahan sebelumnya dari pihak istri 3) anak bawaan pernikahan sebelumnya
dari pihak suami 4) anak dari hasil pernikahan yang kedua 5) hasil dari pernikahan kedua ditambah anak dari pihak suami 6) hasil dari pernikahan kedua ditambah
anak dari pihak istri 7) anak dari pihak istri dan suami (dalam DeGenova, 2008). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa remarriage adalah pernikahan kembali yang dilakukan karena kematian salah satu pasangan maupun
perceraian, termasuk kedalamnya keluarga dengan salah satu pasangan yang menikah kembali maupun kedua pasangan yang menikah kembali.
C.2. Alasan Melakukan Remarriage
Orang melakukan remarriage kebanyakan untuk cinta, practical matters
seperti keamanan finansial, bantuan membesarkan anak, keluar dari kesepian dan penerimaan sosial (Berk, 2007).
Berikut ini adalah beberapa alasan yang menyebabkan seorang individu memutuskan untuk melakukan remarriage (dalam Dariyo, 2004). Alasan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan cinta dan persahabatan.
2. Pemenuhan kebutuhan biologis.
Dari segi pemenuhan faktor biologis, menikah lagi dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyalurkan kebutuhan seksual secara sah dengan pasangan hidup yang baru tanpa melanggar norma sosial, apalagi untuk
individu yang masih berada dalam usia reproduktif
3. Faktor kebutuhan ekonomi/keuangan.
Seseorang juga memilih untuk menikah lagi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi untuk diri sendiri maupun untuk anak-anaknya.
4. Etika, moral, dan norma sosial.
5. Faktor pemeliharaan atau pendidikan anak .
Selain itu, bagi individu yang memiliki anak dari pernikahan
sebelumnya akan mendapatkan bantuan dalam mengurus, memelihara ataupun mendidik anak-anaknya dengan menikah lagi
6. Untuk memperoleh status sosial.
D. WANITA ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS) D.1. Definisi ODHA
ODHA merupakan singkatan dari orang dengan HIV/AIDS, dalam hal ini orang yang di dalam tubuhnya terdapat HIV (orang terinfeksi), setelah dilakukan
pemeriksaan darahnya baik dengan test Elisa maupun Western Blot(Mudjahid,2000). ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) didefinisikan sebagai
terinfeksi sampai muncul gejala klinis bisa sangat bervariasi antara delapan sampai sepuluh tahun, yang disebut sebaga masa inkubasi, yang dalam
terminologi penyakit HIV/AIDS biasa disebut sebagai window period (Klatt, 2006).ODHA adalah singkatan orang dengan HIV/AIDS, yaitu setiap orang yang
di dalam tubuhnya telah beredar virus HIV, yang diketahui dengan pemeriksaan antibodi dalam darahnya(Zein, 2006).
Melihat definisi yang telah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa
ODHA adalah singkatan atau istilah yang dipakai bagi orang – orang yang terinfeksi HIV yang diketahui melalui pemeriksaan darahnya.
D.2. Penyakit HIV/AIDS
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dinyatakan oleh Blalock & Campos (2003), merupakan penyakit yang disebabkan kuman virus menyebar oleh darah yang terinfeksi, cairan sperma, atau sekresi cairan vagina; penyakit ini
menghancurkan sistem imun normal tubuh. AIDS disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang memiliki potensi untuk menghancurkan
bagian dari sistem imun. HIV menyerbu sel darah putih dan memproduksidirinya sendiri. HIV kemudian menghancurkan sel darah putih, sel yang mengatur kemampuan sistem imun untuk melawan penyakit infeksi (dalam Matlin, 2008).
Di dalam tubuh kita terdapat sel darah putih yang disebut sel
CD4.Fungsinya seperti sakelar yang menghidupkan dan memadamkan kegiatan
yang masuk ke tubuh menularkan sel ini, „membajak‟ sel tersebut, dan kemudian
menjadikannya „pabrik‟ yang membuat miliaran tiruan virus. Ketika proses
tersebut selesai, tiruan HIV itu meninggalkan sel dan masuk ke sel CD4 yang lain.
Sel yang ditinggalkan menjadi rusak atau mati.Jika sel-sel ini hancur, maka sistem
kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi tubuh kita dari
serangan penyakit. Keadaan ini membuat kita mudah terserang berbagai penyakit
(dalam Spiritia, 2009)
Siapapun yang terlibat dalam perilaku seksual beresiko dengan orang terinfeksi dapat mengidap AIDS. Berdasarkan survey, orang-orang percaya bahwa
mereka dapat menilai teman seksual yang terlihat terinfeksi HIV. Sayangnya, bagaimanapun, mustahil untuk memberitahu apakah seseorang itu terinfeksi hanya dengan melihat saja (dalam Matlin, 2008).
Individu-individu yang menderita HIV positif tidak mengalami simptom-simptom pada awalnya, bahkan beberapa orang tidak mengalami gejala-gejala
infeksi hingga sepuluh tahun. Simptom-simptom yang selanjutnya akan berkembang, yakni kelenjar getah bening yang bengkak, kelelahan, rashes,
demam yang tidak jelas, kehilangan berat badan, dan diare (L.L. Alexander et al., 2004; Kalichman, 2003). Pria dan wanita mengalami gejala-gejala tersebut jika menderita HIV positif (dalam Matlin, 2008).
Individu yang menderita HIV positif, meskipun pada tahap awal, sangatlah bersifat menular. Infeksi HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam kurun
imunitas seseorang menurun hingga batas tertentu. HIV juga dapat merusak sistem saraf pusat yang dimana akan menimbulkan gangguan psikologis, seperti
kehilangan memori, masalah kognitif, dan depresi. Drug therapies telah dikembangkan untuk memperpanjang hidup individu yang menderita HIV positif
(dalam Matlin, 2008)
D.3. Pencegahan Penularan HIV/AIDS
HIV sepenuhnya adalah penyakit yang dapat dicegah. Cara pencegahannya secara langsung berkaitan dengan cara penularannya (dalam Gallant, 2010). Cara
penularan yang pertama adalah penularan seksual. Tidak ada yang lebih aman dari tidak berhubungan seksual, tapi tidak semua orang dapat menerimanya. Alternatif yang terbaik adalah dengan membatasi jumlah pasangan seksual, melakukan
aktivitas seksual kecuali di lubang anus atau vagina, menggunakan “pengaman”, serta tidak memasukkan air mani, cairan pra-semina, maupun cairan vagina ke
dalam mulut atau mata. Alat konrasepsi dapat membantu membatasi penyebaran AIDS (dalam Matlin, 2008). Namun, survey menunjukkan kurang dari 40%
wanita menyatakan bahwa mereka menggunakan alat kontrasepsi selama melakukan hubungan seksual. Suatu masalah yang penting dalam penggunaan alat kontrasepsi adalah bahwa pria merupakan pihak yang sering mengontrol
wanita merasa tidak aman untuk memaksa pasangan mereka menggunakan “pengaman”.
Pada kenyataannya, penggunaan alat kontrasepsi secara teratur tidak menjamin proteksi terhadap AIDS karena “pengaman” dapat rusak. Seks yang
sempurna aman tidaklah tersedia, hanya seks yang lebih aman yang tersedia. Maka, alat kontrasepsi pastilah lebih baik daripada tidak ada proteksi sama sekali (dalam Matlin, 2008).
Cara pencegahan yang kedua menurut Gallant (2010) adalah melakukan pencegahan penularan dari pengguna narkoba adalah dengan mencari pengobatan
dan berhenti menggunakan narkotika tersebut. Tetapi bila pemakaian tersebut tidak dihentikan, jangan menggunakan jarum suntik yang sama dengan orang lain. Bila penggunaan jarum suntik bersama – sama tersebut tidak dapat dihindari,
pastikan untuk membersihkan jarum suntik tersebut. Cara yang terakhir adalah mencegah lewat penularan kepada bayi.Semua perempuan hamil lebih baik
mengikuti tes untuk infeksi HIV.Pengobatan selama kehamilan hampir 100% efektif untuk mencegah penularan kepada bayi.Perempuan yang positif tidak
dianjurkan untuk menyusui bayinya (Gallant, 2010).
D.4. Wanita dengan HIV/AIDS
HIV.Mayoritas wanita terinfeksi HIV karena mereka menggunakan narkoba atau karena mereka berhubungan seksual dengan pria yang terinfeksi HIV. Observasi
penting yang dilakukan adalah penularan HIV melalui hubungan heteroseksual, yaitu hubungan antara laki – laki dan perempuan, ditemukan lebih banyak terjadi
pada wanita yang ditularkan oleh pria daripada pria yang ditularkan oleh wanita (dalam Matlin, 2008).
Estimasi terbaru memperlihatkan bahwa wanita yang tidak terproteksi saat
sexual intercourse dengan laki – laki yang terinfeksi HIV, 2 sampai 8 kali lebih beresiko tertular daripada saat seorang laki – laki melakukan sexual intercourse
dengan wanita yang terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena konsentrasi HIV lebih tinggi pada cairan sperma daripada cairan vagina (dalam Matlin, 2008)
Individu yang menderita HIV positif cenderung untuk mengalami depresi,
kecemasan, kemarahan, dan ketakutan. Beberapa wanita mengalami perspektif hidup yang baru yang lebih penuh harapan. Orang-orang yang menderita AIDS
sering menyatakan bahwa mereka terperangah dengan reaksi yang tidak sensitif dari orang lain bahkan anggota keluarga sendiri. Beberapa orang lainnya merasa
terkejut dengan pesan-pesan yang penuh dengan dukungan. (dalam Matlin, 2008) Menurut Herbert & Bachnas (2002) wanita yang menderita HIV positif juga memiliki kemungkinan untuk mengalami infeksi vagina dan kanker serviks.
wanita sering menerima diagnosa yang salah dan tidak menerima treatment lebih awal (dalam Matlin, 2008).
E. PENGAMBILAN KEPUTUSAN REMARRIAGE PADA WANITA ODHA
Menurut Janis& Mann (1977) pengambilan keputusan merupakan pemecahan konflik dan perilaku menghindarberdasarkanpada faktor situasional.
Definisi pengambilan keputusan oleh Janis and Mann (1977) tersebut merupakan model deskriptif dari proses pengambilan keputusan, dimana mereka
mengedepankan ide bahwa kebutuhan untuk membuat suatu keputusan melibatkan konflik dari keadaan stress (de Heredia, 2004). Pengambilan keputusan tersebut, menurut Janis dan Mann (1977) memiliki lima tahapan yaitu:
Menilai masalah, menilai alternatif – alternatif yang ada, menimbang alternatif, membuat komitmen, dan tetap melakukan komitmen walau ada umpan balik yang
negatif.
Seorang individu harus melakukan pengambilan keputusan pada setiap isu –
isu didalam kehidupannya.Salah satu contoh keputusan yang harus diambil adalah Pengambilan keputusan untuk menikah kembali. Pengambilan keputusan untuk menikah kembali ini bukan hanya didasarkan pada keuntungan yang didapat dari
pernikahan, seperti memiliki gaya hidup yang lebih sehat; hidup lebih lama; kepuasan relasi seksual yang lebih baik; lebih sejahtera secara ekonomi; anak –
juga konflik serta konsekuensi apa yang dapat ditimbulkan dari keputusan tersebut(dalam Lestari, 2012). Janis dan Mann (1977), menyatakan bahwa pada
umumnya individu akan menghadapi konflik dalam mengambil suatu keputusan yang sangat penting. Munculnya konflik membuat pengambil keputusan akan
sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menghadapi risiko yang akan muncul. Konflik-konflik tersebut juga akan mempengaruhi individu untuk menerima atau menolak tindakan yang harus dilakukan sesuai keputusan yang
dibuat.
Orang melakukan remarriage kebanyakan untuk cinta, practical matters
seperti keamanan finansial, bantuan membesarkan anak, keluar dari kesepian dan penerimaan sosial, lebih ditemukan di pernikahan kedua daripada pertama (Berk, 2007). Berikut ini adalah beberapa alasan yang menyebabkan seorang individu
memutuskan untuk melakukan remarriage, yaitu: Mendapatkan cinta dan persahabatan; pemenuhan kebutuhan biologis; faktor kebutuhan
ekonomi/keuangan; etika, moral, dan norma sosial; faktor pemeliharaan atau pendidikan anak; serta untuk memperoleh status sosial (dalam Dariyo,
2004).Alasan tersebut juga dimiliki oleh wanita dengan HIV/AIDS tetapi mereka memiliki beberapa perbedaan dalam pengambilan keputusan untuk menikah karena resiko – resiko dari penyakitnya yang dapat ditimbulkan dari
sehingga wanita ODHA akan lebih berhati – hati saat akanmengambil keputusan melakukanremarriagetersebut.
Wanita dikatakan lebih mudah terserang HIV/AIDS daripada pria. Perkiraan saat ini, wanita yang melakukan hubungan seksual tanpa alat “pengaman” dengan
pria terinfeksi HIV adalah sekitar 2/8 lebih mungkin tertular HIV. Individu yang menderita HIV positif cenderung untuk mengalami depresi, kecemasan, kemarahan, dan ketakutan (dalam Matlin, 2008). Untuk pasangan kekasih dan
menikah yang mengidap HIV/AIDS, pasti akan ada keputusan yang sulit untuk diambil yaitu apakah pasangan perlu di tes, seks seperti apa yang aman dilakukan,
dan sebagainya. Untuk wanita khususnya, akan ada ketakutan kemungkinan menularkan pada bayi mereka bila mereka hamil. Beberapa wanita memutuskan punya anak, dan beberapa lainnya memutuskan untuk tidak punya anak, tapi
keputusan manapun yang akan diambil akan menimbulkan kehilangan yang besar(Aggleton, Kim, Ian, 1994).
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa wanita ODHA memiliki pertimbangan serta konsekuensi yang berbeda dengan wanita pada umumnya,
yang harus dipikirkan sebelum memutuskan remarriage. Seperti yang dijabarkan diatas, wanita ODHA mungkin akan mengalami ketakutan akan resiko menularkan pada bayi mereka, harus memikirkan bagaimana seks yang aman
dilakukan, serta harus memikirkan kemungkinan penularan terhadap suami mereka dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan keputusan untuk menikah
alasan – alasan tersebut menjadikan wanita ODHA harus melewati tahapan – tahapan pengambilan keputusan yang lebih kompleks dan unik dibandingkan
tahapan yang dilewati oleh seseorang normal yang akan memutuskan untuk menikah kembali.