• Tidak ada hasil yang ditemukan

Awam dalam Gereja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Awam dalam Gereja"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

AWAM DALAM GEREJA:

PELENGKAP HIRARKI?

M. Rudy Hermawan CM

“…two temptations can be cited which they (the lay faithful, pen.) have not always known how to avoid: the temptation of being so strongly interested in Church services and tasks that some fail to become actively engaged in their responsibilities in the professional, social, cultural and political world; and the temptation of legitimizing the unwarranted separation of faith from life, that is, a separation of the Gospel's acceptance from the actual living of the

Gospel in various situations in the world.” (CL art. 2)1

Konsili Vatikan ke-2 secara cemerlang memperbaharui wajah Gereja. Salah satu pembaharuan, yang terkait dengan tema seminar kali ini, adalah pengakuan akan pentingnya peranan awam. Sejak Konsili Vatikan ke-2, awam bukan lagi penerima pasif pelayanan dari para gembala. Kaum awam justru dianjurkan dan diajak terlibat aktif dalam berbagai pelayanan Gereja. Yang jauh lebih penting lagi, posisi dan peran khas awam yang secara langsung terikat erat dengan inti misi Gereja

ditonjolkan secara gemilang, yakni terlibat aktif dalam tata dunia.

Namun, kini muncul keprihatinan akan kurangnya kesadaran akan peran khas kaum awam ini. Dirasakan makin banyak awam dilibatkan melulu dalam pelayanan-pelayanan Gerejani yang berorientasi ke dalam. Sementara, ajakan, anjuran, serta peneguhan bagi keterlibatan awam dalam tata dunia semakin berkurang. Jika keprihatinan ini sesuai dengan realitanya, maka kekeliruan tentu saja tidak serta merta berada di pundak kaum awam.

Dalam makalah kecil ini, penulis bermaksud menyajikan pentingnya posisi dan tugas khas kaum awam dalam tata dunia. Kemudian, dipaparkan sedikit analisis tentang mengapa kekhasan tersebut tidak sepenuhnya dipahami dan dihidupi oleh kaum awam Katolik. Analisis ini bukan pasti benar. Maka, diharapkan dalam diskusi, analisis tersebut bisa dikaji dengan lebih mendalam.

Gereja: Diutus ke Dunia

Posisi dan peran awam dalam Gereja mengalir dari hakekat dan tujuan adanya Gereja, yaitu misinya. Satu kutipan dari Injil Yohanes kiranya patut dicermati untuk mengawali pembahasan sub-judul ini. “Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat… Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia;” (Yoh 17:15.18)

Konteks kutipan di atas adalah doa Yesus kepada Bapa untuk para muridNya. Dalam doa tersebut terpampang dengan jelas bahwa Yesus bermaksud mengutus para murid ke dunia. Karena itu, Ia tidak menghendaki para murid diambil atau lari dari dunia. Dunia adalah tempat di

1 CL adalah kependekan dari Christifideles Laici, Surat Himbauan dari Paus Yohanes Paulus II tentang panggilan

▸ Baca selengkapnya: dalam tugas imamiah (menguduskan), seorang awam dapat

(2)

mana misi keselamatan Kristus harus terus diwartakan. Dunia adalah lahan di mana para murid sebagai Gereja dikehendaki oleh Tuhan untuk terus hadir dan bekerja.

Tugas mewartakan keselamatan Kristus kepada seluruh manusia di dunia sepenuhnya disadari oleh Gereja. Gereja sadar bahwa dirinya adalah sakramen (bdk. LG art. 1), didirikan oleh Kristus untuk meneruskan misi keselamatanNya di dunia ini (bdk LG art. 8).2

Beberapa kesimpulan dapat kita tarik dari pembahasan di atas. Pertama, Gereja adalah umat Allah, orang-orang yang percaya dan mengikuti Yesus. Kedua, Gereja mewarisi misi keselamatan Kristus bagi dunia. Ketiga, karena itu, tempat karya Gereja adalah dunia, bukan di luar dunia. Memangnya kesaksian tentang Tuhannya dan pewartaan keselamatan kepada semua bangsa hendak dilakukan oleh Gereja dengan lari dari dunia atau bahkan di luar dunia?

Itu alasan mendasar mengenai keberadaan Gereja. Di sisi lain, yang dimaksudkan dengan Gereja bukanlah gedung atau orang-orang berjubah dan hirarki, melainkan merupakan kumpulan orang-orang, “yang penuh iman mengarahkan pandangan kepada Yesus” (LG art. 9). Gereja, yakni kumpulan semua orang yang percaya kepada Kristus, hadir di dunia sebagai sakramen, yaitu tanda dan

keselamatan Allah bagi dunia.

Awam dalam Gereja

Posisi dan peran kaum awam berkaitan erat dengan tugas misi Gereja. Paus Pius XII mengatakan bahwa kaum awam berada di garis depan kehidupan Gereja (bdk. CL art. 9). Apa artinya?

Yang dimaksudkan dengan kaum awam adalah “semua orang beriman kristiani, kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja” (LG art. 31). Yang membedakan kaum awam dari imam dan religius adalah sifat keduniaannya. Lebih lanjut Lumen Gentium menyatakan,

“Berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari kerajaan Allah, dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada ditengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial…. Di situlah mereka dipanggil oleh Allah, untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi mereka membawa sumbangan demi pengudusan dunia bagaikan dari dalam. Begitulah mereka memancarkan iman, harapan dan cinta kasih terutama dengan kesaksian hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada sesama. Jadi tugas mereka yang istimewa yakni: menyinari dan mengatur semua hal-hal fana, yang erat-erat melibatkan mereka, sedemikian rupa,

sehingga itu semua selalu terlaksana dan berkembang menurut kehendak Kristus, demi kemuliaan Sang Pencipta dan Penebus.” (art. 31)

Tampak sekali bahwa dalam benak para uskup yang menghadiri Konsili Vatikan II, yang antara lain menghasilkan dokumen Lumen Gentium, tata dunia merupakan lahan yang sangat khas bagi kaum awam. Tugas utama kaum awam adalah menjadi rasul-rasul yang mewartakan karya keselamatan Kristus kepada dunia. Melalui mereka, Gereja Kristus dihadirkan di dalam berbagai sektor kehidupan dunia sebagai tanda dan sumber harapan dan cintakasih (bdk. CL art. 7).

Apakah dengan berkarya di tata dunia, lalu bisa diartikan bahwa kaum awam menempati posisi sekunder atau tambahan atau sekedar pelengkap dalam Gereja? Pertanyaan ini bisa muncul jika

2 LG singkatan dari Lumen Gentium, salah satu dokumen utama hasil Konsili Vatikan II (1962-1965), yang

(3)

kita berpikir bahwa tugas Gereja hanya di sekitar altar dan kekudusan. Namun, kita harus selalu ingat bahwa Gereja didirikan melulu untuk melanjutkan karya Tuhan mewartakan keselamatan kepada dunia. Jika tujuan ini diabaikan atau tidak ditepati, Gereja kehilangan tujuannya dan karena itu tidak punya alasan lagi untuk tetap ada.

Justru dalam hubungannya dengan tugas misi Gereja, keterkaitan kaum awam dengan tata dunia merupakan hal yang pokok. Kutipan di atas jelas menunjukkan bahwa kaum awamlah pelaku utama dan kunci pewartaan keselamatan Kristus kepada dunia. Pelaksanaan misi Gereja berada di tangan kaum awam. Karena itu, mereka berada di garis depan. Posisi mulia kaum awam ini tidak akan pernah dapat digantikan oleh kaum religius dan hirarki (bdk. CL art. 7). Kaum awam adalah rasul utama Gereja di segala bidang kehidupan dunia. Mereka adalah saksi Kristus di tengah masyarakat manusia (bdk. AG art. 43).3

Satu hal lagi perlu kita ingat. Semua orang, termasuk kaum awam, dipanggil menuju kesucian (bdk. LG art. 11). Panggilan tersebut tidak diarahkan kepada kaum awam saat mereka sedang berdoa atau mengikuti misa. Panggilan menuju kesucian ditujukan kepada awam dalam kehidupan mereka sehari-hari di tengah dunia. Keterlibatan mereka dalam kehidupan dunia, pekerjaan sehari-hari, kegiatan berumah tangga, dan keterlibatan dalam kehidupan

bermasyarakat, dst sebagai rasul-rasul Gereja yang memberikan kesaksian akan keselamatan Kristus melalui sikap, kata, dan perbuatan, adalah jalan menuju kekudusan (bdk. PCPL art. 1).4

Kiranya Apa yang Menjadi Sebab?

Panggilan tersebut secara sangat kuat mengalir dari inti misi Gereja dan tanggung jawab kaum awam dalam dunia dan Gereja (bdk. CL art. 17).

Persoalannya sekarang, mengapa panggilan menjadi rasul di tengah dunia seakan-akan tidak jalan atau sekurang-kurangnya tidak sepenuhnya disadari oleh kaum awam sendiri? Kutipan dari

Christifideles Laici art. 2 di halaman satu menunjukan keprihatinan paus terhadap maraknya godaan untuk lebih terlibat dalam pelayanan Gereja daripada pelayanan keluar. Nyatanya lebih sering kata-kata “pelayanan” dan “kesaksian” diartikan sebagai pelayanan dan kesaksian ke dalam Gereja, kepada orang-orang yang sudah menjadi Katolik, daripada terarah keluar Gereja (bdk. Carl. E. Olson, 2006). Seperti inikah sejatinya pelayanan dan kesaksian yang menjadi misi Gereja?

Tentunya hal itu bukan tanpa sebab. Dan, sekali lagi, kekeliruan tersebut bukan semata-mata di tanggung jawab kaum awam. Di bagian ini penulis mencoba mengurai beberapa hal yang kiranya menjadi sebab.

Pertama, godaan kedua dalam kutipan di halaman satu di atas, yaitu pemisahan antara menerima Injil dan menghayati Injil itu dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai situasi dunia. Dengan kata lain, pemisahan antara doa atau ibadah dengan kehidupan sehari-hari. Dengan mudah seseorang bisa berdoa atau mengikuti ibadah berkali-kali secara khusuk. Namun dalam hidupnya sehari-hari, terutama relasinya dengan sesama, sama sekali tidak

menampakkan kesalehan seorang pendoa. Uskup Agung Jakarta, Mgr. Suharyo, pernah menulis demikian,

3

AG adalah singkatan umum untuk dokumen Ad Gentes, salah satu dokumen utama hasil Konsili Vatikan II, yang membahas tentang Gereja di Dunia.

4

(4)

“Rupanya tidak sedikit yang berpendapat bahwa yang penting adalah ungkapan iman dalam bentuk upacara dan doa. Sementara perwujudan iman

Dengan pemisahan seperti itu, doa atau ibadah dianggap lebih penting dan sangat cukup untuk menjamin keselamatan seseorang. Apalagi, jauh lebih mudah memusatkan perhatian pada doa dan ibadah daripada mempertahankan moralitas yang baik dalam hidup sehari-hari. Demikian pula, lebih mudah bersikap suci dan saleh saat di dalam gereja daripada sepanjang hari bersikap baik kepada sesama.

dilalaikan. Kalau demikian, ibadah, doa, upacara keagamaan dapat lepas sama sekali dari moralitas hidup pribadi maupun sosial.” (2007)

Kedua, berkaitan dengan yang pertama di atas, adalah reduksi makna keselamatan. Tuhan, yang menjadi panutan kita, memilih untuk mati demi keselamatan orang lain, bukan keselamatan diriNya sendiri yang Ia pikirkan. Misi yang diwariskan Tuhan kepada Gereja berorientasi sama, yakni demi keselamatan orang lain. Dengan menerima baptisan, kita diselamatkan untuk kemudian menyelamatkan orang lain. Maka, di dalam Gereja Katolik, tidak ada konsep tentang keselamatan diri sendiri.

Hal ini berpengaruh besar pada moral Katolik. Dalam moral Katolik, tidak ada gagasan tentang “aku memberi supaya aku diberi” (do ut des). Dasar moral kita adalah “karena aku sudah dicintai (oleh Tuhan), maka aku harus mencintai sesama”. Maksudnya, karena aku sudah diselamatkan, maka aku harus berusaha menyelamatkan orang lain. Penjelasannya kurang lebih demikian. Cinta Tuhan telah diberikan kepadaku dan puncak dari cintakasih itu adalah keselamatan melalui kematianNya. Karena itu, aku berbuat baik kepada sesama bukan supaya aku

mendapatkan pahala, karena pahala itu sudah aku terima di awal. Sebaliknya, aku harus berbuat baik kepada sesama, karena aku telah lebih dahulu dicintai dan diselamatkan. Ketika dasar iman dan moral ini tidak dipahami dengan benar, mudah sekali kita jatuh pada asumsi bahwa rajin berdoa dan terlibat dalam pelayanan di dalam Gereja sudah cukup untuk keselamatan kita sendiri.

Ketiga, ketidaksiapan hirarki (dan kaum religius). Maksudnya, kaum berjubah tidak siap dalam menemani dan meneguhkan kaum awam untuk terus terlibat dalam kehidupan tata dunia. Ketidaksiapan ini tampak sekali dalam pandangan-pandangan negatif tentang dunia, tentang politik, tentang makna kata sekular, dsb. Misalnya, bukannya memotivasi awam untuk terjun dalam pergaulan masyarakat dunia, kaum berjubah malah mengajarkan spiritualitas “lari” dari dunia, karena dunia itu kotor dan sumber dosa. Pandangan bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi, apalagi dengan alasan Gereja tidak boleh berpolitik praktis, juga mencerminkan ketidaksiapan ini. Padahal politik adalah bagian dari ajang kerasulan awam Katolik. Sementara yang tidak boleh berpolitik praktis (sekali lagi, berpolitik praktis, bukan berpolitik) hanyalah kaum berjubah, bukan kaum awam.

Susahnya, karena hirarki dan kaum berjubah pada umumnya menjadi panutan kaum awam, ketidaksiapan mereka berpengaruh besar pada perilaku dan pilihan-pilihan kerasulan awam. Sebab-sebab pertama dan kedua di atas tidak lepas dari pengaruh ketidaksiapan ini. Karena itu, penulis melihat bahwa sebab ketiga ini justru paling kuat, karena bisa jadi menjadi sumber dari sebab-sebab yang lain. Kiranya hirarki dan kaum berjubah perlu dengan rendah hati menerima kenyataan bahwa tugas kaum berjubah dan tugas awam berbeda. Kaum awam bukan pelengkap hirarki. Awam juga bukan pertama-tama pembantu kaum berjubah. Kaum berjubah perlu lebih banyak belajar agar bisa menemani kaum awam sebagai rasul-rasul di dunia.

(5)

Panggilan untuk aktif dalam kerasulan di segala bidang kehidupan dunia bukanlah pilihan. Apalagi panggilan itu sangat menentukan terlaksana tidaknya misi Gereja sebagai penerus misi Yesus Kristus kepada segala bangsa di dunia. Tetapi, terlaksananya panggilan tersebut bukan semata-mata tanggung jawab kaum awam sendiri. Hirarki, yang berkarya di bidang rohani, perlu membenahi diri pula agar lebih mampu mendampingi kaum awam sesuai dengan panggilannya. Menjaga hidup rohani kaum awam dalam keterlibatan mereka di dunia dan memaknai

keterlibatan itu adalah tugas kaum berjubah.

Pustaka

_______ (1965). Ad Gentes. Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini.

_______ (1964). Lumen Gentium. Konstitusi Dogmatis tentang Gereja.

Conggregation for the Doctrine of the Faith (2002). The Participation of Catholics in Political Life.

Olson, Carl E. (2000). “The Role of the Laity: an Examination of Vatican 2 and Christifideles Laici”.

Paulus II, Yohanes (1988). Christifideles Laici: on the Vocation and the Mission of the Lay Faithful in the Church and in the World.

Suharyo, Ignatius (2007). “Tanggung Jawab Sosial Agama-agama”.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 1 diketahui bahwa mayoritas informan yang memiliki pola perilaku rapuh dalam mengelola diversifikasi pangan non beras di

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karuniaNya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peningkatan Kedisiplinan Dan

Melaksanakan penyusunan kebijakan teknis dan pelaksanaan kebijakan Daerah urusan bidang ideologi dan kewaspadaan, wawasan kebangsaan, politik dalam negeri, ketahanan

Pelaksanaan budaya korporat merupakan salah satu penanda aras kita untuk memberikan perkhidmatan yang terbaik dengan mengunakan tiga elemen yang penting iaitu perkhidmatan

Oleh sebab itu, treatment keseimbangan perlu diberikan pada siswa Gangguan Pemusatan Perhatian (GPP) agar dapat menunjang kemampuan atensi sehingga akan mempermudah

[r]

Dengan adanya situs penjualan berbasis web ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan memperluas pasar yang ada serta mempermudah konsumen dalam melakukan

perbedaan skor akhir sebesar 2% diperoleh dari selisih antara hasil penelitian sebelumnya dengan hasil menggunakan perangkat lunak yang dibagi dengan total