PERAMPASAN ASSET MILIK PELAKU TINDAK PIDANA
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF REZIM
CIVIL FORFEITURE
TESIS
Oleh
INDRI WIRDIA EFFENDY 097005085/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERAMPASAN ASSET MILIK PELAKU TINDAK PIDANA
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF REZIM
CIVIL FORFEITURE
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
INDRI WIRDIA EFFENDY 097005085/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : PERAMPASAN ASSET MILIK PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF REZIM
CIVIL FORFEITURE
Nama Mahasiswa : Indri Wirdia Effendy Nomor Pokok : 097005085
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) Ketua
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) Anggota Anggota
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 11 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum
Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Berdasarkan UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) selama ini cenderung mengutamakan jalur pidana yang berfokus pada penghukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari pada perampasan aset negara, kenyataannya, jalur pidana tidak cukup ampuh untuk meredam, mencegah, memberantas, dan mengurangi kuantitas tindak pidana korupsi. Sementara rejim civil forfeiture dapat lebih effektif untuk merampas aset yang dicuri para pelaku dibandingkan rejim pidana sebab rejim civil forfeiture mempunyai kelebihan mempermudah perampasasn aset melalui pembuktian terbalik murni dimana terdakwa yang harus membuktikan bahwa harta itu adalah miliknya dan bukan berasal dari suatu tindak pidana.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimanakah pengaturan perampasan aset tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001? kedua, bagaimanakah perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture? dan ketiga, apakah kelebihan dan kelemahan penggunaan instrumen civil forfeiture dalam perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Alasannya didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.
Kesimpulan yang diperoleh bahwa pengaturan perampasan aset dalam UUPTPK dilakukan terlebih dahulu harus menunggu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atau karena terdakwa telah meninggal dunia baru dilakukan perampasan aset. Perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture dapat dilakukan instrumen pidana dan perdata secara bersamaan namun dapat secara langsung melalui gugatan perdata khusus terhadap aset yang tidak mempunyai kaitan dengan tindak pidananya. Kelebihannya, civil forfeiture menempatkan harta sebagai pihak yang berperkara sedangkan kelemahannya tidak bertujuan untuk menghukum pelaku.
Saran yang diharapkan adalah: agar dilakukan revisi terhadap Pasal 18 dengan memberlakukan civil forfeiture dan revisi Pasal 19 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM; agar perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture dilakukan pembentukan suatu lembaga tersendiri mengenai perampasan aset sebab pengaturan civil forfeiture sangat luas sehingga diperlukan undang-undang; agar pemerintah Indonesia serius memiskinkan koruptor melalui kebijakan-kebijakan legislasi anti korupsi.
ABSTRACT
Based on Law No.31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 on the Eradication of Corruption Criminal Act (UUPTPK), the handling of the corruption criminal act today tends to emphasize on the criminal law which is focused on the punishment of the corruptors rather than on the confiscation of the corruptors’ assets. In reality, the criminal law is not effective enough to eliminate, restrain, eradicate, and reduce the quantity of corruption criminal act. Meanwhile, the civil forfeiture regime is more effective to confiscate the assets which have been stolen by the corruptors rather than the criminal regime because the civil forfeiture regime is able to make easier to confiscate the assets through the reversal of the burden of proof in which the defendants have to give the evidence that the assets belong to him and did not come from criminal act.
The problems in this research were as follows: first, how to regulate the confiscation of the assets of the corruption criminal act, based on Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001? Secondly, how to confiscate the corruptors’ assets through the instrument of civil forfeiture? Thirdly, what were the advantages and the disadvantages of using the instrument of civil forfeiture in confiscating the corruptors’ assets?
The method used in this research was judicial normative approach which was referred to legal norms and legal principles found in the legal provisions and in Court’s verdicts. The reason was based on the paradigm of the dynamic relationship among the theories, the concepts, and the data as the feedback or final modification of the theories and concepts based on the collected data.
The result of the research showed that the confiscation of the assets, according to the UUPTPK, was accomplished after the judge’s verdict which was final and conclusive, or when the defendant died. The confiscation of the corruptors’ assets through the civil forfeiture could be done with both the criminal and civil instruments simultaneously, but it could also be done directly through special civil complaint on the assets which did not have any correlation with the criminal act. The advantage was that the civil forfeiture considered the status of the assets as the litigants, while the disadvantage was that it was not aimed to punish the perpetrator.
It was recommended that Article 18 should be revised by imposing civil forfeiture and Article 19 paragraph (1) of Law No. 39/1999 on Human Rights should also be revised, that a special committee should be established in the process of confiscating the corruptors’ assets through civil forfeiture instrument because the civil forfeiture regulation was broad enough so that a law was needed, and that the Indonesian government should seriously impoverish the corruptors through the policies of anti-corruption legislation.
K A T A P E N G A N T A R
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat dan karunian-Nya yang maha pemurah lagi maha penyayang, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sumatera Utara dengan judul penelitian yaitu, ”Perampasan Asset Milik Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Rezim Civil Forfeiture” Penelitian ini telah dinyatakan lulus dalam
yudisium dengan baik dan tepat pada waktunya pada tanggal 11 Agustus 2011
Sehubungan dengan ini dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, CTM (K), Sp.A (K),
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum;
3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, yang juga sebagai Pembimbing III yang telah banyak memberikan petunjuk serta saran yang bermanfaat dan sangat mendukung dalam penyelesaian Tesis ini;
4. Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, sekaligus sebagai penguji pada penelitian ini
5. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak berupaya memberikan koreksi sehingga menjadi sempurna. Selain itu juga telah banyak memberikan bimbingan, dorongan dan motivasi kepada penulis selama penelitian berlangsung hingga studi ini dapat selesai tepat waktu dengan nilai yang sangat memuaskan;
7. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, selaku penguji yang telah meluangkan waktu dan telah banyak memberikan bantuan berupa motivasi, bimbingan, petunjuk, saran dan arahan, dalam menyelesaikan penelitian Tesis ini,
8. Bapak/ Ibu dosen pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa menyumbangkan Ilmunya yang sangat berarti bagi masa depan saya,
9. Staf Administrasi Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan bantuan dalam informasi mengenai perkuliahan,
10.Dalam kesempatan ini, dengan penuh sukacita, Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Orangtua tercinta ayahanda Syahrul Effendi dan Ibunda Hj. Tetty Shahriah, atas segala jerih payah dan pengorbanannya yang tiada terhingga dalam mengasuh, mendidik, membimbing Peneliti sejak lahir, serta senantiasa mengiringi Penulis dan keluarga dengan doa yang tiada putus. Dan kepada saudara-saudara terkasih, adik-adik tersayang Kresna Affandi, SH dan M. Thessya Priangga, atas segala dukungan moril yang diberikan, Peneliti mengucapkan terima kasih
11.Seorang sahabat hati Fauzan A Nasution, SH yang selalu memberikan dorongan, motivasi dan doa demi untuk menyelesaikan studi ini;
12.Teman-teman seperjuangan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta saudara-saudara, family dan handai toulan yang tidak dapat disebutkan satu persatu
Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi manfaat bagi semua pihak dalam menambah dan memperkaya wawasan Ilmu Pengetahuan. Khusus kepada penulis, mudah-mudahan dapat memadukan dan mengimplementasikan ilmu serta mampu menjawab tantangan atas perkembangan hukum yang ada dalam maasyarakat.
nasehat, bimbingan, arahan, kritikan. Oleh karenanya, apapun yang disampaikan dalam rangka penyempurnaan Tesis ini, penuh sukacita Peneliti terima dengan tangan terbuka.
Semoga Tesis ini dapat memenuhi maksud penelitiannya, dan dapat bermanfaat bagi semua pihak, sehingga Ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa. Amin ya robbal’alamin
Medan, Agustus 2011. Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Indri Wirdia Effendy Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 23 Desember 1986 Jenis Kelamin : Wanita
Agama : Islam
Jabatan/ Pekerjaan : Staff Tindak Pidana Khusus/ Kejaksaan P. Siantar Alamat : Kompleks Johor Permai Jl. Melinjo II No. 18
Medan
Pendidikan : Sekolah Dasar Swasta Al-Azhar Medan, Lulus Tahun 1998
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan, Lulus Tahun 2001,
Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Medan, Lulus Tahun 2004,
Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Lulus Tahun 2008
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 16
E. Keaslian Penelitian... 16
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 17
1. Kerangka Teori... 17
2. Landasan Konsepsional... 25
G. Metode Penelitian... 28
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 29
2. Sumber Data... 29
3. Teknik Pengumpulan Data... 30
BAB II : PENGATURAN PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA
KORUPSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 1999 JUNTO UNDANG-UNDANG NOMOR 20
TAHUN 2001... 32 A. Pengaturan Perampasan Aset Dalam Perspektif Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 32 1. Perampasan Aset dalam UUPTPK... 32 2. Perampasan Aset Melalui Gugatan Perdata dalam UUPTPK.. 40 B. Kaitan Perampasan Aset Terhadap Pembuktian Terbalik
Sebagaimana Diatur Dalam KAK 2003... 45 C. Kaitan Pengaturan Pembuktian Terbalik Antara KAK 2003
dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan UU No.8 Tahun 2010... 51 D. Pengaturan Perampasan Aset dan Pembuktian Terbalik Dalam
UUPTPK serta Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia ... 67
BAB III : PERAMPASAN ASET MILIK PELAKU TINDAK PIDANA
KORUPSI MELALUI INSTRUMEN CIVIL FORFEITURE... 76 A. Stolen Asset Recovery (StAR) Sebagai Program Bersama Bank
Dunia dan PBB dalam Menghadapi Masalah Korupsi ... 76 B. Perampasan Aset Milik Pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan
Mengupayakan Mutual Legal Assistance (MLA) ... 85 C. Implementasi Instrumen Civil Forfeiture Untuk Merampas Aset
BAB IV : KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PENGGUNAAN
INSTRUMEN CIVIL FORFEITURE DALAM PERAMPASAN
ASET MILIK PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI... 108
A. Kelebihan dan Kelemahan Instrumen Civil Forfeiture dalam Merampas Aset Milik Pelaku Tindak Pidana Korupsi... 108
1. Kelebihan Civil Forfeiture... 108
2. Kelemahan Civil Forfeiture... 113
B. Solusi Terhadap Kelemahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengadopsi Civil Forfeiture... 116
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 129
A. Kesimpulan ... 129
B. Saran... 131
ABSTRAK
Berdasarkan UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) selama ini cenderung mengutamakan jalur pidana yang berfokus pada penghukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari pada perampasan aset negara, kenyataannya, jalur pidana tidak cukup ampuh untuk meredam, mencegah, memberantas, dan mengurangi kuantitas tindak pidana korupsi. Sementara rejim civil forfeiture dapat lebih effektif untuk merampas aset yang dicuri para pelaku dibandingkan rejim pidana sebab rejim civil forfeiture mempunyai kelebihan mempermudah perampasasn aset melalui pembuktian terbalik murni dimana terdakwa yang harus membuktikan bahwa harta itu adalah miliknya dan bukan berasal dari suatu tindak pidana.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimanakah pengaturan perampasan aset tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001? kedua, bagaimanakah perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture? dan ketiga, apakah kelebihan dan kelemahan penggunaan instrumen civil forfeiture dalam perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Alasannya didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.
Kesimpulan yang diperoleh bahwa pengaturan perampasan aset dalam UUPTPK dilakukan terlebih dahulu harus menunggu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atau karena terdakwa telah meninggal dunia baru dilakukan perampasan aset. Perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture dapat dilakukan instrumen pidana dan perdata secara bersamaan namun dapat secara langsung melalui gugatan perdata khusus terhadap aset yang tidak mempunyai kaitan dengan tindak pidananya. Kelebihannya, civil forfeiture menempatkan harta sebagai pihak yang berperkara sedangkan kelemahannya tidak bertujuan untuk menghukum pelaku.
Saran yang diharapkan adalah: agar dilakukan revisi terhadap Pasal 18 dengan memberlakukan civil forfeiture dan revisi Pasal 19 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM; agar perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture dilakukan pembentukan suatu lembaga tersendiri mengenai perampasan aset sebab pengaturan civil forfeiture sangat luas sehingga diperlukan undang-undang; agar pemerintah Indonesia serius memiskinkan koruptor melalui kebijakan-kebijakan legislasi anti korupsi.
ABSTRACT
Based on Law No.31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 on the Eradication of Corruption Criminal Act (UUPTPK), the handling of the corruption criminal act today tends to emphasize on the criminal law which is focused on the punishment of the corruptors rather than on the confiscation of the corruptors’ assets. In reality, the criminal law is not effective enough to eliminate, restrain, eradicate, and reduce the quantity of corruption criminal act. Meanwhile, the civil forfeiture regime is more effective to confiscate the assets which have been stolen by the corruptors rather than the criminal regime because the civil forfeiture regime is able to make easier to confiscate the assets through the reversal of the burden of proof in which the defendants have to give the evidence that the assets belong to him and did not come from criminal act.
The problems in this research were as follows: first, how to regulate the confiscation of the assets of the corruption criminal act, based on Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001? Secondly, how to confiscate the corruptors’ assets through the instrument of civil forfeiture? Thirdly, what were the advantages and the disadvantages of using the instrument of civil forfeiture in confiscating the corruptors’ assets?
The method used in this research was judicial normative approach which was referred to legal norms and legal principles found in the legal provisions and in Court’s verdicts. The reason was based on the paradigm of the dynamic relationship among the theories, the concepts, and the data as the feedback or final modification of the theories and concepts based on the collected data.
The result of the research showed that the confiscation of the assets, according to the UUPTPK, was accomplished after the judge’s verdict which was final and conclusive, or when the defendant died. The confiscation of the corruptors’ assets through the civil forfeiture could be done with both the criminal and civil instruments simultaneously, but it could also be done directly through special civil complaint on the assets which did not have any correlation with the criminal act. The advantage was that the civil forfeiture considered the status of the assets as the litigants, while the disadvantage was that it was not aimed to punish the perpetrator.
It was recommended that Article 18 should be revised by imposing civil forfeiture and Article 19 paragraph (1) of Law No. 39/1999 on Human Rights should also be revised, that a special committee should be established in the process of confiscating the corruptors’ assets through civil forfeiture instrument because the civil forfeiture regulation was broad enough so that a law was needed, and that the Indonesian government should seriously impoverish the corruptors through the policies of anti-corruption legislation.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 16 Agustus 1999, kemudian undang-undang tersebut diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan tanggal 21 November 2001 (selanjutnya ditulis UUPTPK), pemberantasan tindak pidana korupsi belum juga mencapai titik keberhasilan yang diharapkan di Indonesia.1 Koentjaraningrat, menyatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya bangsa.2
Korupsi bukan saja masalah nasional suatu bangsa bahkan merupakan masalah internasional. Purwaning M. Yanuar, menyebutkan, “banyak negara-negara berkembang yang mengalami kerugian karena tindak pidana korupsi, oleh sebab itu, masalah korupsi sebagai hal yang harus mendapat perhatian serius”.3 Bahkan sebenarnya beberapa negara menginginkan agar perampasan aset korupsi
1
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia Untuk Mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasinal, 2007, hal. 1.
2
Koentjaraningrat, Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1974), hal. 75.
3
diperlakukan sebagai hak yang tidak bisa dihapus atau dicabut.4 Aset korupsi merupakan hak negara yang harus dikembalikan kepada negara dan negara lah yang berhak untuk mengelola aset atau kekayaan negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Indonesia dalam menangani kasus-kasus korupsi selama ini cenderung mengutamakan cara melalui jalur pidana yang lebih berfokus pada penghukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian aset negara, namun kenyataannya, jalur pidana tidak cukup ampuh untuk meredam, mencegah, memberantas, dan mengurangi jumlah tindak pidana korupsi.
Sebagaimana peristiwa-peristiwa tindak pidana korupsi yang pernah terjadi misalnya setelah tahun 1998 (reformasi telah berlanjut hingga saat ini), para koruptor bermunculan ketika Pemerintah memfokuskan pemberantasan terhadap korupsi. Mulai dari mantan Presiden Soeharto dalam perkara korupsi atas dana senilai 420 juta dolar AS dan Rp.185,92 miliar, ditambah lagi ganti rugi immateriil Rp.10 triliun pada tujuh yayasan termasuk Yayasan Supersemar, namun upaya itu gagal karena Soeharto sakit dan dinyatakan tidak dapat diadili. Pada tanggal 11 Mei 2006, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) HM. Soeharto dan mengalihkan upaya pengembalian aset negara melalui pengajuan gugatan perdata. Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Perdata
4Ibid
dan Tata Usaha Negara (Jamda TUN) memerintahkan Direktorat jajarannya untuk bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN).5
Hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan mantan Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa, Hendra Rahardja, sebesar US$ 9,3 juta yang disimpan dalam bentuk rekening bank di Hongkong, Irwan Salim US$ 5 juta di Bank Swiss, dalam bentuk dana di Amerika Serikat, Cina, Australia, dan Singapura diperkirakan mencapai Rp.6-7 triliun.6 Korupsi atas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke luar negeri sekitar Rp.18,5 triliun dalam rekening beberapa bank di Amerika Serikat.7 Perkara tindak pidana korupsi Gayus Tambunan dengan jumlah aset Gayus yang disita sekitar Rp.109 miliar, diantaranya rekening senilai Rp.28 miliar serta aset berupa uang US$659.800, Sin$9.680.000, dan 31 batang emas (@100 gram) senilai Rp.74 miliar.8 Kasus-kasus korupsi yang diungkapkan di atas, hanya sebahagian kecil dari jumlah kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus-kasus korupsi di atas, tergolong bahwa aset negara yang dikorupsi jumlahnya banyak.
Berdasarkan fakta yang terjadi, dapat dikatakan bahwa korupsi tidak pernah habis bahkan tumbuh subur. Marwan Effendy, menyebut korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian keuangan negara maupun kualitasnya. Bahkan modus operandinya semakin terpola
5
http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/62822, diakses tanggal 9 Februari 2011.
6
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/09/nas10.html, diakses tanggal 9 Februari 2011.
7
http://kontak.club.fr, diakses tanggal 9 Februari 2011.
8
dan tersistematis, lingkupnya pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan transnasional.9
Pengembalian uang negara atau aset negara hasil dari tindak pidana korupsi dalam pelaksanaannya terasa sulit diterapkan karena pada umumnya tindak pidana korupsi baik dalam skala kecil maupun skala besar dilakukan dengan cara-cara yang sangat rahasia, terselubung, melibatkan banyak pihak dengan solidaritas yang kuat untuk saling melindungi atau menutupi perbuatan korupsi melalui manipulasi hukum, rekayasa hukum, dan masa bodoh para pejabat negara terhadap kepentingan rakyat. Bahkan harta kekayaan dari hasil jarahan para koruptor sudah sampai melewati lintas negara melalui transfer antar rekening ke negara lain sebagai antisipatif dan untuk mengaburkan asal-usul kekayaan tersebut.10 Oleh sebab itu, harus dilakukan cara yang luar biasa yaitu dengan cara perampasan terhadap aset hasil korupsi tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2003 membentuk sebuah konvensi yang dinamakan dengan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) atau United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003). Pada tanggal 18 April 2006 KAK 2003 ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun 2006 terdiri dari VIII Bab yaitu: Bab I Ketentuan-ketentuan umum; Bab II Tindakan-tindakan pencegahan; Bab III
9
Marwan Effendy, ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal. 1.
10
Kriminalisasi dan Penegakan Hukum; Bab IV Kerjasama internasional; Bab V Pengembalian asset; Bab VI Bantuan teknis, Pelatihan dan Pengumpulan, Peraturan dan Analisis informasi; Bab VII Mekanisme untuk pelaksanaan; dan Bab VIII Pasal-pasal penutup.11
Sebelum KAK 2003 atau UNCAC 2003, ada dua konvensi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization of Council of Europe) yaitu Criminal Law Convention on Corruption yang telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002, dan Civil Law Convention on Corruption yang berlaku efektif sejak tanggal 1 November 2003, dan telah diratifikasi oleh 21 negara Uni Eropa. Selain itu, dapat dicatat bahwa negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika telah pula menghasilkan Africa Union Convention on Preventing and Combating Corruption, yang ditetapkan di Adis Ababa (ibu kota Ethiopia) pada tanggal 18 s/d 19
September 2002.12
KAK 2003 sangat berarti bagi Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi. Arti pentingnya KAK 2003 bagi Indonesia adalah:13
11
Ratifikasi KAK 2003 atau UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia yang secara politis menempatkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi lewat kerjasama internasional, diharap mampu memberikan dorongan terutama bagi negara- negara lain yang kurang kooperatif dalam pengembalian aset hasil korupsi di Indonesia, di samping pula langkah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil korupsi dari negara lain akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi secara global.
12
I. Gusti Ketut Ariawan, ”Stolen Asset RecoveryInitiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, dalam Jurnal Kertha Patrika, Vol. 33 No. 01, Bali, Januari 2008, hal. 6.
13
1. Untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;
2. Meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan Yang baik;
3. Meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;
4. Mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan
5. Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.
PPB prihatin terhadap masalah korupsi dan menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan serta menghambat pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bagi negara-negara yang menghadapi fenomena korupsi.14 Bahkan fenomena korupsi saat ini disertai dengan tindak pidana lain terkait dengan upaya menyembunyikan aset-aset hasil korupsi melalui pencucian uang atau money laundering.15
Sebagaimana tercantum dalam pembukaan ke-4 UNCAC 2003 atau KAK 2003 yang berbunyi sebagai berikut:16
Convinced that corruption is no longer a local matter but transnasional phenomenon that effects all societies and economies, making internasional cooperation to prevent and control it essential. Artinya, Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang
mendorong kerja sama internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial.
Materi KAK 2003 atau UNCAC 2003 tercermin suatu perubahan cara pandang terhadap multi aspek korupsi, antara lain:17
1. Masalah korupsi memiliki multi aspek, yakni: aspek hukum, HAM, pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, dan keamanan;
2. Sistem pembuktian secara konvensional tidak selalu ampuh dalam pemberantasan korupsi, sehingga beban pembuktian terbalik merupakan solusi alternatif yang potensial.
Hal yang paling mendasar dalam KAK 2003 adalah kerja sama internasional di bidang perampasan aset (asset recovery).18 KAK 2003 disusul dengan diluncurkannya Stolen Asset Recovery (StAR) pada bulan Juni 2007 yang memuat challenges, opportunities dan action plan dalam upaya pengembalian aset hasil korupsi. StAR merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan PBB khususnya United Nations Office on Drugs and Crimes (UNODC) bertujuan untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil kejahatan korupsi di negara-negara sedang berkembang. StAR merupakan bagian integral dari Governance and Anti Corruption Strategy
World Bank Group yang menyatakan perlunya bantuan bagi negara-negara
berkembang dalam pengembalian asset. Progam yang diluncurkan oleh PBB ini sebenarnya terinspirasi dari keberhasilan Peru, Nigeria dan Filipina dalam
17
I. Gusti Ketut Ariawan, Loc. cit.
18
mengembalikan aset-aset yang diinvestasikan di Negara lain oleh mantan kepala negaranya. Walaupun keberhasilan tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama.19
Melalui kerja sama internasional, untuk dapat merampas aset hasil korupsi yang melalui lintas batas antara negara tersebut, dapat dilakukan melalui kerja sama Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) oleh negara-negara yang tergabung dalam KAK 2003. Pada prinsipnya dapat dilakukan 3 (tiga) bentuk yaitu: Bilateral; Regional; dan Multilateral.20
Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) pada prinsipnya, menurut Yunus Husein, harus memperhatikan prinsip persamaan (aquality) yang didasarkan pada sikap saling menghargai dan kedaulatan (souvereignity) dari negara-negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut, dan kerjasama yang tertuang dalam perjanjian internasional berlaku dan mengikat secara politik dan hukum (legally and politically binding effect) kepada negara-negara yang membuatnya.21
19
http://go.worldbank.org/U2ZCWCDKR0, diakses tanggal 7 Februari 2011. United Nations
Launch of Asset Recovery Initiative. StAR merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia dan PBB dalam rangkaian peningkatan kerja sama internasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil korupsi di negara-negara sedang berkembang.
20
Zulkarnain Sitompul, “Merampas Hasil Korupsi Tantangan Kerja Sama Internasional”, Artikel dalam Jurnal Forum Keadilan, Nomor 40, Tanggal 13 Februari 2005, hal. 32.
21
Pola tindak pidana korupsi bertitik tolak pada tingkah laku atau tindakan yang tidak bermoral, tidak etis dan atau melanggar hukum untuk kepentingan pribadi dan atau golongan yang merugikan keuangan negara,22 maka untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut, di samping mengoptimalkan hukum pidana,23 juga harus menggunakan sarana hukum perdata. Proses perdata dilakukan dalam pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen civil forfeiture yang merupakan amanah dari KAK 2003.24
Berkenaan dengan instrumen civil forfeiture, istilah pengambilalihan atau pengembalian kurang relevan digunakan, perlu ditekankan bahwa dalam konteks civil forveiture lebih tepat digunakan istilah perampasan atau merampas aset. Objeknya
adalah aset negara berada di pihak lain yang tidak berhak untuk memilikinya karena terkait tindak pidana. Irdanul Achyar, menyatakan:25
Jalur keperdataan dalam perampasan aset negara, dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian, pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan tindak pidana. Implementasinya adalah apa yang disebut civil forfeiture. Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya,
22
Juniadi Soewartojo, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 5.
23
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 135. Lihat juga: IGM Nurdjana., Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi ”Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 12. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu kesatuan proses pengadilan pidana yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya dalam penegakan hukum pidana.
24
Tambok Nainggolan, Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar, Tesis, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2010), hal. 90.
25
maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal.
Bismar Nasution, mengatakan bahwa rejim civil forfeiture bisa lebih effektif dalam mengembalikan aset yang dicuri para koruptor dibandingkan melalui rejim pidana. Hal ini dikarenakan rejim civil forfeiture mempunyai kelebihan dalam mempermudah pengambilan aset melalui proses pembuktian di persidangan. Civil forfeiture menggunakan rejim hukum perdata yang menggunakan standar pembuktian
lebih rendah dari pada standar yang dipakai oleh proses hukum pidana. Civil forfeiture menggunakan sistem pembuktian terbalik dimana apabila pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan dirampas adalah hasil yang berhubungan dengan tindak pidana, maka pelaku harus membuktikannya bahwa harta itu adalah miliknya dan bukan berasal dari suatu tindak pidana.26
Hal inilah yang menyebabkan rezim civil forfeiture menjadi suatu alternatif yang sangat baik apabila jalur pidana tidak berhasil. Bahkan dalam praktiknya, ditemukan bahwa prosedur civil forfeiture dinilai lebih efektif dalam mengambil kembali aset-aset yang dicuri, meskipun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan seperti lambat dan biaya tinggi.27
26
Bismar Nasution, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Hotel Millenium Jakarta 28-29 November 2007, hal. 6. Bismar mencontohkan misalnya dalam hal pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan dari si koruptor dan membandingkan dengan jumlah aset yang dimilikinya. Jika aset tersebut melebihi dari jumlah pendapatan si koruptor, maka tugas si koruptorlah untuk membuktikan bahwa aset tersebut dia dapat melalui jalur yang sah.
27
Menurut Anthony Kennedey, implementasi civil forfeiture yang dilakukan di tiap-tiap negara berbeda-beda. Civil forfeiture pada awalnya diterapkan dalam skala domestik, yaitu mengajukan gugatan perdata untuk menyita atau merampas atau mengambil alih aset-aset hasil kejahatan yang berada dalam negeri. Apabila aset hasil kejahatan berada di luar negeri, beberapa negara yang menggunakan civil forfeiture secara domestik mengaplikasikannya secara ekstra territorialitas.28
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa model civil forfeiture adalah model yang menggunakan pembalikan beban pembuktian. Model ini merupakan model yang memfokuskan kepada gugatan terhadap aset bukan mengejar pelaku (tersangka). Penyitaan dengan menggunakan model civil forveiture ini lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana, sehingga aset negara dapat diselamatkan meskipun tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia. Karena pada prinsipnya civil forfeture adalah “hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat”. Terdapat beberapa perbedaan mendasar secara umum antara civil forfeiture dibandingkan dengan criminal forfeiture, antara lain:29
1. Civil forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana, sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta kepada pengadilan. Penyitaan dalam proses pidana mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah. Civil forfeiture dapat dilakukan secepat mungkin begitu adanya hubungan antara aset dengan tindak pidana;
2. Civil forfeiture menggunakan standar pembuktian perdata, tetapi dengan menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian, sehingga lebih ringan dalam melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan;
28
Anthony Kennedy, “An Evaluation of the Recovery of Criminal Proceeds in the United Kingdom”, Journal of Money Laundering Control, Vol.10, No.1, Tahun 2007, hal. 144.
29
3. Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap asset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi;
4. Civil forfeiture berguna bagi kasus dalam hal penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak mungkin untuk dilakukan.
Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju bisa dijadikan wacana bagi Indonesia karena civil forfeiture dapat memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu, seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan civil forfeiture karena obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan dalam proses persidangan.30
Kemudahan dalam masalah pembuktian melalui civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun civil forfeiture tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan civil forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral (ekstradisi) di samping pula memerlukan suatu restrukrisasi hukum nasional. Restrukrisasi di bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat kembali,
30
mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata biasa yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Sementara civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi.31
Penggunaan instrumen civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara lain. Hal yang lebih penting adalah perlu untuk dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.32
Instrumen civil forfeiture menggunakan gugatan in rem yakni suatu gugatan yang substansinya merupakan perampasan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi secara perdata yakni dengan pemulihan kembali harta kekayaan negara yang telah dikorupsi. Berbeda dengan perampasan harta kekayaan secara pidana merupakan bagian dari pelaksanaan putusan hakim pidana dalam suatu perkara pidana, jenis perampasan harta kekayaan ini disebut juga sebagai tindakan in personam terhadap terpidana, bukan tindakan in rem terhadap harta kekayaan yang
terkait dengan tidak pidana. Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap aset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Jadi, instrumen civil forfeiture cukup menjanjikan dalam merampas aset korupsi karena dapat melakukan
31Ibid
., hal. 27.
32
penyitaan aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset hasil korupsi secara perdata.33
Semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus-kasus korupsi di Indonesia, maka untuk memerangi korupsi, salah satu cara dapat menggunakan instrument civil forfeiture untuk memudahkan perampasan aset koruptor melalui jalur perdata. Indonesia selama ini cenderung mengutamakan penyelesaian melalui jalur pidana yang lebih fokus untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian kerugian keuangan negara. Kenyataannya jalur pidana tidak mampu untuk meredam atau mengurangi jumlah/terjadinya tindak pidana korupsi.34
Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana khusus. Sebab tindak pidana korupsi memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana secara umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan untuk merampas aset negara hasil korupsi.35 Oleh sebab itulah, Konvensi PBB mendiskripsikan bahwa masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan institusi, dan merusak demokrasi.36
33
Oloan Harahap, Analisis Guigatan Bersifat In Rem Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi pada Sistem Common Law, Tesis, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2009), hal. 2.
34
Irdanul Achyar, Op. cit., hal. 49.
35
Purwaning M. Yanuar, Op. cit., hal. 45.
36
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan perampasan aset tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001?
2. Bagaimanakah perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture?
3. Apakah kelebihan dan kelemahan penggunaan instrumen civil forfeiture dalam perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mendalami pengaturan perampasan aset tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
2. Untuk mengetahui dan mendalami perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:
1. Secara teoritis
Penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang penggunaan instrumen civil forfeiture dalam merampas aset milik pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutannya serta sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Secara praktis
Penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum khususnya aparat Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Advokat, JPN, KPK, PPATK, dan praktisi hukum lainnya agar mengetahui dan memahami pentingya penggunaan instrumen civil forfeiture dalam merampas aset milik pelaku tindak pidana korupsi.
E. Keaslian Penulisan
Beasiswa Supersemar” yang membahas mengenai gugatan perdata biasa terhadap ahli waris HM Soeharto atas korupsi pada Yayasan Supersemar. Tesis atas nama Irdanul Achyar NIM: 067005071 judul “Analisis Pengimplementasian Rezim Civil Forfeiture Dalam Pemberantasan Money Laundering” yang membahas mengenai penggunaan civil forfeiture dalam tindak pidana pencucian uang. Tesis atas nama Firmawan
Sitorus NIM: 087005011 judul “Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi” yang membahas kewenangan Jaksa Pengacara Negara dalam merampas aset tindak pidana korupsi masih menggunakan gugatan perdata biasa.
Pembahasan pada judul Tesis di atas, berbeda dengan pembahasan di dalam Tesis ini dimana yang dibahas adalah perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi melalui instrumen civil forfeiture dan dibahas mengenai kelebihan dan kelemahan penggunaan instrumen civil forfeiture. Oleh karena itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dapat dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
The United Nations Office on Drugs and Crime dan World Bank secara resmi
kapasitas institusional lembaga-lembaga nasional dari negara-negara berkembang agar dapat mengambil kembali asset-assetnya yang telah dicuri.37
Perampasan aset berdasarkan civil forfeiture, salah satu upaya hukum yang dapat diterapkan inisiatif pemulihan aset yang dicuri atau Stolen Asset Recovery (StAR), mengoptimalkan Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance (MLA) sebab MLA bagaikan napas dari upaya pengembalian aset-aset
yang telah dicuri oleh para koruptor berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara diminta.38
Pelaku tindak pidana korupsi terhadap keuangan suatu negara, harus diupayakan pemberantasan dan penanggulangannya melalui kebijakan-kebijakan pidana dan pemidanaan. Barda Nawawi Arief, mengatakan, “pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai jembatan untuk menginformasikan prinsip-prinsip atau
37
Bismar Nasution, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Op. cit., hal. 1. Peluncuran (StAR) secara khusus mempunyai lima tujuan. Pertama, membantu membangun kapasitas untuk merespon dan mengajukan permohonan untuk international mutual legal assistance. Kedua, membantu untuk diadopsinya dan diberlakukannya aturan mengenai penyitaan, termasuk undang-undang mengenai penyitaan tanpa hukuman atau kesalahan. Ketiga, membantu peningkatan transparansi dan akuntabilitas sistem manajemen keuangan publik. Keempat, membantu membentuk dan memperkuat lembaga anti korupsi nasional. Kelima, membantu mengawasi dana yang dikembalikan (monitoring) apabila diminta oleh negara terkait. Inisiatif StAR bertujuan untuk menjawab masing-masing dari ketiga unsur kunci di atas bahwa pencurian aset disebabkan oleh kurangnya transparansi dan akuntabilitas di negara-negara berkembang yang terkena dampak. StAR menekankan pentingnya penguatan lembaga akuntabilitas dalam mengembangkan negara-unsur utama tata kelola Bank Dunia dan strategi anti korupsi.
38
ide yang melatar belakangi disusunnya konsep antara lain ide untuk mengefektifkan penggabungan jenis sanksi yang lebih bersifat pidana dengan jenis sanksi yang bersifat tindakan”.39 Pernyataan Barda di atas, dipertegas Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti yang mengatakan:
Pentingnya menginformasikan secara sistematis mengenai prinsip-prinsip atau ide-ide dasar “sistim dua jalur” atau double track system. Menetapkan jenis sanksi, tidak hanya meliputi sanksi pidana tetapi sanksi tindakan. Penekanan kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system, sesungguhnya terkait bahwa unsur pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama pentingnya.40
Hukum pidana mengenal adanya sanksi pidana (straf) dan tindakan (maatregel).41 Bagian dari pemidanaan adalah penerapan sanksi pidana (straf) bukan tindakan (maatregel), akan tetapi menurut Jan Remmelink, terkadang penerapan tindakan (maatregel) dalam praktiknya sering jga menimbulkan penderitaan terhadap pelaku.42 Salah satu tujuan pemidanaan adalah untuk menjadikan efek jera pelaku tindak pidana. Pemidanaan dimaksud dalam hal ini adalah penerapan sanksi pidana (straf) terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Penerapan sanksi pidana dalam pemidanaan merupakan suatu penghukuman bagi pelaku agar menjadikan efek jera terhadap pelaku. Pandangan Jan Remmelink dalam penerapan sanksi pidana lebih
39
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 119.
40
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 91 dan hal 92. Sanksi tindakan lebih menekankan kepada nilai-nilai kemanusiaan dalam reformasi dan pendidikan kembali pelaku kejahatan sedangkan sanksi pidana lebih menekankan stelsel sanksi dalam hukum pidanayang menyangkut pembuat undang-undang.
41
Muhammad Eka Putra dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, (Medan: USU Press, 2010), hal. 7.
42
menitikberatkan kepada perbuatan pembalasan atau penderitaan yang dijatuhkan kepada penguasa terhadap seseorang yang melanggar pidana.43
Tujuan pemidanaan dalam penerapan sanksi pidana selama ini selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan sanksi pidana tidak mengurangi terjadinya kejahatan, justru menambah kejahatan.44 Dengan demikian, muncul teori-teori pemidanaan yang menekankan kepada tindakan (maatregel). Teori pemidanaan dikenal dalam hukum pidana yaitu teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan, teori pengobatan (treatment), teori tertib sosial (social defence), dan teori restoratif (restorative).
Teori retributif (absolute) menekankan pembalasan karena pelaku kejahatan dianggap layak menerima sanksi pidana atas kejahatan yang dilakukannya. Teori retributif (absolute) dalam perkembangan kemudian menimbulkan masalah sebab semakin diberikan sanksi pidana, kejahatan justru meningkat. Muncul teori yang menedepankan apa sebenarnya tujuan atau apa sebenarnya yang dicari dalam pemberian sanksi pidana. Teori semacam ini disebut teori relatif (teori tujuan). Teori relatif ini muncul sebagi protes terhadap teori retributif (absolute). Teori relatif berorientasi pada upaya pencegahan terjadinya tindak pidana. Orientasi teori relatif mengedepankan tujuan mencegah, menimbulkan rasa takut, dan memperbaiki yang salah.45
43 Ibid.
44
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Op. cit., hal. 93.
45
Teori pengobatan (treatment) memandang bahwa pemidanaan sangat pantas pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Pemidanaan dimaksud adalah untuk memberi tindakan perawatan atau pengobatan (treatment) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Alasannya adalah didasarkan kepada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga dibutuhkan tindakan perawatan atau pengobatan.46
Teori tertib sosial (social defence) terbadi dua yaitu aliran radikal dan aliran moderat. Aliran radikal memandang ”hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang”. Aliran ini masih mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Aliran moderat memandang bahwa setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial dalam seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielekkan dalam suatu sistim hukum.47
Teori restoratif (restorative) memandang adanya perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana, masyarakat dan negara, sehingga dewasa ini dikenal dengan adanya peradilan restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Keadilan restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk melakukan
46
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 79.
47
perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana. Konstruksi pemikiran peradilan restoratif dan keadilan restoratif yang dihasilkannya, perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak semata-mata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana dalam mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional.48
Lilik Mulyadi mengatakan, implementasi dari teori restoratif salah satunya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berupa tindakan hukum pidana, gugatan perdata berupa perampasan in rem yaitu tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak pidana maupun kerja sama internasional dalam bantuan timbal balik masalah pidana (mutual assistance in criminal matters) antara negara korban korupsi atau negara asal (country of origin) dan negara penyimpan aset korupsi atau negara ketempatan (custodial state).49
48
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, (Pennsylvania: Intercourse, 2002), hal. 18.
49
Pandangan dalam teori restoratif adalah memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. J. Andeneses mengatakan teori ini dapat juga disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theori of social defence).50 Berdasarkan pandangan J. Andeneses di atas, mengarahkan pemikiran bahwa selain teori restoratif yang dapat dijadikan dasar dalam pengembalian dan pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, teori perlindungan masyarakat (the theori of social defence) atau teori tertib sosial dapat juga sebagai landasan dalam perampasan aset korupsi. Sedangkan teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan, teori pengobatan (treatment) sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak cocok digunakan dalam pembahasan perampasan aset korupsi.
Justifikasi teoretis perampasan aset secara filosofis, argumentasinya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat terdiri dari benda tetap maupun benda bergerak atau dapat pula berupa uang hasil korupsi baik yang berada di dalam negeri (Indonesia) maupun di luar negeri. Aset tersebut hakikatnya merupakan uang negara in casu adalah berasal dari dana masyarakat. StAR pada negara-negara berkembang mengalami hambatan karena tidak adanya regulasi yang mengatur perampasan harta benda tanpa melalui proses peradilan pidana (non conviction base) sehingga diperlukan adanya pengaturan non conviction base stolen asset recovery
50
yang mengatur mekanisme hukum tentang pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) harta benda tanpa perlu dibuktikan keterlibatan dalam perkara pidana dimana proses ini dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi Indonesia Tahun 2008 dikenal tindakan berupa penelusuran, penggeledahan, pemblokiran, penyitaan dan perampasan yang berupa perampasan in rem dan perampasan pidana. Logikanya dengan pelaku melakukan pengembalian aset diharapkan akan berdampak langsung untuk memulihkan keuangan negara atau perekonomian negara yang akhirnya bermuara kepada kesejahteraan dan keadilan masyarakat.51
Pemikiran di atas digunakan untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan,52 walaupun keadilan itu bukan satu-satunya yang digunakan untuk mewujudkan tujuan hukum. Karena dalam suatu negara hukum modern, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).53 Apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukumlah yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif.54
51
Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Loc. cit., Dimensi ini relatif dan identik dengan perspektif hukum adat dimana dengan dilakukan pemenuhan kewajiban adat maka diharapkan adanya kesimbangan pada komunitas masyarakat adat yang bersangkutan sehingga telah terjadi kesimbangan antara alam kosmis dan makrokosmis atau antara alam kala dengan alam niskala.
52
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20.
53
Mochtar Kusumaatmadja., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Loc. cit.
54
Keadilan yang hilang mesti dikembalikan oleh hukum. Keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing (justice fairnes). Prinsip keadilan dirincinya dalam bentuk pemenuhan hak yang sama terhadap dasar (aqual liberties); dan pengaturan perbedaan ekonomi dan sosial sehingga akan terjadi kondisi yang tertib.55
Ketertiban adalah tujuan hukum dimana perdamaian manusia lah yang dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya.56 Hukum nasional dibuat selain untuk mencapai keadilan dan ketertiban, juga sebagai sarana pembaharuan kehidupan masyarakat, agar perubahan (pembangunan) itu dilakukan dengan teratur dan tertib.57
2. Landasan Konsepsional
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut:
55Ibid,
hal. 94.
56
Lili Rasjidi, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Indonesia”, dalam: Jurnal Hukum Padjdjaran Review, Hukum Responsif, Bandung, Vol. 1 No. 1, Tahun 2005, hal. 8.
57
a. Tindak pidana adalah semua perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.58
b. Tindak pidana korupsi adalah suatu tingkah laku dan atau tindakan seseorang atau kelompok dalam jabatannya tidak mengikuti norma-norma hukum yang berlaku serta mengabaikan rasa kasih sayang dan tolong-menolong dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat dengan mementingkan diri pribadi/keluarga/kelompok/golongannya dan yang tidak mengikuti atau mengabaikan pengendalian diri sehingga kepentingan lahir dan batin atau jasmani dan rohaninya tidak seimbang, tidak serasi, dan tidak selaras, dengan mengutamakan kepentingan lahir berupa meletakkan nafsu duniawi yang berlebihan sehingga merugikan keuangan atau kekayaan negara dan/atau kepentingan masyarakat atau negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.59
c. Aset negara adalah adalah segala harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda atau barang-barang negara baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
58
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 208.
59
(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta termasuk pula Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).60
d. Perampasan aset adalah serangkaian tindakan aparat yang berwenang untuk merampas aset-aset negara (baik benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud) dari koruptor sebagai hasil tindak pidana korupsi untuk dikembalikan kepada negara.61
e. Civil forfeiture adalah suatu model yang menggunakan pembalikan beban pembuktian, dan memfokuskan pada gugatan terhadap aset bukan mengejar pelaku (tersangka atau terdakwa) sehingga aset negara dapat diselamatkan meski tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia.62
f. Kerugian keuangan negara adalah semua aset kekayaan negara yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi oleh seseorang atau kelompok tertentu.63
g. Gugatan in rem adalah suatu gugatan yang substansinya merupakan perampasan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi secara
60
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik dan Kritik, (Jakarta: FH UI, 2005), hal. 22. Lihat juga Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
61
Mudzakkir, ”Penelusuran, Penyitaan, Perampasan, dan Pengelolaan Aset Tindak Pidana”, Makalah dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang Penyitaan dan Perampasan Aset untuk Mendukung Pencegahan dan Pemberantsan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diselenggarakan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keungan bekerja sama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia, Jakarta, Tanggal 21 Juli 2009, hal. 1.
62
Bismar Nasution, Loc. cit., Lihat juga: Tambok Nainggolan, Loc. cit.
63
perdata yakni dengan pemulihan kembali harta kekayaan negara yang telah dikorupsi.64
h. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) adalah tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dan dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.65
i. Pembalikan beban pembuktian adalah terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana dan apabila tidak dapat membuktikan, maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.66
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.67 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.68 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala
64
Oloan Harahap, Analisis Guigatan Bersifat In Rem Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi pada Sistem Common Law, Op. cit., hal. 2.
65
Eddy Milyadi Soepardi, Op. cit.
66
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Op. cit., hal. 102.
67
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.
68