• Tidak ada hasil yang ditemukan

Solusi Terhadap Kelemahan Undang-Undang Pemberantasan

BAB I : PENDAHULUAN

B. Solusi Terhadap Kelemahan Undang-Undang Pemberantasan

Semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus-kasus korupsi di Indonesia, maka untuk memerangi korupsi, salah satu cara dapat menggunakan instrument civil forfeiture ini untuk memudahkan perampasan aset hasil korupsi yang dilakukan para koruptor melalui jalur perdata. Indonesia selama ini cenderung mengutamakan penyelesaian melalui jalur pidana yang lebih fokus untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian aset negara.193

Konsep menggugat aset koruptor secara perdata bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pemerintah sudah memperkenalkan upaya perdata melalui UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).194 Perspektif UUPTPK, aparat penegak hukum (khususnya JPN) atau instansi yang berwenang dapat menggugat aset koruptor secara perdata apabila telah terbukti adanya “kerugian keuangan negara”. Gugatan perdata itu dilakukan juga berkenaan dengan: Tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi (putusan bebas tidak menghalangi upaya gugatan perdata); 195 Tersangka meninggal dunia (menggugat ke ahli warisnya); 196 dan Terdakwa meninggal dunia (menggugat ke ahli warisnya).197

193

Marwan Effendy, Loc. cit.

194

Pasal 32, 33, 34, UU No.31 Tahun 1999 dan Pasal 38C UU No.20 Tahun 2001.

195

Pasal 32 UU No.31 Tahun 1999.

196

Pasal 33 UU No.31 Tahun 1999.

197

Perspektif hukum perdata, khususnya prinsip-prinsip hukum acara perdata dengan melihat pengalaman di berbagai negara, misalnya di Ontario, mengenai gugatan perdata dalam kasus korupsi yang dikonsepsi sebagai civil forfeiture diatur tersendiri, baik di luar hukum pidana umum maupun khusus, serta di luar hukum acara perdatanya.198 Hal ini sangat berbeda dengan perspektif UUPTPK yang menggabungkan dalam satu undang-undang, itupun tidak sejatinya civil forfeiture ada dalam UUPTPK padahal Indonesia sudah meratifikasi UNCAC 2003. Dikatakan demikian karena gugatan perdata baru dapat dilakukan setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan tetap namun ditemukan aset yang belum disita dan diduga berkorelasi dengan tindak pidana korupsi.

Gugatan perdata dalam konteks hukum di Indonesia dimungkinkan apabila setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan. Pada kondisi ini negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya apabila dalam proses persidangan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi.199 Sangat memungkinkan untuk diterapkan dalam Burgerlijke Wetboek (BW) mengenai tanggung gugat yang dipertajam dalam bentuk “pembalikan beban pembuktian” dan “tanggung gugat risiko”. Dimungkinkannya kedua hal tersebut, karena alasan sebagai berikut yaitu:

198

I Gusti Ketut Iriawan, Loc. cit, hal. 8.

199

1. Posisi pihak yang dirugikan mungkin diperkuat dengan mempertahankan persyaratan; sifat melanggar hukum dan kesalahan mengubah pembagian beban pembuktian yang normal (tanggung gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian), demi kerugian pelaku dan oleh demi keuntungan yang dirugikan. Kalau dalam keadaan normal pihak yang dirugikan wajib membuktikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melanggar hukum, maka di sini pelanggaran norma dianggap ada, dan selanjutnya mewajibkan pelaku meniadakan anggapan dan persangkaan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak berbuat melanggar hukum. Contoh adalah Pasal 6.3.6 Rancangan BW baru Belanda, dimana anak yang masih sangat muda dan orang gila, yang tentu tidak bersalah, dalam keadaan-keadaan tertentu dapat dinyatakan bertanggung gugat atas perbuatan melanggar hukum yang mereka lakukan.200

2. Mungkin pula mempertajam tanggung gugat ditimbulkannya kerugian dengan menimbulkan syarat-syarat; sifat melanggar hukum dan kesalahan (tanggung gugat risiko). Dalam hal ini, masih dapat dibedakan antara hanya meniadakan kesalahan (dalam arti sempit) di satu pihak dan peniadaan sifat melanggar hukum dan kesalahan sebagai syarat tanggung gugat di lain pihak. Contoh

200

J.H. Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Surabaya: tanpa penerbit, 1985), hal.135. Diterjemahkan oleh Djasadin Saragih.

adalah tanggung gugat majikan atas perbuatan melanggar hukum bawahannya. (c.f. Pasal 1367 Ayat (3) BW).201

Mengenai gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi, lebih berkaitan dengan penajaman tanggung gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 Ayat (2) jo Ayat (5) BW.202 Apabila ketentuan ini diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi, hanya memungkinkan bagi kondisi berlakunya Pasal 32, 33, dan 34 UUPTPK. Argumentasi yang dapat dikemukakan, yaitu dalam kondisi berlakunya Pasal 32, 33, dan 34 UUPTPK, penuntut umum tidak (Pasal 32 UUPTPK) atau belum (Pasal 33 dan 34 UUPTPK) berhasil membuktikan sifat melawan hukum dan kesalahan terdakwa.

Sifat melawan hukum formil di sisi lain, tidak dapat dibuktikan oleh penuntut umum, sehingga mengakibatkan dibebaskannya terdakwa. Terhadap kondisi seperti diatur dalam Pasal 33 dan 34 UUPTPK, gugatan dengan pembuktian terbalik sangat dimungkinkan diterapkan. Ahli waris tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia harus membuktikan bahwa tersangka atau terdakwa telah berbuat sedemikian rupa sehingga di samping tidak berbuat melanggar hukum dan melakukan “kesalahan”, juga telah berusaha dengan cukup baik supaya tidak timbul kerugian pada negara.

Ketentuan dalam UUPTPK sekilas gugatan perdata yang mirip dengan civil forfeiture, namun terdapat perbedaan di antara upaya perdata yang diatur oleh

201Ibid

. hal.74.

202

UUPTPK dengan civil forfeiture. Upaya perdata UUPTPK masih menggunakan rezim perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materil biasa, sehingga mengharuskan penuntut untuk membuktikan adanya “kerugian keuangan negara”. Ketentuan Pasal 38 UU No.20 Tahun 2001 hanya mengatur gugatan perdata setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.

Hal ini tentunya berbeda dengan civil forfeiture yang menggunakan rezim perdata yang berbeda seperti pembuktian terbalik. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memberlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Praktiknya, perbedaan kedua instrumen ini berdampak pada prosedur beracara dalam persidangan. Gugatan perdata perspektif UUPTPK memberikan beban pembuktian adanya “unsur kerugian negara” kepada JPN. Hal ini tentunya tidak mudah untuk dilakukan. Bahkan dikhawatirkan beban pembuktian yang harus dilakukan oleh JPN dalam gugatan perdata tersebut sama beratnya dengan pembuktian secara pidana.203

Civil forfeiture mengadopsi prinsip pembuktian terbalik dimana para pihak yang merasa keberatan yang harus membuktikan bahwa aset yang digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi. JPN cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi. Civil forfeiture adalah gugatan yang bersifat in rem yang tidak mempunyai kaitan

203

http://jodisantoso.blogspot.com/2008/03/instrumen-perdata-untuk-mengembalikan.html, diakses tanggal 20 Mei 2011.

dengan tindak pidananya. Sehingga JPN tidak perlu membuktikan adanya unsur “kerugian keuangan negara” yang merupakan suatu unsur yang cukup sulit untuk dibuktikan dalam persidangan.204

Gugatan perdata dalam perspektif UUPTPK hanya dapat dilakukan setelah adanya status tersangka, terdakwa atau terpidana. Mengingat cepatnya aset berpindah tangan, civil forfeiture mempunyai kelebihan untuk melakukan penyitaan karena gugatan yang diajukan dapat dimasukkan ke pengadilan sebelum adanya status tersangka atau bahkan sebelum pelaku tindak pidananya diketahui identitasnya.205

Kelemahan gugatan perdata dalam UUPTPK menyebabkan perlunya diadopsi instrumen civil forfeiture di Indonesia. Diakui pula bahwa pengadopsian instrumen civil forfeiture ini pada sistim hukum Indonesia tidaklah mudah mengingat prinsipnya yang berbeda dengan prinsip hukum perdata Indonesia pada umumnya. Pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset. Pemanfaatan potensi civil forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral di samping diperlukan suatu restrukturisasi hukum

204

Kuntoro Basuki, “Pengembalian Aset Korupsi dalam Persfektif Hukum Perdata”, Op. cit., hal. 13.

205

Oloan Harahap., “Analisis Guigatan Bersifat In Rem Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi pada Sistem Common Law”, Laporan Penelitian Tesis, Pasacasarjana USU, 2009, hal. 2. Gugatan in rem adalah suatu gugatan yang substansinya merupakan perampasan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi secara perdata yakni dengan pemulihan kembali harta kekayaan negara yang telah dikorupsi. Berbeda dengan perampasan harta kekayaan secara pidana merupakan bagian dari pelaksanaan putusan hakim pidana dalam suatu perkara pidana, jenis perampasan harta kekayaan ini disebut juga sebagai tindakan in personam terhadap terpidana, bukan tindakan in rem

terhadap harta kekayaan yang terkait dengan tidak pidana. Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap aset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Terhadap civil forfeiture

cukup menjanjikan karena dapat melakukan penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui gugatan

nasional antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil.

Hukum acara perdata Indonesia harus diformat kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private sementara civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara lain. Pengaturan khusus ini penting terutama dikaitkan dengan tiga hal:

1. Harmonisasi UUPTPK dengan Konvensi Anti Korupsi sehubungan dengan ratifikasi Konvensi tersebut;

2. Pengaturan BW maupun HIR mengenai tanggung gugat dan gugatan perdata yang tidak menunjuk pada penerapan untuk kasus tindak pidana korupsi; 3. Prinsip dalam hukum pidana bahwa seseorang yang dibebaskan atau tidak

dapat dipidana menandai tidak adanya perbuatan melawan hukum atau tidak adanya kesalahan.

Sehubungan dengan itu, untuk mengimplementasikan civil forfeiture di Indonesia, ada beberapa solusi yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, perlunya adanya suatu undang-undang khusus tentang civil forfeiture dalam sistim hukum nasional Indonesia. Jika mengadopsi instrumen civil forfeiture dalam amandemen UUPTPK, kurang tepat. sebab civil forfeiture membutuhkan suatu rejim

hukum perdata yang berbeda dengan hukum perdata Indonesia. Pemasukan dalam amandemen UUPTPK dikhawatirkan tidak dapat menfasilitasi ini. Maka perlu adanya sebuah undnag-undang khusus yang secara lengkap mengatur ketentuan tentang civil forfeiture dari mulai dasar dan kerangka hukum, hukum acara dan prosedur dalam penyitaan.206

Pemisahan civil forfeiture dari UUPTPK dimaksudkan agar instrumen civil forfeiture jelas.207 Pembentukan suatu regulasi khusus untuk mengatur dasar hukum dan prosedur civil forfeiture seperti yang dilakukan oleh Australia atau Amerika Serikat. Hal ini penting karena civil forfeiture memerlukan suatu hukum acara dan prosedur yang berbeda dengan hukum perdata umumnya. Prosedur dan hukum acara dalam regulasi khusus tersebut bisa menjadi lex specialis dari hukum acara perdata di Indonesia. Mirip dengan berlakunya UUPTPK sebagai lex specialis dari KUHAP dalam hal pengadilan in absentia.208

206

Anthony Kennedy, “Designing a Civil Forfeiture System: An Issues List for Policymakers and Legislators”, Journal of Financial Crime, Vol. 13, No.2, Tahun 2006, hal 132-163. Setidak- tidaknya ada beberapa ketentuan yang harus diatur oleh UU civil forfeiture: pertama, deifinisi dari “hasil atau hubungan” aset dengan sebuah tindak pidana”. Kedua, definisi dari “hasil” atau “hubungan” aset dengan sebuah tindak pidana yang dilakukan di luar negeri atau oleh pihak lain yang berada di luar negeri. Ketiga, proses dan standar pembuktian “dugaan” yang berkaitan dengan hubungan antara sebuah aset dan tindak pidana. Keempat, aspek retroaktif dari UU tersebut. Kelima, standar pembuktian yang dipakai di persidangan. Kelima, prosedur penyitaan dan pengambilalihan aset. Kelima, hak dan kewajiban si pemilik aset dan upaya hukum yang tersedia baginya. Keenam,

jurisdiksi dari UU tersebut. Ketujuh, kewenangan untuk mengajukan gugatan dan institusi yang berwenang untuk melakukannya. Kedelapan, standar mengenai kapan civil forfeiture dapat digunakan.

Kesembilan, prosedur dan penggunaan aset yang berhasil diambil.

207

Apabila kedua instrumen ini digabungkan dalam satu undang-undang dikhawatirkan dapat menimbulkan perbedaan persepsi dan perdebatan hukum yang dapat menghambat pelaksanaan civil forfeiture di Indonesia.

208

Dalam KUHAP, pengadilan tidak boleh memutus suatu perkara apabila terdakwa tidak ada atau hadir di persidangan. Hal ini untuk memastikan adanya due process of Law dalam persidangan. Hadirnya UUPTPK dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang mengubah proses ini dimana dimungkinkan adanya putusan pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia).

Kedua, perlu adanya political will yang kuat dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam melaksanakan instrumen civil forfeiture. Ketiga, perlu adanya amandemen terhadap UU No. 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (UUMLA). Sebab, berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UUMLA hanya mengatur tentang bantuan hukum dalam masalah pidana.

Pemerintah harus memberdayakan MLA dengan secara progresif membuat perjanjian-perjanjian MLA dengan negara lain. Saat ini Indonesia masih sangat ketinggalan jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti AS, Filipina atau Thailand yang telah membuat kurang lebih 50 perjanjian MLA.209 Selain itu perjanjian bilateral maupun multilateral yang sudah ditandangani pun masih ada yang belum diratifikasi seperti perjanjian bilateral dengan Korea atau perjanjian multilateral di tingkat ASEAN.210 Tanpa adanya ratifikasi tersebut, Indonesia tidak dapat meminta bantuan kepada Negara-negara di ASEAN seperti Singapura yang selama ini diduga sebagai tempat penyimpanan asset-aset para koruptor. Pengembangan MLA harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan mengintensifikan kerja sama dengan negara-negara lain.

Keempat, perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat pada umumnya dan aparat penegak hukum pada khususnya mengenai konsep dan kerangka hukum dari civil forfeiture. Civil forfeiture di Amerika Serikat adalah instrumen yang penuh dengan kontoversial. Dikhawatirkan tanpa adanya suatu pemahaman yang baik

209

Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, Op. cit., hal. 358.

210 Ibid.

kepada masyarakat dan aparat penegak hukum, akan mengalami berbagai hambatan. Kelima, perlu ditunjuk sebuah badan khusus yang berwenang melakukan gugatan civil forfeiture. Keenam, perlu dibuat kajian yang mendalam aspek ekonomis, social dan politik sebelum memberlakukan instrumen di Indonesia.211

Aspek pelaksanaan civil forfeiture pada setiap negara mempunyai karakter pelaksanaan yang sedikit berbeda satu dengan lainnya.212 Australia misalnya mengadopsi asas retroaktif dan memberlakukan kekayaan yang tidak jelas asal- usulnya (unexplained wealth) menjadi objek civil forfeiture tanpa harus terbukti terkait dengan tindak kejahatan. Berbeda dengan Filipina yang hanya memperbolehkan upaya civil forfeiture untuk menyita dan mengambil aset berupa uang. Civil forfeiture di Amerika Serikat memiliki cakupan dan jangkauan yang sangat luas, namun, regulasinya hanya membatasi upaya civil forfeiture untuk aset- aset yang berhubungan langsung dengan tindak pidana. Aspek-aspek inilah yang harus diperhatikan dalam mengimplemtasikan civil forfeiture ke dalam kerangka hukum nasional Indonesia. Harus diperhatikan aspek baik buruknya konsep civil forfeiture agar penerapannya dapat diterima dan berjalan efektif.

211

Seperti yang terlihat dalam pengalaman Amerika Serikat, tidak dapat dipungkiri bahwa

civil forfeiture adalah suatu instrumen yang kontroversial. Oleh karena itu, pemerintah harus berhati- hati dalam memilih model mana yang akan diadopsi agar tidak menimbulkan resistensi dari masyarakat atau legalcommunity di Indonesia.

212

Secara umum pelaksanaan civil forfeiture di Amerika Serikat, Australia dan Filipina mempunyai kesamaan yaitu: Pertama, penyitaan asset tanpa harus terlebih dahulu melakukan gugatan pidana. Kedua, proses penyitaan pada umumnya dilakukan secara independen terpisah dari proses gugatan pidana. Ketiga, pihak berwenang hanya perlu membuktikan dilakukannya kejahatan atau keterlibatan dalam suatu tindakan illegal sesuai dengan standar perdata. Keempat, adanya peraturan mengenai perlindungan terhadap innocent owners.

Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi. Sebelum UNCAC 2003, ada dua konvensi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization of Council of Europe) yaitu Criminal Law Convention on Corruption yang telah berlaku sejak Tanggal 1 Juli 2002, dan Civil Law Convention on Corruption yang berlaku efektif sejak Tanggal 1 November 2003, dan telah diratifikasi oleh 21 negara Uni Eropa. Selain itu, dapat dicatat bahwa negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika telah pula menghasilkan Africa Union Convention on Preventing and Combating Corruption, yang ditetapkan di Adis Ababa (Ibu Kota Ethiopia) pada Tanggal 18 s/d 19 September 2002.213

UNCAC 2003 mengamanahkan kepada negara-negara peserta dan negara- negara yang telah meratifikasinya untuk melakukan langkah serius menangani korupsi khususnya dalam hal perampasan aset milik pelaku. UNCAC 2003 menegaskan masalah korupsi sebenarnya bukanlah hanya dalam lingkup penegakan hukum pidana lewat penuntutan (conviction) lewat suatu proses peradilan pidana (criminal proceedings) semata-mata, melainkan juga dapat dilaksanakan lewat upaya keperdataan (civil proceeding). Strategi pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya strategis di samping upaya pemberantasan (represif). Hal yang lebih penting lagi adalah strategi pengembalian asset (asset recovery) hasil korupsi. Suatu hal yang

213

I. Gusti Ketut Ariawan, ”Stolen Asset RecoveryInitiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, Loc. cit. UNCAC 2003 telah diadopsi oleh sidang Majelis Umum PBB dalam resolusinya Nomor 58/4 Tanggal 31 Oktober 2003, dan terbuka untuk ditandatangani di Meksiko dari Tanggal 9 Desember 11 Desember 2003.

paling mendasar dalam UNCAC 2003, adalah kerjasama internasional di bidang asset recovery.214

Ratifikasi UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia yang secara politis menempatkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi lewat kerjasama internasional, diharap mampu memberikan dorongan terutama bagi negara- negara lain yang kurang kooperatif dalam pengembalian aset hasil korupsi di Indonesia, di samping pula langkah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil korupsi dari negara lain akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi secara global.

Civil forfeiture sebagai hukum acara perdata khusus, termasuk bagi tindak pidana korupsi diatur dalam “Civil Remedies Act”. Dalam rangka mengharmonisasi UUPTPK dengan UNCAC 2003 seyogyanya diatur secara tersendiri dalam undang- undang khusus. Seperti di Amerika Serikat terdapat ketentuan khusus yang mengatur yaitu “federal forfeiture law”, di Australia/New Zealand diatur khusus dalam “Proceeds of Crime Act, 2002”, di Ireland diatur khusus dalam “The Proceeds of Crime Act, 1996”, di Inggris (United Kingdom) diatur dalam “The United Kingdom’s Proceeds of Crime Act, 2002” yang telah diamandemen dalam “The Serious Organized Crime and Police Act, 2005”.215

214

Chapter V Artikel 51 dan 57 UNCAC 2003.

215

http://www.thenewspaper.com/rlc/docs/2007/ontarioag-size.pdf, Ministry of the Attorney General, Civil Forfeiture in Ontario, An Update On the Civil Remedies Act, 2001, Ministry of the Attorney General, 2007, diakses terakhir tanggal 18 Mei 2011.

Terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap HAM setiap individu, perlu dilakukan revisi terhadap Pasal 19 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 ini apabila ingin menerapkan civil forfeiture di Indonesia atau sebaliknya meniadakan kebijakan legislasi terhadap legitimasi konsep civil forfeiture tetapi solusi pada alternatif kedua ini berarti Indonesia menentang substansi KAK 2003 sementara KAK 2003 telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi.

Legitimasi pengakuan dan perlindungan HAM dalam Pasal 19 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM menjadi faktor penghalang untuk dinormatifkannya konsep civil forfeture dalam UUPTPK. Itulah sebabnya perampasan aset dengan model civil forfeiture belum diterapkan di Indonesia sebab berdasarkan penelitian ini masih terhalangi oleh ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999. Pengaturan perampasan aset dalam Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 bukan model civil forfeiture melainkan dalam bentuk pidana tambahan atau disebut dengan criminal forfeiture (menggunakan instrumen hukum pidana), sedangkan model civil forfeiture menggunakan instrumen hukum perdata.

Dokumen terkait