SKRIPSI
Oleh:
Indi Hanim Amaliyah
NIM C03212042
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Hukum Pidana Islam
SURABAYA
Pelaku Tindak Pidana Korupsi”
SKRIPSI
Diajukan KepadaUniversitas Islam Negeri Sunan Ampel Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah
Oleh
:
Indi Hanim Amaliyah NIM: C03212042
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah hasil penelitian Library Research untuk menjawab pertanyaan yaitu bagaimana sistem pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan keppres no. 174 tahun 1999 serta tinjauan hukum Islam terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi .
Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik bedah Undang-undang, dokumentasi serta kepustakaan. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan metode deskripstif analisis dan pola pikir deduktif untuk memperoleh kesimpulan yang umum menurut keppres No. 174 tahun 1999 tentang remisi.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa dalam Keppres No. 174 tahun 1999 tentang remisi pemebrian remisi kepada tindak pidana korupsi diberikan pada saat pelaku tindak pidana korupsi adalah harus menjalani masa pidana 6 bulan, dan selama 6 menjalani masa 6 bulan tersebut narapidana korupsi harus berkelakuan baik, dalam hal berkelakuan baik semua warga binaan pemasyarakatan diawasi oleh petugas dan juga sesama temannya. Pada hukum Islam pemberian remisi dapat diberikan kepada jari>mah ta’zi>r karena jari>mah ta’zi>r merupakan jari>mah yang ketentuannya tidak diatur dalam al-Quran dan sudah menjadi nash.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah………... 8
C. Rumusan Masalah………... 9
D. Pengampunan dalam jari>mah ta’zi>r………. 25
BAB III REMISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI…... 29
A.Remisi dalam KEPPRES RI No. 174 tahun 1999 ……… 29
B. Remisi dalam UU lembaga Pemasyarakatn………..….……… 40
BAB IV Analisis Hukum Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana
Korupsi……….. 52
A. Analisis Pemberian Remisi terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi ………..……….. 52
A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemberian Remisi kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi……….………... 56
BAB V PENUTUP……….. 61
A. Kesimpulan ………... 61
B. Saran….………...….. 62
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, masalah menjaga amanat masih perlu diperhatikan oleh banyak
pihak, lebih-lebih masalah besar yaitu korupsi yang kini hampir terjadi disemua
lingkungan, baik dikalangan eksekutif maupun legislatif, baik di pusat maupun di
daerah. Masalah korupsi di negeri ini sudah memasuki seluruh bidang kehidupan
sosial dan pemerintahan serta sudah bersifat mengakar dalam budaya hidup, perilaku,
dan cara berpikir.1 Tidak berhenti sampai disitu, korupsi pun menjadi virus yang
merambah kesektor swasta sampai ketingkat RT yang jelas eksitensi korupsi dalam
bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugiaan.Ini menunjukan bahwasanya
kewenangan dalam menerapkan Undang-Undang tidak konsisten dan kurangnya
ketegasan dalam menerapkan isi kandungan Undang-Undang.
Indonesia merupakan Negara hukum yang dilindungi oleh Undang-Undang
Dasar tahun 1945 untuk mewujudkan tujuan Negara yaitu good governance dan good
government, maka diaturlah tatanan pemidanaan narapidana dalam satu aturan dan
petunjuk pelaksana sehingga terciptanya pelayanan pemerintah yang baik. Seperti
kasus Gayus Tambunan, kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening milik Gayus di Bank Panin. Polri,
diungkapkan Cirrus Sinaga, seorang dari empat tim jaksa peneliti, lantas melakukan
penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim Mabes
1M. Nurul Irfan “
Polri menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri, Gayus dijerat dengan tiga pasal
berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. “Karena Gayus
seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin. Seiring hasil
penelitian jaksa, hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan
dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapannya. Itu pun tidak terkait dengan
uang senilai Rp.25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri itu. Untuk korupsinya,
terkait dana Rp.25 milliar itu tidak dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata
uang sebesar itu merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih.
Pengusaha garmen asal Batam ini mengaku pemilik uang senilai hampir Rp. 25
miliar di rekening Bank Panin milik Gayus.
Penolakan oleh MA terhadap upaya PK Gayus ini tetap menguatkan putusan
upaya kasasi sebelumnya sehingga Gayus Tambunan harus menjalani hukuman
penjara selama 30 tahun. Hukuman selama itu merupakan akumulasi dari 12 tahun
penjara untuk kasus keberatan pajak yang diajukan oleh PT Surya Alam Tunggal, 8
tahun penjara dalam kasus penggelapan pajak PT Megah Citra Raya, 2 tahun penjara
dalam kasus pemalsuan paspor
dan 8 tahun penjara dalam kasus pencucian uang dan penyuapan penjaga tahanan.
Keputusan yang diambil oleh MA setahap demi setahap memberikan keyakinan
bahwa ada keadilan di negeri ini.
Terpidana kasus mafia pajak Gayus Halomuan Tambunan yang mendekam di
Lapas Klas 1 A Sukamiskin Bandung mendapat remisi khusus Hari Raya Idul Fitri
Hal ini merupakan suatu yang berlebihan dalam memberikan keputusan
pengurangan hukuman (Remisi) yang sudah diatur dalam Undang-Undang. Mereka
sudah mengeruk uang Negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat
sehingga tidak pantas mendapat keistimewaan. Justru koruptor harusnya
dimiskinkan. Dan kalau perlu diberi sanksi sosial. Memang penjara bukanlah tempat
untuk balas dendam. Namun, penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh
menikmati keistimewaan termasuk mendapat Remisi. Menghukum seseorang
koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri,
melainkan juga menjadi pelajaran bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar
mengurungkan niat merampok uang Negara.
Pemberantasan korupsi harus bebas dari praktik menyimpang pemberian Remisi.
Kita telah bersepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka harus ada
upaya luar biasa.Perubahan aturan mengenai Remisi harus dilakukan. Jihad aparat
penegak hukum juga harus diimbangi dengan memperkecil Remisi koruptor. Jangan
samakan besaran Remisi Narapidana kasus korupsi dengan Narapidana biasa.
Penyimpangan yang telah terjadi harus ditindak tegas. Pejabat pemberi Remisi yang
menyimpang pun harus mendapat sanksi.
Kalau kita meninjau kembali kebijakan Remisi dalam Undang-Undang, maka
seorang narapidana harus mempunyai persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu intinya
menaati peraturan yang ada di Lembaga Permasyarakatan.
Sesuai dengan pasal 14 ayat (1) huruf I Undang-Undang No.12 tahun 1999
tentang pemasyarakatan bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan
pengurangan masa hukuman (remisi). Dalam memperoleh remisi harus memenuhi
remisi. Dengan adanya pemberian remisi menjadikan narapidana berusaha tetap
menjaga kelakuannya agar kembali memperoleh remisi selama dalam Lembaga
Pemasyarakatan.
Pemberian remisi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang No.12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan dalam pasal 1 ayat (1) “permasyarakatan adalah
kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Permasyarakatan berdasarkan
system, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir darinsistem
pembinaan dalam tata peradilan”. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Pemasyarakatan dalam pasal 1 ayat
(1) “Warga binaan pemasyarakatan, Terpidana, Narapida, Anak Didik
Permasyarakatan Klien Permasyarakatan, LAPAS, BAPAS adalah warga binaan
permasyarakatan, Terpidana, Narapidana, Anak Dididk Permasyarakatan, Klien
Pemasyarakatan, LAPAS, BAPAS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan”. Keputusan Presiden RI No. 174
tahun 1999 tentang remisi dalam pasal 1 ayat (1) “Remisi adalah pengurangan masa
pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah bekelakuan
baik selama menjalani pidana”. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang -undangan, keputusan menteri kehakiman dan HAM RI No. M.04-HN.02.01 tahun
2000 tentang remisi tambahan bagi narapidana dan Anak Pidana, Keputusan Menteri
Kehakiman dan HAM RI No. M.03-PS.01.04 tentang Tata Cara Pengajuan
Pemohonan Remisi Bagi narapidana yang Menjalani Pidana Semur Hidup Menjadi
Pidana Penjara Sementara. Dengan peraturan Perundang-Undangan tersebut
diharapkan pemerintah benar-benar memperhatikan dalam memutuskan untuk
disamping juga memperhatikan tolak ukur yang menjadi sebuah pertimbangan
sebelum memutuskan pemberian Remisi.
Dalam pemberian Remisi, pihak yang berwenang tentunya mengetahui perilaku
atau perbuatan para Narapidana korupsi selama menjalani pidana sebagai acuan
pemberian Remisi yang sesuai dengan perilaku dan tindakan selama berada di
Lembaga Pemasyarakatan dan tujuan pemidanaan itu sendiri. Namun kenyataannya
peraturan pemerintah tentang pemberian Remisi tidak berjalan dengan stabil dan
kurang ditegakkannya peraturan dalam menjalankannya.
Di Indonesia, memerlukan aturan-aturan hukum yang majemuk sehingga dapat
terciptanya sebuah keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia. Karena pada hakekatnya
tujuan yang dicapai bangsa Indonesia itu masyarakat yang adil, makmur, tertib, dan
damai untuk bisa hidup tentram berdampingan bersama masyarakat lainnya.
Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini masuk dalam kategori
jarimah ta’zir. Tindak Pidana Korupsi tidak dapat dianalogikan dengan tindak pidana pencurian atau perampokan. Sebab kedua tindak pidana tersebut masuk ke dalam
wilayah jarimah hudud yang sanksinya telah disebutkan dalam Alquran. Di samping
itu tindak pidana korupsi berbeda dengan jarimah pencurian. Dalam tindak pidana
korupsi terdapat kekuasaan pelaku atas harta yang dikorupsinya, sedangkan
pencurian tidak ada hubungan dengan kekuasaan pencuri atas harta yang dicurinya.2
Walaupun tindak pidana korupsi hanya masuk ke dalam jenis jarimah ta’zir,
namun karena bahaya dan pengaruh negatifnya bias jadi lebih besar dari pencurian
dan perampokan, bentuk hukuman ta’zir dapat berupa pemecatan, hukuman penjara,
atau hukuman mati. Selanjutnya saya akan menjelaskan dari sisi Fiqh Jinayahnya
2M. Nurul Irfan dan masyrofah “
yang biasa disebut dengan istilah Pemaafan. Dalam hokum islam pengampunan lebih
diutamakan daripada pelaksanaan kisas. 3
Pengampunan adalah salah satu sebab hapusnya sanksi ta’zir meskipun tidak
menghapuskan seluruhnya. Para fuqaha membolehkan dalil tentang kebolehan
pemaafan dalam kasus ta’zir . Rasulullah Saw bersabda:
“Terimahlah kebaikannya dan maafkanlah kejelekannya‛ (HR.Muslim ) Dalil diatas meskipun dijadikan dalil oleh fuqaha,4 akan tetapi tampaknya untuk
pengampunan ini perlu dibedaka antara jarimah yang berkaitan dengan Allah atau
hak masyarakat dan jarimah yang berkaitan dengan perorangan. Dalam ta’zir yang
berkaitan dengan hak perorangan pengampunan itu dapat menghapuskan hukuman,
bahkan bila pengampunan itu diberikan sebelum mengajukan penggugatan, maka
pengampunan itu juga menghapuskan gugatan. Sedangkan dalam ta’zir yang
berkaitan dengan Allah sangat tergantung terhadap kemaslahatan, artinya bila Ulil
Amri melihat adanya kemaslahatan yang lebih besar dalam memberikan maaf
daripada pelaku dijatuhi hukuman maka Ulil Amri dapat memberikan kemaafannya.
Al-Mawardi berpendapat sehubungan dengan pengampunan ini sebagai berikut :5
a. Bila hak adami diberikan sebelum pengajuan gugatan kepada hakim, maka
Ulil Amri bisa memilih antara menjatuhkan sanksi ta’zir atau memaafkannya.
b. Bila pemaafan diberikan sesudah pengajuan gugatan kepada hakim oleh
korban, maka fuqaha berbeda pendapat tentang hapusnya hak Ulil Amri
untuk menjatuhkan hukuman yang berkaitan dengan hak masyarakat. Ada
3Abdul Azis Dahlan, et.al., (eds), “Eksiklopedi Hukum Islam” Jilid 4 hal 30 4Djazuli “Fiqh Anti Korupsi” hal.224
5A. Djazuli “
yang berpendapat bahwa Ulil Amri itu menjadi hapus dengan pengajuan
gugatan oleh korban. pendapat ini dipegang oleh Abu Abdillah Al-Zubair.
Demikian pula pendapat Ahmad Ibn Hanbal. Sedangkan menurut pendapat
ulama’ lain hak Ulil Amri untuk menjatuhkan hukuman yang berkaitan dengan hak jama’ah, baik sebelum maupun sesudah gugatan oleh korban maka tidak dapat dihapus.
Tampaknya pendapat kedua inilah yang lebih tepat dalam jarimah ta’zir yang merupakan gabungan anatara hak jama’ah dan hak perorangan. Lain halnya bila
dalam jarimah yang murni berkaitan dengan hak Allah atau jama’ah. Dalam kasus
jarimah macam pertama harus perorangan yang dapat memaafkannya, sedangkan
untuk kasus jarimah macam kedua hanya Ulil Amri yang dapat memaafkannya.
Serta taubat juga dapat menghapus sanksi ta’zir apabila jarimah yang dilakukan
oleh si pelaku itu adalah jarimah yang berhubungan hak Allah / hak jama’ah6, taubat menunjukkan hanya penyesalan terhadap perbuatan jarimah yang telah dilakukan,
menjauhkan diri darinya, dan adanya niat yang kuat untuk tidak kembali
melakukannya sedangkan bila berkaitan dengan hak Adami harus ditambah dengan
satu indicator lagi, yaitu melepaskan kedzaliman yang dalam hal ini adala meminta
maaf kepada korban.
Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik ingin mengadakan penelitian
dan ingin mengetahui lebih jauh permasalahan diatas, kemudian akan dituangkan
dalam sebuah skripsi “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada
Pelaku Tindak Pidana Korupsi”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari paparan Latar Belakang di atas maka pokok yang akan dikaji dalam
pembahasan ini adalah:
1. Pemberian Remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan KEPPRES
RI NO 174 TAHUN 1999.
2. Pemberian Remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi ditinjau dari hukum
pidana Islam.
Adapun batasan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1. Aturan pemberian Remisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan
KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999.
2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana remisi kepada pelaku
tindak pidana korupsi.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana aturan pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi
dalam prespektif hukum positif ?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pemberian remisi bagi
pelaku tindak pidana korupsi?
D. Kajian Pustaka
Kajian Pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang
bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi
dari kajian atau penelitian yang telah ada.7 Berkaitan dengan pembahasan skripsi ini
adalah:
1. Skripsi karya Inayatur Rahman mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Remisi Bagi Pelaku Tindak Pidana ( Analisis Yuridis
Keppres RI No 174 tahun 1999 )” skirpsi ini memberikan gambaran
pemberian remisi menurut filsafat hukum islam sehingga memberikan
perbedaan dengan skripsi yang penulis buat karena berbeda dilihat dari sudut
pandangnya.
2. Skripsi Zainal Arifin (05370026) oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Pada Narapidana”. Skripsi ini membahas tentang pemberian Remisi pada
narapidana dari tinjauan hukum Islam. Sedangkan penelitian yang penulis
lakukan adalah bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemberian Remisi
terhadap koruptor di Indonesia ditinjau dari segi hukum pidana Islam
3. Skripsi Muhammad Hariri (CO3205021) oleh mahasiswa IAIN Sunan Ampel
Surabaya “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pelaksanaan KEPRES
No. 174/Tahun 1999 Tentang Remisi Dalam Kasus Pembunuhan. Sedangakan
penelitian yang penulis lakukan adalah bertujuan untuk mengetahui tentang
pemberian Remisi terhadap koruptor di Indonesia dari sudut pandang hukum
pidana Islam.
7
E. Tujuan Penelitian
Setiap penulisan ilmiah tentu memiliki tujuan pokok yang akan dicapai atas
pembahasan materi tersebut. Oleh karena itu, penulis merumuskan tujuan penelitian skripsi
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dasar hukum dan sistem pemberian remisi kepada pelaku tindak
pidana korupsi dalam prespektif hukum positif.
b. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap sistem pemberian remisi kepada
pelaku tindak pidana korupsi.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan ada nilai guna pada dua aspek:
1. Aspek keilmuan, dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiranatau pedoman
untuk menyusun hipotesis penulisan berikutnya bila ada kesamaan masalah
serta dapat bermanfaat memperluas khasanah ilmu pengetahuan tentang
pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang di tinjau dari
hukum pidana islam.
2. Dari segi praktis, dapat digunakan sebagai lahan pertimbangan dalam
pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Serta bermanfaat
pula bagi Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya untuk pengembangan
ilmu khususnya dalam bidang Hukum Pidana Islam.
Agar tidak terjadi salah pengertian terhadap judul skripsi ini, maka penulis
merasa perlu mendifinisikan istilah-istilah yang berkenaan dengan rumusan masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Remisi berasal dari kata remissio yang berasal dari bahasa latin yang berarti
potongan/pengurangan hukuman. Sedangkan menurut istilah, Remisi adalah
pembebasan hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman seumur
hidup menjadi hukumana terbatas. Dalam keputusan Menteri Hukum dan
Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang
Remisi. Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada
Narapidana dan Anak Pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani
pidana. Di Indonesia Remisi secara umum biasanya diberikan pada saat-saat
hari besar atau peringatan, yaitu pada setiap peringatan Proklamasi
Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.
2. Korup adalah suka menerima uang sogok atau dapat disogok (menguasai
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Sedangkan koruptor orang yang
melakukan korupsi atau orang yang menggelapkan uang Negara bisa juga di
perusahaan ditempat kerjanya.
3. Hukum Pidana Islam Adalah ilmu tentang ketentuan-ketentuan hukum syara
yang digali nash-nash keagamaan, baik Al-Qur’an maupun hadis, tentang
kriminalitas, baik berkaitan dengan keamanan jiwa maupun anggota badan
atau menyangkut seluruh aspek pancajiwa syariat yang terdiri dari agama,
jiwa, akal kehormatan atau nasab dan harta kekayaan, maupun diluar
pancajiwa syariat tersebut. Dengan demikian istilah hukum pidana Islam
H. Metode Penelitian
1) Data Yang Dikumpulkan
a. Undang-undang mengenai remisi serta KEPPRES RI NO 174 TAHUN
1999.
b. Ketentuan tentang pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana
korupsi menurut hokum pidana Islam yang dapat diperoleh dari
literasi-literasi.
2) Sumber Data
a. Sumber primer
Sumber data primer dalam penelitian ini diambil dari
dokumen-dokumen yaitu UU No.12 tahun 1995 serta PP No. 32 tahun 1999
sebagai pokok yang dianalisis dari skripsi ini.
b. Sumber sekunder
Bahan sekunder merupakan data yang bersifat membantu atau
menunjang dalam melengkapi dan memperkuat serta memberikan
penjelasan mengenai sumber data primer, seperti dokumentasi,
buku-buku serta apapun yang berkaitan dengan obyek penelitian,.
1) Teknik pengumpulan data
Jenis penelitian ini adalah Library Research atau studi kepustakaan.
Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisah dari
suatu penelitian. Teoro-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan
kepustakaan juga dapat diperoleh informasi tentang penelitian sejenis atau
yang ada kaitannya dengan penelitian, ataupun penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya sehingga dapat memangfaatkan semua informasi dan
pemikiran-pemikiran yang relavan dengan penelitian yang akan dilakukan.
2) Teknik pengolahan data
Penulis akan memaparkan dan mendeskrisipkan semua data yang penulis
dapatkandengan tahapan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali data yang diperoleh terutama
kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian dan keselarasan antara
yang satu dengan yang lain.
b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data yang telah
diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan
c. Analyzing, yaitu menganalisa data yang telah dideskripsikan dan
kemudian ditarik kesimpulan.
3) Teknis analisis data
Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunaakn
teknik deskriptif analisis verivikatif yaitu membuat deskripsi, gambaran, atau
menjelaskan secara sistematis atas data yang berhasil dihimpun terkait
dengan pembahasan. Metode yang digunakan dalam menganalisis data dalam
skripsi ini menggunakan metode deduktif yaitu data-data yang diperoleh
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pemahaman tentang isi penulisan skripsi ini, serta
memperoleh penyajian yang serius, terarah dan sistematik, maka penulis menyajikan
pembahasan skripsi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I merupakan pendahuluan yang menjadi pengantar umum pada isi tulisan.
Meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II, pada bab ini merupakan landasan teori hukum Islam terhadap korupsi
yang meliputi, definisi, macam-macam, jenis-jenisnya, dan sanksi hukumannya.
Bab III, dalam bab ini diuraikan tentang ketentuan Remisi menurut
undang-undang dan KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999.
Bab IV, merupakan bab yang memuat hasil analisis pemberian Remisi terhadap
koruptor dalam hukum positif, dan dan pemberian remisi terhadap koruptor menurut
hokum islam.
Bab V terakhir sebagai penutup. Bab ini sebagai akhir dari penilaian yang
meliputi kesimpulan dari bebagai permasalahan yang sudah dibahas sebelumnya dan
BAB II
PENGAMPUNAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk tindak pidana pencurina uang negara,
penggelapan serta penerimaan suap yang dilakukan oleh penajabat negara. Dalam hukum
pidana Islam tindak pidana korupsi ini dapat dijatuhi hukuman hudud atau ta’zi>r dilihat dari
aspek tindak pidana yang dilakukan.
Dalam hukuman dikenal dengan gugurnya suatu hukuman, maksudnya adalah tidak
dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah dijatuhkan atau diputuskan oleh
hakim, berhubung tempat (badan atau bagiannya) untuk melaksanakan hukuman sudah tidak
ada lagi, atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat. Dan dalam gugurnya hukuman
terdapat beberapa sebab yang salah satunya adalah pengampunan.
A.Pengertian Remisi Menurut Hukum Pidana Islam
Kata remisi berasal dari bahasa Inggris yaitu remission. Re yang berarti kembali dan
mission yang berarti mengirim, mengutus. Remisi diartikan pengampunan atau pengurangan
hukuman. Dari pengertian tersebut, Remisi merupakan kata serapan yang diambil dari
bahasa asing yang kemudian digunakan dalam pengistilahan hukum di Indonesia.
Sebagaimana Remisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengurangan hukuman
yang diberikan kepada orang yang terhukum. Selain itu menurut kamus hukum karya
Soedarsono, remisi mempunyai arti pengampunan hukuman yang diberikan kepada
seseorang yang dijatuhi hukuman pidana.
Dalam istilah Arab memang tidak dijumpai pengertian yang pasti mengenai kata remisi,
Afu’ (maaf, ampunan), ghafar (ampunan), rukhsah (keringanan), syafa’at (pertolongan),
tahfif (pengurangan). Selain itu menurut Sayid Sabiq memaafkan disebut juga dengan
Al-Qawdu’“menggiring” atau memaafkan yang ada halnya dengan diyat atau rekonsiliasi tanpa
diyat walau melebihinya. Dalam hukum pidana Islam istilah yang sering digunakan dan
memiliki makna hampir menyerupai istilah remisi adalah tahfiful uqubah (peringanan
hukuman). Dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam peringanan atau pengampunan hukuman
merupakan salah satu sebab pengurungan (pembatalan) hukuman, baik diberikan oleh
korban, walinya, maupun penguasa.
B. Dasar Hukum Remisi Menurut Hukum Pidana Islam
Dasar pengampunan hukuman yang menjadi hak korban/walinya terdapat dalam
Al-Qur’an dan Hadis. Dasar dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT dalam surat Al Baqaarah
ayat 178 yaitu:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
Adapun sebab diturunkannya ayat ini adalah riwayat yang berasal dari Qatadah
yang menceritakan bahwa penduduk jahiliyah suka melakukan penganiayaan dan
tunduk kepada setan. Jika terjadi permusuhan di antara mereka maka budak mereka
akan membunuh budak orang yang dimusuhinya. Mereka juga sering mengatakan , “ kami hanya akan membunuh orang merdeka sebaga ganti dari budak itu.” Sebagai
ungkapan bahwa mereka lebih mulia dari suku lain. Seandainya seorang wanita dari
mereka membunuh wanita lainnya, merekapun berkata, “ kami hanya akan membunuh seorang lelaki sebagai ganti wanita tersebut”, maka Allah menurunkan
firman-Nya yang berbunyi ”Orang merdeka dengan orang merdeka , hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita.”
Diriwayatkan juga dari Said bin Jubair rahimahullah bahwa sesaat sebelum Islam
datang, bangsa Arab Jahiliyah terbiasa membunuh. Terjadi pembunuhan dan saling
melukai diantara mereka hingga merekapun membunuh budak dan kaum wanita.
Mereka tidak menerapkan qishas dalam pembunuhan tersebut hingga mereka masuk
Islam, bahkan salah seorang dari mereka melampaui batas dengan melakukan
permusuhan dan mengambil harta orang lain. Mereka juga bersumpah untuk tidak
merelakan sampai dapat membunuh orang yang merdeka sebagai ganti budak yang
terbunuh, dan membunuh seorang laki-laki sebagai ganti dari wanita yang terbunuh,
maka Allah menurunkan firman-Nya, ” Hai orang-orang yang beriman, diwajibbkan atas kamu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
Selain mewajibkan Qishash, Islam juga lebih menganjurkan pemberian maaf, dan
mengatur tata cara ( hududnya ), sehingga sikap pemberian maaf ini terasa sangat
adil dan muncul setelah penetapan Qishash. Anjuran pemberian maaf ini bertujuan
naluri manusia dan membebani manusia dengan hal-hal di luar kemampuan mereka.
Allah SWT berfirman, dalam surat Al-Maidah Ayat 45:
Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al
-Ma’idah: 45)
Ayat ini menekankan bahwa ketetapan hukum diyat tersebut ditetapkan kepada
mereka mereka Bani Isra’il di dalam kitab Taurat. Penekanan ini disamping
bertujuan membuktikan betapa mereka melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang
ada dalam kitab suci mereka, juga untuk menekankan bahwa prinsip prinsip yang
ditetapkan oleh Al Qur’an ini pada hakekatnya serupa dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah terhadap umat-umat yang lalu. Dengan demikian diharapkan
ketentuan hukum tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh semua umat
Penafsiran dalam penutupan ayat ini, ” Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang orang yang
zalim” mengesankan bahwa anjuran memberi maaf bukan berarti melecehkan hukum Qishas karena hukum ini mengandung tujuan yang sangat agung, antara lain
menghalangi siapapun melakukan penganiayaan, mengobati hati yang teraniaya atau
keluarganya, menghalangi adanya balas dendam dan lain-lain. Sehingga jika hukum
ini dilecehkan maka kemaslahatan itu tidak akan tercapai dan ketika itu dapat terjadi
kedzaliman. Oleh sebab itu putuskanlah perkara sesuai dengan yang diperintahkan
oleh Allah, memberi maaf atau melaksanakan qishash. Karena barang siapa yang
tidak melaksanakan hal tersebut yakni tidak memberi maaf atau tidak menegakkan
pembalasan yang seimbang, maka dia termasuk orang yang zalim.
Disamping dasar pengampunan dari Al Qu‘ran Selain itu terdapat pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra dan HR Ahmad, Abu Daud, An
Nasa-Ydan Ibnu Majah; Al Muntaqa yaitu :
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin bakr bin Abdullah Al Muzani dari Atha bin Abu Maimunah dari Anas bin Malik ia berkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam mendapat pengaduan yang padanya ada Qishas, kecuali beliau menganjurkan untuk memaafkan." ( HR.Ahmad Abu Daud 4497 )
C. Jarimah Ta’zi>r
Menurut bahasa lafaz ta’zir berasal dari kata ‘azzara yang mempunyai sinonim kata yaitu mencegah atau menolak (mana’a wa radda), mendidik (‘addaba). Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan
Wahbah Zuhaili, ta’zi>r diartikan mencegah dan menolak, karena ta’zi>r dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Ta’zi>r diartikan mendidik, karena ta’zi>r dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.
Jadi, menurut bahasa ta’zi>r adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.1
Pendapat Wahbah Zuhaili memberikan definisi ta’zir yang mirip dengan definisi Al-Mawardi, ta’zirmenurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman h}ad dan tidak pula kafarat.2
Ibrahim Unais juga memberikan definisi ta’zir menurut syara’ yaitu hukuman pendidikan yang tidak mencapai hukuman h}ad syar’i.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’. Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir. jadi, istilah ta’ziri
bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman h}ad tidak pula
kafarat. Dengan demikian, inti dari jarimah ta’zi>r adalah perbuatan maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan.
Makna ta’zir bisa juga diartikan mengagungkan dan membantu, seperti yang telah difirmankan Allah dalam surah al-Fath ayat 9 yang berbunyi:
او مؤتل
nya, membesarkannya, dan bertasbih kepadanya pagi dan petang.3Maksud dari kata tu’azziru>hu dalam ayat ini adalah mengagungkannya dan menolongnya. Adapun yang dimaksud dengan ta’zir mnurut terminologi fikih Islam adalah tindakan edukatif terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi h}ad
dan kafarat. 4 Atau dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh hakim atas pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan
maksiat yang hukumannya belum ada. Mengingat persyaratan dilaksanakannya
hukuman masih belum terpenuhi dalam tindakan-tindakan tersebut.
Dari uraian tersebut, dapat diambil intisari bahwa jarimah ta’zir dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. ta’zir karena berbuat maksiat;
b. ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum; c. ta’zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah)
Disamping itu, dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah ta’zi>r dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a. jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah
b. jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan (individu)
Adapun yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah adalah semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan
umum. Misalnya mebuat kerusakan dimuka bumi, pencurian yang tidak memenuhi
syarat, mencium wanita lain yang bukan istrinya, penimbunan bahan-bahan pokok,
penyelundupan, dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan jarimah
ta’zir yang menyinggung hak perorangan adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang-orang tertentu, bukan orang banyak.
Contohnya seperti penghinaan, penipuan, pemukulan dan lain sebagainya.
2. Macam-macam hukuman ta’zir
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukuman ta’zir adalah
hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri untuk
menetapkannya. Hukuman ta’zir ini jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu:5
a. hukuman ta’zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid. b. hukuman ta’zir yang berkaitan dengen kemerdekaan seseorang, seperti
hukuman penjara dan pengasingan.
c. hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan/ perampasan harta, dan penghancuran barang.
d. hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh amri demi kemaslahatan
umum seperti, peringatan keras, digadirkan di hadapan sidang, nasihat,
celaan dan lain sebagainya.
3. Maksud sanksi ta’zi>r
Maksud utama sanksi ta’zi>r adalah sebagai preventive dan represif serta kuratif dan edukatif. Atas dasar ini ta’zir tidak boleh membawa kehancuran.6
Yang dimaksud dengan fungsi preventive adalah bahwa sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak positif bagi orang lain (orang yang tidak dikenai hukuman
ta’zi>r), sehingga orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama dengan perbuatan terhukum.
Yang dimaksud dengan fungsi represif adalah bahwa sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak positif adalah bahwa sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak positif bagi si terhukum, sehingga ia tidak lagi melakukan perbuatan yang
menyebabkan dirinya dijatuhi hukuman ta’zi>r.
Oleh karena itu, sanksi ta’zi>r itu baik dalam fungsinya sebagai usaha preventif maupun represif, harus sesuai dengan keperluan, baik lebih dan tidak kurang dengan
menerapkan prinsip keadilan.
Yang dimaksud dengan fungsi kuratif (islah) adalah bahwa sanksi ta’zi>r itu harus mampu membawa perbaikan sikap dan perilaku terhukum dikemudian hari.
Yang dimaksud fungsi edukatif adalah bahwa sanksi ta’zi>r harus mampu menumpuhkan hasrat terhukum untuk mengubah pola hidupnya sehingga ia akan
menjauhi perbuatan maksiat bukan karena takut hukuman melainkan semata-mata
karena tidak senang terhadap kejahatan. Sudah tentu sangat penting dalam hal ini
pendidikan agama sebagai sarana memperkuat keimanan dan ketakwaannya,
sehingga ia menjauhi segala macam maksiat untuk mencari keridhaan Allah swt.
Oleh karena itu, maka tidak mengherankan bila para ulama dalam hal sanksi
ta’zir yang berupa penjara tidak memberikan batas waktu bagi lamanya penjara,
melainkan batas yang mereka tentukan adalah sampai si terhukum bertaubat
sebagai pembersih dari dosa.
Untuk menjaga kepastian hukum, perlu batas waktu hukuman penjara. Hanya
saja pembinaan di lembaga pemasyarakatan harus efektif sehingga si terhukum
waktu keluar telah taubat.
D. Pengampunan dalam Jarimah Ta’zi>r
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Pengampunan berasal dari kata ampun
yang berarti pembebasan dari hukuman atau tuntutan.7 Sedangkan dalam bahasa
hukum pidana umum pengampunan disebut sebagai remisi yang berarti pengurangan
masa hukuman yang diberikan kepada orang terpidana.8
Dalam jarimah ta’zir terdapat pengampunan yang dapat meringankan hukuman pelaku namun antara keduanya ada yang dapat diampuni ada pula yang tidak dapat
diampuni atau diberikan keringanan hukuman seperti penjelasan berikut:
1. Pengampunan terhadap tindak pidana yang tidak dapat diampuni
Pengampunan tidak memiliki pengaruh apapun bagi tindak pidana yang
wajib dijatuhi hukuman h}udud, baik diberikan oleh korban, walinya, maupun
penguasa.Ini karena hukuman terhadap tindak pidana h}udud bersifat wajib dan
harus dilaksanakan. Para ulama menyebut tindak pidana hudud sebagai hak
Allah. Karena tindak pidana hudud adalah hak Allah, hukumannya tidak boleh
diampuni atau dibatalkan.
Ketetapan tidak adanya pengampunan dan pembatalan hukuman atas tindak
pidana h}udud ini mengakibatkan pelaku tindak pidana yang harus dijatuhi h}udud
itu berstatus sebagai orang yang kehilangan gak jaminan keselamatan jiwa dan
anggota badannya.
2. Pengampunan terhadap tindak pidana ta’zir
Sudah disepakati oleh para fukaha bahwa pebguasa memiliki hak
pengampunan yang sempurna pada tindak pidana ta’zir. Karena itu,9 penguasa boleh mengampuni suatu tindak pidana ta’zir dan hukumannya, baik sebagiannya maupun keseluruhannya. Meskipun demikian, para fukaha berbeda
pendapat tentang bisa tidaknya penguasa memberikan pengampunan terhadap
semua tindak pidana ta’zir atau terbatas pada sebagiannya saja.
Sebagian ulama (kelompok pertama) berpendapat bahwa penguasa tidak
memiliki hak pengampunan pada tindak pidana kisas dan hudud yang sempurna
yang tidak boleh dijatuhi hukuman kis}as dan h}udud, tetapi ia harus dijatuhi
hukuman ta’zir yang sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukannya. Dalam hal ini, penguasa boleh mengampuni tindak pidana dan hukumannya jika
ia melihat ada kemaslahatan umum di dalamnya dan setelah menghilangkan
dorongan hawa nafsu.10
Sementara itu, sebagaian ulama yang lain (kelompok kedua) berpendapat
bahwa penguasa memiliki hak untuk memberikan pengampunan atas seluruh
9Abdul Qadir Al Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Pidana Islam ,(Ahsin Sakho Muhammad dkk),
Jilid III. Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008), 171.
tindak pidana yang diancam dengan hukuman ta’zir dan juga hak mengampuni hukumannya jika di dalamnya terdapat kemaslahatan umum. Dari kedua
pendapat ulama tersebut, dapat kita lihat bahwa kelompok pertama lebih dekat
dengan logika hukum Islam yang berkaitan dengan tindak pidana h}udud dan
qis}as.
Kekuasaan korban dalam memberikan pengampunan terhadap tindak pidana
ta’zir hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan haknya (dirinya), seperti pemukulan dan pencacian. Kerana itu, pengampunan korban tidak
berpengaruh pada hak masyarakat, yaitu mendidik pelaku dan memperbaikinya,
sehingga jika korban mengampuni pelaku, pengampunannya itu tertuju pada hak
pribadi korban saja. Sebaliknya, pengampunan penguasa atas tindak pidana atau
hukuman tidak berpengaruh pada hak-hak korban.11
BAB III
PEMBERIAN REMISI KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Remisi Dalam Keppres RI No 174 Tahun 1999
Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak
pidana yang berkelakuan baik selama menjalani pidana.1Adapun yang dimaksud
dengan berkelakuan baik dan segala syarat-syarat untuk mendapat Remisi akan
penulis jelaskan dalam keterangan selanjutnya. Pengurangan masa tahanan bagi
seorang narapidana selama ini dianggap sebagai hal yang wajar, Akan tetapi tidak
bagi penulis. Pengurangan masa tahanan yang dikarenakan atau disebabkan adanya
perayaan hari besar agama dan hari besar negara memang dianggap hal yang wajar,
Akan tetapi jika pengurangan masa tahanan tersebut sampai berkisar beberapa bulan
dan persyaratan yang mudah maka akan tentu menjadi sesuatu hal yang lain.
Banyak kalangan yang menganggap bahwa syarat dalam mendapatkan Remisi
tidaklah sulit, sehingga banyak oknum-oknum yang menyalah gunakannya. Dalam
hal ini yang menjadi sorotan adalah biasanya para anggota penguasa negara dan
mereka yang kaya. Karena sering dikatakan bahwa hukum di Indonesia dikuasai oleh
pemegang kekuasaan serta yang memiliki kekuasaan secara material. Maka tak heran
jika sering dan kerap kali kita lihat dan kita dengar begitu cepat dan mudahnya
seorang narapidana yang baru masuk ternyatakeluar dan dinyatakan telah bebas dari
lapas, jika seorang narapidana tersebut adalah pemegang kekuasaan, atau orang yang
mempunyai meteri yang banyak. Sehingga hukuman yang telah diputuskan dianggap
tidak memberatkan dan bahkan tidak memberikan rasa jera, dan sehingga kejahatan
kerap kali dilakukan berulang kali tanpa rasa takut. Jika demikian maka dari itu
1
pemberian Remisi atau pengurangan masa pidana perlu kiranya mendapat tinjauan
kembali.
Segala hal yang berkaitan tentang Remisi telah diatur dalam Kepres No.174 tahun
1999. Hal-hal yang mendukung di dalam keluarnya Kepres No 174 tahun 1999 adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan,
yang menjelaskan bahwa pada hakekatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai
insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi
dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Kemudian didukung juga oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga
binaan pemasyarakatan yang kemudian direvisi oleh Peraturan pemerintah Republik
Indonesia Nomor 28 tahun 2006, Yang menjelaskan bahwa ketentuan mengenai
pemberian Remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat perlu
ditinjau ulang guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan
dalam masyarakat yang banyak menimbulkan rasa kecemasan, kepanikan, atau
ketakutan yang luar biasa pada masyarakat.2
Presiden Republik Indonesia di dalam mengeluarkan Keputusan Presiden No.174
tahun 1999 ini menimbang bahwa Remisi merupakan salah satu sarana hukum yang
penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. mengingat Undang
- Undang Republik Indonesia No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan bahwa
sebagai pelaksanaan dari peraturan pemerintah No.32 tahun 1999 yang diubah
menjadi peraturan pemerintah No. 28 tahun 2006 tentang syarat dan tata cara
pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, yang selanjutnya pengaturan Remisi
ditetapkan dengan keputusan presiden.3
2Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak warga Binaan
3
Perlu diketahui juga bahwa negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap - tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, termasuk narapidana.
Ketentuan mengenai Remisi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden
sebelumnya No.69 tahun 1999 tentang pengurangan masa pidana (Remisi) dirasa
perlu disesuaikan dengan hak dan kewajiban setiap narapidana sebagai pemeluk
agama, karena agama merupakan sendi utama di dalam kehidupan masyarakat, oleh
karena itu Kepres ini direvisi. Pemberian Remisi bagi pelaku tindak pidana yang
diatur dalam Keppres No.174 tahun 1999, yang dilanjutkan dengan keluarnya
Kepmen Hukum dan Perundang-Undangan No.M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang
pelaksanaan Keputusan Presiden No.174 tahun 1999, Serta Surat edaran Dirjen
pemasyarakatan tentang pelaksanaan Remisi No. E.PS.01.01-10 tanggal 28 Feb 2005,
Dan Kepmen hukum dan Perundang-Undangan No. M.10.HN.02.01.tahun 1999
tentang pelimpahan wewenang pemberian Remisi khusus pada hari natal tahun 1999
dan hari raya idul fitri 1 Syawal 1420 H tahun 2000 , Mempunyai syarat dan tata cara
dalam pemberiannya kepada narapidana, dan anak pidana. Menurut Keppres
dijelaskan bahwa Remisi tidak diberikan kepada narapidana atau anak pidana yang:
1. Dipidana kurang dari 6 (bulan).
2. Dikenakan hukuman disiplin dan didaftar pada buku pelanggaran tata tertib
lembaga pemasyarakatan dalam kurun waktu yang diperhitungkan pada
pemberian Remisi.
3. Sedang menjalani cuti menjelang bebas.
4. Dijatuhi pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda.4
Pemberian Remisi bagi pelaku tindak pidana yang diberikan oleh Menteri Hukum
Dan HAM melalui kepala Kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM adalah hak
4
setiap orang yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, atau
cabang rumah tahanan. Pemberian Remisi bagi narapidana, anak pidana, dalam
pelaksanaannya mempunyai syarat – syarat yang harus dipenuhi.
1. Syarat – Syarat Pemberian Remisi.
a. Berkelakuan baik.
Adapun yang dimaksud dengan narapidana yang berkelakuan baik adalah
narapidana yang mentaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan
tindakan disiplin yang dicatat dalam buku register F selama kurun waktu
yang diberikan untuk pemberian remisi.5Berkelakuan baik yang dimaksud
tidak hanya berkelakuan baik dalam sekilas atau dalam satu hal saja, akan
tetapi perilaku yang baik tersebut harus dapat ditunjukkan dalam beberapa
hal. Dalam perilaku keseharian dengan sesama narapidana, dalam
beribadah, dalam memberi contoh yang baik bagi narapidana lainnya,
dalam membantu kelancaran tata tertib dalam lapas, rutan yang
bersangkutan. Berkelakuan baik tersebut untuk selanjutnya menjadi
tanggung jawab pihak lapas, rutan dalam mengawasi dan menilai setiap
tingkah laku anak pidana, penilaian tersebut hendaknya dilakukan dengan
sangat cermat agar menghasilkan penilaian yang benarbenar adil tanpa
rekayasa.
Kecermatan dan ketelitian sangat diperlukan dalam penilaian hal ini,
karena perilaku seseorang bisa saja menipu. Seseorang yang berperilaku
baik bisa saja dibuat-buat jika berada dalam pengawasan kepala atau
petugas Lapas. Maka diperlukan juga penilaian dari beberapa rekan
5Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M.09.HN. 02.01 Tahun
narapidana dalam menilai perilaku seorang narapidana yang
akanmendapat sebutan berperilaku baik.
b. Telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan
Sebagaimana syarat yang pertama yakni tentang berkelakuan baik, untuk
selanjutnya seorang narapidana yang berhak mendapat Remisi adalah
yang telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. Dan selama itu
seorang narapidana harus dapat mempertahankan dirinya untuk
berkelakuan baik.
Masa enam bulan ini dianggap sebagai masa transisi dan adaptasi bagi
seorang narapidana dalam menjalani hukuman. Akan dalam masamasa ini
narapidana masih dalam keadaan resah dengan dunianya yang baru,
sehingga belum bisa terlihat bagaimana perkembangan seorang
narapidana tersebut. Akan tetapi setelah menjalani masa enam bulan
tahanan maka dapat dilihat dan dinilai juga perilaku dan segala kegiatan
seorang narapidana dalam menjalani segala peraturan dan
ketentuanketentuan dalam sebuah lapas, rutan.
c. Berbuat jasa bagi Negara
Yang dimaksud dengan berbuat jasa bagi negara adalah jasa yang
diberikan dalam perjuangan untuk mempertahankan kelangsungan hidup
negara. Kelangsungan hidup negara dalam hal ini tentunya dalam
lingkungan lapas, rutan sebagaimana keadaan seorang narapidana yang
berada dalam lapas, rutan. Tidak mungkin dia melakukan perjuangan
kemanusiaan atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan
pembinaan di lembaga pemasyarakatan antara lain adalah:6
a) Menghasilkan karya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berguna untuk pembangunan dan kemanusiaan.
b) Ikut menanggulangi bencana alam.
c) Mencegah pelarian dan gangguan keamanan serta ketertiban di
lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara atau cabang rumah
tahanan negara.
d) Menjadi donor organ tubuh dan sebagainya.
e) Melakukan pendidikan dan pengajaran kepada narapidana dan anak
pidana atas kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Segala syarat yang telah ditentukan di atas harus dipenuhi oleh seorang
narapidan yang ingin mendapatkan Remisi.Jadi di dalam sebuah lapas atau rutan
tidak menutup kemungkinan bagi seorang narapidana untuk lebih maju dan
mengembangkan dirinya, baik dalam bidang ilmiah, pendidikan, keamanan dan
kesehatan.Maka jika seorang narapidana menginginkan untuk mendapat Remisi
maka harus benarbenar dapat memacu diri untuk menjadi manusia yang lebih
baik dan lebih berguna. Dari persyaratan sebagaimana di atas tentunya
akanbanyak kalangan yang akan mengatakan bahwa Remisi bisa diperoleh
dengan mudah. Maka bagi seorang narapidana yang telah berhasil mengajukan
dan mendapat Remisi tentunya harus dikaji ulang dan dengan teliti apakah
sudah menjalani beberapa persyaratan di atas dan pemberian Remisi atau
pengurangan masa tahanan tersebut apakah sudahbenar-benar diputuskan
dengan seadil-adilnya baik dari sisi seorang narapidana dan bagi korban.
6
Sehingga tidak mempengaruhi psikis dari pihak korban, seperti ketakutan dan
kekhawatiran akan terulangnya lagi suatu tindak kejahatan karena hukuman
yang diberikan belum memenuhi unsur jera. Persyaratan berbuat baik bagi
negara ini dikhususkan sebagai persyaratan untuk mendapatkan Remisi
tambahan.7
Beberapa persyaratan di atas adalah persyaratan Remisi secara umum. Akan
tetapi jika ditinjau dari macam-macam Remisi maka persyaratan tersebut dapat
dibedakan sebagai berikut:
1) Remisi Umum
Di dalam pemberian Remisi umum ditentukan persyaratan sebagai
berikut:
Berkelakuan baik
Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Penghitungan pemberian Remisi sejak adanya putusan tetap
pengadilan atas perkara yang bersangkutan.
2) Remisi Khusus
Untuk pemberian Remisi khusus ditetapkan persyaratan sebagai
berikut:
Berkelakuan baik
Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Namun dalam hal pemberian Remisi khusus ini menteri hukum dan ham
mengeluarkan keputusan No.M.01.HN.02.01 tahun 2001 tentang Remisi khusus
yang tertunda dan Remisi khusus bersyarat serta Remisi tambahan. Maka agar
lebih jelas dalam pelaksanaannya sehingga dihindari adanya perbedaan persepsi
7KEPMEN Hukum Dan Perundang-Undangan No.M.09.HN.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan
dan penafsiran yang idak mustahil dapat menimbulkan permasalahan, dan perlu
kiranya diberi penjelasan.
Remisi khusus hari raya keagamaan hakikatnya diberikan kepada semua warga
binaan pemasyarakatan yang berstatus narapidana dan telah memenuhi
persyaratan subtantif, namun kenyataannya pada hari H keagamaan tersebut
tidaklah semua warga binaan pemasyarakatan memperoleh Remisi khusus
tersebut karena masih berstatus tahanan, padahal masa tahanannya sudah lebih
dari enam bulan, dan mereka yang tergolong seperti ini sangat banyak.
Mengingat bahwa penghitungan menjalani masa pidana dihitung sejak mulai
seseorang ditahan dimana seharusnya mereka ini memperoleh kesempatan yang
sama (prinsip perlakuan yang sama) untuk mendapatkan Remisi khusus. Untuk
itu menteri hukum dan ham memberikan solusi dengan adanya Remisi khusus
yang tertunda dan Remisi khusus bersyarat, serta Remisi tambahan.
Dengan ditetapkannya dua bentuk Remisi khusus di atas maka hampir semua
warga binaan akanmendapatkan Remisi khusus pada hari raya keagamaan, namun
perbedaannya hanyalah waktu pelaksanaannya saja.
a) Remisi khusus yang tertunda
Remisi khusus yang tertunda adalah Remisi khusus yang diberikan
kepada narapidana dan anak pidana yang pelaksanaan
pemberiannya dilakukan setelah yang bersangkutan berubah
statusnya menjadi narapidana dan besarnya maksimal 1 (satu)
bulan.
Contoh: Seorang Warga Binaan Pemasyarakatan ditahan pada
tanggal 19 November 2014, diputus oleh pengadilan negeri
tanggal 15 Desember 2014, dan warga binaan pemasyarakatan ini
akan mendapat Remisi khusus yang tertunda yang diberikan pada
tanggal 14 November 2014 sebesar (satu) bulan
b) Remisi khusus bersyarat
Remisi khusus ini diberikan kepada narapidana dan anak pidana
yang pada hari raya keagamaannya belum cukup enam bulan
menjalani pidananya, narapidana tersebut tetap dapatdiusulkan
untuk mendapat Remisi khusus bersyarat apabila selama menjalani
masa bersyarat genap 6 (enam) bulan yang bersangkutan
senantiasa berkelakuan baik selanjutnya Remisi khusus bersyarat
tersebut diperhitungkan dalam exspirasinya. Namun apabila
selama menjalani masa bersyarat tersebut yang bersangkutan
melakukan pelanggaran disiplin maka Remisinya dicabut
/dibatalkan.
Contoh: seorang narapidana beragama Katolik pada tanggal 20
Desember 2015 dijatuhi hukuman pidana 1 satu tahun 4 empat
bulan, pada tanggal 25 Desember 2015 tetap diusulkan Remisi
khusus sebesar 15 hari, yang langsung diperhitungkan tanggal
bebasnya, namun apabila antara tanggal 25 Desember 2015
sampai dengan 23 juni 2016 yang bersangkutan melakukan
pelanggaran maka Remisi khusus bersyaratnya dicabut.
c) Remisi tambahan
Berkelakuan baik
Melakukan jasa kepada Negara atau lembaga
Remisi tambahan bagi narapidana dan anak pidana dapat diberikan yang
karena kemampuannya dan atau keterampilan yang dimilikinya telah
melakukan pendidikan dan pengajaran kepada sesama narapidana dan anak
pidana. Kemampuan atauketerampilan tersebut harus bermanfaat bagi masa
depan yang dididik, dan untuk kegiatan tersebut kepada narapidana yang
bersangkutan diberikan sertifikat penghargaan oleh kepala kantor
wilayah departemen hukum dan ham atas usul dari tim pengamat
pemasyarakatan (TPP) lapas/rutan yang diketahui oleh kalapas/karutan. Atau
juga narapidana/anak pidana yang berbuat jasa kepada negara melakukan
perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau melakukan
perbuatan yang membantu kegiatan lapas.
Contoh: narapidana atau anak pidana yang memulai dharma bhaktinya
berdasarkan keputusan TPP, selanjutnya mendapat persetujuan dan sertifikat
dari kepala Kantor wilayah pada 19 mei 2015, maka pada HUT RI 17 Agustus
2015 ia berhak mendapat Remisi tambahan sebesar 1/3 dari Remisi yang
diperolehnya. Ditengah-tengah kehidupan masyarakat dewasa ini telah
berkembang berbagai jenis kejahatan serius dan luar biasa serta kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya yang mengakibatkan kerugian yang besar
bagi negara atau masyarakat atau menimbulkan korban jiwa yang banyak dan
harta benda serta menimbulkan kepanikan, kecemasan, ketakutan yang luar
biasa kepada masyarakat. Pemberian Remisi, asimilasi cuti menjelang bebas,
dan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang dipidanakarena melakukan
tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan
terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia berat, dan
dinamika dan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu pemberian Remisi,
asimilasi, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat kepada pelaku tindak
pidana tersebut perlu diberi batasan khusus.
a. Untuk tindak pidana narkotika dan psikotropika, ketentuan
pemerintah ini hanya berlaku pada produsen dan bandar saja.
b. Untuk tindak pidana korupsi ketentuan pemerintah ini hanya
berlaku bagi korupsi yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara.
Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat, dan atau
menyangkut kerugian negara paling sedikit
Rp.1000.000.000,00 (satu milyar rupiah).8
Maka berdasarkan pertimbangan tersebut Peraturan Pemerintah No.32 tahun
1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan warga binaan pemasyarakatan
perlu diubah.Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan
negara dan kejahatan hak asasi manusia berat, dan kejahatan transnasional
terorganisasi lainnya, diberikan
Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Berkelakuan baik
Telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidana.9
8
Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
B. Lembaga Pemasyarakatan
1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakatan adalah perubahan dari nama penjara yang biasa kita
kenal dalam masyarakat hingga kini, walaupun perubahan nama itu berlaku sejak
perubahan sistem perlakuan terhadap pelanggar hukum yang mengacu pada upaya
perbaikan sosial para pelanggar hukum atau dengan kata lain bahwa pelaksanaan
pemasyarakatan bagi warga binaan masyarakat adalah sejalan dengan tujuan
hukum, perubahan tersebut dan kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan yang
diproklamirkan oleh Saharjo selaku Menteri Kehakiman saat itu.
Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
disebutkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang sering disingkat dengan LAPAS
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik yang
selanjutnya disebut warga binaan masyarakat (WBP). Lembaga pemasyarakatan
adalah unitpelaksanaan teknis di jajaran Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan bimbingan kepada warga
binaan pemasyarakatan.
Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman
merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut diatas melalui pendidikan,
rehabilitasi, reintegrasi. Sejalan dengan tujuan dan peran tersebut, maka tepatlah
apabila petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pembinaan dam bimbingan
serta pengamanan warga binaan pemasyarakatan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ditetapkan sebagai pejabat fungsional
penegak hukum. Sidik Sunaryoberpendapat bahwa :10
10
“Lembaga pemasyarakatan merupakan bagian paling akhir dalam proses peradilan pidana dan sebagai sebuah tahapan pemidanaan terakhir sudah semestinya dalam tingkatan ini harus terdapat bermacam harapan dan tujuan dari sistem peradilan terpadu yang ditopang oleh pilar-pilar proses pemidanaan mulai dari lembaga kepolisisan, kejaksaan, dan pengadilan. Harapan dan tujuan tersebut dapat saja berupa aspek pembinaan kepada warga binaan pemasyarakatan.”
Dari ungkapan tersebut jelaslah bahwa lembaga pemasyarakatan mempunyai peran
yang stategis dalam proses peradilan pidana terpadu dalam hal pembinaan terhadap
pelanggar hukum yang mencapai tujuan pemidanaan, menurut Muladi, tujuan
pemidanaan Pencegahan (umum dan khusus) masyarakat, memlihara solidaritas,
adalah untukmemperbaiki kerusakan individual dan social yang diakibatkan oleh
tindak pidana, hal ini terdiri atas seperangkat tujuan yang merupakan titik berat
harus dipenuhi, dengan catatan tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri atas
pengimbalan/perimbangan.11
2. Sistem Pemsyarakatan Indonesia
Penerapan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan telah dilaksanakan di
Indonesia sejak konsepsi perbaharuan diluangkan didalam piagam pemasyarakatan
Indonesia pada tanggal 27 april 1964 di Jakarta yang merupakan amanat dari
presiden, yang dalam point satu menyebutkan, bahwa apa yang dulu dimaksudkan
kepenjaraan telah di re tool dan diperbaharui menjadi pemasyarakatan selaras
dengan perubahan filosofinya yaitu pembinaan. Tetapi peraturan yang digunakan
adalah reglement penjara 1917 warisan kolonial dengan sistem kepenjaraan yang
masih berasaskan pada pembalasan, padahalperlakuan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan pada sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem
pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
11
Pelaksanaan pidana penjara dalam arti perlakuan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan di Indonesia saat ini menganut suatu sistem yang lebih dikenal
dengan sebutan pemasyarakatan.Konsep tentang pemasyarakatan sebagai suatu
sistem yang lebih dikenal dengan sebutan pemasyarakatan.Konsep tentang
pemasyarakatan sebagai suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia
untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Suhardjo (Menteri Kehakiman pada saat
itu). Haltersebut terungkap dalam orasinya yang berjudul Pohon Beringin
Pengayoman, yang diucapkan pada upacara penerimaan gelar Doktor Honoris
Causa dalam ilmu hukum oleh Universitas Indonesia, tanggal Juli 1963. Dalam
orasinya itu, Suhardjo, antara lain mengemukakan konsep tentang hukum nasional
dan konsep tentang perlakuan terhadap narapidana. Menyangkut perlakuan
terhadap narapidana, Suhardjo menyatakan:12
“Dibawah pohon beringin pengayoman ditetapkan untuk menjadi penyuluh bagi petugas dalam memperlakukan narapidana maka tujuan pidana penjara dirumuskan : disamping menimbulkan derita bagi terpidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing agar bertobat, mendidik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Dengan singkat, tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan.”
Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh keputusan Konfrensi
Dinas para pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan
bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem
pemasyarakatan, suatu pernyataan ini disamping sebagai arah tujuan, pidana penjara
dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina.
Amanat Presiden RI dalam konferensi dinas menyampaikan arti penting terhadap
pembaharuan pidana di Indonesia. Yaitu perubahan namakepenjaraan menjadi
pemasyarakatan.Berdasarkan pertimbangan amanat Presiden tersebut disusunlah suatu
12