• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik Responden dan Lingkungan Kerja. tahun berjumlah 29 orang (58%). Penjahit dengan masa kerja baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik Responden dan Lingkungan Kerja. tahun berjumlah 29 orang (58%). Penjahit dengan masa kerja baru"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

67 BAB V PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden dan Lingkungan Kerja 1. Masa Kerja

Masa kerja merupakan salah satu faktor internal yang menyebabkan kelelahan kerja. Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa penjahit yang memiliki masa kerja lama atau lebih dari sama dengan 5 tahun berjumlah 29 orang (58%). Penjahit dengan masa kerja baru atau kurang dari 5 tahun berjumlah 21 orang (42%). Sebagian besar penjahit dalam penelitian ini memiliki masa kerja lama.

Kasus kelelahan kerja pada PT X lebih banyak dialami oleh penjahit dengan masa kerja lama yaitu sebanyak 21 orang (42%).

Hasil ini sesuai dengan teori Kusgiyanto dkk. (2017) bahwa pekerja dengan masa kerja yang lama cenderung lebih banyak mengalami kelelahan kerja daripada pekerja dengan masa kerja baru. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Innah dkk., (2021) yang menunjukkan bahwa penjahit dengan masa kerja lama lebih banyak yang mengalami kelelahan dibandingkan dengan penjahit dengan masa kerja baru.

Analisis hasil dilakukan dengan uji Fisher dan didapatkan p-value dengan signifikansi sebesar 0,319 (p > 0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kelelahan

(2)

68

kerja. Hal ini tidak dapat membuktikan teori bahwa masa kerja berpengaruh terhadap kelelahan kerja. Tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kelelahan kerja ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Humairoh dkk (2020) yang juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kelelahan kerja.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kelelahan kerja. Tidak berhubungannya masa kerja dengan kelelahan kerja dikarenakan penjahit pada masa kerja lama sudah terbiasa dan nyaman dengan pekerjaannya. Penjahit juga sudah pandai mengatasi diri ketika mulai mengalami gejala kelelahan ketika bekerja. Penjahit biasanya akan melakukan peregangan dan menghentikan pekerjaan sejenak ketika mulai mengalami pegal-pegal.

Masa kerja dapat dijadikan acuan untuk pembagian tugas dan pembagian shift dalam pekerjaan penjahitan. Penjahit dengan masa kerja lama lebih baik dikerahkan untuk melakukan pekerjaan penjahitan dengan beban kerja rendah. Penjahit dengan masa kerja yang baru sebaiknya diatur untuk lebih banyak bekerja pada shift malam daripada penjahit dengan masa kerja yang lama. Hal ini diatur agar kasus kelelahan kerja di PT X dapat ditekan jumlahnya.

2. Status Gizi

(3)

69

Berdasarkan tabel 4.1, diketahui bahwa sebanyak 2 orang penjahit (4%) memiliki status gizi kekurangan berat badan tingkat berat, 5 orang penjahit (10%) memiliki status gizi kekurangan berat badan tingkat ringan. Terdapat 21 orang penjahit (42%) yang memiliki status gizi normal, dan 13 orang penjahit (26%) memiliki status gizi kelebihan berat badan tingkat berat. Mayoritas penjahit memiliki status gizi normal. Status gizi normal menandakan bahwa asupan gizi yang diterima oleh tubuh sudah terpenuhi dengan cukup.

Orang dengan status gizi kurang atau berlebih, cenderung lebih mudah mengalami kelelahan kerja daripada orang dengan status gizi normal (Suma’mur, 1996). Teori tersebut bertentangan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa mayoritas penjahit yaitu sebanyak 16 orang (32%) dengan status gizi normal mengalami kelelahan kerja. Namun hal ini selaras dengan hasil yang menunjukkan bahwa penjahit dengan status gizi kelebihan berat badan tingkat ringan hampir seluruhnya mengalami kelelahan kerja dengan perbandingan 8 orang mengalami kelelahan dan 1 orang tidak mengalami kelelahan.

Berdasarkan hasil Uji Kruskal Wallis yang merupakan alternatif dari uji Chi-Square, didapatkan nilai p = 0,815 (p > 0,05). Hasil tersebut memiliki arti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kelelahan kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chesnal dkk (2015) yang menunjukkan

(4)

70

bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan kelelahan kerja.

Status gizi tidak berpengaruh terhadap kelelahan.

Tidak adanya hubungan status gizi dengan kelelahan kerja dapat terjadi karena perusahaan menyediakan kebutuhan air minum bagi penjahit. Selain itu, baik penjahit shift pagi maupun shift sore selalu memanfaatkan waktu istirahatnya untuk mengisi kembali kebutuhan tubuh mereka dengan makan. Meskipun status gizi dan kelelahan kerja tidak berhubungan, pencegahan kelelahan kerja tetap dapat dilakukan dengan menjadikan status gizi sebagai pertimbangan. Pertimbangan tersebut bisa jadi dalam hal pembagian tugas maupun pembagian shift pada penjahit. Penjahit dengan status gizi tidak normal diatur untuk melakukan pekerjaan dengan beban kerja yang tidak berat dan lebih banyak bekerja pada shift pagi daripada shift sore.

3. Beban Kerja

Beban kerja adalah tolak ukur berapa lama seseorang dapat melakukan pekerjaannya tanpa menimbulkan kelelahan (Arfani dkk., 2019). Berdasarkan tabel 4.1, diketahui bahwa 43 orang responden (86%) memiliki beban kerja ringan dan 7 responden sisanya (14%) memiliki beban kerja sedang. Responden yang mengalami kelelahan mayoritas memiliki beban kerja ringan yaitu sebanyak 34 orang (68%).

Hal ini sejalan dengan teori bahwa beban kerja yang terlalu ringan dapat menyebabkan kejenuhan dan kebosanan. Kejenuhan dan

(5)

71

kebosanan mengakibatkan understress dan berujung pada kelelahan (Tarwaka, 2015).

Berdasarkan hasil Uji Fisher yang merupakan uji alternatif untuk Uji Chi-Square, menunjukkan nilai p = 0,641 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan kelelahan kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Innah dkk (2021) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara beban kerja dengan kelelahan. Penelitian yang dilakukan oleh (Narulita, 2018) juga menunjukkan hasil yang serupa yaitu tidak berhubungannya beban kerja dengan kelelahan kerja.

Beban kerja penjahit tidak berhubungan dengan kelelahan kerja.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, secara fisik beban kerja penjahit di PT X memang tidak begitu berat. Pekerjaan penjahitan dilakukan dengan posisi duduk dan tidak terlalu sering mengangkat tumpukan kain yang berat. Selain itu, rata-rata penjahit sudah merasa nyaman dan terbiasa dengan pekerjaannya, sehingga beban kerja tidak lagi menjadi beban tambahan yang bisa menyebabkan kelelahan kerja.

Mempertimbangkan beban kerja untuk pembagian tugas pada penjahit bisa menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan perusahaan untuk mencegah dan menekan angka kelelelahan kerja di PT X.

B. Lingkungan Kerja 1. Kebisingan

(6)

72

Kebisingan adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak diharapkan keberadaaannya. Kebisingan dapat diartikan sebagai beban tambahan yang berasal dari lingkungan kerja yang dapat memicu kelelahan (Triyunita, 2013). Kebisingan dapat membuat pekerja merasa tidak nyaman dan mengganggu kesehatan pekerja (Andriani, 2017). Kebisingan juga bisa menyebabkan terganggunya konsentrasi, lemah atau bahkan hilangnya motivasi untuk berpikir atau bekerja, serta dapat mengganggu sistem kardiovaskuler, sistem pencernaan, keseimbangan bekerjanya saraf simpatis dan parasimpatis.

Metabolisme dan sistem faal tubuh lainnya juga dapat terganggu karena kebisingan, yang berujung pada kelelahan kerja (Suma’mur, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Andriani (2017) menunjukkan bahwa seluruh responden baik yang terpapar kebisingan melebihi NAB maupun yang terpapar kebisingan di bawah NAB mengalami kelelahan kerja.

Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan, diketahui bahwa intensitas kebisingan di area penjahitan PT X Karanganyar adalah sebesar 71 dB. Lama paparan kebisingan di PT X adalah selama 8 jam per hari. Intensitas kebisingan ini tidak melebihi Nilai Ambang Batas yang ditetapkan oleh Kemnaker RI (2018) dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang K3 Lingkungan Kerja. Nilai Ambang Batas intensitas kebisingan yang

(7)

73

kontinyu untuk waktu kerja selama 8 jam per hari adalah sebesar 85 dB.

Kebisingan di PT X di bawah NAB yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan tidak adanya sumber bising di area penjahitan PT X selain dari mesin jahit. Selain itu, mesin jahit di PT X rata-rata adalah mesin jahit model baru yang tidak menimbulkan begitu banyak suara.

Kemungkinan penjahit terpapar kebisingan lebih dari 8 jam per hari pun memiliki kemungkinan yang sangat kecil. Hal ini dikarenakan penjahit bekerja dalam sistem shift yang akan berganti setelah 8 jam.

Selain itu, di setiap waktu istirahat, kebanyakan penjahit akan meninggalkan area penjahitan untuk makan atau melaksanakan ibadah. PT X juga jarang mengejar target produksi hingga lembur, sehingga kelelahan kerja yang mungkin terjadi dikarenakan paparan bising bisa dikurangi. Meskipun intensitas kebisingan di PT X sudah di bawah NAB, namun penggantian mesin jahit model lama menjadi model baru bisa dijadikan pertimbangan bagi perusahaan. Hal ini dapat dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan bebas bising bagi penjahit dan mencegah adanya kelelahan kerja yang timbul karena kebisingan.

2. Iklim Kerja

Bekerja di lingkungan kerja dengan suhu tinggi dapat memberikan efek bahaya bagi keselamatan dan kesehatan. Suhu yang terlalu tinggi bisa juga menyebabkan berkurangnya kemampuan berpikir dan

(8)

74

konsentrasi pekerja (Suma’mur, 2013). Berdasarkan hasil observasi lapangan, area kerja penjahitan PT X terasa cukup panas. Terdapat sistem ventilasi dengan menggunakan exhaust fan di area penjahitan.

Exhaust fan dapat membantu sirkulasi udara di area kerja dan juga

membantu mengurangi kontaminan yang ada di udara.

Walaupun terdapat sistem ventilasi di area penjahitan PT X, suhu udara di area kerja masih terasa panas. Di area kerja tersebut tidak ada kipas angin maupun Air Conditioner yang disediakan perusahaan untuk penjahit. Berdasarkan tabel 4.2, dapat diketahui bahwa iklim kerja panas di area penjahitan PT X Karanganyar adalah sebesar 32.33ᵒC. Angka ini melebihi Nilai Ambang Batas yang ditetapkan oleh Kemnaker RI (2018) dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang K3 Lingkungan Kerja. Kemnaker RI menetapkan Nilai Ambang Batas sebesar 28ᵒC untuk pekerja dengan beban kerja sedang, dan 31ᵒC untuk pekerja dengan beban kerja ringan dalam 7 jam kerja dengan 1 jam istirahat.

Menurut Suma’mur (2013) Orang Indonesia dapat beraklimitasi pada suhu 28-32ᵒC. Artinya rentang suhu tersebut tidak akan memberikan efek buruk baik secara psikis maupun fisik pada orang yang terpapar. Namun untuk bekerja secara nyaman, pekerja harus berada pada suhu thermonetral yaitu diantara 24-26ᵒC. Untuk mencapai suhu termonetral, perusahaan bisa memanfaatkan kipas angin maupun Air Conditioner untuk membantu menciptakan

(9)

75

lingkungan kerja yang nyaman bagi penjahit, sehingga kasus kelelahan kerja dapat ditekan.

3. Penerangan

Penerangan merupakan salah satu faktor lingkungan kerja yang dapat menyebabkan kelelahan. Fungsi utama penerangan adalah untuk memberikan cahaya pada objek pekerjaan agar dapat terlihat dengan jelas oleh pekerja. Pekerja yang mendapat penerangan yang cukup, dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik sehingga bisa meningkatkan produktivitas (Odi dkk., 2017). Penerangan yang buruk bisa menyebabkan keluhan sakit kepala dan pegal di sekitar mata yang bisa berujung pada berkurangnya daya dan efisiensi kerja (Budiono, 2003). Penerangan yang buruk menyebabkan mata harus bekerja ekstra untuk melihat objek. Upaya berlebihan dari mata untuk melihat suatu objek bisa menjadi penyebab kelelahan (Suma’mur, 2013).

Berdasarkan hasil pengukuran, didapatkan hasil penerangan di area kerja penjahitan PT X sebesar 192.7 Lux di siang hari yang sumber cahayanya adalah cahaya matahari dan lampu. Pada malam hari, hasil penerangan di area kerja penjahitan PT X sebesar 116.7 Lux yang sumber cahayanya hanya berasal dari lampu. Angka ini kurang dari Nilai Ambang Batas yang ditetapkan oleh Kemnaker RI (2018) dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang K3 Lingkungan Kerja yaitu sebesar 200 Lux. Intensitas cahaya tersebut

(10)

76

adalah intensitas cahaya minimal untuk kategori pekerjaan yang membedakan barang-barang kecil yang agak teliti seperti pekerjaan penjahitan.

Penambahan kualitas dan kuantitas lampu bisa dilakukan untuk mengatasi penerangan di area penjahitan yang masih dibawah standar.

Lampu ruangan bisa ditambahkan di beberapa titik yang memiliki penerangan yang masih kurang. Lampu lokal yang diletakkan di setiap meja juga dapat membantu menambah penerangan dan membantu penjahit untuk melihat objek pekerjaan dengan lebih jelas. Dengan penambahan lampu tersebut, penjahit bisa melakukan pekerjaan dengan lebih nyaman.

C. Shift Kerja

PT X menerapkan sistem kerja shift dengan rotasi cepat.

Pergantian shift dilakukan setiap satu minggu sekali. Proses penjahitan pada PT X Karanganyar dilakukan dengan menerapkan dua shift kerja yaitu shift kerja pagi pukul 07.00-15.00 WIB dan shift sore pukul 15.00- 23.00 WIB. Di setiap shiftnya, penjahit mendapatkan waktu istirahat selama 1 jam. Berdasarkan hasil penelitian, 23 orang penjahit (46%) bekerja pada shift pagi, dan 27 orang penjahit (54%) bekerja pada shift sore. Penjahit yang bekerja pada shift sore terlihat lebih lelah dan tidak bertenaga dibandingkan dengan penjahit yang bekerja pada shift pagi.

Tubuh manusia didesain untuk bekerja pada siang hari dan istirahat serta pemulihan energi pada malam hari (Saftarina dkk, 2014). Penjahit

(11)

77

yang bekerja pada shift pagi memiliki lebih banyak waktu untuk tidur dan beristirahat dibandingkan penjahit yang bekerja pada shift sore. Banyak penjahit shift sore yang tidak bisa langsung istirahat ketika pulang bekerja.

Mereka harus melakukan pekerjaan rumah tangga yang lain terlebih dahulu sebelum beristirahat.

D. Usia

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa penjahit dengan usia tidak berisiko terhadap kelelahan (≤ 40 tahun) berjumlah lebih banyak yaitu 32 penjahit (64%) dibandingkan penjahit dengan usia yang berisiko terhadap kelelahan (≥ 40 tahun) yaitu 18 penjahit (36%). Walaupun jumlah penjahit yang berusia tidak berisiko terhadap kelelahan lebih banyak, tidak menutup kemungkinan penjahit pada usia tersebut tetap dapat mengalami kelelahan kerja. Hal tersebut dapat terjadi karena kelelahan kerja bisa diakibatkan oleh banyak sekali faktor selain usia. Usia dapat memengaruhi kondisi fisik seseorang, secara fisiologis kondisi fisik dan ketahanan tubuh cenderung menurun seiring dengan bertambahnya usia (Andriani, 2017). Pada usia lebih dari 40 tahun yang notabene masih dalam kelompok usia produktif, kapasitas kerja seseorang mulai berkurang hingga menjadi 80% - 60% dibandingkan dengan kapasitas kerja seseorang yang berusia 25 tahun.

E. Kelelahan Kerja

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa lebih banyak penjahit yang mengalami kelelahan kerja yaitu sebanyak 39 penjahit

(12)

78

(78%) daripada penjahit yang tidak mengalami kelelahan kerja yaitu sebanyak 11 orang penjahit (22%). Pengukuran kelelahan dilakukan dengan menggunakan reaction timer. Penjahit diminta untuk memencet tombol ketika telah menerima rangsang berupa suara ataupun cahaya.

Penjahit dengan waktu reaksi 150-240 milidetik menandakan bahwa penjahit tersebut tidak mengalami kelelahan. Sedangkan penjahit dengan waktu reaksi lebih dari 240 milidetik menandakan bahwa penjahit tersebut mengalami kelelahan.

Kelelahan menyebabkan hilangnya gairah untuk bekerja. Hal tersebut digejalai dengan perasaan letih luar biasa yang menyebabkan aktivitas terganggu. Gairah untuk bekerja baik secara fisik maupun psikis tidak ada dan pekerja akan cenderung mengantuk (Budiono, 2003).

F. Hubungan Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa penjahit shift pagi lebih banyak yang mengalami kelelahan yaitu sebanyak 14 orang (28%) dibandingkan yang tidak mengalami kelelahan yaitu sebanyak 9 orang (18%). Penjahit yang bekerja pada shift sore juga lebih banyak yang mengalami kelelahan yaitu sebanyak 25 orang (50%). Penjahit shift sore yang mengalami kelelahan berjumlah lebih besar (25 orang) dibandingkan penjahit shift pagi yang mengalami kelelahan (14 orang). Penjahit shift sore yang mengalami kelelahan juga berjumlah lebih besar dibandingkan total penjahit yang tidak mengalami kelelahan (11 orang). Terdapat 2 penjahit shift sore yang tidak mengalami kelelahan kerja.

(13)

79

Pekerja shift terutama shift malam lebih rentan mengalami kelelahan karena bekerja melawan irama sirkadian atau waktu biologis tubuh. Irama sirkadian seseorang akan terganggu jika terjadi perubahan jadwal kegiatan seperti pada shift kerja. Gangguan tersebut terjadi karena irama sirkadian atau jam biologis tubuh tidak mampu mengatasi perubahan situasi yang ada (Siregar dkk, 2019). Irama sirkadian berhubungan dengan tidur, kesiapan bekerja, suhu tubuh, denyut nadi, tekanan darah, komposisi kimia, dan metabolisme. Terganggunya irama sirkadian akan menyebabkan gangguan tidur, yang mengganggu proses pemulihan tubuh. Proses pemulihan tubuh yang terhambat akan berujung pada kelelahan dan penurunan konsentrasi (Yogis dkk., 2017).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square dengan nilai p sebesar 0,007 (p=0,005) diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara shift kerja dengan kelelahan kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sholiah dkk (2019) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja. Penjahit yang bekerja pada shift sore memiliki waktu istirahat yang lebih sedikit di malam hari dibandingkan penjahit yang bekerja pada shift pagi.

Dari hasil wawancara, sebagian besar penjahit shift sore di PT X tidak bisa langsung tidur setelah pulang dari bekerja. Mereka harus melakukan pekerjaan rumah tangga terlebih dahulu sebelum tidur. Waktu tidur yang ideal untuk usia dewasa muda dan dewasa (18-64 tahun) adalah 7-9 jam sehari (Depkes RI, 2020). Penjahit shift sore rata-rata memiliki

(14)

80

waktu tidur selama 3-5 jam per hari karena sebagai ibu rumah tangga mereka harus bangun pagi sekali untuk memasak dan menyiapkan kebutuhan rumah. Sulit bagi penjahit untuk memiliki waktu tidur khususnya tidur malam yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan tubuh.

Untuk mencegah kelelahan pada penjahit, maka penting untuk memastikan bahwa penjahit memiliki waktu istirahat yang cukup sebelum bekerja. Untuk penjahit shift sore, waktu tidur pada malam hari yang kurang dapat diatasi dengan cara membagi waktu tidur membagi dua sesi, yaitu tidur di malam hari dan tidur di siang ini. Pola tidur seperti ini disebut dengan pola tidur bifasik (Putri, 2021). Contoh penerapan pola ini adalah penjahit yang tidur selama 5 jam di malam hari bisa mendapatkan waktu tidur yang ideal dengan menambah waktu tidur selama 2 jam di siang hari sebelum berangkat bekerja. Selain dengan menetapkan waktu tidur yang ideal, tidur yang berkualitas juga bisa didapatkan dengan menjaga pola hidup sehat. Pola hidup sehat tersebut yaitu dengan menghindari konsumsi kopi, rokok, dan alkohol, berolahraga secara teratur serta selalu menenangkan pikiran dan mental (Cana, 2020).

Waktu tidur penjahit yang ideal juga bisa didapatkan dengan pengaturan shift yang baik dari perusahaan. PT X perlu untuk mengatur shift kerja dengan mempertimbangkan karakteristik individu agar kelelahan kerja khususnya yang terjadi pada shift sore dapat ditekan.

Sistem rotasi yang diterapkan perusahaan adalah rotasi pendek yang

(15)

81

berganti setiap satu minggu. Sistem ini merupakan sistem rotasi yang baik menurut (Maurits dkk., 2008) yang menyatakan bahwa rotasi shift sebaiknya berpola maju dengan pergantian kurang dari dua minggu.

Penerangan di area kerja penjahitan pada malam hari hanya bersumber dari cahaya lampu, sedangkan pada siang hari penerangan bersumber dari cahaya lampu dan sinar matahari. Hal ini menyebabkan penerangan pada malam hari cenderung kurang jika dibandingkan dengan penerangan pada siang hari. Standar minimal penerangan untuk pekerjaan penjahitan adalah 200 lux. Penerangan di PT X pada siang hari rata-rata adalah 192,7 lux dan di malam hari hanya 116,7 lux. Penjahit yang bekerja pada shift sore bekerja dengan intensitas penerangan yang lebih kecil dibandingkan penjahit yang bekerja pada shift pagi. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penjahit pada shift sore hampir seluruhnya mengalami kelelalahan kerja. Penerangan yang buruk menyebabkan mata harus bekerja ekstra untuk melihat objek, dan hal ini bisa menjadi penyebab kelelahan kerja (Suma’mur, 2013).

Kelelahan kerja yang disebabkan oleh kurangnya penerangan dapat diatasi dengan cara menambahkan intensitas penerangan di area kerja penjahitan. Penambahan intensitas penerangan tersebut dapat dilakukan dengan menambah jumlah lampu dan menambahkan penerangan lokal dengan memberikan lampu pada tiap meja penjahit. Menambah terlalu banyak lampu dengan intensitas yang tinggi juga tidak disarankan, karena penerangan yang berlebihan menyebabkan pupil mata harus berkontraksi

(16)

82

secara berlebihan untuk menyesuaikan cahaya yang diterima. Kontraksi berlebihan pada pupil menyebabkan mata menjadi lebih cepat lelah (Wahyuni dkk., 2014).

Perbaikan penerangan di area kerja penjahitan juga dapat dilakukan dengan menambah sistem ventilasi terbuka. Ventilasi ini selain berfungsi untuk sirkulasi udara, juga berfungsi untuk membantu penerangan khsusunya penerangan pada siang hari. Tembok di area penjahitan sudah berwarna kusam dan cenderung abu-abu. Pengecatan ulang tembok dengan warna putih dapat membantu memperbaiki penerangan di area kerja.

Warna putih lebih disarankan karena dapat memantulkan kembali cahaya lampu sebesar 85% dan merupakan warna dengan presentase pantulan cahaya yang paling besar dibandingkan warna lainnya (Guntur & Putro, 2017).

Area kerja penjahitan di PT X terasa cukup panas dan pengap baik di siang maupun di malam hari. Sirkulasi udara di area tersebut hanya mengandalkan exhaust fan dan tidak ada jendela atau sistem ventilasi terbuka. Perusahaan juga tidak menyediakan kipas angin atau AC untuk menurunkan suhu udara di area kerja. Sistem ventilasi yang kurang baik dan tidak adanya upaya dari perusahaan untuk menurunkan suhu ruangan inilah yang menjadi penyebab iklim kerja panas di area kerja penjahitan melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan yaitu sebesar 32.33ᵒC. Jika keadaan fisik lingkungan kerja dalam hal ini iklim kerja panas melebihi 26,7 ᵒC, maka dapat menyebabkan kelelahan pada tenaga kerja yang

(17)

83

bekerja di area tersebut (Maurits, 2010). Seluruh penjahit baik yang bekerja di shift pagi maupun shift sore terpapar suhu ruangan yang panas dan tidak nyaman selama bekerja. Inilah salah satu faktor mengapa banyak penjahit di PT X yang mengalami kelelahan, walaupun tidak bekerja pada shift sore. Memerhatikan suhu ruangan merupakan salah satu hal yang perlu untuk menjadi fokus perusahaan untuk mengurangi kasus kelelahan di PT X. Penambahan AC atau kipas angin di area kerja serta membuat sistem ventilasi terbuka dapat membantu untuk menurunkan suhu di area kerja penjahitan.

Kelelahan kerja juga bisa disebabkan oleh faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti. Faktor tersebut diantaranya kesehatan penjahit dan kondisi psikologis penjahit yang merupakan faktor internal. Faktor eksternal yang tidak diteliti juga dapat menjadi faktor yang menyebabkan kelelahan kerja pada penjahit. Faktor tersebut diantaranya waktu istirahat dan waktu kerja serta sikap kerja.

G. Hubungan Usia dengan Kelelahan Kerja

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jumlah penjahit di usia yang tidak berisiko lebih banyak yang mengalami kelelahan yaitu sebanyak 23 orang (46%) dibandingkan dengan yang tidak mengalami kelelahan yaitu sebanyak 9 orang (18%). Penjahit pada kelompok usia berisiko lebih banyak yang mengalami kelelahan yaitu sebanyak 16 orang (32%) dibandingkan dengan yang tidak mengalami kelelahan yaitu sebanyak 2 orang (4%). Penjahit usia tidak berisiko yang mengalami

(18)

84

kelelahan berjumlah lebih banyak dibandingkan penjahit usia berisiko yang mengalami kelelahan.

Semakin bertambahnya usia, maka tingkat konsentrasi akan semakin menurun sehingga menurunkan kecepatan rangsang ketika dilakukan pengukuran kelelahan dengan waktu reaksi (Triyunita, 2013).

Dalam hal kelelahan, baik kelelahan fisik maupun kelelahan mental, pekerja yang berusia lebih dari 40 tahun cenderung mengalami kelelahan kerja yang berat. Hal tersebut dikarenakan pada usia yang meningkat akan diikuti dengan proses degenerasi dari fungsi organ sehingga kemampuan organ akan menurun. Kemampuan organ yang menurun dapat menyebabkan tenaga kerja semakin mudah mengalami kelelahan (Atiqoh dkk., 2014).

Berdasarkan uji Fisher, didapatkan nilai p sebesar 0,287 (p = 0,05) yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kelelahan kerja. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Suma’mur (2013) yang mengatakan bahwa semakin tua usia seseorang tingkat kelelahannya semakin tinggi karena berubahnya ketahanan tubuh dan kapasitas kerja yang memiliki imbas terhadap fungsi faal tubuh.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan kelelahan kerja. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiman dkk (2017) yang membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan kelelahan kerja. Tidak adanya hubungan antara usia dengan kelelahan kerja ini terjadi karena penjahit di PT X lebih

(19)

85

banyak yang dikategorikan sebagai kelompok usia yang tidak berisiko dibandingkan dengan kelompok usia yang berisiko, sehingga tidak ada keseimbangan proporsi antara kelompok usia tidak berisiko dengan kelompok usia berisiko. Meskipun begitu, di kelompok usia yang berisiko, hampir seluruhnya mengalami kelelahan kerja.

Semakin bertambahnya usia, maka fungsi tubuh juga akan terus menurun sehingga menurunkan kapasitas kerja. Kemampuan bekerja penjahit usia tidak berisiko dan usia berisiko tentu berbeda, sehingga usia penjahit seharusnya dijadikan pertimbangan untuk penempatan dan pembagian tanggung jawab antar penjahit. Penempatan penjahit usia berisiko pada tanggung jawab pekerjaan atau beban pekerjaan yang besar memungkinkan penjahit tidak bisa melakukan pekerjaan dengan maksimal karena melebihi kapasitas kerjanya.

Penjahit yang mengalami kelelahan kerja di PT X berjumlah lebih banyak daripada penjahit yang tidak mengalami kelelahan. Dalam penelitian ini, usia memang tidak mempengaruhi kelelahan. Variabel dan faktor lain selain usia menyebabkan kasus kelelahan di PT X menjadi cukup tinggi. Faktor tersebut diantaranya faktor lingkungan kerja dan faktor-faktor lain baik internal maupun eksternal yang tidak diteliti oleh peneliti.

H. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam pelaksanaannya.

Keterbatasan yang pertama adalah pada saat pengambilan data kelelahan

(20)

86

kerja. Sebelum dilakukan pengambilan data, peneliti telah menjelaskan kepada responden mengenai prosedur pengambilan data dengan menggunakan reaction timer serta implementasi hasilnya. Banyak dari responden yang merasa takut dan khawatir jika nilai kelelahannya tinggi, sehingga terburu-buru menekan tombol respon ketika rangsang cahaya atau suara baru dinyalakan. Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti selalu mengingatkan kembali kepada responden untuk tidak terburu-buru dan menjelaskan bahwa tinggi rendahnya nilai kelelahan tidak bisa menjadi patokan kondisi kesehatan. Ketakutan responden ini bisa menimbulkan bias informasi berupa tidak akuratnya data hasil penelitian yang diambil peneliti.

Keterbatasan yang kedua adalah pada saat pengambilan data lingkungan kerja. Data lingkungan kerja yang diambil adalah data lingkungan kerja umum dengan menggunakan sistem maping area kerja.

Karena keterbatasan alat dan keterbatasan tenaga serta singkatnya waktu pengambilan data pada setiap penjahit, peneliti tidak mengambil data paparan setiap faktor lingkungan kerja secara individu. Tidak adanya data individu ini membuat peneliti tidak bisa menguji hubungan paparan faktor-faktor lingkungan kerja dengan kelelalahan kerja pada setiap individu. Namun data lingkungan kerja umum yang telah diambil oleh peneliti diambil dengan prosedur pengukuran yang telah ditetapkan oleh standar dan menggunakan alat yang telah terkalibrasi. Dengan

(21)

87

menjalankan prosedur dan menggunakan alat yang sesuai, kemungkinan output data tidak sesuai dengan kondisi asli bisa diminimalisir.

Keterbatasan yang ketiga adalah waktu pengambilan data yang singkat dan tidak diijinkan untuk terlalu banyak mengganggu waktu kerja penjahit. Pengambilan data dilakukan dengan memanggil penjahit satu persatu di sela-sela waktu bekerja. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa penjahit terkesan terburu-buru ketika pengambilan data.

Pengambilan data keseluruhan baik data individu maupun data lingkungan kerja harus dilakukan dalam satu hari yang sama karena alat yang digunakan peneliti adalah alat milik kampus dan hanya diberi izin untuk menggunakan beberapa alat sekaligus dalam satu hari. Keterbatasan ini dapat diatasi oleh peneliti dengan membagi tugas pengambilan data dengan teman sehingga seluruh data bisa didapatkan dalam satu hari.

Penelitian ini juga memiliki keterbatasan yang lain yaitu tidak ditelitinya faktor lain yang bisa mempengaruhi kelelahan kerja seperti kesehatan pekerja, kondisi psikologis pekerja, waktu istirahat dan waktu kerja, serta sikap kerja. Tidak menutup kemungkinan faktor-faktor tersebut mempengaruhi kelelahan kerja pada penjahit. Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti mengenai faktor-faktor ini untuk mengetahui secara pasti bagaimana pengaruhnya dengan kelelahan kerja pada penjahit.

Referensi

Dokumen terkait

Kantor Pengelolaan Air dan Air limbah adalah salah satu unit kerja BP Batam seseua dengan tugas pokok dan organisasinya adalah bertanggung jawab atas pengelolaan dan

Pada penelitian ini, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada jumlah kuman regio aksila pada pasien bromhidrosis, antara sebelum dan sesudah operasi modi- fi kasi bedah

14,15 Ketiga kadar kolesterol ini telah dilakukan uji yang sama yakni uji Kolmogorov-Smirnov dan memiliki distribusi data yang normal sehingga dilanjutkan dengan uji

Skripsi karya seni berjudul “Membangun Dimensi Ruang Dengan Gaya Stretched Realis Pada Tata Suara Film “Fatimah” memberikan pengalaman dan hal lain yang dapat melebihi

Penelitian Elangovan dkk melaporkan bahwa walaupun menggunakan dializer yang luas, kec epatan aliran darah dan aliran dialisat yang tinggi penderita berat badan ³80 kg

Penelitian Faris Danar Saputro mengacu pada tanggungjawab hukum PT Asuransi Jasa Indonesia dalam penyelesaian klaim asuransi pengangkutan barang dilaut sedangkan penelitian

the listener that all people have a choice in their live and a hope for future.. Shelley

Berdasarkan uraian diatas tersebut, maka pada tugas akhir ini penulis tertarik untuk mengangkat tema tentang pembangunan perangkat lunak dengan judul ”Implementasi Hidden