• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI ASPEK HUKUM AGRARIA TERKAIT PERALIHAN BEKAS TANAH ADAT KEKARAENGAN MENJADI HAK MILIK PERORANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI ASPEK HUKUM AGRARIA TERKAIT PERALIHAN BEKAS TANAH ADAT KEKARAENGAN MENJADI HAK MILIK PERORANGAN"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ASPEK HUKUM AGRARIA TERKAIT PERALIHAN BEKAS TANAH ADAT KEKARAENGAN MENJADI

HAK MILIK PERORANGAN

OLEH

MIFTAHUL SAKINAH ASSYAFIAH B111 12 110

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Tiada kata yang lebih pantas diucapkan selain Puji Syukur Atas Kehadirat Allah SWT Karena atas Rahmat dan KaruniaNya lah sehingga penyusunan/penulisan skripsi ini dapat terselesikan sebagai bagian dari persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa skripsi ini jauh dari kata kesempurnaan dalam penulisan dan penyusunannya, bahkan tidak sedikit hambatan yang penulis temukan. Namun berkat dorongan, bimbingan serta usaha dan doa dari diri sendiri dan berbagai pihak, maka hambatan tersebut dapat terlewati dan penulisan akhirnya bisa terselesaikan.

Dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya baik moril maupun materiil, terutama kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda tercinta Ir. Nasrullah HN. Dan Ibunda tercinta Israwaty IB. atas doa yang tidak pernah putus, pengertian, kasih sayang dan pengorbanan untuk penulis selama ini.

Tidak lupa penulis juga ucapkan banyak terima kasih yang setinggi- tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Aminuddin Salle, SH.MH., selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Sri Susyanti Nur, SH.MH., selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu ditengah kesibukannya, beliau

(5)

7. Bapak Andi Natsir, SH selaku Kabid Pengukuran dan Pemetaan Kantor BPN Kabupaten Gowa, Bapak Amiruddin selau staf Kantor BPN Kabupaten Gowa serta seluruh pihak dan staf Kantor BPN Kabupaten Gowa yang telah memberikan arahan dan masukan guna kelancaran penelitian ini

8. Kantor Kecamatan Somba Opu yang telah banyak memberikan arahan

9. Bapak Amirullah Syam Manggabarani dan Dg. Tutu selaku sejarawan Gowa

10. Bapak Daeng Pawa selaku ketua RW Palantikang sekaligus Pemangku adat kabupaten Gowa

11. Bapak Ir. H. Abdul Razak Tate Dg. Jarung selaku Ketua Adat Bate Salapang Kabupaten Gowa dan bapak H. Fatahuddin Dg. Boko selaku mantan pegawai IPEDA Kabupaten Gowa

12. Saudara saudari angkatan PETITUM 2012 yang menjadi teman, sahabat, serta saudara selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

13. Sahabat dan keluarga besar KECE, dini, akmal, nisa, titin, noe, nyoman, naya, vira, dwi, dan special buat ara dan kiki yang banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.

14. Teman dan sahabat-sahabat terkasih yang telah membantu, memotivasi serta menemani dalam proses penyusunan skripsi ini, terutama kepada kakanda Muhammad Isnan Rusli, Andi Iznada,

(6)
(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...ii

PENGESAHAN SKRIPSI ...iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING...iv

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ...v

ABSTRAK ...vi

KATA PENGANTAR ...vii

DAFTAR ISI ...xi

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...9

C. Tujuan Penelitian ...9

D. Manfaat Penilitian...9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...10

A. Aspek Hukum Agraria ...10

1. Pengertian Agraria dan Hukum Agraria ...10

2. Pembagian Hukum Agraria...12

B. Peralihan Hak Atas Tanah...15

1. Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah...15

(8)

B. Eksistensi Tanah Kekaraengan Lonjo’boko Di Kabupaten Gowa ...55 C. Proses Peralihan Bekas Tanah Adat Kekaraengan Menjadi Tanah

Hak Milik Perorangan ...58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...74 DAFTAR PUSTAKA...76

(9)
(10)

menyebabkan manusia berpacu untuk menguasai dan memiliki tanah. Tidak hanya bagi manusia secara individu tetapi juga bagi suatu lembaga/badan pemerintah maupun swasta apabila terkait dengan kegiatan pembangunan fisik dan prasarana yang dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti jalan, jembatan, sekolah, perindustrian, gedung-gedung perkantoran, pertambangan, kehutanan, kepariwisataan, serta sarana umum lainnya.

Berdasarkan aspek sosial budaya dari tanah harus dilihat dari sudut pandang bahwa sumber hukum agraria Indonesia adalah hukum adat. Dalam pandangan masyarakat adat, tanah bukan sekedar permukaan bumi, tetapi juga merupakan bagian menyeluruh dari kehidupan yang tentunya dalam penggunaannya dan pemanfaatannya seringkali menimbulkan permasalahan-permasalahan diantara masyarakat adat itu sendiri, bahkan dalam masyarakat adat dengan individu/lembaga, non-adat, baik pemerintah maupun swasta.

Menurut hukum adat, tanah merupakan masalah yang sangat penting.

Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dije- laskan di atas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanan di mana mereka dimakamkan dan terjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungan beserta arwah leluhurnya. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dahulu. Tanah telah memegang peran vital dalam

(11)

atau hak publik yang mengatur dan menetapkan masalah luas daerah dan batas-batas kekuasaannya. Kedua, adalah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat.2

Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya pengaruh- pengaruh asing terhadap tatanan kehidupan masyarakat adat, penguasaan atas tanah di Nusantara juga mulai berubah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Tampil Anshari Siregar, sebagai berikut :

“Menurut konsep hukum adat awalnya semua tanah adalah milik Raja yang kemudian yang kepada rakyat diberi hak menggunakan atau memakainya. Tetapi selanjutnya hal itu mengalami perubahan sejalan dengan masuknya hukum-hukum lain lewat penjajahan kolonial dan masuknya agama yang nilai-nilainya diterima oleh hukum adat sehingga kebebasan para anggota masyarakat untuk membuka dan mempergunakan tanah tersebut semakin bebas.”3

Sehubungan dengan itu hak menguasi negara dan hak penguasaan tanah menurut hukum adat perlu mendapatkan legalisasi atau pengesahan, sehingga hak-hak atas tanah yang timbul atas dasar hak menguasi negara dan hak masyarakat adat, yang diberikan kepada warga Negara dan badan hukum Indonesia dalam bentuk hak milik, hak guna usaha, hak guna

2 Soeprijadi, 1996, Reorganisasi Tanah Serta Keresahan Petani dan Bangsawan di Surakarta 1911- 1940, Yogyakarta, Tesis, Universitas Gadjah Mada, hlm. 1-2

3 Tampil Anshari Siregar, 2011, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bagan, Medan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hlm. 11

(12)

perorangan oleh UUPA4, misalnya tanah Bengkok. Wewenang Negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat dengan hubungan hukum antara negara dengan tanah. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya serta pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum tersebut.5

Hak yang diakui masyarakat adat ini merupakan hak pakai tanah oleh perorangan namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka pada anggota masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat adat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama dengan semua anggota komunal tersebut.6 Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh siapapun. Oleh karena itu sangat tidak tepat jika melihat hubungan negara

4 Boedi Harsono, 2008, HukumAgraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Jakarta, Djambatan. Hlm.271 5 Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Yogyakarta, Citra Media, hlm.6

6 Soerojo Wignjodipoero, Op.cit.,hlm. 201-202

(13)

Lonjo’boko telah menjadi Hak Milik dan beberapa dijadikan Hak Guna Bangunan. Tanah ini juga diperuntukkan sebagai tanah Bengkok, dimana tanah dijadikan sebagai pengganti gaji bagi Kepala Desa setempat. Akan tetapi karena tidak adanya kesadaran masyarakat akan proses hukum dan belum ada Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur pada saat itu, sehingga tanah-tanah tersebut dapat berpindah tangan kepada pihak lain tanpa melalui proses hukum. Permasalahan lainnya juga muncul pada saat tanah-tanah adat Kekaraengan Lonjo’boko dibagi-bagikan oleh Raja kepada masyarakat untuk digarap hingga akhirnya timbul pemahaman tentang penguasaan tanah secara fisik selama 20 tahun atau lebih, maka tanah garapan otomatis menjadi hak milik. Surat keterangan garapan yang merupakan salah satu keterangan fisik atas tanah yang berperan dalam membuktikan hak seseorang atas tanah, bahkan pemilik surat keterangan garapan cenderung menganggap bahwa surat tersebut mempunyai kekuatan yang sebanding dengan sertifikat. Hal-hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian untuk melihat bagaimana tanah-tanah yang tadinya tanah jabatan/tanah yang melekat karena gelar sekarang telah menjadi milik perorangan yang semestinya merupakan milik atau aset bagi Desa Lonjo’boko.

Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian mengenai lebih lanjut dengan mengangkat kedalam sebuah skripsi dengan judul : “ASPEK

(14)

B. Rumusan Masalah

1.Bagaimanakah eksistensi tanah adat Kekaraengan di Kabupaten Gowa?

2.Bagaimanakah proses peralihan bekas tanah adat Kekaraengan menjadi tanah hak milik perorangan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui eksistensi serta historis tanah adat Kekaraengan di Kabupaten Gowa.

2. Untuk mengetahui proses peralihan bekas tanah adat Kekaraengan menjadi Hak Milik Perorangan.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Akademis/ Teoritis

Diharapkan penulisan ini dapat memberikan masukan atau konstribusi secara teoritis bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teutama dalam disiplin ilmu hukum keperdataan

2. Secara Praktis

Diharapkan penulisan ini dapat memberikan masukan bagi para pihak yang terkait dengan masalah/kasus yang diteliti dalam penulisan skripsi ini. Terutama bagi pengurusan peralihan tanah bekas adat menjadi tanah hak milik perorangan.

(15)

Sedang pengertian Agraria dalam arti sempit diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu permukaan bumi yang disebut tanah.8 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti urusan pertanian atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agrarian atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian.9

Berangkat dari pengertian agraria menurut UUPA tersebut, maka pengertian Hukum Agraria juga dapat dibagi menjadi hukum agraria dalam pengertian yang luas dan hukum agraria dalam arti sempit:

a) Pengertian hukum agraria secara luas adalah sekelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang meliputi:

1) Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi;

2) Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;

3) Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan bahan- bahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan;

4) Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung didalam air;

8 Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta, Prestasi Pustakaraya, hlm. 2-3

9 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Jakarta, Djambatan, hlm.5

(16)

jual beli, tukar-menukar, hibah, hak atas tanah sebagai jaminan hutang (hak tanggungan), pewarisan.

b) Hukum Agraria Administrasi, adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktik hukum Negara dan mengambil tindakan dari masalah-masalah agraria yang timbul. Contoh: pendaftaran tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak atas tanah.12

Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5 perangkat hukum, yaitu:

a) Hukum Agraria Adat, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah adat atau tanah Indonesia. Hukum Agraria Adat terdapat dalam hukum adat tentang tanah dan air yang bersifat intern, yang memberikan pengaturan bagi sebagian terbesar tanah di Negara. Hukum Agraria Adat diberlakukan bagi tanah tanah yang tunduk pada hukum adat, misalnya tanah hak ulayat, tanh milik perseorangan yang tunduk pada hukum adat.

b) Hukum Agraria Barat, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang

12 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komperhensif, Jakarta, Kencana, hlm.7

(17)

Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut setelah Negara Indonesia merdeka, atas dasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan masih berlaku selama belum diadakan yang baru.13

B. Peralihan Hak Atas Tanah

1. Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah

Peralihan hak atas tanah adalah berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yang baru. Ada 2 (dua) cara peralihan hak atas tanah, yaitu beralih dan dialihkan. Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain karena suatu peristiwa hukum. Contoh peristiwa hukum adalah meninggal dunianya seseorang. Dengan meninggal dunianya pemegang hak atas tanah, maka hak atas tanah secara yuridis berpindah kepada ahli waris sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat sebagai subjek hak dari objek hak atas tanah yang diwariskan.

Dialihkan artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum. Contohnya yaitu jual beli, hibah, tukar-menukar, pemasukan dalam modal

13 Ibid, hlm.8

(18)

a) Hak Milik

Menurut ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi :

Pasal 20

(1) Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6

(2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut yang hampur sama dengan kewenangan Negara(sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini, meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan hak eigendom atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memberikan kewenangan yang paling luas kepada pemiliknya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA yang menyatakan “Semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial”.16

b) Hak Guna Usaha

16 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2008, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, hlm.29-30

(19)

Pasal 35

(1) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan janga waktu paling lama 30 tahun.

(2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

(3) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Dapat diketahui bahwa yang dinamakan dengan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu selama 30 tahun. Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Ini berarti seorang pemegang Hak Guna Bangunan adalah berbeda dari pemegang Hak Milik atas bidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Atau dalam konotasi yang lebih umum, pemegang Hak Guna Bangunan bukanlah pemegang hak milik dari tanah di mana bangunan tersebut didirikan.18

d) Hak Pakai

Hak atas tanah berikutnya yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah Hak Pakai. Rumusan umum mengenai Hak

18Ibid, hlm.189-190

(20)

tanah tersebut, dalam UUPA ditentukan bahwa perjanjian tersebut haruslah bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.19

e) Hak Sewa

Pasal 44

(1) seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

Hak sewa sebagaimana dikatakan di atas, dalam penjelasan pasal tersebut diterangkan bahwa “oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus maka disebut tersendiri.”

“Sifat-sifat khusus” yang dimaksud adalah adanya kewajiban penyewa membayar uang sewa kepada pemilik tanah, yang dilakukan satu kali atau pada tiap tiap waktu, baik sebelum maupun sesudah tanah yang disewa itu dipergunakan.

Hak sewa yang dimaksud oleh pasal tersebut adalah “untuk keperluan bangunan”, yakni tanah tersebut disewa dengan maksud di atas tanah tersebut untuk didirikan bangunan.

Apabila tanah yang disewa itu dimaksudkan untuk pertanian, maka hal itu menjadi lain, lalu menjadi suatu “hak yang bersifat sementara”.

Waktu penggunaan hak sewa terbatas dan tidak dapat dijadikan

19 Ibid, hlm. 245-246

(21)

Dalam penjelasan pasal 46 di atas antara lain dikatakan bahwa hak hak ini perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan orang atau masyarakat umum yang lebih luas daripada kepentingan orang atau masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Yang dapat mempunyai hak untuk membuka tanah dan memungut hasil hutan hanyalah warga Negara Indonesia, selain itu juga persyaratan mengenai izin terutama izin dari kepala adat/desa dalam hal tanah yang akan dibuka itu tidak luas, tidak lebih dari 2 hektar. Jika lebih maka diperlukan izin dari Bupati/Kepala Agraria Daerah. Sedangkan jika lebih dari 5 hektar harus memiliki izin dari Menteri Dalam Negeri/Direktur Jenderal Agraria.21

g) Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara

Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA. Macam-macam haknya disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, yang meliputi:

1. Hak Gadai (Gadai Tanah)

2. Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)

3. Hak Menumpang

21Ibid, hlm. 47-48

(22)

(pajak bumi) bukanlah pendaftaran hak akan tetapi hanya untuk pemungutan pajak bumi (Fiscal Kadaster).

Tanah-tanah Indonesia ada yang berstatus sebagai hak-hak asli adat dan ada yang berstatus ciptaan pemerintah contohnya tanah agraris eigendom. Tanah-tanah Indonesia tunduk pada hukum agraria adat sepanjang tidak diadakan ketentuan khusus untuk hak-hak tertentu.24

2. Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat

a. Hak persekutuan

Hak atas tanah yang ada lebih dahulu adalah hak persekutuan, karena awalnya manusia hidup nomaden dengan berkelompok secara melingkar dalam suatu wilayah pengembaraan, maka pada saat itu:

1. Semua anggota kelompok merasa berhak terhadap semua bidang tanah dalam wilayah pengembaraan

2. Semua anggota merasa berhak untuk memungut hasil dari semua bidang tanah dalam wilayah pengembaraan

3. Hak persorangan belum ada, baru muncul setelah masyarakat mulai menetap, sehingga hak perseorangan tetumpang di atas hak persekutuan, seperti hak sewa yang tetumpang di atas hak milik

24 R. Subekti, 1975, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Alumni, hlm.54

(23)

3. Sifat Hukum Adat

Berbeda dengan hukum yang berbentuk Undang-Undang yang lebih statis, maka hukum adat lebih bersifat dinamis.

Menurut Soepomo, hukum adat berkembang terus-menerus sepanjang waktu seperti hidup itu sendiri. Van Vollehhoven mengatakan bahwa hukum adat pada waktu yang lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukan perkembangan. Beliau juga mengatakan bahwa hukum adat berkembang dan maju terus, keputusan-keputusan adat melahirkan hukum adat.25

4. Macam-macam Tanah Adat Tanah adat terdiri dari:

a) Tanah Ulayat

Tanah ulayat menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) / Kepala Badan Pertanahan Nasional (Ka.BPN) No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

Tanah ulayat adalah tanah hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat. Tanah bersama tersebut merupakan pemberian dari kekuatan gaib, tidak dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan/kekuatan daya upaya masyarakat adat

25 Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, Yogyakarta,LaksBang PRESSindo, hlm. 48

(24)

persekutuan berhak untuk membuka tanah, mengerjakan tanah secara terus-menerus dan menanam pohon diatas tanah tersebut sehingga ia memperoleh hak milik atas tanah. Hak milik ini hanya sampai masa 2 tahun panen. Hak milik artinya bahwa warga berhak sepenuhnya atas tanah, tapi ia wajib menghormati hak ulayat desanya, kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah dan peraturan-peraturan adat lainnya. Apabila tanah tersebut ditinggalkan atau tidak diurus oleh yang berkepentingan maka tanah tersebut akan dikuasai kembali oleh hak ulayat.

c) Tanah Gogol

Tanah Gogol adalah tanah desa yang dikuasai dengan maksud untuk digarap oleh orang-orang tertentu berdasarkan hak gogolan yang didapatkannya. Sedangkan Hak Gogolan yaitu hak seorang gogol atas apa yang dalam perundang-undangan Agraria dalam jamnan Hindia Belanda dahulu disebut Komunal Desa.27

5. Pengertian Masyarakat Hukum Adat

Pada dasarnya masyarakat itu yang mewujudkan hukm adat dan masyarakat pula yang merupakan tempat berlakunya hukum adat.

Dengan demikian, suatu pergaulan yang sama hanya akan terjadi apabila adanya suatu kontinuitas hubungan dengan pola berulang dan tetap. Hal

27 Ali Achmad Chomzah, Op.Cit, hlm. 119

(25)

itu, pembatasan-pembatasan terhadap hukum adat yang disebutkan dalam pasal 5 UUPA, yakni:

a) Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa.

b) Hukum adat tidak boleh bertantangan dengan sosisalisme Indonesia.

c) Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam UUPA

d) Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundangan lainnya.

e) Hukum adat harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Namun demikian, terdapat pandangan oleh para cendikia bahwa dalam hukum agrarian yang berlaku di Negara kita terdapat semacam dualisme, dimana hukum adat dan lembaga-lembaga hukum adat yang dinilai sebagai suatu yang berhadapan dengan hukum agraria.

Padahal jika secara konsekuen menerapkan pasal 5 UUPA tersebut hal itu adalah tidak perlu ada, sebab hal ini akan menimbulkan kesan akan adanya hak milik menurut UUPA dan hak milik menurut hukum adat. Hal ini adalah merupakan kenyataan yang banyak dihadapi dalam masyarakat di daerah-daerah dimana biasanya tanah milik adat

(26)

6. Bekas Tanah Adat

Tanah milik adat adalah hak atas tanah yang lahir berdasarkan proses adat setempat, misalnya hak ganggam bauntuak di Sumatera Barat, Hak Yasan, Andarbeni, Grant Sultan di Jawa, dll. Tanah-tanah bekas adat ini merupakan tanah yang pada umumnya belum bersertifikat, contohnya tanah girik, petok D. rincik, ketitir, dll. Selain tanah bekas hak milik adat, masih terdapat beberapa jenis tanah lainnya, yaitu: tanah garapan, tanah verdedaal (milik tuan tanah), tanah hak sewa jaman belanda, serta tanah-tanah verponding lainnya.

Berbeda dengan tanah girik yang merupakan tanah bekas hak milik adat, tanah-tanah hak barat seperti Verponding Indonesia, Eigendom Verponding, erfpacht, opstaal, vruchtgebruik, dll.

Peralihan hak atas tanah bekas milik adat tersebut biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, dimana semula bisa berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi-bagi atau dipecah pecah menjadi beberapa bidang tanah yang lebih kecil. Peralihan hak tersebut biasanya dilakukan di hadapan Lurah atau kepala desa.

Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusuri kepemilikannya.

Sasaran pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik asal tanah adat adalah tanah-tanah dengan status hak milik

(27)

dan sosialisme Indonesia. Dengan demikian, hukum tanah adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kemepemilikan secara autentik atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis.31 Adapun tanah adat terdiri dari 2 jenis, yaitu:

1) Hukum Tanah Adat Masa Lampau

Hukum tanah adat masa lampau ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti kepemilikan serta autentik maupun tertulis. Jadi hanya berupa pengakuan. Ciri-ciri tanah adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun-temurun masih berada di lokasi daerah tersebut dan atau mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan symbol-simbol berupa makam, patung, rumah-rumah adat, dan bahasa daerah yang ada di Indonesia.

2) Hukum Tanah Adat Masa Kini

31 B.F. Sihombing, 2004, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta, Gunung Agung, hlm. 55

(28)

pengadilan, hibah, akta peralihan, surat dibawah tangan, dan lain- lain.32

D. Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat dan UUPA

1. Pengertian Hak Milik

Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.

Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus.

Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.

32 Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 10-14

(29)

(genotrecht) hasil-hasil dari tanah yang dibukanya selama satu masa panen. Selain dengan jalan membuka tanah, hukum adat juga mengenal cara-cara lain untuk timbulnya hak milik.33

Belakangan, Indonesia membuat suatu peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan (UUPA 1960). Undang- Undang tersebut diciptakan untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan nasional. Setelah berlakunya UUPA, syarat-syarat mengenai timbulnya hak milik atas menurut hukum adat telah disubordinasikan melalui peraturan pemerintah seperti disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUPA bahwa :“Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Dengan demikian, pada kenyataannya terjadinya hak milik tersebut bukan lagi menurut hukum adat melainkan menurut peraturan pemerintah.

Ketentuan lainnya yang secara tegas mengatur hak milik menurut hukum adat disebutkan dalam pasal 56 UUPA yang menyatakan bahwa :

“Selama undang-undang mengenai hak milik…. Belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini”.

33Otje Salman Soemadinigrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemorer, Bandung, PT.

Alumni, hlm. 164-165

(30)

atas tanah diatur dalam pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 111 dan pasal 112 Peraturan Mentri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

b) Dialihkan/Pemindahan Hak

Dialihkan/Pemindahan Hak artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilknya kepada pihak lain dikarenakan ada suatu perbuatan hukum. Contoh perbuatan hukum yaitu jual bel, tukar menukar, hibah, penyertaan(pemasukan) dalam modal perusahaan, lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah karena dialihkan/pemindahan hak harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat pembuat akta tanah(PPAT) kecuali lelang dibuktikan dengan berita acara lelang atau risalah lelang yang dibuat oleh pejabat dari kantor lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah ini harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertfifikat dari pemilik tanah yang lama kepada pemilik tanah yang baru. Prosedur pemindahan hak milik atas tanah karena jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan(pemasukan) dalam modal perusahaan dalam pasal 37 sampai dengan pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, Pasal 97 sampai dengan pasal 106 PerMen Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Prosedur pemindahan

(31)

bank yang didirikan oleh Negara (Bank Negara), Koperasi Pertanian, badan keagamaan, dan badan sosial. Menurut pasal 8 ayat (1) PerMen Agraria/Kepala BPN No.9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik adalah bank pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah. Bagi pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak milik atas tanah, maka dalam waktu 1 tahun harus melepaskan atau mengalihkan hak milik atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila hal ini tidak dilakukan maka tanahnya hapus karena hukum dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara (pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA).34

5. Terjadinya Hak Milik

a) Lahirnya hak milik atas tanah menurut hukum adat

Lahirnya hak milik hak atas tanah mulai karena adanya hubungan dan kedudukan orang dalam persekutuan hidup atau masyarakat adat (rechtsgemeenschappen). Artinya orang yang bukan warga persekutuan tidak berhak menjadi pemilik tanah atau melakukan hubungan hukum melepaskan hak tanah atau menyerahkan tanah kepada orang asing atau mereka bukan anggota warga persekutuan hukum, sesuai dengan ketentuan hukum adat setempat.

34 Urip Santoso, Op,cit., hlm. 92-95

(32)

Dalam kepemilikan hak atas tanah tidak akan terlepas dari hubungan antara orang yang secara terus menurus terjadi transaksi- transaksi antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lainnya. Didalam masyarakat persekutuan hukum adat secara turun–

temurun berlaku hubungan transaksi tersebut sebagaimana terlihat jelas misalnya dalam jual beli tanah. Tentunya berdasarkan tatakrama suatu persekutuan hukum adat dengan macam-macam bentuk transaksi hak atas tanah dalam hukum adat.35

b) Lahirnya hak milik atas tanah menurut UUPA

Hak milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagaimana yang disebutkan dalam 22 UUPA, yaitu:

1) Hak Milik yang terjadi menurut Hukum Adat

Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan) atau terjaid karena timbunya lidah tanah (aanslibbing). Yang dimaksud dengan pembukaan tanah adalah pembukaan tanah(pembukaan hutan) yang dilakukan secara bersama- sama dengan masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh ketua adat melalui tiga sistem penggarapan yaitu matok sirah matok galeng, matok sirah gilir galeng dan sistem bluburan. Yang dimaksud dengan lidah tanah (aanslibbing) adalah pertumbuhan tanah di tepi sungai,

35 Suriyaman Mustari Pide, 2009, Hukum Adat Dulu, Kini, dan Akan Datang, Makassar, Pelita Pustaka, hlm. 143-145

(33)

Pertanahan Nasional RI. Apabila semua persyaratan yang telah ditentukan dipenuhi oleh pemohon, maka kepala BPN RI atau pejabat dari BPN RI yang diberi pelimpahan kewenangan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH ini wajib didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupate/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat hak milik sebagai tanda bukti hak. Pendaftaran SKPH menandai lahirnya hak milik atas tanah.

Pejabat BPN yang berwenang menerbitkan SKPH diatur dalam pasal 3 dan pasal 7 PerMen Aagraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 tentang Perlimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. PerMen Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh peraturan kepala BPN No. 1 tahun 2011 tentang Perlimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. Prosedur dan persyaratan terjadinya hak milik atas tanah melalui pemberian hak diatur dalam pasal 8 sampai dengan pasal 16 PerMen Agraria/Kepala BPN No.9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

3) Hak Milik Atas Tanah Terjadi Karena Ketentuan Undang-Undang

(34)

a) Secara Originair

Terjadinya hak milik atas tanah untuk pertama kalinya menurut hukum adat, penetapan pemerintah dan karena undang-undang.

b) Secara Derivatif

Suatu subjek hukum memperoleh tanah dari subjek hukum lain yang semua sudah berstatus tanah hak milik misalnya jual-beli, tukar- menukar, hibah, pewarisan. Dengan terjadinya perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut maka hak milik atas tanah yang sudah ada beralih atau berpindah dari subjek hukum yang satu kepada subjek hukum yang lain.36

E. Tinjauan Umum tentang Tanah Kekaraengan Lonjo’boko

Tanah Kekaraengan atau tanah Pangganreang merupakan istilah dalam masyarakat Gowa yang artinya adalah tanah yang diperuntukkan bagi seorang yang dianggap sebagai pamong desa/kepala desa yang dapat memimpin suatu desa atau disebut dengan Karaengta’. Tanah tersebut digunakan sebagai pengganti gaji. Mereka mempunyai hak untuk memperoleh penghasilan dari atas tanah yang diberikan oleh desa untuk memelihara kehidupan keluarganya dengan cara mengerjakan hasilnya dan menggunakan hasil tanah itu karena jabatannya, dan jika dilain waktu yang bersangkutan sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala desa, maka

36Urip Santoso, Op.Cit., hlm.95-98

(35)

lembaga pemerintah yang ingin mengambil alih tanah mereka merupakan perampasan terhadap hak-hak mereka yang diwariskan secara turun- temurun sehingga tanah yang ada dan dianggap sebagai tanah suku harus selalu dipertahankan. Masalah baru juga muncul ketika pemahaman masyarakat yang belum tepat berkenaan tanda bukti kepemilikan atas tanahnya.

(36)

dari instansi yang berkaitan serta situs-situs yang memuat dan membahas materi yang berkaitan dengan penelitian ini.

C. Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini populasinya adalah daerah bekas tanah adat Lonjo’boko, di Kecamatan Sombaopu Kabupaten Gowa, yakni Kelurahan Pandang-Pandang, Kelurahan Kalegowa, dan Kelurahan Tamarunang.

Adapun sampel yang dipilih berdasarkan purposive sampling, yaitu dengan menentukan sampel sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk itu sampel yang dipilih sebagai responden adalah Kepala Kelurahan Pandang-Pandang, mantan Kepala Lingkungan Kelurahan Kalegowa, Sejarawan, pihak BPN Kabupaten Gowa dan Pemangku Adat Kerajaan Gowa.

D. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Teknik Wawancara yaitu mengumpulkan data secara langsung melalui Tanya jawab berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan melakukan wawancara secara tidak terstuktur untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan terkait dengan penelitian ini.

2) Teknik studi dokumen yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mempergunakan dokumen-dokumen, catatan-catatan, laporan-

(37)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Keadaan Geografis

Geografis Kabupaten Gowa berada pada 12°88.18’ Bujur Timur dari Jakarta dan 5°33.8’ Bujur Timur dari Kutub Utara. Sedangkan letak wilayah administrasinya antara 12°88.19’ hingga 13°15.17’ Bujur Timur dan 5°5 hingga 5°34.7’ Lintang Selatan dari Jakarta.

Kabupaten yang berada pada bagian selatan provinsi Sulawesi Selatan ini berbatasan dengan 7 Kabupaten/kota lain, yaitu di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Di sebelah Utara berbatasan dengan Makassar dan Kabupaten Maros. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan Jeneponto sedangkan di bagian Barat berbatasan dengan Kota Makassar dan Takalar.

Luas Kabupaten Gowa adalah 1.883.33 km2 atau sama dengan 3.01% dari luas wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah Kabupaten Gowa terbagi dalam 18 Kecamatan dengan jumlah Desa/kelurahan defenitif sebanyak 167 dan 726 Dusun/lingkungan wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar berupa daratan tinggi berbukit-bukit, yaitu sekitar 72,25% yang meliputi 9 kecamatan yakni kecamatan Parangloe, Mamuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan,

(38)

dikembangkan direkomendasikan sebagai kawasan budidaya umum utamanya pertanian tanaman pangan semusim dan perkembangan wawasan non pertanian seperti pemukiman, perkantoran dan perdangan.

Sedangkan sebagian besar daerah yang agak leluasa lainnya dan daerah yang kurang leluasa untuk dikembangkan merupakan daerah yang direkomendasikan sebagai kawasan budidaya terbatas umumnya pertanian (termasuk hutan).

B. Eksistensi Tanah Kekaraengan Lonjo’boko di Kabupaten Gowa

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan mewawancarai salah satu toko Sejarawaran Gowa yang bernama bapak Andi Amrullah Syam mengenai keberadaan tanah Kekaraengan Lonjo’boko di Kabupaten Gowa37. Bahwa tanah Kekaraengan Lonjo’boko merupakan tanah adat yang sangat diakui keberadaan dan eksistensinya sebagai tanah adat di Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa adalah sebuah kerajaan tradisional yang pernah besar di Nusantara. Sejarah terbentuknya Kerajaan Gowa diperkirakan terbentuk disekitar abad ke-13.

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa sebelum kehadiran “Tumanurung”

Ri Butta Gowa, Gowa adalah sekumpulan kerajaan kecil yang tergabung

dan menyatakan berkongsi atau bersekutu dibawah pengawasan

“Paccalayya”. Paccalayya sendiri adalah ketua dewan hakim tertinggi

37Andi Amirullah Syam, Wawancara, Kabupaten Gowa, 3 Maret 2017

(39)

masyarakat adat pada saat itu memiliki mata pencaharian sebagai petani, sehingga tanah Lonjo’boko inilah yang menjadi tempat untuk memenuhi kehidupan mereka. Tanah ini ada yang dibagi-bagikan dan ada juga yang di garap langsung oleh bawahan raja. Pembagian tanah adat Lonjo’boko pun hanya melalui surat keterangan rincik.

H. Fatahuddin Dg.Boko, selaku mantan pegawai IPEDA (Inspeksi Perpajakan Daerah) di Kabupaten Gowa menyatakan bahwa status tanah Lonjo’boko dikenal dengan sebutan Sawah Hoks (SH) dan Sawah Ornamen (SO). Keduanya berasal dari istilah belanda. Sawah Ornamen (SO) diperuntukkan sebagai percontohan bagi sawah-sawah lain sedangkan Sawah Hoks (SH) diperuntukkan untuk jabatan atau kepala desa. Namun pada tahun 1959, Sawah Ornamen diambil alih oleh pihak Kodam melalui SK Bupati. Tanah Lonjo’boko masih benar-benar utuh pada masa pemerintahan bupati pertama yaitu Andi Idjo Karaeng Laloang (1957-1960) lalu berlanjut ke bupati kedua, Andi Tau (1960-1967). Dan pada akhirnya dibagi-bagikan oleh bupati ketiga, yakni K.S. Mas’ud (1967- 1976).38

Menurut Bapak Ir. H. Abdul Razak Tate yaitu ketua adat Batesalapang, Tanah Lonjo’boko ini sebelum dibagi-bagikan masih dibebaskan dari pajak, namun setelah dibagi-bagikan, barulah tanah tersebut dikenakan pajak bumi dan bangunan (PBB). Wilayah tanah lonjo’boko saat ini telah banyak dibanguni perkantoran, perumahan,

38 H. Fatahuddin Dg. Boko, Wawancara, Kabupaten Gowa, 15 Maret 2017

(40)

Sertivikasi tanah girik masih tidak dilakukan oleh masyarakat karena minimnya pengetahuan mengenai proses konversi. Padahal seharusnya menurut UU No. 5 Tahun 1960 atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) seluruh tanah yang belum memiliki sertifikat (termasuk juga tanah girik) harus didaftarkan konversi haknya ke negara melalui Kantor Pertanahan. Dalam praktik jenis tanah hak inilah yang paling banyak terjadi di lapangan. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, dimana semula bisa berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi bagi atau dipecah pecah menjadi beberapa bidang tanah yang lebih kecil. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan di hadapan Lurah atau kepala Desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada surat surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusuri kepemilikannya. Adapun syarat-syarat untuk mensertifikatkan tanah bekas adat dalam bentuk tanah Girik adalah:

1. Pengurusan surat-surat di Kantor Kelurahan atau Kantor Desa.

a. Surat Keterangan Tidak Sengketa, surat ini ditandatangani oleh Lurah atau Kepala Desa setempat dan dihadiri oleh saksi-saksi yang biasanya adalah pejabat RT dan RW setempat, atau pada daerah yang tidak ada RT/RW akan dihadiri oleh tokoh adat setempat.

(41)

b. Setelah berkas permohonan lengkap, petugas Pertanahan akan melakukan pengukuran ke lokasi dengan bantuan pemohon atau kuasanya untuk menunjukkan batas-batas kekuasaan atas tanah tersebut. Pengukuran ini harus disertai dengan surat tugas

pengukuran dari Kepala Kantor Pertanahan

c. Penerbitan Surat Ukur, surat yang berisi hasil pengukuran lokasi yang telah dicetak dan dipetakan di BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan disahkan oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pemetaan

d. Penelitian oleh petugas Panitia A yang terdiri dari petugas BPN, Lurah atau Kepala Desa setempat

e. Sesuai dengan Pasal 26 PP No. 24 Tahun 1997, selama 60 (enam puluh) hari, data yuridis akan diumumkan di Kelurahan dan BPN

f. Terbitnya SK (Surat Keputusan) Kepala Kantor Pertanahan tentang pemberian hak atas tanah, pada tahap ini, hak tanah girik telah berubah menjadi sertifikat. SK Hak ini akan menjalani proses sertifikasi pada bagian Sub Seksi Pendaftaran Hak dan Informasi (PHI) setelah poin (g) dipenuhi

g. Pembayaran BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah) yang wajib dilakukan karena sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(42)

b. Keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh panitia ajudikasi, dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik dianggap cukup untuk mendaftarkan hak, pemegang hak, dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.41

Adapun permohonan tersebut harus disertai bukti kepemilikan/dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan. Alat-alat bukti yang dimaksudkan tersebut dapat berupa:

1. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie yang telah dibubuhi cacatan, bahwa hak

eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik;

2. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie sejak berlakunya UUPA sampai tanggal

pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan;

3. Surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan;

4. Sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959;

5. Sertifikat hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk

41 PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 1 Angka 11, Pasal 13-32

(43)

Pada ayat (2) ditentukan, dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran tanah dengan syarat:

a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dipercaya.

b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat dana tau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain.

Yang dimaksud dengan iktikad baik dalam pengertian ini ialah Iktikad baik di waktu membuat sesuatu perjanjian berarti kejujuran, orang- orang yang beriktikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan suatu yang buruk yang di kemudian hari akan menimbulkan kesulitan- kesulitan.43

Penjelasan Pasal 24 Ayat (2) tersebut:

Ketentuan ini memberi jalan keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud ayat (1)

43 Hutabarat, Samuel M.P., 2010, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian,Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm. 45

(44)

sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik.44

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut bukan hanya memberikan solusi bagi para pemilik tanah yang tidak memiliki bukti, tetapi secara eksplisit mewajibkan kepada para pemegang hak atas tanah untuk secara nyata dan pasti melakukan penguasaan, pengelolaan atau memanfaatkan tanahnya sesuai dengan hak yang diberikan oleh Negara.

Berbeda lagi dengan masyarakat yang bermohon diterbitkan surat keterangan garapan, dengan bukti keterangan saksi maka kepala desa akan menertibkan surat keterangan garapan. Surat keterangan garapan yang diterbitkan oleh kepala desa merupakan bukti kepemilikan yang sah dan diakui, ini menjadi salah satu alasan sehingga pemilik surat keterangan garapan merasa tidak perlu untuk menerbitkan sertifikat hak milik atau mendaftarkan tanahnya pada Kantor Pertanahan. Tanah garapan yang dimaksud adalah tanah yang belum memiliki atau dilekati suatu hak atau sertifikat sebagai tanda bukti hak. Tanah garapan semacam ini status subjek penggarapannya secara hukum belum memiliki legalitas dari Pemerintah Kabupaten Gowa, penggarap hanya mempunyai dasar penguasaan secara turun-temurun dari orang tuanya dan hanya mendapat pengakuan dari masyarakat setempat.

44 Ibid

(45)

tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi “bekas tanah ulayat”.46

Status tanah ulayat dapat dijadikan sebagai hak milik perorangan apabila status tanah ulayat tersebut sudah menjadi “tanah negara”. Tanah bekas adat merupakan tanah yang tidak dihaki lagi oleh masyarakat hukum adat, untuk itu berdasarkan UUPA tanah tersebut secara otomatis dikuasai langsung oleh negara. Dalam praktik administrasi digunakan sebutan tanah negara. Tanah negara itulah yang dapat dialihkan menjadi hak milik perseorangan.47

Tanah Ulayat dapat diubah statusnya menjadi hak milik perseorangan apabila tanah tersebut sudah menjadi tanah negara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tata cara peralihan hak atas tanah negara menjadi hak milik diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 (Permenag/KBPN No. 9 Tahun 1999). Menurut Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 11 Permenag/KBPN No. 9 Tahun 1999, Permohonan Hak Milik atas tanah negara diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang

46 Ibid.

47 Ibid.

(46)

3. Lain – lain:

a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;

b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Selain itu, permohonan hak milik tersebut juga diikuti dengan lampiran sesuai pasal 10 Permenag/KBPN No. 9 Tahun 1999 yakni sebagai berikut:49

1. Mengenai pemohon:

a. Jika perorangan: foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia.

b. Jika badan hukum: fotocopy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundan-undangan yang berlaku.

2. Mengenai tanahnya:

a. Data yuridis, dalam hal ini sertifikat, girik atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

b. Data fisik (apabila ada) surat ukur, gambar situasi dan IMB;

c. Surat lain yang dianggap perlu.

3. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah- tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon.

49 Ibid.

(47)

khususnya di daerah perkotaan Kabupaten Gowa, kebanyakan didirikan oleh PT atau Developer yang tidak mungkin berupa hak milik. Jika ada perseorangan yang memiliki sertifikat hak milik, kebanyakan telah dijual kepada Developer, sehingga haknya juga harus diubah menjadi hak guna bangunan. Jika berupa perkantoran, haknya pun hanya berupa hak pakai, baik oleh instansi maupun pemerintahan.51

Untuk saat ini, tanah bekas milik adat sudah tidak dikenal lagi dengan sebutan tersebut, tetapi dikenal dengan tanah bekas milik Indonesia.

Tanah negara yang dikuasai secara fisik selama kurang lebih 20 tahun, bisa dibuatkan sertifikat dengan syarat adanya unsur iktikad baik, surat keterangan rincik maupun keterangan garapan yang dengannya bisa di tingkatkan menjadi sertifikat. Adapun tanah hak milik adalah tanah yang melekat dan jika pemiliknya meninggal maka diberikan kepada ahli waris dan seterusnya. Sehingga tanah hak milik menjadi tanah yang diwariskan secara turun temurun. Jika tanah negara digarap, maka penggarap hanya memiliki hak garap dan harus memiliki surat keterangan garapan yang dapat diperoleh dari pemerintah setempat sehingga haknya diberikan langsung oleh Kantor Pertanahan. Berbeda juga dengan surat rincik, apabila seseorang ini membuatkan sertifikat tanahnya yang hanya

51 Ibid

(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Tanah adat Kekaraengan Lonjo’boko merupakan tanah bekas adat yang dahulunya digunakan oleh masyarakat Kerajaan Gowa untuk melakukan ritual adat sehingga pada akhirnya tanah tersebut dibagi-bagikan kepada masyarakat atau kepala desa sebagai pengganti gaji. Tanah tersebut akhirnya dikelola oleh masyarakat sekitar secara turun-temurun yang selanjutnya oleh pejabat setempat dibuatkan surat keterangan garap atau surat keterangan rincik yang bisa menjadi dasar dalam permohonan penertiban pendaftaran tanah untuk pertama kali guna memperoleh sertifikat sebagai bukti hak atas tanah untuk memberikan kepastian hukum.

2. Beralihnya tanah bekas adat Kekaraengan Lonjo’boko di Kabupaten Gowa bermula pada saat pergantian sistem pemerintahan menjadi ekswapraja dimana tanah-tanah yang merupakan tanah adat, baik yang digarap maupun yang diberikan kepada kepala desa beralih statusnya menjadi tanah milik negara terutama tanah yang tidak memiliki hak diatasnya. Sehingga Tanah bekas adat dapat diubah statusnya menjadi hak milik perseorangan apabila tanah tersebut

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Ali Achmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid 1.

Jakarta: Prestasi Pustaka Raya.

Aminuddin Salle Dkk. 2011. Hukum Agraria. Makassar: AS Publishing.

B.F. Sihombing. 2004. Evolusi Kebijakan Pertanahan dan Hukum Tanah Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung.

Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Penjelasannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Jakarta: Djambatan.

Dominikus Rato. 2009.Pengantar Hukum Adat. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Farida Patittingi. 2012.Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa. Vol. 20 Nomor 3.

K Wantjik Saleh. 1977. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2008. Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta:

Kencana.

Maria S.W Sumardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Muhammad Bakri. 2007.Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria). Yogyakarta: Citra Media.

Muhammad Ilham Arisaputra.2011.Status Kepemilikan dan Fungsi Tanah dalam Persekutuan Hidup Masyarakat Adat. Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa Vol. 19 Nomor 4.

Oloan Sitorus. 2004. Perbandingan Hukum Tanah. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

Otje Salman Soemadinigrat. 2002. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer.Bandung: PT. Alumni.

R. Subekti. 1975. Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Alumni.

Samuel M.P Hutabarat. 2010. Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indoesia.

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga miskin dari kalangan muslim yang tidak mampu mengakses pendidikan di sekolah umum mejatuhkan pilihan ke pesantren karena adanya kecenderungan keterbukaan dunia

Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah pada Pasal 83, Angka 1, Huruf d, yang.

Menurut Suyanto (1999) dalam Dwiyono (2004), pakan yang akan digunakan untuk pembesaran ikan lele ini relatif mudah didapat karena beberapa perusahan pakan telah

dan mereka itu tidak nampak yang ia adalah satu gerakan atau pertubuhan

"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan,

Berdasarkan analisis ekonomi terhadap sumber daya yang tersedia di kawasan kajian, maka didapati bahawa jumlah nilai ekonomi sumber daya alam pulau kecil di Kecamatan

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Laswad et al, (2005), Serrano, et al (2008) dan Rahman, et al (2013) dimana dalam penelitiannya

baiknya, dan atas perhatian serta kerjasama yang baik kami ucapkan terima kasih.. Tembusan