• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY INTELLIGENCE DAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PENSIUNAN

F. X. Lanang Waskito

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan. Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan positif antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan. Peneliti menarik asumsi bahwasemakin tinggi adversity intelligence pada pensiunan maka akan semakin tinggi kesejahteraan psikologis, begitupula sebaliknya semakin rendah adversity intelligence maka akan semakin rendah kesejahteraan psikologis pada pensiunan. Subjek pada penelitian ini adalah pensiunan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua alat ukur, yaitu skala adversity intelligence dan skala kesejahteraan psikologis. Skala adversity intelligence menggunakan 33 aitem dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,904. Skala kesejahteraan psikologis menggunakan 59 aitem dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,949. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,646 dengan signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis. Selain itu, hasil tersebut juga menunjukkan bahwa hipotesis awal penelitian ini diterima yaitu ada hubungan positif antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan.

Kata kunci : adversity intelligence, kesejahteraan psikologis

(2)

ii

THE RELATIONSHIP BETWEEN ADVERSITY INTELLIGENCE AND PSYCHOLOGICAL WELLBEING ON RETIRED

F. X. Lanang Waskito

ABSTRACT

This study aims to examine whether there is a relationship between the adversity intelligence and psychological wellbeing of retirees. The hypothesis is that there is a positive relationship between the adversity intelligence and psychological wellbeing of retirees. Researcher draw the assumption that the higher the adversity intelligence at retirees, the higher the psychological wellbeing, nor vice versa the lower the adversity intelligence the lower the psychological wellbeing at retirees. Subjects in this study is retiree. Data collection tool used in this study consisted of two measuring instruments, the scale adversity intelligence and psychological wellbeing scale. Adversity intelligence scale uses 33 aitem with reliability coefficient is 0.904. Psychological wellbeing scale using 59 aitem with reliability coefficient is 0.949. Based on the analysis of data obtained by the correlation coefficient is 0.646 with a significance is 0.000. This indicates that there is a positive and significant relationship between the adversity intelligence and psychological wellbeing. In addition, these results also indicate that the initial hypothesis of this study accepted that there is a positive relationship between the adversity intelligence and psychological wellbeing of retirees.

Keywords: adversity intelligence, psychological wellbeing

(3)

i

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY INTELLIGENCE DAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PENSIUNAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: F. X. Lanang Waskito

NIM : 079114096

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2014

(4)

ii

(5)

iii

(6)

iv mOTTO

Sukses itu bukan dinilai dari banyaknya pencapaian

yang bisa diraih, namun dari berapa kali kamu mampu

bangkit dari setiap kegagalan untuk mencapai sebuah

kesuksesan

(7)

v

PERSEMBAHAN

Semua hasil kerja keras ini aku persembahkan untuk ;

Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan

melindungiku

Kedua orang tuaku yang selalu mendukung

Saudara-saudaraku

Sahabat-sahabatku

Para pensiunan

Dan semua orang yang memberikan dukungan dan

bantuannya kepada aku

(8)

vi

(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY INTELLIGENCE DAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PENSIUNAN

F. X. Lanang Waskito

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan. Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan positif antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan. Peneliti menarik asumsi bahwasemakin tinggi adversity intelligence pada pensiunan maka akan semakin tinggi kesejahteraan psikologis, begitupula sebaliknya semakin rendah adversity intelligence maka akan semakin rendah kesejahteraan psikologis pada pensiunan. Subjek pada penelitian ini adalah pensiunan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua alat ukur, yaitu skala adversity intelligence dan skala kesejahteraan psikologis. Skala adversity intelligence menggunakan 33 aitem dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,904. Skala kesejahteraan psikologis menggunakan 59 aitem dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,949. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,646 dengan signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis. Selain itu, hasil tersebut juga menunjukkan bahwa hipotesis awal penelitian ini diterima yaitu ada hubungan positif antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan.

Kata kunci : adversity intelligence, kesejahteraan psikologis

(10)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN ADVERSITY INTELLIGENCE AND PSYCHOLOGICAL WELLBEING ON RETIRED

F. X. Lanang Waskito

ABSTRACT

This study aims to examine whether there is a relationship between the adversity intelligence and psychological wellbeing of retirees. The hypothesis is that there is a positive relationship between the adversity intelligence and psychological wellbeing of retirees. Researcher draw the assumption that the higher the adversity intelligence at retirees, the higher the psychological wellbeing, nor vice versa the lower the adversity intelligence the lower the psychological wellbeing at retirees. Subjects in this study is retiree. Data collection tool used in this study consisted of two measuring instruments, the scale adversity intelligence and psychological wellbeing scale. Adversity intelligence scale uses 33 aitem with reliability coefficient is 0.904. Psychological wellbeing scale using 59 aitem with reliability coefficient is 0.949. Based on the analysis of data obtained by the correlation coefficient is 0.646 with a significance is 0.000. This indicates that there is a positive and significant relationship between the adversity intelligence and psychological wellbeing. In addition, these results also indicate that the initial hypothesis of this study accepted that there is a positive relationship between the adversity intelligence and psychological wellbeing of retirees.

Keywords: adversity intelligence, psychological wellbeing

(11)

ix

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa atas bimbingan dan penyertaanNya selama ini sehingga penulisan skripsi yang berjudul “hubungan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan” ini

dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahaan hati peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak C. Siswa Widyatmoko M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah mendukung dalam penulisan skripsi ini. 2. Ibu Ratri Sunar Astuti S.Psi., M.Si. selaku Kepala Program Studi Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah sabar membantu, mendukung, dan mengarahkan selama proses penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membantu, membimbing, dan mengarahkan selama proses penyusunan skripsi ini, hingga pada akhirnya skripsi ini dapat selesai.

4. Bapak V. Didik Suryo Hartoko M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah sabar membantu, mendukung, dan mengarahkan selama proses penyusunan skripsi ini.

(13)

xi

5. Ibu Ratri Sunar Astuti S.Psi., M.Si. dan ibu Debri Pristinella, M.Si. selaku dosen penguji yang telah membantu memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang selama ini telah memberikan ilmu dan pengetahuannya selama penulis menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

7. Seluruh karyawan Fakutas Psikologi (Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Pak Gie, Bu Nanik) yang telah membantu sehingga proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

8. Kedua orang tuaku, Bapak P.V. Joko Nugroho dan Ibu E. Sri Budiarti yang selalu memberikan doa, dukungan, masukkan, pengertian, serta kesabarannya, sehingga skripsi ini dapat selesai.

9. Kakak-kakakku Antonia Widyasmara dan Monicho Aji Baio, serta adikku Alm. Antonius Bayu Aji yang selalu membantu, memberikan semangat, dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman satu payung dalam penelitian ini (Sheela), serta teman-teman satu bimbingan yang selalu membantu dan memberikan semangat sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

11. Sahabat-sahabatku di Fakultas Psikologi (Clara, Ngatini, Nandra, Nana lombok, Hellen, Petra, Cicil, Sheela, Yani, bang Novian, Riko, Arya, Adel, Dodi, Reno) terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini dan untuk semua dukungan, serta semangat yang kalian berikan.

(14)

xii

12. Rekan-rekan P2TKP (Pak Toni, Mba Tia, Mba Diana, dll) terima kasih untuk dukungannya.

13. Sahabat-sahabatku di MBC, AMT, dan MGT (Alex dan Baruna) terimakasih untuk dukungan, doa, dan kebersamaannya.

14. Segenap pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas bantuan, doa, serta dukungannya selama ini.

Penulis

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

(16)

xiv

D. Manfaat Penelitian ... 11

1. Manfaat Teoritis ...11

2. Manfaat Praktis ... 11

BAB II : LANDASAN TEORI ... 13

A. Pensiun ... 13

1. Definisi Pensiun ... 13

2. Fase-fase Pensiun ... 16

3. Penyebab Pensiun ... 20

4. Perubahan-perubahan Akibat Pensiun ... 23

B. Lansia ... 26

1. Definisi Lansia ... 26

2. Karakteristik Lanjut Usia ... 27

3. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Akhir ... 28

C. Kesejahteraan Psikologis ... 28

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis ... 28

2. Aspek-aspek Kesejahteraan Psikologis ... 31

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ... 35

4. Kesejahteraan Psikologis pada Pensiunan ... 38

D. Adversity Intelligence ... 41

1. Pengertian Adversity Intelligence ... 41

2. Dimensi Adversity Intelligence ... 42

3. Adversity Intelligence pada Pensiunan ... 45

(17)

xv

E. Dinamika Adversity Intelligence dan Kesejahteraan Psikologis ... 46

F. Hipotesis ... 50

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 51

A. Jenis Penelitian ... 51

B. Variabel Penelitian ... 51

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 51

1. Kesejahteraan Psikologis ... 51

2. Adversity Intelligence ... 54

D. Subjek Penelitian ... 55

E. Sampling ... 55

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data... 56

G. Kredibilitas Alat Ukur... 62

1. Estimasi Validitas ... 62

2. Seleksi Aitem... 63

3. Estimasi Reliabilitas ... 64

4. Hasil Uji Coba Alat Penelitian ... 64

H. Metode Analisis Data ... 66

1. Uji Asumsi ... 66

2. Uji Hipotesis ... 67

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68

A. Pelaksanaan Penelitian ... 68

B. Data Demografis Subjek Penelitian ... 68

(18)

xvi

C. Uji Asumsi ... 70

1. Uji Normalitas ... 70

2. Uji Linearitas ... 71

D. Hasil Penelitian ... 72

1. Uji Hipotesis ... 72

2. Uji Tambahan ... 73

E. Pembahasan ... 74

BABV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 79

1. Bagi Peneliti ... 79

2. Bagi Pensiunan ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

LAMPIRAN ... 83

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Spesifikasi Aitem-aitem Skala Kesejahteraan Psikologis ... 58

Tabel 2 Skor Jawaban Subjek pada Skala Kesejahteraan Psikologis ... 59

Tabel 3 Spesifikasi Aitem-aitem Skala Adversity Intelligence ... 61

Tabel 4 Skor Jawaban Subjek pada Skala Adversity Intelligence ... 61

Tabel 5 Spesifikasi Aitem-aitem Skala Kesejahteraan Psikologis setelah Uji Coba ... 65

Tabel 6 Spesifikasi Aitem-aitem Skala Adversity Intelligence setelah Uji Coba ... 66

Tabel 7 Data Demografi Subjek Penelitian ... 69

Table 8 Hasil Uji Normalitas ... 70

Table 9 Hasil Uji Linearitas ... 71

Table 10 Hasil Uji Hipotesis ... 72

Table 11 Data Teoritis dan Empiris ... 73

(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Skala ... 84

Lampiran 2 : Hasil Analisis Aitem dan Reliabilitas ... 91

Lampiran 3 : Hasil Uji Asumsi ... 99

Lampiran 4 : Hasil Uji Hipotesis dan Tambahan ... 102

(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Memiliki kebahagiaan dalam hidup merupakan dambaan setiap orang. Menurut Aristoteles di dunia ini terdapat dua jenis kebahagiaan, yaitu kebahagiaan hedonic dan kebahagiaan eudaimonic. Kebahagiaan hedonic ialah kebahagiaan yang sekedar memberikan rasa senang, sedangkan kebahagiaan

eudaimonic ialah saat seseorang merasa potensi hidupnya telah berjalan secara maksimal. Kebahagiaan eudaimonic menurut Aristoteles adalah kebahagiaan yang tidak kosong atau yang hilang setelah sumber kebahagiaan itu sudah tak terlihat mata atau tak terasa oleh indera perasa. Kebahagiaan eudaimonic lebih bersifat kejiwaan, sehingga lebih membuat jiwa seseorang sejahtera. Tiga orang peneliti dari Amerika Serikat, yaitu Michael Steger, Todd Kashdan, dan Shigehiro Oishi membuktikan perkataan Aristoteles tersebut. Mereka menemukan bahwa dalam hidup, orang akan menemukan kebahagiaan hedonic atau kebahagiaan

eudaimonic. Hanya kebahagiaan eudaimonic yang berhubungan dengan kesejahteraan jiwa (psychological well-being). Mereka menemukan bahwa setelah menjalani kebahagian eudaimonic, orang merasa hidupnya lebih memuaskan, merasa bahwa hidupnya lebih memiliki arti, dan merasakan emosi yang lebih positif (Ramadion, 2009).

Kesejahteraan psikologis sendiri merupakan suatu gambaran kualitas kehidupan dan kesehatan mental yang dimiliki seseorang. Snyder dan Lopez

(22)

2

(dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis bukan hanya merupakan ketiadaan penderitaan, namun kesejahteraan psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan dalam hidup, dan hubungan seseorang pada obyek ataupun orang lain. Berdasarkan hal tersebut, kesejahteraan psikologis mengarahkan individu yang sehat (secara psikologis) untuk mengontrol secara sadar kehidupannya, bertanggung jawab terhadap keadaan diri, serta mengenali diri. Ryff dan Singer (dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008) menyimpulkan bahwa gambaran dari orang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik adalah mampu merealisasikan potensi dirinya secara berkesinambungan, mampu menerima diri apa adanya, mampu menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian, memiliki arti hidup, serta mampu mengontrol lingkungan.

Semua orang menginginkan agar hidupnya tidak saja sejahtera secara ekonomi dan fisik, namun juga secara psikologis. Kesejahteraan psikologis dapat menjadikan gambaran mengenai level tertinggi dari fungsi individu sebagai manusia dan apa yang diidam-idamkannya sebagai makhluk yang memiliki tujuan dan akan berjuang untuk tujuan hidupnya (Snyder and Lopez dalam Handayani, 2010). Individu yang merasa sejahtera akan mampu memperluas persepsinya di masa mendatang dan mampu membentuk dirinya sendiri (Fredrickson dalam Handayani, 2010). Adanya perasaan sejahtera dalam diri akan membuat individu untuk mampu bertahan serta memaknai kesulitan yang dialami sebagai pengalaman hidupnya.

(23)

3

Berbagai macam cara dilakukan seseorang untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Salah satu cara yang ditempuh untuk mencapai kesejahteraan hidup itu ialah dengan bekerja. Ada orang yang bekerja untuk mencari uang, ada yang bekerja untuk mengisi waktu luang, ada juga yang bekerja untuk mencari identitas, dan sebagainya. Bila ditelusuri lebih jauh lagi, sebuah pekerjaan lebih berkaitan dengan kebutuhan psikologis seseorang dan bukan hanya berkaitan dengan kebutuhan materi semata. Secara materi, seseorang dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya dengan bekerja. Secara psikologis, bekerja bertujuan untuk memenuhi rasa identitas, status, atau pun fungsi sosialnya (Steers and Porter dalam Eliana, 2003).

Seiring dengan berjalannya waktu, kondisi fisik manusia untuk bekerja ada batasannya. Semakin tua, kondisi fisik seseorang semakin menurun. Beriringan dengan hal itu, produktivitas kerjanya pun akan menurun. Selanjutnya seseorang akan diminta untuk berhenti bekerja, yang awamnya dikenal dengan istilah pensiun. Secara umum, arti kata pensiun adalah seseorang yang sudah tidak bekerja lagi karena usianya sudah lanjut dan harus diberhentikan. Seseorang yang pensiun biasa mendapat uang pensiun atau pesangon. Jika mendapat pensiun, maka ia tetap mendapatkan semacam gaji sampai meninggal dunia (Agustina dalam Surbakti, 2008).

Masa pensiun ini dapat menimbulkan masalah karena tidak semua orang siap menghadapinya. Pensiun akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, selain itu akan memutuskan rantai sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah

(24)

4

menghilangkan identitas seseorang yang sudah melekat begitu lama (Warr dalam Eliana, 2003). Tidak heran masa pensiun ini menimbulkan masalah psikologis baru bagi yang menjalaninya, karena banyak dari mereka yang tidak siap menghadapi masa ini.

Ketidaksiapan menghadapi masa pensiun pada umumnya timbul karena adanya kekhawatiran tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Perubahan yang diakibatkan oleh masa pensiun ini memerlukan penyesuaian diri. Atchley (dalam Eliana, 2003) mengatakan bahwa proses penyesuaian diri yang paling sulit adalah pada masa pensiun.

Pada umumnya usia pensiun di Indonesia berkisar antara usia 55 hingga 60 tahun, namun semua itu tergantung dari instansi yang menaunginya. Jika suatu instansi masih tetap membutuhkan individu yang bersangkutan, maka pensiun akan diperpanjang (Satria dan Fakhrurrozi, 2009). Sedangkan di negara Barat usia pensiun adalah berkisar 65 tahun. Pada usia 65 tahun, secara psikologi perkembangan seseorang memasuki usia manula atau dewasa akhir (late adulthood). Keadaan ini cukup berlainan dengan situasi di Indonesia dimana seseorang sudah termasuk pensiun pada tahapan dewasa menengah (middle adulthood). Masa dewasa menengah ini masih dapat dikatakan cukup produktif. Meskipun kekuatan fisik maupun kekuatan mental seseorang pada masa ini mulai menurun, namun pada masa inilah seseorang mulai mencapai prestasi puncak baik itu karir, pendidikan dan hubungan interpersonal. Sebagai orang tua, pada umumnya mereka harus bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anak yang mulai berangkat remaja, bahkan ada yang sudah berkeluarga. Dapat dipahami

(25)

5

bahwa pada masa ini sebetulnya masa yang penuh tantangan khususnya untuk pensiunan di Indonesia. Terlebih jika pensiunan yang masih harus membiayai kuliah anak-anak mereka, padahal dengan status pensiun keadaan keuangan mulai menurun. Tidak heran jika hal ini bisa menimbulkan konsekuensi psikologis tertentu; disatu pihak mereka masih mampu bekerja tapi dipihak lain harus berhenti bekerja karena peraturan perusahaan.

Jika kita meninjau siklus dunia pekerjaan dari sudut psikologi perkembangan maka kita harus peka dengan istilah turning points (titik balik) ataupun crisis point (titik krisis). Masa ini ditandai dengan adanya suatu periode dimana ada saat untuk melakukan proses penyesuaian diri kembali dan juga melakukan proses sosialisasi kembali sejalan dengan tuntutan dari pekerjaan yang baru. Pensiun dapat dikatakan masa titik balik karena masa ini adalah masa peralihan dari seseorang memasuki dewasa akhir atau manula. Pensiun juga merupakan titik krisis karena terjadi akibat ketidakmampuan seeorang untuk mencari pekerjaan atau merupakan langkah akhir dalam perjalanan karir seseorang.

Ditinjau dari sudut pandang psikologis, pensiun menyebabkan seseorang akan mempertanyakan kembali “Siapa diriku?”. Hal ini dikenal dengan istilah konsep diri, atau self concept. Menurut Sullivan dalam Wrightsman 1993 (dalam Eliana, 2003) konsep diri adalah bagaimana kita melihat diri kita sebagaimana orang lain melihat kita. Prinsipnya adalah penilaian yang direfleksikan kembali atau reflected appraisal. Konsep diri merupakan hal yang penting artinya dalam kehidupan seseorang, karena konsep diri menentukan bagaimana seseorang

(26)

6

bertindak dalam berbagai situasi. Jika kita memahami konsep diri seseorang kita akan mampu memahami tindakan dan juga dapat meramalkan tingkah lakunya dikemudian hari. Konsep diri berkatian dengan kesehatan mental seseorang (Biren, 1980). Dengan kata lain jika konsep diri seseorang positif maka hal ini akan mempengaruhi kesehatan mentalnya juga.

Hurlock (dalam Eliana, 2003) mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai konsep diri positif adalah jika ia berhasil mengembangkan sifat-sifat percaya diri, harga diri dan mampu melihat dirinya secara realistik. Dengan adanya sifat–sifat seperti ini orang tersebut akan mampu berhubungan dengan orang lain secara akurat dan hal ini akan mengarah pada penyesuaian diri yang baik di lingkungan sosial. Orang yang mempunyai konsep diri negatif sebaliknya akan merasa rendah diri, inadekuat, kurang percaya diri. Diprediksi bahwa orang yang mempunyai konsep diri negatif akan mengalami hambatan dalam proses penyesuaian dirinya dilingkungan baru.

Masa pensiun bisa mempengaruhi konsep diri, karena pensiun menyebabkan seseorang kehilangan peran (role), identitas dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi harga diri mereka Turner (dalam Eliana, 2003). Pensiun akan menyebabkan seseorang kehilangan perannya dalam masyarakat yang selanjutnya mempengaruhi statusnya dan pada akhirnya bisa mempengaruhi konsep diri menjadi negatif. Selain itu, mereka juga kehilangan prestise, kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga diri akan berubah juga karena kehilangan peran Eyde (dalam Eliana, 2003). Akibat psikologis dari hal ini adalah nantinya akan mempengaruhi kesehatan mental seseorang, dan juga proses penyesuaian

(27)

7

dirinya. Sedangkan akibat dari fisik adalah bisa menimbulkan gangguan penyakit yang dikenal dengan istilah retirement syndrome.

Menurut Turner & Helms (dalam Handayani, 2008) hilangnya harga diri karena hilangnya jabatan, membuat individu merasa kehilangan perasaan memiliki dan atau dimiliki, artinya dengan jabatan pula individu merasa menjadi bagian penting dari institusi. Dengan jabatan pula individu merasa lebih yakin atas dirinya, karena mendapat pengakuan atas kemampuannya. Selain itu, individu tersebut merasa puas akan kepemilikan kekuasaan yang terkait dengan jabatan yang diemban. Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa individu yang masih bekerja memiliki derajat self-esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sudah tidak bekerja lagi. Individu yang pensiun akan mengalami penurunan harga diri yang meliputi kehilangan perasaan diterima, diakui dan dihargai oleh keluarga, masyarakat, dan rekan sekerja. Selain itu juga muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu lagi melakukan segala sesuatu seperti pekerjaanya yang membuat tampak tidak berguna dan dibutuhkan lagi.

Bengston (dalam Eliana, 2003) mengemukakan bahwa harga diri seorang pria biasanya dipengaruhi oleh pensiunnya mereka dari pekerjaan. Untuk mempertahankan harga dirinya, harus ada aktivitas pengganti untuk meraih kembali keberadaan dirinya. Dalam hal ini berkurangnya harga diri dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti feeling of belonging (perasaan memiliki), feeling of competence (perasaan mampu), dan feelling of worthwhile (perasaan berharga). Ketiga hal yang disebutkan di atas sangat mempengaruhi harga diri seseorang dalam lingkungan pekerjaan.

(28)

8

Begitu pentingnya konsep diri dalam menentukan perilaku seseorang di lingkungannya sehingga diharapkan seseorang dapat mempunyai penilaian yang positif mengenai dirinya. Evaluasi terhadap diri berkaitan dengan harga diri, orang yang mempunyai penilaian positif mengenai dirinya akan mempunyai harga diri yang tinggi, sebaliknya orang yang mempunyai penilaian yang negatif mengenai dirinya akan mempunyai harga diri yang negatif Deaux (dalam Eliana, 2003).

Konsep diri yang positif akan memungkinkan seseorang untuk bisa bertahap menghadapi masalah yang mungkin saja muncul. Selain itu akan membawa dampak positif pula pada orang lain disekitarnya. Sebaliknya konsep diri yang negatif adalah merupakan penilaian yang negatif mengenai diri sendiri. Efek dari konsep diri yang negatif ini akan mempengaruhi baik itu hubungan interpersonal maupun fungsi mental lainnya. Benner (dalam Eliana, 2003). Konsep diri yang sehat akan mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Orang akan mampu coping terhadap perubahan dan peristiwa yang menekan jika mempunyai konsep diri yang sehat (dalam Eliana, 2003).

Menurut Ryff dan Singer (dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008) kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, kelas sosial, dan latar belakang budaya. Ryff (dalam Putri dan Suryadi, 2007) juga mengatakan bahwa individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. Selain itu, Hoyer dan Roodin menambahkan bahwa kemampuan mengontrol diri, otonomi, tingkat aktivitas dan istirahat dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis (dalam Putri dan Suryadi, 2007).

(29)

9

Terkait dengan kemampuan mengontrol diri, ada wacana baru yang mengungkap suatu kemampuan individu dalam menghadapi masalah sehingga individu tersebut dapat menghadapi masalah tersebut dengan baik. Kemampuan ini oleh Paul G. Stoltz (2000) dinyatakan dengan adversity intelligence. Menurut Paul G. Stoltz adversity intelligence memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengadapi kegagalan, kondisi-kondisi sulit, dan tekanan. Dengan adversity intelligence, seseorang tidak hanya dapat menghadapi kondisi sulit dan kegagalan namun juga dapat mengubahnya menjadi peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar.

Adversity intelligence sendiri merupakan derajat kemampuan seseorang dalam bertahan dan menanggulangi situasi yang dianggapnya sebagai masalah. Satu proses yang dimulai dari persepsi seseorang terhadap sebuah situasi yang menentukan tindakan orang itu dalam menghadapi situasi tersebut. Tindakan ini akan menjadi pola reaksi dari individu yang mana pola ini dapat berubah dan diubah. Selanjutnya adversity intelligence (AQ) akan berinteraksi dengan kecerdasan umum (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) sehingga memungkinan individu mampu menghadapi rintangan hidup. Surekha (dalam Wijaya, 2007) menambahkan bahwa adversity adalah kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola–pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.

Mereka yang berada dalam masa pensiun tentunya ingin menikmati semua hasil jerih payah mereka selama bekerja, dengan hidup bahagia dan sejahtera.

(30)

10

Pada kenyataannya tidak semua individu yang mengalami permasalahan dalam masa pensiun mampu mengatasi masalahnya tersebut untuk mencapai kesejahteraan secara psikologis. Beberapa dari mereka cenderung pesimis dengan kemampuan diri mereka dimasa pensiun dan menganggap diri mereka tidak mampu. Akan tetapi ada juga dari mereka yang optimis dan mampu untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi, sehingga dapat meraih kesejahteraan secara psikologis. Seligman (dalam Stoltz, 2000) menyatakan perbedaan individu yang pesimis dan optimis sebagai perbandingan seseorang yang memiliki

adversity intelligence yang tinggi atau rendah. Permasalahan yang terjadi pada mereka yang menjalani masa pensiun tentunya dapat direduksi apabila mereka memiliki adversity intelligence yang tinggi. Hal ini dikarenakan masalah-masalah yang didapatkan dalam menjalani masa pensiunnya dapat dihadapi dengan baik, sehingga segala macam tujuan yang mereka cita-citakan untuk dapat menikmati masa pensiun dengan bahagia dan sejahtera secara psikologis pun dapat tercapai.

Dari berbagai uraian di atas dapat dilihat adanya hubungan yang erat antara adversity intelligence seseorang dalam mencapai kesejahteraan secara psikologis. Banyak penelitian sebelumnya tentang adversity intelligence pada remaja. Ada beberapa penelitian juga yang meneliti tentang kesejahteraan psikologis dalam bidang industri. Akan tetapi belum banyak penelitian yang menyoroti kemampuan individu dalam mencapai kesejahteraan psikologis dari segi internal pada para pensiunan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin meneliti tentang hubungan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan.

(31)

11

B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan signifikan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan?”

C.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah “Ingin mengetahui apakah ada hubungan signifikan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan”.

D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan, terkait dengan studi mengenai adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi individu yang berada pada masa pensiun, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi mengenai hubungan antara

adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan.

b. Bagi pihak terkait yaitu praktisi perkembangan dan orang-orang di sekitar individu yang berada pada masa pensiun, penelitian ini dapat memberikan

(32)

12

data deskriptif mengenai hubungan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan.

(33)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pensiun

1. Definisi Pensiun

Masa pensiun adalah masa dimana seseorang tidak lagi bekerja dan menerima uang tunjangan bulanan, sedangkan pensiunan adalah orang yang berada pada masa pensiun. Pensiun menghadirkan sebuah masa transisi di kehidupan orang dewasa, yaitu perubahan dari bekerja menjadi tidak bekerja. Usia pensiun yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1979 adalah 56 tahun untuk pegawai negeri sipil non edukatif dan 65 tahun untuk karyawan yang memangku jabatan ahli peneliti, guru besar, lektor kepala, serta jabatan-jabatan yang telah ditentukan oleh presiden (Harita, 2006).

Phyllis Moem (dalam Harita, 2006) mengartikan pensiun sebagai periode ketika seorang dewasa diberhentikan dari tanggung jawab pekerjaan. Ini adalah masa-masa perbandingan dimana pensiunan menjadi tidak memiliki peran sama sekali dan memiliki resiko pengalaman sebagai individu yang terisolasi dari lingkungan sosial dan dengan kesehatan yang tidak sempurna.

Pensiun dapat dipahami sebagai penghentian seseorang dari tanggung jawab pekerjaan dengan menerima uang tunjangan. Peristiwa pensiun tidak terjadi tanpa melibatkan perubahan-perubahan peran, kondisi

(34)

14

kesehatan, status, serta usaha individu dalam menyesuaikan diri pada fase perubahan dari bekerja menjadi tidak bekerja.

Parnes dan Nessel (dalam Eliana, 2003) mengatakan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana individu tersebut telah berhenti bekerja pada suatu pekerjaan yang biasa dilakukan. Batasan yang lebih jelas dan lengkap oleh Corsini (dalam Eliana, 2003) mengatakan bahwa pensiun adalah proses pemisahan seorang individu dari pekerjaannya, dimana dalam menjalankan perannya seseorang digaji. Dengan kata lain masa pensiun mempengaruhi aktivitas seseorang, dari situasi kerja ke situasi di luar pekerjaan.

Berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai suatu masa transisi ke pola hidup baru, ataupun merupakan akhir pola hidup (Schawrz dalam Eliana, 2003). Transisi ini meliputi perubahan peran dalam lingkungan sosial, perubahan minat, nilai dan perubahan dalam segenap aspek kehidupan seseorang. Jadi seseorang yang memasuki masa pensiun, bisa merubah arah hidupnya dengan mengerjakan aktivitas lain, tetapi bisa juga tidak mengerjakan aktivitas tertentu lagi.

Menurut Eliana (2003), di Indonesia seseorang dapat dikatakan memasuki masa pensiun bila :

a) Sekurang-kurangnya mencapai usia 50 tahun.

b) Telah diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri c) Memiliki masa kerja untuk pensiun ± 20 tahun.

(35)

15

Pada umumnya usia pensiun di Indonesia dimulai pada usia 55 tahun, sedangkan di negara Barat usia pensiun dimulai pada usia 65 tahun. Menurut Eliana (2003) pada usia 65 tahun secara psikologi, perkembangan seseorang memasuki usia manula atau dewasa akhir (late adulthood). Keadaan ini cukup berlainan dengan situasi di Indonesia dimana seseorang sudah termasuk pensiun pada tahapan dewasa menengah (middle adulthood). Masa dewasa menengah ini masih dapat dikatakan cukup produktif. Meskipun kekuatan fisik maupun kekuatan mental seseorang pada masa ini mulai menurun, namun pada masa inilah seseorang mulai mencapai prestasi puncak baik itu karir, pendidikan dan hubungan interpersonal. Sebagai orang tua, pada umumnya mereka harus bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anak yang mulai berangkat remaja, bahkan ada yang sudah berkeluarga. Dapat dipahami bahwa pada masa ini sebetulnya masa yang penuh tantangan khususnya untuk pensiunan di Indonesia. Terlebih jika pensiunan yang masih harus membiayai kuliah anak-anak mereka, padahal dengan status pensiun keadaan keuangan mulai menurun.

Eliana (2003) menegaskan bahwa, jika kita meninjau siklus dunia pekerjaan dari sudut psikologi perkembangan maka kita harus peka dengan istilah turning points (titik balik) ataupun crisis point (titik krisis). Masa ini ditandai dengan adanya suatu periode dimana ada saat untuk melakukan proses penyesuaian diri kembali dan juga melakukan proses sosialisasi kembali sejalan dengan tuntutan dari pekerjaan yang baru. Pensiun dapat

(36)

16

dikatakan masa titik balik karena masa ini adalah masa peralihan dari seseorang memasuki dewasa akhir atau lansia. Pensiun juga merupakan titik krisis karena terjadi akibat ketidakmampuan seseorang untuk mencari pekerjaan atau merupakan langkah akhir dalam perjalanan karir seseorang.

Dari berbagai pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana seseorang yang berada pada masa dewasa telah berhenti dari tanggung jawab pekerjaan yang biasa dilakukannya dan menerima uang tunjangan bulanan.

2. Fase-fase Pensiun

Seorang ahli gerontologi, Robert Atchley (Santrock, 2002) menggambarkan tujuh fase pensiun yang dilalui oleh orang-orang dewasa, yaitu :

a. Fase jauh (the remote phase)

Pada fase jauh, masa pensiun masih dipandang sebagai suatu masa yang jauh. Biasanya fase ini dimulai pada saat seseorang pertama kali mendapat pekerjaan dan masa ini berakhir ketika orang tersebut mulai mendekati masa pensiun. Hanya sedikit sekali pekerja yang memikirkan atau melakukan sesuatu untuk mempersiapkan fase pensiun. Seiring dengan pertambahan usia mereka yang memungkinkan pensiun, mereka mungkin menyangkal bahwa fase pensiun akan terjadi.

(37)

17

b. Fase mendekat (the near phase)

Pada fase mendekat, biasanya seseorang mulai sadar bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan hal ini membutuhkan penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa perusahaan yang mulai memberikan program persiapan masa pensiun. Para pekerja pun mulai berpartisipasi didalam program pra-pensiun tersebut. Program ini membantu pekerja memutuskan kapan dan bagaimana mereka seharusnya pensiun, dengan mengakrabkan mereka dengan keuntungan-keuntungan dan dana pensiun yang diharapkan akan dapat mereka terima, atau melibatkan mereka dalam diskusi mengenai isu-isu yang lebih komprehensif, seperti kesehatan fisik dan mental.

c. Fase bulan madu (the honeymoon phase)

Fase bulan madu merupakan fase terawal dari fase pensiun. Fase ini biasanya terjadi tidak lama setelah seseorang memasuki masa pensiun. Sesuai dengan istilah honeymoon (bulan madu), maka perasaan yang muncul ketika memasuki fase ini adalah perasaan gembira karena bebas dari pekerjaan dan rutinitas. Mereka dapat melakukan aktivitas yang tidak pernah dilakukan sebelumnya sewaktu masih bekerja dulu, dan dapat menikmati aktivitas-aktivitas waktu luang mereka. Biasanya mereka mulai mencari kegiatan pengganti, seperti mengembangkan hobi. Kegiatan ini pun tergantung pada kesehatan, keuangan, gaya hidup dan situasi keluarga. Lamanya fase ini tergantung pada kemampuan seseorang. Mereka yang selama masa kegiatan aktifnya bekerja dan gaya

(38)

18

hidupnya tidak bertumpu pada pekerjaan, biasanya akan mampu menyesuaikan diri dan mengembangkan kegiatan lain yang juga menyenangkan. Akan tetapi, mereka yang di-PHK, atau pensiun karena mereka marah terhadap pekerjaannya, atau karena sakit, mungkin tidak mengalami aspek-aspek positif dari fase bulan madu ini.

d. Fase kekecewaan (the disenchantment phase)

Pada fase ini seseorang mulai menyadari bahwa bayangan mereka saat pra-pensiun tentang fase pensiun ternyata tidak realistik. Setelah melewati fase bulan madu, seseorang seringkali jatuh dalam rutinitas. Jika rutinitas itu menyenangkan, penyesuaian terhadap fase pensiun biasanya sukses. Mereka yang gaya hidupnya tidak berkutat diseputar pekerjaannya sebelum pensiun, lebih mungkin menyesuaikan diri dengan fase pensiun dan dapat mengembangkan rutinitas yang menyenangkan daripada mereka yang tidak mengembangkan aktivitas-aktivitas di waktu luangnya selama tahun-tahun kerjanya.

e. Fase re-orientasi (reorientation phase)

Para pensiunan mencatat apa yang masih dimiliki, mengumpulkannya bersama-sama, dan mengembangkan alternatif-alternatif kehidupan yang lebih realistik. Pada fase ini seseorang mulai menjelajahi dan mengevaluasi jenis-jenis gaya hidup yang memungkinkan mereka menikmati kepuasan hidup.

(39)

19

f. Fase stabil (the stability phase)

Pada fase ini, seseorang telah memutuskan berdasarkan suatu kriteria tertentu untuk mengevaluasi pilihan-pilihan pada fase pensiun dan bagaimana mereka akan menjalani salah satu pilihan yang telah dibuat. Bagi beberapa orang, fase ini mengikuti fase bulan madu, tetapi bagi lainnya, perubahannya lambat dan lebih sulit.

g. Fase akhir (the termination phase)

Pada fase ini, peranan fase pensiun digantikan oleh peran sebagai pesakitan atau peran tergantung, karena seseorang tidak dapat berfungsi secara mandiri lagi dan mencukupi kebutuhannya sendiri. Biasanya pada fase pensiun ini individu mengalami penurunan fungsi kesehatan.

Jadi fase-fase pensiun yang akan dialami oleh setiap orang meliputi fase pra-pensiun (preretirement phase) yang terdiri dari fase jauh (the remote phase) dan fase mendekat (the near phase). Selanjutnya adalah fase pensiun (retirement phase) yang terdiri dari fase bulanmadu (the honeymoon phase), fase kekecewaan (the disenchantment phase), fase re-orientasi

(reorientation phase), fase stabil (the stability phase). Fase pasca masa pensiun (End of Retirement Role) adalah yang terakhir, yang terdiri atas fase akhir (the termination phase).

(40)

20

3. Penyebab Pensiun

Menurut Tarigan (2009), ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang mengalami pensiun, antara lain:

a. Sudah mencapai usia pensiun

Tipe pensiun seperti ini dapat dijumpai pada pegawai pemerintah (seperti PNS dan TNI), sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian Republik Indonesia. Seorang pegawai akan pensiun bila umurnya sudah mencapai usia 56 tahun. Secara umum, semua pegawai pemerintah akan pensiun pada umur 56 tahun. Pensiun pegawai pemerintah yang menduduki jabatan esselon dua dan esselon satu dapat diperpanjang sampai usia 60 tahun. Di Departemen Pendidikan, serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, masa pensiun pegawai juga bisa mencapai umur 60 tahun, bahkan ada pula yang pensiun pada umur 70 tahun. Di perusahaan swasta, para pegawainya umumnya pensiun pada usia 55 tahun dan ada pula yang mencapai usia 60 tahun sesuai kebutuhan perusahaan yang bersangkutan.

b. Diberhentikan dengan tidak hormat

Seseorang juga dapat pensiun dari pekerjaannya karena dipecat atau diberhentikan dengan tidak hormat. Pada umumnya, seseorang akan diberhentikan dengan tidak hormat apabila ia melanggar sumpah jabatan atau peraturan pada tempat ia bekerja, seperti korupsi, membocorkan rahasia, dan tindakan kriminal. Seseorang juga dapat dipecat atau

(41)

21

diberhentikan dengan tidak hormat, apabila ia sudah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Orang-orang yang ikut terlibat dalam kegiatan penyelewengan ideologi negara atau yang menentang negara dan pemerintah juga dapat dipecat dari pekerjaannya. Orang-orang yang dipecat atau diberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaannya tidak mendapat hak pensiunan. Tentu saja, hal tersebut bisa terjadi pada setiap pegawai dan tidak tergantung umur.

c. Pemutusan hubungan kerja (PHK)

Pemutusan hubungan kerja (PHK) biasanya terjadi dikarenakan sebuah perusahaan sedang jatuh pailit. Hal ini menyebabkan perusahaan harus mem-PHK pegawainya agar perusahaan tersebut dapat berjalan kembali. Para pekerja yang mendapat PHK akan diberi kompensasi sesuai aturan yang berlaku.

d. Pensiun dini

Beberapa perusahaan, seperti perusahaan swasta, BUMN, dan BUMD kadang-kadang memberlakukan pensiun dini bagi karyawannya. Mereka diberi pilihan untuk pensiun dini dan diberi kompensasi atau bonus sejumlah uang. Mereka yang pensiun dini pada umumnya belum mencapai usia pensiun.

(42)

22

e. Sakit yang berkepanjangan

Pegawai atau pekerja yang menderita sakit dalam waktu yang cukup lama tentu tidak dapat ditolerir oleh institusi tempatnya bekerja karena sudah tidak produktif dan dapat merugikan institusi tersebut, atau bahakan dapat memperburuk kondisi kesehatannya sendiri. Ia bisa dipensiunkan kalau ada surat keterangan dokter yang secara resmi menyatakan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh seperti semula, misalnya stroke yang disertai dengan kelumpuhan, gagal ginjal dan harus cuci darah secara rutin, serta penyakit lain yang kronis.

f. Permintaan sendiri

Pegawai yang pensiun atas permintaan sendiri juga dapat terjadi, walaupun sangat jarang terjadi, terlebih jika pegawai yang bersangkutan mempunyai jabatan yang tinggi. Seorang pegawai dengan jabatan tinggi pada umumnya tidak menginginkan pensiun atas permintaan sendiri. Biasanya, orang tersebut akan mempertahankan jabatannya agar tetap dapat menjabat sampai mencapai umur pensiun, bahkan jika memungkinkan, jabatannya diperpanjang. Pegawai yang pensiun dengan permintaan sendiri akan diberhentikan dengan hormat dan tetap mendapatkan hak sebagaimana mestinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

g. Penyederhanaan organisasi

Apabila terjadi penyederhanaan organisasi yang selanjutnya berdampak pada kelebihan pegawai, maka kelebihan pegawai tersebut

(43)

23

akan dipensiunkan dan diberi haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai yang bersangkutan juga akan diberhentikan dengan hormat.

h. Tidak cakap secara jasmani atau rohani

Pegawai yang tidak cakap secara jasmani atau rohani berdasarkan keterangan dari majelis penguji kesehatan atau dokter penguji tersendiri akan dipensiunkan dengan hormat dan mendapat hak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

i. Sesuai dengan masa jabatan yang diemban

Bagi pejabat negara, seperti presiden, wakil presiden, ketua MPR dan anggota, ketua DPR dan anggota, menteri kabinet, gubernur, bupati, walikota, atau ketua DPRD dan anggota akan pensiun berdasarkan masa jabatan yang diembannya, biasanya setiap 5 tahun. Jika pada pemilihan selanjutnya mereka tidak terpilih maka orang yang bersangkutan akan pensiun dari jabatannya tersebut. Dalam hal ini, pejabat negara tidak ada batas umur pensiun seperti PNS.

4. Perubahan-perubahan Akibat Pensiun

Menurut Turner dan Helms (dalam Eliana, 2003) ada beberapa hal yang mengalami perubahan dan menuntut penyesuaian diri yang baik ketika menghadapi masa pensiun:

(44)

24

a. Masalah Keuangan

Pendapat keluarga akan menurun drastis, hal ini akan mempengaruhi kegiatan rumah tangga. Masa ini akan lebih sulit jika masih ada anak-anak yang harus dibiayai. Hal ini menimbulkan stress tersendiri bagi seorang suami karena merasa bahwa perannya sebagai kepala keluarga tertantang (Walsh dalam Eliana, 2003).

b. Berkurangnya harga diri (Self Esteem)

Bengston (dalam Eliana, 2003) mengemukakan bahwa harga diri seorang pria biasanya dipengaruhi oleh pensiunnya mereka dari pekerjaan. Untuk mempertahankan harga dirinya, harus ada aktivitas pengganti untuk meraih kembali keberadaan dirinya. Dalam hal ini berkurangnya harga diri dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti feeling of belonging (perasaan memiliki), feeling of competence (perasaan mampu), dan feelling of worthwhile (perasaan berharga). Ketiga hal yang disebutkan di atas sangat mempengaruhi harga diri seseorang dalam lingkungan pekerjaan.

c. Berkurangnya kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan.

Kontak dengan orang lain membuat pekerjaan semakin menarik. Bahkan pekerjaan itu sendiri bisa menjadi reward sosial bagi beberapa pekerja misalnya seorang sales, resepsionis, customer services yang meraih kepuasan ketika berbicara dengan pelanggan. Selain dari kontak sosial, orang juga membutuhkan dukungan dari orang lain berupa perasaan ingin dinilai, dihargai, dan merasa penting. Sumber dukungan

(45)

25

ini dapat diperoleh dari teman sekerja, atasan, bawahan dan sebagainya. Tentunya ketika memasuki masa pensiun, waktu untuk bertemu dengan rekan seprofesi menjadi berkurang.

d. Hilangnya makna suatu tugas.

Pekerjaan yang dikerjakan seseorang mungkin sangat berarti bagi dirinya. Dan hal ini tidak bisa dikerjakan saat seeorang itu mulai memasuki masa pensiun.

e. Hilangnya kelompok referensi yang bisa mempengaruhi self image. Biasanya seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok bisnis tertentu ketika dia masih aktif bekerja. Tetapi ketika dia menjadi pensiun, secara langsung keanggotaan pada suatu kelompok akan hilang. Hal ini akan mempengaruhi seseorang untuk kembali menilai dirinya lagi.

f. Hilangnya rutinitas

Pada waktu bekerja, seseorang bekerja hampir 8 jam kerja. Tidak semua orang menikmati jam kerja yang panjang seperti ini, tapi tanpa disadari kegiatan panjang selama ini memberikan sense of purpose,

memberikan rasa aman, dan pengertian bahwa kita ternyata berguna. Ketika menghadapi masa pensiun, waktu ini hilang, orang mulai merasakan diri tidak produktif lagi. ( Longhurst dalam Eliana, 2003).

Eliana (2003) menegaskan bahwa individu yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri, perubahan yang terjadi pada fase ini akan menimbulkan gangguan psikologis dan juga gangguan fisiologis. Kondisi

(46)

26

gangguan fisiologis bisa menyebabkan kematian yang lebih cepat atau

premature death. Istilah lain dikemukakan para ahli adalah retirement shock

atau retirement syndrome. Sedangkan gangguan psikologis yang diakibatkan oleh masa pensiun biasanya stress, frustasi, depresi.

B. Lansia

1. Definisi Lansia

Masa lanjut usia (aging) yang sering disebut dengan lansia adalah masa perkembangan terakhir dalam masa hidup manusia. Dikatakan sebagai perkembangan terakhir oleh karena ada sebagian anggapan bahwa perkembangan manusia berakhir setelah manusia menjadi dewasa. Namun menurut Prawitasari (dalam Cyrillus, 2008) manusia itu tidak pernah berhenti berkembang sampai ia mati. Boleh saja perkembangan fisik berhenti sampai masa remaja, tetapi perkembangan psikologis, sosial, dan spiritual tidak akan pernah berhenti. Manusia selalu belajar dari pengalamannya sejak lahir sampai mendekati akhir hayatnya. Ia akan selalu belajar dan berubah untuk menyesuaikan diri dengan segala hal yang dihadapinya.

Menurut Hurlock (dalam Cyrillus, 2008) masa lanjut usia disebut juga dengan periode penutup dalam rentang waktu kehidupan seseorang, yaitu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu

yang menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Bila seseorang telah beranjak jauh dari periode kehidupannya yang

(47)

27

terdahulu, biasanya ia sering melihat masa lalunya dengan penuh penyesalan dan cenderung ingin hidup pada masa sekarang dan mencoba mengabaikan masa depan sedapat mungkin.

2. Karakteristik Lanjut Usia

a. Adanya periode penurunan atau kemunduran yang disebabkan oleh faktor fisik dan psikologis.

b. Perbedaan individu dalam efek penuaan. Ada yang menganggap periode ini sebagai waktunya untuk bersantai dan ada pula yang mengaggapnya sebagai hukuman.

c. Ada stereotip-stereotip mengenai usia lanjut yang menggambarkan masa tua tidaklah menyenangkan.

d. Sikap sosial terhadap usia lanjut. Kebanyakan masyarakat menganggap orang berusia lanjut tidak begitu dibutuhkan karena energinya sudah melemah. Tetapi, ada juga masyarakat yang masih menghormati orang yang berusia lanjut terutama yang dianggap berjasa bagi masyarakat sekitar.

e. Mempunyai status kelompok minoritas. Adanya sikap sosial yang negatif tentang usia lanjut.

f. Adanya perubahan peran karena tidak dapat bersaing lagi dengan kelompok yang lebih muda.

g. Penyesuaian diri yang buruk. Timbul karena adanya konsep diri yang negatif yang disebabkan oleh sikap sosial yang negatif.

(48)

28

h. Ada keinginan untuk menjadi muda kembali dengan mencari segala cara untuk memperlambat penuaan.

3. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Akhir

Menurut Hurlock (1999) tugas perkembangan dewasa akhir adalah: a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income

(penghasilan) keluarga

c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes

C. Kesejahteraan Psikologis

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Ryff (dalam Haryanto dan Suyasa, 2007) mendefinisikan Kesejahteraan Psikologis sebagai fungsi positif dari individu. Fungsi positif dari individu merupakan arah atau tujuan yang diusahakan untuk dicapai oleh individu yang sehat. Fungsi positif dari individu didasarkan pada pandangan humanistik mengenai self actualization, maturity, fully functioning dan individuasi (Ryff dalam Haryanto dan Suyasa, 2007). Snyder dan Lopez (dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis bukan sekedar merupakan

(49)

29

ketiadaan penderitaan. Namun kesejahteran psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan hidup, dan hubungan seseorang pada objek ataupun orang lain. Ryff dan Singer (dalam Tenggara,

Zamralita, & Suyasa, 2008) menyimpulkan bahwa gambaran dari orang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik adalah mampu merealisasikan potensi dirinya secara berkesinambungan, mampu menerima diri apa adanya, mampu menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain, memiliki kemandirian, memiliki arti hidup, serta mampu mengontrol lingkungan.

Ryff (dalam Matahari, Iriani, dan Lianawati, 2005) mengembangkan konsep Kesejahteraan Psikologis berdasarkan tiga perspektif. Pertama adalah perspektif teoretis dari psikologi perkembangan, terutama psikologi perkembangan rentang kehidupan manusia. Perspektif ini meliputi tahapan perkembangan psikososial dari Erikson, formulasi dari Buhler mengenai kecenderungan dasar hidup yang mengarah pada pemenuhan hidup, dan deskripsi dari Neugarten mengenai perubahan kepribadian masa dewasa dan masa lanjut. Perspektif ini memberikan gambaran mengenai kesejahteraan diri yang dipahami sebagai perkembangan diri yang berkelanjutan sepanjang kehidupan.

Kedua adalah perspektif teoretis dari psikologi klinis yang memberikan dasar pembentukan konsep kesejahteraan psikologis. Perstpektif ini memberikan pemahaman tentang individu yang berfungsi secara positif, seperti konsep individu yang dapat beraktualisasi diri dari

(50)

30

Maslow, konsep individu yang berfungsi sepenuhnya dari Roger, proses individuasi dari Jung, dan konsep individu yang memiliki kedewasaan diri dari Allport.

Ketiga adalah berbagai literatur mengenai kesehatan mental. Berbagai literatur mengenai kesehatan mental diambil untuk kemudian dikombinasikan dengan teori-teori dari kedua perspektif teoretis di atas. Beberapa dari literatur tersebut adalah formulasi dari Jahoda mengenai enam kriteria dari kesehatan mental yang positif, seperti sikap diri yang positif, pertumbuhan dan aktualisasi diri, integrasi kepribadian, otonomi, persepsi realitas, serta penguasaan lingkungan. Kemudian konsep dari Birren mengenai keberfungsian positif pada masa akhir hidup.

Dari berbagai perspektif di atas yang menjelaskan kualitas positif dari manusia terdapat beberapa kesamaan. Ryff merumuskan beberapa kesamaan ini menjadi enam dimensi: yaitu penerimaan diri, hubungan positif, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan diri.

Dengan demikian kesejahteraan psikologis merupakan suatu keadaan psikologis yang lebih dari sekedar bebas dari penyakit mental; tetapi mengandung arti memiliki karakteristik positif pada penerimaan diri, hubungan dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan diri (Ryff dalam Matahari, Iriani, dan Lianawati,

2005).

(51)

31

2. Aspek-aspek Kesejahteraan Psikologis

Aspek-aspek kesejahteraan psikologis mengacu pada teori Ryff (dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008), meliputi 6 dimensi, yaitu: penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (enviromental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Dimensi penerimaan diri adalah sikap positif terhadap diri sendiri dan merupakan ciri penting dari kesejahteraan psikologis. Sebuah gambaran inti dari kondisi well-being yang dicirikan dengan aktualisasi dan dapat berfungsi secara optimal, kedewasaan serta penerimaan diri seseorang dan kehidupan yang sudah dilewatinya. Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada dimensi penerimaan diri menunjukkan bahwa individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, dan merasa positif tentang kehidupan yang telah dijalani. Skor rendah menunjukkan individu merasa tidak puas dengan dirinya, merasa kecewa terhadap kehidupan yang dijalani, mengalami kesukaran karena sejumlah kualitas pribadi dan ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini.

(52)

32

b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others) Dimensi hubungan positif dengan orang lain dapat dioperasionalkan ke dalam tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam membina kehangatan dan hubungan saling percaya dengan orang lain; yang digambarkan sebagai orang yang mempunyai empati yang kuat, mampu mencintai secara mendalam dan bersahabat. Skor yang tinggi dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain menunjukkan individu mempunyai hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, mampu melakukan empati yang kuat, afeksi dan hubungan yang bersifat timbal balik. Skor rendah menunjukkan bahwa individu hanya mempunyai sedikit hubungan yang dekat dan saling percaya dengan orang lain, merasa kesulitan untuk bersikap hangat, terbuka dan memperhatikan orang lain, merasa terasing, dan frustrasi dalam hubungan interpersonal, tidak bersedia menyesuaikan diri untuk mempertahankan suatu hubungan yang penting dengan orang.

c. Otonomi (Autonomy)

Dimensi otonomi ini menekankan pada kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, kemandirian dan kemampuan mengatur tingkah laku. Orang yang berfungsi penuh digambarkan mampu menilai diri sendiri dengan menggunakan standar pribadi. Dalam dimensi otonomi, orang-orang dengan skor tinggi adalah individu yang mampu mengarahkan diri dan mandiri, mampu menghadapi tekanan sosial,

(53)

33

mengatur tingkah laku sendiri dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sedangkan skor rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa individu memperhatikan pengharapan dan evaluasi orang lain, bergantung pada penilaian orang lain dalam membuat keputusan, menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial dalam berpikir dan bertingkah laku.

d. Penguasaan Lingkungan (Enviromental Mastery)

Dimensi penguasaan lingkungan adalah orang yang mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Kemampuan ini dipengaruhi oleh kedewasaan seseorang khususnya kemampuan seseorang untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks melalui aktivitas mental dan fisik. Dalam dimensi penguasaan lingkungan, skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu mempunyai sense of mastery dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol berbagai kegiatan eksternal yang kompleks, menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada secara efektif, mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Sedangkan skor yang rendah menyatakan bahwa individu mengalami kesulitan dalam mengatur aktivitas sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan konteks di sekitar, tidak waspada akan kesempatan-kesempatan yang ada di lingkungan, dan kurang mempunyai kontrol terhadap dunia luar.

(54)

34

e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Dimensi tujuan hidup dapat dioperasionalkan dalam tinggi rendahnya pemahaman individu akan tujuan dan arah hidupnya. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu mempunyai tujuan dan arah hidup, merasakan adanya arti dalam hidup masa kini dan masa lampau. Sedangkan skor rendah menunjukkan bahwa individu kurang mempunyai arti hidup, tujuan, arah hidup dan cita-cita yang tidak jelas, serta tidak melihat adanya tujuan dari kehidupan masa lampau.

f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Dimensi pertumbuhan pribadi dapat dioperasionalkan dalam tinggi rendahnya kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan dan lebih menekankan pada cara memandang diri dan merealisasikan potensi dalam diri. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu merasakan adanya pengembangan potensi diri yang berkelanjutan, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi diri, dan dapat melihat kemajuan diri dari waktu ke waktu. Sedangkan skor yang rendah menunjukkan bahwa individu tidak merasakan adanya kemajuan dan pengembangan potensi dir dari waktu ke waktu, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku baru.

(55)

35

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis: a. Usia

Berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Ryff (dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008), penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan peningkatan seiring dengan perbandingan usia (usia 25-39; usia 40-59; usia 60-74). Tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi, secara jelas menunjukkan penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Skor dimensi penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain secara signifikan bervariasi berdasarkan usia.

Usia berpengaruh pada otonomi yang semakin meningkat dari dewasa awal ke dewasa madya, kemudian mulai menurun ketika memasuki masa dewasa akhir. Tujuan hidup pada masa dewasa madya lebih tinggi dari pada masa dewasa awal dan dewasa akhir. Penguasaan lingkungan semakin meningkat pada masa dewasa akhir, hal ini berlawanan dengan pertumbuhan pribadi yang mencapai puncak pada masa dewasa awal yang kemudian menurun pada masa dewasa madya dan dewasa akhir.

b. Jenis Kelamin

Menurut Ryff (dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008) faktor jenis kelamin menunjukkan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan

(56)

36

pribadi. Dari keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39; usia 40-59; usia 60-74), wanita menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada pria. Sementara keempat dimensi Kesejahteraan Psikologis lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Jenis kelamin memberi pengaruh pada aspek relasi positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi. Wanita memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjalin relasi positif dengan orang lain dibanding pria, potensi pertumbuhan pribadi pun lebih tinggi dibanding kaum pria. c. Kelas Sosial

Hasil penelitian Wisconsin Longitudinal Study (WLS) (dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008) menunjukkan bahwa, pada orang dengan status pekerjaan yang tinggi ditemukan kecenderungan tingkat Kesejahteraan Psikologis yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat Kesejahteraan Psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan seseorang (Ryff & Singer, 1996). Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya tingkat pendidikan seseorang menunjukkan bahwa individu memiliki faktor pengaman (misalnya: uang, ilmu, dan keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan tantangan.

d. Latar Belakang Budaya

Sugianto (dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008) mengatakan bahwa perbedaan budaya Barat dan Timur juga memberikan pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih berorientasi pada diri

(57)

37

(seperti dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi) lebih menonjol dalam konteks budaya Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol dalam budaya Timur.

Budaya memberikan pengaruh pada kemampuan disintegrasi diri seseorang serta relasi positif dengan orang lain. Pada budaya barat dengan karakteristik masyarakatnya yang cenderung individualistik menunjukkan tingkat otonomi yang tinggi pada masyarakat. Berbeda dengan budaya timur di mana masyarakatnya bersifat kolektif, hal ini meningkatkan kecenderungan untuk sedapat mungkin mampu menjalin relasi yang positif dengan orang lain.

e. Sense of Control

Berk (dalam Cyrillus, 2008) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki sense of control yang tinggi pada berbagai macam aspek kehidupan dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang dihadapinya, memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi. Adanya sense of control

membuat individu memiliki pandangan yang positif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan memiliki keyakinan untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi tersebut.

Gambar

Tabel 2
tabel sebagai berikut:
Tabel 3
Tabel 5
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji kualitatif pengaruh agar terhadap daya hidup (Tabel 5) didapatkan bahwa pengaruh A7 pada 8 MST dan 16 MST terhadap jumlah daun, akar dan ruas, responnya

Tabel 3. Selain itu hasil observasi juga menunjukkan bahwa respon siswa meningkat setiap siklusnya. Perolehan persentase respon siswa pada siklus II mengalami

Dalam hal prestasi untuk anak usia dini, pengaruh keterlibatan orang tua bisa dilihat dari beberapa hasil penelitian berikut: (1) ketika orang tua terlibat – tanpa

Penentuan Node 6 pada Kategori Jenis Kelamin (0) Hasil penentuan dari node 6 pada kategori tidak memiliki riwayat keluarga menderita Diabetes Melitus, tidak menderita

Arah arus di perairan pantai pada saat pasang menuju surut terendah bergerak ke arah Barat Laut hingga Utara, di muara sungai arus bergerak ke arah Barat Laut dan

1) Que la doctrina contenida en las obras de Aristóteles dedicada a especialistas (pragmateíai) no fue del todo desco­ nocida en el período de renacimiento que

Aspek Dokumentasi Isi Rekam medis menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan sarana kesehatan Berdasarkan

Pemisahan fisik dalam stadia hidup ikan (life-history stages) merupakan suatu strategi dimana ikan melakukan migrasi pemijahan yang kemudian melepaskan telur dan larva pada habitat