BALITBANG KEMENDIKBUD
2017
P o l i c y B r i e f
PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN TINDAKAN
KEKERASAN TERHADAP ANAK
T
indakan kekerasan terhadap anak masih marak terjadi di masyarakat. Setiap tahun jumlah kasusnya meningkat. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada triwulan pertama 2016, terdapat 290 kasus, jumlah ini meningkat 15 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Di dunia pendidikan, tindak kekerasan terjadi dalam berbagai bentuk. Praktik bullying masih terjadi di sekolah-sekolah. Pemerkosaan banyak menimpa anak-anak yang masih sekolah. Berita menggemparkan terjadi di Kab Rejang Lebong Bengkulu tentang tindakan sangat keji pemerkosaan terhadap siswa SMP oleh 14 orang pelaku yang beberapa diantaranya berstatus pelajar SMP dan merupakan kakak kelas korban. Selain itu, banyak kasus lain baik yang terungkap maupun tidak terungkap oleh media. Dengan banyak kasus tersebut, tidak mengherankan jika banyak para ibu (52%) yang sangat khawatir dengan keamanan anaknya di sekolah seperti hasil survei KPAI di 33 provinsi yang dirilis pada bulan Juli-Agustus 2015.Pemerintah telah berupaya melindungi anak dari tindak kekerasan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, dan banyak lembaga yang telah dibentuk dalam melindungi anak. Peraturan paling baru adalah Perppu No 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Thn 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu Kekerasan Seksual terhadap Anak/Perpu Kebiri). Di bidang pendidikan Kemendikbud telah mengeluarkan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Penanggulangan dan Pencegahan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sementara itu, lembaga dan pegiat yang sangat pro aktif dalam memperjuangkan perlindungan anak adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komnas Perlindungan Anak. Selain tentunya lembaga-lembaga pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah.
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang, Kemendikbud telah melakukan penelitian telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran praktik-praktik baik yang dilakukan oleh satuan pendidikan, Pemda, dan masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan terhadap anak di dua lokasi yang memiliki praktik baik dalam mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan, yakni Kabupaten Purwakarta, dan Kota Samarinda.
Praktik Baik yang
Dilakukan oleh Pemda,
Instansi Terkait, dan
Masyarakat
1. Pemda membuat regulasi untuk mencegah dan melindungi anak dari tindak kekerasan, seperti: Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Berkarakter, Peraturan Daerah Kab. Banyuwangi nomor 1 Tahun
2011 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan Perdagangan Orang; Peraturan Walikota Samarinda No. 13 Tahun 2015 tentang Pendidikan Karakter; dan Instruksi Gubernur DKI Jakarta No 16 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Bullying serta Kekerasan di Lingkungan Sekolah;
2. Mendorong masyarakat untuk mewujudkan visi Pemda, seperti Kota Depok memiliki visi mewujudkan “Kota Depok layak anak”. Perwujudan visi dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder dalam pemenuhan hak anak, membentuk forum anak se kota Depok dengan dibantu oleh dua LSM yaitu: WVI, dan Save the Children; menjadikan institusi pendidikan yang ramah anak, dan anti kekerasan
3. Membentuk Satgas Perlindungan Anak, Satgas Penegakan Disipilin,
Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), atau nama lainnya yang sejenis, beserta call center.
4. Melakukan sosialisasi, advokasi, penanganan pengaduan, dan pencegahan.
5. Pengembangan kampung ramah anak, dan sekolah ramah anak;
6. Forum kemitraan guru (melalui PGRI) dengan Kepolisian, antara lain untuk menyaring & mediasi pelaporan dari orangtua ke pihak kepolisian terkait tindakan guru; juga ada forum polisi mitra masyarakat.
Praktik baik yang
dilakukan oleh satuan
Pendidikan
1. Sekolah dengan orangtua membuat kesepakatan tentang tata tertib sekolah yang harus dijalankan oleh siswa. Selanjutnya dibuat fakta integritas antara sekolah dengan orang tua, dan pihak sekolah menjelaskan kepada orangtua bahwa jika melanggar ketentuan tersebut maka siswa akan mendapatkan point pelanggaran. Pencatatan pelanggaran dilakukan dengan kartu kendali pelanggaran. Setiap pelanggaran diinventarisasi dari mulai paling ringan hingga paling berat, misalnya: anak terlambat masuk sekolah, anak bolos, anak merokok, anak melakuan tindak kekerasan, anak menonton video porno, anak mencuri, anak narkoba, dll.
2. Sekolah membuat sistem layanan pengaduan masyarakat secara online; 3. Konseling teman sebaya untuk membantu
guru BK bekerjasama dengan Pusat Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Dengan pendekatan ini banyak tindak kekerasan atau permasalahan siswa bisa diatasi.
4. Memupuk sikap dan perilaku disiplin siswa antara lain melalui kerjasama pelatihan kepemimpinan dengan militer/ TNI;
5. Menciptakan suasana sekolah yang aman, nyaman, & menyenangka
6. Kepala sekolah lebih sering berkomunikasi (melakukan pertemuan) dengan guru dan komite sekolah antara lain briefing/evaluasi pembelajaran, dan menyampaikan informasi terbaru.
Guru sebagai Faktor
Penyebab Terjadinya
Tindak Kekerasan
Selama ini kita hanya tercengang, merasa miris, dan bahkan marah ketika membaca di media massa ada siswa atau orang tua siswa yang melaporkan guru ke pihak kepolisian (di banyak daerah), diarak seperti maling yang ketangkap basah dan dituntut untuk meminta maaf (Purwakarta), dipenjara 3 bulan (Sidoarjo), dipukuli atau diperlakukan kasar oleh siswa maupun orang tua (Makassar), dan seterusnya. Namun, perlu dicermati latarbelakang mengapa guru diperlakukan sekasar itu. Hasil penelusuran terhadap akar masalah berbagai kasus tersebut, ternyata penyebabnya adalah guru itu sendiri sebagai pemicu yang berbuntut pada tindak kekerasan terhadap dirinya, sekaligus mempermalukan dirinya, dan juga profesinya. Sebagai contoh; Kepala SD di Purwakarta diarak oleh orang tua dan warga karena mencubit dan menempeleng siswanya; Guru di Sidoarja di pidana 3 bulan karena mencubit siswanya; dan guru di Makassar keroyok oleh siswa dan orang tuanya karena menempeleng siswanya. Rasa hormat siswa, orang tua, dan masyarakat terhadap guru, tergantung pada sikap dan perilaku guru yang bersangkutan. Belum pernah terdengar berita ada siswa, orang tua, atau masyarakat yang memperlakukan guru secara kasar tanpa sebab, namun yang sering terdengar adalah guru sebagai pelaku tindak kekerasan terhadap siswanya, sehingga yang bersangkutan mendapat perlakuan kasar. Banyak guru beralasan bahwa tindak kekerasan terhadap siswanya dilakukan untuk menegakkan disiplin, siswa tersebut nakal, bandel, tidak sopan dan sebagainya, Alasan ini datang dari guru yang bukan pendidik profesional, menyelesaikan masalah dengan memakai “otot” dan bukannya “otak”. Dalam dunia pendidikan, bentuk kekerasan jenis apapun tidak dibenarkan; baik verbal maupun
menghina, mencubit, menenempeleng, menendang, dan sebagainya).
Faktor Internal Guru. Kondisi kejiwaan yang meyimpang (labil, stres, tempramen, dan sebagainya) yang mungkin disebabkan oleh masalah intenal keluarga (percekcokan, ekonomi, dan sebagainya), dan lingkungan ekternal, sehingga mempengaruhi motivasi dan kinerja, serta berpotensi melakukan tindak kekerasan.
Pengendalian diri (kontrol emosi) yang kurang ketika menghadapi karakter dan perilaku siswa yang terkesan menyimpang dari norma, etika, dan aturan disiplin sekolah sehingga yang bersangkutan terbawa emosi, meluapkan kemarahan, dan melakukan tindak kekerasan terhadap siswanya. Pengamalan kode etik guru kurang, sehingga yang bersangkutan berperilaku “semau gue” terhadap siswanya. Kurang sadar atau mingkin juga nyasar sehingga kurang menghargai profesi guru; mengganggap profesi guru seperti pekerjaan biasa (buruh, pekerja kantoran, dan sebagainya) yang berimplikasi terhadap cara pandang, karakter, dan perilakunya ketika melaksanakan tugas dan berinteraksi dengan siswa dan tenaga kependidikan lainnya Faktor Eksternal Guru. Memiliki latarbelakang budaya yang cenderung pada tindak kekerasan (agresif, kasar, sombong/angkuh, keras, dan sebagainya), sehingga membentuk karakter yang bersangkutan sebagai peribadi yang berpotensi untuk berperilaku dan melakukan tindakan kekerasan.
Kebijakan kepala sekolah atau lingkungan masyarakat yang dianggap kurang berpihak/ tidak adil terhadap diri yang bersangkutan atau profesinya, sehingga yang bersangkutan meluapkan kekesalan terhadap siswanya atau siapa saja yang ditemuinya.
Tekanan kerja dan target yang harus dipenuhi oleh guru yang demikian tinggi, seperti kurukulum, materi, prestasi yang harus dicapai siswa, sementara kemampuan guru
terbatas dan kendala yang dihadapi cukup besar
Kebijakan sekolah yang terasa merugikan dan tidak adil membuat guru meluapkan kekesalan kepada siswanya. Kemudian Input siswa rendah, transfer ilmu lamban, tuntutan kurikulum tinggi, jika tidak tercapai sanksi menanti, menjadikan pemaksaan dan kekerasan sebuah pilihan. Kekerasan menjadi sebuah pilihan beberapa guru, dikarenakan tingginya beban pengetahuan yang harus dipindahkan ke siswa.
Tekanan ekonomi (gaji habis untuk kredit, biaya hidup membengkak, sumber penghasilan lain tidak ada) membuat emosi labil (sensitif, mudah marah, reaktif, dll)
Siswa sebagai pelaku
kekerasan di sekolah
Faktor Internal Siswa
Biologis dan psikologis: Secara biologis, ada kemungkinan bahwa beberapa anak secara genetik cenderung akan mengembangkan agresi dibanding anak yang lain.1 Anak-anak
yang memiliki ibu dengan tingkat kesehatan mental dan jiwa yang kurang baik, juga berpotensi besar menjadi tukang bully.
Secara psikologis, anak yang agresif kurang memiliki kontrol diri dan sebenarnya memiliki ketrampilan sosial yang rendah; anak-anak ini memiliki kemampuan perspective taking yang rendah, empati terhadap orang lain yang tidak berkembang, dan salah mengartikan sinyal atau tanda-tanda sosial, mereka yakin bahwa agresi merupakan cara pemecahan masalah yang tepat dan efektif. Jika kita runut dari lingkungan keluarga, anak-anak yang mengembangkan perilaku agresif tumbuh
1
Dalam bukunya DevelopmentalPsychopathol-ogy, Wenar & Kerig (2002) bahwa agresi yang tinggi pada anak-anak dapat merupakan hasil dari abnor-malitas neurologis
.
dalam pengasuhan yang tidak kondusif; anak mengalami kelekatan (attachment) yang tidak aman dengan pengasuh terdekatnya, orang tua menerapkan disiplin yang terlalu keras ataupun terlalu longgar, dan biasanya ditemukan masalah psikologis pada orang tua; konflik suami-istri, depresi, bersikap antisosial, dan melakukan tindak kekerasan pada anggota keluarganya.
Faktor pubertas dan krisis identitas, yang normal terjadi pada perkembangan remaja. Dalam rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja lalu gemar membentuk geng. Geng remaja sebenarnya sangat normal dan bisa berdampak positif, namun jika orientasi geng kemudian ’menyimpang’ hal ini kemudian menimbulkan banyak masalah. Dari relasi antar sebaya juga ditemukan bahwa beberapa remaja menjadi pelaku bullying karena ’balas dendam’ atas perlakuan penolakan dan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya (misalnya saat di SD atau SMP). Anak-anak dengan masalah emosional, problem pada perkembangan, maupun masalah perilaku memiliki kemungkinan besar menjadi tukang bully
Faktor Ekternal
a) Secara sosiokultural, bullying dipandang sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan masalah. Misalnya saja lingkungan preman yang sehari-hari dapat dilihat di sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok-kelompok massa. Belum lagi tontotan-tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual. Walaupun tak kasat mata, budaya feodal dan senioritas pun turut memberikan atmosfer dominansi dan menumbuhkan perilaku menindas. b) Faktor Keluarga: Kurangnya kehangatan
rendah terhadap anaknya. Pola asuh orang tua yang terlalu permisif sehingga anak bebas melakukan tindakan apapun yang diinginkan atau sebaliknya. Pola asuh orang tua yang terlalu keras sehingga anak menjaadi akrab dengan suasana yang mengancam. Kurangnya pengawasan dari orang tua. Pengaruh dari perilaku saudara-saudara kandung dirumah. Anak-anak yang menjadi tukang bully cenderung memiliki orangtua yang sering memarahi mereka atau menganggap anaknya sering mengganggu.
c) Faktor Pergaulan: Suka bergaul dengan anak yang biasa melakukan bullying. Bergaul dengan anak yang suka dengan tindak kekerasan. Anak agresif yang berasal dari status sosial tinggi dapat saja menjadi pelaku bullying demi mendapatkan penghargaan dari kawan-kawan sepergaulannya.
d) Faktor lainnya: Banyaknya contoh perilaku bullying dari berbagai media seperti televisi, film, ataupun video game. Pada sebagian anak remaja putri, bullying terkadang dijadikan alat untuk menghibur diri. Terkadang juga digunakan sebagai alat untuk mencari perhatian dari teman-teman yang dianggap saingan.2
Rekomendasi Yang
Diusulkan
1) Pencegahan Tindak Kekerasan:
a) Sekolah mengadakan kesepakatan dengan pihak orangtua agar siswa mematuhi tata tertib sekolah;
b) Menerapkan “sistem kartu kendali siswa” untuk mengontrol pelanggaran tata tertib sekolah secara konsisten;
dengan orangtua siswa melalui pertemuan secara berkala;
d) Sekolah mengidentifikasi akar penyebab masalah tindak kekerasan;
e) Memberikan bimbingan teknis secara berkala agar guru lebih mawas diri (menghindari tindak kekerasan);
f) Peningkatan fungsi pengawasan terhadap guru dalam aspek pembinaan mental dan karakter;
g) Pemberian sanksi secara proporsional berdasarkan profesionalisme pendidik;
2) Penanggulangan Tindak Kekerasan:
a) Membuat Prosedur Operasional Standar (POS) yang berisi langkah-langkah penanggulangan tindak kekerasan dan diketahui oleh semua warga sekolah;
b) Perlu komitmen dan konsistensi pelaksanaan aturan sekolah tanpa intervensi dari pihak manapun
Policy Brief ini merupakan hasil dari penelitian/ kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016,
untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi : Pusat Penelitian Kebijakan